Anda di halaman 1dari 12

Binatang-binatang Pendeteksi

Gempa
VIVAnews - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memastikan gempa bumi
merupakan gejala alam yang sulit diprediksi kapan datangnya dengan alat
secanggih apapun. Namun ilmuwan-ilmuwan di China sejak beberapa tahun lalu
telah membuat terobosan baru dalam mendeteksi gejala awal gempa bumi. Bukan
alat canggih, tapi perilaku binatang.

Seperti diketahui banyak hewan dapat mendengar suara ultrasonik dan melihat di
kegelapan.

Yang pernah dilakukan negeri Tirai Bambu ini adalah meneliti tingkah polah dan
kebiasaan ular. Penelitian dilakukan terhadap peternakan ular selama 24 jam
dengan bantuan kamera. Tepatnya di Nanning, sebelah selatan Provinsi Guangxi.
Nanning adalah wilayah di China yang sering diterjang gempa.

Kenapa ular? Karena dari hasil penelitian ular merupakan binatang paling sensitif
karena memiliki gelombang seismik. Binatang melata ini bisa mendeteksi
kemungkinan terjadinya gempa dari jarak 120 km atau sekitar 3-5 hari sebelum
gempa benar-benar terjadi.

Penelitian yang dilakukan di Nanning beberapa tahun lalu menunjukkan ular di


kandang membentur-benturkan kepalanya di dinding untuk mencari jalan ke luar. Di
habitatnya, ular akan ke luar dari sarang menjelang gempa, tidak peduli musim
dingin sekali pun.

Tidak hanya ular, ilmuwan China juga mengamati perilaku hewan-hewan lain yang
ada di kebun binatang. Dari pengamatan itu, beberapa jenis hewan memperlihatkan
respons tertentu menjelang terjadinya gempa. Misalnya, hewan-hewan yang sedang
melalui tidur panjang akan bangun dan keluar dari persembunyiannya atau hewan-
hewan akuatik akan melompat-lompat dari permukaan air.

Jenis-jenis hewan yang diamati antara lain burung merak, katak, ular, kura-kura,
rusa, dan tupai. Kantor seismologi China mencatat setidaknya terdapat 130 jenis
hewan yang memperlihatkan perilaku abnormal sebelum terjadinya gempa.
Panda, binatang khas China juga bisa menjadi petunjuk. Sebelum gempa besar
yang terjadi di Sinchuan beberapa waktu lalu, panda di cagar alam nasional Wolong
terlihat gelisah.

Tingkah laku aneh menjelang gempa juga diperlihatkan hewan lainnya. Pada tahun
2005, dilaporkan bahwa kawanan gajah meraung-raung dan berlari liar menjelang
gempa besar yang memicu tsunami di Sri Lanka dan India. Gajah bisa mendeteksi
bencana lewat kakinya.

Menjelang gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada penghujung 2004 lalu
kawanan burung bangau juga berbondong-bondong menjauhi laut/pantai. Gejala
yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Kalau China meneliti perilaku binatang, bagaimana dengan BMKG?

Dalam situsnya, badan ini menyebutkan prediksi gempa bumi masih dalam taraf
penelitian. Parameter prediksi adalah lokasi, besarnya dan waktunya. "Perkiraan
lokasi dan besarnya gempa dapat saja dilakukan, namun tantangan yang paling sulit
adalah menjawab kapan gempa tersebut terjadi," demikian BMKG.

Berdasarkan sejarah gempa maka bisa dihitung probabilitasnya; makin kecil gempa
maka makin besar probabilitasnya terjadi di lokasi yang memang potensi (seperti di
daerah pertemuan lempeng tektonik). Sebaliknya makin besar gempanya maka
makin kecil probabilitasnya.

Berdasarkan monitoring tanda-tanda pendahuluan (precursor) gempa bumi besar,


maka secara fisika bisa diungkapkan bahwa apabila materi mengalami stres maka
beberapa sifat materi tersebut mengalami perubahan yang dapat di monitor, seperti
kepadatan, kandungan air, kandungan electron, sifat kemanignitan, sifat radio aktif
dan sebagainya.

