Anda di halaman 1dari 27

Bab I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dalam dunia perkembangan arsitektur, tentunya sangat erat dengan
sejarah, kesenian dan kebudayaan. Jika kita berbicara tentang
kebudayaan maka kita tidak akan bisa lepas dari unsur manusia. Jika kita
bebicara tentang sejarah maka kita tidak akan lepas dari unsur waktu, dan
unsur waktu yang dimaksud adalah waktu yang lampau. Dulu pada zaman
purba arsitektur hanyalah sebuah karya yang sangatlah sederhana yang
hanya berfungsi hanya sebagai perlindungan diri dari alam.
Seiring berjalanya waktu dari pemikiran yang bisa dikatakan masih primitif
berkembang menjadi munculnya lukisan-lukisan, patung, tempat pemujaan
dan sebagainya seiring dengan berkembangnya pola pikir manusia itu
sendiri. Yang mulanya dari hanya tempat berlindug saja berkembang
menjadi bukan hanya tempat berlindung mungkin ada tempat ibadah,
tempat ternak, tempat kerja dan tempat-tempat yang mungkin bahkan tak
terfikirkan oleh manusia-manusia primitif zaman dulu. Seiring
berkembangnya zaman, iptek, kebudayaan, teknologi dan bahkan manusia
berkembang begitu pesat hingga mungkin mereka akan tertinggal
mengikuti perkembangan yang mereka ciptakan sendiri karena begitu
pesatnya dan semua hal itu juga akan berpengaruh di bidang arsitektur.
See all ›

15 References

Download full-text PDF

Ad

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam


Arsitektur Masa kini Transformasi Makna
pada Arsitektur Asli Daerah dalam Tampilan
Visual Arsitektur
Conference Paper (PDF Available) · November 2014 with 3,140 Reads
Conference: Conference: Seminar Rumah Tradisional - Transformasi Nilai-Nilai Tradisional dalam
Arsitektur Masa Kini, At Lombok, Indonesia

Indah Widiastuti

 3.61
 Bandung Institute of Technology

Abstract
Makalah ini disampaikan sebagai Makah Pembicara Kunci pada Seminar Rumah Tradisional -
Transformasi Nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa Kini yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Makalah ini membawakan uraian mengenai konsep
transformasi nilai arsitektur dengan mengindahkan sistem nilai tradisional, nilai-nilai tradisional dan
tradisi, relevansinya dengan masa kini serta tantangan-tantangan yang dihadapinya.

Discover the world's research


 15+ million members
 118+ million publications
 700k+ research projects

Join for free

Full-text (PDF)
Available from: Indah Widiastuti, Aug 14, 2016

Download full-text PDF

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 1

Transformasi Makna pada Arsitektur Asli Daerah dalam Tampilan Visual

Arsitektur

Dr.Indah Widiastuti. ST.,MT

Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

Institut Teknologi Bandung

Widiastuti911@gmail.com

Perubahan sendi sendi kebudayaan yang cepat sudah sewajarnya membawa kegamangan dan
pertanyaan akan “akar” dan jati diri dari kebudayaan itu sendiri, yang kemudian dibaca sebagai krisis

identitas. Di tengah carut-marut kebingungan atau krisis identitas, wacana perwujudan nilai-nilai

tradisional arsitektur dan tampilan visualnya pada arsitektur masa kini menjadi bukti masih besarnya

harapan untuk menjadikan konsep Nusantara sebagai nilai maupun cara berekspresi untuk praktek

arsitektur.

Budaya berhuni yang unik lahir sebagai wujud tanggapan khusus terhadap berbagai tekanan, potensi,

dan kompleksitas hubungan antara alam, lingkungan dengan budaya manusianya (Dona Crouch 2001).

Pengertian “tradisi” mengacu pada prinsip kegiatan pada satu babak waktu yang secara konsisten

berulang dan membentuk sebentuk koherensi artistik yang cerdas, baik di masa lalu ataupun kini.

Keajegan tanggapan yang bersifat artistik dan cerdas ini, tercermin lewat perulangan-perulangan dalam

wujud dan konsep karya arsitektur, dan akhirnya menjadi sebuah ‘tradisi’. Tradisi (lat. traditium) secara

harfiah adalah norma, kebiasaan atau keyakinan, atau penyampaian fakta dari generasi ke generasi yang

diwariskan (Shills, 1981 dalam AlSayyad). Sifat dipelajari dan diwariskan ini (baik dengan cara belajar

mandiri, kreatif atau diberi) menjadi karakter khas dari konsep ‘tradisi’. Tak hanya masa lalu, konsistensi

dan koherensi sebuah tradisi yang teruji terhadap waktu bisa juga terkandung pada arsitektur

kontemporer misalnya berupa metoda dan praktek profesional, wujud kreasi dan cara membangunnya

yang juga dilakukan dilakukan dan diwariskan lewat sebuah kurun waktu yang cukup panjang. Karenaitu

adalah sebuah pandangan yang kurang tepat ketika istilah “tradisi” kerap serta-merta diasosiasikan

dengan perwujudan arsitektur masa lampau.

Dengan demikian, ada dua konteks penggunaan istilah “tradisi” dalam arsiektur yang perlu dicermati,

yaitu: “tradisi dalam arsitektur” dan “arsitektur masyarakat tradisional” . Obyek bahasan mengenai

tradisi dalam arsitektur lebih membahas kompleks kebiasaan yang umum dalam berarsitektur yang

tentunya bisa sangat khas pada kurun waktu dan kelompok tertentu. Sedangkan arsitektur masyarakat

tradisional adalah tradisi dalam arsitektur buah karya masyarakat tradisional. Rappoport, 1989, dalam

AlSayad, (ND)1 menyebutnya sebagai Lingkungan tradisional2 - yaitu model berarsitektur masyarakat
tradisional atau pra-modern. Dalam prakteknya pada arsitektur masa kini, lingkungan tradisional kerap

dijadikan rujukan sebagai acuan representasi artistik dan nostaljik. Menjadikan konteks masyarakat

1 “Traditional Environments in A Post-Traditional World: Interdisciplinary”

2 traditional environment adalah sebuah lansekap budaya yang terbentuk oleh perpotongan banyak
elemen,

seperti: ruang, waktu, makna dan komunikasi dan dibuat oleh masyarakat tradisional (Oliver, 2006) -

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 2

tradisional sebagai rujukan tentunya wajar, karena kemampuan budaya masa lampau untuk tetap hadir

di masa kini merupakan bukti daya resiliensi dan kontinuitas pewarisan yang teruji terhadap waktu.

Sekalipun konteks diskusi dalam seminar ini lebih merujuk pada arsitektur masyarakat tradisional dan

tampilan visualnya, diskusi kritisnya bisa menjangkau wilayah tradisi yang lebih luas.

Sistem-nilai dipahami sebagai seperangkat asumsi dan tindakan yang konsisten, yang prinsip- prinsipnya

menjadi alat menilai, mengukur dan memaknai kualitas integritas dari seperangkat tradisi dan sebuah

kesatuan lingkungan tradisional. Nilai-nilai tradisional adalah payung naratif dan medium

pembentukan makna dari himpunan sekian banyak tradisi yang beroperasi. Dengan kata lain

mempertanyakan sebuah makna bisa berarti mempertanyakan sistem nilai yang dianut dan wacana

yang melandasi nilai-nilai tradisional yang dirujuk. Perbedaan dari sistem-nilai membuat lingkungan

tradisional dapat dimaknai dengan cara yang berbeda. Perbedaan nilai-nilai tradisional akan

menentukan artikulasi artefak dan visualisasi arsitekturalnya. Arsitektur di Lombok akan memiliki sistem

nilai yang secara historis, bervariasi dari masa ke masa baik di masa pra-modern, modern dan

Posmodern.

