Anda di halaman 1dari 8

Proses Ekskresi Urine dan Bersihan Plasma.

Biasanya dari 125 mL plasma yang difiltrasi per menit, 124 mL/menit direabsorsi, sehingga
jumlah akhir urin yang terbentuk rata-rata adalah 1 mL/menit. Dengan demikian, urin yang
dieksresikan per hari adalah 1,5 L dari 180 L yang difiltrasi. Urin mengandung berbagai produk
sisa dengan konnsentrasi tinggi ditambah sejumlah bahan dengan jumlah bervariasi yang diatur
oleh ginjal, dan kelebihannya akan dikeluarkan melalui urin.3

Dengan mengeksresikan bahan-bahan dalam urin, ginjal membersihkan bahan-bahan dari


plasma yang mengalir melaluinya. Untuk setiap bahan, bersihan plasmanya (klirens plasma/
plasma clearance) didefinisikan sebagai volume plasma yang dibersihkan seluruhnya dari bahan
yang bersangkutan per menit. Klirens tidak mengacu pada jumlah bahan yang disingkirkan, tetapi
pada volume plasma dari tempat jumlah tersebut disingkirkan. Klirens plasma sebenarnya lebih
bermanfaat daripada ekskresi urin. Klirens plasma mencerminkan efektivitas ginjal menyingkirkan
berbagai bahan dari lingkungan cairan internal.3

Apabila suatu bahan difiltrasi tetapi tidak direabsorpsi atau disekresi, laju klirens
plasmanya sama dengan GFR (Glomurular Filtration Rate). Jika suatu bahan difiltrasi atau
direabsopsi tetapi tidak dieksresi, laju klirens plasmanya selalu lebih rendah daripada GFR.
Apabila suatu bahan difiltrasi dan disekresi tetapi tidak direabsorpsi, laju klirens plasmanya selalu
lebih besar daripada GFR.3

Osmolaritas CES (konsentrasi zat terlarut) bergantung pada jumlah relatif H2O
dibandingkan dengan zat terlarut. Pada konsentrasi zat terlarut dan keseimbangan cairan normal,
cairan tubuh dikatakan bersifat isotonik pada osmolaritas 300 miliosmol/liter (mosm/L). Apabila
terdapat banyak H2O relatif terhadap jumlah zat terlarut, cairan tubuh bersifat hipotonik, yang
berarti cairan tersebut terlalu encer dengan osmolaritas <300 mosm/L. Apabila terjadi defisit H2O
relatif terhadap jumlah zat terlarut, cairan tubuh menjadi terlalu pekat dan bersifat hipertonik,
dengan osmolaritas >300 mosm/L.3

Pada cairan interstisium medula kedua ginjal terdapat gradien osmotik vertikal besar.
Konsetrasi cairan interstisium secara progresif meningkat dari batas korteks turun ke kedalaman
medulla ginjal sampai maksimum 1.200 mosm/L pada manusia di taut dengan pelvis ginjal.
Gradien osmotik vertikal ini tetap konstan tanpa bergantung pada keseimbangan cairan tubuh.
Adanya gradien ini memungkinkan ginjal menghasilkan urin dengan konsentrasi antara 100-1200
mosm/L, bergantung pada status hidrasi tubuh.3

Setelah dibentuk oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran urin
di ureter tidak semata-mata bergantung pada gaya tarik bumi. Konstraksi peristaltik otot polos di
dalam dinding uretra juga mendorong urin bergerak maju dari ginjal ke kandung kemih.
Sebagaimana sifat otot polos, otot polos kandung kemih dapat sangat meregang tanpa
menyebabkan peningkatan ketegangan dinding kandung kemih. Selain itu, dinding kandung kemih
yang berlipat-lipat menjadi rata sewaktu kandung kemih terisi untuk meningkatkan kapasitas
kandung kemih. Otot polos kandung kemih mendapat banyak persarafan serat parasimpatis yang
apabila dirangsang akan menyebabkan kontraksi kandung kemih. Apabila saluran keluar melalui
uretra terbuka, kontraksi kandung kemih menyebabkan pengosongan urin dari kandung kemih.
Walaupun demikian, pintu keluar kandung kemih dijaga oleh 2 sfingter, sfingter uretra interna dan
eksterna.3

Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu:
volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan
ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan
ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan
ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi
asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
 Pengaturan volume cairan ekstrasel
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan
menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma.
Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
Pengaturan volume cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara sbb.:
A. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake & output) air Untuk
mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara
air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan
antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya.
Water turnoverdibagi dalam:
1. External fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar.
1.1 Pemasukan air melalui makanan dan minuman 2200 ml
air metabolisme/oksidasi 300 ml
----------
2500 ml
1.2. Pengeluaran air melalui insensible loss (paru-paru & kulit) 900 ml
urin 1500 ml
feses 100 ml
---------
2500 ml
2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses
filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.

B. Memperhatikan keseimbangan garam


Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan
sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahanny aadalah seseorang hampir
tidak pernah memperhatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan
kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung
lebih dari kebutuhan.Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urin untuk
mempertahankan keseimbangan garam.

Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara:


1. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate(GFR).
2. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal

Jumlah Na+ yang direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol
tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+di
tubulus distal dan collecting. Retensi Na+meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume
plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri .
Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide(ANP) atau hormon
atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi oleh sel atrium jantung
jika mengalami distensi akibat peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air
di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urin sehingga mengembalikan volume darah kembali
normal.

 Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel


Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut(zat terlarut) dalam suatu
larutan. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah
konsentrasi air dalam larutan tersebut. Air akan berpindah dengan cara osmosis dari area yang
konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi
solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah). Osmosis hanya terjadi jika terjadi
perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menembus membran plasma di intrasel dan
ekstrasel. Ion natrium merupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion
utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan
di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik
cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan
perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik di
kedua kompartmen ini.

Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan melalui:


A. Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas
yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara
keseluruhan di duktus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus
proksimal (± 300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars desending sangat permeable
terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa
recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding
tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan
NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsorbsi garam tanpa osmosis air. Sehingga
cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas
dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin
(ADH). Sehingga urin yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis
ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresin/ ADH.
B. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang
osmoreseptor di hypothalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypothalamus
yang menyintesis vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam
darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan vasopressin dengan
resptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane
bagian apeks duktus koligen. Pembentukan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi
cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urin yang terbentuk di duktus koligen menjadi
sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dapat dipertahankan.
Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat peningkatan osmolaritas
cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusathaus di hypothalamus sehingga terbentuk
perilaku untuk mengatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.

Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh


system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit melali baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotiikus,
osmoreseptor di hypothalamus, dan volumereseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan
dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan
cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ ADH dengan meningkatkan
reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka
hormone atripeptin (ANP) akan meningkatkan ekskresi volume natrium dan air. Perubahan
volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan. Sebagai contoh Faktor-
faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit diantaranya ialah umur,
suhu lingkungan, diet, stress, dan penyakit. 8
Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

a. Komponen-Komponen Sistem Renin Angiotensin


Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin di dalam sel-sel
juxtaglomerular di ginjal. Sel juxtaglomerular merupakan modifikasi dari sel-sel otot polos yang
terletak di dinding arteriol aferen, tepat di proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri turun, reaksi
intrinsik di dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak molekul prorenin di dalam sel
juxtaglomerular terurai dan melepaskan renin.
Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu globulin yang disebut
substrat renin (atau angiotensinogen) untuk melepaskan peptida 10 asam amino, yaitu
angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor ringan. Renin menetap dalam darah
selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I yang lebih
banyak selama waktu tersebut.
Dalam beberapa detik hingga beberapa menit setelah pembentukan angiotensin I, terdapat
dua asam amino yang dipecah dari angiotensin I untuk pembentukan angiotensin II, yaitu
peptida dengan 8 asam amino. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru sementara darah
yang mengalir melalui pembuluh kecil di paru, dikatalisis oleh suatu enzim yaitu angiotensin
converting enzyme (ACE), yang terdapat pada endotelium pembuluh paru.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat dan dapat mempengaruhi fungsi
sirkulasi. Angiotensin II hanya menetap dalam darah selama 1 atau 2 menit karena angiotensin
II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-
sama disebut angiotensinase.
Selama angiotensin II ada di dalam darah, maka angiotensin II memiliki dua pengaruh
utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri, yaitu vasokontriksi di berbagai daerah di tubuh
terutama di arteriol dan jauh lebih lemah di vena, dan dengan meurunkan ekskresi garam dan
air oleh ginjal.

