Anda di halaman 1dari 156

K3 PENERBANGAN

SEBUAH KAJIAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PADA KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER
(ATC)
UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2


1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Hak Terkait Pasal 49


1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang
pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
K3 PENERBANGAN

SEBUAH KAJIAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PADA KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER
(ATC)

Dr. Lalu Muhammad Saleh, S.Km., M.Kes.


K3 PENERBANGAN:
SEBUAH KAJIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA
KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC)

Lalu Muhammad Saleh

Desain Cover : Nama


Tata Letak Isi : Nurul Fatma Subekti
Sumber Gambar : Sumber

Cetakan Pertama: Februari 2017

Hak Cipta 2017, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2017 by Deepublish Publisher
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: deepublish@ymail.com

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

SALEH, Lalu Muhammad


K3 Penerbangan: Sebuah Kajian Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Karyawan Air Traffic Controller (ATC)/oleh Lalu Muhammad Saleh.--Ed.1, Cet. 1--
Yogyakarta: Deepublish, Februari 2017.
viii, 148 hlm.; Uk:17.5x25 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Kedokteran I. Judul
613.6
KATA PENGANTAR

v
vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ v
DAFTAR ISI ................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................... 1
BAB 2 MENGENAL PROFESI AIR TRAFFIC
CONTROLLER (ATC)........................................................ 3
BAB 3 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
PENERBANGAN ............................................................... 8
BAB 4 PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN
KAJIAN PSIKOLOGI........................................................ 12
BAB 5 PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN
KAJIAN SAFETY ............................................................. 16
BAB 6 FAKTOR PERFORMANCE BERDASARKAN
KONSEP PSIKOLOGI DAN SAFETY. ............................. 19
BAB 7 FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA
ABSENTEEISM ATC ....................................................... 34
BAB 8 FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA
TINGKAT VIGILANCE ATC ............................................. 43
BAB 9 HASIL KAJIAN KASUS ATC DI INDONESIA
(PENELITIAN PADA AIR NAV INDONESIA
CABANG MAKASSAR, SURABAYA,DAN
LOMBOK) ........................................................................ 53
BAB 10 MODEL SAFETY PERFORMANCE PADA ATC
DI INDONESIA ................................................................ 83
GLOSARIUM................................................................................. 85
INDEKS......................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 89

vii
viii
BAB 1
PENDAHULUAN

Keselamatan dan kesehatan kerja penerbangan (K3


Penerbangan) merupakan kajian ilmu K3 pada bidang
kedirgantaraan yang mengkhusus pada identifikasi hazard dan
risiko K3 pada karyawan yang bekerja di sektor penerbangan.
Permasalahan pada sektor penerbangan tidak hanya kecelakaan
pesawat namun juga masalah lain terkait dengan penyebab
kecelakaan itu sendiri baik itu unsafe act maupun unsafe condition.
Unsafe act adalah perilaku yang tidak aman atau selamat pada
pekerja. Unsafe act terjadi karena kesadaran dan pemahaman
tentang safety yang rendah pada karyawan yang menyebabkan
perilaku karyawan menjadi berisiko, hal lain juga karena kondisi
kesehatan yang tidak baik pada karyawan baik itu kondisi
kesehatan secara fisik maupun mental yang dapat menyebabkan
kelelahan fisik maupun mental seperti boring, stress, burnout.
Unsafe condition adalah kondisi yang tidak sehat atau selamat
di tempat kerja. Unsafe condition disebabkan oleh keadaan tempat
kerja yang tidak mendukung untuk bekerja secara selamat dan
sehat, seperti lingkungan kerja yang tidak sehat seperti
pencahayaan yang buruk, suhu yang dingin atau panas, ventilasi
yang tidak sehat.
Kecelakaan pesawat semestinya tidak boleh terjadi karena
kecelakaan satu kali pesawat dapat menyebabkan puluhan bahkan
ratusan orang meninggal. Kematian ini berdampak pada tingginya
angka kematian pada penduduk Indonesia yang berpotensi pada
menurunnya lama hidup masyarakat Indonesia.
Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian kecelakaan
diperlukan agar dapat mengurangi risiko kecelakaan pada pesawat
dan karyawan di tempat kerja. Upaya keselamatan dan kesehatan
kerja pada sektor penerbangan menjadi wajib untuk dapat
memperbaiki perencanaan dan pengelolaan pada aspek
kedirgantaraan Indonesia.

1
Kajian pada buku ini fokus pada kajian K3 penerbangan terkait
dengan permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja pada
karyawan air traffic controller (ATC) yang terjadi di Indonesia.
Permasalahan dikaji berdasarkan job ability, motivasi, beban kerja,
lingkungan kerja, identitas individu, burnout, keluhan
musculoskeletal, dan safety performance karyawan ATC.

2
BAB 2
MENGENAL PROFESI
AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC)

Definisi dan Batasan tentang Air Traffic Controller (ATC)


Air traffic controller (pemandu lalu lintas udara) adalah profesi
yang memberikan layanan pengaturan lalu lintas di udara terutama
pesawat udara untuk mencegah antarpesawat terlalu dekat satu
sama lain, mencegah tabrakan antarpesawat udara dan pesawat
udara dengan rintangan yang ada di sekitarnya selama beroperasi.
ATC atau yang disebut dengan air traffic controller juga berperan
dalam pengaturan kelancaran arus lalu lintas, membantu pilot
dalam mengendalikan keadaan darurat, memberikan informasi
yang dibutuhkan pilot (seperti informasi cuaca, informasi navigasi
penerbangan, dan informasi lalu lintas udara). ATC adalah rekan
terdekat pilot selama di udara, peran ATC sangat besar dalam
tercapainya tujuan penerbangan.
Semua aktivitas pesawat di dalam manoeuvering area
diharuskan mendapat mandat terlebih dahulu dari ATC, yang
kemudian ATC akan memberikan informasi, instruksi, mandat
kepada pilot sehingga tercapai tujuan keselamatan penerbangan,
semua komunikasi itu dilakukan dengan peralatan yang sesuai dan
memenuhi aturan. ATC merupakan salah satu media strategis
untuk menjaga kedaulatan suatu wilayah/suatu Negara (Undang-
Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan).
Controller atau ATC (Turhan and Usanmaz, 2004) adalah
pekerjaan yang bertanggung jawab pada penerbangan pesawat
mulai dari start terbang sampai selesai sampai tujuan, titik poin
yang spesifik mereka harus selamat tanpa adanya masalah dengan
pesawat, baik secara vertikal maupun horizontal jarak terbang
minimal tetap diperhatikan agar tetap selamat (Turhan, 2009).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa ATC adalah pekerjaan yang sangat bertanggung jawab
pada keselamatan penerbangan agar pesawat dapat terbang dalam

3
keadaan selamat tanpa adanya kecelakaan pesawat mulai dari
berangkat sampai tujuan.

Tujuan Pelayanan Lalu Lintas Udara oleh ATC


Berikut ini adalah tujuan pelayanan lalu lintas udara yang
diberikan oleh ATC berdasarkan Peraturan Keselamatan
Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 170:
1. Mencegah tabrakan antarpesawat.
2. Mencegah tabrakan antarpesawat di area pergerakan
rintangan di area tersebut.
3. Mempercepat dan mempertahankan pergerakan lalu lintas
udara.
4. Memberikan saran dan informasi yang berguna untuk
keselamatan dan efisiensi pengaturan lalu lintas udara.
5. Memberitahukan kepada organisasi yang berwenang dalam
pencarian pesawat yang memerlukan pencarian dan
pertolongan sesuai dengan organisasi yang dipersyaratkan.
Internasional Civil Aviation Organization (ICAO) menyebut
dengan istilah 5 objective of ATS dalam ICAO dokumen ANNEX 11
tentang air traffic service.
1. Prevent collisions between aircraft.
2. Prevent collisions between aircraft on the manoeuvring area
and obstructions on that area.
3. Expedite and maintain an orderly flow of air traffic.
4. Provide advice and information useful for the safe and efficient
conduct of flights.
5. Notify appropriate organizations regarding aircraft in need of
search and rescue aid, and assist such organizations as
required.
Pelayanan lalu lintas udara oleh seorang ATC adalah
pelayanan yang bertujuan agar pesawat berada pada titik yang
aman tanpa adanya tabrakan antarpesawat dan memandu pilot
terbang dalam keadaan efisien dan selamat.

4
Pembagian Unit Kerja untuk Layanan ATC
Sesuai dengan tujuan pemberian air traffic services, Annex 11,
International Civil Aviation Organization (ICAO) tahun 1998,
pelayanan lalu lintas udara terdiri dari 3 (tiga) layanan:
1. Pelayanan Pengendalian Lalu Lintas Udara (Air Traffic Control
Service). Pada ruang udara terkontrol/controlled airspace
terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:
a. Aerodrome Control Service
Memberikan layanan air traffic control service, flight
information service, dan alerting service yang diperuntukkan
bagi pesawat terbang yang beroperasi atau berada di bandar
udara dan sekitarnya (vicinity of aerodrome) seperti take off,
landing, taxiing, dan yang berada di kawasan manoeuvring
area, yang dilakukan di menara pengawas (control tower). Unit
yang bertanggung jawab memberikan pelayanan ini disebut
aerodrome control tower (ADC).
b. Approach Control Service
Memberikan layanan air traffic control service, flight
information service, dan alerting service, yang diberikan
kepada pesawat yang berada di ruang udara sekitar bandar
udara, baik yang sedang melakukan pendekatan maupun yang
baru berangkat, terutama bagi penerbangan yang beroperasi
terbang instrumen yaitu suatu penerbangan yang mengikuti
aturan penerbangan instrumen atau dikenal dengan Instrument
Flight Rule (IFR). Unit yang bertanggung jawab memberikan
pelayanan ini disebut approach control office (APP).
c. Area Control Service
Memberikan layanan air traffic control service, flight
information service, dan alerting service, yang diberikan
kepada penerbang yang sedang menjelajah (en-route flight)
terutama yang termasuk penerbangan terkontrol (controlled
flights). Unit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan
ini disebut area control centre (ACC).
2. Pelayanan Informasi Penerbangan (Flight Information Service)
Flight information service adalah pelayanan yang dilakukan
dengan memberikan berita dan informasi yang berguna dan
bermanfaat untuk keselamatan, keamanan, dan efisiensi bagi
penerbangan.

5
3. Pelayanan Keadaan Darurat (Alerting Service)
Pelayanan keadaan darurat adalah pelayanan yang
dilakukan dengan memberitahukan instansi terkait yang tepat,
mengenai pesawat udara yang membutuhkan pertolongan
search and rescue unit dan membantu instansi tersebut,
apabila diperlukan.
Berdasarkan pembagian unit kerja untuk layanan ATC dapat
disimpulkan bahwa unit kerja ATC sangat kompleks dan sistematis
yang semuanya untuk keselamatan sebuah penerbangan.
Sehingga setiap unit diharapkan dapat berperan terhadap tanggung
jawab yang telah diamanahkan.

Beban Kerja Air Traffic Controller (ATC)


Peran ATC dalam penerbangan sangat penting, oleh sebab itu
disiplin dan tanggung jawab yang tinggi, jam kerja di ATC diatur
secara bergiliran berdasarkan "possition log" atau “shift”.
Aerodrome control tower, bidang pekerjaannya yang dibagi dalam
beberapa unit, di antaranya clearance delivery, unit yang memberi
informasi semua rute pelayanan lalu lintas udara, ketinggian
pesawat yang diminta atau diizinkan untuk terbang ke tujuan.
Ground control, mengatur semua pergerakan mulai pesawat itu
pusk back, sampai pesawat ke taxiway, menanti di ujung runway
untuk take off. Assistant tower controller, tugasnya membantu
aktivitas tower controller. Tower controller sendiri mengatur take off
dan landing pesawat.
Sekali pun jam kerja sudah diatur, setiap rutinitas pasti ada
kejenuhannya, karena pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa
penumpang pesawat, dengan fokus dan tanggung jawab profesi,
ATC diharuskan untuk tidak merasakan kejenuhan ketika bekerja.
Penyedia layanan pemanduan lalu lintas udara wajib menerapkan
pola manajemen stress pada beban kerja ATC dan manajemen
keselamatan. Menurut Dokumen 9426 Air Trafic Planning Manual,
pemimpin unit pemandu lalu lintas udara (unit chief controllers) dan
para petugas evaluasi (evaluation officers) perlu selalu waspada
atas tanda–tanda stres pada anggota stafnya dan mestinya tidak
ragu–ragu untuk membantu meringankannya. Pada langkah ini,
suatu diskusi informal supervisor dengan pegawai pelaksana sering

6
dapat menghindari hilangnya kecakapan secara progresif. Ini dapat
juga meningkatkan keselamatan operasi unit yang terkait.
Costa (1995) sumber stressor pada ATC adalah:
“Main Sources of stress for ATCs are 1) demand: number of
aircraft under control, peak traffic hours, extraneous traffic,
unforeseeable events). 2)operating procedures: time pressure, having
to bend the rules, feeling of loss of control, fear of consequences of
errors. 3)working times: unbroken duty periods, shift and nigh work.
4)working tools: limitations and reliability of equipment, VDT RT and
telephone quality, equipment layout. 5)work environment: lighting,
optical reflections, noise, microclimate, bad posture, rest and canteen
facilities. 6)work organization: role ambiguity, relations with
supervisors and colleagues, lack of control over work process, salary,
public opinion (p.3).”
Melihat tanggung jawab yang sangat besar pada seorang ATC
akan berdampak pada beban mental yang sangat tinggi. Sehingga
dibutuhkan teknik dan strategi dan mekanisme coping untuk stress
dalam setiap individu karyawan ATC agar terhindar dari bahaya
tekanan pekerjaan terutama terkait tekanan mental agar terhindar
dari depresi, stress, bahkan burnout. Kondisi ini akan mampu
mengendalikan tekanan mental yang dihadapi ATC di dalam
bekerja sebagai controller, dan berdampak pada performa kerja
yang optimal.

7
BAB 3
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
(K3) PENERBANGAN

Kesehatan kerja mutlak harus dilaksanakan di dunia kerja dan


dunia usaha, oleh semua orang yang berada di tempat kerja baik
pekerja maupun pemberi kerja, jajaran pelaksana, penyelia
(supervisor) maupun manajemen, serta pekerja yang bekerja untuk
diri sendiri (self employed). Alasannya jelas, karena pekerja adalah
bagian dari kehidupan, dan setiap orang yang memerlukan
pekerjaan untuk mencukupi kehidupan dan atau untuk aktualisasi
diri, namun dalam melaksanakan pekerjaannya, berbagai potensi
bahaya (hazard atau risiko) di tempat kerja mengancam diri pekerja
sehingga dapat menimbulkan cedera, atau gangguan kesehatan
(Kurniawidjaja, 2010).

Batasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Kesehatan kerja (occupational health) adalah tools yang
komprehensif untuk memecahkan masalah PAK. Kesehatan kerja
adalah bagian dari keselamatan kerja dan kesehatan kerja
(occupational safety and health). Keselamatan kerja dan kesehatan
kerja bertujuan agar pekerja selamat, sehat, produktif, sejahtera
dan berdaya saing kuat sehingga produksi dapat berjalan dan
berkembang lancar secara berkesinambungan, tidak terganggu
oleh kejadian kecelakaan maupun pekerja yang sakit atau tidak
sehat yang menjadikannya tidak produktif. Kecelakaan kerja
diminimalisasi kejadiannya oleh upaya keselamatan kerja atau
safety, sedangkan kesehatan kerja dijaga, dipelihara dan
ditingkatkan oleh upaya kesehatan kerja sehingga pekerja
diharapkan akan tetap produktif dan terjaga kesehatannya selama
mereka bekerja (Kurniawidjaja, 2010).

8
Potensi Bahaya dan Risiko Di Tempat Kerja
Potensi bahaya dan risiko di tempat kerja antara lain akibat
sistem kerja atau proses kerja, penggunaan mesin, alat dan bahan,
yang bersumber dari keterbatasan pekerjanya sendiri, perilaku
hidup yang tidak sehat dan perilaku kerja yang tidak selamat/aman,
buruknya lingkungan kerja, kondisi kerja yang tidak ergonomis,
pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja yang tidak kondusif
bagi keselamatan dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja, 2010).
Pekerja yang terganggu kesehatannya baik karena kecelakaan,
cedera, cacat atau terserang penyakit dapat menggangu
kelancaran pekerjaan, dengan demikian dapat menurunkan
produktivitas, lebih lanjut dapat melemahkan daya saingnya. Selain
itu, pekerja yang terganggu kesehatannya dapat membahayakan
teman sekerja atau lingkungan kerjanya.
Penyakit akibat kerja (PAK) harus dapat dikendalikan atas
alasan hak asasi manusia, kewajiban melaksanakan peraturan
perundang-undangan, dan atas pertimbangan kepentingan bisnis.
PAK dapat dikendalikan dengan serangkaian upaya kesehatan
kerja yang komprehensif mulai dari promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif, yang mencakup upaya medis, teknis, administratif dan
melibatkan profesional dari disiplin yang lainnya.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Penerbangan


Keselamatan dan kesehatan kerja pada penerbangan
merupakan upaya strategis dalam mengoperasikan pesawat agar
tetap dalam keadaan selamat mulai dari persiapan take off sampai
tiba pada bandara tujuan. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
Penerbangan memberi andil dalam kenyamanan terbang dan
peningkatan mutu penerbangan secara global. Upaya
meningkatkan kualitas dunia penerbangan harus mencakup aspek
kesehatan dan keselamatan kerja dalam setiap aspek
perencanaannya.

