Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peredaran zat-zat gizi dari karbohidrat, lemak, dan protein dalam proses metabolisme
dipengaruhi oleh berbagai hormon, termasuk hormon insulin, glukagon, ephineprin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan. Pada berbagai kondisi insulin dan glukagon secara normal merupakan
hormon pengatur yang paling dominan mengubah jalur metabolik dari anabolisme netto menjadi
katabolisme netto bolak-balik dan penghematan glukosa, yang masing-masing bergantung pada
apakah tubuh berada dalam keadaan kenyang atau puasa.
Pankreas berfungsi sebagai organ endokrin dan eksokrin. Fungsinya sebagai organ
endokrin didukung oleh pulau-pulau Langerhans (Islets of Langeerhans)yang terdiri tiga jenis sel
yaitu; sel alpha (α) menghasilkan glukagon, sel beta (β) menghasilkan insulin dan merupakan
jenis sel pankreas paling banyak, sel deltha (D) menghasilkan somatostatin namun fungsinya
belum jelas diketahui, dan sel PP menghasilkan polipeptida pancreas.
Bahkan keseimbangan kadar gula darah sangat dipengaruhi oleh kedua hormon ini. Fungsi
kedua hormon ini saling bertolak belakang. Kalau secara umum, sekresi hormon insulin akan
menurunkan kadar gula dalam darah sebaliknya untuk sekresin hormon glukagon akan
meningkatkan kadar gula dalam darah. Perangsangan glukagon bila kadar gula darah rendah, dan
asam amino darah meningkat. Efek glukagon ini juga sama dengan efek kortisol, GH dan
epinefrin.Dalam meningkatkan kadar gula darah, glukagon merangsang glikogenolisis
(pemecahan glikogen menjadi glukosa) dan meningkatkan transportasi asam amino dari otot
serta meningkatkan glukoneogenesis (pemecahan glukosa dari yang bukan karbohidrat).
Insulin adalah hormon yang mengubah glukosa menjadi glikogen, dan berfungsi mengatur
kadar gula darah bersama hormon glukagon. Kekurangan insulin karena cacat genetik pada
pankreas, menyebabkan seseorang menderita diabetes melitus (kencing manis) yang berdampak
sangat luas terhadap kesehatan, mulai kebutaan hingga impotensi. Sebelum ditemukan teknik
sintesis insulin, hormon ini hanya bisa diperoleh dari ekstraksi pankreas babi atau sapi, dan
sangat sedikit insulin bisa diperoleh. Setelah ditemukan teknik sintesis insulin di bidang
bioteknologi inilah, harga insulin bisa ditekan dengan sangat drastis sehingga bisa membantu
para penderita diabetes melitus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa dimaksud dengan insulin?
2. Bagaiman mekanisme kerja insulin?
3. Bagaimana efek samping dari insulin?
4. Bagaimana penggolongan sediaan insulin?
5. Bagaimana cara pemberian insulin?
6. Bagaiman cara injeksi insulin?
7. Dimana lokasi injeksi insulin?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dengan insulin.
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja insulin.
3. Untuk mengetahui efek samping dari insulin.
4. Untuk mengetahui penggolongan sediaan insulin.
5. Untuk mengetahui cara pemberian insulin.
6. Untuk mengetahui cara injeksi insulin.
7. Untuk mengetahui lokasi injeksi insulin.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai suatu media informasi bagi
mahasiswa untuk mengetahui pengertian, dan fungsi insulin.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Insulin
Insulin adalah hormon utama yang mengendalikan glukosa dari darah ke dalam sebagian
besar sel (terutama sel otot dan lemak, tetapi tidak pada sel sistem saraf pusat). Oleh karena itu,
