Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS PERSOALAN BERITA HOAX TERHADAP KETAHANAN

NASIONAL DI INDONESIA

Disusun oleh:

Nama : Alina Nurul Faisa

NIM : I1C016008

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2017
Analisis Persoalan Berita Hoax Terhadap Ketahanan Nasional Di Indonesia

A. Latar Belakang

Masyarakat sering mendapat kiriman pesan di media sosial yang berisi berita

dengan konten kebencian terhadap pihak tertentu. Bulan Agustus lalu, polisi berhasil

mengungkap sindikat penyebar ujaran kebencian. Kelompok tersebut dinamai Saracen

yang menyediakan jasa menyebarkan berita hoax.

Awal mula terungkapnya kasus ini adalah dengan penangkapan seorang

tersangka, Sri Rahayu Ningsin (SRN), pada 5 Agustus 2017 karena kasus penghinaan

pada Presiden Jokowi. Akun Facebook yang digunakan Sri untuk menyebarkan berita

hoax ternyata masih aktif padahal sudah di-takedown oleh penyidik sehingga diusut

orang yang memulihkan akun tersebut. Dari penyelidikan didapat seorang tersangka,

Jaspriadi, yang memiliki kemampuan di bidang IT telah memulihkan akun Sri. Jaspriadi

kemudian ditangkap di kediamannya pada 7 Agustus 2017.

Setelah melakukan pemeriksaan, polisi menemukan fakta bahwa Jaspriadi

terkait dengan tiga orang lain yang sebelumnya ditangkap dalam kasus ujaran kebencian

yaitu Sri Rahayu, Ropi Yatsman, dan M. Faisal Tanong. Ternyata mereka merupakan

anggota suatu kelompok Saracen yang selama ini sering menyebarkan berita hoax di

media sosial. Kelompok ini menggunakan lebih dari 2000 akun media sosial untuk

menyebarkan berita hoax. Bahkan, terdapat 800.000 akun yang tergabung dalam

kelompok Saracen.

Saracen menjual konten hoax yang mereka buat. Media sosial yang dimiliki

Saracen akan mengunggah berita atau konten yang tidak sesuai dengan kebenarannya.

Unggahan dilakukan sesuai dengan pesanan dalam proposal yang diajukan. Menurut

Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polri, Kombes Pol Awi Setiyono, harga per paket

2
konten hoax sekitar Rp72 juta. Biaya tersebut meliputi biaya pembuatan situs, membayar

buzzer, membayar ‘wartawan’ penulis artikel pesanan, dan sisanya untuk Jaspriadi, sang

ketua.

Kasus Saracen yang meresahkan masyarakat menjadi perhatian penulis untuk

mengangkat kasus ini dalam makalah. Saracen dinilai membahayakan keutuhan NKRI

karena dapat mengadu domba beberapa pihak dan memecah belah persatuan. Selain itu,

kasus berita hoax ini menyebar di media sosial yang ramai digunakan oleh mayoritas

remaja seperti penulis sehingga menarik penulis untuk mengangkat masalah berita hoax

Saracen menjadi bahan makalah.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dibuat rumusan masalah:

1. Bagaimana dampak berita hoax terhadap ketahanan nasional Indonesia?

2. Bagaimana cara agar masyarakat menghindari berita hoax?

C. Pembahasan

1. Pengertian Hoax

Hoax menjadi suatu isu dan perbincangan hangat di media massa maupun

media jejaring sosial belakangan ini yang dianggap meresahkan publik dikarenakan

informasi tersebut yang tidak tau kebenarannya. Hoax memiliki banyak arti yaitu

tipuan, menipu, kabar burung, berita bohong, pemberitaan palsu, atau informasi palsu.

Secara umum, hoax dapat diartikan sebagai sebuah pemberitaan palsu untuk menipu

atau mengakali pembaca/pendengar untuk mepercayai berita tersebut. Kebanyakan

korban hoax adalah warga yang menggunakan internet. Hal ini bertujuan menggiring

3
opini dan kemudian membentuk persepsi terhadap suatu informasi (Prasanti &

Fitriani, 2017).

