PENDAHULUAN
1
penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan sebelum dan sesudah
pengolahan. Semua parameter air minum yang telah diolah telah
memenuhi Permenkes Nomor 492 Tahun 2010. Dapat disimpulkan bahwa
kualitas air minum yang diolah di IPA II Pinus PDAM Intan Banjar sudah
baik (Rismawati, 2016).
Pada hakikatnya, pemantauan kualitas air ini pada perairan umum
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui nilai kualitas air baik dalam bentuk parameter fisika,
kimia, dan biologi.
2. Membandinhgkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu
sesuai dengan peruntukannya, menurut Peraturan Pemerintah RI
No. 20 tahun 1990.
3. Menilai kelayakan suatu sumber daya air untuk kepentingan
tertentu.
(Effendi, 2003).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemulihan dari
tawas cair yang berasal dari Limbah Padat Lumpur (LPL) Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) Intan Banjar dan penurunan kekeruhan serta
pH air dari sungai Martapura setelah perlakuan dengan tawas cair dan
koagulan komersial lainnya melalui koagulasi dan flokulasi. Proses
pemulihan dilakukan dengan melarutkan LPL dengan NaOH dan larutan
NH4 dalam termos sambil diaduk dan dididihkan. Larutan thena dari
NH4OH ditambahkan endapan Al(OH)3 yang sebelumnya disaring dan
dicuci dengan larutan NH4Cl kemudian dikeringkan untuk memperoleh
bentuk padatan seperti kue kering. Proses selanjutnya adalah reaksi antara
padatan kue kering dengan H2SO4 untuk mendapatkan tawas cair. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tawas cair dari LPL-PDAM Intan Banjar
dapat digunakan untuk mengurangi kekeruhan dari 43,40 NTU 7,49 NTU
dan pH 6,67-6,48. Sedangkan koagulan komersial lainnya, yaitu koagulan
tawas padat, PAC, FeCl3 dan FeSO4 berkurang menjadi 2.11, 1.77, 1.82,
dan 6.96 untuk pH masing- masing dan menjadi ke 6.43 NTU, 6.36 NTU,
6.08 NTU, dan 28,10 NTU untuk kekeruhan masing-masing (Mirwan,
2012).
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pembuatan makalah ini adalah:
2
1. Apa pengertian dari air?
2. Bagaimana efektifitas pengolahan air minum ditinjau dari kualitas
air minum berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologi di IPA
(Instalasi Pengolahan Air) II Pinus PDAM Intan Banjar?
3. Bagaimana cara memanfaatkan kembali limbah padat lumpur
PDAM untuk menjernihkan air dari sungai Martapura Kalimantan
Selatan?
3
sebagian besar terdapat di laut (air asin) dan pada lapisan-lapisan es (di
kutub dan puncak gunung), akan tetapi juga dapat hadir sebagai awan,
hujan, sungai, danau, dan lautan es. Tiap makhluk hidup membutuhkan air.
Air merupakan sekitar 70% dari berat badan tumbuhan maupun hewan.
Flora dan fauna suatu daerah sangat tergantung pada keadaan air, bukan
saja mengenai jumlahnya, melainkan juga mengenai jenisnya
(Dwijpseputro, 1990).
Sifat-sifat fisik air ialah tidak berwarna, tidak berbau, tidak asam,
dan tidak basa, tembus cahaya, tapi tak tembus sinar inframerah. Selain itu
air dapat muncul sebagai gas, sebagai cairan, atau sebagai bahan padat. Air
sebagai cairan mudah mengalir, sebagai uap dalam atmosfer dapat
ditembus sinar matahari, sehingga pemanasan permukaan tanah,
penguapan air, dan keperluan fotosintesis tumbuhan dapat berlangsun Air
mempunyai rumus molekul H2O, massa molar 18,01 g/mol, kerapatan
1000 g/cm3, titik lebur 0oC, titik didih 100oC, dan kalor jenis 4184 J
(Dwijpseputro, 1990).
2.2 Efektifitas Pengolahan Air Minum Ditinjau dari Kualitas Air Minum
berdasarkan Parameter Fisik, Kimia, dan Biologi di IPA II Pinus
PDAM Intan Banjar
4
tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai pengolahan air minum di
Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Intan Banjar Kota Banjarbaru (Rismawati, 2016).
