Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) merupakan salah satu penyakit


tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya
pajanan faktor risiko, seperti semakin banyaknya jumlah perokok pada usia muda,
serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja.1

Penyakit paru obstruksi kronik semakin menarik dibicarakan oleh karena


prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. PPOK sendiri menduduki
peringkat ke-empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vaskular.
World Healt Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering
peringkatnya akan meningkat dari duabelas menjadi ke lima, dan sebagai penyebab
kematian akan meningkat dari urutan ke-enam menjadi ke-tiga. 1

Morbiditas dan mortalitas penderita PPOK dihubungkan dengan


eksaserbasi periodik yaitu terjadinya perburukan gejala. Eksaserbasi memicu
kondisi klinis yang beragam sesuai derajat serangan. Eksasebasi akut ditandai oleh
gejala sebagai berikut sesak meningkat, peningkatan jumlah sputum dan perubahan
purulensi sputum. Gejala eksaserbasi sering diikuti batuk dan demam. 1

Semakin sering terjadi eksaserbasi akut akan semakin berat kerusakan paru
dan semakin memperburuk fungsinya. Kualitas hidup penderita dipengaruhi oleh
frekuensi eksaserbasi. Eksaserbasi dihubungkan dengan reaksi inflamasi saluran
napas oleh berbagai sebab. Infeksi diduga sebagai pemicu utama eksaserbasi
walaupun sepertiga kasus tidak jelas ditemukan infeksi. 1
2

BAB 2

LAPORAN KASUS

Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Pendidikan : SMA Sederajat
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Wirasswasta
Alamat : Pekanbaru
MRS : 01 Oktober 2017
No. RM : 03.16.91

Keluhan utama :

Sesak nafas ± 15 menit yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak ± 15 menit yang lalu SMRS pasien merasakan sesak nafas yang
dirasakan semakin lama semakin memberat dan terasa menyesak. Sesak yang
dirasakan makin hebat terutama setelah beraktivitas dan sedikit berkurang bila
pasien beristirahat serta terasa nyaman ketika pasien pada posisi duduk
dibangdingkan berbaring. Sesak nafas yang dirasakan tidak dipengaruhi oleh
emosi, cuaca, maupun makanan. Sesak nafas diikuti dengan keluhan batuk
dengan dahak berwarna putih dan sulit untuk dikeluarkan. Tidak ada
mengeluhkan nyeri di dada yang menjalar ke punggung.

Pasien mengeluhkan demam sejak 1 minggu yang lalu, demam dirasakan


naik turun, tidak menggigil ataupun berkeringat pada malam hari. Pasien juga
merasakan nyeri ulu hati sejak 4 hari yang lalu, nyeri dirasakan seperti ditusuk-
tusuk, nyeri bertambah saat perut kosong dan berkurang setelah makan.
Riwayat mual dan muntah tidak ada. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
3

Sebelumnya pasien baru saja pulang dari rumah sakit Bhayangkara pada sore
harinya dengan keluhan yang sama ketika masuk kerumah sakit, dan tidak
berapa lama kemudian keluhan muncul kembali pada malam harinya sehingga
dibawa ke IGD RS. Bhayangkara

Riwayat Penyakit Dahulu :


Hipertensi (-), diabetes melitus (-), penyakit asma (-), penyakit jantung (-),
TB Paru (+) 1 Tahun yang lalu berobat teratur

Riwayat Penyakit Keluarga :


Hipertensi (-), diabetes melitus (-), penyakit asma (-), penyakit jantung (-)

Riwayat pemakaian obat :


SMRS pasien di Nebulizer 2x, namun tidak ada perubahan dan
memutuskan untuk ke IGD RS. Bhayangkara

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaaan


OS bekerja sebagai wirasswasta, dengan kebiasaan merokok sejak umur
18 tahun dan mulai berhenti merokok sejak masuk rumah sakit, dalam sehari
pasien menghabiskan satu bungkus rokok.
Berdasarkan Indeks Brinkman: 42 tahun x 20 batang rokok: 840 (Berat)

Pemeriksaan Umum :
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang - Berat
Sensorium : Composmentis
Tekanan Darah : 140 / 90 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Suhu : 37.5 °C
Pernafasan : 32 x/menit
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 165 cm
Keadaan Gizi : Normoweight (IMT= 22 kg/m2)
4

Pemeriksaan Fisik (Status Generalis)

- Kepala dan Leher :


Kepala dan leher simetris, TVJ 5 + 2 cmH2O, Trakea medial. Pembesaran
KGB (-), Struma (-)

- Mata :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
isokor ka=ki 3mm/3mm.

