Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 11160035
Perkssembangan Manajemen Pemasaran
Pendahuluan
Manajemen Pemasaran merupakan disiplin ilmu yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Saat ini pemasaran tidak hanya berbicara mengenai aspek distribusi saja tetapi mencakup produk,
promosi, dan hubungannya dengan stakeholder dan masyarakat umum. Aliran pemikiran dalam
pemasaranpun berkembang dari aliran ekonomi klasik dan neo-klasik menuju aliran pemikiran proses
sosial dan ekonomi.
Definisi Pemasaran
Istilah pemasaran seringkali dirancukan dengan penjualan dan periklanan, padahal istilah pemasaran
mempunyai pengertian yang jauh lebih luas. Ada banyak pengertian pemasaran menurut para ahli
yang berkembang dari waktu ke waktu. Salah satu definisi dari American Marketing Assosiation (2007)
menjelaskan bahwa pemasaran merupakan sebuah aktivitas, serangkaian institusi dan proses
menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan mempertukarkan tawaran (offerings) yang
bernilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat umum.
Adanya banyak pengertian mengenai pemasaran, Keith Crosier (1975) mengelompokkan pengertian
tersebut menjadi tiga bagian, yaitu pemasaran sebagai proses, konsep/filosopi bisnis dan orientasi.
Pengertian-pengertian yang diungkapkan oleh banyak pakar itu tidaklah saling bertentangan satu
sama lain, justru setiap rumusan tersebut saling melengkapi yang mencerminkan kompleksitas
fenomena pemasaran, di mana perspektif berbeda cenderung menekankan aspek yang berbeda pula.
Tahun 1935 American Marketing Assosiation (AMA) mendefinisikan pemasaran sebagai kinerja
aktivitas bisnis yang mengatur aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Tahun 1960 AMA
meredifinisikan sebagai proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga, promosi
dan distribusi gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan
individual dan organisasional. Selanjutnya pada tahun 2004 AMA meredifinisikan pengertian
pemasaran sebagai fungsi organisasi dan serangkaian proses menciptakan, mengkomunikasikan, dan
menyampaikan nilai bagi pelanggan, serta mengelola relasi pelanggan sedemikian upa sehingga
memberikan manfaat bagi oganiasasi dan para stakeholder. Definisi ini banyak mendapat kritik dari
berbagai pihak yang dianggap bahwa pengertian tesebut dinilai terlalu menekankan aspek praktik
manajemen dari pada memandang pemasaran sebagai sebuah fenomena sosial yang lebih luas
(Zinkhan & William, 2007).
Banyaknya kritikan yang ditujukan kepada AMA, akhirnya AMA membentuk komite khusus yang
terdiri dari perwakilan semua sub disiplin pemasaran untuk meninjau ulang definisi pemasaran.
Sehingga munculah definisi mengenai pemasaran pada tahun 2007, dimana pemasaran dipandang
sebagai aktivitas dan bukan sekedar fungsi organisasional. Selain itu, pemasaran diposisikan sebagai
aktivitas yang lebih luas dalam perusahaan atau organisasi, dan bukan sekedar aktivitas sebuah
departemen. Fokus pemasaran beralih dari yang semula menekankan pertukaran jangka pendek
menjadi penyediaan nilai jangka panjang (long term value) bagi para pemangku kepentingan.
Perbedaan definisi oleh berbagai pakar tersebut membuat perdebatan hingga saat ini, sehingga dalam
pembuatan definisi yang baik harus memenuhi kriteria utama yaitu
inkiusivitas (inclusivity), eksklusifitas (exclusivity), differentiability, kejelasan (clarity),
communicability, konsistensi dan parsimony (Hunt, 2007). Dengan kata lain pembuatan definisi harus:
Praktik pemasaran sebenarnya telah dilakukan sejak dulu, namun secara studi secara formal bisa
dikatakan masih relatif baru. Sejumlah riset sejarah pemikiran mengenai pemasaran difokuskan pada:
Akar pemikiran pemasaran bermula dari ilmu ekonomika tahun 1800-1920, terutama aliran ekonomi
klasik dan neo-klasik (Alfred, J.Say, Adam Smith). Ilmu ekonomika merupakan ilmu sosial pertama yang
mampu mencapai tingkat kecanggihan kuantitatif sebagaimana karakteristik ilmu alam, dengan
memandang aspek nilai (value) yang dievaluasi bedasarkan utilitas yang didapatkan dari produk fisik,
namun dalam hal ini peranan pemasaran relatif terbatas pada aspek distribusi saja.
Selanjutnya muncul 3 aliran utama pada era pemasaran formatif (1900-1950) yaitu :
1. Aliran Komoditas, menekankan pada distribusi dan pertukaran komoditas (terutama hasil pertanian)
dan produkmanufaktur
2. Aliran Institusional, berfokus pada peranan institusi pemasaran dalam menyediakan barang dan
mengatur pengalihan kepemilikan dari produsen ke konsumen.
3. Aliran Fungsional, berpusat pada fungsi-fungsi yang perlu dijalankan untuk menfasilitasi petukaran
barang melalui institusi pemasaran.