Definisi K3 Penerbangan
Berdasarkan UU No. 1 tentang Penerbangan Tahun 2009,
penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan

9
keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas
umum lainnya. Keselamatan diartikan kepada hal-hal yang
mencakup keselamatan penerbangan yang selalu berhubungan
dengan aspek keamanan penerbangan (UU Penerbangan, 2009).

Masalah Utama pada K3 Penerbangan


Biro Statistik Buruh Amerika Serikat menyebutkan bahwa
penerbangan, perikanan, industri kayu, pertambangan, pengerjaan
logam dan transportasi adalah sektor industri yang paling
berbahaya (Bureu of Labor Statistics, 2010). Penerbangan
merupakan salah satu sektor industri spesifik yang berbahaya
karena menyangkut nyawa penumpang dan awak pesawat.
Masalah utama dari penerbangan sipil pada dekade terakhir
adalah masalah keamanan, dipicu dengan terjadinya peristiwa
serangan 11 September 2001 dan beberapa peristiwa lainnya yang
menjadikan faktor keamanan menjadi sangat penting. Masalah
lainnya adalah banyaknya pesawat yang mengalami kecelakaan,
dan yang terbaru adalah hilangnya pesawat MH 370 milik maskapai
Malaysia Airlines yang sampai sekarang menjadi misteri. Selain itu,
faktor teknis kelaikan pesawat udara, faktor keamanan kargo dan
pos yang pada umumnya juga diangkut oleh pesawat sipil ternyata
juga memiliki pengaruh besar terhadap keamanan pesawat udara.
Begitu pula hal-hal yang berkenaan dengan barang-barang
berbahaya yang terkandung di dalam kargo dan pos juga dapat
menyebabkan kecelakaan fatal apabila tidak ditangani dan dikemas
sesuai dengan aturan "Dangerous Goods Regulation" yang
dikeluarkan oleh ICAO, Annex 18 mengenai "The Safe Transport of
Dangerous Goods by Air" dengan rincian ICAO dokumen 9284-
AN/905 mengenai "Technical Instruction for The Safe Transport of
Dangerous Goods by Air" dan Asosiasi Transportasi Udara
Internasional (IATA) mengenai Peraturan Penanganan
Pengangkutan Barang-Barang Berbahaya Melalui Pesawat Udara.
Masalah keselamatan kerja di bandara adalah menyangkut
masalah tenaga kerja dan orang lain yang berada di tempat kerja.
Adapun potensi bahaya yang menyangkut tenaga kerja dan orang
lain di bandara, gawat darurat yang melibatkan pesawat dan gawat
darurat yang tidak melibatkan pesawat.

10
Gawat darurat yang melibatkan pesawat adalah sebagai
berikut: kecelakaan pesawat udara di bandar udara, kecelakaan
pesawat udara di sekitar bandar udara, insiden pesawat udara
dalam penerbangan, insiden pesawat udara di darat, sabotase
termasuk ancaman bom, dan pembajakan. Gawat darurat yang
tidak melibatkan pesawat dapat terjadi di area bandara, seperti
berikut ini: kebakaran bangunan, sabotase dan ancaman bom,
bencana alam, bahaya petir, bahaya listrik.

UU Terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


Penerbangan
Penerbangan merupakan salah satu sektor industri yang
membutuhkan perhatian serius. Perhatian yang diperlukan adalah
perlunya aturan main dan pengelolaan penerbangan yang selamat
dan bermutu. Penerbangan harus memiliki peraturan yang diatur
oleh negara berdasarkan standar internasional. Peraturan yang
sudah ada di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Penerbangan UU No. 1/2009.
2. Peraturan Menteri No. 31 Tahun 2013 tentang Program
Keamanan Penerbangan Nasional.
3. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP.
152 Tahun 2012 tentang Pengamanan Kargo dan Pos yang
Diangkut dengan Pesawat Udara.
4. Annex 17 dari Organisasi Penerbangan Sipil (ICAO) mengenai
Security, Safeguarding International Civil Aviation Against Acts
of Unlawful Interference, di mana diatur ketentuan-ketentuan
tentang kewajiban pengamanan kargo dan pos sebelum
diangkut oleh pesawat udara sipil.

11
BAB 4
PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN
KAJIAN PSIKOLOGI

Performance kerja merupakan tampilan seseorang dalam


bekerja. Tampilan yang baik akan mempengaruhi efek yang baik
pada organisasi atau perusahaan, namun jika tampilannya tidak
baik akan mempengaruhi efek buruk pada perusahaan. Teori-teori
performance yang telah ada dapat menjadi acuan dalam mengkaji
performance. Teori-teori tersebut di antaranya adalah model
formula matematis Maier yang akan dijabarkan sebagai berikut:

Teori Performance Formula Maier, 1955.


Maier (1955) menjelaskan teori performance sebagai berikut:
“What a man is capable of doing and what the actually does are
not necessarily the same. The term ability refers to a person’s
potential performance, whereas the term performance refers to what a
actually does under given conditions. How a man performs on a job
depends both on his ability and his willingness or motivation. We may
express the relationship between these factors by the following
formula:
Performance = Ability x Motivation (Maier, 1995, p.203).
Interpretasi dan implikasi dari teori Maier formula sangat
penting dalam pengelolaan sumber daya manusia dalam suatu
organisasi terutama ketika salah satu faktor dalam pemilihan,
penempatan, dan kompensasi adalah kemampuan karyawan
(Hong-Chee, 1968). Rumus Maier dapat diartikan secara kuantitatif
sebagai batas atau nonlimit fungsi aljabar, itu lebih realistis untuk
pengalaman sehari-hari untuk menganggap bahwa ada batas
dalam kemampuan dan motivasi seseorang, dan karenanya tingkat
kinerja juga dibatasi oleh batas-batas tersebut.
P (performance) merupakan fungsi dan A (ability) dan M
(motivation) yang dapat ditulis sebagai rumus: P = f (A x M) (Maier,
1955). Semakin tinggi ability dan motivation karyawan maka level of

12
performance akan semakin tinggi namun apabila ability rendah dan
motivation rendah maka performance akan rendah. Hal yang sama
juga akan tejadi apabila salah satu dari ability atau motivation yang
rendah dapat menurunkan level of performance pada karyawan.

Teori Ability
Hong-Chee (1968) mendefinisikan ability sebagai berikut:
“Ability is defined as a person's performance potential. this
implies that ability marks the upper limit of a person's performance
capability. over a short period of time, ability is a relatively stable or
constant individual charactreristic and relatively independent of
situational factors. it is considered a scalar quantity because it has
only magnitude. Ability can be divided arbitrarily into two principal
kinds: mental ability and non mental ability (p.23)”
Ability didefinisikan sebagai potensi kinerja seseorang. ini
berarti bahwa kemampuan menandai batas atas kemampuan
kinerja seseorang. Selama periode waktu yang singkat, ability atau
kemampuan adalah karakateristik individu yang relatif stabil atau
konstan dan relatif independen dari faktor situasional. Itu dianggap
sebagai kuantitas skalar karena hanya memiliki magnitude. Ability
dapat dibagi menjadi dua jenis utama: kemampuan mental (mental
ability) dan kemampuan nonmental (non mental ability).
Mental ability or intelligence refers to the degree or extent to
which an individual is able to learn new things rapidly and solve
problem correctly. Kemampuan mental atau kecerdasan mengacu
pada derajat atau sejauh mana seorang individu dapat belajar hal-
hal baru dengan cepat dan memecahkan masalah dengan benar.
Tiga faktor utama yang berpengaruh pada mental ability seseorang:
native potential for learning, motivation to learn and environmental
stimulus potential.
1. Native Potential for Learning
Native potential for learning atau potensi dasar untuk belajar
adalah sebuah hypothesized characteristic dari struktur otak yang
berfungsi untuk memfasilitasi dan membatasi pengembangan apa
yang sebenarnya diwujudkan dalam kecerdasan.
2. Motivation to Learn
Motivation to learn atau motivasi belajar mengacu pada niat
seseorang dalam belajar (arah) dan tingkat aspirasi seseorang
dalam belajar (magnitude).

13
3. Environmental Stimulus Potential
Environmental stimulus potential atau potensi stimulus
lingkungan mengacu pada kesempatan seseorang dalam
pendidikan, pengalaman, dan terhadap lingkungan sosial.
Nonmental abilities atau kemampuan nonmental yang meliputi
kemampuan psikomotor, kemampuan atletik, kemampuan musik,
kemampuan artistik. Kemampuan dalam konteks ini mengacu pada
tugas yang relevan dengan kemampuan mental dan nonmental
seseorang.

Teori Motivasi
Teori tentang motivasi sangat banyak dan melibatkan banyak
pakar, secara umum motivasi didefinisikan sebagai kombinasi dari
kekuatan-kekuatan yang memulai, langsung dan mempertahankan
perilaku ke arah tujuan. Berdasarkan teori-teori motivasi yang
sudah ada, yang akan dibahas pada teori ini adalah teori dari Viktor
room (Vroom, 1964) yang dikenal dengan teori harapan atau
expectancy theory, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
Vroom proposed that: the force on a person to perform an act is a
monotonically increasing function of the algebraic sum of the products
of the valences of all outcomes and the strength of his expectancies
that the act will be followed by the attainment of these outcomes.
The expectancy theory, which is Vroom’s formula, states that:
Motivation = Expectancy x Valence (Vroom, 1964, p.18).
Teori motivasi Vroom lebih menekankan pada hasil, ketimbang
kebutuhan seperti yang dikemukakan oleh Maslow dan Hezberg.
Teori ini menyatakan bahwa intensitas kecenderungan untuk
melakukan dengan cara tertentu tergantung pada intensitas
harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil yang pasti dan
pada daya tarik dari hasil kepada individu.
Vroom dalam Koontz (1990), berpendapat bahwa orang-orang
akan termotivasi untuk melakukan hal-hal tertentu guna mencapai
tujuan, apabila mereka yakin bahwa tindakan mereka akan
mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Craig (1948) dalam
bukunya Work Motivation berpendapat bahwa ada beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat harapan atau ekspektasi seseorang
yaitu: harga diri, keberhasilan waktu melaksanakan tugas, bantuan

14
yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan, informasi
yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas, dan bahan-
bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja (Roen, 2012).
Teori harapan juga menyatakan bahwa motivasi karyawan
adalah hasil dari seberapa jauh seseorang menginginkan imbalan
(valence), yaitu penilaian bahwa kemungkinan sebuah upaya akan
menyebabkan kinerja yang diharapkan (expentancy), dan
keyakinan bahwa kinerja akan mengakibatkan penghargaan
(instrumentality) (Roen, 2012).
Keterbatasan persamaan motivasi Vroom adalah konsep vektor
dan skalar kuantitas yang digunakan untuk menafsirkan persamaan
Vroom, penggunaan operator perkalian aljabar untuk interaksi
antara harapan dan valensi untuk menentukan kekuatan komponen
motivasi dianggap sah secara operasional karena harapan
dianggap sebagai kuantitas skalar dan valensi dianggap sebagai
besaran vektor.
Asumsi Vroom bahwa jumlah aljabar dari kekuatan komponen
(EV) adalah sama dengan resultan gaya (F) dianggap valid secara
operasional. Karena gaya adalah besaran vektor, secara teoritis,
seseorang harus menggunakan operator penjumlahan vektor
daripada operator penambahan aljabar dalam penjumlahan dari
kekuatan komponen untuk menyelesaikan gaya resultan. Anggapan
bahwa valensi seseorang beroperasi baik tegak lurus
(ketidakpedulian) atau arah diagonal berlawanan, maka, secara
operasional, tidak ada perbedaan antara aljabar dan penjumlahan
vektor meskipun secara teoritis itu salah. Asumsi tersebut adalah
model lebih sederhana dari hubungan interaktif antara variabel
pribadi dan variabel lingkungan.
Berdasarkan teori motivasi Vroom di atas dapat dilihat bahwa
motivasi sangat tergantung pada tiga faktor yaitu expectancy,
instrumentality, dan valence yang ketiganya saling terkait untuk
dapat mengukur motivasi seseorang terhadap pekerjaannya
sehingga harapan akan pekerjaan yang nyaman dan produktif
dapat terealisasikan.

15
BAB 5
PERFORMANCE KERJA BERDASARKAN
KAJIAN SAFETY

Pengertian Ergonomi
Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari
dua kata yaitu ergon berarti kerja dan nomos berarti aturan atau
hukum. Jadi secara ringkas ergonomi adalah suatu aturan atau
norma dalam sistem kerja. Negara Indonesia memakai istilah
ergonomi, tetapi di beberapa negara seperti di Skandinavia
menggunakan istilah “bioteknologi” sedangkan di negara Amerika
menggunakan istilah “human enggineering” atau “human factors
enggineering”, kesemuanya membahas hal yang sama yaitu
tentang optimalisasi fungsi manusia terhadap aktivitas yang
dilakukan (Tarwaka, 2004).
Definisi ergonomi menurut Tarwaka (2004) dari beberapa ahli
atau pakar yang berhubungan dengan tugas, pekerjaan, dan
desain.
Ergonomics is the application of scientific information about
human being (and scientific methods of acquiring such information) to
the problems of design (Pheasant, 1988). Ergonomics is the study of
human abilities and characteristics which affect the design of
equipment, systems and job (Corlett & Clark, 1995). Ergonomics is
the ability to apply information regarding human characters,
capacities, and limitation ti the design of human tasks, machine
system, living spaces, and environment so that people can live, work
and play safety, comportably and efficienctly (Annis & Mc. Conville,
1996). Ergonomic design is the application of human factors,
information to the design of tools, machines, systems, tasks, jobs, and
environments for productive, safe, comportable and effective human
functioning (p.6).
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka secara umum
ergonomi dapat diartikan sebagai berikut: ergonomi adalah ilmu,
seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau
menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik

16
dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan
keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas
hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004).

Tujuan Ergonomi
Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi menurut
Tarwaka (2004) adalah:
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya
pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan
beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan
kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan
kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja
secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik
selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak
produktif.
3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek
yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari
setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas
kerja dan kualitas hidup yang tinggi.

Konsep Keseimbangan dalam Ergonomi


Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni, dan teknologi yang
berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja
terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan
manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa
pengaruh buruk dari pekerjaannya. Berdasarkan sudut pandang
ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus
selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi
kerja yang tinggi, agar tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu
rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan
(overload), karena overload dan underload keduanya berdampak
pada stress kerja (Tarwaka, 2004).
Kemampuan kerja seseorang sangat ditentukan oleh: (1)
personal capacity (karakteristik pribadi), meliputi faktor usia, jenis
kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial,
agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh dan
lain-lain; (2) psysiological capacity (kemampuan fisiologis), meliputi

17
kemampuan dan daya tahan cardio-vaskuler, syaraf otot,
pancaindera dll.; (3) psycological capacity (kemampuan psikologis)
berhubungan dengan kemampuan mental, waktu reaksi,
kemampuan adaptasi, stabilitas emosi, dsb.; (4) biomechanical
capacity (kemampuan bio-mekanik) berkaitan dengan kemampuan
dan daya tahan sendi dan persendian, tendon, dan jalinan tulang.
Tuntutan tugas pekerjaan/aktivitas tergantung pada :(1) task
and material characteristics (karakateristik tugas dan material) yang
ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan
dan irama kerja dsb. (2) Organization characteristics; berhubungan
dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti
dan libur, manajemen, dsb. Dan yang ketiga (3) environmental
characteristics berkaitan dengan manusia teman setugas, suhu dan
kelembaban, bising dan getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu,
norma, adat istiadat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar dsb.

Performance Kerja atau Performansi


Performansi atau tampilan seseorang sangat tergantung
kepada rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya
kemampuan yang bersangkutan. Apabila rasio tuntutan tugas lebih
besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya
maka akan menimbulkan ketidaknyamanan, overstress, kelelahan,
kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit, dan tidak produktif,
sebaliknya apabila tuntutan tugas lebih rendah daripada
kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi
penampilan akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan,
kelesuan, sakit, dan tidak produktif. Penampilan menjadi optimal
yakni dengan keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan
kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan
kerja yang sehat, aman, nyaman, dan produktif (Tarwaka, 2004).

