Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pentingnya sungai dan sumber daya air permukaan bagi
masyarakat telah diakui oleh beberapa ilmuwan. Untuk alasan ini sebagian
besar kota, pusat-pusat industri dan kegiatan pertanian
telah dibentuk sangat dekat dengan sungai dan permukaan sumber daya air
lainnya. Namun, pertumbuhan penduduk, iklim perubahan, kekeringan dan
meningkatnya permintaan untuk sumber daya air memberikan tekanan
lebih besar pada sumber air sementara dan dapat merusak kualitas air yang
karena pembuangan industri dan kegiatan pertanian di sumber air
permukaan dan penghalang lain. Oleh karena itu, pentingnya pemantauan
yang dilakukan untuk memastikan bahwa sumber daya air dan kualitas
mereka tetap dalam batas yang dapat diterima untuk akhir berkelanjutan
dan penggunaan (Misaghi, 2017).
Tiap makhluk hidup membutuhkan air. Air merupakan sekitar 70%
dari berat badan tumbuhan maupun hewan. Flora dan fauna suatu daerah
sangat tergantung kepada keadaan air, bukan saja mengenai jumlanya,
melainkan juga mengenai jenisnya (Dwidjoseputro, 1990).
Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus yang berlokasi di Jalan
Mentaos Timur Nomor 1, Banjarbaru merupakan salah satu instalasi yang
melayani kebutuhan air bersih, termasuk air minum bagi penduduk Kota
Banjarbaru dan Martapura. Air minum yang layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu fisika, kimia,
biologi, dan radioaktif sesuai dengan syarat Permenkes Nomor 492 Tahun
2010 tentang Persyaratan Air Minum. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis perbedaan parameter fisik (kekeruhan, dan warna), kimia
(pH, Fe, dan Mn), dan biologi (total koliform dan E.coli) sebelum dan
sesudah pengolahan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
dengan rancangan observasional analitik melalui pendekatan cross-
sectional. Subjek penelitian yang diambil adalah data kualitas air minum
PDAM Intan Banjar Tahun 2014 sebelum dan sesudah pengolahan. Uji
yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji T dan Uji Wilcoxon. Hasil

1
penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan sebelum dan sesudah
pengolahan. Semua parameter air minum yang telah diolah telah
memenuhi Permenkes Nomor 492 Tahun 2010. Dapat disimpulkan bahwa
kualitas air minum yang diolah di IPA II Pinus PDAM Intan Banjar sudah
baik (Rismawati, 2016).
Pada hakikatnya, pemantauan kualitas air ini pada perairan umum
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui nilai kualitas air baik dalam bentuk parameter fisika,
kimia, dan biologi.
2. Membandinhgkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu
sesuai dengan peruntukannya, menurut Peraturan Pemerintah RI
No. 20 tahun 1990.
3. Menilai kelayakan suatu sumber daya air untuk kepentingan
tertentu.
(Effendi, 2003).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemulihan dari
tawas cair yang berasal dari Limbah Padat Lumpur (LPL) Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) Intan Banjar dan penurunan kekeruhan serta
pH air dari sungai Martapura setelah perlakuan dengan tawas cair dan
koagulan komersial lainnya melalui koagulasi dan flokulasi. Proses
pemulihan dilakukan dengan melarutkan LPL dengan NaOH dan larutan
NH4 dalam termos sambil diaduk dan dididihkan. Larutan thena dari
NH4OH ditambahkan endapan Al(OH)3 yang sebelumnya disaring dan
dicuci dengan larutan NH4Cl kemudian dikeringkan untuk memperoleh
bentuk padatan seperti kue kering. Proses selanjutnya adalah reaksi antara
padatan kue kering dengan H2SO4 untuk mendapatkan tawas cair. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tawas cair dari LPL-PDAM Intan Banjar
dapat digunakan untuk mengurangi kekeruhan dari 43,40 NTU 7,49 NTU
dan pH 6,67-6,48. Sedangkan koagulan komersial lainnya, yaitu koagulan
tawas padat, PAC, FeCl3 dan FeSO4 berkurang menjadi 2.11, 1.77, 1.82,
dan 6.96 untuk pH masing- masing dan menjadi ke 6.43 NTU, 6.36 NTU,
6.08 NTU, dan 28,10 NTU untuk kekeruhan masing-masing (Mirwan,
2012).
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pembuatan makalah ini adalah:

2
1. Apa pengertian dari air?
2. Bagaimana efektifitas pengolahan air minum ditinjau dari kualitas
air minum berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologi di IPA
(Instalasi Pengolahan Air) II Pinus PDAM Intan Banjar?
3. Bagaimana cara memanfaatkan kembali limbah padat lumpur
PDAM untuk menjernihkan air dari sungai Martapura Kalimantan
Selatan?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui pengertian dari air.
2. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas pengolahan air minum
ditinjau dari kualitas air minum berdasarkan parameter fisik, kimia,
dan biologi di IPA II Pinus PDAM Intan Banjar.
3. Untuk mengetahui bagaimana memanfaatkan kembali limbah padat
lumpur PDAM untuk menjernihkan air dari sungai Martapura
Kalimantan Selatan.

1.4. Batasa Masalah

Penulisan makalah ini hanya terbatas pada kualitas air setelah


diolah oleh PDAM Intan Banjar. Hal-hal lain yang tidak menyangkut
dengan hal-hal di atas tidak dibahas dalam makalah ini.

1.5. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah


metode tinjauan kepustakaan yang bertujuan untuk mempelajari referensi
yang relevan.
BAB II
ISI

2.1. Pengertian Air

Air adalah senyawa yang penting bagi semua bentuk kehidupan


yang diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain. Air

3
sebagian besar terdapat di laut (air asin) dan pada lapisan-lapisan es (di
kutub dan puncak gunung), akan tetapi juga dapat hadir sebagai awan,
hujan, sungai, danau, dan lautan es. Tiap makhluk hidup membutuhkan air.
Air merupakan sekitar 70% dari berat badan tumbuhan maupun hewan.
Flora dan fauna suatu daerah sangat tergantung pada keadaan air, bukan
saja mengenai jumlahnya, melainkan juga mengenai jenisnya
(Dwijpseputro, 1990).
Sifat-sifat fisik air ialah tidak berwarna, tidak berbau, tidak asam,
dan tidak basa, tembus cahaya, tapi tak tembus sinar inframerah. Selain itu
air dapat muncul sebagai gas, sebagai cairan, atau sebagai bahan padat. Air
sebagai cairan mudah mengalir, sebagai uap dalam atmosfer dapat
ditembus sinar matahari, sehingga pemanasan permukaan tanah,
penguapan air, dan keperluan fotosintesis tumbuhan dapat berlangsun Air
mempunyai rumus molekul H2O, massa molar 18,01 g/mol, kerapatan
1000 g/cm3, titik lebur 0oC, titik didih 100oC, dan kalor jenis 4184 J
(Dwijpseputro, 1990).

2.2 Efektifitas Pengolahan Air Minum Ditinjau dari Kualitas Air Minum
berdasarkan Parameter Fisik, Kimia, dan Biologi di IPA II Pinus
PDAM Intan Banjar

Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus yang berlokasi di Jalan


Mentaos Timur nomor 1, Banjarbaru merupakan salah satu instalasi yang
melayani kebutuhan air bersih, terutama bagi penduduk Kota Banjarbaru
dan Martapura. Air minum yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat
harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu fisika, kimia, biologi, dan
radioaktif. Hal ini dikarenakan air minum yang dikonsumsi oleh
masyarakat tidak boleh menyebabkan dampak yang berbahaya bagi
kesehatan serta menurunkan estetika air minum tersebut. Upaya untuk
mencegah terjadinya penyakit yang diakibatkan oleh penggunaan air yang
terkontaminasi oleh bakteri ataupun zat kimia, maka memperbaiki kualitas
air merupakan prioritas utama dalam mencegah penyakit yang
berhubungan dengan air. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang

4
tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai pengolahan air minum di
Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Pinus Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Intan Banjar Kota Banjarbaru (Rismawati, 2016).
Parameter yang dianalisis yaitu kekeruhan, warna, pH, Fe, Mn,
total koliform, dan bakteri E. Coli.