kekurangan insulin atau kekurang pekaan reseptor-reseptor memainkan peran sentral dalam
segala bentuk diabetes mellitus. Sebagian besar karbohidrat dalam makanan akan diubah dalam
waktu beberapa jam ke dalam bentuk gula monosakarida yang merupakan karbohidrat utama
yang ditemukan dalam darah dan digunakan oleh tubuh sebagai bahan bakar. Insulin dilepaskan
ke dalam darah oleh sel beta (β-sel) yang berada di pankreas, sebagai respons atas kenaikan
tingkat gula darah, biasanya setelah makan. Insulin digunakan oleh sekitar dua pertiga dari sel-
sel tubuh yang menyerap glukosa dari darah untuk digunakan sel-sel sebagai bahan bakar, untuk
konversi ke molekul lain yang diperlukan, atau untuk penyimpanan.
Insulin juga merupakan sinyal kontrol utama untuk konversi dari glukosa ke glycogen
untuk penyimpanan internal dalam hati dan sel otot. Tingkatan insulin yang lebih tinggi
menaikkan anabolic (rangkaian jalur metabolisme untuk membangun molekul dari unit yang
lebih kecil), seperti proses pertumbuhan sel dan duplikasi, sintesa protein, lemak dan
penyimpanan. Insulin adalah sinyal utama dalam mengkonversi banyak bidirectional proses
metabolisme dari catabolic (rangkaian jalur metabolisme untuk membongkar molekul-molekul
ke dalam bentuk unit yang lebih kecil dan melepaskan energi) ke anabolic, dan sebaliknya.
Secara khusus, tingkatan insulin yang lebih rendah berguna sebagai pemicu masuk keluarnya
ketosis (fase metabolik pembakaran lemak).
Jika jumlah insulin yang tersedia tidak cukup, jika sel buruk untuk merespon efek dari
insulin (kekurangpekaan atau perlawanan terhadap insulin), atau jika insulin cacat/defective,
maka gula tidak akan diserap dengan baik oleh orang-orang sel-sel tubuh yang memerlukannya
dan tidak akan disimpan dengan baik di hati dan otot. Efek selanjutnya adalah tingkat gula darah
yang tetap tinggi , miskin sintesis protein, dan lainnya kekacauan metabolisme lainnya, seperti
acidosis yaitu meningkatnya keasaman (konsentrasi ion hidrogen) dalam darah. Insulin telah
digunakan sebagai terapi pada manusia sejak awal tahun 1990. Tetapi tahukah Anda jika insulin
memiliki beberapa jenis yang diklasifikasikan berdasar pada durasi kerjanya? Yang dimaksud
dengan durasi kerja insulin adalah lamanya waktu yang diperlukan oleh insulin untuk mencapai
aliran darah dan mulai menurunkan kadar gula dalam darah sejak ia dimasukkan ke dalam tubuh
penderita. Berdasar waktu yang diperlukan dalam bekerja, insulin terbagi dalam 4 jenis insulin
yaitu reaksi pendek, reaksi panjang, reaksi menengah dan reaksi cepat.
Insulin reaksi pendek disebut juga sebagai clear insulin, ia adalah jenis obat insulin yang
memiliki sifat transparan dan mulai bekerja dalam tubuh dalam waktu 30 menit sejak ia
dimasukkan ke dalam tubuh. Obat insulin ini bekerja secara maksimal selama 1 sampai 3 jam
dalam aliran darah penderita, dan segera menghilang setalah 6-8 jam kemudian. Maka penderita
diabetes harus mengulang beberapa kali dalam sehari jika menggunakan insulin jenis ini. Insulin
reaksi panjang merupakan jenis insulin yang mulai bekerja 1 hingga 2 jam setelah ia disuntikkan
ke dalam tubuh seseorang. Tetapi obat insulin ini tidak memiliki masa reaksi puncak, sehingga ia
bekerja secara stabil dalam waktu yang lama yaitu 24 sampai 36 jam di dalam tubuh penderita
diabetes. Karena pengaruhnya dapat bertahan dalam waktu yang lama, maka penderita dapat
