Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN SEMANTIK TERHADAP PRODUK HUKUM TERTULIS

DI INDONESIA*

Ikhwan M. Said**

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar


Jalan Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan 90245

Abstract
This study aims at revealing two prime points (1) how is Indonesian Language utilized in legal practice in
Indonesia and (2) which method is frequently used by legal practitioners in interpreting a certain word?
This is a descriptive-qualitative study. The data of the research are sentences or phrases taken randomly
from the criminal code (KUHPidana), civil code (KUHPerdata), trade code (KUHDagang), decrees,
explanations of legislation (laws). The analysis employed is descriptive and prescriptive. It was figured
out that the use of Indonesian language in legal aspect was manifested in seven processes: translation,
abstraction, association, typology, meaning emphasis, simplicity, and legal choices. While the interpretive
method used is interpretations and construction methods.
Keywords: Indonesia language, legal practitioner.

Intisari
Tulisan ini bertujuan menjawab dua persoalan, yaitu (1) bagaimana wujud penggunaan bahasa Indonesia
dalam praktik hukum di Indonesia, dan (2) metode yang seringkali digunakan oleh praktisi hukum dalam
menginterpretasikan suatu kata. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Datanya
adalah kalimat atau frasa yang diambil secara acak dari KUHPidana, KUHPerdata, KUHDagang,
surat-surat keputusan, dan penjelasan undang-undang. Analisis datanya adalah analisis deskriptif dan
preskriptif. Diketahui bahwa wujud penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang hukum ada tujuh proses
(penerjemahan, abstraksi, asosiasi, tipologi, penekanan makna, pemadatan, dan pilihan hukum). Sementara
metode penginterpretasiannya adalah metode penafsiran dan metode konstruksi.
Kata Kunci: bahasa Indonesia, praktisi hukum.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang . ......................................................................................................................... 188
B. Metode penelitian ...................................................................................................................... 190.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan............................................................................................... 190
1. Wujud Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Praktik Hukum di Indonesia......................... 190
2. Penggunaan Metode dalam Penginterpretasian Kata/Istilah oleh Praktisi Hukum.............. 193
D. Kesimpulan................................................................................................................................. 197

*
Laporan Penelitian yang didukung oleh Hankuk University of Foreign Studies Research Fund Tahun 2011.
**
Alamat korespondensi: ionesaid@gmail.com
188 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

A. Latar Belakang komunitas sosial berstatus/bergengsi tinggi2.


Berbicara tentang hukum tidak bisa terlepas Mereka adalah perancang dan sekaligus perumus
dari subjeknya, yaitu manusia. Manusia sebagai peraturan perundang-undangan (legislative drafter)
makhluk sosial selalu hidup berkelompok. dan pembentuk undang-undang atau pengundang-
Dalam berkehidupan sosial ini mereka mesti undang (legislator/wetgiver). Komunitas sosial
saling berinteraksi satu sama lain melalui media ini menyebut laras bahasa yang dipakai mereka
bahasa. Pada sisi lain, proses berinteraksi mereka sebagai bahasa hukum yang dianggap berbeda
itu membutuhkan suatu aturan atau ketentuan dari bahasa Indonesia resmi.
(hukum) yang dapat dipedomani. Hukum itu Sebagai bagian dari bahasa Indonesia,
juga menggunakan bahasa sebagai medianya. bahasa hukum (selanjutnya secara teknis penulis
Dengan demikian, antara bahasa dan hukum menggunakan istilah laras bahasa hukum)
terdapat hubungan erat. Keeratan hubungan antar sebagaimana yang digunakan Lumintaintang
keduanya pada giliran selanjutnya akan dapat selayaknya mengikuti kaidah bahasa Indonesia
melahirkan istilah bahasa hukum. Penggunaan secara umum dan juga tidak membuka peluang
istilah bahasa hukum dalam konteks ini bukanlah terjadinya interpretasi ganda (multi interpretation).
secara linguistik, melainkan secara sosiologis. Interpretasi ganda sangat perlu dihindari agar
Alasannya, bahasa hukum Indonesia adalah kepastian hukum dapat dijamin. Di samping itu,
bahasa nasional Indonesia yang dipergunakan laras bahasa hukum tertulis bukanlah bahasa yang
dalam penyusunan perundang-undangan yang dimiliki oleh kalangan hukum saja sebagaimana
dibentuk menurut acuan sistem yang berlaku terindikasi selama ini, melainkan milik masyarakat
dalam bahasa Indonesia baku. pada umumnya. Terhadap produk hukum tertulis
Secara mengkhusus, cakupan pengertian atau secara sederhana dapat disebut sebagai
bahasa hukum melingkupi baik berwujud dokumen hukum itu, fokus perhatian diarahkan
produk hukum tertulis (perundang-undangan, kepada aspek semantik. Dari aspek semantik,
yurisprudensi, tuntutan hukum (requisitor), suatu kata atau istilah dalam bidang hukum
pembelaan (pledooi), surat-surat dalam perkara mengharuskan pemenuhan kedua syarat, yaitu
perdata dan lain-lain) maupun yang berwujud kata dan istilahnya bersifat mono-semantis
keterampilan penggunaan bahasa dalam profesi (hanya mempunyai satu makna dalam suatu ilmu
(hukum) seperti konseptor-konseptor rancangan tertentu) dan istilah harus dapat didefinisikan
perundang-undangan, hakim, jaksa, pengacara, dengan baik, mudah, dan jelas.3
notaris dan lain-lain1. Semua kegiatan hukum Berkaitan dengan dokumen hukum itu
tersebut terlaksana dengan baik atas bantuan maka yang menjadi pelibat (participant) adalah
bahasa yang bersistem. Penguasaan bahasa yang masyarakat luas (public society) dengan berbagai
bersistem (berstandar) oleh para pelaku hukum latar belakang profesi, pendidikan, dan latar
(terutama secara tertulis) merupakan syarat pokok belakang sosial lainnya. Kepada publik perlu
untuk merumuskan suatu hukum. diberikan penjelasan karena tidak setiap pelibat
Bahasa hukum tergolong ke dalam salah adalah masyarakat yang berprofesi hukum.
satu jenis laras bahasa yang memiliki prestise Suasana atau situasi pemakaian bahasa dalam
atau gengsi sosial tinggi karena komunitas sosial dokumen hukum dapat diidentifikasikan sebagai
pengguna bahasa laras bahasa ini memang sebuah situasi formal. Setiap situasi formal, idealnya kita