2.2.1. Kekeruhan

Tabel 1. Perbedaan Kekeruhan Sebelum dan Sesudah Pengolahan


Air Minum

Dilihat berdasarkan angka pada tabel 1. diketahui bahwa


terjadi penurunan kekeruhan. Konsentrasi kekeruhan pada hasil air
minum yang telah diolah menunjukkan bahwa telah sesuai dengan
Permenkes Nomor 492 Tahun 2010. Konsentrasi kekeruhan
maksimal pada air minum adalah 5 NTU dan pada tabel 1 di atas
diketahui bahwa pada semua bulan setelah dilakukan pengolahan
konsentrasi kekeruhan pada air minum dibawah standar yang
seharusnya (Rismawati, 2016). Konsentrasi kekeruhan yang tinggi
pada air minum akan menyebabkan terganggunya proses desinfeksi
sehingga akan menyebabkan air minum menjadi media yang baik
untuk bakteri berkembang biak. Berkembang biaknya bakteri pada
air minum dapat menjadi media untuk penularan penyakit
waterborne disease (Rismawati, 2016).

2.2.2. Warna

5
Tabel 2. Perbedaan Warna Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air
Minum

Warna merupakan salah satu parameter fisik yang


digunakan dalam penentuan kualitas air minum. Adanya warna
pada air minum disebabkan oleh adanya kandungan zat-zat tertentu
pada air minum, seperti tingginya zat Fe pada air minum akan
menimbulkan warna kehitaman pada air minum. Selain itu warna
dalam air minum juga dapat disebabkan oleh keberadaan zat
organik berwarna yang berhubungan dengan penguraian tanah serta
juga dapat berasal dari kontaminasi sumber air oleh buangan
limbah industri. Hasil olahan air minum khususnya untuk
parameter warna harus memenuhi syarat yang tercantum dalam
Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni dibawah 15 TCU
(Rismawati, 2016).

2.2.3. pH

6
Tabel 3. Perbedaan pH Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air
Minum

Berdasarkan data pada tabel 3. diketahui bahwa konsentrasi


pH pada air minum telah memenuhi syarat sebagai air minum,
yakni masih berkisar di antara 6,9-7,4 dimana angka ini masih
sesuai dengan pH pada Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni
6,5-8,5. Nilai pH yang lebih rendah dari 6,5 berarti bersifat lebih
asam sehingga akan bersifat korosif pada organ tubuh apabila
dikonsumsi oleh manusia. Air yang bersifat asam dapat
melepaskan logam dari pipa seperti tembaga (Cu), timah (Pb), dan
seng (Zn) sehingga air akan mengandung zat-zat ini. Sedangkan
nilai pH yang lebih tinggi tidak langsung menyebabkan masalah
kesehatan, tetapi menyebabkan masalah estetika sepertinya
timbulnya rasa pahit pada air minum (Rismawati, 2016).

2.2.4. Fe

Tabel 4. Perbedaan Fe Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air


Minum

7
Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa konsentrasi Fe
setelah pengolahan air minum telah memenuhi standar syarat air
minum sesuai Permenkes Nomor 492 tahun 2010, yakni dibawah
0,3 mg/l. Air yang mengandung konsentrasi zat besi yang tinggi
akan menyebabkan noda kuning pada pakaian, dan alat lain-lainnya
serta menimbulkan rasa yang tidak enak pada air minum pada
konsentrasi di atas kurang lebih 0,3 mg/l. Air yang mengandung zat
besi yang tinggi juga mempengaruhi estetika air minum, yaitu
dapat mempengaruhi warna air minum menjadi kekuningkuningan
atau kecoklatan. Berdasarkan hasil penelitian pada sel tubuh,
diketahui bahwa zat besi dapat menghancurkan sel-sel seperti
mitokondria dan lisosom. Selain itu zat besi juga dapat melakukan
reaksi katalis yang bersifat merusak bagi tubuh, khususnya DNA
yang dapat menyebabkan kerusakan sel, mutasi DNA, dan
mengubah struktur genetik seseorang (Rismawati, 2016).