Di daerah pertemuan lempeng tektonik terjadi akumulasi stres akibat tekanan


pergerakan lempeng tektonik. Maka bisa dilakukan monitoring perubahan gravitas,
electron, kemagnitan, tinggi air tanah, radon (radio aktif), seismic dan sebagainya.

Sampai saat ini yang dapat dibuktikan adalah setelah gempa besar maka hasil
monitoring sebelum terjadi gempa dikaji lagi. Hasilnya memang ada beberapa tanda
menunjukkan gejala anomali tertentu. Namun belum dapat disimpulkan bahwa tanda
tersebut menandakan gempa akan terjadi, karena tanda tersebut sering juga muncul
tanda tanpa disertai adanya gempa besar. Hal ini membuktikan bahwa prediksi
gempa belum konsisten secara ilmiah dan belum dapat dikatakan sebagai teknologi
yang dapat dipakai.

"China mengoperasikan system prediksi gempa dengan memakai bermacam sensor


seperti GPS (Global, Posisioning System), Gravity, magnit, radon, termasuk gejala
tingkah laku binatang. Hasilnya memang beberapa kali sukses, namun lebih sering
gagal memprediksi gempa besar."
4 'Hal Aneh' yang Dianggap Pertanda Gempa Dahsyat
Liputan6.com, Jakarta - Hingga saat ini belum ada cara yang ilmiah dan teruji untuk
memprediksi kapan pastinya bumi akan berguncang. Sebab, gempa tak tidak selalu
datang dengan cara yang konsisten.

Para ilmuwan masih berusaha menciptakan sistem peringatan dini yang mumpuni.
Dengan asumsi bencana bisa saja berulang, para ahli geologi mencari tahu siklus
seismik di sejumlah daerah -- selain dari data sejarah juga menyelidiki sampel sedimen
untuk menentukan kapan lindu pada masa lalu terjadi.

Namun, banyak orang meyakini, alam memberikan pertanda sebelum malapetaka


menjelang. Seperti yang terjadi saat gempa di Tangshan di Tiongkok 28 Juli 1976.

Permukaan sumur di luar kota Tangshan di Tiongkok naik turun tiga kali sehari. Di desa
lain gas keluar dari sumber air warga.

Tikus-tikus berlarian pada siang bolong, ikan-ikan di akuarium gelisah dan mencoba
melompat keluar.

"Cuaca sangat panas, beberapa hari sebelum gempa, anjing dan ayam menolak masuk
ke bangunan," kata Yao Guangqing, pegawai pemerintah, seperti dikutip dari
situs Danwei.

Sikap manusia pun berubah. Malam sebelum gempa, ada pertunjukan layar tancap.
Butuh waktu empat jam untuk menayangkan satu film saja. Orang-orang gelisah dan
gampang marah, berkali-kali jalan cerita dihentikan di tengah jalan gara-gara
perkelahian antar-penonton.

Sebelum fajar menyingsing, 28 Juli 1976, para peternak di Kaokechuang juga


menjumpai hal tak biasa. Kala itu, mereka berniat memberikan pakan sesuai jadwal.

Bukannya makan, kerumunan kuda dan keledai justru mengamuk. Mereka melompat
dan menendang sejadinya. Setelah menjebol kandang, hewan-hewan itu lari tunggang
langgang.

Beberapa menit kemudian, kilatan cahaya putih menyilaukan terlihat di langit. Gemuruh
yang luar biasa keras terdengar saat gempa dengan kekuatan 7,8 skala Richter
mengguncang area Tangshan dan sekitarnya, tepat saat jarum jam menunjuk ke pukul
03.42 waktu setempat.

Gempa utama berlangsung 'hanya' 14 sampai 16 detik. Tak lama kemudian giliran lindu
7,1 SR mengguncang. Sebanyak 240 ribu orang meninggal dunia kala itu.

Sejak dulu, ada sejumlah hal yang diyakini sebagai pertanda datangnya gempa, berikut
di antaranya, seperti Liputan6.com kutip dari sejumlah sumber:
1. Cahaya Gempa

Pertanda lindu mungkin bisa berupa cahaya.