Orang yang menyebarkan hoax mempunyai kesenangan tersendiri seperti

mencari sensasi di kalangan masyarakat, mencari popularitas, ingin lebih dikenal

oleh masyarakat sekitar, dan untuk menikmati kesenangan dalam kebohongan yang

diciptakan tentunya dengan memanfaatkan teknologi yang serba canggih ini. Banyak

sumber yang menyebutkan bahwa kata hoax pertama kali digunakan oleh orang

orang Amerika yang mengacu pada sebuah judul film “The Hoax” pada tahun 2006

yang disutradarai oleh Lasse Hallstrom. Film ini dinilai mengandung banyak

kebohongan, sejak saat itu istilah ”hoax” muncul setiap kali ada sebuah pemberitaan

palsu atau sebuah informasi yang belum tentu kebenarannya. Sedangkan menurut

Robert Nares, kata hoax muncul sejak abad 18 yang merupakan kata lain dari “hocus”

yakni permainan sulap (Harley, 2008).

Istilah hoax yang marak saat ini disebabkan arus penyebaran informasi

yang tidak tersaring secara baik, cepatnya informasi tersebar ke khalayak tidak

diiringi dengan keaslian isi informasi di dalamnya sehingga informasi yang

tersebar hanyalah berita bohong demi keuntungan pihak tertentu semata, oleh sebab

itu kita harus cermat & bijak dalam memperoleh informasi (Harley, 2008).

2. Ciri-Ciri Hoax

Menurut David Harley dalam buku Common Hoaxes and Chain Letters

(2008), ada beberapa aturan praktis yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi hoax secara umum. Pertama, informasi hoax biasanya memiliki

karakteristik surat berantai dengan menyertakan kalimat seperti "Sebarkan ini ke

semua orang yang Anda tahu, jika tidak, sesuatu yang tidak menyenangkan akan

4
terjadi”. Kedua, informasi hoax biasanya tidak menyertakan tanggal kejadian atau

tidak memiliki tanggal yang realistis atau bisa diverifikasi, misalnya "kemarin" dan

"dikeluarkan oleh..." atau pernyataan-pernyataan lain yang tidak menunjukkan

sebuah kejelasan. Kemudian yang ketiga, informasi hoax biasanya tidak memiliki

tanggal kadaluwarsa pada peringatan informasi, meskipun sebenarnya kehadiran

tanggal tersebut juga tidak akan membuktikan apa-apa, tetapi dapat menimbulkan

efek keresahan yang berkepanjangan. Keempat, tidak ada organisasi yang dapat

diidentifikasi yang dikutip sebagai sumber informasi atau menyertakan organisasi

tetapi biasanya tidak terkait dengan informasi. Siapapun bisa mengatakan: "Saya

mendengarnya dari seseorang yang bekerja di Microsoft (atau perusahaan terkenal

lainnya)”.

Ciri-ciri informasi hoax dan email berantai yang dikemukakan Harley sesuai

dengan tiga informasi hoax yang disebarkan mahasiswanya di dalam

grup Whatsapp masing-masing, yaitu memuat kalimat yang mengajak untuk

menyebarkan informasi seluas-luasnya, tidak mencantumkan tanggal dan deadline,

tidak mencantumkan sumber yang valid dan memakai nama-nama perusahaan besar.

Meskipun dalam informasi yang memuat tanggal pembuatan/penyebaran dan tanggal

kadaluarsa informasi juga terkadang tidak dapat membuktikan bahwa informasi

tersebut bukan hoax, keempat ciri-ciri ini setidaknya dapat membantu kita dalam

memfokuskan pemikiran kita ketika berhadapan dengan sebuah informasi.

