Anda di halaman 1dari 22

Bab 134 : Penyakit-penyakit Autoinflamasi Sistemik

KRIOPIRINOPATI (FCAS, MWS, NOMID)

Epidemiologi dan Etiologi

Spektrum kriopirinopati (cryopyrinopathies) termasuk (1) sindrom autoinflamasi familial


cold (familial cold autoinflammatory syndrome/FCAS), (2) sindrom Muckle-Wells (Muckle-
Wells syndrome/MWS), dan (3) penyakit inflamasi multisistem awitan-neonatal (neonatal-
onset multisystem inflammatory disease/NOMID), yang disebut juga sindrom neurologis,
kutaneus, dan artritis infantil kronik (chronic infantile neurologic, cutaneous, and
arthritis/CINCA). Ketiga kelainan klinis tersebut pada awalnya dideskripsikan sebagai suatu
kelainan yang berbeda, namun temuan bahwa kelainan familial FCAS dan MWS serta
penyakit sporadis NOMID/CINCA seluruhnya disebabkan oleh mutasi fungsi autsomal
dominan pada NLRP3, yang juga disebut NALP3, CIAS1 atau PYPAF menunjukkan bahwa
kelainan-kelainan itersebut membentuk suatu spektrum penyakit dengan FCAS pada bentuk
ringan dan NOMID pada bentuk paling parah dari spektrum.

Prevalensi CAPS diperkirakan antara 1 dan 2 pasien per 1.000.000 penduduk di Eropa
dan Amerika Serikat berdasarkan kasus yang diketahui di pusat studi yang mempelajari
pasien-pasien ini, namun penelitian epidemiologis aktual untuk menilai insidensi dan
prevalensi sejauh ini belum dilakukan.

Patogenesis

NLRP3/cias1 mengkode protein, kriopirin, yang termasuk sebagai molekul sensor intraseluler
(NOD-like receptor/NLR). Kriopirin dapat berkaitan dengan protein adaptor untuk
membentuk suatu kompleks multimolekuler yang disebut inflammasome NLRP3 yang
mengaktivasi caspase-1, suatu enzim yang membelah pro-IL-1β menjadi fragmen 17-kDa
aktif dari IL-1. Mutasi pada kriopirin menyebabkan suatu inflammasome yang over-reaktif
sehingga terjadi produksi IL-1 yang lebih banyak. Inflammasome dapat diaktivasi oleh
sejumlah pemicu yang berbeda termasuk pemicu bakteri dan pelepasan molekul selama jejas
sel atau kondisi stress (seperti adenosine triphosphate/ATP dan asam urat), yang
menyebabkan pembentukan dan aktivasi inflammasome NLRP3 dan aktivasi caspase-1, suatu
ensim yang membelah sitokin proinflamasi IL-1β menjadi bentuk aktifnya.
Temuan Klinis

Seluruh pasien CAPS datang dengan episode-episode demam, erupsi seperti urtikaria,
konjungtivitis (Gambar 134-1H), artralgia, dan elevasi pada reaktan fase-akut, namun
berbeda pada spektrum manifestasi penyakit yang multiorgan dan pada morbiditas dan
mortalitas jangka panjang. Pada pasien dengan episode FCAS pencetus biasanya berupa
paparan terhadap temperatur atau udara dingin dan muncul dengan demam, erupsi, nyeri
sendi, konjungtivitis, dan nyeri kepala. Episode tipikal terjadi selama 12-48 jam dan
kemudian membaik. Penyakit ini biasanya dimulai pada awal masa kanak-kanak.

Pasien dengan MWS atau NOMID biasanya datang dengan erupsi seperti urtikaria
pada saat lahir atau dalam beberapa jam dari kelahiran; namun demikian, pada beberapa
pasien gejala pertamanya dapat muncul kemudian. Pasien dengan MWS memiliki gejala yang
sama seperti demam, erupsi seperti urtikaria, nyeri sendi, konjungtivitis, dan nyeri kepala;
namun demikian, berkebalikan dengan pasien dengan FCAS, gejala-gejala ini dapat berlanjut
dan tidak dicetuskan oleh paparan dingin. Episkleritis dan edema diskus optikus jarang terjadi
pada FCAS namun tampak pada beberapa pasien Muckle-Wells, gangguan pendengaran
sensorineural biasanya muncul pada dekade kedua atau ketiga pada pasien MWS. Pasien
dengan NOMID/CINCA datang dengan fenotip yang paling parah. Biasanya presentasi
awalnya berupa sepsis neonatal yang muncul dengan demam, erupsi seperti urtikaria,
leukositosism dan peningkatan reaktan fase aktif bebrapa saat setelah kelahiran.
Pembengkakan sendi dan konjungtivitis dapat muncul pada saat lahir, namun biasanya dalam
bulan pertama kehidupan. Inflamasi sistem saraf pusat dengan leptomeningitis aseptik dan
pleositosis neutrofilik pada cairan serebrospinal sering terjadi. Anak dengan gejala yang
parah dapat mengalami hidrosefalus (Gambar 134-1J), atrofi otak, dan hendaya kognitif.
Pasien biasanya mengalami gangguan pendengaran sensorineural (Gambar 134-1I) pada
tahun pertama kehidupan akibat inflamasi koklea. Konjungtivitis, uveitis anterior dan
posterior, dan infiltrat subkornea dapat menyebabkan sikatrik retina, opasifikasi kornea, dan
kebutaan. Artralgia sering terjadi, artritis sesungguhnya pada kebanyakan kasus sangat
ringan, namun demikian antara 50% hingga 70% pasien dengan NOMID mengalami
karakteristik pertumbuhan tulang yang berlebihan pada epifisis tulang panjang. Epifisis yang
paling sering terlibat yaitu bagian distal dari femur dan proksimal tibi dari lutut, yang
seringkali menyebabkan deformitas sendi dan kontraktur. Ciri lain termasuk meningkatnya
penanda inflamasi, perawakan pendek, dan leukositosis.
Lesi Kutaneus

Seluruh pasien CPAS datang dengan erupsi seperti urtikaria. Pada kebanyakan kasus, erupsi
(Gambar 134-1A dan Gambar 134-1B) tidak gatal dan tidak berkaitan dengan sensasi
tertentu, namun sejumlah pasien mendeskripsikan erupsi seperti terbakar atau tersengat.
Erupsi kulit seringkali merupakan manifestasi penyakit yang pertama kali diperhatikan
khususnya pada kasus yang tidak terlalu parah dan biasanya dipertimbangkan sebagai alergi.
Erupsi seringkali muncul pada saat lahir atau berkembang dalam beberapa jam setelah
kelahiran namun pada pasien FCAS dapat pula ditemukan lebih lambat pada masa kanak-
kanak. Erupsi berpindah dan tidak membentuk sikatrik serta bervariasi keparahannya dari
hari ke hari dan dari pasien ke pasien. Pola livedoid atau marmorata kutis yang menetap,
sebagai tambahan terhadap lesi urtikaria yang hilang timbul, seringkali tampak pada pasien
yang lebih tua dengan penyakit yang teah lama. Manifestasi kutan lain dapat berupa telapak
dan jari tangan dan kaki yang lembut, kenyal (Gambar 134-1D), serta ujung jari yang
membulat (clubbing finger) (Gambar 134-1C), tanpa adanya bukti penyakit pulmonal.
Berkebalikan dengan urtikaria dingin familial dan didapat, tes dengan es balok negatif pada
pasien CAPS.