1
Ikhwan M. Said, “Perspektif Masalah Kebahasaan Bahasa Indonesia dalam Bidang Hukum”, Makalah, Prosiding Seminar Bersama
Unhas–UKM, Makassar, 6-8 November 2006, hlm. 136.
2
Yayah B.M. Lumintaintang, “Kualitas Laras Bahasa Hukum Berikut Kesalahkaprahannya”, Makalah, Kongres Bahasa Indonesia, Jakarta,
14-17 Oktober 2003, hlm. 1.
3
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 184.
Said, Kajian Semantik terhadap Produk Hukum Tertulis di Indonesia 189

menggunakan ragam bahasa Indonesia baku yang kendaraan, hak, kehormatan, mempertahankan
bercirikan antara lain: Pertama, kemantapan yang diri sebagaimana termuat dalam KUHPidana atau
dinamis, Kedua, kecendekiaan, Ketiga, lugas, kata/istilah lainnya yang hingga kini menurut
dan Keempat, formal dan objektif.4 pengamatan penulis belum memperlihatkan secara
Ciri kemantapan yang dinamis adalah jelas batas pengertiannya.
konsistensi penggunaan kaidah-kaidah gramatika Di samping hal tersebut di atas, hukum yang
termasuk penerapan tata tulis yang sesuai dikenal dan diakuinya sebagai salah satu sistem
dengan ejaan yang disempurnakan (EYD). Ciri yang berlaku dalam masyarakat termasuk di
kecendekiaan dimaksudkan sebagai adanya Indonesia terus mengalami perkembangan. Dalam
kecermatan penggunaan bahasa yang mampu perkembangannya, para ahli bahasa Indonesia
mengungkapkan pikiran yang rumit sekalipun diharapkan terlibat langsung di dalam proses
dan tidak menimbulkan kegandaan interpretasi. penyusunan dokumen hukum dan perundang-
Sementara ciri lugas adalah bahwa setiap ide undangan. Namun, pada kenyataannya bahwa
harus diungkapkan secara langsung. Untuk ciri penggunaan bahasa Indonesia dalam laras bahasa
formal dan objektif adalah ciri yang ditandai oleh hukum masih menimbulkan berbagai kerancuan,
adanya pilihan kata (diction) dan bentuk kata setidak-tidaknya menurut pandangan penulis.
yang formal serta struktur kalimat yang berunsur Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk
lengkap. mengkaji persoalan ini dengan pertimbangan dua
Hal di atas sangat didukung oleh pernyataan hal, yaitu: Pertama, objek hukum adalah manusia
Harkrisnowo yang mengemukakan bahwa (berlawanan dengan pengertian dalam bidang
permasalahan yang timbul dalam penulisan/ hukum sendiri bahwa manusia bukanlah objek
perumusan dokumen hukum adalah adanya melainkan subjek hukum) sehingga kalau tidak
kebiasaan dan kecenderungan “kalangan hukum” menggunakan pilihan kata yang tepat (misalnya)
untuk merumuskan atau menguraikan sesuatu akan dapat diinterpretasikan seenaknya oleh
dalam kalimat yang panjang-panjang dan dengan siapa saja yang menginterpretasikannya; dan
banyak anak kalimat, menggunakan istilah-istilah Kedua, karena hukum mengatur manusia, maka
khusus bidang hukum tanpa disertai penjelasan, bahasanya pun tentu harus mudah dipahami oleh
menggunakan kata/istilah asing (terutama kata/ semua kalangan, bukan hanya oleh orang-orang di
istilah dari bahasa Belanda) karena sulitnya kalangan hukum sendiri.
mereka mencari padanan istilah dalam bahasa Sehubungan dengan latar belakang masalah
Indonesia yang sesuai, dan enggan bergeser dari dan alasan pemilihan pokok persoalan yang telah
format yang sudah ada. diutarakan di atas, maka sekurang-kurangnya ada
Alasan yang menjadikan penulis tertarik dua pertanyaan yang ingin dijawab melalui tulisan
dengan persoalan laras bahasa hukum sebagai ini, yaitu: (1) Bagaimana wujud penggunaan
objek kajian bahasan adalah adanya perbedaan bahasa Indonesia (khususnya aspek semantiknya)
penafsiran terhadap kata/istilah yang digunakan dalam praktik hukum di Indonesia? dan (2) Metode
dalam dokumen hukum. Misalnya saja, pengertian yang bagaimanakah yang seringkali digunakan
kata dewasa yang berbeda-beda menurut hukum oleh praktisi hukum dalam menginterpretasikan
biasa, hukum adat, hukum agama, dan hukum- suatu kata/istilah tertentu yang termaktub dalam
hukum lain. Begitu pula dengan kata/istilah seperti dokumen hukum?