18
BAB 6
FAKTOR PERFORMANCE BERDASARKAN
KONSEP PSIKOLOGI DAN SAFETY.

Faktor yang mempengaruhi performance dari sudut psikologi


dan safety merupakan gabungan konsep performance yang dikaji
dan ditelaah dari sudut ilmu psikologi dan ilmu keselamatan kerja
dan kesehatan kerja. Kajian psikologi dan safety diharapkan akan
melahirkan suatu konsep performance yang baru. Gabungan kedua
konsep inilah yang digunakan untuk melakukan pengembangan
satu konsep baru tentang safety performance.
Safety performance merupakan tampilan kerja yang selamat
dan aman dengan mengikuti kaidah-kaidah keselamatan dan
kesehatan dalam bekerja sehingga melahirkan hasil kerja yang
optimal. Safety performance memperhatikan seluruh unsur-unsur
yang ada di perusahaan agar tercapai pengendalian menyeluruh
sesuai kaidah doktrin dalam K3.
Adapun penilaian performance dapat diukur melalui elemen-
elemen berikut menurut (Jackson, 2002), terdiri dari lima elemen
yaitu:
1. kualitas hasil,
2. kuantitas hasil,
3. ketepatan waktu,
4. kehadiran,
5. kemampuan bekerja sama.
Indikator performance dapat dilihat dari output-nya seperti
angka absenteeism, ketangkasan/kecepatan dalam pengambilan
keputusan dan kemampuan dalam bekerja sama dalam suatu tim
kerja (team work) dan derajat kesehatan dari petugas ATC seperti
kelelahan, kebosanan dan stress. Indikator dampaknya adalah
terjadinya zero accident pada kecelakaan pesawat terbang.
Safety performance dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di
antaranya adalah job ability, motivasi kerja, lingkungan kerja,

19
peralatan kerja, burnout, keluhan muskuloskeletal, status kesehatan
berkala, organisasi K3, identitas individu. Safety performance yang
baik akan menyebabkan kerja yang optimal dan meningkatkan
produktivitas.
Berikut akan dibahas faktor-faktor yang yang dapat
mempengaruhi safety performance baik secara langsung maupun
melalui perantara (intervening).

Identitas Individu dan Safety Performance


Identitas individu merupakan karakteristik individu yang
terdapat dalam diri karyawan dan yang berkaitan dengan pekerjaan
karyawan. Identitas individu yang berpengaruh terhadap safety
performance seorang karyawan ATC adalah umur, jenis kelamin,
pendidikan, masa kerja, dan unit kerja.
Umur dapat mempengaruhi performance karyawan ATC terjadi
apabila umur muda atau terlalu tua. Hal ini dapat berdampak akibat
dari tingkat kematangan dan kondisi fisik dan mental. Misalkan
pada umur terlalu muda maka tingkat kematangan masih rentan
akibat pengalaman yang sedikit, begitu juga sebaliknya umur yang
terlalu tua dapat mempengaruhi performance dari faktor fisik, di
mana semua sel-sel dan jaringan sudah mulai menua dan menurun
kualitasnya sehingga ini akan berdampak pada tingkat performance
karyawan.
Menurur Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu
melibatkan unsur persepsi, interpretasi, dan proses mental dari
suatu informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil
suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau.
Persoalan pada manusia adalah kemampuan untuk memanggil
kembali atau mengingat informasi yang disimpan. Proses
mengingat kembali ini sebagian besar menjadi masalah bagi orang
tua. Seperti kita ketahui bahwa orang tua kebanyakan mengalami
penurunan daya ingat.
Jenis kelamin dapat mempengaruhi safety performance
karyawan karena jenis kelamin tertentu akan memiliki kelebihan
dan kekuatan fisik yang berbeda. Misalkan jenis kelamin laki-laki
secara fitrah kelahirannya memiliki fisik dan organ yang lebih kuat
dari wanita sehingga laki-laki secara fisik lebih kuat. Pekerjaan yang

20
membutuhkan kekuatan fisik maka performance laki-laki secara
umum akan lebih baik daripada wanita.
Pendidikan akan dapat mempengaruhi tingkat safety
performance karyawan di mana pendidikan tinggi pada karyawan
dapat meningkatkan level of knowledge dari karyawan sehingga
performance akan meningkat, namun sebaliknya dapat terjadi
penurunan performance apabila tingkat pendidikan rendah, maka
performance kerja akan rendah.
Masa kerja seorang karyawan ATC dapat mempengaruhi
safety performance. Semakin lama masa kerja akan semakin tinggi
level of performance. Pengalaman dan adaptasi terhadap tugas dan
tanggung jawab sudah dimiliki sehingga performance akan lebih
baik.
Unit kerja dapat mempengaruhi safety performance dalam
bekerja. Unit kerja yang baik adalah unit kerja yang dilengkapi
dengan peralatan dan fasilitas yang safety dan mengutamakan
keselamatan dan kesehatan dalam bekerja. Unit kerja yang
dibebankan diberikan mudah dan tidak terlalu tinggi beban kerjanya
akan meningkatkan level of performance karyawan. Unit kerja yang
baik adalah unit kerja yang memiliki beban kerja yang seimbang
dengan kapasitas kerja dari karyawan.
Berdasarkan literature evaluasi kinerja atau performa kerja,
banyak studi sistematis telah dibuka untuk dampak potensial dari
beberapa variabel seperti usia, jenis kelamin (Lee dan Alvares,
1977), pengalaman (Schmidt et al., 1986), waktu pengamatan
(Moser et al., 1999), pengaruh interpersonal (Antonioni dan Park,
2001), format rating (Yun et al., 2005), perilaku kerja menyimpang
(Dunlop dan Lee, 2004), politik organisasi (Witt et al., 2002; Miron
et al., 2004. ) terhadap prestasi kerja dan hasil penelitian
menunjukkan bahwa performa tugas memiliki korelasi yang kuat
dengan tingkatan kerja dan performa, kondisi lingkungan
berkorelasi secara signifikan dengan performa tugas (Kahya, 2007).

Job Ability dan Safety Performance


Job ability adalah kemampuan mental dan nonmental dari
karyawan ATC, kemampuan mental merupakan kemampuan
kognitif yang terdiri dari kemampuan intelektual, dan kemampuan
nonmental terdiri dari kemampuan psikomotorik yang dapat diukur

21
melalui tes work sample. Kemampuan atau ability dapat
mempengaruhi tingkat performance kerja seorang karyawan ATC.
Semakin tinggi tingkat job abilty maka akan semakin tinggi level of
performance namun sebaliknya jika job ability rendah maka
performance kerja akan rendah.
Performa kerja adalah sebuah konsep yang rumit yang dapat
diukur dengan berbagai teknik. Sejumlah peneliti (e.g.,Ghiselli &
Brown, 1948; Guion, 1979; Robertson & Kandola, 1982) telah
menganjurkan penggunaan tes sampel pekerjaan (work sample)
karena langsung, relevan dan untuk menilai kemampuan kerja
(Bruskiewicz, 2000). Performa terhadap tugas dan konteks
merupakan 2 dimensi dalam perilaku di tempat kerja yang dapat
berkontribusi terhadap dampak dari efektivitas suatu organisasi
(Griffin, 2000).

Motivasi dan Safety Performance


Motivasi merupakan dorongan dari individu untuk melakukan
sesuatu. Motivasi seorang karyawan ATC yang baik dan penuh
tanggung jawab terhadap tugas dapat meningkatkan level of
performance dari seorang karyawan. Apabila motivasi rendah dan
tidak memiliki dorongan positif untuk bekerja secara maksimal
sangat berdampak pada performance kerja seorang karyawan.
Motivasi yang baik adalah motivasi yang mampu memberikan
semangat dalam bekerja sehingga tugas dan tanggung jawab
dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Menurut Rubin dan McNeil (1983), motif adalah jenis penyebab
khusus yang memberi energi, mengarahkan, dan mempertahankan
perilaku seseorang termasuk lapar, haus, seks, dan rasa ingin tahu
(Gross, 2010). Motivasi, dalam pengertian umum, mengacu pada
proses-proses yang terlibat dalam inisiasi, pengarahan, dan
energisasi perilaku individu (Geen, 1995). Kata motif berasal dari
bahasa latin untuk move (movere), dan ini ditangkap dalam definisi
Miller. Studi tentang motivasi adalah studi tentang semua hal yang
mendorong dan membangkitkan: biologis, sosial, dan psikologis
yang mengalahkan kemalasan, dan menggerakkan kita, dengan
bersemangat atau malas untuk bertindak (Gross, 2010).
Perbedaan dalam aliran psikologi menunjukkan bahwa motif
bisa bervariasi dalam kaitannya dengan sejumlah fitur atau dimensi,

22
termasuk: internal atau eksternal, bawaan atau dipelajari,
mekanistik atau kognitif, sadar atau tidak sadar. Beberapa upaya
telah dilakukan untuk mengklasifikasikan berbagai macam motif,
sebagai contoh, Rubin dan Mc Neil (1983) mengidentifikasikan
bahwa (i) motif menjaga kelangsungan hidup atau motif fisiologis,
dan (ii) motif kompetensi atau motif kognitif. Motif sosial
merepresentasikan kategori ketiga. Manusia memiliki motif menjaga
kelangsungan hidup yang sama dengan binatang lain, selain motif-
motif kompetensi tertentu. Motif-motif lain secara khusus dan unik
bagi manusia, khususnya aktualisasi diri, yang terletak di puncak
hierarki kebutuhan Maslow (1954) (Gross, 2010).
Hasil penelitian Jankingthong (2012) menunjukkan bahwa
kebijakan organisasi, keterlibatan kerja, dan PSM (public service
motivation) memiliki efek langsung terhadap performansi kerja
(Jankingthong, 2012). Motivasi dan kemampuan kognitif merupakan
dua faktor penentu dasar dalam pembelajaran dan performansi
kerja. Sejumlah penelitian (Dunnette 1976; Ghiselli, 1966; Hunter,
1986) telah meneliti peran kemampuan kognitif-intelektual dalam
memprediksi perbedaan individu dalam prestasi kerja (Ackerman,
1989).
Kesimpulan yang dapat dilihat berdasarkan beberapa hasil
penelitian di atas bahwa motivasi sangat terkait dengan performa
seseorang karyawan yang aman dan sehat (safety performance).
Motivasi yang tinggi dalam bekerja akan meningkatkan performa
baik terhadap tugas maupun organisasi sehingga motivasi harus
terus diasah, diasuh dan dipelihara agar tetap dalam kondisi yang
baik agar performa dapat optimal terus optimal.

Beban Kerja dan Safety Performance


Beban kerja merupakan beban kerja yang diberikan
perusahaan kepada karyawan berupa shift kerja dan lama kerja.
Beban kerja yang baik adalah beban kerja yang diberikan kepada
karyawan melebihi kapasitas kerja mereka. Apabila beban kerja
yang diberikan seimbang dengan kapasitas kerja karyawan maka
akan terjadi kondisi performance yang optimal. Namun, sebaliknya
akan terjadi penurunan performance kerja apabila beban terlalu
rendah atau terlalu tinggi. Misalkan shift kerja yang diberikan terlalu
sering pada shift malam, lama kerja melebihi waktu atau jam kerja

23
yang diperkenankan (>8 jam perhari, atau 40 jam perminggu)
sehingga menyebabkan performance kerja menjadi menurun.
Setiap tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan
aktivitas pekerjaan sehari-hari. Adanya massa otot yang bobotnya
hampir lebih dari separuh berat tubuh, memungkinkan kita untuk
dapat menggerakkan tubuh dan melakukan pekerjaan. Pekerjaan di
satu pihak mempunyai arti penting bagi kemajuan dan peningkatan
prestasi, sehingga mencapai kehidupan yang produktif sebagai
salah satu tujuan hidup. Bekerja berarti tubuh akan menerima
beban dari luar tubuhnya denga kata lain, bahwa setiap pekerja
merupakan beban bagi yang bersangkutan. Beban tersebut dapat
berupa beban fisik maupun mental.
Berdasarkan sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang
diterima oleh seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap
kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan
manusia yang menerima beban tersebut. Menurut Suma’mur (1984)
bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu
kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat
keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia,
ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan (Tarwaka, 2004).
Selain beban kerja fisik, beban kerja mental harus dilakukan
penilaian. Penilaian beban kerja mental tidaklah semudah
melakukan penilaian terhadap beban kerja fisik. Pekerjaan yang
bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi faal tubuh.
Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis
pekerjaan yang ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas
mental juga lebih rendah. Padahal secara moral dan tanggung
jawab, aktivitas mental jelas lebih berat dibandingkan dengan
aktivitas fisik karena lebih melibatkan kerja otak (white-collar) dari
pada kerja otot (blue-collar).
Saat ini, aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerja-
pekerja kantor, supervisor, dan pimpinan sebagai pengambil
keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar, pekerja di
bidang teknik informasi, pekerja dengan menggunakan teknologi
tinggi, pekerjaan dengan kesiapsiagaan tinggi, pekerjaan yang
bersifat monotoni dan lain-lain. Menurur Grandjean (1993) setiap
aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi,
dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ

24
sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat
informasi yang lampau. Persoalan pada manusia adalah
kemampuan untuk memanggil kembali atau mengingat informasi
yang disimpan. Proses mengingat kembali ini sebagian besar
menjadi masalah bagi orang tua. Seperti kita ketahui bahwa orang
tua kebanyakan mengalami penurunan daya ingat.
Penilaian beban kerja mental lebih tepat menggunakan
penilaian terhadap tingkat ketelitian, kecepatan maupun konstansi
kerja seperti tes ‘Bourdon Wiersma’. Sedangkan jenis pekerjaan
yang lebih memerlukan kesiapsiagaan tinggi (vigilance) seperti
petugas air traffic controller di bandar udara adalah sangat
berhubungan dengan pekerjaan mental yang memerlukan
konsentrasi tinggi. Semakin lama orang berkonsentrasi maka akan
semakin berkurang tingkat kesiapsiagaannya. Maka uji yang lebih
tepat untuk menilai vigilance adalah tes waktu reaksi. Waktu reaksi
sering dapat digunakan sebagai cara untuk menilai kemampuan
dalam melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan mental
(Tarwaka, 2004).
Beban kerja mental (Neill, 2011) adalah membangun kompleks
(complex construct) dengan beberapa dimensi. Persepsi beban
mental ditentukan oleh kapasitas pengolahan individu dan
persyaratan tugas. Kapasitas pengolahan dipengaruhi oleh
karakteristik individu (misalnya tingkat keterampilan, energi,
perilaku pribadi dan persepsi), kondisi kinerja (misalnya pekerjaan
lingkungan dan waktu tuntutan), kompleksitas kegiatan (misalnya
kegiatan rutin vs prosedur khusus atau keadaan darurat), dan
pengaruh tidak langsung (misalnya pola staf, dukungan
administrasi). Kapasitas pengolahan, memori kerja merupakan
faktor pembatas dalam pengolahan rangsangan dan memenuhi
tuntutan beban kerja yang aman. Memori kerja dan keakraban
dengan tuntutan yang dibuat oleh persyaratan tugas merupakan
dampak yang dirasakan dari tuntutan beban kerja mental.
Kompleksitas beban kerja mental yang ditingkatkan dari perbedaan
individu yang dapat membuat pengukuran yang memadai dengan
menggunakan satu instrumen yang sulit.
Beban kerja mental digunakan untuk mengacu pada jumlah
aktivitas kognitif yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas
seperti evaluasi, perencanaan, dan pemantauan yang diperlukan

25
untuk pengendalian lalu lintas udara yang efektif. Sebuah metode
untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja atau
performansi kerja dari jenis tugas (tugas mental yang membutuhkan
aktivitas kognitif yang signifikan) dan pemahaman yang lebih besar
dapat dimasukkan ke dalam pengukuran kompleksitas (Pawlak,
1996).
Teknik beban kerja mental dapat dikelompokkan menjadi tiga
ukuran luas: psikofisik, performa/kinerja, dan subjektif (Owen, 1992,
Veltman, 2002). Masing-masing ukuran memiliki aplikasi spesifik
dan keterbatasan dalam menentukan beban kerja mental yang
terkait dengan tuntutan kerja dan lingkungan (Neill, 2011).
Beban mental subjektif adalah jumlah pekerjaan yang
dipersepsikan pekerja untuk memenuhi kebutuhan akan
permintaan. Beban kerja yang dirasakan dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang berkaitan dengan pekerja, lingkungan, dan tugas. Ada
anggapan, berdasarkan pengalaman subjektif dan ketidakmampuan
sering manusia untuk melakukan dua tugas secara bersamaan,
bahwa manusia memiliki kapasitas sistem pengolahan pusat yang
terbatas (Kerr, 1973). Manusia harus sering memilih tempat untuk
memusatkan perhatian mereka ketika dihadapkan dengan pilihan
bersaing. Perhatian dalam konteks mental beban kerja adalah
proses pemilihan dari berbagai rangsangan untuk memproses
informasi (Navon, 1985) dalam (Neill, 2011).
Berdasarkan hasil beberapa penelitian di atas menujukkan
bahwa beban kerja sangat berpengaruh terhadap performance
kerja yang aman dan selamat (safety performance). Apabila beban
kerja pada level yang tepat sesuai dengan kapasitas kerja maka
akan terjadi kondisi kerja yang sehat, aman dan selamat sehingga
performa menjadi optimal.