Kilatan cahaya misterius terlihat sesaat sebelum gempa besar mengguncang China dan
Italia. Orang sering menyebutnya sebagai 'cahaya gempa' -- pertanda terjadinya lindu
dahsyat.

Cahaya gempa bumi teramati seperti api pendek berwarna biru yang muncul dari dalam
tanah, seperti obor cahaya yang mengambang ke udara, atau garpu cahaya besar yang
terlihat seperti petir melesat dari dalam tanah ke udara

Belakangan ini para ilmuwan Amerika Serikat menemukan petunjuk bahwa cahaya itu
dapat dipicu oleh pergeseran lapisan tanah yang menghasilkan muatan listrik yang
besar.

Menggunakan wadah besar berisi tepung, para ilmuwan menemukan sebuah fenomena
fisika baru. Temuan tersebut dijelaskan secara detil dalam pertemuan American
Physical Society di Denver.

"Awalnya kami curiga bahwa ini adalah sebuah kesalahan. Pasti saat itu kami sedang
melakukan hal yang bodoh," kata Profesor Troy Shinbrot dari Rutgers University, New
Jersey, seperti dimuat BBC 2014 lalu.

"Kami menggunakan wadah tupperware yang diisi tepung, mengguncangkannya hingga


terbentuk semacam retakan. Ternyata, dengan itu saja bisa memproduksi muatan 200
volt," tambah dia. "Tidak ada mekanisme, yang saya tahu, yang dapat menjelaskan hal
ini. Mungkin ini temuan baru dalam fisika."

Para ilmuwan mengulangi eksperimen yang sama menggunakan bahan granular -- yang
terdiri dari butiran kecil -- lainnya. Menghasilkan fenomena tegangan yang sama.

Jika hal seperti itu terjadi di patahan geologi, retakan pada bulir tanah akibat guncangan
bisa saja menghasilkan jutaan volt muatan elektrostatik.

Itulah yang kemudian menghasilkan kilatan cahaya di udara -- menciptakan 'sistem


peringatan dini' alami gempa bumi yang akan terjadi.

Kisah tentang 'cahaya gempa' sudah tercatat selama 300 tahun terakhir, namun
seringkali ditepis para ilmuwan. Sebaliknya memancing para penggemar UFO.

Namun, dalam beberapa dekade belakangan, berkat situs berbagi video, penampakan
kilatan cahaya di langit cerah, tertangkap kamera, dianalisa, dan dikonfirmasi para
ilmuwan.

Video bola cahaya yang terkait gempa Fukushima, Jepang dan L'Aquila di Italia
menyebar luas di dunia maya.

"Kami ingin tahu mengapa kilatan cahaya ini muncul di sebuah gempa, dan tak muncul
di lincu yang lain," kata Profesor Shinbrot. "Tak semua gempa besar diawali munculnya
cahaya. Dan tak semua kilatan cahaya diikuti lindu dahsyat."
Untuk memahami kaitan tersebut, para ilmuwan di Turki telah mendirikan sejumlah
menara yang berguna untuk mengukur medan tegangan di udara di atas daerah rawan
gempa.

"Mereka menemukan bahwa memang ada fenomena yang mendahului sejumlah gempa
besar yang magnitudenya 5 skala Richter atau lebih tinggi. Namun sinyal sinyal
tegangan tidak selalu sama. Kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang rendah," kata
Profesor Shinbrot. "Jelas, banyak hal yang masih harus dipahami."

Kembali ke percobaan, tim Profesor Shinbrot ingin memahami hasil eksperimen tersebut
-- apa mekanisme baru yang belum diketahui yang memicu tegangan di celah-celah
butiran halusnya?

"Ini bukan seperti dugaan Anda -- listrik statis. Berbeda dengan gesekan sepatu karet
pada karpet nilon. Ini adalah dua lapisan bahan yang sama persis bergesekan satu
sama lain dan menghasilkan tegangan," kata sang profesor. "Bagaimana ini bisa
terjadi?"

Dia menambahkan, satu-satunya alasan mengapa fenomena tersebut tak pernah


dilaporkan adalah: tak ada seorang pun yang terpikir soal itu.