- Toraks :
Paru, Anterior : Inspeksi : Simetris Kanan – kiri, terlihat pelebaran sela
iga.
Palpasi : vocal fremitus, simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki +/+

Posterior : inspeksi : simetris kanan-kiri, terlihat pelebaran sela iga


Palpasi : vocal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki +/+

Jantung : inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 1 jari medial linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung:
Atas : SIC II Sinistra
Kanan : linea parasternalis dextra
Kiri : 1 jari lateral linea midclavicularis sinistra
Bawah : SIC V
Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen : inspeksi : perut tampak datar, tidak ada scar, dan simetris
5

Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar


teraba 3 jari dibawah arcus costa
Perkusi : timpani seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap Kimia Darah


Hb : 16,2 g/dl SGOT : 24 u/i
Leukosit : 21.300 /mm3 SGPT : 95 u/i
Trombosit : 270.000/mm3 Ureum : 51 mg%
Hematokrit : 50,0 % Creatinin : 1,0 mg%
Eritrosit : 5,19 KGDS : 125 mg%

AGDA
pH : 7,542
pCo2 : 39,0 mmHg
pO2 : 70 mmHg
sO2 : 96%
HCO3 : 32,8 mmol/L
BE(B) : 9,6 mmol/L
pO2 / FIO 2: 140 mmHg
6

Foto Rontgen

Cor: CTR: 58%, Aorta dan Mediastinum superior


tidak melebar. Trakea di tengah
Pulmo:
Corakan Bronkovaskuler baik
Tidak tampak infiltrate dikedua lapangan paru
Kedua hilus tidak menebal
Hemidiafragma kanan licin, kiri sulit dinilai
Sinus Costofrenikus kanan lancip, kiri sulit
dinilai
Tulang dan jaringan dinding dada baik
Kesan: Kardiomegali

Pemeriksaan EKG:

Irama: Sinus ; HR: 115 x/i ; Gel. P Normal ; Pr Interval 0,14 s ; QRS: 0,16 s ; ST:
Isoelektrik; T Normal; Gel U (-); VES/AES (-), LVH (-), RVH (-).
Kesan: Sinus Takikardi

Anjuran Pemeriksaan Selanjutnya:


- Faal Paru Lengkap
- Uji Latih Kardiopulmoner
- Uji Provokasi Bronkus
7

- Ekokardiografi
- Kadar α-1 Antitripsin

Diagnosis Banding:

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Eksaserbasi Akut


CHF (Congestive Heart Failure)
Asma Bronkial

Diagnosis kerja:

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Eksaserbasi Akut


Diagnosis Tambahan: Dispepsia

Terapi :
Diet Rendah Karbohidrat Tinggi Protein
O2 2 - 3 liter/menit
IVFD D5% + Drip Aminofilin 1amp 20tpm
Inj. Levofloxacin 1x 750mg
Inj. Ozid/ 24 jam
Inj. Furosemid 1x 1 amp
Inj. Dexamethason/ 8 jam
Nebulizer Combivent/ 8 jam
Sukralfat syrp 3x1 cth
Salbutamol tab 3x2mg

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
8

Follow up :

Tanggal S O A P
2 okt Sesak Kes: Composmentis PPOK  Diet Rendah
2017 Nafas (+), TD: 140/90 mmHg Eksaserbasi Karbohidtrat
Batuk (+), Nadi: 94x/menit Akut + Tinggi Protein
susah Nafas: 28x/menit Dispepsia  O2 2 - 3 liter/menit
o
menelan, Suhu: 36,7 C  IVFD D5% + Drip
mual (+) Thorax: Aminofilin 1amp
jika I: statis simetris,dinamis 20tpm
makan simetris  Inj. Levofloxacin
P: vocal fremitus 1x 750mg
simetris  Inj. Ozid/ 24 jam
P: sonor seluruh lapang  Inj. Dexamethason
paru /8 jam
A: ekspirasi memanjang,
 Nebulizer
wheezing (-/-), Combivent/ 8 jam
Ronkhi (+/+)
 Inj. Furosemid 1x
Abdomen: Soepel, BU
1 amp
(+), Nyeri tekan (-),
 Sukralfat syrp 3x1
cth
 Salbutamol tab
3x2mg
3 Okt Sesak Kes: composmentis PPOK  Diet Rendah
2017 Nafas TD: 130/90 mmHg Eksaserbasi Karbohidtrat
(+)↓, Nadi: 94x/menit Akut+ Tinggi Protein
Batuk Nafas: 26x/menit Dispepsia  O2 2 - 3 liter/menit
(+)↓, mual Suhu: 37oC  IVFD D5% + Drip
(+)↓ Thorax: Aminofilin 1amp
I: statis simetris,dinamis 20tpm
simetris
9

P: vocal fremitus  Inj. Levofloxacin


simetris 1x 750mg
P: sonor seluruh lapang  Inj. Ozid/ 24 jam
paru  Inj. Dexamethason
A: ekspirasi memanjang, /8 jam
wheezing (-/-),  Nebulizer
Ronkhi (-/-) Combivent/ 8 jam
Abdomen: Soepel, BU  Sukralfat syrp 3x1
(+), Nyeri tekan (-), cth
 Salbutamol tab
3x2mg
4 Okt Sesak Kes: composmentis PPOK  Diet Rendah
2017 Nafas TD: 140/80 mmHg Eksaserbasi Karbohidtrat
(+)↓↓, Nadi: 88x/menit Akut + Tinggi Protein
Batuk Nafas: 24x/menit Dispepsia  IVFD RL 16 tpm
(+)↓↓, Suhu: 37oC  Inj. Levofloxacin
mual (-) Thorax: 1x 750mg
I: statis simetris,dinamis  Inj. Ozid/ 24 jam
simetris  Inj. Dexamethason
P: vocal fremitus /8 jam
simetris  Nebulizer
P: sonor seluruh lapang Combivent/ 8 jam
paru  Sukralfat syrp 3x1
A: vesikuler (+/+), cth
wheezing (-/-),
 Salbutamol tab
Ronkhi (-/-)
3x2mg
Abdomen: Soepel, BU
(+), Nyeri tekan (-),
10