Lingkungan Kerja dan Safety Performance


Lingkungan kerja adalah beban kerja tambahan yang diberikan
kepada karyawan dalam bekerja. Lingkungan kerja yang dikaji
dalam riset ini adalah lingkungan kerja fisik pada tempat kerja
karyawan. Lingkungan kerja yang baik dan sehat akan
menyebabkan rasa nyaman dalam bekerja sehingga dapat memicu
tingkat performance kerja yang aman dan sehat pada seorang

26
karyawan menjadi meningkat dan level of performance menjadi
tinggi.
Kondisi lingkungan yang baik adalah kondisi lingkungan kerja
yang nyaman seperti suhu dan kelembaban yang sehat dan optimal
dalam bekerja, pencahayaan yang cukup tidak silau atau kurang.
Pencahayaan yang terlalu terang akan menyebabkan gangguan
kesehatan mata yang disebabkan karena intensitas cahaya yang
teralu ekstrem sehingga menjadi silau. Pencahayaan yang kurang
akan dapat menyebabkan eyestrain.
Dension (1990) proposed that there are two components of
work environment: culture and climate. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa work environment has a positive relationship
with both transformational leadership and employee performance
respectively dengan nilai work environment terhadap employee
performance (r =.51, p <0.01). Ini menujukkan bahwa lingkungan
kerja secara signifikan berpengaruh positif terhadap performance
karyawan (Imran, 2012).
Kondisi suhu yang ekstrem seperti dingin di bawah 50 derajat
Fahrenheit atau panas di atas 80 derajat Fahrenheit, sangat
mempengaruhi produktivitas dan kesehatan karyawan. Suhu dan
kelembaban yang tidak sehat dan optimal dapat menyebabkan
bersin-bersin, sakit kepala sehingga kondisi ini akan menyebabkan
performance kerja menjadi menurun, sebaliknya jika suhu dan
kelembabannya baik dan sehat maka performance kerja menjadi
tinggi. Pencahayaan merupakan salah satu komponen agar pekerja
dapat bekerja atau mengamati benda yang sedang dikerjakan
secara jelas, cepat, nyaman, dan aman. Penerangan atau
pencahayaan yang memadai akan memberikan kesan
pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang
menyegarkan. Benda akan terlihat bila benda tersebut
memantulkan cahaya, baik yang berasal dari benda itu sendiri
maupun berupa pantulan yang datang dari sumber cahaya lain.
Cahaya dalam lingkungan kerja dimaksudkan agar benda terlihat
jelas. Pencahayaan tersebut dapat diatur sedemikian rupa yang
disesuaikan dengan kecermatan atau jenis pekerjaan sehingga
memelihara kesehatan mata dan kegairahan kerja (Subaris, 2008).
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa
lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap performa kerja

27
seorang karyawan. Lingkungan kerja yang sehat akan
meningkatkan performa seorang karyawan sehingga safety
performance dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan.

Peralatan Kerja dan Safety Performance


Berdasarkan sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang
diterima baik dari peralatan atau lingkungan kerja oleh seseorang
harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik,
kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima
beban tersebut. Menurut Suma’mur (1984) bahwa kemampuan
kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya
dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran
jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, ukuran tubuh dari
pekerja yang bersangkutan (Tarwaka, 2004).
Peralatan dan perlengkapan yang efektif atau tepat guna
sangat diperlukan dalam perencanaan. Seleksi peralatan, harus
mengetahui keluwesan dan kesesuaian alat. Penetapan mesin
harus sesuai dengan jenis yang akan diadakan seperti mesin serba
guna atau tunggal guna. Perbedaan antara mesin serba guna dan
tunggal guna adalah pada operatornya. Operator mesin serba guna
akan lebih aman mengendalikan mesin untuk berbagai macam
produksi, sedangkan yang tunggal guna akan lebih kaku jika
diharuskan mengendalikan mesin-mesin baru.
Desain dan seleksi mesin apapun harus memperhatikan: (1)
mesin tersebut atau peralatan tersebut harus mudah dipasang,
dirawat, dan diperbaiki, (2) mesin atau peralatan tersebut harus
dilengkapi dengan sarana keselamatan untuk mencegah kerugian
dalam perbaikan. Desain peralatan atau lokasi kerja dapat
menimbulkan atau mencegah kecelakaan. Perencana yang sadar
akan keselamatan kerja selalu memberi ruang gerak yang cukup
guna mencegah kecelakaan sewaktu mengangkat barang,
menyediakan tangga untuk alat pengendali di atas kepala,
mengisolasi saluran di atas 200 derajat Fahrenheit. Peralatan atau
mesin yang selamat senantiasa lengkap dengan kontak pengaman,
seperti alat menghentikan beban berlebih dan lain-lain.
Peningkatan performance alat dan karyawan, pertimbangan
safety harus diperhatikan oleh pimpinan agar tercapai produktivitas
yang tinggi baik pada alat maupun karyawan. Peralatan yang baik

28
dan dapat dioperasionalkan dengan baik oleh karyawan akan
meningkatkan level of performance dari karyawan sehingga
performance kerja menjadi meningkat.
Berdasarkan dari beberapa studi di atas maka dapat
disimpulkan bahwa peralatan kerja sangat berpengaruh terhadap
performance kerja yang aman dan selamat (safety performance).
Apabila peralatan kerja pada level yang tepat sesuai dengan
kapasitas kerja maka akan terjadi kondisi kerja yang sehat, aman
dan selamat sehingga performa menjadi optimal.

Burnout dan Safety Performance


Schaufeli et al., (2005) menyatakan bahwa burnout dan
prolonged fatigue merupakan dua gejala fatigue yang sangat
penting. Perbedaan antara burnout dan prolonged fatigue adalah
pada konsepnya di mana burnout pada kondisi yang disebabkan
oleh sebuah pekerjaan sedangkan prolonged fatigue disebabkan
kondisi yang umum atau general. Lewis (1992) perbedaan juga dari
latar belakangnya di mana prolonged fatigue disebabkan medical
background (Leone, 2007).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa
kelelahan adalah perihal (keadaan) kelelahan, kepenatan,
kepayahan. Kelelahan emosional adalah kelelahan yang
diekspresikan dalam bentuk perasaan frustasi, putus asa, merasa
terjebak, tidak berdaya, tertekan dan merasa sedih atau apatis
terhadap pekerjaan; kelelahan fisik adalah kelelahan yang ditandai
oleh adanya keletihan, kejenuhan, ketegangan otot, perubahan dari
kebiasaan makan dan tidur, serta secara umum tingkat energinya
rendah, sedangkan kelelahan mental adalah kelelahan karena
ketidakpuasan terhadap diri sendiri, ketidakpuasan terhadap
pekerjaan dan hidup secara keseluruhan, serta merasa tidak
kompeten atau merasa rendah diri, sedangkan psikologi adalah
sesuatu yang berkenaan dengan psikologi yang bersifat kejiwaan.
Kelelahan mental atau burnout adalah kondisi letih secara
emosi dan jenuh dengan keadaan yang ada sehingga memicu
timbulnya masalah berupa tidak ada gairah kerja, semangat
menjadi hilang, depersonalisasi. Burnout dapat mempengaruhi
tingkat performance kerja seorang karyawan. Apabila keadaan ini
tidak ditindaklanjuti akan menyebabkan performance kerja akan

29
sangat rendah karena burnout mampu menyebabkan orang lain
tidak peduli akan sekitarnya.
Menurut Lee (1996) components of job burnout: emotional
exhaustion, depersonalization, feelings of failure in individual
achievement and efficiency are three components of job burnout
(Ashtari, 2009). Hasil penelitian pada pegawai yang menangani
masalah mental di Iran menunjukkan bahwa 45,6 % dari sampel
memiliki job burnout pada tingkat tinggi, 42,5 % subjek memiliki
kelelahan emosional pada tingkat tinggi dan 65,5 % mengalami
depersonalisasi pada tingkat tinggi, namun hanya 21 % mengalami
perasaan kegagalan dalam prestasi individu pada tingkat tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara job burnout dan inability for job performance (Ashtari, 2009).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa kelelahan dalam hal ini burnout sangat mempengaruhi
performa seseorang. Apabila pekerja mengalami burnout maka
pekerjaan tidak akan dapat diselesaikan secara optimal karena
performa menjadi sangat rendah akibat dari rasa kelelahan akibat
kondisi kerja. Performa menjadi optimal apabila burnout dapat
diminimalisir dengan mekanisme coping terhadap stress yang harus
dimiliki oleh setiap karyawan ATC.

Keluhan Muskuloskeletal dan Safety Performance


Keluhan muskuloskeletal adalah kondisi nyeri di bagian
punggung belakang akibat posisi kerja yang salah dalam bekerja.
Keluhan muskuloskeletal akan menurunkan performance kerja.
Keluhan muskuloskeletal akan sangat berbahaya pada karyawan
jika tidak segera diatasi. Penanganan yang serius terhadap
masalah ini harus segera dilakukan. Keluhan muskuloskeletal dapat
diukur melalui nordic body map untuk mengetahui titik-titik nyeri
pada tulang bagian belakang karyawan.
Nordic body map merupakan titik-titik nyeri pada tulang bagian
belakang yang terdiri dari 28 titik nyeri yang dirasakan oleh
seseorang. Titik nyeri mulai dari leher sampai kaki pada bagian
belakang tubuh, keluhan yang dirasakan mulai dari tidak ada
keluhan, agak sakit, sakit, dan sakit sekali. Berikut dapat
digambarkan titik nyeri yang ada pada gambar 2.1 sebagai berikut:

30
Gambar 2.1 Nordic Body Map

Performance yang safety sangat terpengaruh oleh kondisi


tulang punggung belakang, lebih-lebih jika terjadi gangguan tulang
belakang seperti nyeri dan keluhan lainnya. Upaya untuk
mempertahankan agar terjadi kondisi punggung belakang yang
sehat harus bekerja pada posisi yang ergonomis, di mana alat kerja
harus disesuaikan dengan ukuran antropometri tubuh karyawan di
dalam bekerja. Performance kerja yang safety akan didapatkan
apabila masalah tulang punggung bagian belakang tidak terdapat
nyeri ataupun gangguan lain, sehingga performance akan
meningkat, sehingga produktivitas kerja akan meningkat.

31
Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa
keluhan muskuloskeletal memiliki pengaruh terhadap performa
kerja seorang karyawan. Apabila tidak ada keluhan maka akan
berdampak pada performa kerja yang optimal namun sebaliknya
akan turun level performa apabila terjadi keluhan muskuloskeletal
pada karyawan.

Status Kesehatan Berkala dan Safety Performance


Status kesehatan dalam hal ini status kesehatan berkala
sangat mempengaruhi safety performance seorang karyawan, di
mana jika kondisi sehat akan sangat baik tingkat performance
kerjanya. Namun sebaliknya jika terjadi sakit maka performance
akan menurun. Status kesehatan seorang karyawan ATC harus
optimal agar didapatkan performance yang optimal sehingga
diperlukan kontrol terhadap kesehatan karyawan baik secara
berkala maupun tahunan dan pemeriksaan sebelum kerja. Status
kesehatan berkala yang akan dilihat antara lain: jenis penyakit,
tekanan darah, status gizi, visus, dan kebugaran karyawan.
Status kesehatan memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap safety performance seorang karyawan. Status kesehatan
yang baik dan sehat akan berdampak positif bagi peningkatan
safety performance karyawan ATC. Status kesehatan yang buruk
akan berdampak negatif bagi safety performance karyawan, karena
ini akan menurunkan performance pada karyawan.

Organisasi K3 dan Safety Performance


Organisasi K3 merupakan organisasi yang menangani masalah
kebijakan mengenai K3 di perusahaan. Organisasi K3 di
perusahaan harus dapat mencegah kecelakaan atau pemeliharaan
keselamatan dan kesehatan kerja yang bertitik tolak dari konsep
pengendalian menyeluruh sesuai doktrin K3.
Organisasi K3 di perusahaan idealnya harus mempunyai
seorang pejabat keselamatan kerja atau direktur keselamatan kerja.
Tim yang dapat membantu adalah Panitia Pembinaan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (P2K3) yang harus diorganisir. Setiap anggota
panitia wajib mengikuti pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja
dan memperoleh pengesahan dari pemerintah.

32
Tugas pokok P2K3 pada dasarnya adalah: (1) menjamin
bahwa kebiasaan K3 selalu dipatuhi seluruh karyawan (2)
mempelajari setiap kecelakaan dan membuat saran-saran
perbaikan (3) membina kesadaran bekerja yang aman dan selamat
(4) bertindak sebagai pengaman bilamana terjadi kebakaran di
perusahaan (5) menjadi contoh dalam hal keselamatan dan
kesehatan kerja bagi seluruh karyawan.
Organisasi K3 sangat berpengaruh terhadap peningkatan
safety performance karyawan karena organisasi K3 akan
memberikan wawasan dan informasi terkait kaidah-kaidah bekerja
yang baik dan safety. Kerja yang buruk dengan penampilan kerja
yang tidak aman dan sehat akan mungkin terjadi apabila tidak
adanya informasi dari organisasi K3 tentang cara kerja yang aman
dan sehat.
Berdasarkan penjelasan di atas memberikan kesimpulan
bahwa keberadaan organisasi K3 memiliki pengaruh yang besar
terhadap peningkatan safety performance karyawan. Keberadaan
Organisasi K3 akan memberikan arahan dan bimbingan serta
kontrol dalam bekerja agar selamat dan sehat pada karyawan ATC
sehingga safety performance menjadi lebih baik. Organisasi K3
berfungsi dan menjalankan perannya dalam menjaga keselamatan
karyawan. Keselamatan karyawan dan kesehatan kerja karyawan
adalah kunci kesuksesan suatu perusahaan dalam menjalankan
usahanya.

33
BAB 7
FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA
ABSENTEEISM ATC

Performance kerja merupakan tampilan kerja pada tenaga


kerja atau karyawan yang dapat dilihat dari angka absenteeism.
Absenteeism pada karyawan dapat menjadi salah satu indikator
dari performance kerja. Absenteeism dapat dipengaruhi oleh
banyak faktor di antaranya motivasi, job ability, lingkungan kerja,
beban kerja, kelelahan (burnout), keluhan muskuloskeletal. Berikut
akan diurai secara rinci tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
absenteeism di tempat kerja dalam hal ini pada karyawan air traffic
controller (ATC).

Definisi dan Batasan Absenteeism


Pengertian absenteeism dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, berarti ketidakhadiran yang terus-menerus baik di
perusahaan ataupun di sekolah, sedangkan dalam Dictionary oleh
Farlex adalah ‘habitual failure to appear, especially for work or other
regular duty’. Pengertian lainnya menurut Rhodes and Steers
(1990: 11-12) adalah a person either is or is not at work. Brooke
and Price (1989: 2) defined absence as the non-attendence of
employees for scheduled work (Clenney, 1992).

Jenis-jenis Absenteeism
Beberapa studi menunjukkan bahwa dua jenis absenteeism
yaitu voluntary (sukarela) dan involuntary (terpaksa). Voluntray
while voluntary absence implies a conscious decision by the worker
about whether to attend work on any given day; ketika
ketidakhadiran secara sukarela menunjukkan keputusan secara
sadar oleh pekerja untuk tidak menghadiri bekerja pada hari yang
ditentukan, involuntary absence implies that it is beyond the
immediate control of the worker, e.g. transportation problem,

34
sickness or family funeral; ketidakhadiran terpaksa menyiratkan
bahwa itu adalah di luar kendali langsung dari pekerja, misalnya
masalah transportasi, sakit atau pemakaman keluarga (Hackett &
Gulon, 1985: 341-342; Steers & Rhodes, 1978: 392-393).
Studi lain menunjukkan absenteeism menjadi empat jenis yaitu:
unexcused, excused personal, excused sick family and tardiness
(Blau, 1985: 448). Landy dan Farr (1983) telah mengidentifikasi
lebih 40 definisi operasional yang berbeda tentang ketidakhadiran.