tetap mimiliki energi meskipun ia tidak mengkonsumsi makanan.
Obat insulin yang termasuk jenis ini adalah Levemir dan Lantus. Sebuah studi yang
dilakukan oleh Russel Jones pada tahun 2007 mengungkapkan bahwa Levemir lebih mampu
ditoleransi oleh tubuh manusia dengan baik karena menimbulkan efek penambahan berat badan
yang minimal. Jenis insulin reaksi menengah adalah insulin yang mulai efektif bekerja
menurunkan gula darah sejak 1 sampai 2 jam setelah disuntikkan ke dalam tubuh. Obat ini
bereaksi secara maksimal selama 6-10 jam, dan berakhir setelah 10-16 jam setelahnya,
contohnya Humulin m3, Hypurin, dan Insuman. Insulin reaksi cepat akan langsung bekerja 5-15
menit setelah masuk ke dalam tubuh penderita. Ia memiliki tingkat reaksi maksimal selama 30-
90 menit, dan pengaruhnya akan segera menghilang setelah 3-5 jam kemudian. Contoh obat
insulin ini berupa Lispro, Actrapid, Novorapid, dan Velosulin.
Masa reaksi obat insulin juga dipengaruhi oleh kemampuan tubuh seseorang dalam
merespon obat ini. Maka diproduksi pual jenis insulin campuran, yang merupakan kombinasi
dari dua jenis-jenis insulin di atas. Selain itu penggunaanya harus dibawah pengawasan dokter
untuk menentukan dosis yang sesuai dengan kebutuhan setiap penderita.
Indikasi Terapi dengan Insulin
Semua penyandang DM tipe I memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh sel
beta tidak ada atau hampir tidak ada.
Penyandang DM tipe II tertentu mungkin membutuhkan insulin bila terapi jenis lain tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut
atau stroke.
DM gestasional dan penyandang DM yang hamil membutuhkan insulinbila diet saja tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
Ketoasidosis diabetik.
Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik.
Penyandang DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi
kalori, untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap akan
memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal
selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhaninsulin.
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hipoglikemi oral.
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1. Insulin kerja singkat
Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin / CZI ). Saat ini dikenal 2
macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang ada antara lain :
Actrapid, Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum makan, mencapai
puncak setelah 1– 3 macam dan efeknya dapat bertahan samapai 8 jam.
2. Insulin kerja menengah
Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn ( NPH ),MonotardÒ, InsulatardÒ. Jenis
ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat
bertahan sampai dengan 24 jam.
3. Insulin kerja panjang
Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat dari tempat
penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Preparat:
Protamine Zinc Insulin ( PZI ), Ultratard
4. Insulin infasik (campuran)
Merupakan kombinasi insulin jenis singkat dan menengah. Preparatnya: Mixtard 30 / 40.
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat
karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6
jam sekali.
Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
Gula darah < 60 mg % = 0 unit
Gula darah < 200 mg % = 5 – 8 unit
Gula darah 200 – 250 mg% = 10 – 12 unit
Gula darah 250 - 300 mg% = 15 – 16 unit
Gula darah 300 – 350 mg% = 20 unit
Gula darah > 350 mg% = 20 – 24 unit

