Anda di halaman 1dari 22

Clinical Science Session

VAGINOSIS BAKTERIALIS

Oleh :

Fina Seprianita 1740312255

Preseptor :

dr.Pom Harry Satria, Sp. OG (K)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD SUNGAI DAREH DHAMASRAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Vaginosis Bakterial (BV) merupakan salah satu masalah kesehatan yang

sering dihadapi oleh wanita yang berada dalam masa reproduksi dimana ketidakseimbangan

flora normal yang terdapat di vagina. Kondisi tersebut yaitu pertumbuhan flora bakteri

anaerob yang lebih banyak sehingga mengganti flora normal Lactobacillus. Tanda klinis

infeksi Vaginosis Bakterial ditandai dengan adanya produksi sekret vagina yang banyak,

berwarna putih, homogeny, berbau amis dan terdapat peningkatan pH.1

Kejadian Vaginosis Bakterial cukup sering terjadi di Negara-negara berkembang

termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES), memperkirakan prevalensi BV adalah 29 persen pada populasi umum dari

perempuan berusia 14-49 tahun dan 50 persen pada wanita Afrika-Amerika. Ini termasuk

semua kasus dengan gejala infeksi dan asimptomatik. Di seluruh dunia, BV adalah umum

di antara wanita usia reproduksi, dengan variasi menurut populasi yang diteliti.1

Studi terbaru yang dilakukan pada wanita hamil, HIV-positif dan wanita dengan

infertilitas juga telah melaporkan prevalensi BV tinggi. Di antara perempuan hamil di timur

laut Nigeria dan Ethiopia, prevalensi BV adalah 17 dan 19%, masing-masing; antara wanita

dengan (HIV) positif, prevalensi BV adalah 48% telah dijelaskan di India, sedangkan pada

wanita dengan infertilitas di Qom dan Iran prevalensi BV ditemukan sebanyak 70%.Dalam

beberapa tahun terakhir, BV dalam kalangan wanita yang berhubungan seks dengan wanita

(WSW) telah menerima perhatian riset tambahan.2


Diagnostik infeksi vaginosis bakterial dapat ditegakkan dengan beberapa metode,

yaitu Kriteria Nugent, Kriteria Amsel, Kriteria Spiegel. Melihat besarnya risiko yang ada

pada infeksi vaginosis bakterial, maka perlu dilakukan skrinning yang jelas pada wanita

hamil maupun tidak hamil sehingga dapat menghindari risiko yang ada serta melaksanakan

penanganan secara holistik.2

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis,

diagnosis, diagnosis banding dan penatalaksanaan pada vaginosis bakterialis.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi, factor risiko, patogenesis,

gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding dan penatalaksanaan pada vaginosis bakterialis

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai

literatur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vagina

Vagina adalah rongga muskulo membranosa berbentuk tabung mulai dari tepi cervix

uteri di bagian kranial dorsal sampai ke vulva di bagian kaudal ventral. Vagina berfungsi

untuk mengeluarkan ekskresi uterus pada haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi

(persetubuhan). Batas dalam secara klinis yaitu fornicks anterior, posterior dan lateralis di

sekitar cervix uteri. Vagina menghubungkan genitalia interna dan eksterna. Panjang ukuran

anterior vagina adalah 6,5 cm dan posterior vagina 9 cm. Sumbu vagina berjalan sejajar

dengan arah pinggir bawah simfisis ke promontorium. Secara embriologis 2/3 bagian atas

vagina terbentuk dari duktus Mulleri (asal dari entoderm), 1/3 bagian bawah berasal dari

sinus urogenitalis (lipatan-lipatan ektoderm).3

Epitel vagina terdiri dari atas epitel skuamosa, terdiri dari beberapa lapis epitel

gepeng tidak bertanduk dan tidak mengandung kelenjar, tapi dapat terjadi transudasi.

Mukosa vagina berlipat-lipat secara horizontal (rugae), di tengah dan bagian belakang ada

yang mengeras, disebut dengan kolumna rugarum. Di bawah epitel vagina terdapat jaringan

ikat yang banyak mengandung pembuluh darah. Dibawah jaringan ikat terdapat otot-otot

yang sususnannya serupa dengan otot-otot usus. Bagian luar otot terdapat fasia (jaringan

ikat) yang elastis dan akan berkurang keelastisitasannya sesuai dengan pertambahan usia.

