Anda di halaman 1dari 16

TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL

TUGAS RMK KELOMPOK

Nama Anggota:

1. Theresia Laraswati Seran 1533121009


2. Idalia Margarida A. Ximenes 1533121463
3. Emanuel Jabur 1533121274

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WARMADEWA

2018
A. PENDAHULUAN
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk memungut
pajakadalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan
pemotonganatas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan
kewajiban pajak untukmelakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan
selanjutnya menyetorkan danmelaporkannya ke kantor pajak setiap bulan
berdasarkan ketentuan perpajakan.Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem
withholding tax. Dengan cara ini,pemerintah akan lebih mudah dan hemat
mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biayabesar. Berbeda dengan self assessment,
yang memberi kepercayaan penuh kepada wajibpajak untuk menghitung, membayar,
dan melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri.Dal am pr akt i kn ya , m asi h s aj a
ki t a t em ukan ban yak waj i b paj ak ya ng t i dakm em i l i ki i nform asi
l engk ap m en gen ai paj ak apa s aj a yan g ha rus di pot ong at au dipungut.
Sehingga ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan
tidakm e l a k u k a n pemotongan atau pemungutan PPh, maka
k o n s e k u e n s i ya n g h a r u s di had api n ya ad a l ah, waj i b paj ak t e rs ebut akan
di kenai t agi h an at a s paj ak ya n gtidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah
dengan sanksi administrasi.

B. PAJAK PENGHASILAN PASAL 22


1. Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008, pajak ini meyangkut
PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas
pembayaran untuk pembelian dan penyerahan barang yang dibebankan ke
APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain (hasil penjualan: produksi
pertamina, produksi rokok, semen, otomotif, baja, kertas, dan lain-lain), PPh
Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah (PMK
No.253/PMK.03/2018). Di sini yang akan dibicarakan adalah masalah PPh pasal
22 impor. Sebetulnya bidang PPh pasaal 22 impor ini menyangkut pemungutan
pajak di sektor impor, yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran
barang, serta pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah
pabean. Kalau perusahan mengimpor barang, harus membayar PPh pasal 22
impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah Ditjen Bea
Cukai atau bank devisi. PPh pasal 22 impor merupakaan kredit pajak yang dapat
dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak.