B. Mekanisme Kerja Insulin


Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta
kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis
dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi
glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan
hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena
fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah.
Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan
terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino
dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta.
Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya
rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami
secara jelas.

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan
oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk
dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter
(GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam
proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari
luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke
dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami
proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul
ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan
K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian
oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca
sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses
sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.(
Gambar 1 )
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan
oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh
beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat
anti diab
etes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan
glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta.

Glucose Ca2+
K+ channel Insulin
GLUT-2 Channel Release
shut Opens

Glucose K+ 

Glucose-6-phosphate Insulin + C peptide

Depolarization Cleavage

ATP of membrane enzymes


Proinsulin
Glucose signaling
preproinsulin
Preproinsulin
B. cell Insulin Synthesis

Gb.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi

Glukosa ( Kramer,95 )

Dinamika Sekresi Insulin

Dinamika sekresi insulin


Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh
sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi
insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang
berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi
glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut,
menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme
glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi
segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi
fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan
untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan.
Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena
pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial.
Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan
berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal,
bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa
darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk
hiperinsulinemia kompensatif.

Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent
phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu
relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya
diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama,
seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa
darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak
adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2.
Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh
agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif
perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar
dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi
Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.

Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga
normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal.
Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada fase
2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan
fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat
memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak
negatifnya.

Intravenous Second
glucose
Insulin stimulation Phase
IGT
Secreti
on First-Phase

Normal

Basal Type 2DM

0 5 10 15 20 25 30 ( minute )

Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada


keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta ( Ward, 84)

Aksi Insulin
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama
metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh
hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis
reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan
antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi
atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang
sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong
penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja
memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism (Gb. 3).
Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta
dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal.
Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah
satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa
di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan
pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut
berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa,
lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara
normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar )
resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi
glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi
insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.

1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa


meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6. kembali
kesuasana semula.
Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan
perifer ( Girard, 1995 )

Efek Metabolisme dari Insulin

Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula
dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa
darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada diabetes
melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan
metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin
(defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin),
disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1),
gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi
insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat).
Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa
darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan
kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum).

Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang
bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan
cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar
glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara
klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar
glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk
peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara substitusi insulin,
disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin ( insulin sensitizer ).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin,
pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara
klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi
Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme
kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara
relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu
(TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g
glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga
dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 – 126 mg/dl, yang
disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).
Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau
hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi
dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis
dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia
(lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres
oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT
menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan
sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan
bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun
hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular,
meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul
semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari
peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar
semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap
proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi
glukosa dari hepar.
Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja
fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat langsung
terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya
disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh
rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh
lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan
penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan
protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang
dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta
berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari darah
ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk
ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana
seharusnya.
Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum makan) dan
insulin prandial (setelah makan).
1) Sekresi insulin basal kira-kira 1 unit/jam dan terjadi diantara waktu makan, waktu malam hari
dan keadaan puasa.

2) Sekresi insulin prandial menghasilkan kadar insulin 5-10 kali lebih besar dari kadar insulin
basal dan diproduksi secara pulsatif dalam waktu 0,5-1 jam sesudah makan dan mencapai puncak
dalam 30-45 menit, kemudian menurun dengan cepat mengikuti penurunan kadar glukosa basal.
Kemampuan sekresi insulin prandial berkaitan erat dengan kemampuan ambilan glukosa oleh
jaringan perifer.

Pada pasien diabetes mellitus tidak memiliki kemampuan untuk mengambil dan
menggunakan gula darah, sehingga kadar gula darah meningkat.
Pada diabetes tipe I, pancreas tidak dapat memproduksi insulin. Sehingga pemberian insulin
eksogen diperlukan. Pada diabetes tipe 2, pasien memproduksi insulin, tetapi sel tubuh tidak
meerespon insulin dengan normal. Namun demikian, insulin juga digunakan pada diabetes tipe 2
untuk mengatasi resistensi sel terhadap insulin
C. Efek Samping Insulin
Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Alergi sistemik atau local
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75% pasien
yang diberikan insulin konvensional dapat terjadi Lipoatrofi yaitu terjadi lekukan di bawah kulit
tempat suntikan akibat atrofi jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi imun dan
lebih sering terjadi pada wanita muda terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak
begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan jaringan lemak subkutan di tempat suntikan
akibat lipogenikinsulin. Lebih banyak ditemukan di negara yang memakai insulin murni.
Regresi terjadi bila insulin tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.
Reaksi alergi lokal terjadi 10x lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada
penggunaan sediaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat
suntikan yang terjadi dalam beberpa menit atau jam dan berlagsung. Selama beberapa hari.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal
atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptiK yang
menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan hilang secara
spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit, angioudem, gangguan
gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat jarang ialah hipotensi dan shock yang
diakhiri kematian. Jika insulin diberikan lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk metabolisme
glukosa timbul reaksi hipoglikemia atau syok insulin dapat diatasi dengan memberikan gula
peroral atau intravena meningkatkan pemakaian insulin. Pada keadaan dimana jumlah insulin
tidak cukup, gula tidak dapat dimetabolismesasikan sehinggga terjadi metabolisme lemak,
pemakaian asam lemak [ keton ] untuk energi menimbulkan ketoasidosis.