Sebagai konsep yang bersifat historis, ‘sistem nilai’ arsitektur tidaklah statis. Dalam perjalannya tradisi

dan nilai-nilai tardisional, senantiasa ditafsirkan secara bervariasi sesuai dengan perubahan yang

melandasainya. Dengan sistem nilainya sendiri, nilai-nilai tradisi arsitektur sebuah masyarakat

tradisional di tempatnya sendiri bisa bermakna lebih sebagai kegiatan pragmatis keseharian biasa di
kampung halamannya. Namun bagi pengamat atau tamu, nilai-nilai tradisional tersebut berakna

eksotika atau nostalgia masa lalu yang sudah hilang. Didasari sistem nilai Modernisme awal abad 20 an,

di awal abad 20an nilai-nilai tradisional di Nusanatara diinterpertasikan kembali oleh arsitek masa

Kolonial menjadi gaya arsitektur bergaya Kolonial. Dalam konesp Regionalisme3 di tahun 1970an di

Indonesia, nilai-nilai tradisional juga hadir sebagai wujud representasi ideologis identitas

“keindonesiaan” Indonesia. Visualisasi lingkungan tradisional sebagai sebuah representasi arsitektur

Nusantara sempat hilang pada generasi tahun 1950-60an. Pada masa itu representasi yang berorientasi

pada tradisi masa lalu justru dihindari., namun tidak berarti “nilai-nilai” dan “sistem nilai” itu secara

menyeluruh hilang– sebaliknya. Digerakan oleh semangat dekolonisasi dan kemunculan “kekuatan baru”

negara berdaulat yang baru- The New Emerging Forces, alih-alih menjadikan lingkungan tradisional

sebagai rujukan representasi arsitektural, semangat Modernisme dijadikan sistem nilai untuk

memproduksi nilai-nilai arsitektur yang mampu menghadirkan Indonesia Merdeka yang tak kalah

dengan Eropa. Abstraksi-abstraksi simbolik dilakukan oleh perancang pada masa itu untuk memunculkan

Indonesia dengan pendekatan yang lebih abstrak. Demikianlah. di setiap perhentian waktu, tradisi

bertahan dengan cara-cara yang unik, visualisasinya bertransformasi lewat kreatifitas dan inovasi.

Sistem nilainya mengalami penyesuaian. Di setiap perhentian ini pula, pro-kontra wacana resiliensi dan

3 Regionalisme adalah sebuah mahzab arsitektur yang muncul di era 1960-an sebagai wujud kebosanan
atas

arsitektur Modern yang dianggap terlalu mekanistik dan tanpa identitas. Praktek yang sering dibahas
dalam

wacana arsitektur Indonesia adalah proyek Taman Mini Indonesia Indah, Gedung Wisma Dharmala oleh
Paul

Rudolph, Gedung balairung UI oleh Goenawan Tjahjono dan Team dan Masjid Said Naum oleh Adhi
Moersid.

(Tegang Bentang)

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 3


transformasi terjadi. Oleh karenanya tidak heran bila Hobswamb (1983) lebih suka menyebut tradisi

sebagai sesuatu yang senantiasa ditemukan - invented tradition.

Situasi yang kritis kini juga terjadi di era Globalisasi kini. Dilandasi ekonomi pasar bebas, sifat sosial

Postmodernisme dan popularitas konsep Industri Kreatif sistem-nilai yang lebih bebas, jamak dan instan

muncul. Alih alih pewarisan tradisi dan nilai-nilai tradisional secara tranformasi yang bersifat generatif,

yang terjadi adalah mutasi dari akar sistem nilai tradisi itu sendiri. Mutasi ini bahkan bisa bersifat

pengabaian ontologis dari sebuah bangunan yang semestinya berdiri di atas bumi Indonesia. Salah satu

bentuk pengabaian ontologis ini adalah pengabaian akar tropis dari nilai-nilai tradisional

Sebagai pengetahuan - atau yang populer di sebut sebagai “Arsitektur Tradisional Indonesia” asli dan

“Arsitektur Nusantara” – konseptualisasi lingkungan tradisional di Indonesia juga mengalami

penyesuaian. Pernah ada masa ketika nilai-nilai tradisional adiluhung menjadi perhatian utama, diinisiasi

oleh berbagai penelitian seni, arkeologis dan etnografis oleh sarjana Eropa di awal abad keduapuluh.

Pengetahuan arsitektur tradisional yang terbentuk lebih berorientasi pada eksotisme etnik dan masa

lalu yang bersifat adiluhung yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan desain modern - Orientalisme.

Pada tahun 1960an, seiring semangat counter-culture, dan budaya Populis, popularitas arsitektur

masyarakat vernakuler muncul. Pengetahuan arsitektur tradisional menjadi lebih berorientasi pada

budaya bermukim dan nilai tradisi yang bersifat lebih keseharian. Pada masa berikutnya ketika wacana-

wacana alternatif seperti Poskolonialisme dan Sustainability muncul, penjelajahan mengenai nilai-nilai

tradisi arsitektural , lebih kental pada upaya memahami budaya secara menyeluruh, termasuk nilai-nilai

budaya masyarakat yang terpinggirkan. Perhatian khusus diberikan pada aspek pemahaman dan

metodolofis yang bersifat holistik dan menjunjung keberlanjutan lingkungan dan pelestarian lingkungan.

Rangkaian perkembangan dalam tubuh pengetahuan mengenai arsitektur masyarakat tradisional

membuktikan bahwa asumsi dasar tentang lingkup budaya lingkungan tradisional dan tradisi arsitektur

akan mengalami sinkronisasi secara terus menerus.

Dinamika dunia sains dan industri juga membentuk cara pandang terhadap konsep “tradisi”dan “nilai-
nilai tradisional”. Dalam iklim ilmiah-positivistik nilai-nilai, makna, tradisi dan lingkungan tradisional

Nusantara memang selalu beresiko berhadapan dengan kebiasaan pengekerangkaan pengetahuan

secaraan reduktif dan mekanistik. Terlebih lagi tradisi mental kolonial juga tanpa disadari berdiam

dalam diri dan muncul lewat persepektif sektarian etnis yang membuat kita tanpa sadar senantiasa

memperlakukan unit etnik secara terutup. Demikian terbiasanya, hingga konsep Nusantara seringkali

dipandang sebagai sebuah unit kultural yang tertutup dari Indonesia. Kita lupa bahwa, istilah
Nusantara4

sendiri merupakan konsep jaringan global pra-modern di Asia Tenggara. Sejarah sosial budaya Lombok

sendiri bila dicermati secara seksama merupakan bagian dari bagian dari jejaring sejarah dari budaya

masyarakat multi-kultur.

4 Menurut Walter Mignolo Kolonialisme adalah agenda tersembunyi Modernitas. Globalisasi


menurutnya sudah

terjadi di dunia sejak abad ke 16, yang tersirat lewat jaringan ekonomi global dunia. Namun Globalisasi
pada masa

itu tidak menjadikan semua lokal mengalami penyeragaman seeperti yang terjadi pada Globalisasi di
abad 20

(Walter Migndolo, ND). Ia menyipulkan bahwa konsep Kolonialisasi dan Kapitalisme tidak melekat pada
konsep

Globalisasi, namun Modernitas. Perspektif ini bisa menjelaskan konsep globalisasi Asia - “Jaringan Asia”
Dennys

Lombard dan kesatuan wilayah kekuasaan yang berpusat pada Majapahit “Nusantara” (Lombard, 1995).

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 4

Dengan demikian nilai-nilai tradisional dan makna budaya tidak saja bersifat dinamis, baik dari segi paras

maupun sejarahnya, tapi juga jamak dan kontekstual. Perubahan dan perbedaan tersebut tak selamanya

tepat dilihat dalam sekat-sekat tipologi, dan evolusi sebuah progress.