3. Pengertian Ketahanan Nasional

Berbicara mengenai ketahanan informasi nasional tentu tidak akan lepas dari

ketahanan nasional itu sendiri. Ketahanan nasional sebagai istilah yang mulai dikenal

dan dipergunakan pada permulaan tahun 1960-an. Istilah ketahanan nasional untuk

5
pertama kali dikemukan oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Kemudian

pada tahun 1962 mulai diupayakan secara khusus untuk mengembangkan gagasan

ketahanan nasional di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat Bandung (Amal

dan Armawi, 2005).

Ketahanan nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi

keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan

kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan,

hambatan dan tantangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, yang

langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan

hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional Indonesia

(Suradinata, 2005). Perlu diketahui juga bahwa ketahanan nasional ini berdampak

dalam setiap aspek ruang kehidupan manusia.

4. Dampak Berita Hoax terhadap Ketahanan Nasional

Internet diciptakan pada tahun 1969 ditandai dengan lahirnya Aparnet,

sebuah proyek eksperimen Kementrian Pertahanan Amerika Serikat bernama

DARPA (Departement of Defense Adcanced Research Project Agency).

Lembaga ini membawa misi untuk mencoba menggali jaringan yang dapat

menghubungkan teknologi jaringan yang dapat menghubungkan para peneliti

dengan berbagai sumber daya jauh seperti komputer dan sumber data yang besar.

Aparnet berhasil membangun jaringan ini dan berkembang hingga sekarang

sehingga mampu mencakup puluhan juta orang dan ribuan jaringan (Wahyudin &

Karimah, 2016).

Pertumbuhan pengguna internet saat ini sangat cepat dan merambah ke

berbagai bidang, seperti politik, hiburan, pendidikan, dan perekonomian. Tak hanya

6
pengguna secara global, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia turut

menjadi perhatian dunia. Menurut data dari Kementrian Komunikasi dan

Informatika (Kemkominfo), pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah

mencapai 82 juta orang. Dengan angka tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-8

di dunia (Wahyudin & Karimah, 2016).

Internet merupakan salah satu media komunikasi yang popular dan disukai

oleh para pencari informasi dikarenakan aksesnya yang cepat dan selalu

diperbaharui sesuai dengan waktu. LaQuey mengemukakan bahwa internet

merupakan jaringan dari ribuan komputer yang menjangkau jutaan orang di seluruh

dunia. Tak hanya menjadi sarana penelitian untuk mengakses data dari berbagai

sumber, saat ini internet telah menjadi media komunikasi yang cepat dan

efektif (Wahyudin & Karimah, 2016).

Keberadaan internet membuat batas geografis dan waktu sudah tidak

menjadi hambatan bagi seseorang untuk berkomunikasi. Hal inilah yang

membedakan internet dengan media massa lainnya. Setiap orang dapat mengakses

informasi tentang apapun dan dimanapun ia berada. Internet dengan berbagai

keunggulan yang dimiliki menyebabkan terjadinya kelompok yang saling

berinteraksi melalui sebuah jaringan, seperti Yahoo Mail, Google Talk, Facebook,

dan Twitter. Suatu kelompok yang berbasis internet biasanya didasari oleh

minat yang sama terhadap suatu jenis informasi. Berbagai jenis bidang yang

dapat diakses yaitu pendidikan, permainan, perkumpulan agama, dan lain-lain

(Wahyudin & Karimah, 2016).

Media sosial adalah sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang

membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 dan memungkinkan

penciptaan serta pertukaran user-generated content (Kaplan dan Haenlein, 2010).

7
Ada banyak media yang dapat diklasifikasikan sebagai media sosial.seperti

forum internet, majalah, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto

atau gambar, video, peringkat, dan bookmark sosial (Wahyudin & Karimah, 2016).

Berikut ini adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh media sosial (Gamble &

Gamble, 2002):

a. Pesan yang disampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun untuk

banyak orang, contohnya pesan melalui SMS ataupun internet.

b. Pesan yang disampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu gatekeeper.

c. Pesan yang di sampaikan cenderung lebih dibandingkan media lainnya.

