Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A
Pada awal gerakan tiga A dikenalkan kepada masyarakat Indonesia, terlihat bahwa
pemerintah Jepang berjanji bahwa saudara tuanya ini dapat mencium aroma kemerdekaan.
Pada awal-awal gerakannya, pemerintah militer jepang bersikap baik terhadap bangsa
Indonesia, tetapi akhirnya sikap baik itu berubah. Apa yang ditetapkan pemerintah Jepang
sebenarnya bukan untuk mencapai kemakmuran dan kemerdekaan Indonesia, melainkan demi
kepentingan pemerintahan jepang yang pada saat itu sedang menghadapi perang. Tetapi
setelah pemerintahan jepang mengetahui betapa besar pengharapan akan sebuah
kemerdekaan, maka mulai dibuat propaganda – propaganda yang terlihat seolah-olah Jepang
memihak pada kepentingan bangsa Indonesia. Dalam menjalankam aksinya, Jepang berusaha
untuk bekerja sama dengan paea pemimpin bangsa Indonesia ( bersikap Kooperatif ). Cara ini
digunakan agar para pemimpin nasional dapat merekrut massa dengan mudah dan
pemerintahan jepang dapat mengawasi kinerja para pemimpin bangsa.
Tetapi gerakan Tiga A tidak bertahan lama, hal ini dikarenakan kurang mendapat
simpati dikalangan masyarakat Indonesia. sebagai penggantinya, pemerintah Jepang
menawarkan kerjasama kepada tokoh-tokoh nasional bangsa Indonesia. Dengan kerjasama ini
pemimpin-pemimpin Indonesia yang ditahan dapat dibebaskan, diantaranya Ir. Soekarno,
Drs. Moch. Hatta, Sutan Syahrir dan lain-lain.
Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) Tawaran kerja sama yang ditawarkan pemerintahan
Jepang pada masa itu, disambut hangat oleh para pemimpin bangsa. Sebab menurut perkiraan
mereka, suatu kerja sama di dalam situasi perang adalah cara terbaik. Pada masa ini, muncul
empat tokoh nasionalis yang dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, mereka adalah Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hattta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Empat tokoh
nasionalis ini lalu membentuk sebuah gerakan baru yang dinamakan Pusat Tenaga Rakyat
(Putera). Putera resmi didirikan pada tanggal 16 April 1943. Gerakan yang didirikan atas
dasar prakarsa pemerintah Jepang ini bertujuan untuk membujuk kaum nasionalis sekuler dan
kaum intelektual agar dapat mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk usaha perang negara
Jepang. Gerakan ini ini tidak dibiayai pemerintahan Jepang. Walaupun demikian, pemimpin
bangsa ini mendapat kemudahan untuk menggunakan fasilitas Jepang yang ada di Indonesia,
seperti radio dan koran. Dengan cara ini, para pemimpin angsa dapat berkomunikasi secara
leluasa kepada rakyat. Sebab, pada masa ini radio umum sudah banyak yang masuk ke desa-
desa. Pada akhirnya, gerakan ini ternyata berhasil mempersiapkan mental masyarakat
Indonesia untuk menyambut kemerdekaan pada masa yang akan datang.
Seinendan Seinendan adalah organisasi semi militer yang didirikan pada tanggal 29
April 1943. Orang-orang yang boleh mengikuti organisasi ini adalah pemuda yang berumur
14-22 tahun. Tujuan didirikannya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda
agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan menggunakan tangan dan
kekuatannya sendiri. Tetapi, maksud terselubung diadakannya pendidikan dan pelatihannya
ini adalah guna mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan Jepang di Perang Asia
Timur Raya.
Fujinkai Fujinkai dibentuk pada bulan Agustus 1943. Organisasi ini bertugas untuk
mengerahkan tenaga perempuan turut serta dalam memperkuat pertahanan dengan cara
mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat berupa perhiasan, bahan makanan, hewan
ternak ataupun keperluan-keperluan lainnya yang digunakan untuk perang.
Heiho Anggota Heiho adalah para prajurit Indonesia yang ditempatkan pada
organisasi militer Jepang. Mereka yang tergabung di dalamnya adalah para pemuda yang
berusia 18-25 tahun.
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Golongan nasionalis Islam adalah golongan
yang sangat anti Barat, hal itu sesuai dengan apa yang diinginkan Jepang. Jepang berpikir
bahwa golongan ini adalah golongan yang mudah dirangkul. Untuk itu, sampai dengan bulan
Oktober 1943, Jepang masih mentoleransi berdirinya MIAI. Pada pertemuan antara pemuka
agama dan para gunseikan yang diwakili oleh Mayor Jenderal Ohazaki di Jakarta,
diadakanlah acara tukar pikiran. Hasil acara ini dinyatakan bahwa MIAI adalah organisasi
resmi umat Islam. Meskipun telah diterima sebagai organisasi yang resmi, tetapi MIAI harus
tetap mengubah asas dan tujuannya. Begitu pula kegiatannya pun dibatasi. Setelah pertemuan
ini, MIAI hanya diberi tugas untuk menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam dan
pembentukan Baitul Mal (Badan Amal). Ketika MIAI menjelma menjadi sebuah organisasi
yang besar maka para tokohnya mulai mendapat pengawasan, begitu pula tokoh MIAI yang
ada di desa-desa. Lama kelamaan Jepang berpikir bahwa MIAI tidak menguntungkan Jepang,
sehingga pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan, lalu diganti dengan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) dan dipimpin oleh K.H Hasyim Asy’ari, K.H Mas Mansyur,
K.H Farid Ma’ruf, K.H. Hasyim, Karto Sudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainul Arifin sejak
November 1943. Jika dilihat lebih saksama, secara politis pendudukan Jepang telah
mengubah beberapa hal, di antaranya sebagai berikut.
1. Berubahnya pola perjuangan para pemimpin Indonesia, yaitu dari perjuangan radikal
menuju perjuangan kooperatif (kerja sama). Hal ini dimanfaatkan oleh para pemimpin
Indonesia untuk membina mental rakyat. Misalnya melalui keterlibatan rakyat dalam
Putera dan Jawa Hokokai.
2. Berubahnya struktur birokrasi, yaitu dengan membagi wilayah ke dalam wilayah
pemerintah militer pendudukan. Misalnya, diperkenalkannya sistem tonarigumi
(rukun tetangga) di desa-desa. Lalu beberapa gabungan tonarigumi ini dikelompokkan
ke dalam ku (desa atau bagian kota). Akibat ini semua, desa menjadi lebih terbuka
dan banyak juga dari orang Indonesia yang menduduki jabatan birokrasi tinggi di
pemerintahan, suatu hal yang tidak terjadi pada masa pemerintahan Belanda.