4
Amran Halim (Ed.), 1980, Politik Bahasa Nasional 2, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebu-
dayaan, Jakarta, hlm. 14.
5
Harkristuti Harkrisnowo, “Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional”, Makalah, Kongres Bahasa Indonesia,
Jakarta, 14-17 Oktober 2003, hlm. 2.
190 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

B. Metode Penelitian penggunaan bahasa dalam ranah (dokumen)


Kajian ini menggunakan metode deskriptif hukum yang dinilai baik dan benar.
kualitatif, yaitu rangkaian kegiatan atau proses
pengumpulan data yang bersifat sewajarnya C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
mengenai suatu masalah. Data penelitian ber- 1. Wujud Penggunaan Bahasa Indonesia
bentuk kalimat atau klausa yang diambil secara dalam Praktik Hukum di Indonesia
acak dari sumber datanya, yaitu beberapa Berdasarkan temuan data, tampak bahwa
dokumen hukum yang dijadikan sampel penggunaan bahasa Indonesia oleh para pelaku
penelitian. Dokumen hukum yang dijadikan yang bergerak di bidang hukum dalam praktiknya
sampel adalah Kitab Undang-undang Hukum dapat berwujud antara lain secara letterlijk, proses
Pidana (KUHPidana), Kitab Undang-undang abstraksi, proses asosiasi, tipologi, penekanan
Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang- makna, pemadatan, dan pilihan hukum. Secara
undang Hukum dagang (KUHDagang), surat-surat kongkret, perwujudan penggunaannya, seperti
keputusan, dan penjelasan undang-undang. berikut:
Pengumpulan data dilakukan melalui dua a) Proses Penerjemahan
cara yang sudah sangat standar, yaitu penelitian Tampak bahwa isi (rumusan bahasa) sebuah
lapangan dan kajian pustaka. Penelitian lapangan undang-undang di negara Indonesia masih
bertujuan untuk memperoleh data primer (data merupakan hasil proses penerjemahan dari
yang akan dianalisis). Pengumpulan datanya bahasa asing. Proses penerjemahan bertujuan
diambil dari sumber data yang telah disebutkan bahwa kata-kata dalam undang-undang diberikan
di atas melalui metode simak yang dilanjutkan apabila disebut makna yang tidak sesuai dengan
dengan teknik catat dan teknik dokumentasi. konteksnya. Artinya, akan dimaknai jika kita
Pengumpulan data juga dilakukan dengan peng- tidak memiliki informasi khusus tentang konteks
amatan langsung terhadap peristiwa persidangan yang digunakan dalam bahasa sumber atau
di pengadilan yang didukung oleh teknik maksud-maksud dari penyusun undang-undang
perekaman. Kajian pustaka pun masih dianggap (legislator). Proses ini mensyaratkan bahwa
perlu dalam kajian ini, yaitu untuk penguatan teori tidak ada ketergantungan konteks dan kualifikasi-
mengingat objek penelitian yang berada dalam kualifikasi tersembunyi dibuat terhadap bahasa
ranah khusus, yaitu ranah hukum. umum.
Data yang terkumpul dikelompokkan dan Dalam praktiknya, para praktisi hukum
diklasifikasikan serta dipilah sehingga tersisa masih kerap menggunakan proses penerjemahan
data yang diperlukan untuk kebutuhan analisis. secara letterlijk atau diterjemahkan secara kata per
Penganalisisan data dilakukan dengan metode kata sehingga menghasilkan suatu rumusan yang
yang sejalan dengan jenis penelitian, yaitu metode seringkali tidak sesuai dengan struktur tata bahasa
analisis deskriptif, yakni menganalisis data temuan Indonesia. Di samping itu, proses penerjemahan
berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Namun, dokumen tersebut umumnya dilakukan sebelum
berkenaan dengan jenis dan sumber data yang Indonesia merdeka dan terjadi pada masa-masa
menjadi pilihan objek analisis tidak hanya cukup awal pascakemerdekaan. Tentu saja hal ini sulit
dianalisis secara deskriptif karena belum sampai disesuaikan dengan keadaan riil bangsa Indonesia
kepada penanganan bahasa tahap demi tahap. sekarang ini. Contoh Pasal 1 ayat (1) KUHPidana
Oleh karena itu, penganalisisan data dilanjutkan yang berbunyi “Nullum delictum noella poena
dengan metode preskriptif, yakni memerikan sine praevia lege poenali” yang diterjemahkan
hasil bahasan sebagaimana seharusnya yang sebagai “tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
sesuai dengan ukuran yang diperkenankan untuk melainkan atas dasar ketentuan pidana dalam
Said, Kajian Semantik terhadap Produk Hukum Tertulis di Indonesia 191

