Anda di halaman 1dari 5

BAB II

ISI

A. DEFINISI COAL WORKER PNEUMOCONIOSIS


Istilah pneumoconiosis berasal dari bahasa yunani yaitu “ pneumo” berarti
paru dan “konis” berarti debu. Terminologi pneumoconiosis pertama kali digunakan
untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu
mineral. Salah satu jenis dari penyakit pneumoconiosis adalah CWP(Coal Worker
Pneumoconiosis). CWP(Coal worker Pneumoconiosis) merupakan pneumokoniosis
yang disebabkan oleh inhalasi partikel karbon yang berasal dari batu bara (coal),
graphite atau carbon black (karbon hitam). (Rinawati, 2015) .
Debu batubara mengandung bahan kimiawi yang dapat mengakibatkan
terjadinya penyakit paru-paru. Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya penyakit
atau gangguan pada saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain adalah faktor
debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi,
serta lama paparan. Faktor individual meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi
dan fisiologi saluran napas dan faktor imunologis. Partikel debu yang dapat dihirup
berukuran 0,1 sampai kurang dari 10 mikron. Debu yang berukuran antara 5-10
mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas; yang
berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah.
Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron disebut debu respirabel merupakan yang
paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis
sampai alveoli.
CWP dapat menjadi fibrosis paru jika terus terpapar selama kurang lebih 12
tahun. Kelainan ini terjadi pada pekerja tambang batu bara, penambang graphite dan
pekerja pabrik graphite sintetik dan pabrik karbon hitam. Riset pertama yang
dilakukan oleh British Pneumoconiosis Field Research (PFR) menunjukan bahwa dari
tahun 1953-1958 terjadi peningkatan angka mortalitas pada pekerja penambang batu
bara akibat pneumokoniosis dan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Diseasse).
Hal tersebut dikarenakan pekerja yang terpapar debu batu bara selama bekerja di
perusahaan tersebut.

Di USA, National Study Of CWP (Coal Workers Pneumokoniosis)


menunjukan hasil penelitiannya selama 23 tahun bahwa terdapat hubungan antara
paparan debu batu bara dengan kejadian pneumokoniosis dan COPD setelah di
evaluasi lama paparan dan kebiasaan merokok para pekerjanya. Penelitian terhadap
138 pekerja penambang batu bara di Virginian Selatan menunjukan lama waktu antara
pemeriksaan melayang di udara dapat menimbulkan polusi udara yang berdampak
pada gangguan saluran pernapasan bagi pekerja maupun penduduk sekitar.

B. PREVALENSI
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang
utama dibuktikan dengan prevalensi ISPA di Indonesia sebanyak 25,5% (rentang:
17,5%-41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai prevalensi di atas angka
nasional dan pneumonia sebanyak 2,1% (rentang: 0,8% - 5,6%). Prevalensi
pneumoconiosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat dan Inggris
bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada daerah
pertambangan tersebut. Prevalensi pneumokoniosis di negara bagian Amerika pada
tahun 1960 sekitar 30% dan angka ini jauh menurun pada tahun 2002 hanya sekitar
2.5%.
Setiap tahun angka kejadian pneumokoniosis berkurang hal ini dapat
dikarenakan kontrol dari perusahaan yang kian meningkat. Prevalensi
pneumokoniosis batu bara di Indonesia belum ada penelitian khusus mengenai
prevalensi penyakit ini hanya pada skala kecil yang mencakup suatu perusahaan saja.
Penelitian Darmanto et al. di tambang batubara tahun 1989 menemukan prevalensi
pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%. Data penelitian di Bandung tahun 1990 pada
pekerja tambang batu menemukan kasus pneu-mokoniosis sebesar 3,1%. Penelitian
oleh Bangun et al. tahun 1998 pada pertambangan batu di Bandung menemukan kasus
pneumokoniosis sebesar 9,8%.