Pengaruh Absenteeism terhadap Performance


Performa kerja atau kinerja dapat diukur secara objektif dengan
menggunakan informasi dari file personel karyawan. Hal yang dapat
dilihat adalah kualitas dan kuantitas pelatihan, kehadiran,
pendidikan, adanya saran, jumlah pengaduan, jumlah kecelakaan
kerja terkait. Indeks personil yang paling umum digunakan adalah
absensi karyawan. Asumsinya adalah bahwa karyawan yang
bekerja delapan jam sehari, hari demi hari, akan lebih produktif (dan
biaya perusahaan kurang dalam asuransi kesehatan), dari seorang
karyawan yang sering absen. Meskipun tampaknya cukup
sederhana, bagaimana absensi didefinisikan akan berdampak
besar pada peringkat karyawan.
Ketidakhadiran sebagai ukuran performa kerja/kinerja
(absenteeism as a measure of job performance) merupakan jumlah
total kehilangan hari, rata-rata lama absen, frekuensi
ketidakhadiran, dan membagi menjadi sukarela dan tidak sukarela,
adalah beberapa hal untuk menentukan jumlah absensi.
Ketidakhadiran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
absenteeism.
Absenteeism yang dinilai atau diukur adalah pola durasi
(duration) dan frekuensi (frequency). Durasi dilihat dari rata-rata
jumlah hari tidak hadir (absenteeism) per tahun. Frekuensi dinilai
dari banyaknya kejadian sakit dalam setahun. Durasi dan frekuensi
dapat dibagi menjadi short-term absenteeism (1-7 hari), mid-term
absenteeism (8-42 hari), long term absenteeism (43-365 hari)
(Hoonakker, 1998).

35
Pengaruh Motivasi terhadap Absenteeism ATC
Motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang
karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku (Kreitner
dan Kinicki, 2005: 248). Perkembangan pembentukan motivasi
kerja mengacu kepada beberapa indikator menurut Kreitner dan
Kinicki (2005: 248) yaitu: (1) fokus arahan, dengan sub-
subindikatornya menetapkan tujuan, memperhatikan keberhasilan,
menyelesaikan tugas tepat waktu. (2) Intensitas usaha, dengan
sub-subindikatornya mau bekerja lembur, kedisiplinan terhadap
waktu, pemanfaatan waktu yang maksimal dan peran serta dalam
perusahaan. (3) Kualitas strategi usaha, dengan sub-
subindikatornya belajar dari kegagalan, melakukan evaluasi dan
inovasi terus menerus dan mencoba dengan keras dan gigih.
Penelitian lain menunjukkan bahwa motivasi kerja dan
kemampuan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan. Hasil penelitian di PT. Indonesia Power UBP
Semarang, menunjukkan variabel kemampuan kerja berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 41,9
persen. Variabel motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja karyawan sebesar 50,2 persen. Variabel
kemampuan kerja dan motivasi kerja berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 53,5 persen (Kristiani,
2013).
Semua organisasi kerja atau perusahaan harus
mempertahankan motivasi kerja dari tenaga kerjanya karena
motivasi kerja yang buruk dan kurang dapat berpengaruh pada
tingkat absenteeism tenaga kerja sehingga catatan prestasi kerja
menjadi buruk yang akhirnya akan berdampak negatif pada
produktivitas kerja dan efisiensi tenaga kerja. Berdasarkan hasil
penelitian pada tenaga operator di Departemen Sanding Asembly
PT. Maitland Smith Indonesia, menunjukkan ada hubungan negatif
antara motivasi kerja dan absenteeism (Sulistiowati, 2001).
Hasil penelitian terkait motivasi, kemampuan, dengan
absenteeism menunjukkan bahwa motivasi dan kemampuan untuk
hadir memiliki perbedaan dalam hal perilaku absen atau perilaku
ketidakhadiran. Absenteeism tidak berhubungan signifikan dengan
motivasi untuk hadir tetapi berhubungan secara signifikan dengan
kemampuan (ability) untuk hadir (Burton, 2002).

36
Berdasarkan hasil beberapa penelitian di atas menunjukkan
bahwa motivasi sangat berpengaruh terhadap angka absensi
karyawan. Semakin tinggi motivasi kerja seorang karyawan akan
meningkatkan semangat kerja dan akan berusaha untuk tidak
absenteeism. Motivasi yang tinggi memicu rasa bersalah apabila
tidak masuk dalam bekerja.

Pengaruh Job Ability terhadap Absenteeism ATC


Kemampuan kerja merupakan suatu keadaan yang ada pada
diri pekerja yang secara sungguh-sungguh berdaya guna dan
berhasil guna dalam bekerja sesuai bidang pekerjaannya
(Blanchard dan Hersey, 1995: 5-6). Kemampuan kerja mengacu
kepada beberapa indikator menurut Blanchard dan Hersey (1995:
5-6), antara lain sebagai berikut: (1) kemampuan teknis, dengan
sub-subindikator penguasaan terhadap peralatan kerja dan sistem
komputer, penguasaan terhadap prosedur dan metode kerja,
memahami peraturan tugas atau pekerjaan. (2) Kemampuan
konseptual dengan sub-subindikator memahami kebijakan
perusahaan, memahami tujuan perusahaan, memahami target
perusahaan. (3) Kemampuan sosial dengan sub-subindikator
mampu bekerjasama dengan teman tanpa konflik, kemampuan
untuk bekerja dalam tim, kemampuan untuk berempati.
Hasil penelitian terkait motivasi, kemampuan, dengan
absenteeism menunjukkan bahwa motivasi dan kemampuan untuk
hadir memiliki perbedaan dalam hal perilaku absen atau perilaku
ketidakhadiran. Absenteeism tidak berhubungan signifikan dengan
motivasi untuk hadir (p>0,05) tetapi berhubungan secara signifikan
dengan kemampuan (ability) untuk hadir (p<0,01) (Burton, 2002).
Berdasarkan beberapa penelitian ini menunjukkan bahwa ability
sangat berpengaruh terhadap absenteeism. Absenteeism akan
meningkat apabila kemampuan karyawan rendah, karena akibat dari
sakit dan masalah lainnya, sehingga kemampuan harus ditingkatkan
sampai level yang optimal untuk bekerja agar produktivitas karyawan
dapat meningkat tanpa mengalami absenteeism. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin baik tingkat kemampuan (ability) akan
semakin rendah tingkat absensinya.

37
Pengaruh Beban Kerja terhadap Absenteeism ATC
Beban kerja adalah tuntutan tugas yang diberikan perusahaan
kepada karyawan. Beban kerja bisa bersifat mental maupun fisik.
Beban kerja yang bersifat mental cenderung menggunakan otak
untuk berpikir. Beban kerja fisik menggunakan otot untuk bekerja.
Beban kerja sangat besar pengaruhnya terhadap absensi
seorang karyawan baik itu karena sakit, izin maupun karena hal lain
seperti cuti. Beban kerja yang berat akan memberikan dampak
terhadap pekerja berupa keletihan yang memungkinkan tenaga kerja
mengalami sakit. Kondisi ini akan menyebabkan mereka tidak akan
bisa hadir di tempat kerja karena sakit.
Absensi yang terjadi pada karyawan tersebut akan menambah
beban kerja karyawan lain. Karyawan yang masuk akan mendapat
tambahan beban dari tugas-tugas karyawan yang tidak masuk
sehingga memungkinkan bertambahnya jumlah karyawan yang akan
mengalami sakit atau kelelahan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa
kerja yang optimal sangat membutuhkan kehadiran dari rekan-rekan
kerja agar beban berlebih tidak terjadi.
Penataan tanggung jawab dan tugas agar pekerja tidak
mengalami beban berlebih sangat diperlukan supaya suasana kerja
menjadi nyaman dan sehat. Suasana ini akan memperbaiki performa
dari seorang karyawan ATC menjadi lebih optimal. Kesimpulannya
bahwa beban kerja sangat berhubungan dengan absenteeism
seorang karyawan di tempat kerja.

Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Absenteeism ATC


Lingkungan kerja yang baik dan sehat akan mempengaruhi
angka absenteeism. Kondisi lingkungan kerja yang dapat
mempengaruhi absenteeism adalah kondisi lingkungan yang
nyaman dan sehat yang berdampak pada rasa nyaman dalam
bekerja buat karyawan sehingga kemangkiran kerja dapat dihindari.
Misalkan adalah dengan kondisi suhu dan pencahayaan yang baik
dan sehat maka kemungkinan karyawan akan mengalami sakit
dapat terhindarkan sehingga tidak terjadi absenteeism akibat sakit.
Sebaliknya jika suhu dan kelembaban serta pencahayaan yang
buruk dan tidak memenuhi syarat kesehatan akan memicu timbulnya
penyakit pada karyawan yang dapat menimbukan angka kesakitan
akan tinggi dan berdampak pada ketidakhadiran pada karyawan

38
dalam bekerja.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
lingkungan kerja sangat memiliki pengaruh terhadap tingkat
absenteeism. Apabila lingkungan kerja nyaman dan sehat maka
akan meningkatkan gairah kerja sehingga beban tambahan
berkurang sehingga keinginan untuk mangkir kerja dapat dihindari
karena rasa nyaman di tempat kerja.

Pengaruh Peralatan Kerja terhadap Absenteeism ATC


Peralatan kerja yang digunakan oleh seseorang harus sesuai
atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan
kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban alat
tersebut. Menurut Suma’mur (1984) bahwa kemampuan kerja
seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan
sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani,
keadaan gizi, jenis kelamin, usia, ukuran tubuh dari pekerja yang
bersangkutan (Tarwaka, 2004).
Peralatan kerja memiliki pengaruh terhadap absenteeism,
peralatan yang tidak sesuai dengan karyawan dapat memicu
karyawan menjadi tidak berguna karena alat terlalu canggih
sehingga skill manual yang dimiliki tidak dapat berfungsi lagi.
Kondisi ini dapat mempengaruhi mental karyawan dalam bekerja
yang berujung pada kemangkiran kerja.
Peralatan kerja sangat berpengaruh terhadap tingkat
absenteeism. Semakin tinggi kualitas peralatan kerja yang
digunakan maka akan semakin menyebabkan karyawan merasa
tidak berguna lagi karena semua telah dikerjakan melalui teknologi
sehingga memicu absenteeisme. Peralatan yang kuno atau
ketinggalan zaman, dapat mempengaruhi kebosanan kerja karena
skill yang dimiliki karyawan tidak berharga, karena tidak
diperuntukkan sebaik-baiknya untuk bekerja, hal ini dapat memicu
kemalasan dalam bekerja sehingga timbul absenteeism.
Kesimpulan dari bahasan ini adalah bahwa peralatan harus
sesuai dengan kemampuan, skill, dan kompetensi dari karyawan.
Karyawan akan merasa berguna dan peralatan dapat difungsikan
untuk pekerjaan sehingga menghasilkan kerja yang optimal dan
dapat menghindari kemangkiran kerja pada karyawan.

39
Pengaruh Burnout tehadap Absenteeism ATC
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa
kelelahan adalah perihal (keadaan) kelelahan, kepenatan,
kepayahan. Kelelahan emosional adalah kelelahan yg
diekspresikan dalam bentuk perasaan frustasi, putus asa, merasa
terjebak, tidak berdaya, tertekan dan merasa sedih atau apatis
terhadap pekerjaan. Kelelahan fisik adalah kelelahan yg ditandai
oleh adanya keletihan, kejenuhan, ketegangan otot, perubahan dari
kebiasaan makan dan tidur, serta secara umum tingkat energinya
rendah; sedangkan kelelahan mental adalah kelelahan karena
ketidakpuasan terhadap diri sendiri, ketidakpuasan terhadap
pekerjaan dan hidup secara keseluruhan, serta merasa tidak
kompeten atau merasa rendah diri.
Kelelahan terdiri dari kelelahan fisik dan psikologis, kelelahan
fisik dapat menyebabkan sakit sehingga dapat menjadi sebab
pekerja mangkir kerja (absenteeism). Kelelahan psikologis juga bisa
menjadi sebab terjadinya absenteeism misalkan terjadinya depresi,
sakit jiwa, stress, sehingga izin untuk tidak hadir dalam bekerja
(absenteeism) dapat terjadi. Berdasakan laporan Carrick (2013)
Absenteeism pada tahun 2009-2010 di Irlandia Utara menunjukkan
rata-rata 12,39 hari pada tenaga kerja. Stress, depresi, kesehatan
mental, dan kelelahan menjadi sebab yang paling tinggi dari
absenteeism sekitar (22%) sekitar 28 hari per tahun dan
menyebabkan penurunan produktivitas.
Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa kelelahan
sangat signifikan pengaruhnya terhadap tingkat absenteeism
karyawan. Apabila karyawan mengalami kelelahan akan
meningkatkan angka mangkir kerja karena perasaan tidak mampu
dalam bekerja akibat rasa letih baik fisik maupun mental.

Pengaruh Keluhan Muskuloskeletal terhadap Absenteeism


ATC
Kesesuaian antara ukuran antropometri tubuh dengan
peralatan kerja akan dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal.
Keluhan muskuloskeletal dapat mempengaruhi tingkat
absenteeism. Hal ini dapat terjadi akibat adanya absenteeism dari
pekerja yang mengalami sakit dengan akibat nyeri pada tulang
belakang dan terasa cepat kelelahan dalam bekerja sehingga

40
kemangkiran dalam bekerja dapat terjadi. Bekerja dalam keadaan
sehat dan tidak ada gangguan dalam tulang belakang maka
absenteeism akan dapat diturunkan karena alasan sakit tulang
belakang atau mengeluh akibat kesakitan pada tulang belakang.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keluhan
muskuloskeletal sangat mempengaruhi terjadi angka absensi
terutama terkait dengan absensi karena sakit. Angka absensi
banyak terjadi pada umur atau usia yang tua karena akibat keluhan
muskuloskeletal daripada pada karyawan yang berumur muda.
Berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan bahwa keluhan
muskuloskeletal sangat mempengaruhi tingkat absenteeism pada
karyawan.

Pengaruh Status Kesehatan Berkala dengan Absenteeism ATC


Kesehatan mutlak diperlukan dalam bekerja baik fisik maupun
mental. Kesehatan fisik seperti kebugaran, visus mata, status gizi,
tekanan darah adalah kondisi yang harus dijaga agar terhindar dari
penyakit. Seorang ATC harus segar dan sehat dalam bekerja
sehingga tercapai kerja yang optimal.
Absenteeism adalah kondisi kemangkiran kerja pada karyawan
yang harus dihindari oleh karyawan dalam melaksanakan tugas
sehari-hari. Kondisi kesehatan yang prima akan mampu
menurunkan angka absenteeism terutama akibat sakit. Sakit adalah
kondisi yang menyebabkan seorang karyawan ATC dapat
melakukan absenteeism.
Absenteeism akan tinggi pada karyawan apabila kondisi
kesehatan karyawan terganggu. Keadaan karyawan yang sakit atau
terganggu kesehatannya harus dicegah dengan sebaik-baiknya
karena karyawan ATC sangat penting peranannya di perusahaan.
Tindakan preventif dan promotif berupa pemeriksaan kesehatan
berkala menjadi salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk
mengontrol kondisi kesehatan karyawan selain pemeriksaan
kesehatan sebelum kerja.

Pengaruh Organisasi K3 terhadap Absenteeism ATC


Organisasi K3 adalah organisasi yang sangat penting
peranannya di perusahaan untuk meningkatkan mutu perusahaan.
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memiliki organisasi

41
K3 yang baik dan berfungsi dengan baik seperti Panitia Pembinaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di perusahaan.
Organisasi K3 yang berjalan dengan baik di perusahaan akan
mengurangi timbulnya absenteeism pada karyawan ATC.
Absenteeism dapat timbul karena aturan dan pengelolaan pada
perusaahaan terhadap karyawan tidak mengacu pada prinsip-
prinsip K3 yakni untuk keselamatan dan kesehatan kerja pada
karyawan. Pengaruhnya dapat menyebabkan karyawan sakit,
menurunnya gairah kerja, tidak memiliki komitmen sehingga angka
absenteeism karyawan dapat meningkat.
Kesimpulannya bahwa keberadaan organisasi K3 memiliki
pengaruh positif terhadap penurunan absenteeism pada karyawan.
Organisasi K3 yang berjalan dengan baik akan menurunkan angka
absenteeism. Perusahaan yang bermutu diharuskan memiliki
organisasi K3 agar mutu dan kualitas perusahaan menjadi lebih
baik. Mutu yang baik pada perusahaan akan berdampak pada
peningkatan kualitas dan daya saing secara global untuk
perusahaan langsung maupun tidak langsung.

