Anda di halaman 1dari 18

Bab I

PENDAHULUAN

A. Mengapa Mempelajari Kehutanan Sosial

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2004 diperkirakan lebih dari 30% penduduk Indonesia
menggantungkan hidupnya dari hutan. Penduduk Indonesia yang mengandalkan hidupnya secara
langsung dari hutan dengan pola hidup perladangan berpindah, memancing, berburu, menebang dan
menjual kayu serta mengumpulkan hasil-hasil hutan nonkayu seperti rotan, madu dan resin untuk
digunakan dan dijual (Nandika, 2005:11). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan dan pengelolaan
hutan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi semata, namun tidaklah lepas dari aspek sosial,
khususnya bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.
Kegiatan pengembangan perhutanan sosial tentunya tidak terlepas dari wacana sosiologis
(sociological discourse), yang menurut Sardjono (2004:11) merupakan faktor kunci bagi keberhasilan
pengelolaan hutan di Indonesia secara lestari, dan ini merupakan landasan terlemah dari para rimbawan
dan profesional kehutanan. Wacana sosiologis yang dapat merefleksikan masyarakat pedesaan sekitar
hutan terhadap kegiatan pengembangan hutan rakyat adalah dengan menggali dan menganalisa
adaptasi budaya masyarakat terhadap kegiatan hutan rakyat tersebut dan memahami makna kehidupan
keseharian yang ada pada masyarakatnya. Pola pengembangan program hutan rakyat haruslah
disesuaikan dengan kondisi dan situasi sosial budaya setempat.

B. Perkembangan Kehutanan Sosial

Seorang ahli kehutanan Westoby untuk pertama kalinya pada tahun 1968 telah menggunakan
istilah Social Forestry atau Kehutanan Sosial dalam salah satu strategi pembangunan kehutanan.
Menurut Westoby, Kehutanan Sosial merupakan suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang
mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat
(Tewari, 1983). Sementara itu FAO (1978) memperkenalkan istilah Community Forestry untuk
menggambarkan segala macam keadaan yang melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan
kehutanan.
Vergara (1985) telah berusaha meringkas mengenai karakteristik kehutanan sosial sebagai berikut
: kehutanan sosial merupakan suatu operasi skala kecil tentang penggunaan lahan yang menjangkau
pengertian dari kehutanan murni sampai agroforestry, direncanakan dan dilaksanakan oleh individu
petani atau kelompok/komunitas untuk menghasilkan barang dan jasa sehingga bermanfaat bagi
kepentingan masyarakat. Dalam hal ini lahan lokasi kegiatan dapat merupakan lahan milik, komunitas
atau pemilikan bersama atau lahan yang dikontrak masyarakat dari pemerintah, tetapi petani
mendapatkan beberapa kemudahan.
Kehutanan Sosial merupakan suatu kegiatan penanaman pohon, pengolahan lahan dan
pemanenan, dimana sistem penanamannya dengan salah satu atau dikombinasikan dengan tanaman
perdagangan, tanaman pangan, tanaman pakan ternak, melibatkan penduduk secara individu atau
komunal, untuk tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten, komersial masyarakat dan untuk kebutuhan
lingkungan.

C. Sistem Pengelolaan Kehutanan Sosial

Sistem pengelolaan hutan dalam Social Forestry meliputi seluruh kegiatan pengetahuan secara
komprehensif meliputi menanam, memelihara, dan memanfaatkan. Untuk terlaksananya pengelolaan
yang komprehensif perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan
pemerintah.
Kelembagaan Social Foresty merupakan legitimasi terhadap pencadangan kawasan, serta struktur
manajemen dan usaha. Pencadangan kawasan untuk pembangunan Social Forestry dapat menjamin
dilakukan kegiatan manajemen dan usaha menuju tercapainya sasaran Social Forestry yaitu
meningkatkan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dan mewujudkan kelestarian hutan.
Dalam kelembagaan tersebut melekat tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing mitra.

1
Bab II
HUBUNGAN MASYARAKAT DENGAN SUMBERDAYA HUTAN

A. Pendahuluan

Bab ini akan membahas tentang hubungan masyarakat dengan sumberdaya hutan yang mencakup
dinamika hubungan antara masyarakat dengan kehutanan, teori interaksi simbolik, prinsip dasar
interaksi simbolik, dan analisis kritis terhadap interaksi simbolik.

B. Hubungan Masyarakat dan Hutan

Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki
nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya melihat hutan sebagai
sumberdaya potensial saja, melainkan memang merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi,
sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal. Sebagai sumber pangan, masyarakat sekitar hutan
mengelola lahan hutan dengan pola shifting cultivation (perladangan berpindah). Sebagai sumber obat-
obatan dan energi, masyarakat tradisional memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan liar yang hidup di hutan
sebagai bahan obat-obatan dan bahan bakar.
Dalam perkembangan peradaban selanjutnya, masyarakat tradisional tidak lagi menggantungkan
sumber pangan, pakaian dan obat-obatan dari hutan secara langsung. Akan tetapi menjadikan hutan
sebagai sumber kegiatan ekonomi. Produk-produk hasil hutan yang mereka peroleh tidak lagi
berorientasi kepada kebutuhan konsumsi mereka, melainkan juga diperdagangkan sebagai sumber mata
pencaharian.
Menurut Darusman dan Bahruni (1999) terdapat tiga hal pokok yang merupakan basis hubungan
antara pengelolaan hutan dan masyarakat sekitar hutan yang dapat menunjukkan keberlanjutan
pengelolaan sumber daya hutan. Ketiga hal tersebut adalah :
1. Masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan, dengan kearifan
lokal dan norma-norma yang dimilikinya dapat diselaraskan dengan sistem pengelolaan hutan.
Pengelolaan sumber daya hutan tidak boleh mengeliminasi atau mengurangi hak-hak masyarakat
sekitar hutan.
2. Pengelolaan sumber daya hutan tidak boleh mengganggu seluruh aspek tatanan kehidupan
masyarakat sekitar hutan.
3. Masyarakat sekitar hutan diberikan keleluasaan untuk mengembangkan aktivitas serta partisipasinya
dalam pengelolaan sumber daya hutan.

C. Dinamika Perkembangan Hubungan Kehutanan dengan Masyarakat

Secara historis manusia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hutan. Pada waktu masih
hidup sebagai pengumpul bahan makanan alami dan berburu, manusia umumnya tinggal di dalam
hutan. Setelah ilmu bercocok tanam dan beternak mulai berkembang, manusia masih tetap
membutuhkan hutan secara langsung sebagai sumber berbagai macam keperluan khususnya kayu untuk
konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan bahan bakar, tetapi ada diantara mereka yang rumah
tinggalnya terletak agak jauh dari hutan. Memasuki era kehidupan modern, manusia tetap masih
memerlukan jasa dari hutan tetapi cara memperolehnya lewat peranan kelompok lain (pedagang).
Dengan demikian hubungan manusia modern dengan hutan bersifat tidak langsung dan sehari-hari amat
jarang diantara mereka yang masuk hutan.
Perkembangan sosiologi masyarakat dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu jumlah (kepadatan)
penduduk dan perkembangan iptek. Untuk bidang kehutanan pengaruh tersebut berkaitan erat dengan
bagaimana masyarakat dapat memperoleh manfaat hutan secara adil dan demokratis, baik manfaat
ekonomi, manfaat lingkungan maupun manfaat sosial budaya. Dampak pertambahan penduduk ini
dilihat dari sisi kehutanan tidak menguntungkan karena akan berakibat pada peningkatan tekanan
terhadap kawasan hutan, baik untuk keperluan pertanian/perkebunan, pemukiman penduduk maupun
berbagai keperluan lain yang berasal dari lingkungan hutan seperti konsumsi kayu bakar dan kayu
pertukangan.

2
D. Teori Interaksi Simbolik

Menurut Natanson (1963) dalam Mulyana (2004:59) perspektif interaksi simbolik sebenarnya
berada dibawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau
perspektif interpretif. Istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua
pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus
untuk memahami tindakan sosial.
Berdasarkan kajian Raho (2002:57) pemikiran Mead bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
berpikir membedakan interaksi simbolik dari akarnya behaviorisme. Menurut Mead aktivitas
tersembunyi (covert activity) manusialah yang membedakannya dengan hewan, atau tindakan sosial
(social act) harus mempertimbangkan aspek tersembunyi perilaku manusia. Esensi interaksi simbolik
adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna.