2. Binatang yang Gelisah

Lembah Kangra (Kangra Valley) yang biasanya tenang dalam keanggunan alamnya,
berguncang hebat 4 April 1905 pukul 06.19 waktu setempat. Lempeng India bertubrukan
dengan Eurasia, memicu gempa dengan kekuatan 7,8 skala Richter di barat laut
pegunungan Himalaya itu.

Guncangan 'hanya' berlangsung 2 menit, namun dampaknya luar biasa. Bangunan


remuk, dinding-dinding rumah robek. Di tengah gemuruh batu dan beton yang ambrol,
ribuan yang panik menjerit, memohon ampun Sang Kuasa. Mereka kebingungan, nanar
dibayangi teror dan kematian. Lebih dari 20.000 orang tewas kala itu.

Malam sebelum lindu mengguncang, kejadian aneh terjadi di kebun binatang di Lahore -
- sekitar 200 kilometer dari pusat gempa. Hewan di sana mengamuk, berontak, dan
mengeluarkan suara-suara yang tak biasa.

Menurut catatan pengawas kebun binatang, yang berkebangsaan Inggris -- kala itu India
masih dijajah oleh Britania Raya -- semua binatang menolak makanan dan minuman
yang diberikan. "Ia terus memikirkan keanehan itu sepanjang malam sampai-sampai tak
bisa tidur. Dan pagi harinya, tiba-tiba gempa mengguncang," situs India
Times melaporkan.

Bahwa hewan mungkin bisa membaca pertanda gempa sudah lama jadi bahan studi.

Beberapa hari sebelum gempa dahsyat 7,8 Skala Richter mengguncang China pada
Mei 2008, ribuan katak membanjiri jalanan di salah satu area terdampak terparah.

Dalam hitungan jam sebelum lindu meremukkan bangunan, hewan-hewan koleksi


kebun binatang Wuhan, yang berada 600 mil dari pusat gempa, mulai bertingkah aneh.
Zebra membenturkan kepalanya ke pintu, gajah menggoyangkan belalainya dengan liar
nyaris menghantam staf kebun binatang. Singa dan macan yang biasanya tidur di siang
hari, berkeliaran dengan gelisah. Lima menit sebelum gempa, lusinan burung merak
mengeluarkan lengkingannya.

Beberapa jam sebelum gempa dan tsunami Sumatera pada 26 Desember 2004, yang
menewaskan lebih dari 250 orang dari 23 negara, gajah-gajah tunggangan di Thailand
bertingkah. Ogah mematuhi pawang, dan tak sudi menggendong turis. Sementara,
hewan di Andaman: ular, kodok, kura-kura, kepiting, dan sejumlah ikan terlihat gelisah
dan berenang menuju daratan, sebelum gempa terjadi.

Ini salah satu penjelasannya: Hanya sedikit manusia yang mampu menyadari
gelombang P yang ukurannya lebih kecil, tapi bergerak paling cepat dari sumber gempa
dan tiba sebelum gelombang S lebih besar. Namun, banyak binatang yang lebih sensitif
dengan gelombang P.

Para ahli geologi, juga astrolog, meramalkan gempa mungkin akan kembali terjadi di
kaki Himalaya. Belajar dari pengalaman masa lalu, para peziarah yang pergi ke situs
keramat Gua Amarnath tak hanya bergantung pada kuda untuk membawa mereka ke
sana, hewan itu juga diandalkan untuk 'membaca' pertanda gempa. "Jika kuda-kuda
menolak membawa peziarah dan menunjukkan perilaku tak normal, bisa jadi mereka
menyadari tanda-tanda gempa."

Namun, adakah landasan ilmiwah soal kemampuan luar biasa para binatang?

Para ilmuwan berusaha mencari penjelasan, mengapa beberapa spesies hewan


berperilaku aneh sebelum bencana alam -- dengan menghubungkan kemampuan
sensorik binatang dengan rangsangan sensorik mikroskopis dan tak terlihat.