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI

PPOK (Penyakit Paru Obsrtuktif Kronik) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Menurut Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK adalah penyakit dengan karakteristik
keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran
napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
dikarenakan bahan yang merugikan atau gas.2

3.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang
menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang
hingga berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama kematian kelima di
dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia
tahun 2030.Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005, yang
setara dengan 5% dari semua kematian secara global. 1
Menurut data penelitian dari Regional COPD Working Group yang dilakukan
di 12 negara di Asia Pasifik rata-rata prevalensi PPOK sebesar 6,3%, dengan yang
terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi di Vietnam sebanyak
6,7%. Indonesia menunjukkan prevalensi sebanyak 5,6% atau 4,8juta kasus untuk
PPOK derajat sedang sampai berat (Regional COPD Working Group, 2003). 1

3.3 Faktor Risiko3


Beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK antara lain:
1.Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru.
11

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :


a. Riwayat merokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun:
Ringan : 0-199
Sedang : 200-599
Berat : >600
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK.
3. Stres oksidatif
Paru setelah terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen
timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari
polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti derivat elektron
mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme selular signaling pathway. Sel
paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembang secara sistem
enzimatik atau non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan
antioksidan berubah bentuk misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan
akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek
kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal
inflamasi paru.
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasai bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara
bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan
menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada
saat dewasa. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral
yang juga merupakan faktor risiko PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan
12

dengan kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan


obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.
5. Sosial ekonomi
Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi
yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi
kemungkinan sebagai faktor risiko PPOK. Malnutrisi dan penurunan berat badan
dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan
masa otot dan kekuatan serabut otot.
6. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, dan
pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang
adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi menyatakan bahwa berat lahir
mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7. Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan -1
antitrypsin sebagai inhibitor dan protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling
sering dijumpai pada individu yang berasal dari Eropa Utara. Ditemukan pada
usia muda dengan kelainan emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru
yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan -1
antitrypsin yang berat.

3.4 Patogenesis
PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis
terjadinya PPOK diantaranya adalah4:

1.Hipotesis Proteinase- antiproteinase


Hipotesis proteinase- antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa
kerusakan jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase
dan inhibitornya. Telah dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim
pendegradasi elastik dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini
diusulkan untuk emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT. Pasien
13

dengan defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah
mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari hepatosit.
Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat serin protease di sirkulasi.
Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT cenderung mengalami polimerisasi yang dapat
menghambat sekresi hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil dan
menyebabkan inflamasi. Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki
kemampuan untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin,
sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak Matrix
Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3 MMP (MMP-2, -
9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang berperan penting dalam
patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta
proteinase-3 (dalam netrofil)
2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap
partikel atau gas berbahaya, terutama rokok. Pasien dengan PPOK dilaporkan
mengalami peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar
lavage (BAL) dan neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level
serum immunoglobulin free light chains (IgLC) meningkat pada PPOK karena
rokok. IgLC mengikat netrofil dan cross-linking IgLC pada netrofil
menghasilkan peningkatan produksi IL8yang merupakan atraktan selektif untuk
netrofil. Sel B juga meningkat pada pasien PPOK dan sel ini memproduksi IgCL,
selain memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE juga meningkat dan
berhubungan dengan merokok.
3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel endotel.
Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak,
karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan
tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap pembelahan
proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan
menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan IL-8) dan MMP
sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung terbentuknya emfisema.
14

4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa
inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin
proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver, jaringan
adiposa dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit, CRP,
interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan menyebabkan
inflamasi sistemik. Inflamasi sistemik dapat memulai atau memperburuk
penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik, osteoporosis, anemia
normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain.
5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan
PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan
sel endotel di paru pasien PPOK. Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan
jaringan paru dan emfisema.
6. Perbaikan yang Tidak Efektif
Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan
kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak.

3.5 Patofisiologi4,5
Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala
yang khas, misalnya penurunan VEP1 yang disebabkan peradangan dan
penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun terjadi
akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema.
1) Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan ciaran eksudat di lumen saluran
napas kecil berkolerasi dengan penuruna VEP1 dan rasio VEP1/KVP.
Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan
napas perifer menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan
hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan, yang terlihat sebagai
15

sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang


pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada
aktivitas.
2) Mekanisme pertukaran gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia
dan hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum
pertukaran gas memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan
emfisema berkolerasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.
awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lama
kelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.
Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien
dengan hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet dan
pembesaran kelenjar submukosa.
4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi
abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan hipertensi
pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel, dan
remodelling arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat menyebabkan
pembesaran ventrikel jantung kanan. Ada respon inflamasi pada pembuluh darah
yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas. Emfisema dan hilangnya
capillary bed juga berkontribusi terjadinya peningkatan tekanan di sirkulasi
pulmonal.
5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi
jantung dan pertukaran gas. Mediator inflamasi ke sirkulasi mungkin
berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan mungkin
memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung
iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma
16

metabolik, dan depresi. Efek sistemik ini berkontribusi pada pembatasan


kapasitas aktivitas pada pasien dan memperburuk prognosis, tidak bergantung
pada fungsi paru mereka.