E. Prinsip Dasar Interaksi Simbolik

Prinsip-prinsip teori interaksi simbolik :


1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan untuk berpikir
2. Kemampuan berpikir itu dibentuk atau berkembang melalui interaksi sosial, khususnya melalui
proses sosialisasi
3. Dalam interaksi sosial orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan
kemampuan khas mereka sebagai manusia yakni berpikir
4. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas
manusia
5. Manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Dengan kata lain manusia bisa
melakukan pilihan-pilihan
6. Manusia mampu membuat modifikasi atau perubahan karena mereka mempunyai kemampuan
untuk berinteraksi dengan diri sendiri atau self yang memungkinkan mereka bisa melihat keuntungan
dan kerugian dari suatu tindakan dan kemudian memilih satu diantaranya
7. Pola-pola aksi dan interaksi yang jalin menjalin ini membentuk kelompok-kelompok dan masyarakat-
masyarakat

Dari ketujuh item prinsip-prinsip interaksi simbolik diatas maka adaptasi budaya masyarakat terhadap
program perhutanan sosial akan dilihat lebih mendalam berkaitan dengan :
1. Kemampuan berpikir
Menurut perspektif interaksi simbolik, manusia harus memiliki otak supaya bisa mengembangkan
akal budinya tetapi otak tidak otomatis menciptakan akal budi.
2. Berpikir dan interaksi
Interaksi adalah suatu proses dimana kemampuan untuk berpikir dikembangkan dan diungkapkan.
Segala macam interaksi menyaring kemampuan manusia untuk berpikir, hasil pikiran akan
mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku (tndakan).
3. Membuat pilihan-pilihan
Manusia mampu melakukan pilihan-pilihan yang bebas dan unik, atau mampu mengembangkan
suatu kehidupan yang mempunyai keunikan dan gayanya sendiri.
4. Kelompok-kelompok dan masyarakat
Masyarakat manusia harus dilihat terdiri dari orang-orang yang sedang bertindak dan kehidupan
masyarakat harus dilihat terdiri dari tindakan-tindakan mereka. Kehidupan kelompok adalah
keseluruhan tindakan yang sedang berlangsung.

3
Bab III
CIRI-CIRI POLA BUDAYA MASYARAKAT HUTAN

A. Pendahuluan

Bab ini akan membahas tentang ciri-ciri pola budaya masyarakat pedesaan hutan yang mencakup
pengertian tentang masyarakat hutan, tipologi masyarakat hutan, budaya masyarakat peladang, dan
budaya mencari hasil hutan.

B. Masyarakat Hutan

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama pada suatu wilayah geografis tertentu
sehingga memiliki budaya yang sama dan dapat bertindak secara terintegrasi dalam mencapai tujuan
kolektif (bangsa, kampung, dll). Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang dalam bersikap, berpikir
dan bertindak selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun.
Masyarakat hutan adalah sekelompok orang, baik yang disebut masyarakat adat maupun pendatang
(baik sedaerah ataupun luar daerah) yang telah turun temurun bertempat tinggal (menetap lebih dari 10
tahun) didalam dan sekitar hutan sehingga memiliki keterkaitan kehidupan dan pendapatan bersama
atas hasil hutan dan atau lahan hutan.

C. Tipologi Masyarakat Hutan

1. Menurut Von Maydell (1989) masyarakat lokal dibedakan atas 2 kelompok :


a. Pemburu (hunters) dan peramu (gatherers) hasil hutan atau diistilahkan juga dengan penghuni
hutan (forest dwllers)
b. Para petani sekitar hutan (forest farmers) yang pada umumnya merupakan penduduk desa sekitar
hutan (forest surrounding villagers)
2. Berdasarkan perkembangan sosek (Awang, 1993)
a. Masyarakat terisoler yaitu mereka yang tinggal di wilayah terisolir (remote areas), biasanya
wilayah geografis perbukitan, lembah-lembah atau tepi sungai, merupakan kelompok adat yang
berbeda ditempat asalnya sehingga bersifat homogen dan hukum adat masih diberlakukan
(termasuk tanah adat yang dihormati bersama), kebutuhan hidup utamanya berasal dari hutan
memiliki teknologi usaha tani berladang.
b. Masyarakat baru yang transisi, yaitu mereka yang mencoba merubah kehidupan penghidupan
kearah yang lebih baik dengan datang dan atau tinggal pada wilayah-wilayah yang relatif terbuka
seperti di tepi jalan atau pusat kegiatan (base camp) HPH. Merupakan kelompok yang relatif
heterogen, mulai memiliki akses pasar dan mengembangkan tanaman keras yang niagawi (karet,
buah-buahan, dan palawija), tetapi memungut hasil hutan nonkayu masih berperan penting
dalam menambah pendapatan keluarga.
c. Masyarakat yang menetap yaitu yang telah tinggal pada suatu kampung (termasuk kampung tua
yang dibentuk nenek moyang) pada wilayah-wilayah yang memiliki akses lebih luas terhadap
kehidupan diluar dan oleh karenanya lebih berkembang dibanding kelompok terisolir dan transisi.
Pendapatannya bergantung utama pada berbagai pola penggunaan lahan dan aktivitas produksi
(perikanan, pertanian sawah dan ladang sekaligus). Walau demikian kebutuhan hidup sehari-hari
masih tergantung dari sumber daya hutan (kayu pertukangan, rotan, obat tradisional).
3. Menurut sejarah dan struktur sosial (Ngo, 1999)
a. Kelompok yang berlatar belakang budaya berburu dan mengumpulkan hasil hutan nir-kayu, yang
terkait dalam kelompok-kelompok kecil (band) dan struktur kepemimpinan didasarkan pada
senioritas dan kecakapan (Contoh : orang Bukat dan Punam)
b. Kelompok yang berlatar belakang budaya perladangan gilir balik lahan kering dan perbukitan yang
terkait dengan rumah panjang dengan struktur kepemimpinan yang egaliter dan demokratis
(Contoh : orang Iban, Kantu’, Mualang, Siberuang, Bidayuh, dll)
c. Kelompok yang berlatar belakang budaya perladangan gilir balik lahan kering dan basah serta
terkait dengan rumah panjang dan pernah mengenal sistem pelapisan sosial yang ketat (Contoh :
orang Kayan, Kenyah, Modang, Melanau, Tamanbaloh/Banuaka’)

4
d. Kelompok yang berlatar belakang budaya perladangan gilir balik lahan kering dan basah serta
terkait dengan rumah panjang, memiliki ciri-ciri campuran antara egaliter dan sistem pelapisan
sosial serta mengenal tradisi penguburan kedua melalui pembakaran tulang belulang para leluhur
(Contoh : orang Ot Danum, Ngaju, Ma’anyan, Bentian, dll)
4. Berdasarkan hubungan dengan sumber daya (Djatmiko, 1999)
a. Masyarakat penghuni hutan (forest dwellers)
b. Masyarakat adat pengelola hutan (indigeous people)
c. Masyarakat pemilik hutan (forest owners)
d. Masyarakat lokal sekitar hutan (local communties)

D. Manfaat Hutan bagi Masyarakat

Fungsi hutan baik untuk aspek ekonomi maupun aspek perlindungan akan dimanfaatkan oleh
masyarakat sesuai dengan nilai dan kebutuhan setiap golongan masyarakat terhadap komoditas yang
ditawarkan. Misalnya untuk aspek ekonomi komoditas yang ditawarkan oleh hutan dapat berupa pakan
ternak, pangan, daun, getah, buah, kayu bakar, kayu pertukangan, air bersih dan sebagainya. Pembagian
manfaat ekonomi bagi para pihak harus dapat dialokasikan secara adil dan demokratis.
Sumberdaya hutan (SDH) Indonesia menghasilkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan pada
tingkatan lokal, nasional maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas manfaat nyata yang terukur
(tangible) berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu serta manfaat tidak terukur (intangible) berupa
manfaat perlindungan lingkungan, keragaman genetik dan lain-lain.
Pemanfaatan kayu yang dimulai pada tahun 1967 yang didorong dengan diterbitkannya undang-
undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), telah
menempatkan sektor kehutanan sebagai penggerak ekonomi nasional. Indonesia telah merebut pasar
ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor kayu bulat/log. Penerimaan negara dari sektor
kehutanan yang berasal dari dana reboisasi (DR), provisi sumber daya hutan (PSDH), iuran hak
pengusaha hutan (IHPH) termasuk hutan tanaman industri (HTI), ekspor satwa, denda pelanggaran,
pungutan pariwisata alam pada tahun 1999 mencapai Rp 3,3 trilyun. Kondisi penerimaan tersebut
menurun menjadi Rp 2,72 trilyun pada tahun 2003 sejalan dengan pengurangan jatah tebangan dari
hutan alam, termasuk penurunan luasan areal pemanfaatan hasil hutan kayu.