Parameter yang dianalisis yaitu kekeruhan, warna, pH, Fe, Mn,
total koliform, dan bakteri E. Coli.
2.2.1. Kekeruhan
2.2.2. Warna
5
Tabel 2. Perbedaan Warna Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air
Minum
2.2.3. pH
6
Tabel 3. Perbedaan pH Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air
Minum
2.2.4. Fe
7
Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa konsentrasi Fe
setelah pengolahan air minum telah memenuhi standar syarat air
minum sesuai Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni dibawah
0,3 mg/l. Air yang mengandung konsentrasi zat besi yang tinggi
akan menyebabkan noda kuning pada pakaian, dan alat lain-lainnya
serta menimbulkan rasa yang tidak enak pada air minum pada
konsentrasi di atas kurang lebih 0,3 mg/l. Air yang mengandung zat
besi yang tinggi juga mempengaruhi estetika air minum, yaitu
dapat mempengaruhi warna air minum menjadi kekuningkuningan
atau kecoklatan. Berdasarkan hasil penelitian pada sel tubuh,
diketahui bahwa zat besi dapat menghancurkan sel-sel seperti
mitokondria dan lisosom. Selain itu zat besi juga dapat melakukan
reaksi katalis yang bersifat merusak bagi tubuh, khususnya DNA
yang dapat menyebabkan kerusakan sel, mutasi DNA, dan
mengubah struktur genetik seseorang (Rismawati, 2016).
2.2.5. Mn
8
dalam jumlah yang kecil tidak menimbulkan gangguan kesehatan,
akan tetapi apabila dikonsumsi terus-menerus akan tertimbun di
dalam hati dan ginjal. Gejala yang diakibatkan mengkonsumsi Mn
secara terus-menerus menimbulkan gangguan pada sistem saraf
dan menampakkan gejala seperti penyakit Parkinson (Rismawati,
2016).
2.2.6. Koliform
9
mikroba yang bersifat enteropatogenik atau toksigenik yang
berbahaya bagi kesehatan (Rismawati, 2016).
2.2.7. E.Coli
10
terhadap variasi jumlah konsentrasi tiap koagulan yang dilakukan pada
proses awal dan koagulasi (Mirwan, 2009).
11
12
Variasi penambahan jumlah konsentrasi untuk semua jenis
koagulan termasuk koagulan hasil recovery LPL PDAM Intan Banjar
secara keseluruhan dapat menurunkan tingkat kekeruhan (turbidity) yang
cukup signifikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 sampai dengan
7. Hal ini juga didukung penelitian Mirwan tahun 2009 yang
menggunakan LPL PDAM Banjarmasin dapat menurunkan tingkat
kekeruhan air dari sungai Barito Kalimantan Selatan. Penambahan jumlah
tiap koagulan sebesar 5 ppm seperti yang ditunjukkan Gambar 3
menunjukkan bahwa semua jenis koagulan yang digunakan untuk
menurunkan tingkat kekeruhan air sungai Martapura masih belum
memenuhi standar baku mutu air sungai kelas I berdasarkan Peraturan
Gubernur Kalimantan Selatan No.05 tanggal 29 Januari Tahun 2007
tentang peruntukan dan baku mutu air sungai dan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.907/MENKES/SK/VII/2002 tahun 2002
tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum sebesar 5 NTU
(Mirwan, 2009).
