Anda di halaman 1dari 3

KEPENTINGAN POLITISI : ASIMETRI TRITUNGGAL JURNALISTIK

Oleh : Dara Ayu Ning Cahya Islami

Seiring maraknya gema reformasi demokrasi Indonesia yang ditandai dengan lahirnya UU.
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU. No. 40 tahun 1999 tentang Pers, hak
untuk memperoleh dan menyebarkan informasi menjadi semakin terjamin. Begitu pula
dengan lembaga pers, yang notabene merupakan salah satu pilar penyangga demokrasi. Pers
memperoleh hak untuk memberikan informasi yang akurat tanpa intervensi dari pihak
manapun.

Ibarat sebuah bangunan, pers juga memiliki pilar guna menjalankan kebebasannya dalam
ranah yang benar. Pilar tersebut dikenal dengan tritunggal jurnalistik, yang terdiri atas
idealisme, komersialisme, dan profesionalisme. Ketiga pilar tersebut harus berjalan
beriringan guna mencapai lembaga pers yang kokoh.

Pertama, idealisme. Idealisme merupakan cita-cita yang harus dicapai oleh lembaga pers
sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Pers yang seharusnya melakukan pemberitaan sesuai
fakta yang ada di lapangan, tak jarang dibungkam dengan ancaman maupun kekerasan yang
dilakukan oleh pemangku kepentingan. Mirisnya, mayoritas dari mereka merupakan para
petinggi negara yang tak mau dibuka tabir keburukannya demi kepentingan politik. Salah
satu dari praktik pembungkaman tersebut terjadi pada 28 Januari 2015, di mana Yoyok Riyo
Sudibyo selaku Bupati Kabupaten Batang, Jawa Tengah, melakukan larangan peliputan demo
terkait kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Berikutnya, komersialisme. Meskipun pers merupakan lembaga penegak demokrasi yang


tidak berorientasi pada profitabilitas, namun bukan berarti mereka tidak menarik keuntungan
dalam penerbitannya. Pers tetap harus memetik untung guna mempertahankan berdirinya
lembaga tersebut. Namun, pilar ini kembali disalahgunakan oleh para politisi yang notabene
juga berperan sebagai pemegang saham terbesar dalam lembaga pers. Mereka kerap
melakukan intervensi terhadap pemberitaan media guna mencapai kepentingan politiknya.

Sebut saja dua lembaga pers ternama abad ini, misalnya Metro TV dan TV One. Kedua
lembaga tersebut sempat berseteru hebat pada pemilihan presiden tahun 2014 lalu. Metro TV
yang dimiliki oleh Surya Paloh dari Partai Nasdem selaku oposisi dari kubu Prabowo,
dianggap selalu memberitakan hal baik dari sosok Jokowi. Begitu pula dengan TV One yang
dimiliki oleh Aburizal Bakrie dari Partai Golkar selaku oposisi Jokowi. Mereka kerap
menjatuhkan Jokowi dalam pemberitaannya. Di sinilah letak penyalahgunaan wewenang oleh
para pemilik media yang acap kali tak sesuai dengan pilar jurnalistik.

Terakhir, profesionalisme. Profesionalisme merupakan keahlian khusus yang harus dimiliki


lembaga pers guna meningkatkan mutunya. Profesionalisme tentunya berkaitan dengan kedua
pilar sebelumnya, yaitu idealisme dan komersialisme. Misalnya pada kedua contoh di atas
yang menggambarkan terganggunya idealisme dan komersialisme lembaga pers, sehingga
berdampak pada profesionalitas media tersebut. Apabila lembaga pers tidak dapat
memberitakan sesuai fakta yang berada di lapangan, media tersebut dianggap bukan media
yang memiliki kredibilitas sebagai lembaga pers. Begitu pula keberpihakan media pada partai
politik, hal tersebut tentunya mengurangi independensinya sebagai lembaga pers.

Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa mayoritas lembaga pers belum dapat menjalankan
tritunggal jurnalistik sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan oleh asimetri tritunggal
jurnalistik antara media dengan para politisi. Kesalahpahaman terkait idealisme,
komersialisme, dan profesionalisme jurnalistik membuat para politisi kerap
menyalahgunakan wewenangnya guna mencapai tujuan pribadi. Bila tak segera diatasi,
lambat laun asimetri tritunggal jurnalistik tersebut akan menjadi hal yang wajar, sehingga
menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemberitaan media.

Kini, sudah saatnya lembaga pers kembali menegakkan tritunggal jurnalistik dalam
melakukan aktivitasnya. Idealisme, komersialisme, dan profesionalisme jurnalistik perlu
diterapkan dengan benar untuk mencapai lembaga pers seutuhnya. Pers tak perlu takut
terhadap ancaman dan kekerasan oleh para politisi yang dapat mengganggu idealisme.
Karena pada dasarnya, hal tersebut telah dijamin dalam undang-undang. Jurnalis hanya perlu
melaporkan kekerasan atau ancaman tersebut kepada pihak kepolisian agar dapat diproses
melalui jalur hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga akan melakukan sejumlah
pendampingan, pembelaan, dan monitoring terhadap kasus tersebut.
Selain idealisme, komersialisme dan profesionalisme jurnalistik pun perlu dijaga. Intervensi
pemilik modal terhadap media dapat dicegah dengan pembatasan wewenang antara
pemegang saham dengan pihak redaksi. Tak seharusnya para pemegang saham memasuki
wilayah redaksional lembaga pers, karena pada dasarnya wewenang mereka hanya terletak
pada modal dan menjaga keberlangsungan lembaga tersebut.

Masyarakat selaku konsumen terbesar bagi lembaga pers juga harus membantu agar ketiga
pilar tersebut tetap berada dalam jalur yang benar. Pemahaman terkait tritunggal jurnalistik
perlu disampaikan melalui acara formal maupun informal, misalnya dalam seminar atau
diskusi. Peringatan pers pada 9 Februari dapat dijadikan sebagai sarana untuk selalu
mengingatkan kepada masyarakat, politisi, maupun lembaga pers tentang fungsi, wewenang,
dan hak media. Dengan demikian, asimetri tritunggal jurnalistik dapat dihindari sehingga
pers dapat bekerja sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang dan meraih
kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Anda mungkin juga menyukai