42
BAB 8
FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA
TINGKAT VIGILANCE ATC

Tingkat performance kerja pada seorang air traffic controller


dapat diukur melalui beberapa indikator seperti angka absenteeism,
tingkat vigilance dan ukuran dari diameter pupil mata, dan lain-lain.
Tingkat vigilance dari seorang karyawan ATC sangat menentukan
performance kerja dari controller, sehingga mampu meningkatkan
produktivitas individu maupun lembaga. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat vigilance di antaranya adalah identitas
individu, motivasi, ability, lingkungan kerja, beban kerja, tingkat
kelelahan dan keluhan muskuloskeletal.

Definisi dan Batasan Vigilance


Teori psikologi modern, vigilance disebut juga sebagai
konsentrasi berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai kemampuan
untuk mempertahankan perhatian agar berkonsentrasi pada
periode waktu yang lama. Vigilance is defined as the ability to
maintain concentrated attention over prolonged periods of time
(Warm, 2008). Vigilance sering diartikan juga sebagai alertness,
yaitu keadaan waspada. Alertness is the state of active attention by
high sensory awareness such as being watchful and prompt to meet
danger or emergency, or being quick to perceive and act.
Kewaspadaan adalah keadaan perhatian aktif dengan kesadaran
sensori yang tinggi seperti waspada dan cepat terhadap bahaya
atau keadaan darurat, atau menjadi cepat untuk memahami dan
bertindak terhadap respon yang datang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewaspadaan adalah
keadaan waspada atau kesiapsiagaan. Kesiagaan adalah keadaan
siaga atau kesiapan, atau siap sedia. Sedangkan kesiagaan mental
adalah kesiapan mental untuk memberi respons segera terhadap
rangsangan yang datang.

43
Studi tentang vigilance telah berkembang sejak tahun 1940
terutama disebabkan oleh peningkatan interaksi orang dengan
mesin untuk aplikasi, yang melibatkan pemantauan dan deteksi
peristiwa langka dan sinyal lemah. Aplikasi tersebut termasuk
kontrol lalu lintas udara, inspeksi dan kontrol kualitas, navigasi
otomatis, perbatasan pengawasan, dan militer.
Nurmianto (1996) vigilance merupakan proses kesiapsiagaan
yang dilengkapi dengan berbagai macam informasi dan adanya
respon cepat untuk mengatasi masalah yang terjadi. Parasuraman
dan Matthews (2008) mendefinisikan vigilance adalah kemampuan
organ dalam mempertahankan fokus perhatian dan kewaspadaan
selama jangka waktu yang lama (Daulay, 2012).
Vigilance merupakan derajat kesiapan seseorang dalam
memberikan tanggapan terhadap suatu hal, menurunnya tingkat
kewaspadaan juga dipengaruhi oleh karena faktor kelelahan dan
konsumsi alkohol (Dorrian et al., 2005). Grandjean (1986) vigilance
adalah kemampuan seseorang untuk menjaga tingkat
kesiagaannya dalam waktu yang lama. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Mackworth dalam Grandjean (1986)
menunjukkan tingkat kewaspadaan atau kesiapsiagaan akan
menurun seiring bertambahnya lama waktu kerja (Harnadini, 2012).
Berdasarkan definisi yang ada maka dapat disimpulkan secara
umum bahwa vigilance adalah kondisi yang kewaspadaan atau
kesiapsiagaan terhadap pekerjaan yang menuntut mental berpikir
terhadap informasi yang datang kepada karyawan selama bekerja
dalam periode waktu tertentu. Vigilance yang baik dipengaruhi oleh
banyak faktor pendukung agar tetap dalam keadaan yang optimal.

Pengaruh Vigilance terhadap Performance ATC


Vigilance menurut Matthews et al., (2004) dalam Hubal (2009)
menjelaskan vigilance sebagai berikut:
“Vigilance is sustained attention as it is influenced by the nature
of a given task, that is, the performance required of the individual. The
term “attention” describes (1) the cognitive processing involved in
orienting to and selecting among specific items or responding to
possibly infrequent changes in what is presented, (2) the mental effort
dedicated to this processing, and (3) the state of alertness or
readiness to process additional items. Studies have considered a
number of approaches to overcoming deficits in the performance of

44
vigilance tasks, including automated aids. Specific to DHS-relevant
training, used a cognitive training exercise to sharpen pilots’
awareness during simulated flight, thereby providing them with a
means to overcome boredom, sleepiness, and fatigue. ( p. 23)”
Berdasarkan analisis di atas menunjukkan bahwa performance
seorang karyawan dapat dilihat dari tingkat kesiapsigaan (vigilance)
mereka. Hasil penelitian dari Uenking (2000) menunjukkan bahwa
untuk menjaga agar pilot dapat terjaga dan fokus selama
penerbangan dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan kognitif
sehingga mereka dapat terhindar dari perasaan bosan, kelelahan
dan mengantuk. Hal ini juga bisa menjadi alternatif untuk seorang
(air traffic controller) ATC, agar tetap dalam kewaspadaan atau
kesiapsiagaan tinggi mereka dapat diberikan pelatihan kognitif
sehingga memicu performance yang baik selama bekerja.
Menurut Matthews et al., (2000) dalam (Daulay, 2012)
menurunnya performa kerja karena vigilance task disebabkan
karena menurunnya sumber pemrosesan informasi dan bukan
karena melemahnya kekuatan atau tenaga. Sehingga dari teori ini
dapat disimpulkan bahwa kondisi mental berpikir sangat memiliki
pengaruh yang lebih besar terhadap tingkat vigilance daripada
kekuatan otot atau fisik pada karyawan ATC.

Pengaruh Motivasi terhadap Vigilance ATC


Motivasi merupakan dorongan atau motif seseorang dalam
melakukan sesuatu. Motivasi yang tinggi dan baik di tempat kerja
akan dapat mempertahankan komitmen dalam melakukan
pekerjaan. Motivasi yang baik akan melahirkan performa kerja yang
baik pula, namun jika motivasi rendah maka akan dapat
menurunkan produktivitas yang diakibatkan oleh penurunan
performance. Sehingga dibutuhkan dorongan yang kuat agar dapat
mempertahankan performa yang tinggi dalam bekerja.
Beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa sesorang
individu akan tetap termotivasi dalam tugas ketika ada perintah dan
insentif sehingga mereka akan kuat dalam tugas namun yang baik
adalah yang resisten dan tetap penuh perhatian fokus pada tugas
tanpa adanya perintah ataupun insentif (Smith et al., 2005).
Perbedaan pada setiap individu terkait fungsi kognitif (Fishbein et
al., 2006) menunjukkan bahwa motivasi di awal sangat menentukan

45
seberapa lama mereka akan tetap bertahan tanpa kontrol.
Pemberian motivasi dapat meningkatkan kesiapsiagaan/kewaspa-
daan (vigilance) (Hubal, 2009).
Vigilance seorang air traffic controller akan sangat ditentukan
oleh motivasi yang kuat dari seorang controller. Kesiapsiagaan
(vigilance) controller ini sangat menentukan dalam performa
terhadap tugas sehingga mereka tetap dalam keadaan terjaga dan
waspada dalam bekerja. Pekerjaan seorang ATC merupakan salah
satu pekerjaan yang membutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi
(vigilance) dalam bekerja maka diperlukan motivasi yang kuat dan
baik dari seorang ATC sehingga informasi dan komunikasi dengan
pilot tetap bagus. Apabila motivasi rendah dapat mengganggu
tingkat vigilance seorang ATC, hal ini dapat menyebabkan informasi
yang sampai ke pilot menjadi terganggu. Sehingga tingkat vigilance
seorang ATC sangat ditentukan oleh dorongan atau motivasi dari
seorang ATC sehingga tingkat vigilance tetap dalam kondisi yang
optimal dan kecelakaan pesawat dapat terhindarkan akibat motivasi
yang baik dalam bekerja.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi
sangat mempengaruhi tingkat vigilance. Motivasi yang baik akan
melahirkan kesiapsiagaan yang tinggi dalam bekerja karena rasa
tanggung jawab dan komitmen terhadap pekerjaan dan organisasi.

Pengaruh Job Ability terhadap Vigilance ATC


Job ability merupakan kemampuan seorang ATC dalam
melakukan tugas pekerjaannya sehingga dapat mencapai level
performance yang tinggi. Job ability atau kemampuan yang
dibutuhkan oleh seorang ATC adalah kemampuan fisik,
kemampuan kognisi dan kemampuan lainnya yang mendukung
performance kerja. Salah satu kemampuan yang diperlukan oleh
seorang ATC adalah kemampuan untuk mempertahankan diri
dalam keadaan sehat, terjaga, waspada, tidak tertidur, dan tetap
mampu berkomunikasi dengan baik dengan pilot dalam memandu
penerbangan mulai dari awal sampai pesawat mendarat di runway
yang benar. Salah satu indikator yang dapat diukur dalam ATC
adalah kemampuan kognisi dalam hal ini kemampuan radar aktif
dan kemampuan kontrol manual yang dibuktikan dengan adanya
rating dan lisensi karyawan.

46
Job ability dan vigilance merupakan dua hal yang terkait untuk
mencapai level performance yang tinggi. Apabila job ability baik
maka vigilance akan baik, namun jika job ability rendah maka dapat
memicu penurunan vigilance. Apabila seorang ATC mengalami
gangguan kesehatan maka kemampuan mereka dalam mengontrol
pilot untuk terbang menurun, atau misalkan seorang ATC
mengalami masalah dalam kemampuan kognisi akibat baru atau
belum berpengalaman maka dapat menggangu performa mereka
akibat kesiapsiagaan yang terganggu akibat adanya rasa rendah
diri atau belum kompeten dalam tugas.
Berdasarkan kenyataan ini maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan akan memiliki pengaruh terhadap tingkat vigilance
karyawan karena job ability yang rendah berdampak pada
menurunnya tingkat vigilance yang disebabkan oleh kemampuan
yang rendah pada aspek kognisi. Job ability yang baik, baik itu
secara kognisi maupun psikomotorik akan memiliki dampak yang
positif untuk peningkatan vigilance atau tingkat kewaspadaan
karyawan ATC dalam bekerja sehingga mampu bekerja secara
optimal.

Pengaruh Beban Kerja terhadap Vigilance ATC


Beban kerja memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat
kesiapsiagaan tenaga kerja. Kesiagaan semakin optimal apabila
antara beban kerja dan kemampuan individu memiliki
keseimbangan yang dinamis. Beban yang cukup sesuai kapasitas
karyawan akan menambah kualitas kerja menjadi lebih baik
daripada beban kerja berlebih ataupun kurang (Tarwaka, 2004).
Vigilance atau kesiapsiagaan seorang karyawan ATC menuntut
mereka karena kerja seorang ATC harus tetap siaga apapun yang
sedang terjadi. Kerja yang siaga tersebut diharuskan karena pilot
mendapatkan informasi situasi penerbangan baik itu masalah
cuaca, tingkat kepadatan pesawat, maupun kondisi separasi di
udara berasal dari ATC. Apabila informasi ini tidak di dapat seorang
pilot maka bisa fatal akibatnya.
Beban kerja memiliki pengaruh yang jelas terhadap
kesiapsiagaan seorang ATC. Beban kerja yang terlalu tinggi akan
berdampak pada keletihan pada karyawan. Sebaliknya bisa terjadi
kebosanan apabila kerja terlalu ringan, atau beban terlalu ringan

47
jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki.
Kesimpulannya bahwa beban kerja sangat berpengaruh terhadap
tingkat vigilance seorang controller.

Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Vigilance ATC


Pengaruh lingkungan kerja terhadap tingkat vigilance sangat
positif. Lingkungan kerja yang nyaman dapat berdampak baik bagi
kesiapsiagaan para karyawan ATC dalam bekerja. Seperti suhu
nyaman dapat menyebabkan karyawan bisa bekerja secara optimal
dengan fokus pada kerja tidak diganggu dengan suhu yang panas
atau terlalu dingin. Lingkungan kerja sangat erat kaitannya dengan
tingkat vigilance seorang karyawan ATC karena lingkungan kerja
yang sehat dan nyaman menyebabkan konsentrasi yang tinggi.
Performa yang menurun dapat terjadi akibat lingkungan kerja
seperti suhu, kelembaban dan pencahayaan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan. Tingkat vigilance dari karyawan akan terjadi
berupa penurunan daya respons terhadap stimulus yang ada yang
menyebabkan tingkat vigilance menurun.
Kesimpulannya bahwa lingkungan kerja memiliki pengaruh
terhadap tingkat vigilance karyawan ATC. Lingkungan kerja yang
sehat akan meningkatkan tingkat kewaspadaan pada karyawan
ATC, sebaliknya lingkungan kerja yang yang tidak sehat akan
menurunkan tingkat kewaspadaan karyawan ATC dalam bekerja.

Pengaruh Peralatan Kerja dan Vigilance ATC


Peralatan kerja seorang air traffic controller (ATC) merupakan
alat untuk melaksanakan tugas dan fungsi dari organisasi atau
perusahaan kepada seorang ATC untuk mencapai produktivitas
individu dan lembaga yang optimal. Peralatan yang baik dan sesuai
dengan peruntukannya akan menyebabkan ATC akan bekerja
secara maksimal dan efisien. Peralatan yang digunakan harus
memenuhi standar yang ada dan harus dapat dimanfaatkan sesuai
dengan peruntukannya.
Peralatan kerja seperti peralatan teknologi, baik itu radar
maupun peralatan manual akan sangat berpengaruh pada tingkat
kewaspadaan (vigilance). Peralatan yang baik adalah peralatan
yang dapat digunakan dengan tepat guna dan sesuai fungsi dan
kegunaannya serta dapat dioperasionalkan oleh karyawan dan

48
mengikuti perkembangan zaman. Peralatan yang canggih harus
diimbangi dengan kemampuan karyawan yang canggih, apabila
tidak akan memicu tingkat kewaspadaan menjadi menurun karena
terkonsentrasi untuk memperhatikan peralatan daripada tugas atau
fungsi alat tersebut.
Peralatan yang tidak canggih namun karyawan dengan
kapasitas yang tinggi akan menyebabkan karyawan menjadi tidak
berguna, sehingga peralatan diremehkan sehingga dapat memicu
konsentrasi terhadap alat rendah. Keadaan ini dapat menimbulkan
tingkat kewaspadaan rendah dan sangat berbahaya untuk dunia
penerbangan.
Kesimpulan bahwa peralatan yang digunakan harus sesuai
dengan kapasitas karyawan sehingga dapat meningkatkan
kewaspadaan atau kesiapsiagaan karyawan dalam bekerja. Kondisi
ini akan menyebabkan kerja karyawan menjadi optimal yang dapat
meningkatkan kewaspadaan (vigilance) pada karyawan ATC dalam
melaksanakan tugas setiap hari.

Pengaruh Burnout terhadap Vigilance ATC


Burnout merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap
karyawan di tempat kerja. Burnout merupakan reaksi tubuh
terhadap tuntutan tugas baik fisik maupun mental terhadap
karyawan yang berujung pada keletihan secara emosi,
depersonalisasi, dan personal achievement. Burnout karyawan ATC
akan menyebabkan tingkat kewaspadaan menjadi sangat rendah.
Kondisi ini akan sangat berbahaya dari sudut keselamatan, karena
dapat menyebabkan miss-komunikasi dengan pilot dan jarak
antarpesawat tidak terkendali dengan baik sehingga memicu
kecelakaan pesawat.
Burnout dengan tingkat vigilance sangat berkaitan karena
apabila reaksi tubuh sudah merasakan kelelahan bahkan sampai
keletihan (burnout) maka harus dilakukan istirahat. Tingkat vigilance
yang optimal diperlukan fisik dan mental yang kuat dan sehat.
Burnout yang dibiarkan secara terus-menerus akan sangat
mengganggu aktivitas ATC dalam bekerja sehingga dapat menjadi
beban baik individu maupun beban organisasi.
Burnout yang dirasakan pada karyawan ATC akibat pekerjaan
akan sangat mempengaruhi level of vigilance, di mana semakin

49
lelah seseorang maka level of vigilance akan menurun, namun
sebaliknya apabila tidak mengalami kelelahan mental maka akan
menyebabkan tingkat vigilance menjadi optimal.
Berdasarkan kenyataan ini maka dapat disimpulkan bahwa
burnout atau kelelahan mental sangat berdampak pada konsentrasi
dan fokus karyawan dalam bekerja. Tingkat vigilance akan menurun
akibat rasa letih dalam waktu yang lama karena proses informasi
yang terganggu.