Sebelah depan vagina terdapat uretra sepanjang 2,5-4 cm. Bagian atas vagina berbatsan

dengan vesika urinaria sampai ke forniks anterior vagina.3


Gambar 2.1 Anatomi Vagina

2.2 Vaginitis

Vaginitis merupakan peradangan pada saluran reproduksi luar yang sering terjadi.

Peradangan ini dapat disebabkan oleh infeksi, ataupun efek dari perubahan hormonal yang

terjadi di dalam tubuh.2 Vagina secara normal didiami oleh sejumlah organisme (flora

normal), antara lain, Lactobacillus acidophillus, Difterioid, Candida, dan flora normal lain.

pH fisiologis vagina adalah 4 (3,5-4,5) yang akan menghambat pertumbuhan bakteri patogen

dan mengontrol pertumbuhan flora normal yang terdapat di dalam vagina. Diagnosis

vaginitis memerlukan pemeriksaan mikroskopik cairan vagina.4

2.3 Definisi Vaginosis Bakterialis

Vaginosis bakterialis (BV) sebelumnya telah disebut sebagai vaginitis nonspesifik

atau vaginitis Gardnella. Vaginosis bakterial (VB) adalah penyebab vaginitis paling biasa.

Umumnya tidak dianggap sebagai penyakit menular seksual karena pernah dilaporkan

kejadiannya pada perempuan muda dan biarawati yang secara seksual tidak aktif.5
Tidak ada penyebab infeksi tunggal tetapi lebih merupakan pergeseran komposisi

flora vagina normal yang mengakibatkan hilangnya hidrogen peroksida - memproduksi

lactobacilli dan peningkatan bakteri anerobik sampai sepuluh kali serta kenaikan dalam

konsentrasi Gardnerella vaginalis.5

2.4 Epidemiologi Vaginosis Bakterialis

VB dapat meningkatkan terkenanya dan penularan HIV dan juga meningkatkan

risiko penyakit radang panggul (PID). VB lebih sering dijumpai pada pemakai AKDR

dibanding kontrasepsi lain dan meningkatkan risiko penyakit menular seksual. Pada ibu

hamil dengan VB meningkatkan infeksi klamidia dua kali dan gonorea enam kali lipat. Di

samping itu, ada hubungan kuat antara VB yang didiagnosis pada umur kehamilan 16 sampai

20 minggu dengan kelahiran prematur (umur kehamilan kurang dari 37 minggu).5

2.5 Faktor Resiko Vaginosis Bakterialis

Penyebab Vaginosis bakterial tetap sulit dipahami, dan berbagai penelitian telah

melaporkan keragaman risiko untuk kondisi umum ini, termasuk:

2.5.1 Aktivitas seksual

Aktivitas seksual merupakan faktor risiko untuk Vaginosis bakterial, terutama ketika

kondom tidak digunakan secara konsisten. Bukti epidemiologi sangat mendukung transmisi

seksual dari BV patogen. Ada kejadian yang tinggi BV dan konkordansi flora pada wanita

yang berhubungan seks dengan wanita, lebih lanjut menunjukkan bahwa transmisi seksual

adalah penting. Wanita yang berhubungan seks dengan wanita beresiko untuk infeksi

menular seksual (IMS). Wanita lesbian dan biseksual dapat mengalami IMS satu sama lain

melalui:Kulit-ke-kulit, kontak mukosa (misalnya, mulut ke vagina) cairan vagina, darah haid

dan berbagi mainan seks. Beberapa IMS lebih umum di kalangan lesbian dan wanita

biseksual dan dapat lolos dengan mudah dari wanita untuk wanita (seperti vaginosis bakteri).
IMS lain sangat kecil kemungkinannya untuk diteruskan dari wanita dengan wanita melalui

hubungan seks (seperti HIV). BV dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap

berbagai infeksi menular seksual, termasuk gonore, herpes, trichomoniasis dan HIV namun