"Saya tak tahu apakah tepat menyebutnya sebagai indra keenam. Sebagian besar
hewan tahu, jika Bumi mulai bergetar, pasti ada sesuatu yang salah," kata Ken Grant,
koordinator Humane Society International Asia, seperti Liputan6.com kutip
dari Washington Post.

Fisiologi sensorik pada hewan sangat sensitif pada suara, temperatur, sentuhan,
getaran, elektrostatik, aktivitas kimia, juga medan magnet -- semua itu membuat mereka
bisa melarikan diri dalam hitungan hari dan jam sebelum bencana melanda. Lebih dulu
dari manusia.

"Tampaknya banyak hewan memiliki organ sensorik yang mendeteksi tremor mikro dan
perubahan yang nyaris tak kentara yang tak mampu kita pantau," kata George Pararas-
Carayannis, ahli kelautan dan geofisika yang memimpin Tsunami Society.

"Sensitivitas yang tak dimiliki manusia, namun dikembangkan para hewan selama jutaan
tahun evolusi mereka. Karena itulah mereka mampu bertahan hidup sebagai suatu
spesies," tambah dia.

Sementara, seperti dimuat jurnal ilmiwah Nature, ahli geofisika kuantum, Motoji Ikeya
menemukan bahwa sejumlah binatang bereaksi terhadap perubahan arus listrik. Dan ia
sedang meneliti ikan lele, makhluk paling sensitif yang pernah ia kaji -- untuk membantu
memberi peringatan datangnya malapetaka.
Bagaimana dengan manusia? Sejatinya manusia juga memiliki indra keenam terkait
bencana. Tapi lebih banyak yang kehilangan kemampuan firasat itu.

Meski peka pada bencana, belum ada cara meyakinkan untuk menggunakan hewan
dalam memprediksi bencana, terutama gempa. Demikian diungkap Roger Musson,
seismolog dari British Geological Survey.

Seperti yang terjadi saat Gunung St Helens meletus pada 1980, justru ada banyak
hewan yang jadi korban.

Sementara seperti diungkap dalam situs Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS),
referensi awal perilaku binatang yang tak biasa sebelum gempa besar terjadi ditemukan
di Yunani, yakni pada 373 Sebelum Masehi. Tikus, musang, ular, dan lipan dilaporkan
meninggalkan sarang mereka beberapa hari sebelum gempa.

3. Kemunculan Monster 'Ular Laut'

Setelah dua oarfish raksasa ditemukan di pantai California, Amerika Serikat pada 2013
lalu, rumor berseliweran di media sosial.

Sebagian pengguna internet mengaitkannya dengan pertanda gempa. Terutama terkait


mitos di Jepang yang mengaitkan penampakan oarfish yang langka dengan aktivitas
tektonik.

Apalagi, California beberapa kali diguncang lindu hebat. Misalnya pada Rabu, 18 April
1906, gempa dengan kekuatan hampir 8 skala Richter mengguncang San Francisco,
California dan pantai California Utara. Dipicu pergeseran lempeng San Andreas.Puluhan
ribu bangunan hancur, kebakaran tak terkendali, ribuan orang tewas -- diperkirakan
setidaknya 3.000 nyawa melayang.

Juga gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter di Baja, California pada Minggu 4 April
2010. Setidaknya dua orang tewas dan 100 orang terluka dalam musibah itu.

Seminggu sebelum gempa dan tsunami yang menerjang pantai timur Jepang pada 11
Maret 2011 silam, sekelompok oarfish ditemukan terdampar di pantai Negeri Sakura.
Beberapa tersangkut di jaring nelayan.

Sudah lama diyakini penduduk Jepang, oarfish yang berenang ke permukaan -- dari
dasar laut yang dalam --adalah pertanda datangnya gempa bumi.

Laman The Telegraph juga pernah memuat artikel tentang oarfish yang muncul ke
permukaan sebelum terjadi gempa besar di Chile dan Haiti pada 2010 silam.

Namun, para ilmuwan masih skeptis dengan anggapan bahwa oarfish adalah petanda
gempa.