Dermatopatologi

Fitur histologis pada FCAS, MWS, dan NOMID sangat mirip dan didiskusikan bersamaan.
Secara histologis, epidermis pada CAPS biasanya tidak terdampak. Mungkin dapat terdappat
edema tingan dan papila dermis. Infiltrat neutrofilik inflamatorik perivaskular seringkali
muncul pada dermis superfisial dan middermis (Gambar 134-1E dan Gambar 134-1F), namun
demikian, tidak terdapat bukti kerusakan vaskuler atau vaskulitis sebenarnya dan jumlah dan
tampilan sel mast dalam batas normal. Kelenjar ekrin juga dikelilingi dan diinfiltrasi oleh
neutrofil (Gambar 134-1G). Temuan histologis dari urtikaria neutrofilik berkebalikan dengan
infiltrat limfositik dan eosinofilik yang tampak pada urtikaria klasik dan penting sebagai
petunjuk diagnosis CAPS.
Gambar 134-1.
CAPS/NOMID. (A)
Erupsi seperti urtikaria
pada pasien dengan
NOMID/MWS. (B)
Erupsi kulit seperti
urtikaria pada bayi
dengan NOMID/MWS.
(C) Clubbing fingers.
(D) Kerutan, kelebihan
kulit di sekeliling kuku
jari kaki dan jari kaki.
(E) Pada pembesaran
tampak adanya infiltrat
perivaskuler dan
periadneksal, meluas
dari dermis superfisial
ke middermis. (F)
Kapiler dermis
superfisial terdilatasi
dan dikelilingi
neutrofil.

(G) Kelenjar ekrin juga dikelilingi dan diinfiltrasi oleh neutrofil. (H) Konjungtivitis dan opasifikasi kornea
akibat infiltrat inflamatorik subkornea. (I) Gangguan pendengaran sensorineural khususnya pada frekuensi
tinggi. (J) Ventrikulomegali dan atrofi otak.
Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Khusus (Termasuk Pencitraan)

Bukti inflamsi sistemik ditandai dengan leukositosis, trombositosis, dan anemia ringan pada
penyakit kronis. Meningkatanya reaktan fase akut, C-reactive protein, laju endap darah dan
serum amiloid (SAA) sering teramati. Eosinofilia dapat muncul dan bervariasi. Pemeriksaan
yang teliti dari penyakit sistem saraf pusat diindikasikan pada NOMID/CINCA. Pungsi
lumbal dilaukan pada pasien dengan NOMID untuk mendiagnosis leptomeningitis dan untuk
memonitor tekanan intrakranial dan leukositosis, yang seringkali terdiri dari neutrofil, dan
peningkatan protein pada cairan serebrospinal ketika pasien dalam masa pengobatan. MRI
resolusi tinggi yang dikuatkan (enhanced) dengan gadolinium dapat memperlihatkan
penguatan gambar leptomeningeal dan koklear pada berbagai derajat pada pasien dengan
NOMID. Rontgen tulang panjang mengindikasikan lokasi lesi epifisial dan digunakan untuk
mengikuti pertumbuhan tulang yang berlebihan pasien NOMID dan MRI pada lesi individual
dapat membantu untuk menyingkirkan tumor tulang dan untuk membedakan adanya
inflamasi sinovial yang biasanya tidak mencolok dibandingkan dengan abnormalitas tulang
pada pasien NOMID.

Pemeriksaan genetik untuk mutasi NLRP3/CIAS1 mengkonfirmasi diagnosis.


Walaupun hampir semua pasien dengan FCAS dan MWS mutasi positif, hanya 50%-60%
dari pasien dengan NOMID memiliki garis turunan mutasi yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan genetik, sehingga, pemeriksaan genetik yang negatif tidak menyingkirkan
diagnosis CAPS.

Diagnosis Banding

Pada neonatus, diagnosis banding meliputi erupsi neonatal jinak, pasien NOMID dapat
memunculkan gejala lebih dramatis seperti pada sepsis neonatal atau infeksi “TORCH”
kongenital. Still’s disease, systemi-onset juvenil idiopathic arthritis (SoJIA), dan adult-onset
Still’s disease (AOSD) perlu dipertimbangkan pada diagnosis banding, meskipun seara
tipikal tidak muncul pada saat kelahiran. Pasien dengan FCAS sering didiagnosis dengan
alergi atau urtikaria dingin yang didapat. Lesi tulang pada pasien NOMID dapat menjadi
nyeri dan dapat menyerupai tumor tulang jinak atau ganas lainnya.

Komplikasi dan Prognosis/ Perjalan Penyakit

Sebagai tatalaksana dengan agen penghambat IL-1telah mengubah keluaran kelainan ini,
dengan prognosis yang berbeda secara signifikan pada pasien dengan CAPS yang diberikan
terapi tersebut dan yang tidak. Sebagai tambahan, spektrum prognosis CAPS bergantung
pada fenotip penyakit. Komplikasi terparah dari MWS yang tidak diterapi yaitu hilangnya
pendengaran dan munculnya anyloidosis hingga 30% pada kohort di Eropa. NOMID/CINCA
yang tidak diterapi menyebabkan hilang pendengaran awitan dini pada dekade pertama
kehiduppan, retardasi mental, hilangnya penglihatan secara progresif akibat atrodi saraf opti,
hidrosefalus, atrofi serebri, dan anak dengan pertumbuhan tulan yang sangat berlebihan dan
berkembangnya kontraktur sendi dapat memunculkan ketidaksesuaian panjan tungkai dan
disabilitas fisik yang parah.

Tatalaksana dan Pencegahan

Di samping heterogenitas klinisnya, seluruh pasien dengan FCAS, MWS, dan NOMID
berespon secara dramatis da tidak bervariasi dengan penghambat IL-1. Penelitian telah
menunjukkan efektivitas dari anakinra (Kineret©, rekombinan antagonis reseptor IL-1) dan
obat kerja panjang rilonacep (Arcalyst©, IL-1 trap, suatu fusi protein dari reseptor IL-1 dan
bagian Fc dari IgG) dan canakinumab (Ilaris©, IL-1β-blocking antibody) untuk tatalaksana
CAPS. Seluruh pasien menunjukkan peningkatan yang cepat pada parameter klinis dan
laboratoris dengan terapi.