Sejak 1978, media sosial telah ditemukan, yakni berupa papan buletin

yang memungkinkan beberapa orang berhubungan menggunakan surat elektronik.

Lalu munculah beberapa situs jejaring sosial, seperti geocities (1995), sixdegress.com

(1997), blogger(1999), friendster (2002), linkedIn (2003), MySpace (2003),

Facebook (2004), Wiser (2007), dan Google+ (2011).Perkembangan media sosial

tetbilang sangat pesat karena setiap orang bisa mendaftarkan dirinya untuk

memilik satu atau semua jenis media sosial yang disebutkan di atas. Seorang

pengguna media sosial bisa mengakses media sosial menggunakan jaringan internet

dimanapun dan kapanpun. Aktivitas yang dilakukan di masing-masing media sosial

pun beragam, mulai dari berbagai pemikiran dalam bentuk kata-kata, foto, video, dan

model konten lainnya (Wahyudin & Karimah, 2016).

Pada Januari 2015, We are Social (sebuah agensi pemasaran sosial

yang berbasis di Singapura) melansir informasi penggunaan internet dan media sosial

di Indonesia pada tahun 2014. Dari 255.5 juta total penduduk Indonesia, tenyata

terdapat 72.7 juta merupakan pengguna aktif internet. Fakta yang lebih

mencengangkan adalah bahwa hampir semua pengguna aktif internet tersebut

8
memiliki minimal satu akun media sosial, yakni sebanyak 72 juta jiwa. Angka ini

merupakan representasi jumlah penduduk yang aktif menggunakan media sosial

bukan jumlah akun media sosial yang dimiliki dengan pengguna Indonesia.

Sebanyak 72 juta penduduk yang merupakan pengguna aktif media sosial merupakan

28% dari total populasi jiwa di Indonesia. Total pengguna aktif media sosial ini

diasumsikan penduduk yang sudah dapat menggunakan intetnet dengan dengan

baik, berada dalam usia yang sudah bisa membaca dan mempunyai akses internet

(Wahyudin & Karimah, 2016).

Penggunaan telpon genggam atau ponsel pun ternyata marak di Indonesia,

dibuktikan dengan tingginya tingkat akses media sosial dari ponsel, yakni

sebanyak 62 juta. Jumlah pengguna ponsel untuk mengakses media sosial ini adalah

24% dari total populasi jiwa di Indonesia. Media sosial yang paling banyak

digunakan di Indonesia adalah Facebook dengan persentasi 14%. Kepala

Facebook Indonesia mengatakan bahawa terdapat 69 juta pengguna aktif

bulanan di Indonesia. Ada kenaikan signifikan sebesar 6% dari 65 juta

pengguna yang dilaporkan pada dua kuartal lalu. Facebook tidak memberikan

peringkat pengguna terbanyak berdasarkan negara, perusahan riset

mengekstimasi bahwa pengguna Facebook di Indonesia masih berada di bawah

Amerika Serikat, Brasil, dan India (Wahyudin & Karimah, 2016).

Selain Facebook, media sosial yang marak digunakan oleh penduduk

Indonesia adalah Whatsapp, sebanyak 12%. Bedanya adalah Facebook

merupakan jejarin sosial sedangkan Whatsapp merupakan aplikasi untuk

mengirimkan pesan baik secara individu maupun berkelompok dalam satu grup,.

Posisi grup disusun oleh Twitter sebanyak 11%. Pada maret 2015, CEO Twitter,

Dick Costolo, mengungkapkan jumlah pengguna Twitter di Indonesia yang

9
jumlahnya mencapai 50 juta pengguna. Ia mengklaim juga memberikan banyak

keuntungan kepada konsumen di Indonesia karena menghubungkan banyak

orang sehingga menjadi wadah untuk membicarakan hal yang sedang terjadi.