D. Penggolongan Sediaan Insulin


Insulin sampai saat ini dikelompokkan menjadi beberapa jenis antara lain:
1. Kerja cepat (rapid acting)
Bentuknya larutan jernih, efek puncak 1 - 3 jam setelah penyuntikan, durasi kerja sampai 6 jam.
Merupakan satu-satunya insulin yang dapat dipergunakan secara intra vena. Bisa dicampur
dengan insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang.Contoh: Actrapid, Humulin R,Reguler
Insulin (Crystal Zinc Insulin/ CZI). Saat ini dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk
asam dan netral. Contoh sediaan CZI misalnya Velosulin, Semilente.
2. Kerja menengah (intermediate acting)
Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya
dapat bertahan sampai dengan 24 jam. Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur
kecil, dibuat dengan menambahkan bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara
memperlambat penyerapan insulin kedalam darah. Dengan menambah protamin (NPH / Neutral
Protamin Hagedom) atau zinc (pada insulin lente), maka bentuknya menjadi suspensi yang akan
memperlambat absorpsi sehingga efek menjadi lebih panjang. Bentuk NPH tidak imunogenik
karena protamin bukanlah protein. Contoh : Insulatard, Monotard, Humulin N, NPH, Insulin
Lente.
3. Kerja panjang (long acting)
Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat dari tempat
penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lama, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Insulin bentuk
ini diperlukan untuk tujuan mempertahankan insulin basal yang konstan. Semua jenis insulin
yang beredar saat ini sudah sangat murni, sebab apabila tidak murni akan memicu imunogenitas,
resistensi, lipoatrofi atau lipohipertrofi. Contoh: Insulin Glargine, Insulin Ultralente, PZI
(Protamine Zinc Insulin).
4. Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix)
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Insulin ini
mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Contoh : Mixtard 30 / 40.

E. Cara Pemberian Insulin


Insulin kerja singkat :
IV, IM, SC
Infus ( AA / Glukosa / elektrolit )
Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Insulin kerja menengah / panjang :
Saat ini juga tersedia insulin campuran (premixed) kerja cepat dan kerja menengah.

F. Cara injeksi Insulin


Insulin umumnya diberikan dengan suntikan dibawah kulit (subkutan / SC ). Pada keadaan
khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.Insulin dapat diberikan
tunggal (satu macam insulin kerja cepat, kerja menengah atau kerja panjang) tetapi juga dapat
diberikan kombinasi insulinkerja cepat dan kerja menengah, sesuai dengan respons individu
terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
Lokasi penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat
suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya
dapat dipakai lebih dari satu kali oleh pasien yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian
kosentrasi insulin (U40, U100) dengan semprit yang dipakai. Dianjurkan dipakai konsentrasi
yang tetap. Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen yang kemudian diikuti oleh
daerah lengan, paha bagian atas bokong. Bila disuntikan secara intramuskular dalam maka
penyerapan akan terjadi lebih cepat dan masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang
dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat
masa kerja. Pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia seperti pada non lanjut usia, uyaitu
adanya kegagalan terapi ADO, ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya infeksi ( stress ) dll.
Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang dicampur dengan kerja insulin kerja cepat,
dapat diberikan satu atau dua kali sehari. Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia
ialah karena pasien tidak mau menyuntik sendiri karena persoalnnya pada matanya, tremor, atau
keadaan fisik yang terganggu serta adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini tentulah sangat
diperlukan bantuan dari keluarganya.