1 Nilai-Nilai Tradisional dalam Dinamika Pengetahuan Mengenai Arsitektur berwawasan Tradisi dan

Budaya
Transformasi nilai-nilai tradisional dalam arsitektur masa kini seringkali diasosiasikan secara cepat

sebagai transformasi “arsitektur tradisional” atau lebih sempit lagi transformasi “rumah tradisional”.

Mungkin kondisi bisa dipahami karena sejak awal wacana ini populer di tahun 1960-an bahasan nilai-

nilai tradisional dalam arsitektur diwakili oleh topik mengenai rumah-rumah lama, suku terasing dan

vernakuler yang merupakan kontras dari arsitektur Modern, e.g. Rudofsky, 1963, Rapoport 1969; Oliver

1975, 1977, 1987; Norberg-Schulz 1985). Beberapa kajian dilakukan dengan berbasis artefak,

kesejarahan, dan beberapa berbasis penelitian sosial dan antropologi adapula geografi (Carsten & Hugh-

Jones, ed. 1995; Waterson 1990; Egenter 1992, Jacques Dumarcay, 1986)dan geografi (Tuan 1977).

Gaudenz Domenig (1980) dan Heinz Frick (2005) mendekatinya melalui evolusi tektonika.

Ilmu arsitektur tradisional dan vernakuler sendiri juga mulai berkembang sejak tahun 1960-an para

lmuwan anti kemapanan dan sarjana budaya mulai secara sistematis mendalaminya. Amos Rapoport

mengusulkan taksonomi mengenai tradisi membangun dan berhuni yang ditata berdasarkan klasifikasi

tradisi membangun dan budaya berhuni, yaitu budaya berhuni adiluhung (grand tradition) dan

masyarakat kebanyakan (folk tradition). Dari taksonomi tersebut muncul nomenklatur arsitektur

vernakuler, primitif, modern dan arsitektur tradisional. Batasan-batasan kategorikal ini kemudian mulai

dikritisi karena dianggap terlalu menyederhanakan konsep tradisi itu sendiri. Paul Oliver kemudian

menyarankan bahwa penggunaan istilah “Arsitektur Vernakuler” (Oliver, dalam Vellingga 2005)

merupakan istilah payung untuk merangkum beberapa tradisi berhuni, termasuk di dalamnya tradisi

adiluhung (grand tradition). Setiap arsitektur vernakuler merupakan ekspresi visual dari sebuah

kompleksitas tradisi berhuni yang harus dilihat secara menyeluruh5. Konsep “lokal” juga bukan sebuah

abstraksi pengelompkan teritorial yang tertutup seperti halnya unit etnik. Tuntutan pengembangan

epistemologi yang lebih holistik, terintegrasi dan multi-disiplin juga mendorong berbagai tuntutan

pembacaan ulang atas konsep arsitektur sebagai sebuah unit analisis yang selama ini dipahami secara

konvensional. Nold Egenger (1992) bahkan mengkritisi istilah ”arsitektur” sebagai sebuah definisi

kategorikal lingkungan binaan yang terbatas hanyalah bangunan dan lansekap. Sebagai alternatif,
Egenter (1992) dan Habraken (1987) lebih menyukai istilah ’Habitasi’6 ketimbang ’arsitektur’.

5 Istilah Vernakuler dirujuk dari istilah Inggris, “vernacular” diambil dari istilah latin “Vernaculus” -
sebuah istliah

latin yang dalam bahasa Inggris berarti “native” dan dalam bahasa Indonesia mungkin bisa diartikan
sebagai

“asali/ asli” atau “lokal”. Arsitektur Vernakuler dengan demikian berarti “ilmu tentang bangunan lokal”
(Oliver,

2006, 4)

6 Habraken in separated paper journal (1987), "Control of Complexity" Places/ Volum 4, Number 2

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 5

Realita praktek kebudayaan mendudukan budaya lebih daripada idealisme dan prestasi kemanusiaan.

Budaya merupakan entitas berparas wacana dan konsep yang jamak, yang perkembanganya bisa jadi

merupakan hasil dari pilihan sadar, atau kompetisi sosial dari sebuah masyarakat yang heterogen.

Kluckhon dan Levi Strauss mendefinisikan budaya secara struktural lewat identifikasi komponen-

komponen entnografisnya. Ben Anderson dan Cliffor Geertz mendefiniskannya budaya sebagai rajutan

diskursus yang diimajinasikan dan bersifat ideologis7. Heidegger dan Schultz mendefiniskan budaya

secara fenonemologis sebagai sesuatu yang hakikat utuhnya mencerminkan makna8. Para realis kritis

melihat budaya tak selamanya bersifat esensial dan ideal, ia bisa juga bersifat realis dan virtual, dan

representasi yang dihasilkannya adalah simulasi yang bersifat simulacra (Baudrillard,1981). Ragam

konteks definisi mengenai budaya ini membuat tradisi dan nilai-nilainya dipahami dengan berbagai cara

pula. Beberapa karya transformasi arsitektur berhasil tanpa selalu menggunakan rujukan konvensional

sebagai referensi langsung mereka9.

Paparan dinamika di atas diharapkan dapat memberikan sebuah gambaran mengenai kompleksitas

dimensi dari konsep tradisi, nilai-nilai tradisi, nilai-nilai tradisional dan sistem pemaknaanya. Paparan

tersebut juga memperlihatkan beberapa masalah seperti: kontras ideologis antara arsitektur asli dan

Modern yang menyebabkan arsitektur tradisional selalu diasosiasikan sebagai lawan dari yang
kontemporer; bahwa arsitektur asli daerah hanya hadir di negara dunia ketiga, identik dengan masa

lampau, orang miskin, ketidakcanggihan dan bukannya orang Eropa10. Beberapa kasus kontemporer

dewasa ini memperlihatkan tradisi yang hadir dalam wujud perpaduan tradis masa kini dan masa lalu.

Misalnya permasalahan perumahan (housing dan apartment) bisa menjadi representasi kasus

melenyapnya batas antara modern dan lama karena bila diindahkan, di satu sisi, budaya berhuni

bersifat kontekstual dan mengakar pada sebuah tradisi lama namun tuntutan kekinian tak akan dapat

diabaikan (Howard Davis, 1994)1 1. Jelas bahwa nilai-nilai tradisional dan sistem pemaknaan secara

epistemologis dan ontologis pada dasarnya bahkan bersifat dinamis dan historis.

Menimbang dinamika, kompleksitas pengertian dan lingkup dari tradisi, nilai-nilai tradisional dan

budaya serta konstituen arsitektur sebagai bagian dari lansekap budaya maka beberapa hal memang

perlu diperjelas sebelum menentukan pilihan-pilihan konsep transformasi desain:

7 Interpertatif Antropologi dari Geertz menjelaskan bahwa budaya perlu dilihat sebagai himpunan
diskursus yang

dirangkai dari sifat korelatif antara komponen atau properti budaya. Ungkapan eksistensi budaya bisa
hadir dalam

wujud metafora kontekstual, seperti bagaimana ia menggambarkan kekuatan politik jawa sebagai
“Negara Teater”

(Rabinow, 234). Konteks ideologis dari budaya juga ada pada konsep “imaginef communities” dari
Benedict

Anderson.

8 Dalam konteks Fenomenologi budaya digali dari “pengalaman” hidup di dunia dari pelakunya.
Perspektif

Fenomenologi sangat bertolak belakang dari pendekatan strukturalis ini.

9 Presentasi Ketut Arthana, Oktober 2014, Kuliah tamu Departemen Arsitektur, SAPPK-ITB

10 The Disappearance of the Dichotomy between Tradition and Modernity I Process-Oriented Housing,
Howard

Davies. TDSR Vol VI No.1 Fall 1994


11 Desain perumahan Sangkuriang dan Gempol menunjukan bentuk baru yang orisinil buah dari
pertemuan

masalah masa kini dan konseptualisasi berdasarkan model yang digali dari perbendaharaan lama.