PP h P asal 22 i mpor i ni m enyangkut pem ungut an paj ak di


sekot r im por, yangberhubungan dengan penyerahan dan pembayaran
barang, serta pemasukan barang dariluar daerah pabean. Dalam hal
impor, tariff PPh Pasal 22 bervariasi, dimana kalaumempunyai API
tarifnya 2,5% dari nilai impor dan kalau tidak mempunyai API
tarifnya7,5% dari nilai impor. Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax
planning, sehingga dalam melakukanimpor, tax plannersering
merekomendasikan impor dengan API. Akibatnya banyak orangya n g
memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) A P I, dengan
m e n g g u n a k a n A P Ipengusaha yang seharusnya menggunakan tarif pajak
7,5% menjadi 2,5%. Hal ini dapatmenghemat cash flowperusahaan selama
masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal22 ini akan menjadi kredit
pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPhbadan (bila
perusahaan dapat profit).Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah
“hadling fee”, yakni jumlah feeyang harus dibayar berdasarkan perjanjian
handling feeantara importir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas
jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling feetersebut,dipotong PPh Pasal
23. Cara ini dapat dipakai oleh orang atau perusahaan yang
tidakm e m p u n ya i A P I d e n ga n “ m e m i n j a m ” b e n d e r a p e r u s a h a a n
ya n g p u n ya A P I u n t u k mengeluarkan barang impornya dengan
kompensasi pemberian “hadling fee” . B i l a benefitnya (5%) lebih
besar dari cost of handling feeyang dikeluarkan (misalnya 1,5% -2%),
maka si pemilik barang masih bisa memperoleh tax savingdalam PPh
Pasal 22sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga
dapat menghemat cash flowu n t u k m a s a t e r t e n t u , k a r e n a k r e d i t
p a j a k d a r i P P h P a s a l 2 2 t e r s e b u t h a n y a a k a n menyebabkan lebih
bayar.
2. Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption)
Pengecualian-Pengecualian PPh Pasal 22Ada juga pengecualian-
pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax planner. Misalnya untuk
impor barang yang bebas bea masuk yang juga dikecualikan dari PPh impor, begitu
juga barang untuk keperluan pameran, atau keperluan yang bersifat sementara. Di
sini beda penggunaan sudah bisa dimanfaatkan. Tax lanner akan selalu
memnafaatkan beban pajak yang minimal.Dikecualikan dari pemunggutan pajak
penghasilan pasa 22, adalah (a) impor barang dan penyerahan barang yang
berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan, (b)
Impor Barang yang dibebaskan dari punggutan bea masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam keputusan Menteri Keuangan no.
254/KMK.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan
236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK No.
08/PMK.03/2008.Contoh kasus: suatu perusahaa katakanlah PT A (BUMN) yang
mempunyai fasilitas bebas impor barang (impor dan atau penyerahan barang kena
pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No.
12 tahun 2001) sebagaimana telah diubah ketigakalinya terakhir dengan PP No. 7
tahun 2007) dan dibebaskan dari punggutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan
Nilai KMK No. 54/KMK.03/2001 yang terakhir diubah dengan PMK No.
08/PMK.03/2008, artinya sesuatu yang menyangkut pajak-pajak impor, dibebaskan
yaitu, Bea Masuk, PPh Impor, dan PPN Impor. PT A mempunyai rekanan kontraktor
yaitu PT B (kontraktor) sebenarnya PT B ini juga mempunyai API tapi dia tidak
memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunakan API nya, jadi
segala sesuatu yang melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam
pelaksanaanya dilapangan yang mengeksekusi adalah PT B, kenapa demikian?
Karena kalau API dari PT B yang digunakan untuk mengeluarkan barang impor
tersebut, pasti akan terkena Bea Masuk, PPN impor, dan PPh pasal 22 Impor, karena
PT B tidak memiliki fasilitas Impor Barang strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat menghemat cash flow-nya. seandainya
kontrak perjanjian antara PT A dan PT B mensyaratkan PT B yang mengimpor
barang dan harus melakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya Impor (dengan
asumsi bebas Bea Impor, PPN Impor, PPh pasal 22 Impor) maka bagi PT B
(kontraktor) tekanan beban cash flow-nya sudah agak ringan.Dalam hal ini tax
planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan tax manager PT
A mengajukan permohonan tertulis pada Ditjen Pajak untuk mendapat surat
keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang
strategis yang mendapat pembebasan Bea Masuk, PPN Impor, PPh pasal 22 impor,
karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuar secara formal atas nama
PT A, bukan atas nama PT B.

3. Pengajuan SKB PPh Pasal 22

Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemunggutan PPh
pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena;a. Wajib pajak yang
dalam pajak berjalan dapat menunjukan tidak akan terutang Pajak Penghasilan
karena mengalami kerugian fiskal.b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi
kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan
penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.c. Pajak penghasilan yang telah
dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang akan terutang.Untuk PPh Pasal 22
yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan surat permohonan surat keterangan
bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memnuhi kriteria, seperti yang dimaksud dalam
keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak
terjadi lebih bayar pajak penghasilan.Ketentutan Pasal 22 UU No. 36 tahun 2008,
menyatakan bahwa menteri keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah
untuk memunggut pajak, sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
badan-badan tertentu untuk memunggut pajak dari wajib pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan
tertentu unutuk memungggut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.

a. PPh Pasal 22 Impor


Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
- Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir,
dikenal tarif sebesar 0,5% dari nilai impor.
- Selain impor gandum, tepung terigu oleh importir yang memiliki
API tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% (tujuh setengah persen)
dari nilai impor
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga
jual lelang.
Catatan:
- Nilai impor harga patokan impor (nilai CIF) + bea masuk + bea
masuk tambahan (jika ada).
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

b. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD


Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang
dibebankan ke APBN/APBD, besarnya PPh pasal 22 yang harus
dipunggut adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang dipunggut pada saat
pembayaran. Pemunggutan dilakukan oleh Dirjen Anggaran, Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya
berasal dari APBN/D.PPh pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi
wajib pajak penjual dan harus disetor oleh pemunggut dengan
menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungggut (penjual).

c. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah

Sesuai dengan PMK No.253/PMK.03/2008 tentang Wajib pajak


badan tertentu sebagai pemungut PPh dari pembeli atas Penjualan Barang
yang Tergolong sangat mewah, pemungut pajak adalah Wajib Pajak Badan
yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang
diwajibkan memungut Pajak Penghasilan pada saat melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah. Besarnya Pajak Penghasilan adalah
sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
C. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pajak adalah punggutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang
dilegalisasi melalui undang-undang. Undang-undang ini tujuannya untuk memberi
kesan bahwa punggutan ini tidak sama dengan perampasan. Bagaimanapun juga itu
adalah suatu pengeluaran yang tidak ada direct benefit-nya. Oleh karena itu sepanjang
tidak ada aturannya, sah saja kalau tidak dibayar. Kalau ada pemotongan dari
punggutan, masyarakat cenderung berusaha untuk shifting dari yang objek-objek yang
kena pemotongan atau pemunggutan, melakukan shifting hingga menjadi tidak kena
pajak atau shifting dari tarif yang besar ke tarif yang kecil. mereka akan bermain dengan
kata-kata atau terminologi, hingga muncul istilah yang aneh-aneh. Setiap ada
terminologi yang kena pajak, mereka akan mencari terminologi lain yang tidak tercakup
dalam ketentuan.Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban
memunggut PPh pasal 23, di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa
mengharuskan adanya pemunggutan dan pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga,
sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya karena
tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik
proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat
dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban
untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Solusinya:
a. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up
menjadi 100/90 x Rp 72 juta= Rp 80 Juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah
termasuk pajak yang harus dipunggut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80
juta – Rp 72 juta = Rp. 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final
dan dividen.
b. Namun bila perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 yang
terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up (jadi 10% x Rp. 72 juta = Rp. 7,2 juta),
maka pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

1. Pengenaan Pajak Atas Dividen


UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan
dalam negeri (selain bank ataulembaga keuangan lainnya) tidak termasuk objek pajak
PPh Badan dengan syarat bahwa:
- Dividen berasal dari laba yang ditahan
- Kepemilikan sahan Perseroan yang menerima dividen tersebut
paling sedikit memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari
badan yang membayar dividen.

2. Perubahan Tarif PPh Pasal 23


UU PPh yang baru No. 36 tahun 2008 telah menurunkan tarif PPh Pasal 23 yang
semula 15% menjadi:1. 15% dan peredaran bruto atas dividen, bunga, royaliti, dan
hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya.2. 2% peredaran bruto atas jasa-jasa seperti
sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.

3. Pengajuan SKB PPh Pasal 23


Pengajuan SKB PPh Pasal 23Seperti pengajuan SKB PPh pasal 22 yang telah
dibahas di atas, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh pasal 23 dengan dasar
peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No.
192/PJ/2002, di mana wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan
pemotongan dan atau pemunggutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak.
Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan
SKB PPh pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.PPh pasal
23 merupakan pemotongan atas pajak penghasilan yang diperoleh pajak dalam negeri
dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari modal, penyarahan jasa, atau
penyelanggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.Sampai akhir tahun
2008, ketentuan mengenai jenis jasa yang dipotong PPh pasal 23, sesuai dengan
ketentuan PER-70/PJ/2007 yang mulai berlaku sejak 9 APRIL 2007 sebagai pengganti
PER-178/PJ./2006 (yang mencabut KEP-170/PJ./2002). Mulai tahun 2009, ketentuan
lebih lanjut mengenai jasa lain diatur dalam PMK No.244/PMK.03/2008.
a. Pemotong PPh Pasal 23/26
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak Dalam Negeri
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang Pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP yaitu:
 Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara,
konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
 Orang pibadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan
pembukuan.
b. Subjek Pajak PPh Pasal 23/26
1. Wajib Pajak Dalam Negeri
2. Bentuk Usaha Tetap
3. Wajib Pajak Luar Negeri
c. Objek Pajak PPh Pasal 23/26
Adalah penghasilan yang berasal dari:
1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi
2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain
yang telah dipotong PPh pasal 21.
d. Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23
1. 15% dari penghasilan bruto, meliputi:
- Dividen, kecuali yang diterima oleh PT. BUMN/D, koperasi,
dengan syarat kepemilikan saham nominal 25% (kecuali
koperasi) dan dividen tersebut diambil dari laba ditahan.
- Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
- Royalti
- Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21.
2. 15 % dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan menteri keuangan.
3. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh final.
4. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
D. PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Objek pengenaaan PPh pasal 26 mirip dengan PPh pasal 23. Perbedaannya
adalah PPh pasal 26 ini dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Aspek-
aspek yang mempengaruhi misalnya adalah rate-nya. Dalam PPh pasal 26 ini tariff
pemotongan atas pembayaran kepada WPLN adalah 20%, dengan memperhatikan ada
tidaknya tax treaty (P3B, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda). Kalau tax treaty
nilai efektifnya 10%, tetapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%. Kita sebagai tax planner
harus melakukan treaty shopping dengan mencari rate yang terendah.
1. Pasal 26 ayat (1) d
Imbalan Sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan
a. Bila ada tax treaty
 Jika ada pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu: tidak ada BUT,
maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
diterima oleh WPLN.
Syarat: Agar pemotongan bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus dapat
menunjukkan atau memberikan Certificate of Residence Tax Payer (CRT) atau
Certificate of Domicile (COD) dari Competent Authority di negara
bersangkutan.
 Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi uji waktu: ada BUT, maka
Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh
WPLN bersangkutan, yang berupa:
 Corporate Tax (tarif PPh Pasal 17)
 Branch Profit Tax (tarif PPh Pasal 26)
b. Bila tidak ada tax treaty
 Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu:
Tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak:
 basis bruto dan tarif tunggal 20%.
 Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi uji waktu: ada BUT, maka Indonesia
mengenakan pajak : basis neto dan tarif Pasal 17 UU PPh.

2. Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26


PPh pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh pasal 26
tersebut adalah:
 Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan
WPLN yang berupa:
a. Bunga, dividen, royalty, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan
harta.
b. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT kecuali ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat:
 Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah
dikurangi pajak penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
baru didirikan dan berkedudukan diindonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri
 Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan diindonesia sebagaimana yang
dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
akta pendiriannya, paling lama satu tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
 Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun
pajak berikur=tnya dari tahun pajak diterimma atau diperolehnya penghasilan
tersebut.
 Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat dalam jangka
waktu dua tahun sesudah perusahaan baru tersebyt telah berproduksi komersial.

 Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netodan bersifat final atas
penghasilan WPLN berupa:
 Penghasilan dari penjualan harta diindonesia ( 20% x 25% x harga jual).
 Premi asuransi yang dibayarkan keluar negeri:
a. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi diluar negeri oleh
tertanggung (20% x 50% x Jumlah premi).
b. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri pada perusahaan
asuransi yang berkedudukan diindonesia( 20% x 10% x Jumlah premi).
c. Premi yang dibayarkan kepada asruansi luar negeri oleh perusahaan reasuransi
yang berkedudukan diindonesia ( 20% x %5 x jumlah premi).
E. PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT (2) FINAL
Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini
secara prinsip selalu meringankan. Dalam hal ini bagaimana dengan obligasi? Jadi
menjual obligasi, secara aspek pajak tidak favourable, karena bayar pajaknya lebih
banyak (pajak bunga 15%). Bursa pasar modal berusaha agar obligasi diperlakukan
sama dengan saham, supaya pasar obligasi bergairah. Usaha mereka berhasil dengan
dikeluarkannya PP 16 Tahun 2006 yang berlaku efektif 1 Januari 2009. Dengan
demikian bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh final tetapi tariff pajak
bunganya sebesar 15% bagi wajib dalam negeri dan BUT, dan tariff 15% diberlakukan
bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.
1. Pokok Perubahan UU PPh No.36 Tahun 2008 Atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara
eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang Negara.
Berbeda dengan reksadana yang terdaftar pada badan pengawas pasar modal dan
lembaga keuangan sehingga pasar obligasi reksadana bargairah; bunga dan/atau
diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual mengenai
dikenai PPh pasal 4 ayat (2) final sebagai berikut:
 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.

Tax Planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tariff
bunga diatas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan
obligasi yang dipasarkan di bursa efek.

Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)

 Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah.

 Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan
lainnya (dianggap selesai/rampung).

 Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak lain
tidak dapat dikreditkan.

 Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh


final tidak dapat dikurangkan.

2. Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2)

 Diskonto atau bunga obligasi dan surat negara.


 Penghasilan dari transaksi penjualan saham, obligasi, dan sekuritas lainnya yang
diperdagangkan di bursa efek.

 Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.

 Penghasilan berupa hadiah atas undian.

 Penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan.

 Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.

 Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

 Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

 Bunga dan/atau diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara (SBM).

 Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi.

 Penghasilan atas dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri.

 Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu.

F. PPH PASAL 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus
(NPK) atau deem profit, yang meliputi:
1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari
peredaran bruto dan bersifat tidak final
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari
peredaran bruto bersifat final
3. PPh Final Perushaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeru, taif pajaknya
2,64% dari peredaran bruto bersifat final
4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan
dagang di Indonesia, tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat
final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran minyak
dan gas bumi, tarifnya 15% dari peredaran bruto, bersifat tidak final.
G. TAX PLANNING PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL
Dalam praktik, kewajiban memotong, menyetor, dan melaporkan PPh sesuai
mekanisme with holding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar.
Apalagi sejak adanya perluasan objek with holding tax sejak tahun 2000. Beberapa hal
krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh final :
1. Masalah Pembuatan Kontrak.
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/final, hal pokok yang
harus diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dibatalkan
sebagai cikal bakal terjadinya transaksi atas pihak-pihak yang terkait. Jika kontrak
tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase
Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup
kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing
pihak.Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka
PPh Pasal 23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk
jasa konstruksi dan jasa catering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di
dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dengan nilai material maka PPh
Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.Di samping itu juga harus
terdapat kejelasan atas hak dan kewajiban masing-masing pihak agar dalam
implementasinya tidak menimbulkan masalah perbedaan penafsiran. Makin jelas
dan detail pengaturan klausul perpajakannya, akan makin baik karena akan
mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah
“Ingat with holding tax, ingat kontrak”.
2. Konflik dalam withholding tax
Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk
memungut with holding tax maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan
kewajibannya itu sebaik-baiknya. Konflik dalam with holding tax akan terjadi jika
penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan
penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong.
Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara bagian keuangan atau pajak dengan
bagian lain dalam satu perusahaan.Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran,
dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara
negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia
dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara
berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan
membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh
dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan groos up maka pajak yang
terutang boleh dibiayakan, kecuali dividend an PPh final.
3. Rekonsiliasi Objek withholding tax dengan laporan keuangan

Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotongan atau


pemungutan (with holder) perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengendalian perpajakan untuk memastikan bahwa
seluruh objek with holding tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya.
Caranya adalah melalui rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek
PPh yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.Dalam hal ini terdapat akun-
akun yang sepenuhnya merupakan objek with holding tax dapat langsung
diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang didalamnya hanya terdapat
sebagian saja yang merupakan objek with holding tax, maka perlu dilakukan
pemisahan antara yang objek dan yang bukan objek with holding tax. Bila
diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian objek with holding
tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor
journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa pelaporan, dan nomor serta
tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.

4. Klausal Kontrak dengan WPLN


Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan terperinci,
khusus kontrak dengan pihak Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan
beberapa hal, antara lain:
 Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu
melihat pada ketentuan tax treaty atau tidak
 Jika kontrak dilakukan dengan WPLN memberikan CRT (certificate of residence
taxpayer) kepada perusahaan sebelum dilakukan pembayaran atau penagihan.
Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN tersebut.
H. TAX PLANNING PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ORANG PRIBADI
Sesuai Per-Menkeu No. 255/PMK.03/2008, besarnya angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib pajak
orang pribadi pengusaha tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang mempunyai
tempat usaha tersebar di beberapa tempat, Ref.Per-Dirjen Pajak No.35/PJ/2009),
ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari jumlah peredaran bruto
setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut. Sedangkan untuk wajib pajak
masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan tiharuskan membuat
laporan keungan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir
yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilann
Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk
tahun pajak yang lalu, diagi 12 (dua belas).
Hanya karena kealpaan tax planner yang tidak menghitung atau merencanakan
angsuran PPh Pasal 25 dengan benar, khususnya untuk wajib pajak orang pribadi
pengusaha tertentu yang mestinya didasarkan pada laporan keuangan berkala, akan bisa
berimplikasi pada timbulnya lebih bayar pajak pada SPT Tahunan PPh Badan yang
ujung-ujungnya akan mengakibatkan perushaan menghadapi pemeriksaan pajak oelh
fiskus. Dampaknya tax planning harus disesuaikan kembali karena “terganggu” oleh
pemeriksaan pajak (bila efeknya signifikan terhadao jumlah pajak yang hatus dibayar
perusahaan).

Anda mungkin juga menyukai