2.2.5. Mn

Tabel 5. Perbedaan Mn Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air


Minum

Konsentrasi mangan maksimal pada air minum adalah 0,4


mg/l dan berdasarkan tabel 5. diketahui bahwa konsentrasi Mn
pada air minum setelah proses pengolahan telah memenuhi syarat
sesuai Permenkes Nomor 492 tahun 2010. Mengkonsumsi mangan

8
dalam jumlah yang kecil tidak menimbulkan gangguan kesehatan,
akan tetapi apabila dikonsumsi terus-menerus akan tertimbun di
dalam hati dan ginjal. Gejala yang diakibatkan mengkonsumsi Mn
secara terus-menerus menimbulkan gangguan pada sistem saraf
dan menampakkan gejala seperti penyakit Parkinson (Rismawati,
2016).

2.2.6. Koliform

Tabel 6. Perbedaan Koliform Sebelum dan Sesudah Pengolahan Air


Minum

Bakteri koliform adalah jenis bakteri yang umum


digunakan sebagai indikator penentuan kualitas sanitasi makanan
dan air. Total koliform menunjukkan bakteri coliform dari tinja,
tanah, atau sumber alamiah lainnya. Bakteri jenis ini mudah untuk
dikultur dan keberadaannya dapat digunakan sebagai indikator
keberadaan organisme patogen seperti bakteria lain, virus, atau
protozoa yang banyak merupakan parasit yang hidup dalam sistem
pencernaan manusia serta terkandung dalam feses. Organisme
indikator digunakan karena ketika seseorang terinfeksi oleh bakteri
patogen, orang tersebut akan mengekskresi organisme indikator
jutaan kali lebih banyak daripada organisme patogen. Adanya
bakteri koliform dalam air menunjukkan kemungkinan adanya

9
mikroba yang bersifat enteropatogenik atau toksigenik yang
berbahaya bagi kesehatan (Rismawati, 2016).

2.2.7. E.Coli

Tabel 7. Perbedaan Bakteri E.Coli Sebelum dan Sesudah


Pengolahan Air Minum

E.coli merupakan anggota koliform yang dapat dibedakan


dari bakteri koliform lain karena kemampuannya
memfermentasikan laktosa pada suhu 44°C. Berbeda dengan
bakteri koliform lainnya, E.coli merupakan bakteri yang berasal
dari feses dan keberadaan bakteri ini pada air menunjukkan bahwa
adanya kontaminasi fekal pada badan air (Rismawati, 2016).

2.3. Pemanfaatan Kembali Limbah Padat Lumpur PDAM untuk


Penjernihan Air dari Sungai Martapura Kalimantan Selatan

Pada tiap variasi pangujian diperoleh 5 (lima) kurva hubungan


turbidity terhadap proses penjernihan air dari sungai Martapura yang
ditunjukkan dengan angka 0 sampai 4. Proses awal disimbolkan dengan
angka 0, proses koagulasi dengan angka 1, dan seterusnya hingga angka 4
yang menunjukkan proses penyaringan untuk masingmasing jenis
koagulan yang digunakan (tawas cair dari LPL PDAM, PAC, tawas padat,
FeCl3, dan FeSO4). Gambar 3 sampai dengan 7 merupakan hasil pengujian
turbidity dengan 5 (lima) variasi jumlah konsentrasi tiap koagulan sebesar
5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. Sedangkan Gambar 8 adalah hasil pengujian pH

10
terhadap variasi jumlah konsentrasi tiap koagulan yang dilakukan pada
proses awal dan koagulasi (Mirwan, 2009).

