Anda di halaman 1dari 2

BAHAYA LATEN LIKUIDITAS KETAT

Likuiditas sudah terasa ketat di pasaran. Suku bunga sudah dikerek tinggi agar likuiditas kembali
masuk brankas bank. Perang suku bunga tinggi diawali oleh bank-bank besar, lalu merembet ke
bank kelas menengah kecil. Bank-bank pun gerilya terbuka memperebutkan dana pihak ketiga
(DPK) dengan suku bunga lebih tinggi. Dari pengalaman, krisis perbankan selalu diawali dengan
ditutupnya bank karena ditinggalkan nasabah akibat kekeringan likuiditas. Faktor pemicunya
adalah larinya dana asing ke luar Indonesia. Suku bunga dalam negeri dinaikkan tinggi-tinggi
untuk menahan dana agar tidak keluar.

Kesulitan perbankan Indonesia selalu bermula dari kesulitan likuiditas. Tahun 1997, pemerintah
atas anjuran Dana Moneter Internasional (IMF) menutup 16 bank tanpa program penjaminan
yang merembet terhadap bank-bank lain. Di situlah lahirnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
hingga Rp 144 triliun. Tahun 2008 juga mirip, saat itu ada 23 bank dengan jumlah Rp 18 triliun
DPK yang kondisinya ketat likuiditas. Pengalaman 1998, pemerintah melakukan penyehatan
Bank Century agar tidak merembet ke mana-mana dan ternyata obat Rp 6,7 triliun itu mujarab
sehingga tidak merembet ke mana-mana.

Namun, saat ini kondisi lingkungan tidak lebih mudah, karena jika ada bank yang kesulitan
likuiditas, tidak otomatis dapat menggunakan fasilitas pinjaman jangka pendek dari Bank
Indonesia sebagai lender of the last resort. Jika ada bank yang kesulitan likuiditas, bank tersebut
harus berjuang sendiri mencari dana. Bahkan, pemerintah dan bank-bank BUMN serta BUMN
yang selama ini menempatkan dananya di bank bersangkutan akan segera menarik yang
mempercepat kematian bank-bank. Dana-dana BUMN segera lari karena kalau ada apa-apa
terhadap bank itu, pihak BUMN yang akan ”diinterogasi” oleh legislatif (DPR). Apalagi,
menjelang pemilihan legislatif perlu ”panggung besar”.

Akhirnya, para pemilik bank pun meminta tolong ke ”bank sentral swasta”. Di satu sisi ini
menolong, tetapi di sisi lain memberatkan. Namun, itulah pilihan satu-satunya daripada bank
kesulitan likuiditas. Ketatnya likuiditas juga ditandai dengan posisi loan to funding ratio (LFR)
perbankan sudah di ambang batas atas. Ini artinya perbankan sudah mentok dalam melakukan
ekspansi kredit sepanjang likuiditas tidak bisa diperoleh.

Bibit masalah

Saat ini ekonomi Indonesia tak buruk-buruk amat dengan pertumbuhan ekonomi triwulan II-
2018 5,27 persen dapat dikatakan masih cukup tangguh. Meski jauh dari krisis, kita tak boleh
terlalu over confidence sehingga melemahkan kuda-kuda kita jika tidak mempersiapkan diri.
Cuaca dan angin kencang sudah terasa, ditandai dengan keringnya likuiditas dan arus dana asing
yang keluar mengikuti gerak suku bunga di AS. Kondisi ketatnya likuiditas ini diperkirakan
masih akan terjadi sampai tahun 2019, terutama karena faktor global, yakni ekspektasi terhadap
kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) dari The Fed, yang mendorong terjadinya perang
suku bunga bank-bank.
Problem akut

Menurut catatan Biro Riset Info Bank, sepanjang sejarah perbankan di Indonesia, problem akut
perbankan adalah menyangkut likuiditas. Setiap terjadi gejolak, guncangan pertama adalah soal
likuiditas. Masalah likuiditas itu antara lain kredit-kredit jangka panjang dibiayai oleh dana-dana
jangka pendek. Di sisi lain, kredit per produk domestik bruto masih sangat rendah, 36-40 persen.
Jadi, ketika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi lewat peran kredit perbankan,
dengan mudah mesin ekonomi akan kepanasan akibat kenaikan suku bunga karena kehabisan
dana. Menurut data Biro Riset InfoBank, setahun terakhir ini bank-bank melakukan ekspansi
akibat keinginan pemerintah mendorong infrastruktur.

Bank-bank BUMN dengan gegap gempita menyalurkan kredit, dan akhirnya kelompok bank
BUMN ini mentok jika dilihat angka LDR per Juli 2018 menembus angka 94,3 persen. Tanda-
tanda ketatnya likuiditas juga dialami kelompok bank swasta nondevisa hingga mencapai 94,4
persen, bank swasta devisa yang sebagian besar bank Buku 3 dan Buku 4 masih relatif baik
dengan LDR 90,3 persen dan kelompok BPD 81,2 persen. Kondisi LDR itu merupakan tanda-
tanda bahwa bank perlu tambahan likuiditas dan akhirnya memicu perang suku bunga.
Pengalaman krisis 1998 dan 2008, untuk menghadapi ketatnya likuiditas bank perlu mengambil
langkah-langkah lebih awal :

1. Mengerem kredit sampai posisi likuiditas membaik


2. Terus mencari likuiditas dalam rangka menjaga posisi
3. Menjaga agar kualitas kredit terus membaik
4. Jika terjadi pemburukan kredit, setidaknya bank-bank harus segera menyelesaikan
dengan cepat
5. Bank-bank segera memperbaiki diri menyangkut kepatuhan

Situasi sekarang sedang terjadi perang berebut dana pihak ketiga dengan senjata paling primitif,
yaitu suku bunga tinggi. Lembaga Penjamin Simpanan pun sudah menaikkan suku bunga
penjaminan, dan jauh hari sebenarnya bank-bank sudah lebih dulu menaikkan suku bunga
simpanannya. Jadi, bagi bank-bank saat ini masuk era Cash is the King. Likuiditas memang
belum kering, tetapi mencari likuiditas hingga tahun 2019 tidaklah mudah. Likuiditas menjadi
bahaya laten bagi perbankan Indonesia.

Semua pihak harus menjaga situasi agar tetap kondusif sejalan kuatnya cadangan devisa yang
mencapai 118 miliar dollar AS atau 6,5 kali kebutuhan impor. Perbankan nasional masih cukup
kuat menahan suhu ekonomi yang memanas ini karena kondisi perbankan sekarang ini jauh lebih
baik dibandingkan 1997/1998 dalam hal tata kelola. Meski masih ada bank yang main akrobat,
secara keseluruhan bank-bank jauh lebih baik dalam tata kelola. Meski demikian, kita tetap
mewaspadai ketatnya likuiditas karena likuiditas itu menyangkut psikologis dan ekspektasi
deposan.

Anda mungkin juga menyukai