Pengaruh Keluhan Muskuloskeletal terhadap Vigilance ATC


Keluhan muskuloskeletal dapat mempengaruhi tingkat vigilance
pada karyawan ATC. Gangguan pada tulang belakang dapat
mempengaruhi konsentrasi karyawan yang menyebabkan
kesiapsiagaan menjadi menurun akibat dari adanya rasa nyeri dan
sakit pada tulang bagian belakang. Perasaan nyeri pada tulang
belakang pada karyawan ATC dapat terjadi secara berulang dan
sering ataupun hanya sifatnya sesaat.
Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap tiga lokasi
bandara menunjukkan peralatan kerja dari seorang ATC baik itu di
ruang aerodrome control (ADC), ruang APP maupun ACC terdapat
peralatan yang sudah terstandardisasi. Namun ukuran dari seorang
ATC secara antrophometri tubuh terjadi perbedaan, sehingga
kemungkinan adanya gangguan kesehatan akibat kerja yang tidak
ergonomis akan tetap ada sehingga akan berdampak pada level of
vigilance akibat gangguan tulang belakang.
Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa
keluhan muskuloskeletal memiliki pengaruh terhadap vigilance.
Apabila terjadi keluhan pada tulang punggung bagian belakang
maka akan menyebabkan karyawan terasa cepat letih dan
konsentrasi terganggu akibat rasa nyeri di bagian punggung
belakang yang secara langsung akan berdampak pada
kesiapsiagaan karyawan ATC.

Pengaruh Status Kesehatan Berkala terhadap Vigilance ATC


Status kesehatan berkala meliputi pemeriksaan kesehatan
pada karyawan ATC mulai dari pemeriksaan fisik, mata, auditory,
rontgen, laboratorium dan lain-lain. Tindakan preventif dan promotif
berupa pemeriksaan kesehatan berkala pada karyawan menjadi

50
salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mengontrol
kondisi kesehatan karyawan. Pemeriksaan dilakukan seyogianya 6
bulan sekali agar kesehatan karyawan ATC dapat terjamin.
Status kesehatan memiliki pengaruh terhadap tingkat
kewaspadaan atau kesiapsigaan (vigilance) karyawan ATC dalam
bekerja. Karyawan yang kondisi kesehatan tidak baik akan sangat
mempengaruhi tingkat vigilance dalam bekerja berupa penurunan
tingkat kewaspadaan, sebaliknya apabila keadaan fisik bugar dan
sehat akan berdampak pada tampilan kerja yang optimal berupa
vigilance yang meningkat.
Kesimpulannya bahwa status kesehatan akan mempengaruhi
tingkat vigilance karyawan ATC. Kondisi kesehatan baik akan
berdampak positif pada tingkat vigilance namun apabila kondisi
kesehatan buruk maka tingkat vigilance menjadi menurun.

Pengaruh Organisasi K3 terhadap Vigilance ATC


Karyawan ATC adalah seseorang yang memiliki pekerjaan
yang membutuhkan konsentrasi yang tinggi sehingga dibutuhkan
tingkat kewaspadaan yang optimal dalam bekerja. Tingkat vigilance
yang tinggi dapat diperoleh dari organisasi yang baik dalam
menangani karyawan dalam bekerja terutama berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan kerjanya.
Organisasi K3 yang ada di perusahaan harus memberikan
kontribusi yang tinggi dalam peningkatan vigilance karyawan.
Organisasi K3 akan berdampak positif pada peningkatan vigilance
karyawan karena ada lembaga yang mengontrol keselamatan dan
kesehatan kerja karyawan.
Tingkat vigilance dipengaruhi oleh keberadaan lembaga K3
seperti P2K3 agar penanganan K3 di tempat kerja dapat terjamin.
P2K3 yang berjalan dengan baik akan memfasilitasi karyawan
dalam bekerja sehingga mereka merasa nyaman dalam bekerja,
baik dalam hal kesehatan, motivasi, komitmen, dan kebutuhan
lainnya untuk dapat tampil bekerja secara optimal agar produktivitas
kerja dapat tercapai.
Kesimpulannya bahwa keberadaan organisasi K3 akan mampu
meningkatkan tingkat vigilance karyawan ATC dalam bekerja.
Tindakan yang harus dilakukan adalah mengupayakan organisasi
P2K3 mampu melaksanakan tugasnya menjaga karyawan tetap

51
selamat, sehat dan sejahtera dalam bekerja sehingga tingkat
kewaspadaan dapat terjamin.

52
BAB 9
HASIL KAJIAN KASUS ATC DI INDONESIA
(PENELITIAN PADA AIR NAV INDONESIA
CABANG MAKASSAR, SURABAYA,DAN
LOMBOK)

Air traffic controller (ATC) adalah karyawan yang bekerja


sebagai petugas lalu lintas udara yang berada di bawah
perusahaan Air Nav Indonesia di bawah Departemen Perhubungan.
ATC bekerja mengedepankan kerja otak sehingga dapat memicu
kelelahan mental pada ATC. ATC bekerja melakukan kontrol
pesawat dari mulai berangkat dari bandara keberangkatan sampai
tiba di tempat bandara tujuan dengan selamat.
Masalah pada ATC pada dasarnya lebih pada masalah
pengambilan keputusan yang harus diberikan kepada pilot agar
terbang dalam keadaan yang selamat dan aman. Pengambilan
keputusan membutuhkan ketelitian, kecerdasan emosi, konsentrasi,
dan pemikiran yang sehat agar informasi yang sampai ke pilot
menjadi jelas dan terang. Tantangan inilah yang mengharuskan
seorang petugas ATC harus tetap sehat secara fisik dan mental
agar kewaspadaan tetap optimal.
Kapasitas dan beban kerja seorang petugas ATC harus
memenuhi standar kesehatan dan keselamatan seorang petugas
ATC agar mereka dapat bekerja secara sehat dan aman serta
selamat. Upaya untuk mencapai ini dapat dilakukan dengan
memberikan beban kerja yang cukup kepada petugas ATC sesuai
dengan kapasitas kerja seorang petugas ATC. Apabila petugas
ATC diberikan beban yang berlebih dapat memicu timbulnya
kelelahan kerja yang berefek pada kinerja menjadi menurun
sehingga produktivitas menjadi rendah. Beban kerja yang terlalu
ringan juga dapat memicu terjadinya kejenuhan pada saat bekerja
pada karyawan ATC, sehingga diperlukan adanya keseimbangan

53
antara kapasitas seorang ATC dengan beban kerja yang diberikan
perusahaan kepada karyawan ATC.
Kesimpulannya bahwa karyawan air traffic controller (ATC)
adalah karyawan yang memiliki tingkat pekerjaan yang
membutuhkan kewaspadaan atau kesiapsiagaan yang tinggi untuk
tetap dalam konsentrasi yang baik dalam melakukan kontrol
pesawat. Kewaspadaan karyawan ATC sangat menentukan
keselamatan penerbangan. Tingkat vigilance yang rendah akan
memicu kecelakaan pada pesawat karena komunikasi yang salah
antara karyawan ATC dan pilot dapat terjadi.

Safety Performance pada Karyawan ATC


Safety performance adalah penampilan atau tampilan kerja
yang selamat, aman, dan sehat dari seorang karyawan dalam
melakukan aktivitas pekerjaannya yang berdampak pada
kenyamanan kerja dan keselamatan kerja bagi karyawan dan
orang-orang yang terkait dengan pekerjaannya terutama kualitas
produk yang dihasilkan. Safety performance pada air traffic
controller adalah penampilan atau tampilan kerja yang selamat,
aman, dan sehat dari karyawan ATC yang dilihat dari tingkat
kesiapsiagaan yang tinggi dalam melakukan controlling pada saat
bekerja. Dampak yang dihasilkan dari kesiapsiagaan yang tinggi
adalah konsentrasi yang tinggi dari seorang ATC dan informasi
yang valid yang diberikan ATC kepada pilot tentang kondisi
pesawat di udara, cuaca, dan keadaan di bandara, baik
keberangkatan dan kedatangan sehingga keselamatan
penerbangan dapat terjamin secara optimal.
Burlington dan Hutchison (2000) dalam Sholihah (2013)
berpendapat bahwa kesehatan dan keselamatan kerja (K3) harus
dipadukan ke dalam sistem kerja berperforma tinggi agar sistem
tersebut dapat memotivasi orang-orang untuk menghasilkan produk
dan layanan yang berkualitas dan berkuantitas, menjadi kreatif,
inovatif, dan sangat aman. Performa yang tinggi pada kesehatan
dan keselamatan kerja berkaitan erat dengan sikap dan komitmen
manajemen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, perhatian
individual terhadap keselamatan dan kesehatan kerja sendiri, dan
tempat kerja yang terorganisir serta terencana dengan rapi.
Pengukuran terhadap performa bertujuan untuk memperbaiki

54
dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja di dalam
organisasi. Upaya untuk pengusutan terhadap kejadian nyaris
celaka (near miss occurences) sangat bermanfaat untuk mengukur
performa keselamatan dan kesehatan kerja, dan organisasi dapat
belajar melalui umpan balik dari kesalahan (error) yang terjadi.
Upaya ini berupa analisis terhadap kejadian yang dianggap akan
menimbulkan kecelakaan sehingga dapat diketahui langkah
antisipasi yang harus diambil dan bermanfaat bagi pembelajaran
organisasi dalam meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja
(Sholihah, 2013).
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
safety performance karyawan ATC adalah tampilan kerja yang
selamat dan sehat dan dapat meningkatkan produktivitas kerja
karyawan. Karyawan ATC yang memiliki safety performance yang
baik akan memiliki dampak positif pada peningkatan kualitas kerja
karyawan yang berdampak pada peningkatan produktivitas
karyawan ATC.

Job Ability terhadap Safety Performance ATC


Job ability adalah kompetensi karyawan ATC dalam
melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka. Job ability
ATC terdiri dari rating, IQ, dan status gizi pada karyawan. Pada
penelitian ini indikator yang valid dan reliabel terhadap job ability
adalah rating, karena untuk menilai rating seorang ATC dilakukan
penilaian secara teori dan praktik tentang kemampuan melakukan
controlling di tempat kerja baik itu di ruang radar maupun di ruang
tower. Penilaian rating dilakukan minimal 6 bulan sekali pada tiap
karyawan ATC. IQ dan status gizi tidak valid dan reliabel sebagai
indikator job ability karena pengambilan data IQ dengan
menanyakan tentang IQ karyawan pada tes IQ terakhir yang
memungkinkan bias data terjadi seperti lupa jumlah IQ yang
sebenarnya karena sudah lama tesnya dan kemungkinan data yang
disampaikan bisa tidak benar. Status gizi tidak bisa menjadi
indikator job ability juga karena rata-rata kondisi karyawan ATC
relatif hidupnya makmur sehingga masalah gizi relatif mereka stabil
dalam status gizi yang normal.
Job ability berhubungan dengan safety performance karena
semakin bagus nilai job ability maka penampilan kerja yang selamat

55
akan semakin baik, karena job ability yang tinggi menyebabkan
kinerja dari seorang karyawan ATC menjadi meningkat dan
selamat. Kerja yang optimal dan selamat diakibatkan karena
mereka selalu memperbaiki skill setiap minimal 6 bulan sekali baik
secara teori maupun praktik langsung yang diawasi langsung oleh
checker yang ada di perusahaan Air Nav.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa job ability tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap safety performance
maupun burnout dan keluhan muskuloskeletal. Pengaruh job ability
dan safety performance menunjukkan nilai P value adalah 0,558, ini
berarti masih di atas 0,05 yang berarti tidak ada pengaruh. Kondisi
ini menjelaskan bahwa kemampuan atau kompetensi seseorang
karyawan ATC tidak berkaitan dengan safety performance saat
bekerja.
Penelitian ini menghasilkan data seperti ini karena adanya
kemungkinan bahwa penilaian job ability yang hanya didasarkan
pada rating menjadi sebabnya, di mana rating seorang ATC harus
terstandardisasi, di mana nilai rating harus mencapai standar
minimal yang ditetapkan oleh perusahaan. Apabila standar nilai
yang didapatkan tidak mencapai level itu maka seoarang ATC tidak
akan mendapatkan tugas sebagai controller. Pengumpulan data
yang dilakukan hanya mendapatkan data nilai rating yang lulus
karena kalau rating tidak lulus akan dilakukan pembinaan sampai
mencapai level yang ditetapkan, jadi job abilty seorang ATC telah
terstandardisasi sehingga kemungkinan untuk nilai yang homogen
bisa terjadi.
Menjadi seorang ATC adalah seseorang yang telah memiliki
kapasitas dan kompetensi khusus untuk melakukannya karena
telah dididik secara khusus untuk melakukan pekerjaannya, mulai
setingkat DII sampai DIII. Pekerjaan controller merupakan
pekerjaan yang mengedepankan otak untuk berpikir, mengambil
keputusan yang cepat dan tanggap terhadap setiap kejadian yang
terjadi. Fenomena ini mewajibkan seorang ATC harus memiliki
kemampuan di atas rata-rata orang normal, sehingga seleksi dan
rekrutmen dilakukan secara sungguh-sungguh dan melalui tahapan
seleksi yang ketat.
Penelitian ini dapat menjelaskan pekerjaan dengan
profesionalisme yang tinggi akan menyebabkan seseorang akan

56
lebih bertanggung jawab pada tugasnya daripada orang yang
bekerja dengan kemampuan rendah. Profesionalisme menuntut
untuk bekerja di atas kemampuan rata-rata, dengan skill yang
sudah bagus dan terlatih sehingga tantangan apapun yang ada di
lapangan atau kasus apapun siap untuk dihadapi.
Hasil ini tidak selaras dengan teori performance Maier (1965),
yang mengatakan bahwa performa seseorang ditentukan salah
satunya oleh ability. Menurut Maier (1965), performance ditentukan
oleh motivasi dan ability, di mana semakin besar kemampuan
seseorang maka performanya akan semakin tinggi, namun kalau
dilihat secara seksama teori Maier lebih melihat pada aspek
kemampuan secara general bahwa ada yang kemampuan yang
rendah, sedang, dan tinggi. Variasi ability terlihat dengan jelas
dengan skor yang relatif beragam sedangkan pada penelitian
dengan subjek seorang ATC memiliki kompetensi yang sudah
distandardisasi sehingga nilai tidak terlalu beragam.
Perbedaan mendasar yang menjadi sebab tidak selarasnya
antara teori Maier dengan hasil penelitian ini adalah pada
subjeknya. Pekerjaan-pekerjaan yang kemungkingan memiliki
kemampuan yang relatif bervariasi lebih cocok untuk teori Maier,
namun untuk sektor pekerjaan yang membutuhkan kemampuan
telah terstandardisasi akan kesulitan untuk mengaplikasikan teori
ini.
Kesimpulannya bahwa job ability dalam hal ini rating tidak
memiliki pengaruh terhadap safety performance. Rating yang
standar atau tinggi sekali tidak mempengaruhi safety performance
karyawan ATC. Profesionalisme yang baik dari seorang ATC
sangat menentukan tingginya semangat kerja dan disiplin pada
karyawan ATC.

Motivasi terhadap Safety Performance ATC


Motivasi dalam penelitian ini adalah dorongan yang ada dalam
diri ATC berupa harapan dari diri dan lingkungan karyawan dalam
memperbaiki performa kerja. Motivasi berhubungan dengan safety
performance karena semakin baik motivasi seseorang maka akan
semakin baik pula performa kerja yang ditunjukkan pada organisasi
sehingga berdampak pada performa yang optimal sehingga safety
performance jadi semakin baik (Maier, 1955).