BV belum dapat dikategorikan dalam infeksi menular seksual.6

2.5.2 Kebiasaan Douching

Selain itu, BV dapat juga terjadi tanpa hubungan seksual. Menurut Office on

Women’s Health, US Department of Health and Human Services, kebiasaan douche dapat

meningkatkan risiko BV.7 Wanita yang sering douche (sekali seminggu) berpotensi 5kali

lipat lebih mungkin untuk mengembangkan BV daripada wanita yang tidak

douche.8Kebanyakan dokter menyarankan supaya wanita tidak douche. Douching dapat

mengubah keseimbangan flora vagina (bakteri yang hidup dalam vagina) dan keasaman

vagina yang sehat.7

Vagina yang sehat memiliki bakteri baik dan berbahaya. Keseimbangan bakteri

komensal membantu menjaga lingkungan asam. Lingkungan asam melindungi vagina dari

infeksi atau iritasi. Douching dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih dari bakteri

berbahaya. Hal ini dapat menyebabkan infeksi ragi atau Vaginosis bakterial. Jika seseorang

sudah memiliki infeksi vagina, douching dapat mendorong bakteri penyebab infeksi, ke

dalam rahim, saluran tuba, dan ovarium. Hal ini dapat menyebabkan penyakit radang

panggul.7

2.5.3 Merokok

Pada penelitian Bagaitkar et al. mengutip tiga mekanisme tembakau mempengaruhi

infeksi bakteri di tubuh manusia: perubahan fisiologis dan struktural, peningkatan virulensi

bakteri, dan disregulasi fungsi kekebalan tubuh. Nikotin dan metabolitnya cotinine telah

terdeteksi dalam lendir serviks perokok. Ada hipotesis bahwa merokok menyebabkan
akumulasi amina vagina, yang dikombinasikan dengan efek antiestrogenik dari merokok

menyebabkan predisposisi seorang wanita untuk BV.8

Wanita yang merokok memiliki tingkat signifikan lebih rendah dari pertengahan

siklus dan estradiol fase luteal dibandingkan dengan non-perokok, dan didokumentasikan

dengan baik bahwa mikro vagina dipengaruhi oleh estrogen endogen. Selain itu, sedikit

jumlah benzo [a] pyrene diol epoksida (BPDE) ditemukan di cairan vagina perempuan yang

merokok dan BPDE secara signifikan meningkatkan induksi bakteriofag di lactobacilli.

Merokok maka dapat mengurangi jumlah lactobacilli vagina sebagai pelindung dengan

mempromosikan induksi fag.8

2.5.4 Stress

Stres adalah suatu peristiwa fisik atau emosional yang dapat mempengaruhi tubuh

dan / atau kesehatan emosional individu. Awalnya stres memicu respon fight-or-flight. Pada

saat yang sama pencernaan dan sistem kekebalan tubuh melambat. Kortisol, adrenalin dan

noradrenalin dilepaskan oleh kelenjar adrenal, untuk membantu melakukan perubahan yang

diperlukan untuk mengatasi stres.Sebagai respon stres dipertahankan, tubuh terus

memproduksi kortison dalam jumlah tinggi, yang dapat menyebabkan siklus tidur

terganggu, peningkatan kebutuhan gizi dan kekebalan menurun. Respon stres dan kekebalan

rendah, dapat menyebabkan vagina menjadi lebih rentan terhadap ketidakseimbangan flora.9

2.5.5 Kekurangan Vitamin D

Menurut Journal of Nutrition, dari 41 persen wanita yangmemiliki BV, 52 persen

digolongkan sebagai kekurangan vitamin D, setara dengan 25(OH)D kurang dari

37.5nmol/L. Wanita dengan BV ditemukan memiliki 25(OH)D (29.5nmol/L)lebih rendah

dibandingkan dengan wanita bebas dari BV (40.1nmol/L). Penelitian ini namun, tidak

membuktikan hubungan sebab-akibat dan studi lebih lanjut diperlukan untuk menambahkan
dukungan untuk pengamatan bahwa kadar vitamin D mungkin berhubungan dengan

kejadian Vaginosis bakterial.10

2.5.6 Penggunaan kontrasepsi

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pil KB kombinasi oral dan progestin,

serta penggunaan kondom, adalah pelindung terhadap BV. Hubungan antara BV dan

penggunaan IUD kurang jelas; beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan risiko