Obat biasanya ditoleransi secara baik dan medikasi ini telah menjadi standar
pelayanan kondisi tersebut. Walaupun anakinra telah digunakan lebih lama untuk terapi
CAPS, rilonacept dana canakinumab telah dikembangkan dan saat ini diizinkan FDA untuk
tatalaksana FCAS dan MWS. Sejalan dengan observasi klinis pada keparahan penyakit yang
bervariasi pada FCAS, MWS, dan NOMID/CINCA, peningkatan dosis agen penghambat IL-
1 seperti anankira diperlukan untuk menontrol penyakit yang lebih parah. Biasanya, injeksi
subkutan anakinra pada 0,5-1,5mg/kg/hari cukup untuk menurunkan aktivitas penyakit pada
pasien FCAS. Namun demikian, pada pasien NOMID dosis ditingkatkan hingga 6mg/kg/hari
atau bahkan 10mg/kg/hari telah diberikan untuk mengontrol penyakit.

Resolusi gejala dan pencapaian remisi inflamatorik tidak hanya di darah namun juga
pada organ spesifik dengan terapi inhibitor Il-1 merupakan bukti konsep yang penting bahwa
inflamasi sistemik dan spesifik-organ pada penyakit ini bergantung pada IL-1β. Lesi
pertumbuhan tulang yang berkelanjutan cenderung tidak berkaitan dengan IL-1.
DEFISIENSI ANTAGONIS RESEPTOR IL-1

Defisiensi antagonis reseptor IL-1 (deficiency of the Il-1 receptor antagonist/ DIRA) ini
merupakan suatu kelainan autosomal resesif, yang terjadi akibat mutasi pada IL1RN pada
kromosom 2q14 yang mengkode antagonis reseptor IL-1, suatu regulator negatif dari reseptor
tipe 1 IL-1. Fitur kutantermasuk erupsi pustular/folikulitis, onikomadesis. Fitur ekstrakutan
termasuk osteomielitis aseptik dari tulang panjang, vertebra, rusuk, dan periosteitis tulang
panjang. Ciri dermatopatologi berupa neutrofil intraepidermal dan pustula neutrofilik, yang
ditanda dengan edema papila dermis dengan vesikulasi subepidermis, dan suatu infiltrat
inflamasi neutrofilik pada seluruh dermis dan subkutan superfisial. Perubahan berupa
vaskulitis biasanya tidak ada pada kebanyakan pasien. Terapi anti IL-1 dengan antagonis
reseptor IL-1 rekombinan anankira sangat efektif dan dapat menyelamatkan jiwa.

DEMAM MEDITERANIA FAMILIAL

Epidemiologi dan Etiologi

Demam mediterania familial (Familial Mediterranenan Fever/ FMF) merupakan suatu


penyakit autosomal resesif yang disebabkan oleh mutasi pada MEFV, suatu gen yang
mengkode protein , suatu gen yang mengkode protein pyrin. FMF merupakan penyakit yang
sangat umum pada populasi di sekitar Laut Mediterania. Gejala klinis dari FMF terjadi pada
kebanyakan pasien sebelum usia 20 sehingga diagnosis terutama dibuat oleh dokter spesialis
anak.

Temuan Klinis

FMF biasanya muncul dalam 1-3 hari setelah episode demam dengan serositis, yang biasanya
terdiri dari peritonitis steril, namun dapat pula pleuritis, artritis, dan erupsi. Serangan artritis
dapat berlangsung selama 1 minggu. Frekuensi serangan dapat bervariasi dari sekali
seminggu hingga sekali setiap beberapa tahun. Kelelahan fisik dan stres emosional dapat
menginduksi serangan, namun seringkali tidak terdapat pencetus yang jelas yang berkaitan
dengan awitan serangan. Pada bayi, khusunya anak-anak di bawah usia 2 tahun, demam saja
dapat menjadi gejala awal yang akan berlanjut menjadi gejala yang lebih spesifik dalam
waktu 3 tahun, yang dapat disertai komplikasi munculnya amiloidosis. Nyeri abdomen
merupakan temuan klinis paling sering kedua pada FMF, muncul pada beberapa waktu pada
lebih dari 90% pasien. peritonitis dapat menjadi parah dan menyerupai abdomen operatif
dengan dinding abdomen yang kaku, nyeri lepas, dan hilangnya bising usus. Tidak jarang,
pasien FMF memiliki riwayat laparoskopi eksplorasi nondiagnostik dan/atau laparotomi.
Efusi peritoneal yang sedikit dapat terlihat pada CT abdomen dan terdapat eksudat inflamasi.
Pleurisy juga sering terjadi dan biasanya unilateral. Suatu nyeri dada yang tajam, memburuk
pada inspirasi dan batuk, dapat memberikan petunjuk diagnosis.

Perikarditis simtomatik selama seranan dapat terjadi namun jarang, namun suatu
ekokardiogram yang menunjukkan efusi kecil yang secara klinis tidak signifikan dapat
muncul selama serangan.

Ciri klinis lain yang jarang dari FMF termasuk myalgia febril protraksi, yang
berlangsung selama 6 minggu, berupa episode nyeri otot yang hilang timbul, demam, dan
meningkatnya reaktan fase akut namun kadar CK yang normal. Inflamasi pada tunika
vaginalis, suatu sisa embriologis dari membran peritoneum, dapat menyebabkan nyeri
skrotum yang parah dan nekrosis testis iskemik, dan dapat pula muncul meningitis aseptik.

Lesi Kutan

Eritema erisipeloid merupakan karakteristik utama dari erupsi FMF, namun jarang muncul
pada isolasi. Lesi-lesi ini muncul pada tungkai bawah, biasanya di bawah lutut. Seringkali
berefek pada dorsum kaki dan pergelangan kaki serta ekstremitas bawah. Terdiri dari plak
eritem yang hangat, nyeri tekan, dan bengkak, diameter 10-15cm, dengan batas yang tegas
(Gambar 134-2A). Lesi dapat bilateral, yang dapat diinisiasi melalui jalan dalam jangka
panjang, dan menghilang dalam 24-48 jam. Manifestasi kutan lain dideskripsikan pada FMF
termasuk suatu efema lokalisata yang berefek pada tungkai atas atau bawah, wajah, atau
leher, dan nodul subkutan. Pada anak-anak, episode lesi purpura papula nonspesifik yang
tersebar dan episodik sering ditermukan pada wajah, ekstremitas, atau batang tubuh. Suatu
insidensi yang tinggi dari purpura vaskulitis, termasuk purpura Henoch-Schonlein, juga
ditemukan pada pasien FMF pada sejumlah serial kasus.
Gambar 134-2. FMF. (A) erupsi seperti erisipelas pada pergelangan kaki kanan memperlihatkan kulit yang
terdemarkasi tajam, bengkak, eritema cerah. (B) Histologi dari erupsi erisipeloid menunjukkan suatu infiltrat
inflamasi perivaskuler pada dermis superfisial.