E. Budaya Tani Ladang Berpindah (Studi Kasus pada Masyarakat Tradisional)

Tipe perladangan yang dilakukan oleh masyarakat Bukit adalah tipe perladangan semi permanen
yakni selain mempunyai tempat tinggal di desa, mereka juga memiliki pondok tempat tinggal selama
berladang. Syarat-syarat tradisional bersifat sakral yang mereka lakukan sebelum maupun pada saat
penentuan lokasi lahan terlebih dahulu mereka baaruh. Baaruh adalah suatu kegiatan upacara adat.
Menebas dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus dengan cara baarin (gotong royong).

F. Budaya Mencari Hasil Hutan

1. Berburu dan Mencari Rotan


Pada umumnya masyarakat Bukit melakukan perburuan terhadap hewan sebagai usaha atau
kegiatan sampingan selain mengelola ladang. Sementara itu dalam mencari rotan masyarakat
mencarinya di dalam himba (hutan lebat) atau dari bekas ladang yang mereka tinggalkan.
2. Mencari Buah dan Memungut Madu
Hak pengambilan atau pencarian buah-buahan di hutan oleh masyarakat Bukit hanya terbatas di atas
lokasi lahan tanah perorangan/keluarga sendiri atau yang diperoleh dari warisan orang tua.
Meskipun begitu memungut buah dapat dilakukan pada kawasan hutan adat. Mencari dan
memungut madu dilakukan setahun sekali ketika musim madu tiba. Kedatangan lebah madu bisa
juga ditandai dengan datangnya musim berbunga jagung, padi, dan pohon buah-buahan.
3. Mencari Bahan Ramuan Rumah dan Ikan
Mencari bahan ramuan rumah biasanya mereka dapatkan dari hutan adat/ulayati. Mencari ikan
mereka lakukan di sepanjang sungai dan rawa dengan peralatan yang sederhana sepeti pancing, jala,
lukah.

5
Bab IV
ADAPTASI BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP LINGKUNGAN

A. Pendahuluan

Bab ini akan membahas tentang konsep adaptasi budaya masyarakat pedesaan hutan terhadap
lingkungan, teori tindakan rasional, dan kajian empirik terkait dengan adaptasi budaya masyarakat
dalam pengelolaan hutan.

Konsep Adaptasi Budaya terhadap Lingkungan

Adaptasi manusia telah banyak menarik perhatian para ilmuwan untuk diteliti. Dengan menelaah
involusi sosial budaya sebagai bentuk adaptasi manusia (Gunawan, 2001; Susilo , 2004; Suyadna,
2005:58), serta Koentjaraningrat (1987) mengandung pemahaman bahwa manusia oleh Tuhan sebagai
penciptanya dianugerahi empat daya yaitu: (a) daya tubuh yang menjadikan manusia memiliki kekuatan
fisik (organ tubuh dan panca indera); (b) daya hidup yang menjadikan manusia memiliki kemampuan
untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya
dalam menghadapi tantangan; (c) daya akal yang menyebabkan manusia memungkinkan memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi; (d) daya kalbu yang memungkinkan manusia memiliki moral , merasakan
keindahan dan lainnya.
Pada prinsipnya adaptasi merupakan proses penyesuaian diri manusia (sebagai bagian dari sistem
sosial) untuk merespon terhadap perubahan-perubahan di sekelilingnya termasuk lingkungan fisik dan
sosial budayanya. Adaptasi dapat diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan
lingkungannya. Lingkungan dalam hal ini dapat membuahkan dampak-dampak yang berbeda ragamnya
terhadap berbagai taraf perkembangan sosiokultural dan sosioekonomis suatu masyarakat.

B. Teori Tindakan Rasional

Tipe tindakan rasional :


1. Zwerkrational (tindakan rasionalitas instrumental). Tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan tujuan dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.
2. Werktrational action (tindakan rasionalitas tujuan). Tindakan yang melihat alat-alat hanya sekedar
pertimbangan dan perhitungan yang sadar sebab tujuan yang terkait dengan nilai-nilai sudah
ditentukan.
3. Affectual action (tindakan dibuat-buat). Tindakan yang dilakukan dan didominasi oleh perasaan atau
emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar.
4. Traditional action (tindakan atas dasar kebiasaan). Tindakan yang dilakukan berdasarkan kebiasaan
tanpa perencanaan, tanpa refleksi yang sadar.

C. Kajian Empirik terkait Adaptasi Budaya Masyarakat

Awang (2005:418-425) melakukan penelitian di kawasan hutan lindung Gunung Betung Provinsi
Lampung dengan menggunakan perspektif penelitian sosiologi pengetahuan dengan pendekatan
fenomenologi . Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada dominasi pengetahuan yang diciptakan oleh
negara/pemerintah tentang hutan dan deforestasi, dan pengetahuan ini “dipaksakan” untuk dipahami,
diikuti dan dilaksanakan oleh masyarakat. Proses deforestasi telah menghasilkan stratifikasi sosial di
desa-desa penelitian seperti kelompok masyarakat yang melawan kebijakan pemerintah, masyarakat
yang menghindari kegiatan pemerintah, dan masyarakat yang berkolaborasi dengan pemerintah.
Terjadinya adaptasi oleh masyarakat terhadap lingkungan yang berubah, termasuk aspek sosial
budaya seperti sistem ekonomi (mata pencaharian) dan sistem teknologi. Selain itu, kebijakan
pemerintah seperti terhadap pembangunan masyarakat terutama yang tinggal di pedesaan juga dapat
mempengaruhi kehidupan sosial budaya mereka.

6
Bab V
SISTEM HUTAN KERAKYATAN

A. Pendahuluan

Bab ini akan membahas tentang Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) yang mencakup SHK sebagai
alternatif pengelolaan hutan, pengertian dan prinsip hutan kerakyatan, latar belakang munculnya sistem
hutan kerakyatan, Gerakan Hutan Kerakyatan di Indonesia, Peran Pemerintah dalam pengembangan
hutan kerakyatan dan isu-isu strategis dalam pengembangan Hutan Kerakyatan.

B. Sistem Hutan Kerakyatan sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan

Sonja Vermeulen (2001) memberikan gambaran pengertian community forestry dari persepsi para
pihak. Dari sisi pemerintah, community forestry adalah sistem kehutanan yang didesain dan diterapkan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, rumah tangga dan lingkungan lokal dan untuk
mengembangkan ekonomi lokal. Dari sisi peneliti, community forestry berbasis pada penguasaan lokal
atas, dan pemanfaatan keuntungan dari sumberdaya hutan lokal. Keuntungan itu bukan semata bersifat
moneter dan bukan pula semata dari produksi kayu, namun dapat bervariasi menurut banyaknya nilai
manfaat yang bisa didapat dari ekosistem hutan, termasuk nilai-nilai kultural, spiritual, sosial, kesehatan,
ekologis, rekreasional, estetika dan ekonomi. Dari sisi definisi lokal pengelolaan masyarakat atas hutan
telah mengubah konsep kehidupan masyarakat.