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 6

A. Sistem nilai atau semangat apa yang ingin dibangkitkan lewat nilai-nilai tradisional yang dipilih.

Konsep arsitektur belandaskan nilai-nilai tradisional seperti apa yang akan membuat sang

masyarakat pengembannya merasa terwakili?

B. Motivasi dan wacana, apa yang ingin dihadirkan dalam sebuah peristiwa transformasi nilai-nilai

tradisional? Bagaimana nilai-nilai desain baru akan berkorelasi dengan nilai-nilai tradisional

yang pernah hadir? Dan bagaimana nilai-nilai tersebut relevan dengan situasi nyata?

C. Apa metoda tafsir dan transformasi yang digunakan?

D. Makna apa yang ingin dihadirkan oleh sang arsitek penggagas, perancang dan stake-holder atas

arsitektur yang dikehendaki untuk dihasilkan?

2. TRANSFORMASI NILAI-NILAI dan REPRESENTASI.

2.1 Representasi dan Simulasi Nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur

Diskusi tentang nilai-nilai tradisi dan transformasi makna dalam arsitektur akan saya bawa terlebih

dahulu pada diskusi tentang representasi12. Representasi sering menjadi wacana sentral ketika sebuah

arsitektur yang dinyatakan membawa nilai-nilai tradisi 13. Dalam konteks representasi, budaya, makna

dan tradisi didudukan sebagai ‘teks’ yang pada gilirannya akan diinterpertasikan menjadi atau ke dalam

teks yang baru, yaitu konsep dan visualisasi karya arsitektur. Konsep “representasi” memang cenderung

superfisial karena secara metodologis memang dimaksudkan untuk memuaskan persepsi visual. Ia tidak

secara langsung diperuntukan menjawab tuntutan pemkanaan empatik dan transedental. Masalah

perancangan berbasis representasipun cenderung berkutat pada aspek modifikasi formal14.

Namun demikian, untuk menghadirkan sebuah makna atau nilai-nilai tradisional, akan dibutuhkan

niatan lain selain konseptualisasi visual. Misalnya niatan untuk menghadirkan pengalaman empatik
harus dilakukan lewat partisipasi dan simulasi dari nilai-nilai tradisional yang dimaksud. Selain teks yang

tervisualkan, Konseptualisasi nilai-nilai tradisional bisa hadir lewat peristiwa sosial-spasial – “milieu”.

Millieu masyarakat tropis di Nusantara tidak semata hadir lewat visualisasi bangunanya, tapi juga lewat

vegetasi, kebiasaan sosial seperti ritual kegamaan dan membuat kriya, bahkan juga perilaku

12 Representasi secara normative dipahami sebagai tindakan menghandirkan sesuatu lewat sesuatu di
luar dirinya

(Piliang, 2010).

13Arsitektur Sebagai Seni Representasi berarti mengandung karakter artistik seperti halnya patung dan
lukisan.

Aspek yang direpresentasikan bisa sebuah teknik konstruksi orisinal, merepresentasikan bangunan lain,
bentuk

orisinil yang ditiru atau ditransformasikan dari tradisi tertentu, antropometri dan tubuh manusia,
keteraturan dan

makna (Davies,2011)

14 Sawsan A Helmy, A Contemporary (“Interpertation of the Traditional Paradigm, TDSR Vol VI Fall
1994”)

merincinya sebagai modifikasi regularitas, komposisi, penabrakan, penskalaan-kembali, dekonstruksi


dan

rekonfgurasi. Representasi bisa dilakukan dengan meniru dan mengolah sistem-sistem bentuk melalui
teknik-

teknik peniruan, modifikasi tektonika dan pemadu-padanan bentuk. Secara lebih sistematik representasi
juga bisa

dilakukan dengan pengolahan bentuk berdasarkan seperangkat prinsip struktur morfemik kompleks
yang

diorganisasikan lewat geometri - Misalnya dengan menggunakan Geometri generatif seperti Fraktal, dan
Konsep

Blob dari Greg Lynch.

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 7


masyarakatnya. Sebagai seni representasional dan pembawa makna, sebuah karya arsitektur mestinya

dapat mengikat perancang, pengamat dan penggunanya lewat sebuah pesan atau cerita dan juga

rancangan peristiwa (event) yang makna.

Karenanya desain kompleks sistem tanda dan makna dalam sebuah representasi biasanya selalu

merujuk pada keutuhan sistem Budaya secara utuh – tidak harus selluruhnya, namun dipilih sedemikian

rupa agar dalam skala tertentu akan masih tetap utuh. Sebuah tradisi yang bermakna akan mengandung

mekanisme yang memungkinkanya dikenali sebagai sebuah identitas yang bertahan, dipertahankan,

dan yang diwariskan 15. Di antara sebuah sistem representasi dan makna, atau pesan yang ingin diwakili

dari sebuah tradisi dalam sebuah perwujudan desain, terdapat sebuah medan gerak kontinum yang

disebut sebagai Intentional realm (Davies 2011). Intentional realm ini menjadi medan berbagai pilihan

yang terbentuk oleh akumulasi pengalaman. Ia dapat dirujuk oleh pembacanya untuk memahami, dan

oleh perancang untuk merancang. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa kegagalan pemaknaan kasus

rancangan arsitektur bertema kedaerahan disebakan oleh sempitnya internal realm yang dapat

diimajinasikan oleh pembaca aupun perancangnya16.

Dinamika sosial-historis sebuah budaya bisa membuat sebuah tradisi bertransformasi atau bermutasi

kian cepat. Formulasi sistem representasi dan pemaknaannya pun bisa menjadi kian kompleks dan

temporal. Sebuah wujud representasi pun dibaca secara lebih temporal dan cara-cara pembacaan dari

pembacanya pun menjadi lebih beragam dan bisa menghasilkan bacaan yang berbeda dari satu

pembaca ke pembaca yang lain. Pesan masa lalu yang direpresentasi pun kian tereduksi dan lebih tak

berjarak dengan realiti kekinian. Namun dalam beberapa konteks lingkungan tradisional reduksi ini

tidak selalu disertai oleh abrasi nilai-nilai tradisionalnya. Sekalipun visualisasinya tak harus

merepresentasikan arsitektur masyarakat tradisional, namun mencerminkan millieu dan aktivitas asli

tradisi masyarakat tersebut. Di titik ini tradisi bukan lagi semata “teks’ namun sebuah pengalaman atau

“milleu”; ketika tradisi tidak semata-mata sesuatu yang secara visual dihadirkan namun yang secara

empatik dirasakan lewat pengalaman. Pada titik ini pengejawantahan dan visualisasi nilai-nilai tradisi
tidak hadir dalam sebuah konsep representasi, tapi Simulasi -“yaitu ketika sebuah arsitektur

berwawasan tradisi tidak hadir semata karena sesuatu di luar dirinya (representasi dari nilai-nilai

tradisional yang ingin diungkapnya) namun hadir sebagai pesan itu sendiri dalam konteks kekinian” .

15 Karena itu memang bukan tanpa alasan bila arsitektur vernakuler menjadi sebuah bukti bagaimana
nilai-nilai

tradisi yang berkelanjutan. Istilah arsitektur vernakuler, yang dipandang oleh Paul Oliver lebih tepat
daripada

arsitektur tradisional, juga berasosiasi dengan bahasa.

16 Nilai-nilai tradisional secara sintakmatis dibentuk oleh himpunan tradisi-tradisi yang membangunya
seperti,

tradisi berhuni, tradisi mengelola lingkungan, tradisi mengelola estetika, legenda, mitos-mitos dan

pengetahuannya. Secara paradigmatis dibentuk oleh varian varian dari masing-masing tradisi atau
alternatif-

alternatif yang berkembang dari masing-masing tradisi di sepanjang waktunya.