b. Pengaruh Sistem Renin Angiotensin terhadap Fungsi Ginjal


Peningkatan pembentukan angiotensin II membantu mengembalikan tekanan darah dan
volume ekstrasel menjadi normal dengan meningkatkan reabsorpsi natrium dan air dari tubulus
ginjal melalui tiga efek utama, yaitu:
1. Angiotensin II merangsang sekresi aldosteron yang dapat meningkatkan reabsorpsi natrium,
yaitu dengan cara merangsang pompa natrium kalium ATPase pada sisi basolateral dari
membran tubulus koligentes kortikalis. Aldosteron juga meningkatkan permeabilitas natrium
pada sisi luminal membran.
2. Angiotensin II mengkonstriksikan arteriol pada ginjal, dengan demikian menurunkan aliran
darah yang melalui ginjal. Sebagai hasilnya, lebih sedikit cairan yang disaring melalui
glomerulus masu ke dalam tubulus. Selain itu aliran darah yang lambat menurunkan tekanan di
kapiler peritubulus, yang menyebabkan reabsorpsi cairan yang cepat yang berasal dari tubulus.
3. Angiotensin II secara langsung merangsang reabsorpsi natrium di tubulus proksimal, lengkung
Henle, tubulus distal dan tubulus koligentes. Salah satu efek langsung dari angiotensin II adalah
merangsang pompa natrium kalium ATPase pada membran basolateral sel epitel tubulus. Efek
kedua adalah merangsang pertukaran natrium hidrogen dalam membran luminal, terutama
dalam tubulus proksimal.

c. Pengaruh Sistem Renin Angiotensin terhadap Variasi Asupan Garam


Pengaruh awal kenaikan asupan garam adalah terjadinya kenaikan volume cairan ekstrasel
yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Kemudian kenaikan tekanan arteri akan menyebabkan
meningkatnya aliran darah yang melalui ginjal, yang mengurangi kecepatan sekresi renin
sampai ke kadar yang sangat rendah dan secara berurutan akan menurunkan retensi garam dan
air oleh ginjal, mengembalikan cairan ekstrasel hampir ke normal, dan akhirnya mengembalikan
tekanan arteri juga hampir ke normal.
Bila asupan natrium meningkat di atas normal, sekresi renin menurun, menyebabkan
penurunan pembentukan angiotensin II. Penurunan pembentukan angiotensin II ini menurunkan
reabsorpsi natrium dan air oleh tubulus, sehingga meningkatkan ekskresi natrium dan air oleh
ginjal. Hasil akhirnya adalah memperkecil peningkatan volume cairan ekstrasel dan tekanan
arteri yang akan terjadi bila asupan natrium meningkat. Penurunan pembentukan angiotensin II
mengurangi pembentukan aldosteron sehingga menurunkan reabsorpsi tubulus, dan membuat
ginjal mengekskresikan natrium dalam jumlah yang lebih besar.
Sebaliknya, bila asupan natrium menurun di bawah normal, peningkatan kadar
angiotensin II menyebabkan retensi natrium dan air, dan menghindari penurunan tekanan darah
arteri. Peningkatan kadar angiotensin II juga merangsang peningkatan sekresi aldosteron, yang
kemudian membantu untuk menurunkan ekskresi natrium dalam urin.
Jadi, sistem renin angiotensin merupakan mekanisme umpan balik otomatis yang
membantu mempertahankan tekanan arteri pada nilai normal atau yang mendekati nilai normal
apabila asupan garam meningkat atau apabila asupan garam menurun hingga di bawah normal,
akan terjadi efek yang berlawanan.6

Anda mungkin juga menyukai