"Mungkin itu hanya kebetulan belaka," kata Rick Feeney, dari Natural History Museum
of Los Angeles County, seperti Liputan6.com kutip dari CBS, 21 Oktober 2013.
Apalagi, tambah dia, 4 penampakan oarfish telah dilaporkan sejak 2010 dari selatan
Central Coast, termasuk Malibu pada 2010 dan Lompoc pada 2011.

"Kami pikir, ikan-ikan itu terdampar di pantai dan mati karena mengalami tekanan
tertentu, yang belum kita pahami," kata Feeney, menambahkan oarfish bisa jadi
kelaparan atau mengalami disorientasi.

4. Awan Misterius Tsunami

Gempa 9,0 skala Richter dan tsunami yang menerjang Jepang Jumat, 11 Maret 2011,
menjadi inspirasi para ilmuwan untuk menemukan sistem peringatan dini bencana yang
lebih akurat. Salah satu isu besar adalah benarkah langit memberikan pertanda
sebelum malapetaka datang?

Seperti dimuat Daily Mail, para ilmuwan dari University of Illinois menangkap pertanda
atmosfer terkait tsunami Jepang berupa pijaran udara (airglow) yang ditangkap sebuah
observatorium di Pulau Hawaii. Gambaran tersebut ditemukan pada ketinggian 250
kilometer di atas permukaan Bumi, sekitar satu jam sebelum gelombang air raksasa
menghantam perairan Jepang. Pijaran udara adalah lapisan kehijauan yang ditemukan
saat kombinasi molekul dipisahkan oleh cahaya matahari.

Penemuan, yang dilaporkan dalam jurnal Geophysical Research Letters, juga


menegaskan teori yang dikembangkan pada tahun 1970-an. Studi-studi ini menunjukkan
bahwa tsunami bisa diobservasi dari bagian atas atmosfer, namun sampai saat ini baru
bisa didemonstrasikan menggunakan sinyal radio.

Studi ini fokus pada fakta bahwa tsunami menghasilkan gelombang gravitasi atmosfer
saat ombak melaju melintasi lautan. Gelombang-gelombang tsunami memiliki potensi
untuk meregang beberapa kilometer ke langit dan menyebabkan perubahan yang dapat
dicitrakan karena penurunan densitas udara.

Tim University of Illinois dipimpin oleh Jonathan Makela, seorang profesor teknik listrik
dan komputer, membuat gambaran tersebut. Setelah itu, Makela, bersama mahasiswa
pascasarjana Thomas Gehrels, bergabung dengan tim di Prancis dan Brasil di New York
University untuk melakukan analisis rinci gambaran tersebut.

Sebelumnya, profesor ilmu bumi dari Chapman University di California, Dimitar


Ouzounov, mengatakan bahwa ada keanehan di langit Jepang sebelum tsunami.
Atmosfer di atas episentrum gempa Jepang mengalami perubahan tak biasa dalam
beberapa hari menjelang bencana.

Pendapatnya itu didasari penelitian terhadap data satelit terkait gempa yang
mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011: ada anomali atmosfer di atas episentrum
gempa Jepang beberapa hari menjelang bencana.

Sebelum gempa bumi terjadi, patahan yang tertekan akan mengeluarkan lebih banyak
gas, khususnya gas radon yang tidak berwarna dan tak berbau. Setelah berada di
ionosfer, gas radon melepaskan molekul udara elektronnya, memisahkan partikel
bermuatan negatif (elektron bebas) dan partikel bermuatan positif. Partikel-partikel
bermuatan yang juga disebut ion, lantas menarik air dalam proses melepaskan panas.
Dan, para ilmuwan bisa mendeteksi panas ini dalam bentuk radiasi inframerah.

Menggunakan data satelit, Ouzounov dan para koleganya mengawasi perubahan


atmosfer yang terjadi beberapa hari sebelum gempa Jepang. Mereka menemukan,
konsentrasi elektron dalam ionosfer meningkat, demikian juga dengan radiasi
inframerah. Pada 8 Maret 2011, tiga hari sebelum gempa, adalah saat yang paling
anomalis.