Hal ini dikarenakan konsentrasi koagulan yang digunakan masih
sedikit sehingga tidak mampu menurunkan tingkat kekeruhan sampai di
bawah ambang batas maksimum yang ditetapkan. Penurunan tingkat
kekeruhan yang cukup signifikan mulai terjadi pada proses flokulasi
dengan kecepatan pengadukkan yang lambat menyebabkan partikel-
partikel kecil (flok) yang melayang akan saling bertabrakan dan
membentuk flok-flok yang besar sehingga cepat mengalami pengendapan
karena adanya gaya gravitasi. Penurunan tingkat kekeruhan air sungai
Martapura berbanding lurus dengan penambahan jumlah konsentrasi tiap
13
koagulan yang digunakan seperti yang sama ditunjukkan Gambar 4 sampai
dengan 7. Kecenderungan penurunan tingkat kekeruhan air sungai
Martapura terhadap jumlah konsentrasi koagulan jenis tawas cair LPL
PDAM juga menunjukkan hal yang sama. Namun jumlah konsentrasi
koagulan sampai 25 ppm seperti yang ditunjukkan Gambar 7 masih belum
mampu memenuhi standar baku mutu air sungai kelas I berdasarkan
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan dan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, hanya koagulan yang ada dipasaran seperti
tawas padat, FeCl3 dan PAC dapat memenuhi standar baku mutu yang
ditetapkan dengan tingkat kekeruhan dibawah 5 NTU. Hal itu dikarenakan
adanya kandungan Alumina yang terdapat dalam PAC dan kandungan
Fero3+ yang terdapat dalam FeCl3 berjumlah banyak sehingga mampu
mengikat partikel-partikel koloid yang terkandung dalam air sungai
walaupun dengan konsentrasi yang cukup rendah.Hal ini yang
menyebabkan ketiga jenis koagulan tersebut lebih banyak disukai dan
dipilih sebagai koagulan pada proses penjernihan air. Jika jumlah
konsentrasi koagulan jenis tawas cair LPL PDAM ditingkatkan maka
tingkat kekeruhan air sungai Martapura dapat memenuhi standar baku
mutu yang ditetapkan. Dengan proses yang sama, penurunan tingkat
kekeruhan air sungai Martapura sampai dibawah batas baku mutu yang
ditetapkan terjadi pada jumlah konsentrasi koagulan untuk jenis tawas cair
LPL PDAM Intan Banjar sebesar 50-150 ppm (Mirwan, 2009).
14
Gambar 8 menunjukan bahwa analisis pH air sungai Martapura
setelah penambahan semua jenis koagulan secara keseluruhan mengalami
kenaikan dari nilai awal sebesar 6,67. Hal sebaliknya untuk koagulan jenis
PAC. Namun kenaikan dan penurunan pH dari semua jenis koagulan yang
digunakan tidak terlalu signifikan dan memenuhi baku mutu yang
ditetapkan sebesar 6-9. Hal ini disebabkan terjadinya pembebasan ion H+
ditambah dengan adanya ion alumunium yang bersifat amfoter sehingga
bergantung pada suasana lingkungan yang mempengaruhinya (Mirwan,
2009).
15
buangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola limbah
atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran
(Widiantika, 2013).
Sebenarnya penanggulangan pencemaran air dapat dimulai
dari diri kita sendiri. Dalam keseharian, kita dapat mengurangi
pencemaran air dengan cara mengurangi produksi sampah
(minimize) yang kita hasilkan setiap hari. Selain itu, kita dapat pula
mendaur ulang (recycle) dan mendaur pakai (reuse) sampah
tersebut. Kitapun perlu memperhatikan bahan kimia yang kita
buang dari rumah kita. Karena saat ini kita telah menjadi
masyarakat kimia, yang menggunakan ratusan jenis zat kimia
dalam keseharian kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan
rumah, memupuk tanaman, dan sebagainya. Kita harus
bertanggung jawab terhadap berbagai sampah seperti makanan
dalam kemasan kaleng, minuman dalam botol dan sebagainya,
yang memuat unsur pewarna pada kemasannya dan kemudian
terserap oleh air tanah pada tempat pembuangan akhir. Bahkan
pilihan kita untuk bermobil atau berjalan kaki, turut
menyumbangkan emisi asam atau hidrokarbon ke dalam atmosfir
yang akhirnya berdampak pada siklus air alam (Widiantika, 2013).