BV pada pengguna IUDsedangkan penelitian lain tidak menemukan peningkatan risiko pada

pengguna. Penggunaan IUD yang menyebabkan perdarahan yang tidak teratur memiliki dua

kali lebih kemungkinan untuk berkembang menjadi BV. Beberapa mekanisme potensial

dimana perdarahan tidak teratur bisa meningkatkan risiko akuisisi BV adalah, darah

memiliki pH netral yang meningkatkan pH vagina normal asam. Hubungan antara

menstruasi dan kekambuhan BV telah dijelaskan dengan peningkatan bakteri anaerob dan

penurunan lactobacilli. Selain itu, lactobacilli adhesi pada sel-sel darah merah yang dapat

mengakibatkan konsentrasi lactobacillus vagina menurun pada wanita dengan perdarahan

uterus yang sering atau terus-menerus.11

2.6 Etiologi Vaginosis Bakterialis

Tidak diketahui apa yang memicu gangguan flora vagina normal. Telah diperkirakan

bahwa yang berperan adalah alkalinisasi berulang pada vagina, yang terjadi dengan

seringnya hubungan seksual atau penggunaan douche. Setelah hidrogen peroksida normal -

produksi lactobacilli hilang, sulit untuk mengembalikan flora vagina normal, dan rekurensi

BV sering terjadi.12

Pengujian PCR baru sekarang tersedia melalui peningkatan laboratorium diagnostik

komersial yang menawarkan identifikasi berbagai bakteri BV terkait, termasuk: Gardnerella

vaginalis, Atopobium vaginae, spesies Megasphaera dan Mobiluncus.6


Tabel 2.1 Bakteri penyebab Vaginosis bakterial

2.7 Patofisiologi Vaginosis Bakterialis

Penjelasan definitif patogenesis vaginosis bakterial tetap sulit dipahami, namun

pemahaman saat ini adalah mengenai perpindahan flora normal lactobacilli dalam vagina ke

bakteri anaerob, yang mengarah ke respon pro-inflamasi dan sindrom klinis. Lactobacilli

menghasilkan asam laktat dari glikogen, sebuah proses yang mempertahankan pH vagina

tetap asam; lingkungan pH rendah menghambat pertumbuhan spesies bakteri lain yang

biasanya hadir dalam vagina dalam tingkat rendah.

Gambar 2.2 Fungsi lactobacilli

Ketika lactobacilli kurang, flora vagina berubah secara signifikan dengan

pertumbuhan berlebihan dari organisme, seperti Gardnerella vaginalis, Atopobium vaginae,

Mobiluncus curtisii, Prevotella bivia, spesies Haemophilus, spesies Bacteroides, spesies


Fusobacterium, Mycoplasma hominis, spesies Peptostreptococcus, dan spesies

Ureaplasma.8

Gambar 2.3 Ketidakseimbangan flora vagina

Peneliti telah menetapkan bahwa wanita dengan BV jelas memiliki keragaman

bakteri lebih besar bila dibandingkan dengan wanita tanpa BV. Salah satu model yang

diusulkan dari BV berpendapat bahwa G. Vaginalis merangsang atau menginduksi transisi

patogen dengan menempel pada sel epithelium host dan menciptakan komunitas bakteri

biofilm yang memfasilitasi akumulasi epitel patogen lainnya. Ekologi vagina berbeda antara

perempuan dan dipengaruhi oleh status kekebalan individu, serta banyak faktor lingkungan

dan perilaku lainnya; faktor-faktor ini dapat memodulasi ekspresi penyakit dan tingkat

keparahan. Temuan dari beberapa penelitian menunjukkan penularan bakteri anaerob dapat

memainkan peran kunci dalam pengembangan BV, baik pada wanita heteroseksual dan pada

wanita yang berhubungan seks dengan wanita.8

2.8 Gejala Klinis Vaginosis Bakterialis

Sampai setengah dari semua perempuan dengan vaginosis bakteri tidak memiliki

gejala. Jika ada gejala, sebagian besar wanita dengan vaginosis bakteri akan berbau busuk
(“bau amis”), cairan homogen, yang jelas, putih atau abu-abu keputihan yang dilaporkan

lebih sering setelah berhubungan seksual dan setelah selesai menstruasi; Keputihannya bisa

banyak sekali dan pada pemeriksaan dengan spekulum lengket di dinding vagina. Pruritus

atau iritasi vulva dan vagina jarang terjadi. labial dan / atau vulva bengkak dan tanda-tanda

atau gejala peradangan lainnya biasanya tidak hadir.8

2.9 Diagnosis Vaginosis Bakterialis

Diagnosis Vaginosis bakterial ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina

terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang-kadang penderita mengeluh iritasi pada

vagina disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen. Pada pemeriksaan inspekulo dapat

ditemukan sekret vagina yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding

vagina.13

Kriteria Amsel

Secara klinik menurut Amsel, dkk. (4), diagnosis bakterial ditegakkan bila terdapat tiga dari

empat kriteria berikut, yaitu:13

 adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik dari sediaan basah;

 adanya bau amis, setelah penetesaan KOH 10% pada cairan vagina,

 duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu;

 pH vagina > 4.5 yang diperiksa dengan menggunakan phenaphthazine paper

(nitrazine paper).