3.6 Klasifikasi dan Pembagian PPOK


PPOK diklasifikasikan berdasarkan gabungan antara gejala klinis pasien,
derajat keparahan berdasarkan spirometri, kuesioner mMRC dan CAT, serta
terjadinya eksaserbasi dalam setahun.6,7

Tabel 3.1 Klasifikasi dan Pembagian PPOK


Derajat Klinis Faal paru
Gejala klinis (batuk, produksi normal
sputum)
Derajat I: COPD Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP < 70%
ringan aputum ada tetapi tidak sering. VEP1  80%
Pada derajat ini pasien sering tidak prediksi
menyadari bahwa faal paru mulai
menurun
Derajat II: COPD Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP < 70%
sedang aktivitas dan kadang ditemukan 50% < VEP1 < 80%
gejala batuk dan produksi sputum. prediksi
Pada derajat ini biasanya pasien
mulai memeriksakan kesehatannya
Derajat III: Gejala sesak lebih berat, penurunan VEP1/KVP < 70%
COPD berat aktivitas, rasa lelah dan serangan 30% < VEP1 < 50%
eksaserbasi semakin sering dan prediksi
berdampak pada kualitas hidup
pasien
Derajat IV: Gejala diatas ditambah tanda-tanda VEP1/KVP < 70%
COPD sangat gagal napas atau gagal jantung VEP1 < 30%
berat kanan dan ketergantungan oksigen. prediksi atau VEP1 <
17

Pada derajat ini kualitas hidup 50% prediksi disertai


pasien memburuk dan jika gagal napas kronik
eksaserbasi dapat mengancam jiwa

Kuisioner mMRC (modified British Medical Research Council)6,7:


Kuesioner ini digunakan untuk mengukur derajat sesak dengan aktivitas
yang masih dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK. Selain itu, dapat mengukur
status kesehatan dan memprediksi resiko mortalitas pasien PPOK.

Tabel 3.2 Kuisioner mMRC

CAT (COPD Assessment Test):6,7


merupakan suatu kuesioner, dimana terdapat 8 point pertanyaan yang dapat
mengukur status kesehatan dan perburukan dari PPOK.
18

Tabel 3.3 Kuisioner CAT

3.7 DIAGNOSIS3,4,5
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru.

Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara.
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
19

Pemeriksaan fisis
 Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher
dan edema tungkai.
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
 Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips breathing.
 Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
 Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
20

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk


mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

Pemeriksaan Rutin
1. Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/ KVP
(%).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred.) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) <
75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
 Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
 Darah rutin
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Trombosit
- Leukosit
- Analisa gas darah
 Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran:
21

- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik:
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow
berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru
dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah
pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.

Pemeriksaan penunjang lanjutan


• Faal paru lengkap
• Uji latih kardiopulmoner
• Uji provokasi bronkus
• Analisa gas darah
• Radiologi
• EKG
• Ekokardiografi
• Bakteriologi
• Kadar -1 antitripsin

3.8 DIAGNOSIS BANDING2,3,4,5


1. Asma
- Onset awal sering pada anak
- Gejala bervariasi dari hari ke hari
22

- Gejala pada malam/menjelang pagi


- Disertai atopi, rinitis atau eksim
- Riwayat keluarga dengan asma
- Sebagian besar keterbatasan aliran udara
- Reversibel

2. Gagal jantung kongestif


- Auskultasi terdengar rhonki halus di bagian basal
- Foto thoraks tampak jantung membesar, edema paru
- Uji faal paru menunjukkan restriksi

3. Bronkiektasis
- Sputum produktif dan purulen
- Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
- Auskultasi terdengar rhonki kasar
- Foto thoraks/CT-Scan menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus

4. Tuberkulosis
- Onset segala usia
- Foto thoraks menunjukkan infiltrat
- Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
- Prevalens tuberkulosis tinggi didaerah endemik

5. Bronkiolitis obliterans
- Onset pada usia muda, bukan perokok
- Mungkin memiliki riwayat rheumatois arthritis atau pajanan asap
- CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hipodens

6. Panbronkiolitis difus
- Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
- Hampir semua menderita sinusistis kronik
23

- Foto thoraks dan HRCT torkas menunjukkan nodul opak menyebar


kecil di centrilobular dan gambaran hiperinflasi.

3.9 PENATALAKSANAAN3,4
Penatalaksanaan PPOK secara umum, meliputi: edukasi, berhenti merokok,
obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, nutrisi.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
 Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
 Melaksanakan pengobatan yang maksimal
 Mencapai aktivitas optimal
 Meningkatkan kualitas hidup

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:


 Pengetahuan dasar tentang PPOK
 Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari pencetus (berhenti merokok)
 Penyesuaian aktivitas

2. Obat – obatan
 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk
24

obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan


jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat
(slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
b. Golongan agonis -2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis -2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
d. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

 Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
25

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat


perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 ml.