undang-undang yang ada terdahulu daripada (1) Setiap orang yang menyelenggarakan suatu
perbuatan itu”. perusahaan, adapun tentang kekayaan-
b) Proses Abstraksi nya dan tentang segala sesuatu berkenaan
dengan perusahaan itu diwajibkan sesuai
Selain karena proses penerjemahan, ke- dengan kebutuhan perusahaan, membuat
banyakan bunyi rumusan suatu undang-undang catatan-catatan dengan cara demikian
juga karena proses abstraksi, yaitu perluasan sehingga sewaktu-waktu dari catatan itu da-
makna dari perkataan kongkret yang terkandung pat diketahui segala hak dan kewajibannya.
(2) Ia diwajibkan pula dari tahun ke tahun, dalam
di dalamnya. Ini dimaksudkan untuk memperjelas
waktu enam bulan yang pertama dari tiap-
agar segala perbuatan hukum yang sejenis dapat tiap tahunnya membuat dan menandatangani
terakumulasi ke dalam satu pasal yang akan dengan tangan sendiri, akan sebuah neraca
mengenainya. Contoh Pasal 340 KUHPidana, tersusun sesuai dengan kebutuhan perusa-
“barang siapa dengan sengaja dan dengan haan itu.
(3) Ia pun diharuskan menyimpan selama tiga
direncanakan lebih dahulu merampas jiwa orang
puluh tahun akan segala buku-buku dan
lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan surat-surat yang bersangkutan, dalam mana
(moord) dengan hukuman mati atau penjara menurut ayat ke satu catatan-catatan tadi
seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua dibuat beserta neracanya dan surat-surat
puluh tahun”. kawat yang diterimanya beserta segala tem-
busan dari surat-surat dan surat-surat kawat
Dalam Pasal 340 KUHPidana tersebut ter-
yang diterimanya.
dapat perkataan kongkret yang telah diabstraksi-
kan, yaitu pembunuhan direncanakan. Bentuk Tampak dengan jelas isi kalimat dari ketiga
abstraksinya adalah dengan direncanakan terlebih ayat dalam contoh tersebut di atas begitu panjang
dahulu merampas jiwa orang lain. Contoh lain, sehingga sangatlah sulit dipahami jika ditilik dari
misalnya Pasal 362 KUHPidana, “Barang siapa aspek gramatika bahasa Indonesia. Berwujudnya
mengambil suatu barang yang sama sekali atau bunyi pasal tersebut menjadi demikian panjang
sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan disebabkan adanya proses asosiasi. Akan
maksud untuk akan memiliki barang itu dengan tetapi, dengan proses asosiasi itu menjadikan
melawan hukum, dihukum karena pencurian kalimatnya berlebih-lebihan seperti terlihat pada
dengan hukuman penjara selama-lamanya ayat (3) mencantumkan “surat-surat kawat yang
lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya diterimanya” berulang kembali yang sesungguh-
Rp. 60,-”. Kata kongkret yang telah diabstraksi- nya tidak diperlukan.
kan dalam contoh di atas adalah “pencurian”. d) Tipologi
Bentuk abstraksinya menjadi “mengambil sesuatu Penempatan kata dan kalimat dalam suatu
barang yang sama sekali atau sebagian termasuk rumusan undang-undang juga dilakukan menurut
kepunyaan orang lain dengan maksud akan tipologi, yaitu pemaknaan secara khusus. Pe-
memiliki barang itu”. maknaan khusus yang dimaksudkan di sini tidak
c) Proses Asosiasi lain adalah pemaknaan menurut konteks yuridis.
Sebagian bunyi atau isi pasal suatu undang- Contoh kalimat “gugatan ditolak” berbeda dengan
undang dapat terbentuk melalui proses asosiasi, kalimat “gugatan tidak diterima”. Di luar konteks
yaitu penghimpunan unsur-unsur yang mem- yuridis, kedua kalimat tersebut mengandung
punyai keterkaitan satu sama lain sehingga pengertian yang sama. “Gugatan ditolak”
tampak sebagai satu rangkaian kalimat yang mengandung konsekuensi hukum tidak adanya
panjang. Contoh berikut memperlihatkan adanya kemungkinan suatu gugatan diajukan kembali
proses asosiasi dalam Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) karena pengadilan menganggap bahwa isi gugatan
KUHDagang: ditolak karena tidak mempunyai dasar hukum yang
192 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