Dari ke empat kriteria tersebut, yangpaling baik untuk menegakkan diagnosis

vaginosis bakterial adalah pemeriksaan basah untuk mencari adanya clue cell(sel

epitelvagina yang diliputi oleh coccobacillus yangpadat) dan adanya bau amis pada

penetesan KOH 10%. 13


Penelitian yang telah dilakukan oleh Thomason Jl, dkk. melaporkan bahwa untuk

menegakkan diagnosis vaginosis bakterial, menunjukkan:13

 bila ditemukan sel clue pada sediaan basah, memberikan nilai sensitivitas 98,2%,

spesifisitas 94,3%, prediksi positif 89,9%, dan prediksi negatif 99%,

 bila ditemukan sel clue ditambah adanya bau amis, memberikan nilai sensitivitas

81,6%, spesifisitas 99,5%, prediksi positif 98,8%, dan prediksi negatif 92,1%;

 bila dilakukan pewarnaan Gram, maka memberikan nilai sensitivitas 97%,

spesifikasi 66,2%, prediksi positif 57,2%, dan prediksi negatif 97,9%.

Dengan melihat hasil tersebut, apabila fasilitas laboratorium belum memadai, maka

metode terbaik dalam membantu menegakkan diagnosis Vaginosis bakterial adalah mencari

clue cell pada sediaan basah dan tes adanya bau amis pada penetesan KOH 10%. Tetapi

adanya bau amis ini tidak selalu dapat dievaluasi pada saat siklus menstruasi, dan juga

tergantung pada fungsi penciuman agar dapat mendeteksi adanya bau amis tersebut. Dengan

demikian apabila adanyabau amis ini sukar dievaluasi, maka ditemukannya clue cell saja

sudah dapat membantu menegakkan diagnosis kemungkinan adanya bakterialis vaginosis.13

Kriteria Hay/Ison13

 Grade 1 (normal): Morphotypes Lactobacillus mendominasi

 Grade 2 (Intermediate): Kombinasi flora dengan beberapa Lactobacilli, dan juga

Gardnerella atau Mobiluncus morphotypes.

 Grade 3 (BV): Terutama Gardnerella dan / atau Mobiluncus morphotypes. Sedikit

atau tidak ada Lactobacilli.

2.10 Pemeriksaan

2.10.1 Pemeriksaan Clue cell


Sampel cairan vagina harus dikumpulkan dari dinding lateral vagina. Sebuah slide

spesimen, disebut sebagai “wet mount”, dapat dibuat dengan setetes 0,9% NaCl dan setetes

spesimen keputihan. Sebuah metode alternatif persiapan preparat basah adalah dengan

mengambil swab vagina dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan kurang dari 1 mL

saline, diaduk, dan kemudian menambahkan satu tetes dari tabung reaksi ke slide spesimen.

Setelah itu, kaca penutup harus ditempatkan di atas tetesan pada slide, diikuti dengan

pemeriksaan langsung di bawah mikroskop pada pembesaran (10x) dan (40x).

Preparat harus diteliti secara menyeluruh untuk clue cell dan organisme trichomonas

yang motil. Penundaan lebih dari 10 menit dalam memeriksa sediaan basah secara signifikan

mengurangi kemungkinan memvisualisasikan trichomonads motil. Clue cell yang

ditemukan menyarankan suatu diagnosis vaginosis bakteri.8

Gambar 2.4 Clue cell

2.10.2 Tes Whiff

Sampel cairan vagina ditempatkan pada kaca objek dan solusi KOH 10%

ditambahkan. Segera setelah pemberiaan KOH, gelas objek didekatkan kehidung untuk

melakukan tes whiff; kehadiran bau "amis" yang kuat dianggap sebagai tes whiff positif.8
2.10.3 Pemeriksaan pH

pH cairan vagina dapat ditentukan dengan menempatkan pH kertas lakmus pada

dinding vagina atau langsung di sekresi vagina yang dikumpulkan. pH normal vagina

biasanya antara 3,8 dan 4,5. pH lebih dari 4,5 dapat didiagnosis dengan vaginosis bakteri.8

2.10.4 Pewarnaan Gram

Pemeriksaan sederhana, cepat dan tidak mahal untuk membantu diagnosis Vaginosis

bakterial adalah dengan melakukan pewarnaan Gram pada pulasan cairan vagina.

