Tax Planning PPH Pasal 22
Tax Planning PPH Pasal 22
Nama Anggota:
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS WARMADEWA
2018
A. PENDAHULUAN
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk memungut
pajakadalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan
pemotonganatas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan
kewajiban pajak untukmelakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan
selanjutnya menyetorkan danmelaporkannya ke kantor pajak setiap bulan
berdasarkan ketentuan perpajakan.Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem
withholding tax. Dengan cara ini,pemerintah akan lebih mudah dan hemat
mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biayabesar. Berbeda dengan self assessment,
yang memberi kepercayaan penuh kepada wajibpajak untuk menghitung, membayar,
dan melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri.Dal am pr akt i kn ya , m asi h s aj a
ki t a t em ukan ban yak waj i b paj ak ya ng t i dakm em i l i ki i nform asi
l engk ap m en gen ai paj ak apa s aj a yan g ha rus di pot ong at au dipungut.
Sehingga ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan
tidakm e l a k u k a n pemotongan atau pemungutan PPh, maka
k o n s e k u e n s i ya n g h a r u s di had api n ya ad a l ah, waj i b paj ak t e rs ebut akan
di kenai t agi h an at a s paj ak ya n gtidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah
dengan sanksi administrasi.
Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemunggutan PPh
pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena;a. Wajib pajak yang
dalam pajak berjalan dapat menunjukan tidak akan terutang Pajak Penghasilan
karena mengalami kerugian fiskal.b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi
kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan
penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.c. Pajak penghasilan yang telah
dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang akan terutang.Untuk PPh Pasal 22
yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan surat permohonan surat keterangan
bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memnuhi kriteria, seperti yang dimaksud dalam
keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak
terjadi lebih bayar pajak penghasilan.Ketentutan Pasal 22 UU No. 36 tahun 2008,
menyatakan bahwa menteri keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah
untuk memunggut pajak, sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
badan-badan tertentu untuk memunggut pajak dari wajib pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan
tertentu unutuk memungggut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.
Solusinya:
a. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up
menjadi 100/90 x Rp 72 juta= Rp 80 Juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah
termasuk pajak yang harus dipunggut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80
juta – Rp 72 juta = Rp. 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final
dan dividen.
b. Namun bila perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 yang
terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up (jadi 10% x Rp. 72 juta = Rp. 7,2 juta),
maka pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netodan bersifat final atas
penghasilan WPLN berupa:
Penghasilan dari penjualan harta diindonesia ( 20% x 25% x harga jual).
Premi asuransi yang dibayarkan keluar negeri:
a. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi diluar negeri oleh
tertanggung (20% x 50% x Jumlah premi).
b. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri pada perusahaan
asuransi yang berkedudukan diindonesia( 20% x 10% x Jumlah premi).
c. Premi yang dibayarkan kepada asruansi luar negeri oleh perusahaan reasuransi
yang berkedudukan diindonesia ( 20% x %5 x jumlah premi).
E. PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT (2) FINAL
Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini
secara prinsip selalu meringankan. Dalam hal ini bagaimana dengan obligasi? Jadi
menjual obligasi, secara aspek pajak tidak favourable, karena bayar pajaknya lebih
banyak (pajak bunga 15%). Bursa pasar modal berusaha agar obligasi diperlakukan
sama dengan saham, supaya pasar obligasi bergairah. Usaha mereka berhasil dengan
dikeluarkannya PP 16 Tahun 2006 yang berlaku efektif 1 Januari 2009. Dengan
demikian bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh final tetapi tariff pajak
bunganya sebesar 15% bagi wajib dalam negeri dan BUT, dan tariff 15% diberlakukan
bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.
1. Pokok Perubahan UU PPh No.36 Tahun 2008 Atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara
eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang Negara.
Berbeda dengan reksadana yang terdaftar pada badan pengawas pasar modal dan
lembaga keuangan sehingga pasar obligasi reksadana bargairah; bunga dan/atau
diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual mengenai
dikenai PPh pasal 4 ayat (2) final sebagai berikut:
0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Tax Planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tariff
bunga diatas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan
obligasi yang dipasarkan di bursa efek.
Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan
lainnya (dianggap selesai/rampung).
Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak lain
tidak dapat dikreditkan.
Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi.
Penghasilan atas dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri.
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu.
F. PPH PASAL 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus
(NPK) atau deem profit, yang meliputi:
1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari
peredaran bruto dan bersifat tidak final
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari
peredaran bruto bersifat final
3. PPh Final Perushaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeru, taif pajaknya
2,64% dari peredaran bruto bersifat final
4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan
dagang di Indonesia, tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat
final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran minyak
dan gas bumi, tarifnya 15% dari peredaran bruto, bersifat tidak final.
G. TAX PLANNING PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL
Dalam praktik, kewajiban memotong, menyetor, dan melaporkan PPh sesuai
mekanisme with holding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar.
Apalagi sejak adanya perluasan objek with holding tax sejak tahun 2000. Beberapa hal
krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh final :
1. Masalah Pembuatan Kontrak.
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/final, hal pokok yang
harus diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dibatalkan
sebagai cikal bakal terjadinya transaksi atas pihak-pihak yang terkait. Jika kontrak
tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase
Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup
kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing
pihak.Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka
PPh Pasal 23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk
jasa konstruksi dan jasa catering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di
dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dengan nilai material maka PPh
Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.Di samping itu juga harus
terdapat kejelasan atas hak dan kewajiban masing-masing pihak agar dalam
implementasinya tidak menimbulkan masalah perbedaan penafsiran. Makin jelas
dan detail pengaturan klausul perpajakannya, akan makin baik karena akan
mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah
“Ingat with holding tax, ingat kontrak”.
2. Konflik dalam withholding tax
Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk
memungut with holding tax maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan
kewajibannya itu sebaik-baiknya. Konflik dalam with holding tax akan terjadi jika
penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan
penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong.
Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara bagian keuangan atau pajak dengan
bagian lain dalam satu perusahaan.Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran,
dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara
negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia
dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara
berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan
membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh
dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan groos up maka pajak yang
terutang boleh dibiayakan, kecuali dividend an PPh final.
3. Rekonsiliasi Objek withholding tax dengan laporan keuangan