memadai. Sementara “gugatan tidak diterima” suatu maksud. Contoh dalam Penjelasan Undang-
mengandung konsekuensi hukum bahwa gugatan Undang Dasar 1945 yang mengatakan, “Kekuasaan
tersebut dikembalikan ke penggugat karena presiden tidak tak terbatas”. Kalimat tersebut
adanya kesalahan prosedur. Setelah penggugat secara jelas mengandung pengertian “terbatas”.
mengadakan perbaikan maka gugatan masih dapat Penggunaan kata “tidak tak” dapat dianalogikan
diajukan lagi. dengan pemakaian minus kali minus dalam
Hal lain yang berkaitan dengan tipologi dapat matematika yang akan menghasilkan positif. Jadi,
dilihat dalam surat keputusan-surat keputusan kehadirannya dalam konteks kalimat tersebut tidak
yang mengandung begitu banyak kata bahwa dan lain adalah sebagai penanda adanya penekanan.
senantiasa ditempatkannya pada awal kalimat Demikian pula halnya dengan penggunaan
dalam penjelasan inti-intinya. Contohnya dalam kalimat dalam berbagai surat keputusan sering
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang kali memperlihatkan adanya penekanan. Misal-
Ketenagakerjaan yang memperlihatkan adanya nya, kehadiran kata “kecuali” dalam contoh
pelibatan tipologi di dalam perumusannya: Surat Keputusan berikut merupakan penekanan
1) Bahwa bekerja merupakan hak asasi terhadap klausa tidak akan ditinjau kembali.
manusia yang wajib dijunjung tinggi, Berikut contohnya, “Keputusan ini berlaku sejak
dihormati, dan dijamin penegakannya; ditetapkannya dan tidak akan ditinjau kembali
2) Bahwa setiap tenaga kerja mempunyai kecuali bila ditemukan kekeliruan”.
hak dan kesempatan yang sama tanpa f) Pemadatan
diskriminasi untuk memperoleh pe- Pada umumnya rumusan undang-undang
kerjaan dan penghasilan yang layak, baik kalau pun tidak seluruhnya, sebagian besarnya
di dalam maupun di luar negeri sesuai diperpadat dengan berbagai kalimat yang
dengan keahlian, keterampilan, bakat, menggunakan diksi bernuansa hukum demi
minat, dan kemampuan; menghindari terjadinya kekosongan atau
Contoh lainnya ada dalam Putusan Pengadil- kesalahan membuat interpretasi. Hal lain yang
an Negeri Ujung Pandang No. 54/Pdt.G/1996/ berkaitan dengan pemadatan adalah hadirnya
PN.Uj.Pdg, yakni “Bahwa sejak perkawinan suatu penjelasan undang-undang yang hanya
antara penggugat dan tergugat tersebut beberapa diwakili oleh sebuah kalimat. Pemadatan juga
tahun terakhir ini selalu diliputi perselisihan dan terjadi karena rumusan suatu undang-undang
pertengkaran karena ulah tergugat yang tidak yang terdiri atas beberapa pokok pikiran yang
mau mendengar nasihat penggugat”. Di samping terangkai dalam satu kalimat sehingga terbentuk-
itu, laras bahasa hukum seringkali menghadirkan lah kalimat dengan urutan klausa yang sulit
kata-kata yang bersinonim secara serentak dalam sekali dipahami. Perhatikan saja contoh berikut
satu kalimat yang sesungguhnya tidak dibenarkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5
atau tidak diperlukan menurut sistem gramatika Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
bahasa Indonesia seperti kata terdakwa dan “Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
tersangka atau kata hubung seperti dan atau yang atau Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan
dapat kita lihat dalam KUHPidana/KUHPerdata peraturan perundang-undangan yang berlaku,
atau pun anggaran dasar suatu organisasi. yang bersifat kongkret, individual, dan final yang
e) Penekanan Makna menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau
Penekanan makna merupakan pemberian badan hukum perdata”.
tanda-tanda khusus pada suatu kalimat. Tanda Sesungguhnya rumusan pasal contoh di
yang dimaksud dapat berupa tanda-tanda lain atas dapat dipilah menjadi beberapa kalimat
yang dapat mengisyaratkan tentang penekanan berdasarkan pokok pikirannya menjadi:
Said, Kajian Semantik terhadap Produk Hukum Tertulis di Indonesia 193

1) penetapan tertulis, yaitu ketentuan resmi mencakup makna yang ketiga, yaitu kedua-duanya
berbentuk surat keputusan atau yang (tersangka dan terdakwa ditangani sekaligus).
dipersamakan dengan itu;
2) surat keputusan dibuat oleh yang 2. Penggunaan Metode dalam Penginterpre-
berwenang, yaitu pejabat suatu instansi tasian Kata/Istilah oleh Praktisi Hukum
pemerintah yang berhak pada masa Sejauh ini inti penggunaan bahasa Indonesia
jabatannya; dalam ragam bahasa hukum oleh para praktisi
3) keputusan itu berisikan hal-hal berupa hukum tampaknya masih bersih kukuh dengan
tindakan hukum seperti pemberhentian, dua metode, yaitu metode penafsiran dan metode
mutasi pegawai, dan sebagainya; konstruksi. Bukan tanpa alasan, penggunaan
4) keputusan tersebut didasarkan peraturan kedua metode ini oleh mereka dilatarbelakangi
perundang-undangan yang berlaku se- oleh banyaknya persoalan hukum sebagai realita
belumnya; dan kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, ada
5) keputusan tersebut bersifat kongkret, pertimbangan bagi mereka bahwa yang harus
final, dan individual, bahwa keputusan dikedepankan dalam ragam bahasa hukum adalah
itu harus jelas dan nyata isinya serta kepentingan hukum itu sendiri meskipun banyak
ditujukan kepada orang atau badan menimbulkan pertentangan bagi kalangan non
hukum tertentu. hukum. Mereka kurang menyadari bahwa hal itu
g) Pilihan Hukum telah berimplikasi kepada terbentuknya rumusan
Di dalam ranah hukum dikenal pula adanya kalimat yang relatif sulit dimengerti oleh kalangan
pranata pilihan hukum bahwa subjek hukum di luar bidang hukum dan kadang-kadang mereka
mempunyai pilihan untuk menentukan hukum sendiri tidak terlalu paham.
mana atau hal apa yang dapat dipakai atau di- Yang perlu dijelaskan lebih lanjut bukan pada
kaitkan dengan masalah yang menjadi persoalan. persoalan terjadinya perbedaan seperti demikian,
Dalam suatu rumusan undang-undang banyak melainkan bagaimana kedua metode tadi dalam
ditemukan pemakaian “dan/atau” secara berurutan penerapannya oleh para praktisi hukum. Uraiannya
yang sebenarnya bertentangan dengan kaidah seperti berikut:
ketatabahasaan bahasa Indonesia baku. Namun, a) Metode Penafsiran
dengan pertimbangan tertentu (misalnya dikata- Bagi kalangan hukum bahwa metode
kan agar lebih jelas maksudnya) digunakanlah penafsiran ini merupakan suatu cara untuk menarik
kedua kata ini secara berurutan. Perhatikan maksud kata-kata atau istilah tetap mengacu
contoh berikut “Apabila tersangka dan/atau kepada makna utama kata atau istilah itu sendiri.
terdakwa diperiksa dalam suatu perkara, ia berhak Secara teknis yuridis, metode penafsiran terdiri
didampingi oleh penasihat hukum”. atas beberapa model.
Kata “dan/atau” dalam konteks kalimat contoh 1) Penafsiran Sistematis
di atas mengandung makna tersangka sendiri, Model ini digunakan untuk menafsir-
terdakwa sendiri, atau kedua-duanya. Sekiranya kan undang-undang sebagai bagian dari
kata “dan” tidak diikuti langsung oleh “atau”, keseluruhan sistem perundang-undangan.
ketentuan dalam ragam bahasa hukum mematok Dengan demikian, seluruh perundang-
kepada persyaratan tersangka atau terdakwa harus undangan dalam suatu negara dikategorikan
didampingi oleh penasihat hukum. Akan tetapi, sebagai suatu sistem yang utuh. Contoh
apabila kata “dan” dihilangkan dan tersisa “atau” bunyi Putusan HR 30 Januari 1959 berikut
saja, pengertiannya hanya akan difokuskan kepada “Pasal 1233 BW hanya mengenal perikatan
dua hal, yaitu tersangka atau terdakwa dan tidak berdasarkan perjanjian dan UU, tetapi kata-
194 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