Dermatopatologi

Biopsi dari erupsi kulit erisipeloid jarang dilaporkan; pada biopsi, suatu infiltrat inflamatorik
perivaskular dan interstisial, terdiri dari dominasi neutrofil dan limfosit di dermis, dengan
edema yang mencolok pada papila dermis dan dilatasi dari kapiler dermis superfisial.
Perubahan epidermis dapat termasuk hiperkeratosis ringan dan akantosis (Gambar 134-2B).
Pada satu serial kasus, pemeriksaan imunofluoresens direk menunjukkan deposisi
komplemen C3 pada dinding pembuluh darag dari pembuluh darah dermis superfisial pada
seluruh kasus dan deposisi fibrinogen dan IgM pada beberapa kasus.

Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Khusus

Selama serangan inflamatorik dengan penanda inflamasi non spesifik, kadar reaktan afse
akut, LED, CRP, dan SAA biasanya meningkat. Hipergamaglobulinemia ringan termasuk
peningkatan IgD, terutama pada pasien yang homozigot untuk mutasi M694V, dapat terlihat
selama dan di antara serangan. Di antara serangan demam, peningkata reaktan fase akut dapat
menetap, dan merupakan suatu temuan yang juga harus diobservasi pada karier heterozigot
pada mutasi. Mirip dengan banyak penyakit autoinflamasi, autoantibodi terhadap ANA, RF,
dan ANCA seringkali tidak ditemukan, yang pada awalnya mengarahkan pada hipotesis
bahwa kelainan ini disebablan oleh defek imun bawaan.
Diagnosis Banding

Pada pasien dengan peritonitis, apendisitis akut dapat dicurigai, namun demikian, resolusi
spontan demam merupakan suatu petunjuk diagnosis FMF. Angioedema herediter dapat
muncul dengan nyeri abdomen namun biasanya tidak menyebabkan demam. Hipertensi dan
suatu pola inheritans dominan membantu untuk membedakan porfiria dari FMF pada pasein
dengan nyeri abdomen dan demam. Pada anak-anak, systemic-onset juvenile idiopathic
arthritis (SOJIA) merupakan suatu pertimbangan, namun demikian, adanya erupsi yang jelas,
pola demam kuotidian, limfadenopati, dan poliartritis dan ketiadaan nyeri abdomen mengarah
pada SOJIA. FMF perlu dibedakan dari kelainan demam familial lainnya.

Komplikasi dan Prognosis/ Perjalanan Klinis

Komplikasi yang parah dan paling sering terjadi dari FMF yaitu meunculnya AA amiloidosis.
Sebelum penggunaan kolkisin, gagal ginjal sekunder akibat amiloidosis merupakan penyebab
kematian paling umum pada pasien dengan FMF. Amiloidosis yang didapat pada pasien
dengan kondisi inflamatorik, termasuk FMF, disebabkan oleh deposisi dari produk degradasi
SAA, yang merupakan reaktan fase akut yang dilepas selama inflamasi oleh liver. Walaupun
AA amiloid terdeposit di ginjal, namun saluran gastrointestinal, paru-paru, testis, dan kelenjar
adrenal dapat pula terkena efeknya, namun keterlibatan ginjal biasanya mendominasi
perjalanan klinis. Amiloidosis biasanya muncul pada pasien dengan suatu riwayat jangka
panjang serangan febril, dan jarang sebagai manifestasi pertama dari FMF.

Seluruh pasien FMF harus dimonitor untuk perkembangan amiloidosis dengna


munculnya proteinuria di antara serangan febrl. Gagal ginjal biasanya muncul 3-5 tahun
setelah serangan proteinuri. Kadar SAA merupakan pengukuran yang sensitif untuk
memprediksi progresi disfungsi renal pada pasien dengan amiloidosis dan tujuan terapi harus
berupa normalisasi kadar SAA atau menurunkannya hingga setidaknya di bawah 10mg per
liter.

Faktor risiko untuk perkembangan amiloidosis dievaluasi dalam suatu survei yang
mengumpulkan data dari 14 negara pada kasus FMF yang terkonfirmasi secara genetik.
Prevalensi amiloidosis renal pada pasien-pasien tersebut sebesar 11,4%. Negara yang
direkrut, negara-negara Armenia, Turki, dan Arab, menunjukkan risiko tertinggi amiloidosis
akibat homozigositas untuk M694V. Laju mortalitas bayi, yang dapat digunakan sebagai
indikator proksi yang sensitif untuk kesehatan dan higienitas populasi, berkorelasi dengan
risiko amiloidosis, menunjukkan suatu dampak lingkungan pada perkembangan amiloidosis.
Data-data tersebut diperkuat dengan fakta bahwa seeprtiga pasien yang tinggal di negara
dengan risiko amiloidosis renal yang lebih rendah (Israel dan negara lain termasuk AS) yaitu
Arab, Turki, atau Armenia, yang merupakan kelompok etnis yang berasal dari negara
berisiko tingggi. Faktor lain yang berkaitan dengan risiko munculnya AA amiloidosis yaitu
varian alel pada gen SAA1 yang mengkode SAA. Perburukan deposit amiloid teramati pada
pasien dengan median 28mg per liter dan regresi deposit amiloid terlihat pada 60% pasien
dengan median konsentrasi SAA kurang dari 10mg per liter.

Tatalaksana dan Pencegahan

Antipiretik biasanya diberikan selama serangan febril akut untuk menurunkan demam dan
mencegah berkembangnya kejang demam. Kokisin merupakan terapi lini pertama dan sangat
efektif sebagai terapi pada kebanyakan pasien untuk mencegah amiloidosis. Penggunaan
harian kolkisin memberikan remisi yang hampir lengkap pada tiga perempat pasien pasien,
dengan 95% menyatakan perbaikan yang signifikan. Akhir-akhir ini, diketahui terdapat
kemiripan antara pasien simtomatik yang mempersentasikan dengan mutasi tunggal ataupun
ganda. Pasien dengan hanya satu mutasi namun penyakit tipikal memerlukan dan berespon
terhadap terapi dengan kolkisin. Dosisi kolkisin oral harian sebesar 1,2-1,8mg diperlukan
untuk memberikan efek klinis pada dewasa atau anak di atas 5 tahun, serta anak yang lebih
muda dapat diterapi dengan dosis yang lebih rendah. Umumnya, kolkisin menyebabkan diare,
namun titrasi dosis dengan peningkatan secara bertahap membantu untuk mengatasi masalah
ini. Kembung dan nyeri abdomen dapat pula diebabkan intoleransi laktosa yang mungkin
muncul pada pasien dengan terapi kolkisin. Pasien yang tua atau dengan gangguan ginjal
yang diberikan terapi kolkisin dapat mengalami myopati atau neuropati. Pada pasien dengan
penyakit yang menetap, IL-1 dan terapi TNF-blocking digunakan untuk mengatasi penyakit.