 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih:


- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi

 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.

 Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
26

3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Manfaat oksigen: mengurangi sesak,
memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmoner, mengurangi
vasokontriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan
meningkatkan kualitas hidup.

Penilaian awal untuk mendiagnosa pasien PPOK dengan mengikuti algoritma


yang ada.8

Tabel 3.4 Algoritma Penilaian Awal PPOK Stabil

Tabel 3.5 Penatalaksanaan PPOK Stabil Berdasasarkan Grup


27

Grup A
 Semua pasien Grup A harus diberikan bronkodilator berdasarkan efeknya.
Ini bisa berupa bronkodilator jangka pendek atau panjang.
 terapi dilanjutkan dan di perhatikan.

Grup B
 Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja jangka panjang.
Bronkodilator inhalasi jangka panjang lebih unggul dari pada
bronkodilator kerja pendek. yang dibutuhkan sesuai kebutuhan
 Tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu kelas bronchodilator
jangka panjang yang lain untuk menghilangkan gejala awal pada
kelompok pasien ini. Pada pasien individual, pilihannya harus bergantung
pada persepsi pasien terhadap pengurangan gejala.
 Untuk pasien dengan sesak napas tanpa henti pada penggunaan monoterapi
dianjurkan menggunakan penggunaan dua bronkodilator
 Bagi pasien dengan terapi awal sesak nafas dengan dua bronkodilator
dapat dipertimbangkan.
28

 Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala,


sebaiknya diturunkan lagi ke satu bronkodilator tunggal.
 Pasien Grup B cenderung memiliki komorbiditas yang dapat menambah
gejala dan mempengaruhi prognosis mereka, dan harus mencari penyebab
kemungkinan yang akan terjadi.

Grup C
 Terapi awal harus terdiri dari satu bronkodilator kerja panjang. LAMA
yang diuji lebih unggul dari LABA mengenai pencegahan eksaserbasi,
oleh karena itu kami merekomendasikan untuk memulai terapi dengan
LAMA di grup ini.
 Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat memperoleh manfaat dari
menambahkan LABA dan LAMA) dibandingkan LABA dan ICS). Karena
ICS meningkatkan risiko terkena pneumonia pada beberapa pasien, pilihan
utama kami adalah LABA / LAMA.

Grup D
 Sebaiknya mulailah terapi dengan kombinasi LABA / LAMA karena:
 Dalam penelitian dengan hasil yang dilaporkan pasien dengan kombinasi
LABA / LAMA menunjukkan hasil yang memuaskan dibandingkan
dengan menggunakan terapi tunggal. Jika satu bronkodilator dipilih
sebagai pengobatan awal, LAMA lebih disukai untuk pencegahan
eksaserbasi berdasarkan perbandingan dengan LABA
 Kombinasi LABA / LAMA lebih unggul dari kombinasi LABA / ICS
dalam mencegah eksaserbasi dan hasil yang dilaporkan pasien lainnya
pada pasien Grup D
 Pasien Grup D berisiko tinggi terkena pneumonia saat menerima
pengobatan dengan ICS
 Pada beberapa pasien terapi awal dengan LABA / ICS mungkin menjadi
pilihan pertama. Pasien ini mungkin memiliki riwayat atau temuan yang
29

menunjukkan asma-COPD tumpang tindih. Jumlah eosinofil darah tinggi


juga dapat dianggap sebagai parameter untuk mendukung penggunaan ICS,
walaupun hal ini masih dalam perdebatan
 Pada pasien yang mengalami eksaserbasi lebih lanjut pada terapi LABA /
LAMA kami menyarankan dua jalur alternatif:
 Peningkatan ke LABA / LAMA / ICS. Studi sedang dilakukan
membandingkan efek LABA / LAMA vs LABA / LAMA / ICS untuk
pencegahan eksaserbasi.
 Beralih ke LABA / ICS. Namun, tidak ada bukti bahwa beralih dari
LABA / LAMA ke LABA / ICS menghasilkan pencegahan eksaserbasi
yang lebih baik. Jika terapi LABA / ICS tidak berdampak positif terhadap
eksaserbasi / gejala, LAMA dapat ditambahkan.
 Jika pasien yang diobati dengan LABA / LAMA / ICS masih memiliki
eksaserbasi, pilihan berikut dapat dipertimbangkan:
 Tambahkan roflumilast. Hal ini dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan prediksi FEV <50% dan bronkitis kronis, terutama jika mereka
pernah mengalami setidaknya satu rawat inap untuk eksaserbasi pada
tahun sebelumnya.
 Tambahkan macrolide. Bukti terbaik yang tersedia ada untuk
penggunaan azitromisin. Pertimbangan dalam penggunaannya hati hati
terhadap resisten
 Menghentikan ICS. Kurangnya keberhasilan yang dilaporkan,
peningkatan risiko efek samping (termasuk pneumonia) dan bukti yang
menunjukkan tidak ada yang signifikan untuk mendukung rekomendasi
ini.