C. Pengertian dan Prinsip Sistem Hutan Kerakyatan

Sebelum memahami pengertian SHK, kiranya perlu diungkapkan beberapa masalah kehutanan yang
menjadi keprihatinan yang berkaitan erat dengan lahirnya istilah SHK. Masalah-masalah kehutanan
tersebut meliputi :
- Sejarah ekploitasi hutan telah menyebabkan ketidakadilan dan kerusakan lingkungan hidup yang
mengancam masa depan manusia.
- Rakyat setempat semakin lemah dalam mengontrol sumber-sumber agraria khususnya yang
berkaitan dengan sumber daya hutan.
- Pemerintah menganggap bahwa hutan tidak ada pemiliknya, karenanya secara sepihak
diklaim/diakui sebagai kawasan negara.
- Pengelolaan bidang-bidang hutan oleh masyarakat lokal/masyarakat adat selalu dianggap sebagai
penyebab kerusakan hutan.
- Pengetahuan-pengetahuan lokal dan kearifan tradisional selalu dinilai tidak ilmiah, khususnya yang
berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan.
- Pengetahuan-pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan terancam punah karena
sumber pengetahuan mereka (berupa hutan, sungai, bukit, dll) dihancurkan secara sistematik oleh
kebijaksanaan negara dan hanya tinggal segelintir orang dari komunitas tersebut yang menguasai
pengetahuan tersebut.
Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) mempunyai sifat yang unik dan khas yang berbeda dari suatu
wilayah ke wilayah yang lain. Di masing-masing tempat kita temukan SHK mempunyai nama lokal yang
berbeda-beda, misalnya di Kalimantan Barat : tembawang, repong (Krui, Lampung), Simpungk
(Kalimantan Timur), Dukuh (Kalimantan Selatan) dan sebagainya. Terdapat 9 prinsip yang terkandung
dalam SHK yaitu :
1. Aktor utama pengelola adalah rakyat (masyarakat lokal, masyarakat adat);
2. Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan, dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan;
3. Memiliki wilayah/teritori yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang medukungnya;
4. Interaksi antara masyarakat dan lingkungannya dalam konteks SHK bersifat langsung dan erat;
5. Pengetahuan lokal (indegenous knowledge) menempati posisi yang penting dan melandasi
kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan. Disisi lain pengetahuan moderen dapat memperkaya
dan mengembangkan SHK setelah melalui proses penyesuaian dengan situasi dan kondisi lokal;
6. Teknologi yang dipergunakan – jika bukan teknologi lokal – telah melalui proses adaptasi dan berada
dalam batas-batas yang dikuasi rakyat;
7. Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip-prinsip kelestarian (sustainability);
8. Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama

7
9. Keanekaragaman hayati menjadi dasar dalam berbagai bidang baik dalam jenis dan genetis; pola
budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem ekonomidan lain sebagainya.

D. Latar Belakang Muncul Konsep SHK di Indonesia

Sejak tahun 1980-an ornop gencar mengkampanyekan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat
lokal dalam pengelolaan hutan. Pada tahun 1993, beberapa aktivis ornop dari berbagai daerah yang
bergiat di bidang pemberdayaan masyarakat adat, masyarakat transmigrasi, pengelolaan kawasan
konservasi, pengelolaan sumber daya alam di dalam dan di luar kawasan konservasi dan lain-lain
berkumpul dan mendiskusikan hasil temuan mereka mengenai pola-pola pengelolaan hutan yang
berbasis pada pengetahuan masyarakat setempat yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.
Keberadaan pola-pola tradisional tersebut terancam oleh kehadiran berbagai aktivitas pembangunan
seperti HPH, HTI, transmigrasi, perkebunan besar, dan pertambangan. Menyikapi hal tersebut para
aktivis ornop menggagas konsep SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) dari pola-pola pengelolaan sumberdaya
alam berbasis masyarakat yang telah hidup dan berkembang secara lestari. Konsep SHK dikembangkan
sebagai antitesis terhadap konsep negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang telah terbukti
mengakibatkan kerusakan hutan dan marginalisasi rakyat.

E. Gerakan Hutan Kerakyatan di Indonesia

Community Forestry di Indonesia sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan masih
merupakan gagasan baru dan konsep-konsep tentang community forestry masih dalam proses evolusi.
Terdapat gerakan-gerakan yang dapat dilihat dari aktor-aktor yang terlibat dalam gerakan community
forestry, pertama masyarakat melalui aksi meminta haknya kembali atas kawasan hutan yang
menggunakan sistem pengelolaan hutan secara tradisionil; kedua kelompok pemerhati yang mempunyai
komitmen pada kehidupan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di
sekitar hutan. Kelompok ini terdiri dari (1) kelompok pemerhati nonpemerintah dan (2) kelompok
pemerhati didalam tubuh organisasi pemerintah; dan ketiga adalah Pemerintah (melalui kebijakan) yang
sudah mulai bergerak di tingkat retorik dan beberapa kegiatan sebagai langkah awal tetapi belum
memastikan akses dan hak masyarakat terhadap hutan dan masih belum mengakui, menerima dan
menjamin keberlanjutan sistem pengelolaan hutan secara tradisionil.

F. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Hutan Kerakyatan

Perkembangan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan dimulai dengan kebijakan yang mencoba memberi peluang masyarakat diakui dan diperhatikan
keberadaannya. Didahului oleh SK HPH Bina Desa Hutan tahun 1991 dan selanjutnya berkembang
kebijakan yang berkaitan dengan Hutan Rakyat; Perhutanan Sosial; Pembinaan Masyarakat Desa Hutan
(perubahan dari HPH Bina Desa Hutan); perkembangan Pengelolaan Hutan Produksi oleh Masyarakat
Tradisionil (PHPMT) dan Hutan Kemasyarakatan (HKM), serta kebijakan yang membuka peluang kearah
dukungan dan pengakuan sistem pengelolaan masyarakat tradisionil yaitu KDTI untuk Krui Lampung.
Program HKM yang saat ini menjadi pendekatan untuk menunjukkan perubahan paradigma Pemerintah
dalam pembangunan kehutanan untuk mensejahterakan dan meningkatkan peran serta masyarakat.
Pengembangan program ini merupakan salah satu peluang bagi gerakan community forestry, untuk
menyempurnakan pendekatan ini bersama dengan masyarakat sebagai satu opsi untuk pengelolaan
hutan.

G. Isu-isu Strategis bagi Gerakan Community Forestry

Banyak sekali isu-isu yang sebaiknya mendapat perhatian oleh semua aktor dalam gerakan
community forestry diantaranya adalah isu-isu kebijakan yang berkaitan secara langsung maupun tidak
langsung pada gerakan. Isu-isu kebijakan yang tarik menarik antar sektoral pada kebijakan untuk
menyusun paduserasi tata ruang wilayah; isu desentralisasi; perumusan Rancangan Undang Undang dan
beberapa kebijakan lokal daerah yang sentralistik dan sektoral.

8
Bab VI
PENGETAHUAN DAN KEARIFAN EKOLOGI LOKAL DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA HUTAN

A. Pendahuluan

Pada bab ini akan dibahas tentang pengetahuan dan kearifan ekologi lokal dalam pengelolaan
sumberdaya hutan.

B. Membangun Dengan Pengetahuan Dan Kearifan Lokal

Pada dasarnya kearifan tradisional merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan


pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan
lingkungan yang ada di sekitarnya dan bisa mencakup generasi yang berbeda. Kearifan tradisional ini
merupakan sumberdaya yang berharga untuk kegiatan-kegiatan pembangunan karena merupakan :
- Dasar kemandirian dan keswadayaan
- Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan
- Menjamin daya hidup dan keberlanjutan
- Mendorong penggunaan teknologi tepat guna
- Menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya
- Memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan
pembangunan yang sesuai, dll.
Kearifan lokal sering diidentikkan dengan local wisdom, atau yang lebih tepat local knowledge.
Dalam hal ini yang dipentingkan adalah bagaimana kearifan lokal dapat memberikan kebermanfaatan
yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal seluas-luasnya yang menjadi pendukung kebudayaan
setempat.