HIPERIMUNOGLOBULINEMIA D DENGAN SINDROM DEMAM PERIODIK DAN


MEVALONATE ACIDURIA

Epidemiologi dan Etiologi

Hiperimunoglobulinemia D dengan sindrom demam periodik (hyperimmunoglobulinemia D


with periodic fever syndrome/HIDS) dan mevalonate aciduria (MA) merupakan kelainan
autosomal resesif yang disebabkan oleh mutasi MVK, gen yang mengkode mevalonat kinase
suatu enzim yang terlibbat dalam biosintesis kolesterol dan isoprenoid. Penemuan bahwa
HIDS disebabkan oleh mutasi gen mevalonat kinase mengantarkan pada pengenalan bahwa
MA, suatu kelainan metabolik klasik yang sebelumnya diasosiasikan dengan mutasi
autosomal resesif pada MVK, merupakan kelainan yang sangat mirip sepanjang spektrum
keparahan dengan HIDS pada sisi yang lebih ringan dan MA pada sisi yang paling parah.
Kebanyakan pasien dengan HIDS merupakan keturunan Eropa Barat (khususnya Belanda dan
Perancis).

Mutasi HIDS terdistribusi sepanjang regio penggkodean pada gen MVK,


berkebalikan dengan mutasi yang menyebabkan MA, dimana terkelompok antara asam amino
243 dan 334. Kebanyakan pasien membawa dua mutasi missens dan V377I yang merupakan
mutasi yang paling sering pada pasien dengan HIDS, diikuti mutasi I26888T, kedua mutasi
tersebut terjadi sebesar 65%-80% dari kasus-kasus pada dua serial kasus, termasuk kohort
terkini dari 103 pasien yang terkonfirmasi secara genetik. Rasio laki-laki:perempuan yaitu
1,5:1 dan prevalensi penyakit tidak diketahui.

Patogenesis

Aktivitas mevalonat kinase, enzim yang mengkatalisis tahap pertama dari metabolisme
mevalonat, dapat diperiksa pada fibroblas, limfosit, dan limfoblas pasien. fungsi enzim
residual berkaitan dengan keparahan fenotip klinis. Pada kebanyakan pasien dengan MA,
aktivitas enzim lebih rendah dari kadar deteksi, sedangkan pasien dengan fenotip HIDS
masih memiliki aktivitas enzim mevalonat kinase residual antara 1% dan 8% yang diukur
pada kontrol normal. Metabolik asam mevalonat berakumulasi pada kadar yang lebih tinggi
ada plasma, urin, dan jaringan pada pasien dengan fenotip MA dan ketiadaan fungsi enzim
dan pada aktivitas enzim yang meningkat rendah hingga sedang pada pasien dengan HIDS
dan aktivitas enzim residual. Selama serangan febril, aktivitas MVK pada sel darah
mononuklear pasien HIDS menurun dua hingga delapan kali lipat, yang menunjukkan bahwa
elevasi minor pada tempertur tubuh dapat memicu serangkaian kejadian, yang mengarah pada
defisiensi sementara dari produk-produk yang tidak dapat diproduksi akibat enzim terhambat.
Mevalonat kinase merupakan tahap pembatasan laju pada pengubahan dari mevalonat
menjadi mevalonat fosfat dan produk akhir dari jalur ini termasuk kolesterol dan sejummlah
isoprenoid, molekul yang berpartisipasi pada proses seluler yang berkaiyan dengan
pertumbuhan sel dan diferensiasi, fungsi sitoskeletal, dan pengantaran vesikel. Pada darah
tepi, sel-sel monomuklear dari pasien dengan HIDS namun tidak berasal dari kontrol normal,
dan pemendekan produk akhir isoprenoid, namun tidak melebihi mevalonat, berkontribusi
pada peningkatan produksi IL-1β. Sekresi IL-1 dapat diturunkan dengan penambahan
geranylgeranyl, menunjukkan bahwa isoprenoid memiliki peran antiinflamasi dan kurangnya
produksi selama serangan lebih lanjut akan memunculkan penyakit.

Temuan Klinis

Median awitan penyakit yaitu antara minggu pertama kehidupan hingga 10 tahun. Episode
mungkin terjadi sekali atau dua kali per bulan dan biasanya berakhir dalam 3-7 hari. Gejala
prodormal seperti lemas, sakit kepala, dan menggigil ditemukan pada dua pertiga pasien.
Peningkatan temperatur secara cepat seringkali melebihi 40o, biasanya mengikuti kejadian
tersebut. Pada 63% kasus, vaksinasi masa kanak-kanan menginduksi serangan pertama,
pemicu nonspesifik lainnya yaitu stres fisik dan emosional. Limfadenopati yng nyeri
menyertai demam pada 90% pasien. limfadenopati aksilar dan inguinal tidak terlalu sering
terjadi dan splenomegali terjadi pada sepertiga pasien. gejala gastrointestinal termasuk nyeri
abdomen, muntah, dan/atau diare, terdapat pada lebih dari 90% pasien, dan keparahan
mungkin mmerlukan operasi eksplorasi, yang mengarahkan pada penemuan adesi residual
daari episode peritonitis aseptik sebelumnya. Gejala artikular tampak pada lebih dari 80%
pasien, dan biasanya mengenai sendi besar dan sendi metakarpofalang serta interfalang
proksimal dari tangan. Serupa dengan HIDS, pasien denan MA mengalami episode febril dan
inflamasi sistemik, namun ciri lain termasuk failure to thrive yang parah, limfadenopati,
keterlambatan perkembangan, anemia, hepatosplenomegali, katarak sentralis, dan wajah
dismorfik (mikrosefal), ataksia serebri, termasuk pula diare dan malabsorbsi.