3.10 Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut.9


Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya eksaserbasi berulang dan
mencegah terjadinya gagal nafas. Setelah gagal nafas terjadi mencegah terjadinya
kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan :
30

1. Diagnosis derajat eksaserbasi


2. Terapi oksigen adekuat
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
4. Nutrisi adekuat
5. Ventilasi mekanik
6. Evaluasi ketat progresivitas penyakit

Gejala eksaserbasi: sesak bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan


warna sputum (sputum menjadi purulen).
Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3:
 tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala,
 tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala,
 tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas
atau lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% nilai dasar,
atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk


eksaserbasi ringan) dan di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah dilakukan terhadap penderita yang telah
diberikan edukasi dengan cara :
a. Menambahkan dosis bronkodilator atau mengubah bentuk sediaan
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk
nebulizer.
b. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
c. Menambahkan mukolitik
d. Menambahkan ekspektoran
e. Antibiotik, hanya efektif bila diberikan pada pasien dengan peningkatan
sesak dan batuk yang disertai dahak yang purulen.
31

Tindakan pertama bila pasien datang ke UGD dengan PPOK eksaserbasi


adalah memberikan oksigen terkontrol dan menentukan apakah eksaserbasi tersebut
life threatening atau tidak, jika iya, maka pasien segera dibawa ke ICU. Adapun
indikasi perawatan di ICU, yaitu :
 Sesak memberat setelah penanganan adekuat di UGD / di ruang perawatan
 Kesadaran menurun
 Gagal napas (perlu ventilator)

Jika tidak, pasien dapat diterapi di IGD atau pun rawat inap. Hal yang perlu
diberikan saat pasien di rawat inap, yaitu9 :
1. Oksigen terkontrol
Terapi oksigen adalah bagian yang sangat penting dari
penatalaksanaan PPOK eksaserbasi yang dirawat di rumah sakit. Oksigenasi
adekuat (PaO2 >60 mmHg atau SaO2 >90%) mudah dicapai pada
eksaserbasi yang uncomplicated tetapi retensi CO2 dapat terjadi samar dan
dengan sedikit perubahan gejala. Setelah oksigen diberikan, 30 menit
kemudian pemeriksaan gas darah harus dikerjakan untuk mengevaluasi
oksigenasi tercapai dengan baik tanpa retensi CO2 atau asidosis. Pemberian
oksigen dapat diberikan dengan cara : nasal 1-4 L/menit, dan Venturi Mask
FIO2 24-48%. Sasarannya yaitu PaO2 60-65 mmHg atau SaO2 >90%.

2. Bronkodilator
Inhalasi SABA adalah bronkodilator yang lebih disenangi untuk
terapi PPOK eksaserbasi. Jika respon adekuat dari obat tidak terjadi,
tambahan antikolinergik dianjurkan. SABA dapat diberikan dengan
nebulizer atau MDI dengan spacer.

Tabel 3.6 Bronkodilator pada PPOK eksaserbasi


Obat MDI (mcg) Nebulizer (mcg)
Agonis beta 2
32

Fenoterol 150-200 0,1-2,0


Terbutalin 250-500 5-10
Antikolinergik
Ipratorium Bromide 40-80 0,25-0,5

Jika terapi inhalasi belum adekuat, di tambah teofilin, Loading dose


:2,5-5 mg/kgbb dalam 30 menit. Maintenance 0,5/kgBB/jam dan modifikasi
jika diperlukan atas dasar gejala atau level serum. Jika tidak ada fasilitas,
agonis 2 beta dapat diberikan secara subkutan.

3. Antibiotika, diberikan jika :


 Didapatkan 3 gejala kardinal yaitu peningkatan sesak, batuk yang disertai
volume dahak yang meningkat dan sputum yang purulen.
 Peningkatan sputum yang purulen dan salah satu dari gejala kardinal
 Pasien yang dilakukan bantuan ventilasi mekanik.

4. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
jangka panjang.

5. Kortikosteroid
Steroid oral atau intravena direkomendasikan sebagai terapi tambahan
dan bronkodilator pada penatalaksanaan PPOK eksaserbasi yang dirawat
inap di rumah sakit. Prednisolon oral 30-40 mg/hari selama 10-14 hari
optimal bila ditinjau dari sudut efikasi dan keamanan, karena dosis yang
tinggi dikaitkan dengan resiko efek samping.

6. Nutrisi
Tujuan : mempertahankan berat badan dan pemecahan protein.
Tatalaksana: tinggi protein rendah karbohidrat. Protein > 1,5 mg/kgBB/hari.
33

7. Ventilator mekanik
Tujuan utama bantuan ventilator mekanik untuk pasien eksaserbasi
sangat berat adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas dan
menghilangkan keluhan. Bantuan ventilasi mekanik dapat dengan non
invasive mechanical ventilation (NIPPV) dan invasive mechanical
ventilation (IPPV).