11
12
Variasi penambahan jumlah konsentrasi untuk semua jenis
koagulan termasuk koagulan hasil recovery LPL PDAM Intan Banjar
secara keseluruhan dapat menurunkan tingkat kekeruhan (turbidity) yang
cukup signifikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 sampai dengan
7. Hal ini juga didukung penelitian Mirwan tahun 2009 yang
menggunakan LPL PDAM Banjarmasin dapat menurunkan tingkat
kekeruhan air dari sungai Barito Kalimantan Selatan. Penambahan jumlah
tiap koagulan sebesar 5 ppm seperti yang ditunjukkan Gambar 3
menunjukkan bahwa semua jenis koagulan yang digunakan untuk
menurunkan tingkat kekeruhan air sungai Martapura masih belum
memenuhi standar baku mutu air sungai kelas I berdasarkan Peraturan
Gubernur Kalimantan Selatan No.05 tanggal 29 Januari Tahun 2007
tentang peruntukan dan baku mutu air sungai dan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.907/MENKES/SK/VII/2002 tahun 2002
tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum sebesar 5 NTU
(Mirwan, 2009).
Hal ini dikarenakan konsentrasi koagulan yang digunakan masih
sedikit sehingga tidak mampu menurunkan tingkat kekeruhan sampai di
bawah ambang batas maksimum yang ditetapkan. Penurunan tingkat
kekeruhan yang cukup signifikan mulai terjadi pada proses flokulasi
dengan kecepatan pengadukkan yang lambat menyebabkan partikel-
partikel kecil (flok) yang melayang akan saling bertabrakan dan
membentuk flok-flok yang besar sehingga cepat mengalami pengendapan
karena adanya gaya gravitasi. Penurunan tingkat kekeruhan air sungai
Martapura berbanding lurus dengan penambahan jumlah konsentrasi tiap

13
koagulan yang digunakan seperti yang sama ditunjukkan Gambar 4 sampai
dengan 7. Kecenderungan penurunan tingkat kekeruhan air sungai
Martapura terhadap jumlah konsentrasi koagulan jenis tawas cair LPL
PDAM juga menunjukkan hal yang sama. Namun jumlah konsentrasi
koagulan sampai 25 ppm seperti yang ditunjukkan Gambar 7 masih belum
mampu memenuhi standar baku mutu air sungai kelas I berdasarkan
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan dan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, hanya koagulan yang ada dipasaran seperti
tawas padat, FeCl3 dan PAC dapat memenuhi standar baku mutu yang
ditetapkan dengan tingkat kekeruhan dibawah 5 NTU. Hal itu dikarenakan
adanya kandungan Alumina yang terdapat dalam PAC dan kandungan
Fero3+ yang terdapat dalam FeCl3 berjumlah banyak sehingga mampu
mengikat partikel-partikel koloid yang terkandung dalam air sungai
walaupun dengan konsentrasi yang cukup rendah.Hal ini yang
menyebabkan ketiga jenis koagulan tersebut lebih banyak disukai dan
dipilih sebagai koagulan pada proses penjernihan air. Jika jumlah
konsentrasi koagulan jenis tawas cair LPL PDAM ditingkatkan maka
tingkat kekeruhan air sungai Martapura dapat memenuhi standar baku
mutu yang ditetapkan. Dengan proses yang sama, penurunan tingkat
kekeruhan air sungai Martapura sampai dibawah batas baku mutu yang
ditetapkan terjadi pada jumlah konsentrasi koagulan untuk jenis tawas cair
LPL PDAM Intan Banjar sebesar 50-150 ppm (Mirwan, 2009).

14
Gambar 8 menunjukan bahwa analisis pH air sungai Martapura
setelah penambahan semua jenis koagulan secara keseluruhan mengalami
kenaikan dari nilai awal sebesar 6,67. Hal sebaliknya untuk koagulan jenis
PAC. Namun kenaikan dan penurunan pH dari semua jenis koagulan yang
digunakan tidak terlalu signifikan dan memenuhi baku mutu yang
ditetapkan sebesar 6-9. Hal ini disebabkan terjadinya pembebasan ion H+
ditambah dengan adanya ion alumunium yang bersifat amfoter sehingga
bergantung pada suasana lingkungan yang mempengaruhinya (Mirwan,
2009).