Menjadi konsumen yang bertanggung jawab merupakan
tindakan yang bijaksana. Sebagai contoh, kritis terhadap barang
yang dikonsumsi, apakah nantinya akan menjadi sumber bencana
yang persisten, eksplosif, korosif dan beracun atau degradable
(dapat didegradasi alam)? Apakah barang yang kita konsumsi
nantinya dapat meracuni manusia, hewan, dan tumbuhan aman
bagi makhluk hidup dan lingkungan? Teknologi dapat kita gunakan
untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih,
instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara
baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang
tercemar. Dari segi kebijakan atau peraturanpun mengenai
pencemaran air ini telah ada. Bila kita ingin benar-benar hal
16
tersebut dapat dilaksanakan, maka penegakan hukumnya harus
dilaksanakan pula. Pada akhirnya, banyak pilihan baik secara
pribadi ataupun sosial (kolektif) yang harus ditetapkan, secara
sadar maupun tidak, yang akan mempengaruhi tingkat pencemaran
dimanapun kita berada. Melalui penanggulangan pencemaran ini
diharapkan bahwa pencemaran akan berkurang dan kualitas hidup
manusia akan lebih ditingkatkan, sehingga akan didapat sumber air
yang aman, bersih dan sehat (Widiantika, 2013).
17
tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air.
Secara umum hal ini meliputi pencemaran air baik oleh instansi
ataupun non-instansi. Salah satu upaya serius yang telah dilakukan
Pemerintah dalam pengendalian pencemaran air adalah melalui
Program Kali Bersih (PROKASIH) (Widiantika, 2013).
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang penanggulangan pencemaran air yang lain adalah sebagai
berikut:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
92/MENKES/PER/IV/2010 TentangPersyaratan Kualitas
Air Minum.
2. PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air ,
Pengendalian Pencemaran Air.
3. KepMen LH No. Kep-35/MenLH/7/ 1995 tentang Program
Kali Bersih (PROKASIH).
4. KepMen LH No. Kep-35A/ MenLH /7/ 1995 tentang
Program Penilaian Kinerja Perusahaan/ Kegiatan Usaha
Dalam Pengendalian Pencemaran di Lingkup Kegiatan
PROKASIH (Proper Prokasih).
5. KepMen LH No. 51/MenLH/10/ 1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.
6. KepMen LH No. 52/MENLH/10/ 1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel.
7. KepMen LH No. 58/MENLH/10/ 1995 tentang Baku Mutu
LimbahCair Bagi Kegiatan Rumah Sakit.
8. KepMen LH No. 09/MENLH/4/ 1997 tentang Perubahan
KepMen LH No. 42 Tahun 1996 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas Serta Panas
Bumi.
9. KepMen LH No. 03/MENLH/1/1998 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kawasan Industri.
10. KepMen LH No. 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis
Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah dan Industri Minyak
Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
11. KepMen LH No. 29 Tahun 2003 tentang Pedoman Syarat
dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air.
18
12. KepMen LH No. 110 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada
Sumber Air.
13. KepMen LH No. 111 Tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara PerizinanSerta Pedoman
Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.
14. KepMen LH No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Domestik.
15. KepMen LH No. 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batu
Bara.
16. KepMen LH No. 114 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pengkajian tentang Pedoman Pengkajian Untuk
Menetapkan Kelas Air.
17. KepMen LH No. 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air.
18. KepMen LH No. 142 Tahun 2003 tentang Perubahan
KepMen LH No. 111 Tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman
Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.
19. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air.
(Widiantika, 2013).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
19
radioaktif. Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit yang
diakibatkan oleh penggunaan air yang terkontaminasi oleh bakteri
ataupun zat kimia, maka memperbaiki kualitas air merupakan
prioritas utama dalam mencegah penyakit yang berhubungan
dengan air. Parameter yang dianalisis yaitu kekeruhan, warna, pH,
Fe, Mn, total koliform, dan bakteri E. Coli.
3. Pada proses penyaringan air sungai Martapura, kougulan yang
digunakan (tawas cair dari LPL PDAM, PAC, tawas padat, FeCl3,
dan FeSO4). Penambahan jumlah bervariasi tiap konsentrasi
koagulan sebesar 5 10, 15, 20, dan 25 ppm. Konsentrasi koagulan
yang digunakan masih sedikit sehingga tidak mampu menurunkan
tingkat kekeruhan sampai di bawah ambang batas maksimum yang
ditetapkan.
4. Cara penanggulangan ada dua yaitu non-teknis dan secara teknis.
Mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan
peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi
adalah cara efektif untu mengatasi .
3.2. Saran
20