C. Ciri-Ciri Pengetahuan Ekologi Lokal

Ciri-ciri pengetahuan ekologi lokal adalah :


- Bersifat kualitatif
- Evolusioner
- Penjelasan dengan logika ekologis yang dikembangkan melalui pengamatan dan uji coba
- Bersifat interdisiplin dan holistik
- Dibatasi oleh kemampuan pengamatan
- Tingkat kecanggihannya beragam tergantung pengalaman
- Mungkin detail tapi masih ada celah dan kadang-kadang bertentangan
- Keteraturan prinsip dan konsep dasar lintas agroekosistem yang serupa
- Komplemen terhadap pengetahuan ilmiah
- Pada banyak kasus dapat dipisahkan dari kekhususan budaya

D. Keterbatasan Pengetahuan Indigenous (Lokal)

Penyebaran pengetahuan tidak merata dan tidak ada dokumentasi sistematis. Pengetahuan lokal
tidak tersebar secara merata dalam masyarakat. Sikap setiap individu dalam menyimpan pengetahuan
tradisional dan kemampuan dalam menghasilkan pengetahuan baru juga berbeda. Masing-masing
individu menguasai hanya sebagian dari pengetahuan lokal masyarakat. Pengetahuan-pengetahuan
yang bersifat khusus seringkali dirahasiakan dan hanya dikuasai oleh kalangan terbatas seperti tokoh
masyarakat sudah tua, dukun dan tetua lainnya. Pada banyak kasus petani tidak mendokumentasikan
pengetahuannya sehingga tidak mudah untuk diakses oleh orang diluar lingkungan masyarakat tersebut.
Tambahan pula pengetahuan lokal ini seringkali sulit terdeteksi karena sudah demikian menyatu dalam
praktek bertani mereka.
Seringkali pengetahuan tertentu yang sangat spesifik menyatu demikian erat dengan peran
ekonomi dan budaya seseorang didalam masyarakat dan mungkin tidak diketahui oleh anggota
masyarakat lainnya. Dengan demikian setiap individu atau kelompok yang berbeda mempunyai jenis
pengetahuan yang berbeda tergantung peran sosio-ekonomi mereka didalam masyarakat, sehingga
semakin beragam masyarakat tersebut semakin beragam pula pengetahuan diantara anggotanya.

9
Pengetahuan petani umumnya terbatas pada apa yang dapat mereka rasakan secara langsung, biasanya
melalui pengamatan dan apa yang dapat dipahami berdasarkan konsep dan logika mereka.

E. Bentuk Nyata Kearifan Tradisional Masyarakat Lokal

Di Indonesia berbagai jenis sistem pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarkan kearifan
tradisional sangat banyak ragamnya. Bentuk yang bisa kita lihat misalnya bagaimana masyarakat lokal
mengelola hutan. Bagi masyarakat, hutan dan segala isinya bukanlah hanya sekedar komoditi dari segi
ekonomi saja, melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan, dimana hutan memiliki nilai magis dan
kepercayaan yang mereka pegang teguh. Sebagai contoh adalah :
1. Pengelolaan hutan Kandea (Wakatobi, Sulawesi Tenggara)
Kaindea merupakan hutan yang sengaja ditanam oleh masyarakat adat sebagai tempat pemenuhan
kebutuhan pangan masyarakat jika terjadi kondisi paceklik, penguatan hubungan sosial dan berfungsi
lindung. Solum tanahnya sangat dalam dan berwarna hitam.
2. Kearifan masyarakat Mee (Papua) menahan laju deforestasi
Mayarakat adat Papua memiliki kearifan tradisional yang berfungsi sebagai benteng pertahanan alam
sekitar mereka. Setidaknya meskipun laju kerusakan hutan terus terjadi di Papua, namun melalui
kearifan tradisonal ini orang Mee telah sejak dulu paham untuk menahan laju deforestasi.
3. Tata kelola gambut berbasis kearifan masyarakat Dayak (Kalimantan Tengah)
Tata kelola gambut berbasis kearifan lokal dimiliki masyarakat secara turun temurun, mulai dari
pengelolaan tanah, hutan, air, sungai, danau, beje dan pengetahuan lokal lainnya yang mendukung
aktivitas masyarakat dalam kegiatan pertanian, perkebunan, perladangan, perikanan dan kehutanan
yaitu melalui ilmu ramal dengan media hubungan melewati ciri-ciri pada binatang, pohon atau
tumbuhan, bintang, bulan dan sebagainya.
4. Kearifan masyarakat Dayak Meratus (Kalsel) mengelola sumberdaya hutan
Terdapat lima prinsip dasar dalam budaya yang terpatri dalam pengetahuan dan kearifan lokal yaitu
keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, subsisten dan kepatuhan kepada hukum adat.

F. Rangkuman
1. Kearifan radisional ini merupakan sumberdaya yang berharga untuk kegiatan-kegiatan pembangunan
karena merupakan :
- Dasar kemandirian dan keswadayaan
- Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan
- Menjamin daya hidup dan keberlanjutan
- Mendorong penggunaan teknologi tepat guna
- Menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya
- Memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan
pembangunan yang sesuai
2. Ciri-ciri pengetahuan ekologi lokal adalah :
- Bersifat kualitatif
- Evolusioner
- Penjelasan dengan logika ekologis – yang dikembangkan melalui pengamatan dan uji coba
- Bersifat interdisiplin dan holistik
- Dibatasi oleh kemampuan pengamatan
- Tingkat kecanggihannya beragam tergantung pengalaman
- Mungkin detail tapi masih ada celah dan kadang-kadang bertentangan
- Keteraturan prinsip dan konsep dasar lintas agroekosistem yang serupa
- Komplemen terhadap pengetahuan ilmiah
3. Seperti halnya pengetahuan ilmiah, pengetahuan indigenous pun mempunyai beberapa keterbatasan
akibat lemahnya pendokumentasian, banyak tradisi dan pengetahuan lokal bertani masa lalu yang
telah mereka ‘simpan’ hilang begitu saja. Adanya intrusi teknologi, pendidikan, kepercayaan dan nilai
dari luar, seringkali menyebabkan terjadinya marginalisasi baik pengetahuan petani maupun cara
penyebarannya. Dengan hilangnya pengetahuan indigenous maka hilang pula praktek indigenous,
spesies tanaman indigenous, maupun alat-alat yang mereka ciptakan secara indigenous.

10
Bab VII
PENGELOLAAN HUTAN ADAT

A. Pendahuluan

Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-
komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian
dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Ada beberapa alasan
tentang betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dimasa depan, yaitu:
- Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk
melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan
mereka.
- Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumber daya
hutan yang ada di dalam habitat mereka.
- Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan.
- Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka
dengan ekosistem hutannya.
- Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun
solidaritas diantara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan
politis dan teknis dari pihak-pihak luar,
- Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 dan diatur dalam beberapa instrumen internasional yang
mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal
usul, menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen).

B. Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat

Ada 2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat
yaitu karena sifatnya, merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan
yang bagaimanapun juga masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih
menguntungkan. Karena fakta, yatu suatu kenyataan bahwa tanah :
1. Merupakan tempat tinggal persekutuan
2. Memberikan penghidupan pada persekutuan
3. Merupakan tempat dimana warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan
4. Merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur
persekutuan

C. Hak-Hak Masyarakat Adat

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menetapkan hak masyarakat adat di hutan negara sebagai berikut :
1. Memungut hasil hutan untuk pemenuhan hidup sehari-hari
2. Mengelola hutan sesuai hukum adat yang berlaku bila tidak bertentangan dengan undang-undang
3. Mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan

Adapun hak masyarakat adat atas hutan adat menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 itu
sebenarnya sangat terbatas :
1. Hak atas hutan adat hanyalah hak pakai
2. Hak pakai ini dibatasi oleh hak negara melaksanakan pembangunan dan hak hutan untuk dilestarikan
3. Hak atas hutan adat diberikan oleh pemerintah dan dapat ditarik oleh pemerintah sehingga tidak ada
kepastian hukum
4. Urusan memperoleh hak atas hutan adat tidak mudah karena meliputi usaha membuktikan diri
sebagai masyarakat adat

Pemerintah Pusat juga beranggapan bahwa hak atas hutan hanya meliputi sebagian kawasan hutan
yang ditetapkan sebagai hutan adat. Karena itu pula, pemerintah ingin menetapkan hutan adat dengan
batas-batas yang pasti. Ketentuan mengenai penentuan hutan adat dan pengesahan hak masyarakat
adat diharapkan diatur melalui peraturan pemerintah.

11
D. Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak yang mereka miliki secara konstitusional sudah
diakui secara tegas dalam Perubahan Kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945
menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menetapkan hak masyarakat adat atas sumber daya hutan.
Untuk memberikan fondasi hukum yang lebih kuat kepada masyarakat adat dalam mengelola hutan
adat sebaiknya bentuk pilihan hukum pengukuhan hutan adat tersebut harus berupa Perda
sebagaimana digariskan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999.