Selain Facebook, Whatsaap, dan Twitter, facebook messenger juga merupakan media

sosial yang aktif digunakan di Indonesia, sebanyak 9%. Kemudian digunakan oleh

Google+ (9%), Linked (7%), Instagram (7%), Skype (6%), Pinterest (6%), dan Line

(6%) (Wahyudin & Karimah, 2016).

Dari media-media sosial tersebut, masyarakat dapat menyebarkan berita dan

melihat berita yang disebar orang lain. Bukan hanya berita yang benar-benar terjadi,

berita yang mengandung informasi bohong juga dapat tersebar karena tidak adanya

filter berita. Informasi atau berita hoax jelas memperlemah Ketahanan Informasi

Nasional karena masyarakat sangat rentan gesekan akibat informasi hoax yang ada.

Seperti jika melihat kondisi saat ini, banyak sekali berita-berita terutama di media

online yang diunggah oleh akun, website, dan situs yang tidak jelas dan

menyebabkan banyak permusuhan yang dapat membahayakan Ketahanan Nasional

Indonesia (Wahyudin & Karimah, 2016).

Menurut Juni Tristanto L. Putra, Peneliti Lapangan LSI Area Jawa Timur, di

era digital, setiap orang bisa dengan bebas menulis artikel, opini, berita dan lain-lain

kemudian menggunggahnya. Sebenarnya ini menjadi salah satu dampak positif jika

artikel, opini, berita yang ditulis bisa menginspirasi, menambah pengetahuan, dan

membawa banyak kemanfaatan untuk orang lain. Namun, menjadi kontradiktif jika

kemudian yang ditulis merupakan sesuatu yang sifatnya hoax dan tujuannya untuk

menjatuhkan pihak-pihak tertentu, mengadu domba, atau menyebarkan fitnah serta

hal-hal yang tidak baik. Hal tersebut tentunya akan sangat merugikan bagi yang

menjadi korban jika berita hoax berhasil memprovokasi masyarakat untuk bertindak

10
negatif dan anarkis, maka pasti akan banyak masalah yang timbul di NKRI (Prasanti

& Fitriani, 2017).

Hoax telah menjadi momok nasional yang harus diperangi bersama, karena

dampak yang ditimbulkan begitu masif dan sangat merugikan banyak pihak, baik itu

secara reputasi, materi, hingga mengancam nyawa. Berita bohong, apalagi fitnah

memang sangat berbahaya dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Berita fitnah tersebut sangat berpotensi memunculkan konflik horizontal di

masyarakat dan hal itu dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa (Prasanti

& Fitriani, 2017).

5. Cara Menghindari Berita Hoax

Media baru alias media sosial sudah menjadi tempat mengungkapkan

amarah, kebencian, caci maki, penghinaan, cyber bullying, dan proses

komunikasi dalam kategori antikomunikasi lainnya. Tidak terbatas pada masalah

politik dan sosial, juga pada masalah agama, SARA, bahkan masalah pribadi

sekalipun turut meramaikan ruang di media sosial (Wahyudin & Karimah, 2016).

Seperti yang dikatakan Sudibyo (2016) bahwa apa yang berkembang di

media sosial belakangan ini mungkin dapat disebut sebagai kecenderungan

proses berkomunikasi dalam kategori anti komunikasi. Penyampaian pesan,

diskusi, dan silang pendapat tentang isu-isu politik di media sosial tersebut telah

sedemikian rupa mengabaikan hal-hal yang fundamental dalam komunikasi:

penghormatan kepada orang lain, empati kepada lawan bicara, dan antisipasi atas

dampak-dampak ujaran atau pernyataan. Pada prinsipnya, praktik berkomunikasi

di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri, kedewasaan dalam

bersikap, serta tanggung jawab atas setiap ucapan yang hendak atau sedang

11
disampaikan. Namun yang terjadi di media sosial dewasa ini adalah tren yang

sebaliknya.