kata dalam pasal itu harus diartikan bahwa hal atau tidak. Contoh Pasal 283 KUHPidana
yang tidak diatur secara tegas, pemecahannya yang mengandung ancaman hukuman bagi
harus dicari sesuai dengan sistem perundang- pengedar alat kontrasepsi.
undangan dan sesuai pula dengan peristiwa Pasal tersebut secara hukum masih tetap
yang diatur oleh UU”. Tampak jelas dalam berlaku, namun secara sosiologis ditafsirkan
rumusan di atas terdapat frasa “sesuai dengan” seolah tidak berlaku lagi. Sebuah fakta
dan “sesuai pula dengan” sebagai penanda diperlihatkan kepada kita bahwa menjelang
bahwa maksud yang dikandung antar bagian pesta Sea Games XXVI di Palembang
itu merupakan satu kesatuan sistem yang salah satu jenis kontrasepsi (kondom) akan
utuh. dibagikan secara gratis kepada para atlet
2) Penafsiran Gramatikal yang membutuhkan. Apakah pengedar dalam
Sesuai dengan namanya bahwa metode hal ini pemerintah melalui instansi yang
penafsiran gramatikal adalah penafsiran berkaitan langsung (BKKBN) dikategorikan
kata-kata atau istilah dalam undang-undang sebagai pihak yang telah melakukan tindak
menurut kaidah tata bahasa. Metode ini pidana sehingga ia harus dikenai ancaman
sering disebut juga sebagai metode objektif. hukuman seperti terkandung dalam Pasal
Contoh dalam Pasal 372 KUHPidana “Barang 283 KUHPidana? Jawabannya jelas tidak.
siapa dengan sengaja dan melawan hukum Permasalahannya muncul karena adanya
mengakui sebagai milik sendiri suatu barang, penafsiran sosiologis.
yang seluruhnya atau sebagian milik orang 4) Penafsiran Historis
lain, tetapi yang berada dalam kekuasaannya Model penafsiran historis dalam praktik-
bukan karena kejahatan”. Secara sepintas lalu, nya mengacu kepada dua hal yaitu sejarah
klausa “berada dalam kekuasaannya” seperti undang-undang dan sejarah hukum itu sendiri.
tidak menimbulkan masalah, namun dalam Sejarah Undang-undang (UU) adalah mencari
praktiknya di pengadilan misalnya sering maksud dari perundang-undangan itu seperti
menimbulkan persoalan bagi hakim yang apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang
akan memutuskan suatu perkara. Dapat saja (legislator) ketika (UU) itu dibentuk. Melalui
hakim memberikan keputusan yang berbeda metode ini, kehendak pembuat UU dalam
atas sebuah kasus yang sama atau paling penginterpretasiannya harus mengacu kepada
tidak mirip karena adanya penafsiran yang surat-surat dan pembahasan di dewan ketika
berbeda atas pengertian klausa “berada dalam UU itu masih dalam proses penggodokan.
kekuasaannya” itu. Sejarah hukum adalah interpretasi yang ingin
3) Penafsiran Sosiologis memakai UU dalam konteks seluruh sejarah
Model penafsiran sosiologis adalah pe- hukum. Misalnya, jika ingin mengetahui
nafsiran yang menetapkan makna suatu makna suatu perundang-undangan, maka ti-
undang-undang berdasarkan tujuan kemasya- dak sekadar hanya meneliti bagaimana ter-
rakatan. Sebuah undang-undang dikatakan bentuk atau terwujudnya sebuah UU, melain-
tetap berlaku atau diberlakukan kembali kan harus diteliti lebih panjang dan lebih dalam
meskipun sudah usang atau sudah tidak lagi proses sejarah yang mendahuluinya.
sesuai dengan kebutuhan zaman. Kemudian, 5) Penafsiran Substantif
berdasarkan interpretasi ini diterapkan Penafsiran model ini adalah bentuk
peristiwa, hubungan, kebutuhan masa kini, penafsiran dengan menggunakan penalaran
dengan tidak memedulikan apakah pada logis terhadap suatu teks perundang-undangan
waktu diundang-undangkannya itu dikenal yang interpretasinya dilakukan semata-
Said, Kajian Semantik terhadap Produk Hukum Tertulis di Indonesia 195