Kombinasi pH vagina 4.5 dan pewarnaan Gram dari cairan vagina merupakan metode yang

baik dalam membantu diagnosis. Meskipun Vaginosis bakterial sering dihubungkan dengan

isolasi Gardnerella vaginalis, suatu bakteri anaerob, tetapi sampai saat ini cara tersebut tidak

dapat dipakai untuk kriteria diagnosis. Dengan melakukan pewarnaan Gram pada cairan

vagina, pasien dengan Vaginosis bakterial memperlihatkan sesuatu yang khas yaitu banyak

organisme Gram negatif ukuran kecil yang menyerupai Gardnerella vaginalis pada keadaan

tidak dijumpainya Lactobacillus.13

Spiegel dkk. menemukan bahwa pewarnaan Gram bersifat konsisten terhadap

vaginosis bakterial. Oleh karena itu Spiegel merekomendasikan pewarnaan Gram tanpa

kultur pada cairan vagina untuk diagnosis bakterial dapat disebabkan oleh beberapa grup

mikroorganisme yang sukar dibiakkan sehingga pemeriksaan laboratorium menjadi mahal,

juga Gardnerella vaginalis dijumpai pada >40-50% wanita sehat. Hal ini juga diperkuat oleh

hasil penelitian Thomason, dkk. yang tidak mengevaluasi hasil kultur Gardenella vaginalis

karena hanya mempunyai nilai diagnostik rendah.13

Meskipun demikian, spesimen swab vagina tetap dikirim ke laboratorium

mikrobiologi untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain dan menambah dukungan

terhadap diagnosis lain dan menambah dukungan terhadap diagnosis klinik bakterial

vaginosis. Menurut Thomason, dkk. untuk terjadinya Vaginosis bakterial maka jumlah
Lactobacillus menurun, sedangkan jumlah bakteri lainnya meningkat, dan pH vagina juga

harus meningkat. Ketiga keadaan ini harus terjadi bersamaan.13

2.11 Pemeriksaan Diagnostik tambahan

Modalitas diagnostik lainnya termasuk BD Affirm VPIII DNA hybridization Probe

(yang dapat mendeteksi T. vaginalis, C. albicans, dan G. vaginalis) dan pemeriksaan tidak

langsung aktivtas enzimatik yang terkait dengan organisme yang menyebabkan vaginosis

bakteri: PIP memeriksa aktivitas aminopeptidase prolin dan OSOM BV-blue

memeriksasialidase. Baik kultur maupun tes Papanicolaou serviks dianjurkan karena

sensitivitas dan spesifisitas rendah.13

Pemeriksaan kultur tersedia untuk kedua spesies T. vaginalis dan Candida.Kultur

untuk vaginosis bakteri tidak dianjurkan karena sensitivitas rendah (kurang dari 50%) dan

potensi salah dalam mengidentifikasi bakteri komensal sebagai patogen, sehingga

pengobatan yang tidak sesuai.13

2.12 Diagnosis banding


Tabel 2.2 Diagnosis Banding Vaginitis

2.13 Tatalaksana

Pedomen pengobatan CDC tahun 2015 merekomendasikan pengobatan pada wanita

dengan gejala vaginosis bakteri. Direkomendasikan rejimen termasuk metronidazole 500

mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari; metronidazol gel 0,75%, 2g dalam vagina sekali

sehari selama 5 hari; atau krim klindamisin 2%, 2g dalam vagina sebelum tidur selama 7

hari; rejimen alternatif termasuk tinidazol oral, klindamisin oral, atau klindamisin

intravagina ovules. Pasien harus diedukasi supaya tidak minum alkohol saat mengonsumsi

metronidazol atau tinidazol karena bisa memicu reaksi disulfiram.6

Selain itu, pasien tidak harus minum alkohol selama 24 jam setelah dosis terakhir

metronidazole dan selama 72 jam setelah dosis terakhir tinidazol. Krim Klindamisin adalah

berbasis minyak dan dapat melemahkan lateks kondom dan diafragma selama 5 hari setelah