E. Pengakuan Terhadap Hutan Adat

Status kawasan hutan sangat diperlukan oleh pemegang HPH/HPHTI dan juga masyarakat untuk
memberi jaminan keamanan berusaha. Saat ini status kawasan hutan menjadi salah satu sumber konflik
sosial di lapangan. Selain itu sistem tenurial (kepemilikan lahan) hutan masyarakat menjadi salah satu
poin yang dinilai dalam sertifikasi, yaitu batas antara kawasan konsesi dengan kawasan komunitas harus
terdelineasi secara jelas. Untuk memantapkan status kawasan hutan secara hukum dan fakta lapangan
yang akan dikelola oleh pengusaha pemegang HPH, pemerintah perlu melakukan inventarisasi dan
penataan ulang batas-batas kawasan hutan negara dengan hutan adat, private land. Kendala yang
dihadapi saat ini adalah masalah keuangan dan sumber daya manusianya.
Apabila Pemerintah telah mengakui hak adat ini, pengusaha langsung bernegosiasi dan bermitra
dengan masyarakat adat yang memiliki hutan. Pengusaha hanya berkewajiban membayar fee produksi
kepada pemerintah. Untuk memantapkan status kawasan hutan secara hukum dan fakta lapangan yang
akan dikelola oleh pengusaha pemegang HPH, pemerintah perlu melakukan inventarisasi dan penataan
ulang batas-batas kawasan hutan negara dengan hutan adat, dan private land. Secara riil bentuk
pengakuan Pemerintah Daerah terhadap hak-hak pengelolaan masyarakat adat telah diberikan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten yang ada di Provinsi Jambi seperti Bungo dan Merangin.

F. Proses Perolehan Hak Mengelola Hutan Adat

Saat ini pemerintah pusat sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai
hutan adat yang mengatur hak pengelolaan hutan adat. Proses yang diusulkan dalam RPP Hutan Adat
tersebut. Satu syaratnya adalah keberadaan masyarakat adat mendasar adalah bahwa masyarakat adat
harus terbukti ada. Pembuktian ini harus dilakukan oleh pihak lain yang ditetapkan pemerintah. Setelah
keberadaan masyarakat lalu diakui dengan Perda, masyarakat adat tidak langsung memperoleh haknya,
tetapi masyarakat adat masih diharuskan terlebih dahulu membuat perencanaan terinci termasuk
penatagunaan dan rencana pengolahan.

G. Sertifikasi Hutan Lestari : Pengalaman Pengelolaan Hutan Adat

Pada tanggal 7 Agustus 2008 sebuah komunitas masyarakat adat di Kalimantan Barat menerima
pengukuhan pengakuan atas upaya dan perjuangannya dalam mengelola hutan adat. Pengakuan itu
diwujudkan dalam sebuah Sertifikat Ekolabel Indonesia. Secara umum kriteria dan indikator penilaian
(Aspek Ekologi, Sosial dan Produksi) atas pengelolaan hutan adat Iban Menua Sungai Utik memenuhi
syarat ideal untuk memperoleh sertifikat ekolabel, meskipun secara bertahap masih harus dilakukan
perbaikan kelembagaan dalam unit manajemennya. Pemberian sertifikat ini merupakan hal yang
membanggakan dan harus dijadikan contoh solusi untuk mencegah berlanjutnya penghancuran hutan di
Indonesia.

12
Bab VIII
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

A. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di desa yang secara administratif dan
ekologis berada dan atau berbatasan langsung dengan hutan. Perhutani (1999) mendefinisikan bahwa
masyarakat desa hutan adalah orang-orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan
kegiatan yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya.
Pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber
daya untuk memenuhi kebutuhannya. Secara umum pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai
upaya untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan suatu komunitas untuk mampu berbuat
sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya
selaku anggota masyarakat. Dengan adanya pemberdayaan diharapkan masyarakat memiliki budaya
yang proaktif untuk kemajuan bersama, mengenal diri dan lingkungannya serta memiliki sikap
bertanggung jawab dan memposisikan dirinya sebagai subjek dalam upaya pembangunan di
lingkungannya.

B. Siklus dan Proses Pemberdayaan Masyarakat

Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
yang mandiri :
1. Membangun kedekatan : kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam
melakukan pendampingan
2. Membangun pertemanan : dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan
pendamping.
3. Membangun kepercayaan : membangun kepercayaan sangat penting karena rasa saling percaya
merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat.
4. Membangun keterbukaan : keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi,
keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada.
5. Membangun kerjasama : pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping
memikirkan perlunya membangun kerjasama.
6. Membangun kelompok : pembentukan kelompok-kelompok dimaksudkan agar kerjasama diantara
anggota kelompok akan menjadi lebih efektif dan efisien.
7. Membangun kelembagaan : kelembagaan merupakan kelanjutan dari kelompok yang telah
dilengkapi dengan pranata-pranata atau aturan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok.

C. Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat

Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap yaitu: (1)
tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang
bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan
berupa wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan keterampilan agar dapat mengambil peran
didalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan keterampilan
sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberdayaan Masyarakat

1. Pelaku Pemberdayaan
Pelaku pemberdayaan diharapkan memiliki kemampuan, sikap dan keterampilan yang memadai
dalam mendampingi, membina dan mengarahkan masyarakat dalam menjalankan program-program
yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan pembebasan masyarakat dari belenggu
ketidakberdayaan dan kemiskinan.
2. Proses Pemberdayaan
Keterlibatan masyarakat pada seluruh proses pemberdayaan harus mendapat perhatian yang serius
yaitu mulai dari identifikasi masalah, potensi dan kelompok-kelompok strategis, perencanaan
kegiatan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi kegiatan.

13
3. Masyarakat yang Diberdayakan
Masyarakat berdaya pada hakekatnya adalah masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri
dengan mengoptimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu agar masyarakat
berdaya harus memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berinovasi dalam
dimensi politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan.

E. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat

Evaluasi pemberdayaan didefinisikan sebagai pendekatan evaluasi yang mengarah pada upaya
meningkatkan kemungkinan pencapaian keberhasilan program pemberdayaan yang lebih baik.
1. Prinsip Evaluasi Pemberdayaan
Fetterman menyampaikan 10 prinsip-prinsip dalam evaluasi pemberdayaan adalah sebagai berikut :
Improvement (peningkatan), Community ownership (kepemilikan komunitas), Inclusion (inklusi),
Democratic participation (partisipasi demokrasi), Social justice (keadilan sosial), Community
knowledge (tingkat pengetahuan komunitas), Evidence-based strategies (strategi berbasis alasan),
Capacity building (pengembangan kapasitas), Organizational learning (pembelajaran organisasi) dan
Accountability (akuntabilitas).

2. Model Evaluasi Pemberdayaan Fujikake


Fujikake (2008) mengembangkan empat langkah dalam mengevaluasi pemberdayaan. Tahap
pertama adalah melihat perubahan masyarakat dari tingkat kesadarannya. Tahap kedua adalah
menilai tanggapan masyarakat dan praktik pemberdayaan yang didasarkan pada penilaian terhadap
12 indikator yang merupakan sub-project dari proses pemberdayaan itu sendiri. Tahap ketiga berupa
mengelompokkan dan menghubungkan antar indikator yang telah dianalisis pada tahap sebelumnya.
Tahap keempat adalah mengukur tingkatan pencapaian pemberdayaan itu sendiri, apakah pengaruh
dari proses pemberdayaan itu hanya pada tataran lokal, regional atau nasional.

F. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan

Konsepsi peningkatan peran dan peluang bagi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan antara
lain melalui :
- Penerapan pola kemitraan antara masyarakat, pengusaha kecil, dan pengusaha besar (HPH,
HPHTI/BUMN/BUMD) dengan posisi transaksi yang adil dan seimbang.
- Penciptaan dan pengembangan model-model pemberdayaan ekonomi masyarakat. Model-model
tersebut seperti pengembangan hutan rakyat, hutan kemasyarakatan (HKM), penghijauan,
rehabilitasi hutan dan lahan, pengembangan kawasan penyangga (buffer zone), Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan lain-lain.

G. Pemanasan Global, Kelestarian Hutan & Pemberdayaan Masyarakat Hutan

Dampak iklim global akan mengakibatkan perubahan tatanan hutan pada suatu wilayah. Dalam
kaitannya dengan pelestarian hutan dan atau kawasan hijau di wilayah perdesaan hutan, yang dinilai
mampu sebagai pengendali dan pencegah terhadap pemanasan global, partisipasi masyarakat perlu
digalang dan dipacu untuk ikut serta dalam pelestariannya. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam
pemberdayaan masyarakat meliputi :
1. Aspek kesadaran pentingnya hutan (kawasan hijau) sebagai salah satu penyangga kenyamanan
lingkungan hidup;
2. Aspek peningkatan pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan multiguna peranan fungsi
hutan (kawasan hijau);
3. Aspek ekonomi, memberikan informasi dan peluang untuk bekerja dan berusaha pada sektor
perhutanan;
4. Aspek sosial, dimana hutan merupakan bagian hidup bagi masyarakat, karena produk oksigen dari
pepohonan hutan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap insan kehidupan;
5. Aspek pengaman, dimana hutan (kawasan hijau) merupakan kawasan penyangga baik terhadap
kesuburan tanah, air dan kehidupan satwa liar.