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 8

2.2. Sifat-Sifat sebuah Tradisi

Untuk mengentahui karakter representabilitas dari nila-nilai tradisi perlu dikenali terlebih dahulu

sifat-sifat dari tradisi. Pertama, tradisi (tradition) perlu dibedakan dari kebiasaan (custom/ habit).

Sebuah kebiasaan adalah perulangan-perulangan akitivtas fungsional yang muncul secara spontan.

Sebuah tradisi memiliki legitimasi yang diakui secara kolektif. Untuk menjamin keberadaanya legitimasi

ini tradisi harus memilihakar pada institusi, seperti: etnik, negara, suku dan subkultur. Sebuah nilai-nilai

tradisional yang kuat berdiri di atas sebuah sistem budaya yang kohesif, yaitu yang memiliki mekanisme

pelestarian, pewarisan dan mekanisme pembelajaran dan internalisasi bagi masyarakatnya. Ketiadaan

institusi budaya yang kuat akan menyebabkan terjadinya interpretasi tanpa arah, dan perbenturan yang

tak terkendali dan menimbulkan anarki, ketika sebuah tradisi dan makna dari sebuah nilai-nilai

tradisional dan lingkungan tradisional hendak dibaca ulang atau dikondisikan ke dalam situasi-situasi
khusus di masa kini.

Beberapa tradisi masih membutuhkan waktu untuk dibuktikan tingkat kohesifitas nya. Beberapa tradisi

baru sudah cukup menampilkan kohesifitasnya namun bentuk institusinya belum cukup terjabarkan

dengan utuh,dan karenanya masih dikenali sebagai kebiasaan, misalnya: tradisi berhuni para migran,

para buruh, petani, dan lingkungan ekspatriat. Untuk membuka diri pada perkembangan ilmu arsitektur

yang relevan dengan metoda yang lebih emansipatif bagi institusi kultural tersembunyi atau budaya-

budaya diluar grand-narasi.

Kedua, tradisi bukanlah entitas yang tertutup. Tradisi adalah sistem yang siap untuk dimodifikasi

menjadi tradisi baru atau melahirkan tradisi baru. Pada hakikatnya tidak ada budaya yang murni

tradisional benar-benar dibuat oleh kelompok manusia yang terisolir, karena tak ada manusia atau

kelompok manusia yang bisa hidup terisolir. Budaya Indonesia sendiri dibangun dari akumulasi

kebhinekaan. Budaya Minangkabau di Malaysia dan di Sumatera memiliki modus dan motif

perkembangan, transformasi dan resiliensi yang berbeda, karena nilai-nilai yang terbentuk dan sejarah

perkembangnya juga berbeda. Norma Banjar dari masyarakat Bali memang tidak berubah dari waktu ke

waktu namun kompleksitas referensinya bertambah, di sepanjang jaman. Representasinya terus

direproduksi dengan berbagai penyesuaian tradisi di setiap waktunya17. Seiring dengan perubahan

konstelasi kompleks alam dan budaya di sepanjang waktu tradisi yang berkelanjutan akan secara terus

menerus diciptakan dan dimodelkan kembali.

Ketiga, tradisi itu bersifat kompleks. Dalam perwujudan arsitektural, tipologi misalnya, hanyalah satu

aspek dari tradisi, di samping tradisi-tradsi lain, seperti pertukangan, latar belakang sosial-spasial, dan

persepsi dan norma-norma tentang ruang dsb. Terlebih lagi kompleksitas tradisi tidak saja terkandung

17 Perubahan mendasar pada desain juga dala struktur budaya terjadi misalnya: 1) konsep teritorial
spasial yang

ternyata dinamis; 2) struktur alam yang terus berubah dan akibatnya kuantitas dan kualitas sumber daya
alam dan

manusia yang senantiasa berubah; 3) Konsep kemanusiaan juga berbedah. ; 4) dinamika Koherensi
konsep
komunitas dan neighborhoood yang tidak statis; 4) persepsimengenai masa kini dan masa lalu bahkan
masa depan

yang bisa tumpang tindih di hari ini; dan 5) pertanyaan seputar orisinalitas and authorship menjadi lebih
tidak

tunggal.

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 9

pada aspek intrinsiknya, namun juga aspek esternal yang mepengaruhinya. Dalam peristiwa

transformasi tradisi sinkronisasi ulang ‘kode’ dan ‘nilai-nilai’ akan terjadi. Dengan demikian kita juga

bisa melebarkan konteks institusi budaya, dari sekedar insitusi konvensional, seperti etnik, lingkungan

dan negara, menjadi institusi masa kini seperti profesi, atau lembaga pemangku kepentingan lainya

dalam skala global maupun lokal. Semakin kohesif sebuah institusi dan budaya, semakin solid akar dari

nilai-nilai tradisional atau moral codes yang terbentuk, dengan cara apapun si tradisi itu hadir pada

waktu yang relevan.

2.3. Nilai-Nilai Tradisional, Kode dan Makna.

Masih dalam konteks representasi, sistem nilai tradisional dalam Semiotika, setara dengan sebuah

konsep yang disebut “Kode”. Kode adalah sistem simbol dan makna yang relevan pada satu masyarakat

dan kebudayaan yang khusus atau subkultur. Sistem -nilai tradisional adalah kode moral yang

diturunkan dari generasi ke generasi18. Keberhasilan komunikasi antara penutur dan pembaca, sangat

ditentukan oleh KODE yang terkandung di dalam sistem komunikasi yang digunakan. Dengan landasan

kode ini maka sebuah representasi bisa terbaca dengan jelas atau bahkan sebagai identitas. Sebuah

tradisi yang ditransformasikan tanpa mengindahkan kode akan menjadi signifikansi tanpa makna.

Kode bisa tersembunyi jauh pada lapisan dasar primordial seperti arketipe, memori kolektif, skemata.

Merujuk pada Collin Renfew (1994) cara berfikir sebuah peradaban dibentuk oleh pengalaman

primordial dunia material lingkungannya. Pola pengalaman (seperti gempa, iklim tropis, sejarah budaya

maritim) ini bersifat stabil dan tidak berubah sekalipun perubahan zaman terjadi. Pola-pola pengalaman
materialitas ini seolah terenkripsi dalam gen kognitif manusia yang diturunkan sejak jaman prasejarah

dan pada giliranya membentuk arketipe kognitif. Arketipe kognitif masyarakat Nusantara salah satunya

terwujud lewat refleks tektonika dalam tradisi membangun. Pada titik ini kode bersifat stabil dan

resilien.

Namun kode juga memiliki sifat historis dan mengalami penyesuaian dalam rentang waktu. Ketika kode

(dalam konteks Semiotik) atau arketipe kognitif (dalam konteks arkeologi kognitif) ini bergulir di

panggung sosial, terbentuklah pola-pola baru yang lebih historis - seperti gen budaya atau gen kultural

(memetika - Dawking), yang potensial menghasilkan ‘spesies ‘ variasi budaya dan tradisi yang baru.

Transposisi dari arsitektur vernakuler menjadi tradisional pada dasarnya merupakan pemalihan historis

kode. Arsitektur-arsitektur vernakuler ‘omah’ yang pada dasarnya adalah bangunan biasa menjadi

terimbuhi berbagai atribut sosial-kultural yang melegitimasikan sebuah identitas dengan pewruwujdan

artifaknya.

Dengan pengertian tersebut sebuah transformasi arsitektur yang sekedar hadir sebagai hasil tiruan atau

modifikasi bentuk arsitektur menjadi terasa dangkal, karena mengabaikan adanya sebuah struktur dasar

18 Kode adalah sebuah istilah dalam Semiotika yang merupakan sistem prosedural yang berkaitan
dengan konvensi

yang korelatif sebentuk operasi domain bahasa tertentu. Dengan Kode tanda-tanda diorganisasilan ke
dalam

sistem pemaknaan yang bersifat mengkorelasikan penanda dengan yang ditandakan (David Chandler:

http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/sem08.html).