pengunaanya.Pasien harus disarankan untuk mengurangi aktivitas seksual atau

menggunakan kondom secara konsisten selama rejimen pengobatan.6


Gardnerella telah menunjukkan tingkat tinggi resistensi terhadap metronidazole. Jika

pengobatan ini digunakan untuk episode awal, atau jika pasien tidak memberi respon dengan

metronidazol, agen alternatif harus dipertimbangkan. Pasien harus difollow up dalam sehari

atau dua setelah dosis asam borat terakhir. Jika seorang pasien mengalami remisi, gel

metronidazole harus diberikan dua kali seminggu selama 4 sampai 6 bulan sebagai terapi

supresif. Setelah BV diobati, jadwal follow up kunjungan 1 sampai 2 bulan setelah

pengobatan untuk memantau kriteria Amsel. Ini akan membantu memastikan eradikasi

anaerob dan pertumbuhan kembali lactobacilli yang sehat. Tes follow up dari penyembuhan

juga menunjukkan keberhasilan pengobatan dan meminimalkan kemungkinan

kekambuhan.6

Probiotik sedang diteliti potensi mereka sebagai sumber eksogen penggantian

lactobacilli. Penyisipan vagina dengan asam boratatau asam laktat mencipta lingkungan

yang lebih asam, yang diperlukan untuk menghindari kolonisasi organisme patogen terkait

dengan BV. Penyisipan vagina dengan Lactobacillus acidophilus dapat meningkat

pertumbuhan kembali lactobacilli. Dua lactobacilli yang berbeda berada pada flora vagina

yang sehat, Lactobacillus crispatus dan Lactobacillus jensenii. Penelitian berfokus pada

perumusan lactobacilli tersebut ke dalam kapsul untuk digunakan vagina namun tidak ada

suplemen lactobacilli yang tersedia secara komersial telah terbukti efektif sejauh ini.6

2.13.1 Follow up

Follow up tidak perlu jika tidak ada lagi keluhan pada pasien. Bakterialis vaginosis

bersifat persisten atau rekuren adalah umum, sehingga pasien harus disarankan untuk follow

up bertujuan untuk mengevaluasi jika gejala kambuh. Deteksi organisme Bakterialis

vaginosis tertentu telah dikaitkan dengan resistensi antimikroba dan mungkin prediksi risiko

kegagalan pengobatan selanjutnya. Data yang terbatas tersedia mengenai strategi

pengelolaan yang optimal untuk wanita dengan BV persisten atau berulang. Menggunakan
rejimen pengobatan yang berbeda direkomendasikan pada wanita yang memiliki

kekambuhan.6

Untuk wanita dengan beberapa kali rekurensi setelah selesai rejimen,

direkomendasikan metronidazole gel 0,75% dua kali seminggu selama 4-6 bulan dan telah

terbukti mengurangi kekambuhan. Data terbatas menunjukkan bahwa Nitroimidazole oral

(metronidazol atau tinidazol 500 mg dua kali sehari selama 7 hari) diikuti dengan

pemberiaan asam borat intravaginal 600 mg setiap hari selama 21 hari dan kemudian

supresif dengan metronidazole gel 0,75% dua kali seminggu selama 4-6 bulan untuk para

wanita dalam remisi mungkin menjadi pilihan bagi wanita dengan BV berulang. Pemberian

2g metronidazole oral perbulan dengan flukonazol 150 mg juga telah dievaluasi sebagai

terapi supresif; rejimen ini mengurangi kejadian BV dan mempromosikan kolonisasi flora

normal vagina.6

2.13.2 Pengobatan pada kehamilan

Pengobatan direkomendasikan untuk semua wanita hamil dengan gejala. Ibu hamil

dengan gejala dapat diobati dengan salah satu dari rejimen oral atau intravagina. Meskipun

efek kehamilan yang merugikan, termasuk ketuban pecah dini, persalinan prematur,

kelahiran prematur, infeksi intra-amnion, dan endometritis postpartum telah dikaitkan

dengan BV dalam beberapa studi observasional, pengobatan BV pada ibu hamil dapat

mengurangi tanda-tanda dan gejala infeksi vagina. Dalam sebuah penelitian, terapi BV oral

dapat mengurangi risiko untuk keguguran, dan dalam dua studi tambahan, terapi tersebut