Lesi kutan

Dua pertiga pasien dengan HIDS memiliki erupsi dengan demam. Makula, papula, nodul
eritemdengan diameter antara 0,5 hingga 2 cm, yang dapat mejadi konfluen atau soliter pada
distribusinya, sering tampak selama serangan (Gambar 134-3). Ulkus aftosa oral dengan atau
tanpa lesi genital terjadi pada 48,5% pasien dan dapat menyerupai penyakit Bachet’s. MA
jauh lebih parah dibanding HIDS, namun manifestasi kutannya mirip.
Gambar 134-3. HIDS. Makula dan papula eritem terdistribsi di seluruh telapak tangan, lengan, kaki, dan batang
tubuh (tidak ditunjukkan) selama serangan dari hiperimunoglobulinemia D dengan sindroma demam periodik
(HIDS).

Dermatopatologi

Biopsi pada kulit yang berlesi menunjukkan adanya infiltrat inflamatorik perivaskuler
neutrofilik atau limfositik dngan sedikit leukositoklasis dan perubahan fibrinoid dinding
pembuluh darah, konsisten dengan vaskulitis leukositoklasis. Deposit IgD dan C3
perivaskuler dengan pola pewarnaan granular dapat dideteksi pada pemeriksaan
imunofluoresens direk dari biopsi kulit pada sejumlah pasien. temuan seperti sindrom-Sweet
atau seperti selulitis dan vaskulitis dalam juga dilaporkan. Eritema elevatum diutinum telah
dilaporkan berasosisasi dengan HIDS.

Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Khusus

Diagnosis HIDS biasanya dicurigai secara klinis, namun diagnosis definitifnya dibuat melalui
pemeriksaan genetik. Selama serangan, pasien biasanya pasien biasanya mengalami
peningkatan reaktan fase akut. Kebanyakan pasien memiliki peningkatan kadar serum IgD
secara menetap (>100 U/ml), dan pada 82% kasus kadar serum IgA juga meningkat dengan
konsentrasi median IgD sebesar 400 U/ml. di antara serangan beberapa pasien berlanjut
mengalami peningkatan reaktan fase akut. Walaupun elevasi IgD tidak spesifik untuk HIDS
dan dapat menjadi normal pada kasus-kasus yang terbukti secara genetik, hal ini seringkali
menjadi petunjuk yang membantu dalam mempertimbangkan diagnosis.
Diagnosis Banding

Diagnosis HIDS sringkali tertunda dengan median 9,9 tahun setelah awitan gejala. Diagnosis
banding termasuk bentuk lain dari sindroma demam herediter termasuk FMF. Namun
demikian, FMF tidak muncul dengan limfadenopati atau ulkus oral dan serangan HIDS tidak
berespon dengan kolkisin. Pada pasien dengan ulkus oral dan genital yang parah, penyakit
dapat menyerupai penyakit Bachet’s. Kekeliruan diagnosis lainnya termasuk penyakit Still’s
awitan-dewasa, artritis idiopatik juvenil, demam rematik, dan infeksi kronis. Defisiensi MVK
dapat menyerupai infeksi kongenital, sindrom myelodisplastik, atau leukemia kronis, dan
menekankan pentingnya mempertimbangkan diagnosis banding yang luas pada pasien
dengan abnormalitas hematologis.

Komplikasi dan Prognosis/ Perjalanan Penyakit

Konsekuensi jangka panjang dari penyakit yang tidak diterapi secara adekuat termasuk
amiloidosis pada kurang dari 3%, kontraktur sendi, adhesi abdomen pada ~10%. Anak
sekolah dengan HIDS melewatkan lebih banyak waktu sekolah dan dewasa memeiliki angka
keluar kerja yang lebih tinggi derta angka pengangguran yang lebih tinggi dibanding dengan
populasi kontrol.

Tatalaksana dan Pencegahan

OAINS diberikan untuk demam dan artralgia. Kortikosteroid jangka pendek dapat efektif
pada sejumlah pasien, namun kolkisin tidak efektif. Berdasarkan perkiraan bahwa akumulasi
mevalonat patogenik, simvastatin, suatu inhibitor HMG-CoA reduktase, diberikan untuk
enam pasien, dimana lima di antaranya mengalami penurunan hari demam yangtidak
signifikan secara statistik. Pada 80% pasien yang mendapat terapi antisitokin baik dengan
anti-IL-1 atau agen anti-TNF, teramati adanya keuntungan. Satu pasien dengan MAA parah
diterapi dengan transplantasi sumsum tulang allogenik dan mengalami remisi inflamasi
secara lengkap.
ARTRITIS PYOGENIK, PYODERMA GANGRENOSUM, DAN SINDROM
JERAWAT

Epidemiologi dan Etiologi

Sindroma artritis pyogenik, pyoderma gangrenosum dan jerawat sistik (pyogenic arthritis,
pyoderma gangrenosum and cyctic acne syndrome/ PAPA) merupakan kelainan autosomal
dominan yang sangat jarang yang ditandai dengan artritis pyogenik, pyoderma gangrenosum
dan jerawat sistik, yang disebabkan oleh mutasi pada gen CD2BP1, suatu gen pada
kromosom 15q24.

Patogenesis

Sindrom PAPA disebabkan oleh mutasi CD2BP1 yang mengkode proline-serine-threonine-


phosphatase-interacting protein 1 (PSTPIP1). PSTPIP1 mengalami fosforilasi oleh PTP-
PEST, suatu protein tirosin fosfatase. Pada bentuk terfosforilasi, PSTPIP1 tidak dapat
berikatan dengan pyrin. Mutasi pada PSTPIP1 mencegah fosforilasinya dan menyebabkan
pengikatan yang lebih lama terhadap pyrin. Dihipotesiskan bahwa mutasi pada gen CD2BP1
menghasilkan produsi hiperfosforilasi protein yang berikatan secara berlebihan dengan pyrin,
dan bahwa kompleks PSTPIP1/pyrin mencegah fungsi inhibisi pyrin pada inflammasome
NLRP2, yang akan meningkatkan produksi IL-1β dan inflamasi.

Temuan Klinis

Manifestasi klinis kelainan ini termasuk pyoderma gangrenosum, jerawat sistik, dan artritis
pyogenik steril. Artritis pertama kali muncul pada dekade pertama kehidupan dan mungkin
dipicu oleh episode trauma ringan, artritis dapat menjadi destruktif secara progresif. Lesi
pyoderma gangrenosum sering terjadi pada lokasi jejas. Jerawat nodulosiik dapat
menyebabkan sikatrik jika tidak diterapi. Artritis steril berulang biasanya terjadi setelah
trauma minor, namun dapat pula terjadi secara spontan. Serangan PAPA dapat membaik
dengan sendirinya atau kronik, yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan sendi dan
deformitas sendi.