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 10

kognitif dan kultural dan sebagai budaya yang jalinannya secara mudah disebut sebagai makna. Sebuah

arsitektur yang meneruskan nilai-nilai tradisi berarti bekerja dengan kode yang inheren dalam budaya

asli namun tetap hadir dengan kode-kode kekiniannya sendiri.

2.4. Pemaknaan dan Realita Desain


Diantara Kode dan makna adala sebuah hubungan yang imaginatif dan dialogis. Bila kode adalah entitas

yang akan ditanggapi secara kreatif oleh arsitek, maka makna menjadi kesan yang diperoleh dari realitas

yang bekerja dalam sebuah operasi budaya yang dialami oleh pengguna atau pengamat banguna yang

dirancang. Makna adalah bukti adanya nilai-nilai atau kode yang bekerja dalam sebuah praktik

kebudayaan yang bisa dipahami oleh pengamat. Secara perseptual makna denotatif memberi informasi,

makna konotatif memberi kesan.

Kesulitan yang dihadapi masyarakat masa kini untuk aspek pembacaan adalah stabilitas bahasa yang

lebih sering tidak ajeg. Belum lagi, internalisasi dan sosialisasi budaya dalam pendidikan yang cenderung

kian superfisial Pada era 90-an dalam dunia arsitektur sempat diramaikan dengan wacana matinya

Semiotika karena asumsi kestabilan bahasa yang tak dapat ditawar dan motivasi manipulatif penutur

atas bahasa yang digunakan. Lebih jauh lagi, wacana Posmodernisme bahkan digunakan banyak pihak

sebagai alat legitimasi ketidak ajekan. Dalam wacana Posmodernisme abnormalisasi bahasa bahkan

dianggap kewajaran bahkan sebagai keunikan. Menurut hemat saya kritik Posmodern pada sifat

konvensional stabilitas bahasa adalah wujud sebuah ketakutan atas jebakan pragmatis yang dialami

para arsitek dalam profesinya ketika berhadapan dengan resiko Kitsch yang simplistik, ketika mereka

dipaksa memunculkan makna dengan menggunakan simbol-simbol budaya masa lalu tanpa memiliki

pijakan kode tertentu.

Posmodernisme dalam upaya memahami sistem nilai tradisional perlu dilihat lebih sebagai sebuah kritik

dan bukan metoda merancang. Wacana kritis yang terjadi lewat gagasan post-Strukturalis adalah

emansipasi makna yang tersembunyi atau terpinggirkan, emansipasi cara cara penuturan alternatif dari

grammar. Dekonstruksi merupakan bentuk emansipasi dari obyek ungkapan atas bahasa yang selaa ini

mengungkapkanya. Hypersemiotik menjadi bentuk kritik terhadap pemaknaan yang selalu

menggunakan referensi-referensi berupa objek konseptual yang diskrit (langgam, tipologi), dan

menganjurkan referensi yang berupa jejaringan peristiwa yang inheren dalam pengalaman pengamat

(peristiwa, kegiatan, harapan dan perilaku masyarakat tradisinya). Dengan contoh sikap-sikap kritis ini
kita bisa bertanya: apakah rumah tradisional harus menjadi referensi yang menengahi yang ditandakan

dan yang tertandakan? Bagaimana bila kuliner? Atau mitos atau karakter ruang? Memang kesalahan

bacaan itu terjadi ketika kian banyak kode yang muncul dalam sebuah budaya.

3. KODE: TRANSFOMASI MAKNA NILAI-NILAI TRADISI DALAM ARSITEKTUR MASA KINI

Perancangan arsitektur yang mentransformasikan nilai-nilai tradisional juga, memiliki signifikansi untuk

menghadirkan kebaruan, yang berarti menghadirkan kode baru yang sanggup menawarkan pembacaan

baru dari pengamatnya. Bila kelindaan kebaruan dan nilai-nilai tradisi hanya beroperasi pada fisik dan

visualisasi permukaan maka ia akan hanya menjadi sebuah karya fungsional dengan citra visualnya,

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 11

namun bila kelindaan itu mampu mengikat secara utuh antara desain dan keseluruhan harkat dan

harapan masyarakat penggunanya maka si arsitektur itu akan mampu hadir sebagai identitas. Dan

sebagai “identitas yang bermakna” arsitektur akan mampu menjalankan fungsi lainnya yaitu modus

pelestarian budaya dan maknanya.

Perancangan arsitektur adalah pencipaakan realita baru pada sebuah lingkungan. Sebelum realita itu

menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya ia belum menjadi realita budaya. Demikian pula pada

prakteknyapun arsitek selalu bekerja dengan modus multi-kode, multi-nilai pada akhirnya ia juga akan

berkontribusi menghasilkan kode baru pada budaya setempat. Sebuah karya rancangnya tidak saja

mengandung makna yang didasari pertimbangan fungsional, kasat mata dan pragmatis (denotatif),

namun juga lapisan konotatif ( berdasarkan aspek empatik-simpatik seperti kesan, memori kolektif, citra

dan metafora (konotatif), dan lapisan puitis (berdasarkan pengalaman dan peristiwa unik).

Ada tiga kemungkinan modus transformasi dan korelasinya dengan kestabilan makna-makna: 1)

transformasi tradisi dan lansekap tradisional tanpa merubah kodenya dan hanya sekedar memalihkan

dengan penyesuaian fungsional dan konteks ruang dan waktu; 2) transformasi yang membentuk kode

baru melalui reinterpretasi, reinvention atau bahkan dekonstruksi atas struktur-struktur tradisi atau
lansekap tradisional eksisting ada untuk menghasilkan pemaknaan baru dari tradisi asli. Pembentukan

kode baru bisa juga dilakukan lewat upaya pembongkaran secara kritis semua rujukan dari tradisi dan

menjelajahi dimensi lain dari tradisi tersebut atau lapisan pengalaman perseptual lain dari tradisi yang

selama ini mungkin terabaikan; atau 3) menaikan praktek kode yang biasanya hanay pada paras tekstual

menjadi yang bersifat miliu; dari yang bersifat representasi menjadi simulasi pengalaman di mana.

Dalam konteks ini nilai-nilai tradisional bukan sekedar dibaca, namun dialami dalam konteks kekinian.

Dalam konteks simulasi, transformasi makna merupakan peristiwa rekonstitusi nilai-nilai tradisional

dengan tujuan menciptakan habitat tradisional baru di masa kini yang orisinal dan otentik, yang tetap

mengindahkan nilai-nilai tradisional namun bebas dari logosentrisme masa lalu.

3.1. Tranformasi Nilai-Nilai Tradisional Tanpa Merubah Kode Budaya.

Peristiwa transformasi makna tanpa memunculkan kode budaya baaru pada dasarnya hanyalah

modifikasi fungsional-estetis desain – adaptasi formal untuk tujuan pemanfaatan tertentu. Proses

perancangannya kerap menghasilkan representasi yang tidak jauh berebeda dengan bentuk aslinya.

Reka-bentuk yang terjadi lebih erupakan manipulasi formal-spasial-konstruksi.

Dalam perancangan arsitektur, kebutuhan akan kestabilan bahasa dari kode tunggal sebuah budaya

seringkali bertabrakan dengan dorongan kreativitas yang senantiasa menggeliat dalam ruang hidup

zaman. Pemaksaan praktek arsitektur dengan modus kode tunggal seperti dijelaskan seringkali

menghasilkan desain simplisistis dan kurang relevan dengan trend baru yang berkembang, seperti:

semangat masyarakat pasca-industri, gaya hidup dan situasi sosial budaya baru. Karya yang dihasilkan

kerap menjadi bukti kegagalan semiotik- Kitsch.