Begitu mudah orang menumpahkan amarah atau opini negatif tanpa

memikirkan perasaan orang lain. Begitu mudah orang memojokkan dan

menghakimi orang lain, tanpa berpikir pentingnya memastikan kebenaran

informasi atau analisis tentang orang tersebut. Dan, begitu sering orang terlambat

menyadari bahwa apa yang diungkapkannya di media sosial telah tersebar ke

mana-mana, menimbulkan kegaduhan publik dan merugikan pihak tertentu. Tren

yang berkembang di media sosial adalah tidak adanya kedewasaan dan sikap

bertanggung jawab pengguna media sosial. Tampak jelas bahwa telah terjadi

krisis etika berkomunikasi melalui media sosial (Wahyudin & Karimah, 2016).

Seperti dikatakan Baihaki (2016) bahwa bangsa Indonesia saat ini

berada dalam kelimpahruahan informasi, tetapi kualitas literasinya atau melek

media, terutama media sosial masih rendah. Makanya, tidak heran jika penipuan

lewat internet dan cyber crime-nya meningkat. Akses ke pornografi meningkat dan

mudah, berita bohong (hoax) serta caci maki di media sosial alias cyber bullying

marak, bahkan media sosial seperti Twitter dapat dimanfaatkan untuk

membangun pencitraan dan narsisme.

Sayangnya, penggunaan media sosial yang masif digunakan oleh sebagian

besar masyarakat Indonesia lebih banyak untuk membahas hal yang bersifat

pribadi. Belum digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi yang

memberi energi pencerahan dan semangat untuk memupuk kebersamaan dan

persaudaraan atas dasar keragaman. Padahal, media sosial sejatinya dapat menjadi

wahana untuk mendudukkan proses dialog yang sehat dalam berkomunikasi

agar terwujud harmonisasi. Media sosial sejatinya menempatkan proses dialog

12
dalam berkomunikasi dan menciptakan ruang untuk menciptakan diseminasi

gagasan secara rasional dan menyejukkan. Dengan demikian, diperlukan kajian

etika komunikasi untuk mencari standar etika apa yang harus digunakan oleh

komunikator dan komunikan dalam menilai di antara teknik, isi dan tujuan

komunikasi di media sosial (Wahyudin & Karimah, 2016).

Menyikapi kondisi maraknya berita hoax, sebaiknya semua pihak harus

pandai-pandai memilih berita yang akan dibaca dan dishare sebagai sebuah informasi

yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kita harus teliti dalam memahami

sebuah berita. Berita hoax penulisannya cenderung dilebih-lebihkan sehingga

seringkali secara sadar atau tidak membuat perasaan banyak pihak terbawa karena

telah membaca isi berita hoax tersebut. Sehingga membuat pembaca semakin

membenci atau semakin menyukai sesuatu setelah membacanya. Penulis, referensi,

dan situs berita hoax juga tidak jelas serta tidak meyakinkan. Jadi kita juga perlu

memahami hal-hal tersebut supaya kita bisa membedakan antara berita yang memang

benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kebenaranya dan berita hoax, sehingga kita

tidak mudah tertipu dan tidak mudah terprovokasi dengan banyaknya berita-berita

hoax yang tersebar (Wahyudin & Karimah, 2016).

Bagi pemerintah, harus lebih intens memfilter situs, web, dan akun yang

terindikasi telah menyebarkan berita hoax, kemudian memblokir dan

memberikan punishment karena, menurut data Kominfo, Februari 2017, tercatat ada

800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran

kebencian (hate speech). Jumlah tersebut jelas tidak sedikit. Satu situs saja yang

menyebarkan berita hoax maka akan sampai pada ribuan bahkan jutaan pembaca.

Apalagi 800.000 situs, tentu akan semakin banyak juga efek negatif yang akan

ditimbulkan (Prasanti & Fitriani, 2017).