C. PATOGENESIS
Bentuk kelainan yang terjadi pada CWP biasanya berupa peradangan dan
pembentukan jaringan fibrosis. Debu yang berukuran 0.1 – 10 mikron mudah terhirup
pada saat kita bernapas. Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan mengendap
disaluran napas bagian atas. Debu berukuran 3-5 mikron akan menempel disalurun
napas bronkiolus, sedangkan yang berukuran 1-3 mikron akan sampai ke alveoli.
Debu-debu tersebut masuk ke dalam paru, dan akan terdistribusikan di saluran napas
dan menimbulkan reaksi sistem pertahanan tubuh sebagai respon terhadap debu
tersebut.
Pneumokoniosis penambang batubara simpleks dapat berkembang menjadi
kompleks dalam waktu 1 tahun. Pneumokoniosis penambang batubara kompleks
biasanya disertai dengan gejala. Gejala yang timbul dapat berupa gejala respirasi
seperti batuk berdahak yang cenderung menetap. Batuk pada CWP kompleks yang
progresif dapat disertai dengan dahak berwarna kehitaman. Hal ini biasanya
diakibatkan oleh komplikasi infeksi yang terjadi pada penderita. Gejala pernapasan
lainnya seperti sesak napas terutama saat melakukan aktifitas dan nyeri dada. Gejala
non respirasi yang mungkin terjadi adalah terdapat bengkak di kaki dan tungkai yang
merupakan komplikasi lanjut. Pada pemeriksaan spirometri ditemukan penurunan
nilai fungsi paru yang berarti.

Untuk menegakkan diagnosis dari penyakit ini diperlukan anamnesis yang


cermat terhadap:
a. Keluhan yang dirasakan oleh penderita.
b. Riwayat pekerjaan seperti lama bekerja, penempatan tugas, dan lingkungan.
c. Kebiasaan penderita seperti menggunakan alat pelindung diri (APD) dan kebiasaan
merokok

D. PENCEGAHAN
Pencegahan dari pneumokoniosis jenis ini yang paling penting dilakukan adalah
menjauhi pajanan. Untuk penatalaksanaan dari kasus ini hanya diberikan terapi
medikamentosa untuk mengatasi simtomatisnya dan mengurangi kemungkinan
komplikasi yang akan muncul. Menurut Rinawati(2015) CWP merupakan penyakit
yang bersifat progresif sehingga tidak akan bisa sembuh hanya dengan menjauhi
pajanan.

Upaya pencegahan terhadap CWP ini sangat perlu diupayakan supaya para
pekerja terhindar dari penyakit pernapasan akibat paparan kerja. Pencegahan yang
dapat dilakukan di antaranya pengontrolan kadar debu secara berkala serta
pemeriksaan rutin berkala untuk para pekerja terutama pemeriksaan radiografi yang
telah dianjurkan CDC’s National Institute for Occupational Safety and Health. Selain
itu, pemeliharaan kesehatan juga penting seperti menghindari merokok yang akan
memperburuk kondisi saluran pernapasan dan menghindari infeksi misalnya dengan
melakukan vaksinasi.

Upaya pengendalian teknis permesinan dalam mengurangi dampak gangguan


pernafasan meliputi pemeliharaan mekanis dan rancangan ulang proses yang dimaksudkan
untuk melenyapkan, mengisolir atau mengumpulkan emisi debu dengan cara sebagai berikut
(Weeks, 2003): 1. Proses separasi, otomasi atau penutupan. Secara umum melengkapi
semua daerah kerja dengan ventilasi sehingga udara bersih bisa masuk; 2. Pengaturan
operasi kerja, perlengkapan dan peralatan kerja untuk mencegah penyebaran debu; 3.
Menggunakan metode basah untuk mencegah terbentuknya debu; 4. Memilah tempat kerja
dengan menetapkan tempat kerja tertentu untuk proses tertentu.

melalui upaya pengendalian teknis (pemeliharaan mekanis, proses separasi, otomasi, pengaturan
operasi kerja, perlengkapan dan peralatan kerja untuk mencegah penyebaran debu, penggunaan
metode basah untuk mencegah terbentuknya debu); pengendalian administratif (memilah tempat
kerja dengan menetapkan tempat kerja tertentu untuk proses tertentu); dan kedisiplinan
penggunaan alat pelindung diri.

1. Syarat pemakaian dan pemeliharaan sistem mesin pengolah, instalasi, dan alat
perlengkapan sesuai dengan instruksi yang digariskan
2. Membasahi batubara di tempat kerja sebelum dilakukan pengolahan, pemakaian,
kontak tangan, pengolahan dengan mesin, pembersihan, atau pemindahan
3. Upaya untuk membersihkan mesin dan daerah kerja secara teratur mengikuti metode
yang tepat dan benar
4. Pemakaian alat pelindung diri secara tepat dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Bibliography
Rinawati, P. (2015). COAL WORKER’S PNEUMOCONIOSIS. Jurnal Majority, 50.

Anda mungkin juga menyukai