2.4. Menanggulangi Pencemaran Air Sungai

2.4.1. Penanggulangan Pencemaran Air Sungai


Pada prinsipnya ada 2 (dua) usaha untuk menanggulangi
pencemaran, yaitu penanggulangan secara non-teknis dan secara
teknis. Penanggulangan secara non-teknis yaitu suatu usaha untuk
mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan
peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi
sehingga tidak terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini
hendaknya dapat memberikan gambaran secara jelas tentang
kegiatan industri yang akan dilaksanakan, misalnya meliputi
AMDAL, pengaturan dan pengawasan kegiatan dan menanamkan
perilaku disiplin. Sedangkan penanggulangan secara teknis
bersumber pada perlakuan industri terhadap perlakuan

15
buangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola limbah
atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran
(Widiantika, 2013).
Sebenarnya penanggulangan pencemaran air dapat dimulai
dari diri kita sendiri. Dalam keseharian, kita dapat mengurangi
pencemaran air dengan cara mengurangi produksi sampah
(minimize) yang kita hasilkan setiap hari. Selain itu, kita dapat pula
mendaur ulang (recycle) dan mendaur pakai (reuse) sampah
tersebut. Kitapun perlu memperhatikan bahan kimia yang kita
buang dari rumah kita. Karena saat ini kita telah menjadi
masyarakat kimia, yang menggunakan ratusan jenis zat kimia
dalam keseharian kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan
rumah, memupuk tanaman, dan sebagainya. Kita harus
bertanggung jawab terhadap berbagai sampah seperti makanan
dalam kemasan kaleng, minuman dalam botol dan sebagainya,
yang memuat unsur pewarna pada kemasannya dan kemudian
terserap oleh air tanah pada tempat pembuangan akhir. Bahkan
pilihan kita untuk bermobil atau berjalan kaki, turut
menyumbangkan emisi asam atau hidrokarbon ke dalam atmosfir
yang akhirnya berdampak pada siklus air alam (Widiantika, 2013).
Menjadi konsumen yang bertanggung jawab merupakan
tindakan yang bijaksana. Sebagai contoh, kritis terhadap barang
yang dikonsumsi, apakah nantinya akan menjadi sumber bencana
yang persisten, eksplosif, korosif dan beracun atau degradable
(dapat didegradasi alam)? Apakah barang yang kita konsumsi
nantinya dapat meracuni manusia, hewan, dan tumbuhan aman
bagi makhluk hidup dan lingkungan? Teknologi dapat kita gunakan
untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih,
instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara
baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang
tercemar. Dari segi kebijakan atau peraturanpun mengenai
pencemaran air ini telah ada. Bila kita ingin benar-benar hal

16
tersebut dapat dilaksanakan, maka penegakan hukumnya harus
dilaksanakan pula. Pada akhirnya, banyak pilihan baik secara
pribadi ataupun sosial (kolektif) yang harus ditetapkan, secara
sadar maupun tidak, yang akan mempengaruhi tingkat pencemaran
dimanapun kita berada. Melalui penanggulangan pencemaran ini
diharapkan bahwa pencemaran akan berkurang dan kualitas hidup
manusia akan lebih ditingkatkan, sehingga akan didapat sumber air
yang aman, bersih dan sehat (Widiantika, 2013).

2.4.2. Penanggulangan Pencemaran Air Berdasarkan Hukum Di


Indonesia

Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran


Air, pencemaran air didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah
masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiaan manusia sehingga
kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka
2). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna
pokoknya menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek kejadian, aspek
penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Widiantika, 2013).
Ada standar baku mutu tertentu untuk peruntukan air.
Sebagai contoh adalah pada UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 ayat
3 terkandung makna bahwa air minum yang dikonsumsi
masyarakat, harus memenuhi persyaratan kualitas maupun
kuantitas, yang persyaratan kualitas tertuang dalam Peraturan
Mentri Kesehatan No. 146 tahun 1990 tentang syarat-syarat dan
pengawasan kualitas air. Sedangkan parameter kualitas air
minum/air bersih yang terdiri dari parameter kimiawi, fisik,
radioaktif dan mikrobiologi, ditetapkan dalam PERMENKES
416/1990 (Widiantika, 2013).
Pengendalian/penanggulangan pencemaran air di Indonesia
telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001