Lesi Kutan

Manifestasi dermatologis termsuk pyoderma gangrenosum (Gambar 134-4A) dan jerawat


konglobata (jerawat nodulosistik wajah dan batang tubuh) (Gambar 134-4B). Jerawat dimulai
pada masa anak-anak atau remaja dan menetap hingga dewasa. Lesi pyoderma gangrenosusm
diawali sebagai nodul pada kaki, yang kemudian menjadi ulkus yang sulit sembuh dengan
tepi menggulung.

Gambar 134-4. PAPA. (A) lengan bawah pasien dengan artritis pyogenik dengn pyoderma gangrenosum dan
sindroma jerawat (PAPA) yang menunjukkan suatu ulkus yang besar dengan jaringan granulasi dan eksudat
purulen pada dasar dan dengan tepi eritem yang agak terelevasi, tipikal untuk pyoderma gangrenosum. (B)
Jerawat sistik parah dengan sikatrik pada pasien dengan sindrom PAPA.

Dermatopatologi

Biopsi pada kulit yang mengalami lesi pyoderma gangrenosum menunjukkan adanya
dominasi infiltrat inflamatorik neutrofilik pada dermis dan ulserasi superfisial. Biopsi dari
jerawat konglobata ditandai dengan adanya terowongan dan abses yang saling berhubungan
serta sikatrik.

Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Khusus

Peninggian reaktan fase akut tampak selama serangan akut dan secara menetap dapat
ditemukan pada pasien dengan lesi yang lebih kronis. Diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan genetik. Kultur kulit dan lesi sendi dari pasien-pasien tersebut steril.

Diagnosis Banding

Pyoderma gangrenosum merupakan suatu diagnosis klinis yang ditegakkan setelah


menyingkirkan penyebab lain dari ulkuss seperti infeksi. Perbedaan secara histologis untuk
pyogenik granuloma mungkin termasuk penyebab infeksi dari abses dan penyakit lain dengan
neutrofil pada dermis, seperti sindroma Sweet.
Tatalaksana dan Pencegahan

Tatalaksana pyoderma gangrenosum menantang karena tidak berespon terhadap antibiotik


dan hanya berespon secara parsial terhadap glukokortikoid sistemik dan terapi imunosupresif.
Tatalaksana dengan infliksimab atau anakinra telah terbukti efektif dalam terapi kulit dan
temuan sendi pada pasien-pasien ini.

SINDROMA PERIODIK TERASOSIASI-RESEPTOR TNF

Epidemiologi dan Etiologi

Sindroma periodik terasosiasi-reseptor TNF (TNF receptor-associated periodic syndrome/


TRAPS) merupakan suatu penyakit autosomal dominan yang diturunkan akibat mutasi pada
TNFRSF1A, gen yang berlokasi di kromosom 12p13 yang mengkode reseptor 1 TNF 55-kDa.
Insidensi yang dilaporkan yaitu 5,6 per 10.000.000 orang per tahun. Rasio laki-laki dibanding
perempuan yakni 1,5:1.

Patogenesis

Lebih dari 50 mutasi pada TNFRS1A dideskripsikan pada pasien dengan penyakit klinis.
Kebanyakan yaitu berupa mutasi missens, yang menyebabkan substitusi sistein pada domain
ekstraselular dari reseptor TNF. Mutasi menyebabkan hilannya residu sistein yang
berkorelasi dengan penyakit yang secara klinis lebih parah dan risiko amiloidosis yang lebih
tinggi.

Kebanyakan mutasi adalah mutasi misens nukleotida tunggal yang terjadi di dalam
ekson 2, 3, dan 4. Reseptor TNF tipe 1 atau reseptor p55 diekspresikan pada leukosit dan sel-
sel endotel. Domain ekstraseluler dari reseptor terdiri dari empat domain kayak sistein
(cysteine rich domains/ CRD), yang masing-masing mengandung enam sistein residu yang
membentuk tiga intadomain jembatan disulfida pada tiap CRD. Hampir seluruh mutasi
TRAPS ditemukan pada dua CDR pertama pada regio terminal-N dari reseptor. Interpretasi
dari substitusi pada TNFRS1A lebih sulit, karena beberapa substitusi seperti pada varian
P46L terjadi pada populasi Afrika Barat, yang menunjukkan bahwa varian padap populasi ini
menunjukkan suatu polimorfisme dibandingkan suatu mutasi yang menyebabkan penyakit.
Adanya varian TNFRS1A, R92Q, tidak berkorelasi dengna fenotip TRAPS, walaupun
berasosiasi dengan gejala inflamasi klinis heterogen yang mungkin memperlihatkan spektrum
klinis yang lebih luas dari kelainan inflamatorik. Walaupun defek genetik telah diketahui,
mekanisme patogenesis penyakit belum diketahui sepenuhnya. Pada beberapa pasien,
tertundanya pembelahan reseptor TNF mungkin berperan dalam peningkatan persinyalan
melalui reseptor TNF; namun demikian, mayoritas pasien tidak memiliki defek pengelupasan
reseptor yang memungkinkan adanya jalur lain. Menariknya, kebanyakan mutasi pada
reseptor TNF berefek pada pelipatan reseptor, yang menghasilkan retensi dan kesalahan
pelipatan kompleks reseptor TNF pada retikulum endoplasma dan hanya terdapat reseptor
tipe-liar pada permukaan sel. Fenomena ini diketahui pada suatu model tikus yang
mengkorfimasi bahwa reseptor TNFR1 mutan tidak lagi teroligomerisasi dengan molekul
reseptor tipe-liar namun membentuk homooligomer yang terkait-disulfida yang dapat
mengukat TNF dengan afinitas tinggi namun tidak pada permukaan sel. Reseptor mutan
terakumulasi pada retikulum endoplasma sel dan stimulasi LPS dari sel-sel ini memicu
peningkatan aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPKs) dan sekresi sitokin
proinflamasi saat terstimulasi dengan komponen dinding sel bakteri, lipopolisakarida (LPS).
Adanya reseptor TNF yang utuh pada permukaan sel diperlukan pada model ini untuk
membentuk suatu lengkung autokrin antara persinyalan TNFR1 termutasi pada retikulum
endoplasma dan reseptor TNF tipe-liar pada permukaan sel yang menerima suatu sinyal TNF.
Temuan ini memberikan alasan rasional mengenai penyakit yang diturunkan secara
autosomal dominan dan juga memberikan penjelasan berdasarkan respon parsial terhadap
hambatan.

Sitokin juga memiliki dampak pada penyakit. Pasien dengan TRAPS memiliki
aktivasi NF-KB yang meningkat, molekul utama persinyalan dalam sekresi molekul
proinflamasi. Beberapa pasien TRAPS memiliki respon inflamasi yang berlebihan sebagai
respon terapi dengan infliximab.