G. Lokasi Injeksi Insulin


Tiap bagian tubuh yang ditutupi kulit yang longgar dapat dipakai sebagai tempat injeksi
insulin termasuk abdomen, paha, lengan atas, pinggang dan kuadran atas luar dari bokong.
Secara umum insulin akan lebih cepat diabsorpsi dari bagian atas tubuh seperti bagian deltoid
dan abdomen dibanding dari paha dan bokong. Rotasi dari injeksi terus dianjurkan guna
menghindari absorpsi yang terhambat karena adanya fibrosis atau lipohipertropi akibat injeksi
berulang hanya pada satu tempat. Asosiasi Diabetes America menganjurkan insulin dapat
diinjeksikan pada satu daerah yang sama selama satu minggu dengan jarak setiap injeksi 1 ½
inci [ satu ruas jari tangan ] dengan penyuntikan insulin secara sub cutan atau tepat di bawah
lapisan kulit.

BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN

Insulin mempunyai beberapa pengaruh dalam jaringan tubuh. Insulin menstimulasi


pemasukan asam amino kedalam sel kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin
meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi.
Insulin menstimulasi pemasukan glukosa kedalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi
dan membantu penyimpanan glikogen didalam sel otot dan hati. Insulin endogin adalah insulin
yang dihasilkan oleh pankreas, sedangkan insulin eksogin adalah insulin yang disuntikkan dan
merupakan suatu produk farmasi.

SARAN
Semoga dapat dijadikan sumber informasi dan pengetahuan untuk para pembaca dan
masyarakat umum, dan selalu mencari sumber referensi lain agar ilmu yang didapat selalu
menjadi terbaru. Dapat dijadikan pedoman untuk melakukan tindakan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ashcroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-sensitive K+ channels and insulin secretion: Their role in
health and disease. Diabetologia 42: 903-19.
Ashcroft FM, Gribble FM, 1999. Differential sensitivity of beta-cell and extrapancreatic K ATP
channels to gliclazide. Diabetologia 42: 845-8.
Cerasi E, 2001.The islet in type 2 diabetes: Back to center stage. Diabetes 50: S1-S3.
Ceriello A, 2002. The possible role of postprandial hyperglycemia in the pathogenesis of diabetic
complications. Diabetologia 42:117-22.

Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 – 80

Ferrannini E, 1998. Insulin resistance versus insulin deficiency in non insulin dependent
diabetes mellitus: Problems and prospects. Endocrine Reviews 19: 477-90.

Gerich JE, 1998. The genetic basis of type 2 diabetes mellitus: impaired insulin secretion versus
impaired insulin sensitivity. Endocrine Reviews 19: 491-503.

Girard J, 1995. NIDDM and glucose transport in cells. In ( Assan, R, ed ) NIDDM and glucose
transport in cells. Molecular Endocrinology and Development CNRS Meudon, France: 6 –
16.

Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 – 80

Nielsen MF, Nyholm B, Caumo A, Chandramouli V, Schumann WC, Cobelli C, et al, 2000.
Prandial glucose effectiveness and fasting gluconeogenesis in insulin-resistant first-degree
relatives of patients with type 2 diabetes. Diabetes 49: 2135-41.
Prato SD, 2002. Loss of early insulin secretion leads to postprandial hyperglycaemia.
Diabetologia 29: 47-53.
Suryohudoyo P, 2000. Ilmu kedokteran molekuler. Ed I, Jakarta: Perpustakaan Nasional, hlm 48-
58.
Suzuki H, Fukushima M, Usami M, Ikeda M, Taniguchi A, Nakai Y, et al,2003.Factors
responsible for development from normal glocose tolerance to isolated postchallenge
hyperglycemia. Diabetes Care 26: 1211-5.
Tjokroprawiro A, 1999. Diabetes mellitus and syndrome 32 (A step forward to era of
globalisation–2003). JSPS-DNC symposium, Surabaya: 1-6.
Ward WD, 1984. Pathophysiology of insulin secretion in non insulin dependent diabetes
mellitus. Diabetes Care 7 : 491 - 502
Weyer C, Bogardus C, Mort DM, Tataranni PA, Pratley RE, 2000. Insulin resistance and insulin
secretory dysfunction are independent predictors of worsening of glucose tolerance during
each stage of type 2 diabetes development. Diabetes Care 24: 89-94.

Anda mungkin juga menyukai