17
tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air.
Secara umum hal ini meliputi pencemaran air baik oleh instansi
ataupun non-instansi. Salah satu upaya serius yang telah dilakukan
Pemerintah dalam pengendalian pencemaran air adalah melalui
Program Kali Bersih (PROKASIH) (Widiantika, 2013).
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang penanggulangan pencemaran air yang lain adalah sebagai
berikut:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
92/MENKES/PER/IV/2010 TentangPersyaratan Kualitas
Air Minum.
2. PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air ,
Pengendalian Pencemaran Air.
3. KepMen LH No. Kep-35/MenLH/7/ 1995 tentang Program
Kali Bersih (PROKASIH).
4. KepMen LH No. Kep-35A/ MenLH /7/ 1995 tentang
Program Penilaian Kinerja Perusahaan/ Kegiatan Usaha
Dalam Pengendalian Pencemaran di Lingkup Kegiatan
PROKASIH (Proper Prokasih).
5. KepMen LH No. 51/MenLH/10/ 1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.
6. KepMen LH No. 52/MENLH/10/ 1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel.
7. KepMen LH No. 58/MENLH/10/ 1995 tentang Baku Mutu
LimbahCair Bagi Kegiatan Rumah Sakit.
8. KepMen LH No. 09/MENLH/4/ 1997 tentang Perubahan
KepMen LH No. 42 Tahun 1996 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas Serta Panas
Bumi.
9. KepMen LH No. 03/MENLH/1/1998 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kawasan Industri.
10. KepMen LH No. 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis
Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah dan Industri Minyak
Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
11. KepMen LH No. 29 Tahun 2003 tentang Pedoman Syarat
dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air.

18
12. KepMen LH No. 110 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada
Sumber Air.
13. KepMen LH No. 111 Tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara PerizinanSerta Pedoman
Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.
14. KepMen LH No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Domestik.
15. KepMen LH No. 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batu
Bara.
16. KepMen LH No. 114 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pengkajian tentang Pedoman Pengkajian Untuk
Menetapkan Kelas Air.
17. KepMen LH No. 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air.
18. KepMen LH No. 142 Tahun 2003 tentang Perubahan
KepMen LH No. 111 Tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman
Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.
19. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air.
(Widiantika, 2013).
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah:


1. Air adalah senyawa yang penting bagi semua bentuk kehidupan
yang diketahui sampai saat ini di bumi. Sifat-sifat fisik air ialah
tidak berwarna, tidak berbau, tidak asam, dan tidak basa, tembus
cahaya, tapi tak tembus sinar inframerah. Air mempunyai rumus
molekul H2O, massa molar 18,01 g/mol, kerapatan 1000 g/cm3,
titik lebur 0oC, titik didih 100oC, dan kalor jenis 4184 J.
2. Air minum yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu fisika, kimia, biologi, dan

19
radioaktif. Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit yang
diakibatkan oleh penggunaan air yang terkontaminasi oleh bakteri
ataupun zat kimia, maka memperbaiki kualitas air merupakan
prioritas utama dalam mencegah penyakit yang berhubungan
dengan air. Parameter yang dianalisis yaitu kekeruhan, warna, pH,
Fe, Mn, total koliform, dan bakteri E. Coli.
3. Pada proses penyaringan air sungai Martapura, kougulan yang
digunakan (tawas cair dari LPL PDAM, PAC, tawas padat, FeCl3,
dan FeSO4). Penambahan jumlah bervariasi tiap konsentrasi
koagulan sebesar 5 10, 15, 20, dan 25 ppm. Konsentrasi koagulan
yang digunakan masih sedikit sehingga tidak mampu menurunkan
tingkat kekeruhan sampai di bawah ambang batas maksimum yang
ditetapkan.
4. Cara penanggulangan ada dua yaitu non-teknis dan secara teknis.
Mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan
peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi
adalah cara efektif untu mengatasi .

3.2. Saran

Meningkatkan kualitas air untuk penyaringan kougulan dengan


konsentrasi lebih tinggi agar tercapainya standar mutu air sungai kelas I.

20

Anda mungkin juga menyukai