14
Bab IX
PERENCANAAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN SOSIAL

A. Pendahuluan

Pengelolaan hutan berhadapan dengan ketidakpastian yang besar karena wilayah kerja yang luas,
jangka waktu berproduksi yang panjang dan jenis tanaman yang berkaitan dengan pemanfaatan hasilnya
untuk tujuan tertentu. Karena hal itu maka perencanaan merupakan kegiatan yang sangat penting di
kehutanan agar ketidakpastian dapat diperkecil. Lima kegiatan pengelolaan hutan yaitu pembangunan,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan hasil dan pemasaran yang menjamin kelestarian, yang semula
merupakan hasil kerja terus menerus rimbawan Jerman mendorong berkembangnya ilmu perencanaan
hutan lainnya seperti teknik silvikultur, teknik penjarangan, teknik inventore, dan teknik perhitungan
erat sehingga kehutanan menjadi salah satu pendorong pembangunan ekonomi suatu negara. Pada
bagian ini akan dibahas berbagai konsep perencanaan kehutanan sosial yang akan membantu menyusun
perencanaan pembangunan hutan sesuai paradigma kehutanan sosial (social forestry). Garis besar
pembahasan akan mencakup: (a) Pentingnya Perencanaan Hutan; (b) Bentuk-bentuk Perencanaan
Hutan; (c) Contoh Implementasi Perencanaan Kehutanan Sosial.

B. Pentingnya Perencanaan Hutan untuk Pembangunan Hutan

Definisi perencanaan adalah mengatur kegiatan atau alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Perencanaan mempunyai peranan yang sangat penting di kehutanan. FAO (1974)
menyatakan bahwa poor planning, poor result. Pentingnya perencanaan di bidang kehutanan memang
merupakan kebutuhan karena beberapa alasan, yaitu :
1. Kehutanan selalu berhadapan dengan kawasan yang luas dengan berbagai macam kondisi sosial
ekonomi masyarakat dan keadaan fisik wilayah yang beraneka ragam, baik topografi maupun
kesuburan tanahnya.
2. Disamping bertopografi miring sampai curam dan seringkali berjurang-jurang, tanah di kawasan
hutan pada umumnya mempunyai kesuburan rendah sampai tandus.
3. Pembuatan jaringan jalan di kehutanan biasanya mahal sehingga biaya pengangkutan dan
pengawasan juga mahal.
4. Jangka berproduksi kehutanan memerlukan waktu yang sangat panjang, maka kehutanan
berhadapan dengan ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi.
5. Asas kelestarian hasil, kelestarian hutan dan fungsi hutan untuk perlindungan lingkungan hidup
menjadi kendala yang tidak dapat ditawar.

C. Bentuk-Bentuk Perencanaan Hutan

1. Perencanaan Instruktif
Dengan instruksi yang disusun oleh tim ahli pada tingkat pusat, setiap penanggung jawab
perencanaan hutan daerah menyusun rencana yang akan berlaku untuk jangka waktu 10 tahun.
2. Perencanaan Berdasar Petunjuk
Perencana lapangan dituntut dapat mengidentifikasi sendiri masalah yang dihadapi dan juga
merumuskan jawaban masalah atau solusinya.
3. Perencanaan Insentif
Perencana dituntut mempunyai kreasi dan ketajaman merumuskan masalah lapangan. Tujuan
perencanaan insentif adalah untuk memaksimumkan manfaat sumber daya hutan yang ada bagi
keuntungan finansial perusahaan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
4. Perencanaan Artikulatif
Paradigma social forestry harus dirancang dengan pendekatan perencanaan pembangunan hutan.

D. Implementasi Perencanaan Kehutanan Sosial


1. Pengelolaan hutan jati optimal di KPH Madiun
2. Perencanaan pembangunan hutan pada lahan bekas tambang batubara di Kabupaten Tapin
(Kalimantan Selatan)

15
Bab X
KEHUTANAN SOSIAL DALAM KERANGKA PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

A. Pendahuluan

Dalam menanggapi gejala kerusakan hutan yang meluas di negara-negara berkembang, dikaitkan
dengan kemiskinan penduduk di sekitar hutan, maka dalam Kongres Kehutanan Dunia VI di Seattle
tahun 1960 ditetapkan tema Multiple Use of Forest Land (hutan serba guna). Tujuan penetapan tema itu
memang untuk mendorong pengelolaan hutan yang tidak hanya menghasilkan kayu dan memperoleh
keuntungan untuk perusahaan pengelola hutan saja, karena penduduk di sekitar hutan memerlukan
pangan, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, pakan ternak dan sebagainya.

B. Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management)

Asosiasi Rimbawan Amerika (Society of American Foresters) pada tahun 1958 melukiskan
kelestarian hutan sebagai suatu pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu yang berkesinambungan
dengan selalu menyeimbangkan antara pertumbuhan dan panenan.

C. Kehutanan Sosial dalam Perspektif Pengelolaan Hutan Lestari

Kehutanan sosial menempatkan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan sebagai pelaku utama
pengelolaan hutan. Menurut Awang (2006) terdapat 9 prinsip yang mestinya terkandung dalam Social
Forestry (SF) yaitu :
1. Aktor utama pengelola adalah rakyat (masyarakat lokal, masyarakat adat);
2. Lembaga pengelolaan dibentuk, dilaksanakan, dan dikontrol secara langsung oleh rakyat
bersangkutan;
3. Memiliki wilayah/teritori yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya;
4. Interaksi antara masyarakat dan lingkungannya dalam konteks SF bersifat langsung dan erat.
Ekosistem menjadi bagian yang penting dari kehidupan rakyat setempat;
5. Pengetahuan lokal (indegenous knowledge) menempati posisi yang penting dan melandasi
kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan. Disisi lain pengetahuan modern dapat memperkaya
dan mengembangkan SHK setelah melalui proses penyesuaian dengan situasi dan kondisi lokal;
6. Teknologi yang dipergunakan jika bukan teknologi lokal telah melalui proses adaptasi dan berada
dalam batas-batas yang dikuasai rakyat;
7. Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip-prinsip kelestarian (sustainability);
8. Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama
9. Keanekaragaman hayati menjadi dasar dalam berbagai bidang baik dalam jenis dan genetis; pola
budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem ekonomi dan lain sebagainya.

D. Beberapa Praktik Kehutanan Sosial

1. Join Forest Management (JFM) di India


JFM diciptakan oleh Prof ROY dari West Bengal, India tahun 1989. Sepanjang masa penjajahan Inggris
pengelolaan hutan negara di India penuh dengan konflik antara penguasa dengan rakyat. Begitu
besarnya konflik tersebut, sampai terjadi beberapa kali pemberontakan kelompok rakyat. Kebijakan
kehutanan tahun 1988 tidak mampu mengakomodasikan kepentingan kelompok masyarakat yang
semakin miskin, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Dilain pihak kerusakan hutan terus
bertambah, sedang konflik antara masyarakat dengan pengelola hutan semakin tajam. Disini
terdapat kesenjangan yang besar antara rakyat dengan kehutanan dan para pengelolanya. Untuk
mengisi atau menyambung kesenjangan tersebut Prof ROY dari Indian Institute of Technology, West
Bengal melansir hasil rekayasanya yang kemudian terkenal dengan nama Joint Forest Management
(JFM). Prinsip-prinsip dasar JFM adalah sebagai berikut (Iswantoro, 2001) :
a. Hutan negara dikelola oleh masyarakat desa, bekerja sama dengan Departemen Kehutanan
tingkat negara bagian.
b. Masyarakat desa hutan tidak diberi hak memiliki atau hak menyewakan kawasan hutan.