Namun modus transformasi seperti ini tentunya bukanya tidak dibutuhkan untuk desain untuk

rancangan yang sengaja dibuat dengan tujuan peniruan dan berfungsi sebagai sarana komunikasi dari

representasi yang bersifat merekam, seperti konservasi, atau dengan tujuan-tujuan yang biasanya

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 12


didorong oleh kebutuhan-kebutuhan mempertahankan sosio-kultural tengaran seperti pada Konstruksi

istana Pagaruyuang, pembangunan TMII dan formulasi rumah tradisional untuk Propinsi baru. Ia juga

masih relevan untuk perancangan bangunan dengan skala bangunan yang relatif setara dengan

bangunan tradisional aslinya. Ia menjadi kurang relevan ketika digunakan untuk merancang bangunan di

luar skala wajarnya.

Dalam beberapa kasus kode yang digunakan bisa saja sama, namun sintaks yang direpresentasikan

tidaklah mainstream. Turisifikasi dan perancangan arsitektur daerah untuk proyek desa adat, sekalipun

merupakan wujud mimesis fisik dari kode yang sama, menjadi tidak berkontribusi apa-apa pada

kelesatarian ’rasa memiliki’ tradisi masyarakatnya kian pudar. Squatter architecture menjadi alternatif

arsitektur vernakular (Kellet, 1995). Alih-alih merujuk pada tipologi – kode alternatif bisa berujuk pada

tradisi tektonika dengan sifat materialitasnya.

3.2. Tranformasi Nilai-Nilai Tradisional dengan Memunculkan Kode Baru.

Dalam Transformasi yang membentuk kode-kode baru, kode baru disisipkan atau dikombinasikan ke

dalam kode-kode tradisional untuk menghasilkan nilai-nilai baru yang bersifat multi-kode yang

melandasi rancangan baru. Kombinasi ini bisa hadir dalam bentuk reproduksi nilai baru dari hasil

pembacaan ulang atau. Konseptualisasi representasi tidak dihasilkan lewat modifikasi morfemik

struktur-struktur tipologis yang biasa dikenal, namun lewat peramuan kode baru untuk membuat

medan sintesis bentuk dan struktur morfemik baru.

Pada dasarnya sebuah lokasi tempat terselenggaranya sebuah desain akan menjadi medan ”cultural

conflict” yang bersamaan dengan desain baru akan hadir pula representasi unik dari lingkungan, yang

secara keseluruhan mengindikasikan kode baru. Kode baru ini bisa bersifat sosial (perilaku, fonologi,

komoditi), tekstual (estetika, langgam, gaya) ataupun interpretatif (ideologis, tematis). Tipologi

arsitektur resort tropis di Bali menjadi contoh kodifikasi baru dari nilai-nilai tradisional Bali dalam

rancangan arsitektur arsitektur asli Bali di abad ke 21. Tipologi lumbung padi asli masyarakat asli

Lombok dan Bali banyak ditemukan sebagai acuan rancang di banyak resort di luar tempat asalnya19.
Dengan bantuan media dan desain yang unik, desain ini bukan sekedar dapat dibagi dengan

masyarakatnya, namun juga oleh masyarakat dunia. Ia bukan lagi menjadi kode rumah tradisional

lombok, tapi kode hotel tropis Indonesia. Bila prinsip pertama sebelum ini adalah kombinasi multi-kode

dan nilai maka prinsip kedua mengenai transformasi adalah dengan menciptakan kode baru

berdasarkan nilai-nilai tradisonal tanpa harus terjebak dalam struktur tradisional, berusaha keluar dari

kerangka-kerangka konvensional.

Secara ideologis-kritis, penciptaan kode-kode baru ini juga bisa dimanfaatkan sebagai medium

pewacanaan dan perjuangan ideologis. Misalnya perjuangan sosial wacana gender, politik informalitas,

dan emansipasi pengetahuan lokal20. Formula nilai-nilai baru bersifat menemukan kembali bahasa-

bahasa yang hilang, tersembunyi atau tersamarkan - Kode alternatif, kode subaltern. Langgam

Contemporary Vernacular menjadi kode lain dari arsitektur kontemporer yang direproduksi dari konsep

vernakular yang kebih sederhana dan lugu.

19 Tipologi lumbung Bali dan Lombok dimanfaatkan pada arsitektur vila-vila di daerah Pangandaran
Jawa Barat.

20 Tjibou Centre menjadi contoh bagaimana konsep tribal suku kanak di Caledonia diangkat dalam
bentuk yang

futuristik namun masih dikenali kode etnik lewat pertukangan kayunya (Murphy 2002).

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 13

Pada titik ini prinsip-prinsip modifikasi formal seperti konstruksi dan detil seharusnya seharusnya tak

hanya bekerja pada tahapan adaptasi atau metafora namun bahkan sebuah ontologi21. Kerangka

konvensional dualistik nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai kontemporer dalam modus transformasi ini

bisa jadi tak relevan. Setiap sejarah dan tradisi arsitejktur memiliki ontologinya sendiri sebagai sebuah

akumulasi.

3.3. Pemaknaan Tranformasi Jejaring.

Modus transformasi nilai-nilai tradisional ketiga adalah dengan menciptakan lingkungan yang
pengejawantahan utamanya adalah pembentukan miliu (millieu) tradisional yang dapat dialami dalam

konteks kekinian. Pada prinsipnya, transformasi ini melihat proses pembentukan kode baru dengan

acuan semiotik (referent) yang tidak lagi berupa obyek atau norma, melainkan jejaring norma, manusia

dan persitiwa. Sebelumnya perlu dipahami bahwa konseptualisasi makna selain bisa bersifat struktural,

transenden bisa sebagai jaringan peristiwa dan keberkaitan aktor dan agen yang bersifat imanen22.

Dalam Transformasi jejaring agen proses pembentukan kode-kode baru merujuk bukan pada pola-pola

struktural atau kesan kesan individual namun jalinan peristiwa dan artefak yang dibentuk oleh manusia

dan lingkungan serta norma-normanya23.

Kode-kode baru yang terbentuk akan berupa ruang sosio-kultural yang kohesif yang hadir sebagai kode

baru namun tetap menghadirkan akar kode lama dalam rancangan jalinan peristiwanya- miliu. Bentuk

baru yang lahir secara prinsip menjadi hasil dari Metamorfosa dari bentuk yang lama. Tidaklah terlalu

signifikan apakah representasi yang dihasilkan bisa hadir dalam bentuk yang lama atau baru dam lazim

karena yang ingin dihadirkan bukan semantika bentuk dan ruang statis namun semantik peristiwa dalam

ruang waktu yang dinamis. Dalam konteks ini misalnya apakah mungkin upaya transformasi nilai-nilai

tradisional dilakukan dengan serta mengaktifkan jejaring yang sudah terbentuk pada komunitas

mungkin saja rancangan yang terjadi adalah sebuah skema yang dapat mengikat kreatifitas lokal yang

ada atau membangun kembali potensi kreatifitas lokal yang mungkin sempat hilang. Dengan prinsip ini

maka bisa dibayangkan bahwa mekanisme transformasi kode atau nilai-nilai tradisional akan merupakan

bagian dari mekanisme formasi lingkungan binaan yang lebih makro dan natural, mirip seperti

pencangkokan atau sinkronisasi.

Desain arsitektur yang terjadinya tidak akan terputus dengan konteks di sekitarnya. Contoh nyata adalah

George Town Penang yang melibatkan jaringan multi-aktor, yang tak lain adalah masyarakat

21 Juga berbagai teknik pencampuran aspek modern-tradisional. Misalnya “hassad system”untuk


spanish balcony,

atau yang Zumthor lakukan atas tekstur pada ornamen.