3.11 Kriteria pemulangan pasien dari rumah sakit3,4:


a. Dapat menggunakan long acting bronchodilator , baik golongan beta agonis
maupun antikolinergik, baik dengan atau tanpa kortikosteroid inhalasi
b. Jika sebelumnya pasien dibawa ke RS dengan menggunakan ambulans,
maka dapat dipulangkan jika pasien sudah bisa berjalan.
c. Pasien dapat makan dan tidur tanpa harus terbangun karena sesak
d. Stabil dalam 2-24 jam
e. Hasil analisa gas darah stabil dalam 12-24 jam
f. Pasien dan yang akan merawat pasien di rumah telah sepenuhnya
memahami penggunaan obat-obatan
g. Pasien, keluarga dan tenaga medis sangat berperan dalam keberhasilan
perawatan pasien di rumah.
h. Tindak lanjut dan aturan perawatan pasien di rumah telah telah lengkap

Hal-hal yang dinilai saat follow up pasien setelah 4-6 minggu setelah pasien
dipulangkan ke rumah :
 Kemampuan untuk melakukan latihan fisik dan aktifitas sehari-hari Menilai
FEV1
 Menilai ulang teknik inhalasi
 Memahami regimen terapi yang dianjurkan
 CAT dan mMRC
 Ada tidaknya komorbid.
34

3.12 Prognosis9
Makin cepat diagnosis bisa ditegakkan, maka prognosis penderita baik,
dengan catatan etiologinya bisa di hilangkan. Bila etiologi tidak dapat
disinggirkan, maka penderita bukan hanya mendapatkan kekambuhan, tetapi juga
perjalanan penyakitnya akan melaju terus menerus dengan pesat. Semakin lambat
diagnosis ditegakkan, maka makin jelek prognosis penderita. Hal ini di akibatkan
sudah semakin berkurangnya elastisitas paru, semakin luasnya kerusakan silia
secara irreversible dan semakin tebalnya mukosa saluran pernapasan. Kalau
penderita tidak meninggal karena kegagalan pernapasan, maka sebab kematian
yang lain adalah karena salah satu atau lebih komplikasi yang dapat timbul setiap
saat.
35

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik


4.1.1 Pada Kasus
a. Anamnesa:
Pasien Tn. S dengan usia 60 tahun dengan keluhan:
- Sesak nafas yang semakin lama semakin memberat dan menyesak
- Sesak dirasakan semakin hebat setelah beraktivitas dan sedikit
berkurang bila pasien beristirahat serta lebih nyaman pada posisi duduk
dibandingkan berbaring
- Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak, dengan dahak berwana putih
namun sulit untuk dikeluarkan.
- Keluhan sesak tidak dipengaruhi oleh emosi, cuaca, maupun makanan.
- Pasien juga mengeluhkan demam kurang lebih 1 minggu, dengan suhu
yang naik turun, dan tidak ada riwayat menggigil ataupun berkeringat
pada malam hari.
- Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok sejak usia 18 tahun hingga
sekarang, dimana dalam 1 hari menghabiskan sebungkus rokok
- Pasien baru saja keluar dari rumah sakit dengan keluhan yang sama.

b. Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan fisik yang dijumpai kelainan adalah:
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang - Berat
Sensorium : Composmentis
Tekanan Darah : 140 / 90 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Suhu : 37.5 °C
Pernafasan : 32 x/menit
36

Paru, Anterior : Inspeksi : Simetris Kanan – kiri, terlihat pelebaran sela


iga
Palpasi : vocal fremitus, simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki +/+

Posterior : inspeksi : simetris kanan-kiri, terlihat pelebaran sela iga


Palpasi : vocal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki +/+

4.1.2 Pada Teori


a. Anamnesa
Pada anamnesa sudah memenuhi kriteria gejala dari PPOK
Eksaserbasi Akut, dimana terdapat 2 dari 3 gejala eksaserbasi, yaitu sesak
yang bertambah, dan produksi sputum yang meningkat, ditambah dengan
gejala lain yaitu: demam yang dirasakan sekitar 1 minggu. Dari riwayat
kebiasaan, pasien merokok sejak usia 18 tahun dengan menghabiskan 1
bungkus rokok perharinya, dengan perhitungan Indeks Brinkman termasuk
dalam derajat berat. Sehingga dari anamnesa lebih mengarahkan ke
diagnosa PPOK Eksaserbasi Akut, namun untuk lebih memastikan harus
melakukkan pemeriksan fisik, serta pemeriksaan tambahan lainnya.

b. Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik dijumpai beberapa pemeriksaan yang
mengarahkan ke diagnose PPOK Eksaserbasi Akut, yaitu frekuensi nafas
yang meningkat, IMT yang Underweight, terlihat pelebaran sela iga, pada
auskultasi didapati ekspirasi memanjang serta adanya suara nafas tambahan
yaitu ronkhi dan wheezing di kedua lapangan paru.
37

4.2 Pemeriksaan Penunjang


4.2.1 pada Kasus
- Darah Rutin : kesan Leukositosis
- Kimia Darah : SGPT mengalami peningkatan yang tidak begitu
signifikan
- AGDA : kesan Alkaliosis Metabolik
- Foto Rontgen : Kesan Cardiomegali
- EKG : Kesan Sinus Takikardi
- Faal Paru Lengkap : Belum dilakukan
- Uji Latih Kardiopulmoner : Belum dilakukan
- Uji Provokasi Bronkus : Belum dilakukan
- Ekokardiografi : Belum dilakukan
- Kadar α-1 Antitripsin : Belum dilakukan

4.2.2 Pada Teori


- Pemeriksaan darah rutin, Kimia darah, AGDA, Foto rontgen, dan EKG
digunakan untuk menyingkirkan diagnosa lain dan menegakkan diagnose
utama pada pasien.