Tahun 1950-1980, aliran fungsional bergeser ke aliran manajemen pemasaran yang berfokus pada
ancangan pembuatan keputusan dalam mengelola fungsi pemasaran dengan menggunakan teknik
analisisis yang mengadopsi dari mikroekonomi dengan variabel utamanya yaitu konsep bauran
pemasaran (marketing mix). Konsep ini pertama kali digagas oleh Neil Borden pada tahun 1964,
walaupun sebenarnya istilah ini sudah digunakan dulu pada tahun 1948 yang terinspirasi oleh James
Culliton, dengan mengidentifikasikan menjadi 4 faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan
elemen spesifik bauran pemasaran :
1. Perilaku pembelian konsumen (motivasi pembelian, kebiasaan bebelanja, lingkungan, daya beli,
jumlah konsumen)
2. Perilaku distributor (motivasi, struktur, praktik, sikap, dan perubahannya)
3. Posisi dan perilaku pesaing (struktur industri, kondisi pasokan dan permintaan, pilihan yang tersedia
bagi konsumen, persaingan harga/non harga, motivasi dan sikap pesaing, tren teknologi dan sosial)
4. Peilaku pemerintah (kendali atas pemasaran, regulasi berkenaan dengan harga, praktik kompetisi,
periklanan dan promosi)
Akhirnya sejumlah pakar berusaha memodifikasi, menambah elemen baru, atau bahkan bahkan
menawarkan kerangka alternatif, seperti misalnya bauran pemasaran dengan 4P + 3P, 4P + 2P, 4C, dsb
termasuk munculnya analisis baru di luar mikroeknomika misalnya relationship marketing,
manajemen kualitas, orientasi pasar dll. Namun demikian salah satu perkembangan yang dipandang
sebagai karakteristik kunci (Vargo & Lusch, 2004) dalam periode itu adalah kemunculan pemasaran
jasa sebagai sub-disipiln baru yang dipicu oleh kelemahan dominant logic berbasis pemasaran barang
fisik. Sub-disiplin baru ini dalam pemasaran dinamakan sebagai service-dominant logic (S-D logic)
yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
Revolusi industri 4.0 membuka kesempatan dan memberi tantangan baru bagi setiap negara agar bisa
bertahan dalam persaingan global yang kompetitif. Indonesia termasuk menjadi negara yang harus
siap menghadapi revolusi industri 4.0. tentu kompetisi baru ini harus ditopang dengan dukungan
penuh dari pemerintah.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menyatakan terdapat 5 sektor industri yang
akan ditonjolkan dalam kompetisi industri ini. Yakni industri makanan dan minuman, elektronik,
otomotif, tekstil, alas kaki, dan industri kimia yang menjadi fokus pengembangnya. Meningkatnya
indek daya Indonesia membawa langkah yang cukup positif. Indeks daya saing Indonesia
menurut Global Competiveness Index (GCI) 2017-2018 berada di ranking ke 36 dari 137 negara.
Peringkat tersebut menanjak 10 peringkat dari posisi sebelumnya di periode 2015-2016 yang masih
berada di posisi 62.
Prestasi ini tentu memberi semangat baru menyikapi industri 4.0. Perekonomian dunia sudah
bergeser ke perekonomian berbasis teknologi informasi memberi tantangan baru bagi negara. Untuk
itu, pemerintah tengah menyiapkan jaringan infrastruktur 5G untuk mendukung pelaksanaan industri
4.0. Jaringan ini dinilai penting karena era digitalisasi membutuhkan akses data internet cepat.
Revolusi industri 4.0 justru akan membuka kesempatan kerja yang lebih luas serta membangun
pekerjaan manusia menjadi lebih cepat dan mudah. Tentu dengan kesiapan SDM yang mumpuni.
Sinergi antar lembaga dalam hal ini sangat membantu dalam mencetak SDM yang memiliki daya saing
yang tinggi.
Pemerintah telah membentuk Komite Industri Nasional melalui Kementerian Perindustrian. Komite
ini akan memperkuat kerja sama dan memfasilitasi penyelarasan di antara kementerian dan lembaga
terkait dengan para pelaku industri dalam negeri agar Indonesia mampu kompetitif memasuki era
digital ini.
Terdapat 4 (empat) langkah strategis yang telah diidentifikasi oleh Menteri Perindustrian RI Airlangga
Hartarto supaya Indonesia bisa siap menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Pertama, dari sisi sumber daya manusia (SDM), angkatan kerja Indonesia perlu meningkatkan
keterampilannya dalam memahami penggunaan internet of things. Untuk itu, pendidikan vokasi perlu
diarahkan supaya dapat link and match dengan kebutuhan industri di masa depan. Hal ini juga
dibutuhkan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil yang siap pakai di sektor industri dengan target
mencapai satu juta orang pada 2019.
Kedua, pengembangan program e-smart industri kecil dan menengah (IKM). Melalui program
tersebut, diharapkan penguasaan pemanfaatan teknologi digital dapat memacu produktivitas dan
daya saing industri nasional.
Ketiga, pemerintah juga meminta industri nasional dapat menggalakkan penggunaan teknologi digital
(Big Data, Autonomous Robots, Cybersecurity, Cloud dan Augmented Reality) yang pada akhirnya
dapat menaikkan efisiensi dan mengurangi biaya sekitar 12-15%.
Keempat, fasilitasi pembangunan tempat inkubasi bisnis yang dapat mendorong pengembangan
startup di tingkat nasional. Upaya Pemerintah ini terlihat melalui pembangunan beberapa
technoparks seperti di Bandung (Bandung Techno Park), Denpasar (TohpaTI Center), Semarang
(Incubator Business Center Semarang), Makassar (Makassar Techno Park) dan Batam (Pusat Desain
Ponsel). Tidak hanya pemerintah, institusi pendidikan maupun kalangan swasta juga telah turut
membangun fasilitas technoparks di beberapa wilayah Indonesia.
Prospek ekonomi mikro dan makro Indonesia terkait industri 4.0