menurun hasil yang merugikan pada neonatus.6

Pengobatan BV pada wanita hamil yang asimtomatik dan berisiko tinggi untuk

kelahiran prematur (misalnya, orang-orang dengan kelahiran prematur sebelumnya) telah

dievaluasi oleh beberapa penelitian, yang telah menghasilkan hasil yang beragam. Tujuh

percobaan telah mengevaluasi pengobatan ibu hamil dengan BV asimtomatik berisiko tinggi
untuk kelahiran prematur: satu menunjukkan bahaya, dua menunjukkan tidak ada manfaat,

dan empat manfaat ditunjukkan.6

Meskipun metronidazole melintasi plasenta, tidak ada bukti teratogen atau efek

mutagenik pada bayi telah ditemukan di beberapa studi cross-sectional dan kohort ibu hamil.

Data menunjukkan bahwa terapi metronidazol menimbulkan risiko rendah pada kehamilan.

Metronidazol disekresi dalam ASI. Dengan terapi oral ibu, bayi yang disusui menerima

metronidazol dalam dosis yang kurang dari yang digunakan untuk mengobati infeksi pada

bayi, meskipun metabolit aktif menambah total eksposur bayi. Kadar plasma obat dan

metabolit yang terukur, namun tetap kurang dari kadar plasma ibu. Meskipun beberapa

melaporkan serangkaian kasus tidak menemukan bukti efek samping metronidazol terkait

pada bayi, beberapa dokter menyarankan menunda menyusui selama 12-24 jam setelah

pengobatan ibu dengan 2-g dosis tunggal metronidazole. Dosis yang lebih rendah

menghasilkan konsentrasi yang lebih rendah dalam ASI dan sesuai pada ibu menyusui.6

Tabel 2.3 Regimen Pengobatan Vaginosis Bakterial


2.14 Komplikasi

 Wanita dengan BV berisiko tinggi mengalami penyakit radang panggul (PID),

postportal PID, infeksi manset pasca operasi setelah histerektomi, dan sitologi

serviks abnormal.

 Wanita hamil dengan BV berisiko mengalami ketuban ruptur dini, persalinan

prematur, korioamnionitis, dan endometritis.

 Pada wanita dengan BV yang menjalani histerektomi, pengobatan perioperatif

dengan metronidazol menghilangkan peningkatan risiko ini.12

DAFTAR PUSTAKA

1. Jack DS (2017). Bacterial vaginosis. Diunduh dari https://www.uptodate.com/ contents


/bacterial-vaginosis.
2. Christian TB, Eyako W, Warren BS, Sara M, Bruce Hdan Jose LS (2016). Bacterial
vaginosis: a synthesis of theliterature on etiology, prevalence, riskfactors, and
relationship with chlamydiaand gonorrhea infections. Military Medical Research, 3:4.
3. Gunardi ER, Wiknjosastro H (2011). Anatomi panggul dan anatomi isi rongga panggul
dalam ilmu kandungan edisi 3. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta, pp:
1-32.
4. Hakimi M (2011). Radang dan beberapa penyakit lain pada alat genital dalam ilmu
kandungan edisi 3. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta, pp: 218-37.
5. Prawiroraharjo, Sarwono (2008). Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta.
6. Mimi S (2016). Bacterial Vaginosis Update. Advance Healthcare Network. Diunduh
dari:http://nurse-practitioners-and-
physicianassistants.advanceweb.com/Features/Articles/Bacterial-Vaginosis-update.
aspx
7. Centers for Disease Control and Prevention (2015). A fact sheet from the office on
women’s health. Bacterial Vaginosis.
8. Rebecca M.B, Xin H, Pawel G, Doug F, Eva S, Emmanuel F M, et.al (2014).
Association between cigarette smoking and thevaginal microbiota: a pilot study. BMC
Infectious Diseases, 14:471.
9. Blackmore (2012). The Impact of stress and Bacterial Vaginosis.
10. Stephan D (2009). Low Vitamin D linked to female infections: Study. Journal of
Nutritions.
11. Tessa M, Jacyln MG, Gina MS, Jenifer EA, Jeffrey FP (2012). Risk of bacterial
vaginosis in users of the intrauterine device: a longitudinal study. Sex Transm Dis,
39(3): 217–22.
12. Berek, Jonathan S (2007). Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.
13. Sylvia YM, Julius ES. Diagnosis praktis vaginosis bakterial pada kehamilan. Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, pp: 74-8.

Anda mungkin juga menyukai