Para peneliti juga telah mengumpulkan data lebih dari 100 gempa di Asia dan Taiwan.
Menurut Ouzounov, mereka menemukan korelasi yang sama untuk gempa yang
magnitudenya lebih besar dari 5,5 skala Richter dengan kedalaman kurang dari 50
kilometer.
Benarkah Perilaku Hewan Bisa Menjadi Tanda Akan Terjadi Gempa
Bumi?

Nationalgeographic.co.id - Cerita tentang hewan yang berubah perilaku ketika


bencana akan datang cukup umum di Indonesia. Mulai dari hewan yang turun
gunung, cacing yang keluar dari tanah, atau hewan ternak yang gelisah sering
diartikan sebagai salah satu tanda gempa bumi.

Namun, benarkah perilaku hewan-hewan ini bisa dijadikan patokan


sebagai tanda akan terjadinya gempa bumi?

Sebenarnya, berbagai penelitian telah mencoba menggali ke dalam statistik di balik


perilaku hewan yang tak biasa sebelum terjadinya gempa. Sebagian besar
memikirkan mekanisme yang mungkin pada dua hal ini.

Kini, sebuah penelitian terbaru mencoba menganalisis kembali data dari penelitian-
penelitian sebelumnya.

Baca juga: Kematian 323 Rusa Akibat Tersambar Petir Ubah Bentang Alam
Norwegia

Peneliti yang berasal dari GFZ German Research Centre for Geosciences ini
menghubungkan pengamatan pada hewan peliharaan dan ternak dengan skala dan
lokasi gempa.

"Banyak makalah kajian tentang potensi hewan sebagai prekusor (pertanda) gempa,
tetapi sejauh pengetahuan kami, ini adalah pertama kalinya pendekatan statistik
digunakan untuk mengevaluasi data," ungkap Heiko Woith, penulis utama penelitian
ini dikutip dari Science Alert, Kamis (19/04/2018).

Untuk itu, Woith dan timnya mengumpulkan 180 penelitian yang menganalisis 729
laporan perilaku aneh hewan terkait dengan 160 gempa bumi.

Mereka menganalisis meta-data penelitian-penelitian tersebut dengan


memperhatikan rician seperti besar gempa, jarak, ativitas foreshock (gelombang
sebelum gempa utama), dan kualitas penelitian tersebut.

Secara keseluruhan, para peneliti mencatat perilaku yang diamati berasal dari 130
spesies berbeda. Mulai dari anjing, sapi, bahkan ulat sutera.

Meski datanya terbilang melimpah, para peneliti menyimpulkan bank bukti ini
mengalami keterbatasan kritis. Itu karena hampir semua penelitian, kecuali 14,
didasrkan pengamatan tunggal.

Selain itu, tak adanya jadwal membuat mereka sulit mengevaluasi secara obyektif
bagaimana perilaku khusus ini berbeda dengan perilaku normal. Ini membuat para
peneliti tidak bisa menyingkirkan biar konfirmasi tentang pola perilaku.
Namun, penelitian yang dipublikasikan dalam Bulletin of the Seismological Society of
America ini menyarankan bahwa perilaku aneh para hewan mungkin dipengaruhi
getaran awal. Dengan kata lain, hewan mungkin lebih sensitif pada getaran awal.

"Hewan-hewan itu mungkin merasakan gelombang seismik - gelombang P (primer)


atau S (permukaan) - yang dihasilkan oleh foreshick," ujar Woith.

Baca juga: 6 Hal Mengejutkan Tentang Korea Utara yang Tidak Anda Ketahui

"Pilihan lain, bisa jadi merupakan efek sekunder yang dipicu oleh foreshocks, seperti
perubahan air tanah atau pelepasan gas dari tanah yang mungkin dirasakan oleh
hewan," imbuhnya. Kita juga tak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa
hewan punya "super-sense".

Dengan mencatat aktivitas populasi hewan dalam jangka panjang, jauh sebelum
gempa bumi, kita mungkin bisa mendpaat informasi yang lebih baik bagaimana
perubahan perilaku mereka terkait dengan sifat gempa.

"Sampa saat ini, hanya sedikit seri waktu yang terkait dengan perubahan perilaku
hewan. Paling lama hanya satu tahun," kata Woith.

Anda mungkin juga menyukai