Anda di halaman 1dari 7

B.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh

Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan

atau mukosa.

KLASIFIKASI

Berdasarkan kasus

Suspected case

Orang dengan gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis atau kombinasinya disertai

demam tidak tinggi dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah

berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi

Probable case

Orang dengan suspected case ditambah dengan salah satu gejala berikut:

- Kontak dalam waktu <2 minggu dengan kasus confirmed

- Imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster

- Berada di daerah endemis difteri

- Stridor

- Pembengkakan/edema leher

- Perdarahan submukosa atau ptekie di kulit

- Toxic circulatory collapse


- Insufisiensi renal akut

- Miokarditis dan atau paralisis motorik 1-6 minggu awitan sakit

- Meninggal

Confirmed case

Sama dengan probable case plus:

- Isolasi strain toksigenik C. diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung, tenggorok, ulkus

kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina)

- Atau > 4x kenaikan serum antitoksin, tapi hanya bila kedua sampel serum diambil

sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri

Berdasarkan klinis

Atas dasar lokasi anatomis dan membran difteri:

a. Konjungtiva, telinga, vagina, anal

b. Tonsil, faring, laring, hidung, kulit

Menurut berat ringannya penyakit:

Ringan : nasal, kulit

Sedang : tonsil, faring

Berat : tonsil, faring (ada perluasan di luar tonsil), bullneck


2.2 EPIDEMIOLOGI

Difteria tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah perang

dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat penurunan mortalitas

yang berkisar antara 5-10%. Delapan puluh persen kasus terjadi dibawah 15 tahun, meskipun

demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status

imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, permukiman yang padat, nutrisi yang

jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.

Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi

tetesan) ketika batuk, bersin, atau berbicara. Muntahan/debu bisa merupakan wahana

penularan (vehicles of transmission). Jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak

775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun

menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia

sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada

tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang

terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah

Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun

2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota.


2.3 ETIOLOGI

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak,

pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pamanasan 60oC, tahan

dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan

palisade, bentuk L atau V atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina.

Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana tetapi lebih baik dalam media yang

mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia, C. diphteriae

dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan

cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa.

Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis, intermedius dan

mitis, namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang

bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan

mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheriae.

Ciri khas C. diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo

maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000

dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal)

dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk

membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa

diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
2.4 MORFOLOGI

Korinebakteria berdiameter 0,5 – 1 µm dan panjangnya beberapa mikrometer. Ciri khas

bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang

menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung)

secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan

zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk

seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel

atau membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam

biakan.

Anda mungkin juga menyukai