mata terbatas pada maksud teks perundang- itulah, untuk menafsirkan maksud pasal-
undangan itu sendiri. Sebagai contoh pasal tentang jual beli dalam sistem hukum
dapat merujuk kepada UU Nomor 1 tahun Indonesia perlu dikomparasikan dengan hasil
1974. Di dalam UU Perkawinan tersebut penafsiran oleh pakar hukum terhadap sistem
terkandung adanya istilah “perkawinan hukum jual beli yang berlaku di Belanda dan
campuran” yang dapat saja diinterpretasikan Prancis.
oleh kalangan di luar bidang hukum sebagai 7) Penafsiran Ekstensif
bentuk perkawinan antara dua manusia Model penafsiran ekstensif atau disebut
yang berlainan agama dan suku atau bahkan juga model penafsiran perluasan adalah
perbedaan lainnya. Namun, dalam konteks penggunaan penafsiran yang melebihi batas-
hukum penafsiran yang demikian dianggap batas dari hasil penafsiran gramatikal. Dalam
keliru karena yang dimaksud dengan model penafsiran ini telah terjadi perluasan
“perkawinan campuran” dalam ragam bahasa makna kata atau istilah yang digunakan.
hukum hanyalah mencakup perkawinan Sebagai contoh, dalam Pasal 362 KUHPidana
antara dua orang (seorang laki-laki dan se- kata “barang” semula bermakna hanya
orang wanita) yang berbeda kewarganega- mengacu kepada ‘benda berwujud’. Dalam
raannya. Salah satunya adalah harus WNI praktiknya sehari-hari, para praktisi hukum
dan yang satu lagi berkewarganegaraan asing. seringkali diperhadapkan pada pengertian
Hanya saja hal ini tidak ditemukan langsung yang telah melampaui batas makna yang
di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, sebenarnya. Misalkan, telah terjadi pencurian
akan tetapi dimuat di dalam Penjelasannya. atas barang-barang tidak berwujud seperti
Karena itu “perkawinan campuran” tersebut pencurian aliran listrik semestinya tidak
tidak dapat diinterpretasikan lain selain yang dapat dikenakan tuntutan menurut pasal
secara kongkret dijelaskan sendiri oleh UU tersebut. Namun, dengan adanya penafsiran
itu. ekstensif, dengan sendirinya kata “barang”
6) Penafsiran Komparatif dalam Pasal 362 KUHPidana tersebut juga
Model penafsiran komparatif adalah telah mencakup benda yang tidak berwujud
metode membandingkan antara berbagai seperti aliran listrik atau hak-hak keperdataan
sistem hukum yang cenderung berupaya seperti hak tagihan, hak milik dan lain-lain.
mencari kesamaan sistem. Berlawanan dengan b) Metode Konstruksi
penafsiran sistematis yang melihatnya sebagai Metode konstruksi adalah suatu cara untuk
satu kesatuan. Penafsiran komparatif ini menangkap maksud suatu kata atau istilah dengan
seringkali digunakan dalam hukum jual beli tujuan bahwa maksud yang ditangkap tersebut
mengingat hukum jual beli yang diberlakukan tidak lagi berpegang pada konteks kata atau istilah
di Indonesia memiliki persamaan dengan yang dikonstruksi meskipun secara esensial masih
sistem hukum jual beli di negara Belanda dan tetap memiliki hubungan makna. Lebih lanjut,
Perancis. Tidaklah mengherankan Indonesia metode konstruksi ini masih dapat dirinci menjadi
memang pernah dijajah oleh Belanda dalam tiga model.
tempo yang sangat lama (lebih tiga setengah 1) Model Analogi
abad). Belanda pun pernah dijajah Perancis. Model analogi adalah upaya pemaknaan
Dalam masa penjajahan itu, penjajah tidak terhadap suatu teks hukum dengan terlebih
saja memberlakukan sistem sosial budaya dahulu mencari persamaan yang esensial
mereka, tetapi juga memberlakukan sistem dengan teks hukum itu sendiri. Setelah itu,
hukumnya dimana mereka menjajah. Karena dicarilah unsur-unsur sebab akibat yang
196 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