13
Selain memberikan punishment, pemerintah juga harus menggunakan cara-

cara lain yang sifatnya lebih persuasif kepada masyarakat, dengan tujuan agar

masyarakat lebih bisa mengontrol dirinya masing-masing supaya tidak turut

menyebarkan dan terprovokasi dengan munculnya berita-berita hoax. Pemberitaan

media yang tidak berimbang terhadap sesuatu hal, juga menjadi pemicu munculnya

berita hoax, karena jika media memiliki kecenderungan dalam memberitakan sesuatu

dan tidak berimbang, maka pasti akan timbul pihak-pihak yang pro dan kontra atas

pemberitaan tersebut (Prasanti & Fitriani, 2017).

Pihak-pihak yang kontra pasti akan memunculkan berita-berita hoax yang

sifatnya mengcounter pemberitaan-pemberitaan yang ada. Maka dari itu, seharusnya

pemerintah juga memberikan arahan kepada semua media supaya selalu berimbang

ketika menggunggah berita. Sementara itu, untuk memperkuat Ketahanan Informasi

Nasional atau daerah, harus ada perbaiki dulu moralitas dan mentalitas masyarakat.

Perbaikan tersebut bisa dimulai dari pribadi masing-masing. Moral dan mental yang

baik akan lebih bisa mengontrol semua tindakan yang akan kita lakukan dan tidak

akan ada lagi oknum-oknum penyebar berita hoax. Dengan sendirinya, mereka dapat

memahami tentang arti pentingnya sebuah berita yang bisa merubah mindset dan bisa

membangun opini bagi pembacanya. Mereka akan berfikir ulang untuk menyebarkan

berita hoax tersebut. Selain itu, dalam rangka memperkuat Ketahanan Informasi

Nasional, masyarakat juga harus jeli dalam membaca berita, supaya tidak terjebak

oleh informasi yang ternyata hanya hoax (Prasanti & Fitriani, 2017).

Kuat atau lemahnya ketahanan informasi di NKRI sangat mencerminkan

kuat atau tidaknya ketahanan nasional NKRI. Apabila Ketahanan Informasi lemah,

maka negara akan mudah disusupi oleh berita-berita hoax yang akan memperlemah

ketahanan nasional akibat gesekan-gesekan yang memicu konflik dan perpecahan

14
NKRI. Begitu juga sebaliknya, jika ketahanan informasi NKRI kuat, maka tidak akan

ada lagi berita hoax yang bisa melemahkan ketahanan nasional NKRI. Hoax bisa

diredam dengan kesadaran yang muncul di dalam diri kita sendiri (Prasanti & Fitriani,

2017).

Upaya membangun ketahanan informasi nasional dapat dilakukan dengan:

a. Memastikan adanya sumber yang kredibel dan tepat.

b. Melakukan filterisasi kognitif pada pesan yang diterima agar terhindar dari berita

bohong/ berita hoax.

c. Memilih media sebagai saluran komunikasi yang tepat.

d. Bersikap aktif dalam melakukan crosscheck atau hasil dari pesan informasi

tersebut.

(Prasanti & Fitriani, 2017)

Masyarakat juga dapat mencegah tersebarnya berita-berita hoax dengan

etika komunikasi dalam menggunakan media sosial. Menurut William Benton,

dalam Encylcopedia Britannica yang terbit tahun 1972, bahwa secara etimologi

Etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti karakter. Definisi Etika

menurut terminologi adalah studi yang sistematis dari konsep-konsep nilai baik,

buruk, harus, benar, salah dan sebagainya atau tentang prinsip-prinsip umum yang

membenarkan kita dalam penerapannya didalam segala hal, disebut juga filsafat

moral (dari kata latin “mores” yang artinya adat istiadat). Etika mencoba untuk

meneliti tingkah laku manusia yang dianggap merupakan cerminan dari apa

yang terkandung dalam jiwanya atau dalam hati nuraninya. Contohnya: manusia

dapat tertawa, padahal hatinya menangis (Karimah dan Wahyudin, 2010).