16
c. Masyarakat pengelola hutan diberi hak penuh untuk memperoleh hasil hutan nonkayu; untuk
hasil kayu masyarakat pengelola memperoleh bagian dari hasil tebangan akhir. Bagian tersebut
bervariasi antar Negara Bagian, yaitu berkisar antara 10-60% (di West Bengal 25%).
2. Model Forest di Kanada
Pendekatan pengelolaan hutan model forest lahirnya didorong oleh dua pandangan yaitu :
a. Adanya persaingan untuk memenuhi kebutuhan dan nilai-nilai sosial, sementara ketersediaan
sumber daya semakin terbatas. Tumbuhnya kebutuhan dengan kemampuan bumi untuk
memenuhi kebutuhan tersebut semakin tidak seimbang.
b. Di sektor kehutanan lahir pendekatan baru yang inovatif untuk mengatasi masalah tersebut, agar
hutan tetap lestari.
3. Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di KPH Madiun dan Surakarta
PHJO merupakan hasil pemikiran Simon tahun 1988 yang kemudian mulai diuji coba di KPH Madiun
tahun 1991, kerjasama antara Direksi Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan UGM. Karena
dianggap berhasil, maka tahun 1994 uji coba model yang sama juga dilakukan di BKPH Tangen, KPH
Surakarta. Konsep PJHO disusun untuk mengelola hutan jati dan mengentaskan kemiskinan. Sumber
permasalahan lahan masyarakat di sekitar hutan karena pemilikan lahan pertanian semakin kecil,
sementara penyediaan lapangan kerja di sektor nonpertanian tidak cukup untuk menyerap
berkembangnya tenaga kerja baru yang terus tumbuh. Konsep PJHO dikembangkan dari perluasan
lahan garapan di kehutanan sedemikian rupa agar semua tenaga kerja petani desa hutan dapat
terserap sehingga pengangguran dapat ditekan sampai serendah-rendahnya. Bahkan kalau mungkin
pengangguran di desa hutan diusahakan untuk ditekan sampai titik nol. Konsep PJHO juga dapat
diartikan sebagai ragam pengelolaan hutan untuk memaksimumkan produktifitas kawasan hutan,
sesuai dengan keadaan fisik lapangan (topografi, bonita, dan keadaan berbatu) serta tekanan eosial-
ekonomi masyarakat di sekitar hutan.
4. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Kabupaten Gunung Kidul
PHBML di Desa Dengok (Kec. Playen), Desa Girisekar (Kec. Parang) dan Desa Kedungkeris (Kec.
Nglipar). Seluruh kawasan hutan rakyat yang mendapat sertifikat hutan lestari di ketiga desa tersebut
berstatus lahan milik dengan total seluas 815,18 ha dan sebagai gambaran pengelolaannya adalah
setiap petani hutan rakyat bergabung didalam Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) di tingkat dusun
kemudian setiap KTHR bergabung didalam Paguyuban di tingkat Desa selanjutnya setiap Paguyuban
bergabung didalam Koperasi Wana Manunggal Lestari di tingkat Kabupaten. Selanjutnya setiap
kelompok dibagi berdasarkan kesepakatan menjadi 3 unit yaitu (1) Koperasi sebagai unit bisnis, (2)
Paguyuban sebagai unit kelestarian, (3) KTHR sebagai unit kelembagaan.

E. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat/Kehutanan Sosial

Sebagai pembeda dengan sistem pengelolaan hutan lainnya, PHBM memiliki karakteristik program
sebagai berikut :
1. Masyarakat setempat (lokal) sebagai aktor utama pengelola hutan.
2. Lembaga pengelolaan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat yang
bersangkutan.
3. Sistem memiliki atau menguasai wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum (adat dan
nasional) yang mendukungnya.
4. Interaksi antara rakyat dan lingkungannya bersifat erat dan langsung.
5. Pengetahuan lokal memiliki tempat yang penting dan melandasi kebijaksanaan dan tradisi sistem.
6. Teknologi yang digunakan adalah melalui proses adaptasi yang berada dalam batas-batas yang
dikuasai rakyat.
7. Skala produksi tidak dibatasi kecuali prinsip-prinsip kelestarian (sustainability).
8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan keuntungan dibagi secara adil dan
proporsional.
9. Keanekaragaman mendasari berbagai bidang yaitu jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan
sumber daya, sistem sosial, sistem ekonomi dan sebagainya.

17
Bab XI
PENUTUP

Selama tiga dasawarsa terakhir, sektor kehutanan telah memberikan andil yang cukup besar dalam
menopang laju pembangunan ekonomi nasional, karena sektor ini berperan sebagai penghasil devisa
terbesar, pendorong ekonomi wilayah, pendukung sektor terkait dan penyedia lapangan kerja. Dalam
masanya, Indonesia pernah dikenal sebagai penghasil kayu lapis terpenting di dunia dan telah diprediksi
akan menjadi produsen pulp dunia di masa depan.
Seiring dengan kontribusinya yang besar terhadap sektor riil di bidang ekonomi, disisi lain
pembangunan kehutanan dengan berbagai aktivitas eksploitasi secara besar-besaran ternyata
berpengaruh negatif terhadap kualitas sumberdaya hutan itu sendiri dan kesejahteraan masyarakat
khususnya mereka yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.
Selama lebih dari tigapuluh tahun sumber daya hutan dikelola secara masif, seragam, sentralistik,
nirpartisipatif rakyat, padat modal dan monopolistik yang berakibat pada pemusatan kekuasaan
pengusahaan hutan menjadi kewenangan pusat seutuhnya dan dikuasai para konglomerat tanpa
memperdulikan kepentingan masyarakat pada tingkat akar rumput. Penguasaan dan pengelolaan hutan
tersebut telah menimbulkan berbagai konflik di masyarakat secara berkepanjangan. Oleh karena itu
trend pengelolaan sumber daya hutan sekarang ini adalah melakukan desentralisasi dan devolusi
pengelolaan kepada stakeholder di level bawah termasuk melibatkan secara aktif partisipasi masyarakat
melalui konsep pembangunan hutan berbasis kehutanan sosial menuju pengelolaan yang adil,
demokratis serta berkelanjutan. Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan dan keberlanjutan sumber
daya alam seperti sumber daya hutan, dengan menempatkan posisi masyarakat sebagai bagian
terpenting dari sumber daya itu sendiri. Dimana masyarakat mendapatkan kepercayaan dan
kesempatan untuk ikut mengelola hutan rakyat sesuai dengan nilai dan konsep yang mereka miliki.
Pengeloaan hutan bersama masyarakat merupakan orientasi pembangunan kehutanan dewasa ini.
Konsep ini tidak lagi menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai buruh atau penonton praktik
pengelolaan hutan, dan bersorak kegirangan ketika melihat logging trucks mengangkut berkubik-kubik
kayu bulat dari hutan yang tidak jauh dari kebun-kebun mereka. Masyarakat sekitar hutan memang
selama ini belum mendapatkan tempat yang adil dalam pengelolaan hutan sistem HPH. Mereka tetap
dan semakin miskin karena hutan tidak lagi mampu mensuplai air untuk persawahan mereka. Mereka
semakin sulit mendapatkan hewan buruan di hutan yang semakin termarginalkan.
Community Base Forest Management atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat meruakan
sistem pengelolaan sumberdaya alam hutan yang dikembangkan oleh masyarakat di lingkungannya bagi
kesejahteraannya. Hutan bukan sekedar tegakan pohon melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan
wilayah hukum adat yang elemennya terdiri atas hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang,
kebun, pemukiman, tanah keramat dan komunitas serta sistem ekologinya. Sistem ini memberikan
syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah,
penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi. Konsep pembangunan hutan
berbasis kehutanan sosial dikembangkan sebagai antitesis terhadap konsep negara dalam pengelolaan
sumberdaya hutan yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan hutan dan marginalisasi rakyat. Dalam
pengembangan konsep pembangunan hutan berbasis kehutanan sosial, masyarakat terlibat secara aktif,
berakar di masyarakat dan bersendikan adat istiadat maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Dimana penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan
kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan
PHBM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor
utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitas-komunitas lokal.
Akhirnya pembangunan hutan berbasis kehutanan sosial sebagai sebuah model pengelolaan hutan
akan mampu merakit pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat serta berorientasi kepada kelestarian
ekosistem hutan kedalam sistem manajemen hutan merupakan langkah yang sangat mendesak untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan terintegrasi.

18

Anda mungkin juga menyukai