Temuan Klinis

Lebih dari 80% pasien datang dengan erupsi kulit selama serangan. Pasien sering datang
dengan edema periorbital (Gambar 134-5A). karakteristik manifestasi kutan yaitu patch
eritem yang bermigrasi secara sentrifugal, dari perifer ke bagian sentral tubuh (Gambar 134-
5B dan 134-5C). Gejala ekstrakutan lain termasuk demam, myalgia, serositis, konjungtivitis,
dan artritis. Jaringan di atas area myalgia lokal seringkali nyeri tekan, hangat, dan eritem
yang memucat dengan tekanan. Beberapa pasien mengalami eritema difus pada pipi dan
makula konfluen berwarna merah muda-salmon dan papula atau eritema pada dada,
abdomen, dan ekstremitas. Temuan histopatologi relatif tidak spesifik.

Gambar 134-5. TRAPS. (A) Suatu patch anular


dengan tepi eritem pada regio inguinal pasien
dengan TNFR-terasosiasi sindrom periodik
(TRAPS). (B) Erupsi eritem migratorik pada
kakai pasien dengan TRAPS. (C) Pewarnaan
H&E oada biopsi ginjal pada pasien TRAPS yang
menunjukkan deposisi material eosinofilik
homogen pada glomerulus dan membran basal
arteriolar. (D) Potongan terwarnai Congo merah
menunjukkan deposisi homogen, material
terwarnai-oranye di glomerulus dan membran
basal arteriolar, mengkonfirmasi diagnosis
amiloidosis. (E) ketika suatu potongan terwarnai
Congo merah dilihat menggunakan mikroskop
cahaya terpolarisasi, deposit amiloid
menunjukkan suatu gambaran “apel hijau”,
mengkonfirmasi diagnosis amiloidosis.
Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Khusus

Elevasi reaktan fase akut tampak selama serangan akut, termasuk elevasi laju endap darah,
CRP, haptoglobin, fibrnogen, dan ferritin. Anemia penyakit kronis terlihat pada pasien
dengan peningkatan jangka panjang reaktan fase akut dan kebanyakan pasien memunculkan
gamopati poliklonal. MRI dari kelompok otot yang terefek memunculkan area fokal edema
pada kompartemen muskular yang terpisah dan septum myalgia intramuskular. Seperti
tampak pada penyakit dengan penyakit lain, autoantibodi, termasuk antibodi antinuklear dan
faktor rematik, biasanya negatif.

Diagnosis Banding

TRAPS dapat menyerupai kelainan autoinflamasi lainnya dan diagnosis perlu dibuat melalui
pemeriksaan genetik. TRAPS dapat juga menyerupai SOJIA atau AOSD, namun karakteristik
erupsi eritema bermigrasi dengan myalgia dan edema periorbital yang terlihat pada TRAPS
tidak terlihat pada SOJIA atau AOSD. Pola demam kuotidian tampak pada SOJIA/AOSD
juga terlihat pada TRAPS.

Komplikasi dan Prognosis/ Perjalanan Klinis

Sama dengan deskripsi pada FMF, AA amiloid sistemik dan perkembangan gagal ginjal
merupakan komplikasi TRAPS yang terparah (Gambar 134-5D-134-5F). seperti pada FMF,
seluruh pasien, khususnya dengan mutasi sistein, perlu dimonitor ketat untuk perkembangan
protinuria. Mayoritas pasien dengan keterlibatan ginjal mengalami sindrom nefritik dan gagal
ginjal.

Amiloidosis umum pada keluarga dengan mutasi C30R, C52F, dan C88R dan pasien
tidak umum pada pasien dari keluarga dengan mutasi C33Y, T50M, dan C88R.

Tatalaksana dan Pencegahan

Obat antiinflamasi nonsteroid mungkin mencukupo untuk mengatasi serangan ringan.


Kortikosteroid menurunkan serangan, namun perlunya steroid mungkin meningkat seiring
berjalannya waktu dan berasosiasi dengan efek samping. Kolkisin tidak efektif dalam terapi
gejala TRAPS maupun pencegahan amiloidosis. Etanercept, protein fusi reseptor p75 TNF,
menunjukkan adanya respon klinis yang sesuai. Pada pasien yang berisiko amiloidosis, dosis
terapi antisitokin yang sesuai untuk menurunkan kadar SAA dalam suatu usaha untuk
mencegah perkembangan amiloidosis diindikasikan. Anankira teah dilaporkan secara sukses
digunakan untuk beberapa kasus resisten terapi dan sering dipertimbangkan sebelum
mmenggunakan agen TNF.

ARTRITIS GRANULOMA PEDIATRIK

Kelainan ini merupakan suatu kelainan autosomal dominan yang sangat jarang, artritis
granuloma pediatrik (Pediatric granulomatous arthritis/ PGA) termasuk ke dalam kelainan
familial sindroma Blau dan bentuk sporadisnya disebabkan oleh mutasi de ovo sarkoidosis
awitan dini. PGA terjadi akibat mutasi pada NOD2, pada kromosom 16q12, yang mengkode
protein yang termasuk ke dalam keluarga reseptor NACHT-leurine-rich repeat (LRR). Tanda-
tanda kutan antara lain “sarkoidosis” kutan awitan-dini dengan erupsi kulit generalisata.
Tanda ekstrakutan meliputi artritis dan uveitis berulang. Dermatopatologi ditandai dengan
granuloma yang tidak ternekrosis yang terdemarkasi baik. Terapi termasuk metrotrksat,
OAINS, dan terapi anti-TNF dan anti-IL-1.

SINDROM MAJEED

Merupakan suatu kelainan autoinflamasi autosomal resesif, yang disebabkan mutasi LPIN2
pada kromosom 18p, mengkode protein lipin-2. Tanda-tanda kutantermsauk suatu dermatosis
neutrofilik yang terlihat pada sindrom Sweet. Tanda ekstrakutan termasuk chronic reccurent
multifocal osteomyelitis (CRMO) awitan-dini dan congenital dyserythropoietic anemia
(CDA).

EARLY-ONSET INFLAMMATORY BOWEL DISEASE (IBD)

Kelainan autosomal resesif yang sangat jarang akibat mutasi pada IL10RA pada kromosom
11q23, atau pada IL10RB pada kromosom 21q22, yang mengkode reseptor IL-10. Tanda
kutan dapat meliputi folikulitis awitan dini, fistula enterokutan, abses perianal, dan fistula
anokutan. Tanda ekstrakutan mendominasi pada awitan dini, sebelum usia 1 tahun dari
enterokolitis awitan dini. Terapi dapat mengggunakan kortikosteroid, NSAID, azatioprin,
agen anti-TNF, dan pada kasus yang parah dengan transplantasi sumsum tulang.

Anda mungkin juga menyukai