Semua pihak pasti sepakat proses berkomunikasi pada level mana pun

tak mungkin berjalan tanpa etika. Tanpa dilandasi etika, praktik bermedia akan

15
mengarah pada kekacauan. Pada akhirnya, masyarakat yang menanggung kerugian

paling besar. Media yang semestinya membantu masyarakat memahami persoalan

sosial politik secara jernih dan obyektif, justru jadi ajang persitegangan dan

perseteruan tak berujung (Sudibyo, 2016).

Media sosial sebaiknya dapat menjadi wahana untuk mendudukkan proses

dialog yang sehat dalam berkomunikasi agar terwujud harmonisasi. Media

sosial sejatinya menempatkan proses dialog yang memberikan ruang atas

semakin meningkatnya kesejahteraan sebuah komunitas masyarakat sekaligus

menjadi platform dalam rangka menciptakan diseminasi gagasan secara rasional

dan menyejukkan. Dengan demikian, diperlukan kajian etika komunikasi untuk

mencari standar etika apa yang harus digunakan oleh komunikator dan

komunikan dalam menilai di antara teknik, isi dan tujuan komunikasi di media

sosial (Karimah dan Wahyudin, 2010).

D. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan yaitu:

1. Hoax telah menjadi momok nasional yang harus diperangi bersama karena dampak

yang ditimbulkan begitu masif dan merugikan banyak pihak, baik itu secara reputasi,

materi, hingga mengancam nyawa. Berita bohong, apalagi fitnah memang sangat

berbahaya dalam konteks NKRI. Berita fitnah tersebut sangat berpotensi

memunculkan konflik horizontal di masyarakat sehingga dapat memecah belah

persatuan dan kesatuan bangsa.

2. Saat menerima berita dari media sosial, masyarakat harus melakukan crosscheck

terlebih dahulu agar terhindar dari berita hoax. Selain itu, pengguna media sosial

16
harus menggunakan etika dalam berkomunikasi agar berita-berita hoax tidak tersebar

lebih jauh.

E. Saran

Sebaiknya masyarakat Indonesia dan pemerintah meningkatkan budaya literasi

agar dapat memfilter setiap informasi yang diterima. Apabila setiap masyarakat

membaca dengan baik dan memahami informasi yang diterima kemudian melakukan

crosscheck, maka berita hoax tidak akan memunculkan konflik dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara sehingga persatuan dan kesatuan dapat terjaga.

17
DAFTAR PUSTAKA

Amal, I. & Armawi, A., 2005, Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional, Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Baihaki, E., 2016. Media Sosial dan Intoleransi, Pikiran Rakyat Edisi 3 Agustus 2016.

Benton, W., 1972, Encyclopedia Britannica, Helen Hemingway Benton, Chicago.

Ervianto, T., 2017, Fenomena Apakah Saracen Itu, Detiknews 27 Agustus 2017.

Gamble, T. K. & Gamble, M., 2002. Communication Works Seventh Edition, McGraw Hill,

New York.

Harley, 2008, Common Hoaxes and Chain Letters, ESET, San Diego.

Prasanti, D. & Fitriani, D. R., 2017, Membangun Ketahanan Informasi Nasional dalam

Komunikasi Kesehatan bagi Kalangan Perempuan Urban di Jakarta, Jurnal

Ketahanan Nasional, 23 (3), pp. 338-358.

Santoso, A., 2017, Saracen Penyebar Konten Sara yang Dapat Memecah Belah Bangsa,

Detiknews 27 Agustus 2017.

Sudibyo, A., 2016, Etika Bermedia dan Kontroversi Politik, Kompas Edisi 18 Oktober 2016.

Suradinata, E., 2005, Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan

NKRI, Suara Bebas, Jakarta.

Wahyudin, U. & Karimah, K. E., 2016, Etika Komunikasi di Media Sosial, Prosiding

Seminar Nasional Komunikasi, pp. 216-224.

18

Anda mungkin juga menyukai