22 Konsep imanensi ini diadaptasi dari konsep Rhizomatic pada miliu yang dicetuskan Deleuze dan
Guattari

(Deleuze Guattari dalam Ballantyne, 2007)

23 Konsep ini sebetulnya menjadi dasar dari “Hypersemiotic”, ketika konsep “referent” dalam segitiga
sistem tanda

(sign) – signified-signifier-referent- tidak lagi berupa norma, pernyataan atau obyek, namun jejaring
peristiwa dan

obyek.

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 14

penghuninya sendiri untuk pendidikan dan reorientasi pembangunan. Di India dan Thailand Tourism

Development Corporation tidak seperti sebuah otorita pengembangan satu wilayah khusus di suatu

daerah, namun sebagai sebuah komite yang diberi mandat untuk membawa sistem jejaring berbasis

turisme yang disinkronkan dengan jejaring kehidupan masyarakatnya dengan dampak nasional dan

global. Ini modus yang dekat dengan upaya-upaya mewujudkan Keberlanjutan sosio-kultural (ekologi

yang berkebudayaan, pemukiman yang mengadopsi sistem homesotasis dari pemukiman vernakular).

4. Ulasan akhir:

Keberlanjutan sebuah nilai-nilai tradisional dan makna dalam sebuah karya lingkungan binaan akan

bergantung pada keberterimaan sang karya di dalam konstelasi budaya dan masyarakat yang dijadikan

rujukanya – menjadikan karya yang baru sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan budaya.

Seberapa dalam makna sebuah karya arsitektur akan membekas pada masyarakatnya akan dibuktikan

lewat sejauh mana karya arsitektur tersebut akan menunjang proses kelahiran terus menerus dari nilai-

nilai tradisi yang dimaksud, atau secara komersial apakah akan menjamin reproduksi sosial, kultural dan

kapital dari tradisi yang hasilnya akan dimanfaatkan bagi kemaslahatan masyarakat.

Peristiwa transofmasi nilai-nilai tradisional juga tak harus menolak perkembangan terkini karena sebuah

nilai-nilai tradisional yang bermakna dan berkelanjutan akan selalu hidup di masa kini. Adalah sebuah

tantangan bagi arsitek untuk merealisasikan aspek keberlanjutan dan bobot pemaknaan pada karya
seninya. Namun perlu digaris bawahi bahwa transformasi nilai-nilai tradisional sebagai bagian upaya

pelestarian tradisi nampaknya tak dapat disamakan dengan pemanfaatan perbendaharaan tradisi

arsitektur serta nilai-nilainya.

Sebagaimana “budaya” yang konstituennya bersifat formal atau disepakati bersama, berbagai upaya

perwujudan artistiknya akan membutuhkan dorongan yang bersifat institusional, baik itu dalam bentuk

pranata politik, individu karismatik maupun mahzab. Wacana yang heroik dan intelektual di masa

Kolonial, terjaidi ketika HP Berlage dalam orasinya di tahun 1958 menyuarakan tantangan untuk

membuat arsitektur baru yang mengakar pada tradisi arsitektur lokal24. Demikian pula pada CONEFO

ketika presiden Indonesia pertama Soekarno menyuarakan hasrat menciptakan identitas Indonesia

sebagai the New Emerging Forces, tidak lewat pengejawantahan konsep arsitekur lokal secara Kitsch,

namun lewat desain abstrak-fungional yang sengaja dilakukan oleh arsitek Bumiputra. Bukan hanya

tradisi yang lestari, prestasi pertukangan dan reka ruang juga dihasilkan. Keduanya mewakili motivasi

dasar yang berbeda dan bisa berdampak luas yang jauh berbeda dari budaya itu sendiri. Dampaknya

juga dapat dirasakan secara luas dan diterima secara meluas pula. Tanpa dapat ditolak mereka hadir

secara abadi sebagai budaya. Kita bisa merasakan “spirit” berbeda dari Regionalisme yang dilakukan

para regionalist dengan proyek sosial yang dilakukan oleh YB Mangunwijaya, Laurie baker dan Hasan

Poerbo dengan Regionalisme yang bersifat formal-eksploratif dengan tujuan menciptakan citra yang

berwawasan budaya lokal. Disamping motivasi heroik terdapat pula motivasi lain seperti identitas.

Kemunculan propinsi baru di tahu 2000an awal lebih mendudukan arsitektur asli sebagai medan

24 Pidato Pengukuhan Guru besar Arsitektur Prof. Ir.V.R Van Romondt 26 Mei 1954 “Menuju Kesuatu
Arsitektur

Indonesia: Fakultet Teknik Universitet Indonesia, bandung

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 15

pergulatan dari penguasa untuk melegitimasi identitas. BILBAO EFX. Dalam konteks ini yang menjadi

perhatian pada dasarnya bukan si tradisi itu sendiri namun medan motivasi dan kekuatan atau
kekuasaan yang menggunakanya. Karena itu perlu dikenali bahwa upaya transformasi nilai-nilai

tradisionaldilakukan juga untuk berbagai motivasi dan ideologi, seperti 1) untuk melestarikan nilai-nilai

tradisional secara utuh; 2)Untuk mencegah nilai-nilai tradisional dari penghancuran; 3) untuk

membuktikan sebuah prestasi perancangan dan 4) pengejawantahan Branding dan industri

Perubahan motivasi dan kualitas pengejawantahan tafsir nilai-nilai tradisi juga sangat dipengaruhi

perubahan struktural yang terjadi masyarakat itu sendiri. Berbagai nomenklatur muncul untuk

menandainya- Post-Tradition, Hyper-tradition. Dinamika kehidupan masa kini hadir dengan fakta migrasi

yang kian intensif dan cepat, kemunculan masyarakat virtual, fenomena branding dengan Bilbao

efeksnya, mewujudkan sistem kemanusiaan dengan perspektif dan perse[si yang tidak sama.

Transformasi makna dan nilai-nilai tradisional bisa dielaborasi di tingkatan ontologi, yang bersifat

membangun pengetahuan mengenai realita arsitektur sebagai sebuah produk institusi budaya dan kode

tradisi yang ternyata terus berproses. Konsep representasi yang secara prinsip bersifat menghadirkan

citra di hadapan pengamat sebagaimana “text” di hadapan “pembaca”-nya beranjak menjadi simulasi

yang bersifat merekonstruksikan miliu yang mengikat pembaca dan penulisnya, kreator dan

penikmatnya; beranjak dari semantika bentuk menjadi semantika peristiwa.

Daftar Pustaka:

1. Amos Rapoport, 1969 House Form and Culture, New Jersey: Prentice-Hall,

Englewood-Cliffs

2. Andrew Ballantyne, 2007, Deleuze and Guattari for Architects, New York:

Routledge

3. Benedict Anderson, 1983, Imagined Comunities- Reflections on the Origin and

Spread of Nationalis, 1983, London:Verso

4. Bernice Murphy, Centre Culture Tjibaou – A Museum and Arts Centre

Redefinining New Caledonia’s Cultural Future, Humanities Research Vol IX No.1,

2002
5. Collin Davies, 2011, Thinking About Architecture- An Introduction to

Architectural Theory, London: Laurence King Publishing, ,

6. Colin Renfrew, 1994, 1 Toward Cognitive Archeology diunduh dari

http://www.ufg.uni-

kiel.de/dateien/dateien_studium/Archiv/201011_furholt_hinz_lesenswert/11_sit

zung/Renfrew%201994.pdf pada tanggal 10 Novembe 2014

7. David Chandler, Introduction to Semiology diunduh dari http://visual-

memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/semiotic.html pada tanggal 10 Novembe

2014

8. Dona P. Crouch dan June G.Johnson, 2001, Traditions in Architecture – Africa,

America, Asia and Oceania, New York: Oxford Press

Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini

Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15 | 16

9. Eric Hobbsbawm dan Terence Ranger,(ed.), 1984, Introduction: Inventing

Traditions in “The Invention of Tradition, Hobsbawm, Cambrdge University Press,

Anda mungkin juga menyukai