Anda di halaman 1dari 27

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : An. AG
Umur : 17 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Losari
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan Tertinggi : SMP
No.RM : 18869175
Tanggal Periksa : 30 Juli 2018

1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis pada tanggal 30
Juli 2018 pada jam 10.00 WIB
Keluhan Utama
Luka robek di mulut
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD umum diantar keluarga dengan keluhan terdapat
luka robek di mulut pada bagian langit-langit. Pasien mengalami kecelakaan
terjatuh dari motor dengan posisi wajah terlebih dahulu menabrak tumpukan
bambu 12 jam SMRS. Pada saat terjatuh pasien sadar dan riwayat pingsan setelah
terjatuh disangkal. Beberapa saat setelah terjatuh pasien merasakan keluar darah
dari kedua lubang hidung sekitar ½ gelas belimbing dan kemudian berhenti dalam
waktu kurang dari 30 menit. Terdapat beberapa luka lecet pada wajah yaitu
dibagian dahi, hidung, pipi kanan dan pipi kiri, serta pada bagian dagu. Pada saat
dirumah pasien merasakan sangat nyeri pada bagian langit-langit mulut dan
daerah sekitar hidung. Ketika makan dan minum, rahang atas pasien terlihat
goyang dan pasien merasakan ada sesuatu yang masuk ke hidung kemudian
makanan dan minuman tadi keluar melewati hidung.
Sekarang pasien masih merasakan nyeri pada wajah dan bagian langit-
langit mulutnya, nyeri saat membuka mulut, nyeri kepala, bengkak pada pipi
kanan, dan memar disekitar mata juga pada bagian sekitar hidung. Keluhan mual,
muntah, dan pingsan disangkal. Tidak ada keluhan pada telinga dan tenggorok.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi : Disangkal
DM : Disangkal
Alergi : Disangkal
Asma : Disangkal
Gangguan pembekuan darah : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga Hipertensi : Disangkal
Keluarga DM : Disangkal
Keluarga Alergi : Disangkal
Gangguan pembekuan darah : Disangkal
Riwayat Pribadi dan Sosial
Kebiasaan merokok (-)
Minuman Alkohol (-)

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Frekuensei Nadi : 110 x/menit
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,50
Status Generalis
Kepala : normocephal
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
 Paru-paru

Paru Dextra Sinistra


Depan
1. Inspeksi Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
2. Palpasi Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)
Stem fremitus dextra=sinistra Stem fremitus dextra=sinistra
3. Perkusi Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
4. Auskultasi Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler
Ronki (-) Ronki (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)
Belakang
1. Inspeksi Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
2. Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)
Stem fremitus dextra=sinistra Stem fremitus dextra=sinistra
3. Perkusi Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
4. Auskultasi Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler
Ronki (-) Ronki (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)

 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V 2 cm medial linea midclavicula,
kuat angkat, thrill (-), pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal
(-), sternal lift (-)
Perkusi
a. batas atas : ICS II lin.parasternal sinistra
b. pinggang jantung : ICS III parasternal sinsitra
c. batas kanan bawah : ICS V lin.sternalis dextra
d. batas kiri bawah :ICS V 2 cm ke arah medial
midclavicula sinistra
e. konfigurasi jantung : Dalam Batas Normal
Auskultasi : Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler. Suara jantung
tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV (-)

Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di sekitarnya,
ikterik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-), pekak hepar
(+), tidak terdapat nyeri ketok ginjal dextra/sinistra
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak
teraba
Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Gerakan +/+ +/+
Kekuatan 5/5/5 5/5/5
Tonus Normotoni Normotoni
Refleks Fisiologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Patologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Status Lokalis
Kepala dan Leher
Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Wajah
Regio Periorbita
 Inspeksi : terdapat edema dan hematoma pada periorbita dekstra dan sinistra, tak
tampak laserasi pada periorbita dan perdarahan subkonjungtiva, tidak terdapat
diplopia, dan tidak terdapat konjungtiva anemis.
 Palpasi : tidak terdapat nyeri daerah periorbita, ditemukan krepitasi pada rima
lateral dan inferior orbita sinistra, ditemukan diskontinuitas pada rima lateral dan
inferior orbita sinistra.
Regio Nasal
 Inspeksi : tidak terdapat edema, tidak terdapat hematom, tidak terdapat
malformasi, tidak terdapat laserasi, tidak terdapat rhinorrea.
 Palpasi : terdapat nyeri tekan pada nasal, tidak terdapat krepitasi dan
diskontinuitas.
Regio Zigoma
 Inspeksi : terdapat edema pada regio kompleks zigoma sinistra, tidak
terdapat laserasi, tidak terdapat hematom.
 Palpasi : terdapat nyeri tekan, diskontinuitas dan krepitasi tidak dapat dinilai
karena terdapat nyeri tekan dan edema, simetrisitas malareminens kanan dan kiri
tidak dapat dinilai karena pada pipi kiri terdapat edema.
Regio Maksila
 Inspeksi : terdapat edema pada regio maksilaris sinistra, tidak terdapat laserasi,
tidak terdapat hematom, tidak ada gigi yang hilang, tidak terdapat laserasi mukosa
intraoral, tidak terdapat stepping, dan terdapat maloklusi objektif dan subjektif.
 Palpasi : terdapat nyeri tekan pada regio maksilaris sinistra, diskontinuitas
dan krepitasi tidak dapat dinilai karena edema dan nyeri tekan, terdapat floating
maxilla, terdapat trismus yang dapat dilalui satu jari.
Regio Mandibula
 Inspeksi : tidak terdapat edema, tidak terdapat hematom, tidak terdapat
malformasi, dan tidak terdapat laserasi.
 Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan diskontinuitas pada margo
inferior mandibula dextra et sinistra. Tidak terdapat nyeri ataupun deformitas pada
temporomandibula joint (TMJ) saat pasien membuka dan menutup mulut.
 Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, tidak ditemukan adanya
pembesaran glandula tiroid maupun glandula parotis dan submandibula.

Tenggorok
Bibir : trishmus (-)
Gigi : Karies (-), gigi berlubang (-)
Gingiva : Hiperemis (-), Gingivitis (-), stomatitis (-)
Lidah : Simetris, Spasme (-), Fasikulasi (-), Kotor (-), Stomatitis (-),
Tonsil : Tidak Membesar, Ukuran Tonsil T1-T1, Hiperemis (-), pus (-),
Detritus (-), Granulasi (-), kripte melebar (-)
Uvula : Hiperemis (-), Luka (-), deviasi (-)
Epiglotis : Simetris, Hiperemis (-), Masa (-), Luka (-)
Palatum : Simetris, Masa (-), Hiperemis (-)

Telinga
Telinga Kanan Kiri
Mastoid Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-) Abses (-), fistula (-)
Pre-aurikula Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-), Abses (-), fistula (-),
Retro-aurikula Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-), Abses (-), fistula (-),
Aurikula Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-), nyeri Abses (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)
Kanalis Eksternus Benda asing (-), sekret (-), Benda asing (-), sekret (-),
serumen (-), darah (-), lessi serumen (-), darah (-), lessi
(-), massa (-), edem (-) (-), massa (-), edem (-)
Discharge (-) (-)
Membran Timpani
Warna Putih mutiara Putih mutiara
Reflek cahaya Memantulkan cahaya Memantulkan cahaya
(mengkilap) (mengkilap)

Perforasi (-) (-)

Hidung

Pemeriksaan Luar Kanan Kiri


Hidung Deformitas (-), Sianosis (- Deformitas (-), Sianosis (-
), Hiperemis (-). Nyeri ), Hiperemis (-). Nyeri
tekan (-), Krepitasi (-) Tekan (-), Krepitasi (-)
Sinus Nyeri Tekan Sinus (-) Nyeri Tekan Sinus (-)
Rinoskopi Anterior Discharge (-), Septum Discharge (-), Septum
deviasi (-), Mukosa deviasi (-), Mukosa
Hiperemis (-), Konka Hiperemis (-), Konka
Hiperemis (-), Konka Hiperemis (-), Konka
hipertrofi (-), Epistaksis (- hipertrofi (-), Epistaksis (-
), Massa (-) ), Massa (-)
Discharge (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-), massa (-) Hiperemis (-), masa (-)
Konka Hiperemis (-), hipertrofi (- Hiperemis (-), hipertrofi (-
) )
Tumor (-) (-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)

1.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG/KHUSUS


Pemeriksaan Laboratorium tanggal 28 Juli 2018
Darah Rutin
Hb 12,7 MCV 84,9 Monosit 12
Leukosit 15.500 MCH 29,5 GDS 153
Eritrosit 6,2 MCHC 34,8
Hematokrit 47 Basophil 0
Trombosit 231.000 Limfosit 6

Pemeriksaan CT-Scan
Resume :

Diagnosis Banding :
Diagnosis :

Rencana Pengelolaan
Terapi :
Edukasi :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Maksilofasial

Cedera atau trauma pada daerah wajah memiliki signifikansi yang

tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan

terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah

maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti

penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-

fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup

yang buruk (2).

Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak dan tulang-

tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara

lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang

maksila, tulang mandibula (2).

2.2 Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan

kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak

usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa.

Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam

membentuk wajah manusia (2).


Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah

wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan daerah frontal dan sinus.

Bagian kedua adalah midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah.

Para midface atas adalah di rahang atas dimana fraktur Le Fort II dan III

terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih

rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah (2).

Gambar 1. Anatomi maksilofasial(2)

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari

tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang

membentuk rongga mulut, rongga hidung dan rongga mata (2).

2.3 Epidemiologi Trauma Maksilofasial

Trauma meliputi 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah

trauma maksilofasial dan 12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000.
Lebih dari 90% kematian di dunia akibat trauma terjadi di negara

berkembang. (2)

Pasien pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial tersering

yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di

Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria.

Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan trauma maksilokranial. Di

Indonesia, pasien trauma maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili

81,73% dari jumlah kasus. (2)

2.4 Etiologi Trauma Maksilofasial

Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus

meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan

kekerasan. Hubungan penggunaan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil,

dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur


(3)
maksilofasial . Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari

fraktur maksilofasial. Di India, 74,3 % fraktur maksilofasial disebabkan oleh

kecelakaan lalu lintas, diikuti oleh penyebab lain yaitu terjatuh dari

ketinggian, kekerasan, kecelakaan kerja,dan akibat senjata api (3).

2.5 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu

trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma

jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca

pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (3).
2.5.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah

Luka adalah kerusakan anami, diskontinuitas suatu jaringan

oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat

diklasifikasikan berdasarkan (3) :

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:

a. Eksoriasi

b. Luka sayat, luka robek, luka bacok

c. Luka bakar

d. Luka tembak

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis

Langer.

Penilaian awal dan penatalaksanaan

Evaluasi dan penanganan cedera jaringan lunak secara dini

mutlak perlu untuk mendapatkan hasil kosmetik dan fungsional yang

memuaskan dalam rekontruksi wajah. Pemeriksaan fisik awal

termasuk evaluasi lengkap dari seluruh luka meskipun jika perlu

dilakukan anestesi lokal ataupun umum. Perhatian khusus harus

diberikan untuk memastikan luas cedera pada daerah-daerah di sekitar

mata daerah nasolakrimalis di dekat ataupun melibatkan saraf facsialis

dan disekitar duktus parotis. Semua jaringan harus ditangani dengan

sangat hati-hati dan semua benda asing dikeluarkan dengan irigasi


memakai garam steril mungkin diperlukan penyikatan dengan sikat

bedah untuk mencegah pembentukan tato yaitu bilamana debris

ataupun kotoran telah melekat dalam kulit. Debridement wajah harus

dibuat seminimal mungkin. Karena wajah yang kaya suplai darah,

maka fragmen-fragmen kecil jaringan akan mati pada bagian tubuh

lainnya dapat bertahan hidup pada wajah. Laserasi harus dijahit

menurut lapisan anatomi diulai pada bagian dalam luka dengan benang

yang dapat diserap dan diteruskan hingga ke permukaan dimana dibuat

jahitan subkutan berupa jahitan permanen ataupun benang yang dapat

diserap jahitan subkutikular ataupun kulit yang permanen dapat

dipakai untuk menutup kulit dan perlu diangkat. Penutupan kulit perlu

dilakukan dengan cermat dan halus agar parut minimal. Setelah

ditutup maka laserasi wajah dapat disokong dengan plester penutup

kulit selama beberapa minggu atau bulan untuk meminimalkan

pembentukan jaringan parut. Untuk memberikan antibiotik tergantung

pada kasusnya apakah terkontaminasi tertunda ditutup dan

pertimbangan lainnya. Luka yang terkontaminasi luas atau luka yang

mencapai tulang perlu diatasi dengan antibiotik (3).

2.6.2 Trauma Jaringan Keras Wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dilihat dari fraktur tulang

yang terjadi (3):


a. Fraktur Tulang Hidung

Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung.

Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi

dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi

anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa

hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya robekan

pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi

pada septum.

Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila

arahnya dari depan akan menyebabkan fraktur sederhanan pada

tulang hidung yang kemudian dapat menyebabkan tulang hidung

menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat

menekan hanya salah satu tukang hidung namun dengan kekuatan

yang cukup, kedua tulang dapat berpindah tempat. Gaya lateral

dapat menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang

rawan berbentuk segi empat.

Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan

riwayat trauma pada hidung atau wajah, antara lain:

- Epistaksis

- Perubahan bentuk hidung

- Obstruksi jalan napas

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto

sinusparanasal posisi Waters dan juga bila perlu dapat dilakukan


pemeriksaan CT Scan untuk melihat fraktur hidung atau

kemungkinan fraktur penyerta lainnya.

Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (3):

1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi


garis tengah
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis
tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok
dengan penopang septal yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau
rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum
berat atau dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan
lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya
jaringan.

Gambar 2. Klasifikasi Fraktur Nasal (3).


Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan yang
dapat dilakukan ialah (4):
1. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia
lokal dengan sedasi ringan.
Indikasi:
a. Fraktur sederhana tulang hidung
b. Fraktur sederhana septum hidung
Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma
karena pada waktu tersebut oedem yang terjadi mungkin sangat sedikit.
2. Reduksi terbuka, dilakukakn dengan sedasi yang kuat atau analgesi
umum.
Indikasi:
a. Fraktur dislokasi ekstensif tulang dan septum hidung
b. Fraktur septum terbuka
c. Fraktur dislokasi septum kaudal
d. Persisten deformitas setelah reduksi tertutup

b. Fraktur Tulang Zigoma dan Arkus Zigoma


1. Fraktur Zigoma
Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh
kekerasan langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial
menuju antrum maksila sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa
communited fracture dan mungkin memiliki ekstensi sepanjang dasar dari
rongga orbita atau rima orbita (4).
Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari
tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Bagian-
bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah
penonjolan pada pipi dibawah mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang
zigoma ini agak berbeda dengan fraktur tripod atau trimalar (4).
Gejala dari fraktur zigoma antara lain adalah (4):
1. Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral
atau sebelum trauma)
2. Diplopia atau terbatasnya gerakan bola mata
3. Edema periorbita dan ekimosis
4. Perdarahan subkonjungtiva
5. Enoftalmus
6. Ptosis
7. Karena kerusakan saraf infra-orbita
8. Terbatasnya gerakan mandibula
9. Emfisema subkutis
10. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum
Penanggulangan fraktur tulang zigoma (4):
a. Reduksi tidak langsung dari tulang zigoma
Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus
gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang
tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukan di belakang
tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan tulang zygoma yang
fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah
dikerjakan dan memberi hasil yang baik.
b. Reduksi terbuka dari tulang zigoma
Tulang zigoma yang patah harus ditanggulangi dengan reduksi
terbuka dengan menggubakan kawat atau mini plate. Laserasi yang
timbul di atas zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan
insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada
rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkontruksi dengan
melakukan insisi di bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur di
sekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dilakukan hati-hati
karena dapat merusak bola mata.
2. Fraktur arkus zigoma
Arkus zigoma merupakan bagian dari sub unit wajah yang dikenal
sebagai zygomaticomaxillary complex (ZMC), yang memiliki 4 fusi
tulang dengan tengkorak. Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal
sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri waktu bicara atau mengunyah.
Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya
perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koroid dan otot
temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan
mudah dikenal dengan palpasi (4).
Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan
tempat dari arkus dapat ditanggualngi dengan melakukan elevasi arkus
zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan
reduksi terbuka selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada
arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di
atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zigoma
preurikuler (4).
3. Fraktur Maksila dan Le Fort
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan
lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga
mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung
di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang
penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-
tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (5).
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le
Fort pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga
yaitu (5):
a. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari
maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior
dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah.
Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma
pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
b. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang
melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura
zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita.
Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary
melalui lempeng pterygoid.
c. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal
tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur
berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura
orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura
frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura
zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan
pterygomaxillary

Gambar 3. Klasifikasi Le Fort (5).


Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang
pertama adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat
terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi.
Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab.
Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction
merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah fraktur
karena gaya dari submental yang diarahkan langsung ke superior dapat
mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang
pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan
zygomatic arches (5).
Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi struktur yang
stabil adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila.
Prinsip ini tampak sederhana namun menjadi lebih kompleks pada pasien
dengan fraktur luas. Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini berupa
(5)
:
a. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi.
b. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan
pemasangan kawat baja atau mini plate.
c. Fiksasi dengan pin.
Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas
dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar sehingga
oklusi gigi menjadi sempurna.
4. Fraktur Tulang Orbita
Fraktur maksila sangat erat hubunganya dengan timbulnya fraktur
orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Orbita
dibentuk oleh 7 tulang wajah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma, tulang
maksila, tulang lakrimal, tulang etmoid, tulang sphenoid dan tulang
palatina (6).
Gambar 4. Orbita mensch (6).

Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot


ekstraokuler, syaraf, pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak,
yang kesemuanya ini berguna untuk menyokong fungsi mata. Orbita
merupakan pelindung bola mata terhadap pengaruh dari dalam dan
belakang, sedangkan dari depan bola mata dilindungi oleh palpebra. Dasar
orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata,
berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam
antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus sphenoidalis dan ethmoidalis dapat
mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan
mengenai isi orbita (6).
Fraktur orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa (6):
1. Enoftalmus
2. Eksoftalmus
3. Diplopia
4. Asimetris pada muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari
dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang
meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan
dislokasi zigoma.
5. Gangguan saraf sensoris
Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis
berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila
pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai
kanalis infraorbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus
infraorbitalis sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan
pada rima orbita.
5. Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang
kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah
dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua
buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (7).
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian
temporomandibular joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula
menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat
mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun
panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan
mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula
diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan,
angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar (7).

Gambar 5. Lokasi fraktur mandibula(8)


Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakan berdasarkan adanya
riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai
berikut (8):
a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi
mandibula
b. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior
c. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi
dimana nervus alveoralis inferior menjadi rusak.
d. Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat serng menimbulkan
maloklusi
e. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi
f. Rasa nyeri saat menguyah
g. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan
perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema pada jaringan
lunak.
Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simpel dan praktis.
Mandibula dibagi menjadi 7 regio (8):
a. Badan atau korpus mandibula
b. Simfisis mandibula
c. Angulus mandibula
d. Ramus mandibula
e. Prosesus koronoid
f. Prosesus kondilus
g. Prosesus alveolaris
Fraktur yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada regio
mandibula ini. Frekuensi tersering terjadinya fraktur ialah prosesus
konsilus kemudian diikuti oleh korpus mandibula, angulus mandibula,
simfisis mandibula, prosesus alveolaris, ramus mandibula dan prosesus
koronoid (8).
Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum
pembidaian mendibula dengan geligi utuh terhadap maksila. Lengkung
gelihi atas biasanya diikatkan pada lengkung gigi bawah memakai batang-
batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang-batang lengkung ini
memiliki kait kecil yang dpat menerima simpai kawat atau elastis guna
mengikatkan lengkung gigi atas ke lengkung gigi bawah. Fraktur
mandibula lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan
pemasangan kawat atau pelat secara langsung pada fragmen-fragmen guna
mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan
batang-batang lengkung (8).
2.6 Penegakan Diagnosis
2.6.1 Anamnesa
Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat
medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan
peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut (8):
a. Bagaimana mekanisme cedera?
b. Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status
mental?
Jika demikian, untuk waktu berapa lama?
c. Apakah terdapat gangguan penglihatan? Kilatan cahaya, fotofobia,
diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan
mata?
d. Apakah pasien mengalami tinitus atau vertigo?
e. Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung?
f. Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas cairan
dari hidung atau telinga?
g. Apakah pasien memiliki kesulitan membuka atau menutup mulut?
h. Apakah ada rasa sakit atau kejang otot?
i. Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa
seperti kedudukan gigi tidak normal?
j. Apakah ada daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, A. Trauma Muka dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed. 6. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2007

2. Reksoprodjo. Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara. 2008

3. Bailey. Ilmu Bedah Gawat Darurat Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press. 2011

4. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Ed 3. Media

Aesculapius. 2014

5. Sjamsuhidajat, S. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2015

6. Oetomo, K. Trauma Maxillofacial dalam: Bedah Gawat Darurat.

Surabaya: RSUD Haji. 2010

7. Syamsudin. Masalah Anestesia pada Trauma Maksilofasial. Jakarta.

2011

Anda mungkin juga menyukai