- Faal Paru Lenkap


Dilakukan untuk menilai fungsi paru- paru, apakah normal, restriksi,
obstruksi, atau campuran. Salah satu pemeriksaan yang dilakukan adalah
dengan menggunakan alat spirometry.

- Uji Latih Kardio Pulmoner


Uji yang dilakukan untuk memberikan penilaian secara lengkap tentang
respons latihan yang melibatkan paru, kardiovaskuler, hematopoetik,
neuropsikologis dan sistem musculoskeletal yang tidak cukup tercermin
melalui pengukuran masing-masing fungsi sistem organ. Dengan
pemeriksaan yang relatif noninvasif ini dilakukan dengan dua cara latihan
yang sering dilakukan dalam uji latih jantung paru yaitu treadmill dan
sepeda statis ergometer.
38

- Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya
hiperreaktivitas bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji
provokasi bronkus seperti uji dengan histamin, metakolin, kegiatan
jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua
destilata. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan FEV1
sebasar 20 % atau lebih

- Ekokardiografi
Bertujuan untuk menilai struktur dan fungsi jantung dengan akurat, apakah
keluhan dari pasien berasal dari jantung atau berasal dari paru- paru.

- Kadar α-1 tripsin


Untuk menilai apakah penyebab PPOK yang terjadi diakibatkan faktor
risiko genetic.

4.3 Terapi
4.3.1 Pada Kasus
- Diet Rendah Karbohidrat Tinggi Protein - Inj. Furosemid 1x 1 amp
- O2 2 - 3 liter/menit - Inj. Dexamethason/ 8 jam
- IVFD D5% + Drip Aminofilin 1amp 20tpm - Nebulizer Combivent/ 8 jam
- Inj. Levofloxacin 1x 750mg - Sukralfat syrp 3x1 cth
- Inj. Ozid/ 24 jam - Salbutamol tab 3x2mg

4.3.2 Pada Teori:


Pada pasien sudah dilakukang penanganan pertama di IGD sesuai alur dari
diagnosa PPOK Eksaserbasi Akut dengan pemberian terapi dimulai dengan
pemberian oksigen, Bronkodilator, Antibiotik, Mukolitik, Kortikosteroid,
dan pemberian nutrisi. Selain penatalaksanaan pada PPOK Eksaserbasi
Akut, pada pasien juga dilakukan penatalaksanaan dyspepsia dimana
diberikan obat- obatan golongan PPI, dan obat Mukoprotektor untuk
keluhan yang dikeluhkan oleh pasien.
39

BAB 5
KESIMPULAN

PPOK (Penyakit Paru Obsrtuktif Kronik) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial.
Menurut data penelitian dari Regional COPD Working Group yang dilakukan
di 12 negara di Asia Pasifik rata-rata prevalensi PPOK sebesar 6,3%, dengan yang
terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi di Vietnam sebanyak
6,7%. Indonesia menunjukkan prevalensi sebanyak 5,6% atau 4,8juta kasus untuk
PPOK derajat sedang sampai berat (Regional COPD Working Group, 2003)
Beberapa penyebab dan faktor- faktor yang berkaitan dengan risiko
timbulnya PPOK antara lain: asap rokok, Polusi udara, stress oksidatif, infeksi
saluran nafas bawah berulang, sosial ekonomi, tumbuh kembang paru, faktor gen.
Diagnosis banding dari PPOK, antara lain Asma, Gagal Jantung Kongestif,
Bronkiektasis, Tuberkulosis, Bronkiolitis Obliterans, Panbronkiolitis Difus. Untuk
menyingkirkan diagnosa banding tersebut dilakukan pemeriksaan peunjang agar
diagnosa pasti dari PPOK bisa ditegakkan.
Untuk penatalaksanaan dari PPOK dibagi menjadi 2 bagian, yaitu PPOK
Eksaserbasi Akut, atau PPOK dalam keadaan Stabil.
Prognosis dari PPOK tergantung dari cepat atau tidaknya dalam penegakan
diagnosa, semakin cepat diagnosis ditegakkan maka prognosis penderita baik,
begitu juga sebaliknya.
40

DAFTAR PUSTAKA

1. Jurnal “ Epidemiologic Study Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(Copd)” Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
2. Sudoyo. Aru W, Setiyohadi Bambang,dkk . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid III, ed V -Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
3. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesi (PDPI). Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan PPOK di Indonesia. 2011
5. Alsaggaf. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga
University; 2004
6. Antonio et all 2014. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA
7. Roberto RR et all 2013. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management
and Prevention. USA
8. GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and
Prevention 2017. [diakses 5 Oktober 2017]. Di unduh dari URL:
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=989
9. Setyohadi B, Arsana Moda P, Suryanto A. EIMED PAPDI:
Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency In Internal Medicine) Jilid
2. Jakarta: InternaPublishing.2011.

Anda mungkin juga menyukai