menghubungkan antara teks hukum dan hal ujian belum dapat meninggalkan ruang
yang diberi pemaknaan. ujian. Jadi, sebuah proses a contrario dapat
2) Model Perumpamaan menghasilkan pemaknaan yang setara.
Dalam hukum Islam dikenal adanya 3) Model Fiksi/Personifikasi
larangan bagi umatnya untuk meminum Model fiksi atau disebut juga model
arak. Perkataan “arak” dalam teks Al-Quran personifikasi adalah model pemaknaan
dan hadis sebagai sumber hukum Islam terhadap suatu esensi hukum dengan cara
hanyalah dari pohon enau yang kemudian memanusiakan (mempersonifikasikan) suatu
difermentasikan dengan berbagai bahan teks hukum dengan tetap memperhatikan
organik sehingga berubah cita rasanya bahwa sifat-sifat utama yang terkandung di
menjadi minuman yang memabukkan. Akan dalamnya secara relatif termuat pula pada
tetapi, kini telah bermunculan berbagai jenis hasil pemaknaannya. Misalnya, dalam
minuman keras yang mengandung sifat pengertian umum bahwa yang dimaksud
yang dimiliki “arak” tadi seperti bir, adam, dengan orang adalah manusia, tetapi
sake, soju, whisky, McDonald dan lain-lain. dalam bingkai ragam bahasa hukum orang
Semua jenis minuman yang dicontohkan ini merupakan subjek hukum yang dapat
mengandung alkohol yang jauh lebih banyak bermakna manusia dan dapat pula bermakna
ketimbang yang dikandung arak sebagaimana badan hukum. Ditilik dari kacamata non
disebutkan dalam Al-Quran dan hadis hukum, manusia dipandang sebagai makhluk
sehingga lebih memabukkan. Penetapan jenis biologis sekaligus makhluk sosial. Jika
minuman kontemporer seperti dicontohkan dilihat dengan kacamata hukum, manusia
di atas telah dianalogikan (dikiaskan) dengan dipandang sebagai subjek hukum sehingga
cara mempersamakannya dengan arak. badan usaha yang merupakan juga subjek
Rasio pemikirannya adalah bahwa arak saja hukum berkedudukan setara dengan manusia.
dapat memabukkan, apalagi jenis minuman Jadi, hukum mempersamakan badan hukum
kontemporer itu. dengan manusia. Contoh Perseroan terbatas
Masih ada pula model yang dapat (PT) dapat dianggap sebagai manusia karena
disetarakan dengan model perumpamaan mempunyai hak dan kewajiban, mempunyai
ini dalam ragam bahasa hukum yang sering utang seperti halnya manusia. Bahkan dalam
digunakan oleh para praktisinya dalam konteks yang lebih luas, PT atau badan hukum
berpraktik hukum. Model yang dimaksud lainnya dapat meniru sifat-sifat manusia.
adalah a contrario yaitu upaya pemaknaan Dalam bidang linguistik juga dikenal
suatu maksud berdasarkan sifat kebalikan gaya bahasa personifikasi, yaitu menganggap
dari teks UU. Meskipun tidak jelas disebutkan sesuatu sebagai manusia. Apa yang diutarakan
demikian, dari segi penalaran logis tetap dalam contoh di atas tentu saja berterima se-
dapat ditangkap maksud pemaknaannya cara linguistik. Untuk menjelaskan mengenai
secara berlawanan. Contoh dalam sebuah tata adanya hubungan antara manusia dengan
tertib ujian dicantumkan perkataan bahwa yang dilambangkan seperti dalam contoh
siswa yang telah menyelesaikan soal-soal di atas, dapat dilihat perumpamaan berikut:
dan menyerahkan lembar jawabannya kepada (1) Manusia dapat kawin, perusahaan pun
pengawas ujian sudah dapat meninggalkan dapat melakukannya seperti menggabungkan
ruang ujian. Secara a contrario peraturan beberapa perusahaan (merger); (2) Manusia
dalam teks di atas dapat dikonstruksi sebalik- dapat berkembang biak, perusahaan pun
nya bahwa siswa yang belum menyelesaikan demikian seperti ketika sebuah perusahaan
Said, Kajian Semantik terhadap Produk Hukum Tertulis di Indonesia 197

melakukan perluasan dengan mendirikan Bagaimana makna sebuah ketentuan terpahami


cabang baru; dan (3) Manusia dapat hidup dan jika bahasa yang digunakannya masih tidak
mati, begitu pula dengan sebuah perusahaan selaras dengan kaidah bahasa yang dijadikan
yang setelah terbentuk pada waktu tertentu sebagai medianya serta konteks sosiokultural
dapat saja bubar atau pailit, dan lain-lain sifat masyarakat pengguna produk hukum itu sendiri.
manusia. Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian di atas
penulis berkesimpulan bahwa untuk mempro-
D. Kesimpulan duksi sebuah undang-undang, para legislator
Pemakaian bahasa Indonesia dalam laras sebagai produser undang-undang hendaknya
bahasa hukum, khususnya dalam dokumen hukum mempedomani kaidah bahasa Indonesia baku
dinilai sebagai hal yang perlu mendapatkan secara taat asas dan konsisten. Untuk mewujudkan
perhatian serius agar maksud yang diamanahkan hal itu diperlukan kerja sama antara pakar hukum
lewat produk hukum tersebut tercapai. Tujuannya dan pakar bahasa serta budaya Indonesia sehingga
adalah agar makna yang terkandung dalam terbentuklah suatu rumusan undang-undang yang
rumusan itu terpahami oleh semua pihak mudah dipahami maknanya oleh seluruh lapisan
(baik di bidang hukum maupun non hukum). masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Nasional”, Makalah, Kongres Bahasa


Halim, Amran, (Ed.), 1980, Politik Bahasa Indonesia, Jakarta, 14-17 Oktober 2003.
Nasional 2, Pusat Pembinaan dan Pengem- Lumintaintang, Yayah B.M., “Kualitas Laras
bangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Bahasa Hukum Berikut Kesalahkaprah-
Kebudayaan, Jakarta. annya”, Makalah, Kongres Bahasa Indonesia,
Soeroso, R., 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Jakarta, 14-17 Oktober 2003.
Grafika, Jakarta. Said, Ikhwan M., “Perspektif Masalah Keba-
hasaan Bahasa Indonesia dalam Bidang
B. Makalah Hukum”, Makalah, Prosiding Seminar
Harkrisnowo, Harkristuti, “Bahasa Indonesia Bersama Unhas–UKM, Makassar, 6-8
sebagai Sarana Pengembangan Hukum November 2006.

Anda mungkin juga menyukai