57
Berdasarkan hasil uji model antara motivasi dan safety
performance didapatkan hasil (P= 0,563) yang berarti berada di
atas nilai 0,05. Hasil ini memperlihatkan bahwa motivasi pada
penelitian ini tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
safety performance, akan tetapi dalam penelitian ini ditemukan
pengaruh yang signifikan antara motivasi terhadap burnout dengan
nilai P=0,031.
Penelitian ini membuktikan bahwa motivasi memiliki pengaruh
terhadap burnout yang dapat mempengaruhi perasaan karyawan
dalam bekerja meskipun belum membuktikan pengaruh motivasi
terhadap safety performance. Hasil ini dimungkinkan karena
jawaban responden terhadap motivasi bersifat homogen yang mana
semua responden menginginkan sesuatu yang baik terjadi pada
mereka, seperti adanya tunjangan hari raya, kondisi lingkungan
kerja yang nyaman dan sehat, pengurusan pangkat yang mudah,
pemimpin yang baik dan lain-lain.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori performance yang
dikemukakan oleh Maier (1955) yang mengatakan bahwa
performance merupakan fungsi dari motivasi dan ability, di mana
besarnya motivasi akan sangat menentukan besarnya performa
kerja seseorang. Motivasi semakin besar maka kemungkinan
performa juga akan makin besar. Teori yang mendukung juga
dijelaskan oleh Robbins (2006) dalam Sholihah (2012) yang
menjelaskan bahwa unjuk kerja atau performance adalah hasil dari
interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), dan peluang
(opportunities), dengan perkataan lain unjuk kerja adalah fungsi dari
motivasi kerja kali peluang (Sholihah, 2012).
Penelitian ini lebih sejalan dengan teori kebutuhan David
McClelland yang menyatakan bahwa seseorang karyawan akan
melakukan sesuatu sesuai dengan kebutuhan untuk berprestasi
atau sesuai dengan keinginan untuk berhasil mencapai sesuatu.
Karyawan yang memiliki motivasi yang tinggi untuk berhasil maka
dia akan fokus pada tugas dan tanggung jawabnya sehingga bisa
berhasil mencapai apa yang diinginkan seperti performa yang
tinggi, mereka tidak akan terpengaruh oleh faktor lain seperti akan
memiliki hubungan yang baik dengan atasan, rekan kerja, atau
karena ingin kekuasaan atau jabatan dan harta benda.
Menurut Campbell et al. (1996) bahwa hanya ada tiga

58
determinan perbedaan individu dalam performa, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan motivasi (knowledge, skill, and motivation). Calon
pekerja tidak akan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan atau
peraturan pendukung keselamatan dan kesehatan kerja jika tidak
memiliki pengetahuan dan keterampilan relevan yang mencukupi,
sebab ia tidak akan mampu berperilaku apalagi memiliki performa
yang baik dalam keselamatan dan kesehatan kerja sehari-hari.
Motivasi diri yang tidak memadai untuk melaksanakan atau
berpartisipasi dalam kegiatan dan peraturan keselamatan dan
kesehatan kerja, maka mereka tidak dapat memilih atau mengambil
keputusan tentang mana perilaku yang sehat dan aman dalam
bekerja serta cenderung untuk tidak berpartisipasi atau bahkan
menghindari kegiatan yang terkait dengan keselamatan dan
kesehatan kerja (Sholihah, Q., 2013).
Teori perilaku keselamatan dan kesehatan kerja meliputi iklim
keselamatan dan kesehatan kerja dengan subdimensinya sebagai
anteseden performa, pemahaman dan motivasi, serta komponen
performa keselamatan dan kesehatan kerja berupa perilaku
berperforma yang didasarkan pada tugas yang berorientasi pada
keselamatan dan kesehatan kerja dan performa yang terkait
dengan konteks keselamatan dan kesehatan kerja (Sholihah, Q.,
2013).
Kesimpulan dari pembahasan mengenai motivasi kerja dengan
safety performance adalah bahwa motivasi kerja karyawan ATC
tidak berpengaruh terhadap safety performance karyawan air traffic
controller (ATC). Tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan ATC
tidak ada pengaruhnya terhadap peningkatan atau penurunan
safety performance karyawan ATC. Karyawan ATC bekerja lebih
mengedepankan prestasi ketimbang hubungan sosial maupun
kekuasaan atau jabatan. Karyawan ATC tetap bekerja dengan
optimal dengan semangat kerja yang tinggi dan tetap termotivasi
dengan baik melaksanakan tugasnya.

Beban Kerja terhadap Safety Performance ATC


Beban kerja dalam penelitian ini adalah jumlah traffic dan lama
mengontrol yang dibebankan perusahaan Air Nav pada karyawan
ATC. Indikator beban kerja yang valid dan reliabel adalah jumlah
traffic sedangkan lama mengontrol tidak valid dan reliabel.

59
Kepadatan traffic memiliki pengaruh terhadap penampilan kerja
yang selamat atau safety performance pada karyawan ATC.
Semakin padat traffic maka akan menguras tenaga dan pikiran
karyawan dalam memantau dan mengontrol pesawat di udara
sehingga kewaspadaan yang tinggi sangat dibutuhkan. Kepadatan
yang rendah dapat menimbulkan boring atau kejenuhan bagi
karyawan ATC yang sedang bekerja sehingga kondisi ini juga tidak
selamanya baik untuk karyawan. Beban kerja yang terlalu tinggi
(overload) dapat menimbulkan terjadinya kelelahan yang berlebih
dan beban kerja yang kecil dapat menimbulkan kejenuhan. Lama
mengontrol tidak valid dan reliabel karena relatif jumlah kontrol
yang dilakukan karyawan berkisar antara 1,5 jam sampai 4 jam,
rata-rata 3 jam baik sebagai controller maupun asisten controller.
Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara beban kerja dengan safety
performance dengan nilai P=0,000 yang berarti berada di bawah
0,05. Hasil ini membuktikan bahwa adanya pengaruh yang
signifikan antara beban kerja dengan performa seseorang. Kondisi
ini menjelaskan bahwa performa yang safety sangat ditentukan oleh
beban kerja. Beban kerja seorang karyawan ATC sangat berat
sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk memulihkan
kebugarannya seperti pernyataan seorang ATC berikut ini.
“Ritme kerja yang seperti sekarang sangat melelahkan, belum
cukup rasanya kita recovery udah harus kerja lagi, harusnya
minimal 2 hari lah” (responden 5, laki-laki).
Hasil ini sejalan dengan konsep dasar dalam ergonomi
menurut Manuaba (2000), yang menjelaskan bahwa performansi
atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari
besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang
bersangkutan, di mana bila rasio tuntutan tugas lebih besar
daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka
akan terjadi penampilan akhir berupa ketidaknyamanan, overstrees,
kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit, dan tidak
produktif, sebaliknya bila tuntutan tugas lebih rendah daripada
kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi
penampilan akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan,
kelesuan, sakit, dan tidak produktif. Penampilan yang optimal terjadi
apabila adanya keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas

60
dengan kemampuan yang dimiliki.
Menurut Dyer (2000), dalam Sholihah (2013) beban kerja yang
berlebihan dari atasan akan mempengaruhi kemampuan calon
pekerja dalam memonitor keselamatan dan kesehatan kerja.
Efeknya tugas manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
seharusnya dianggap penting menjadi tidak sesuai.
Beban kerja mental secara moral dan tanggung jawab jauh
lebih berat daripada kerja fisik karena lebih melibatkan kerja otak
daripada kerja otot. Aktivitas mental saat ini lebih banyak
didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor, dan pimpinan
sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab besar,
pekerja di bidang teknik informasi, pekerja dengan menggunakan
teknologi tinggi, pekerja dengan kesiapsiagaan tinggi seperti
pekerja air traffic controller (ATC) (Tarwaka, 2004).
Penelitian di Amsterdam menunjukkan bahwa beban kerja
mental seorang ATC secara signifikan lebih tinggi pada kondisi
traffic yang tinggi (Hilburn, 1997). Hasil di Washington juga
menunjukkan bahwa beban mental controller secara signifikan lebih
tinggi di bawah traffic tinggi daripada traffic sedang (Metzger, 2005).
Berdasarkan penelitian di London menemukan bahwa beban kerja
secara signifikan lebih tinggi pada traffic tinggi (Hilburn, 1997). Hasil
ini membuktikan bahwa beban mental sangat tinggi pada saat traffic
yang padat daripada traffic yang sedang.
Tekanan kerja yang berat dan menuntut memiliki bahaya
apabila tidak dikelola dengan baik. Flin et al. (2000) menyatakan
bahwa beban kerja (work load) dianggap sebagai salah satu
tekanan kerja (work pressure). Tekanan tinggi ini dapat
menimbulkan kerugian baik bagi individu yang mengalaminya
maupun organisasi yang memberikan tanggung jawab tersebut.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa adanya pengaruh yang
positif antara beban kerja dan safety performance yang berarti
semakin tinggi beban kerja akan menyebabkan semakin tingginya
safety performance karyawan ATC. Hasil ini sangat bertentangan
dengan teori dari Flin et al. (2000) yang menyatakan beban kerja
merupakan tekanan yang tinggi yang dapat menimbulkan kerugian
bagi perusahaan ataupun individu.
Beban kerja yang semakin tinggi akan meningkatkan safety
performance karyawan ATC. Hasil ini sejalan dengan teori

61
kecemasan yang mengatakan bahwa semakin cemas seseorang
akan dapat meningkatkan kewaspadaan seseorang. Safety
performance yang valid dan reliabel sebagai indikator dari safety
performance pada karyawan ATC adalah vigilance. Kondisi ini
membuktikan bahwa tingkat kewaspadaan atau kesiapsiagaan
seorang karyawan ATC akan lebih baik pada saat jumlah traffic-nya
lebih padat.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa apabila beban kerja
mengalami kenaikan per satu satuan beban kerja akan menaikkan
safety performance sebesar 0,43, yang berarti setiap kenaikan
jumlah traffic 10 kali akan dapat menaikkan safety performance
menjadi 4 kali. Keadaan ini membuktikan bahwa jumlah traffic yang
tinggi akan meningkatkan safety performance karyawan.
Beban kerja dalam hal ini jumlah traffic dapat mempengaruhi
terjadi safety performance pada karyawan air traffic controller
(ATC). Jumlah traffic yang tinggi atau rendah akan mempengaruhi
terjadinya safety performance karyawan ATC. Safety performance
karyawan ATC dapat mengalami peningkatan atau penurunan
tergantung pada jumlah traffic yang ada.
Kesimpulannya bahwa beban kerja yang semakin tinggi dapat
meningkatkan safety performance karyawan ATC. Semakin tinggi
traffic pesawat di udara akan meningkatkan safety performance
karyawan ATC. Jumlah traffic yang optimal adalah jumlah traffic
yang dibutuhkan sesuai dengan kapasitas karyawan ATC agar
safety performance dapat menjadi optimal.

Lingkungan Kerja terhadap Safety Performance ATC


Lingkungan kerja yang diukur di sini adalah lingkungan fisik
yang terdiri dari suhu, kelembaban, dan intensitas pencahayaan
pada ruang kerja karyawan ATC baik itu di ruang radar maupun di
ruang tower. Lingkungan kerja fisik dapat mempengaruhi performa
kerja karyawan. Lingkungan kerja yang nyaman dan sehat akan
memberikan suasana yang enak dalam bekerja sehingga akan
dapat menimbulkan kualitas kerja yang maksimal, sebaliknya
lingkungan kerja yang panas, lembab dan gelap akan dapat
memicu kelelahan pada karyawan dan berdampak pada pusing dan
bersin-bersin yang dapat menurunkan performa kerja.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja yakni

62
lingkungan kerja fisik memiliki pengaruh paling besar terhadap
safety performance dengan nilai P=0,000 dan nilai loading factor
tertinggi berdasarkan uji standardize estimate dengan nilai 0,91
tertinggi di antara variabel yang signifikan mempengaruhi safety
performance seperti beban kerja.
Hasil ini memiliki pengaruh yang besar untuk terwujudnya kerja
optimal dari seorang ATC dengan memiliki kondisi lingkungan yang
kondusif dan nyaman agar produktif dalam bekerja. Kerja optimal
akan sangat susah dihasilkan apabila kondisi lingkungan fisik
tempat kerja tidak mendukung untuk kita bekerja, hal ini terjadi bisa
karena terlalu dingin, terlalu panas, gelap ataupun lembab. Kerja
seorang ATC dituntut bekerja pada lingkungan dengan suhu dingin
untuk keamanan peralatan, namun di sisi lain suhu yang terlalu
dingin tidak cocok untuk tubuh seorang manusia, sehingga kondisi
ini harus ada jalan keluarnya dengan modifikasi stasiun kerja,
pemakaian jaket, dan perlindungan lain yang membuat tidak sakit
dan nyaman dalam bekerja.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan karyawan ATC
mengalami pusing-pusing dengan kondisi lingkungan kerja yang
kurang nyaman seperti komentar salah seorang karyawan yang
menyatakan:
“Yang sering menjadi masalah untuk lingkungan kerja fisik ini
adalah suhu yang terlalu dingin, dan kadang lembab sehingga
menyebabkan kadang pusing-pusing, bersin-bersin” (responden 3,
laki-laki).
Menurut Manuaba (1992) bahwa lingkungan kerja yang
nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara
optimal dan produktif, sehingga lingkungan kerja harus ditangani
atau didesain sedemikian rupa sehingga kondusif terhadap pekerja
untuk melaksanakan kegiatan dalam suasana yang aman dan
nyaman (Tarwaka, 2004).
Pencahayaan yang baik adalah penerangan yang
memungkinkan seseorang karyawan melihat pekerjaannya dengan
teliti, cepat, jelas, serta membantu menciptakan lingkungan kerja
yang nikmat dan menyenangkan. Pengaruh pencahayaan dapat
berakibat pada peningkatan performa kerja pada karyawan atau
malah dapat berakibat pada kelelahan mata, kelelahan mental,
sakit dan pegal sekitar mata, kerusakan indera mata, dan

63
meningkatnya kecelakaan kerja. Kelelahan mental memiliki gejala
seperti sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, penurunan
daya konsentrasi, dan penurunan kecepatan berpikir (Subaris, H.,
2008).
Suhu terlalu dingin atau terlalu panas memiliki pengaruh yang
tidak baik bagi kesehatan. Respon tubuh bila suhu lingkungan turun
metabolisme meningkat, sehingga produksi panas naik sehingga
menyebabkan kehilangan panas. Suhu terlalu dingin dapat
berakibat chilblain (suhu dingin dan lama: menyebabkan kulit
merah, bengkak, panas), trencfoot (kerusakan anggota badan
terutama kaki, rasa kesemutan), froshbite (terjadi pada suhu 0
derajat, terjadi gangrene), kadang sebagai pencetus trigger asma,
rhinitis alergi, sakit gigi, dermatitis alergi, nyeri tulang dll. Upaya
pencegahan yang dilakukan antara lain pakaian tebal, fasilitas
istirahat hangat, makanan/minuman hangat, fisik fit (Subaris, H.,
2008).
Kelembaban yang tinggi dapat memicu terjadi alergi, pusing-
pusing dan sakit kepala dan memicu timbulnya berbagai macam
penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi pemicu
munculnya berbagai macam kuman penyakit yang ada di tempat
kerja. Kondisi ini dapat membahayakan kesehatan karyawan saat
melakukan tugas sehari-hari (Subaris, H., 2008).
Penelitian ini membuktikan bahwa lingkungan kerja dan safety
performance berpengaruh secara positif, yang berarti semakin baik
lingkungan kerja akan meningkatkan safety performance. Penelitian
ini menemukan setiap kenaikan satu satuan lingkungan kerja akan
menaikkan safety performance sebesar 0,91. Hasil ini menjelaskan
bahwa setiap kenaikan 10 kali lebih baik lingkungan kerja akan
menaikkan 9 kali safety performance dari karyawan ATC.
Lingkungan kerja yang nyaman dan memenuhi syarat
kesehatan mutlak diperlukan oleh karyawan ATC, agar dapat
bekerja dengan baik dan sehat. Kondisi lingkungan yang sehat dan
nikmat akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kualitas
kerja yang ditunjukkan karyawan. Lingkungan kerja seperti suhu,
kelembaban, dan pencahayaan yang memenuhi syarat kesehatan
akan meningkatkan safety performance karyawan ATC.
Kesimpulannya bahwa lingkungan kerja seperti suhu,
kelembaban, dan pencahayaan memiliki pengaruh terhadap safety

64
performance karyawan air traffic controller (ATC) di Indonesia.
Pengaruh lingkungan kerja berdampak pada peningkatan atau
penurunan safety performance karyawan ATC, di mana apabila
lingkungan sehat akan dapat meningkatkan safety performance
karyawan. Lingkungan yang tidak sehat atau memenuhi syarat
akan berdampak pada penurunan tingkat safety performance
karyawan air traffic controller (ATC).

Identitas Individu terhadap Safety Performance ATC


Identitas karyawan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
umur dan masa kerja yang dimiliki oleh karyawan ATC yang
menjadi responden. Umur dapat memiliki pengaruh terhadap
performa kerja yang selamat dari seorang karyawan karena
semakin tua seseorang dapat menyebabkan ingatan mulai
terganggu sehingga bisa menimbulkan pengaruh pada saat
bekerja. Umur muda juga memiliki pengaruh jika di usia muda
kematangan berpikir masih belum maksimal sehingga hal-hal
sepele bisa berakibat buruk pada saat bekerja sehingga ini dapat
memicu performa kerja menjadi menurun.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas
individu tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance
dengan nilai P=0,435 yang berarti hasil ini menjelaskan tidak ada
pengaruh secara signifikan antara identitas individu terhadap safety
performance. Hasil ini menjelaskan bahwa umur dan masa kerja
tidak ada pengaruhnya terhadap safety performance pada
karyawan air traffic controller (ATC).
Hasil ini memperlihatkan bahwa umur muda atau tua
seseorang tidak akan berdampak pada performa kerja dari seorang
karyawan, begitu juga dengan masa kerja, masa kerja baru atau
lama tidak ada pengaruhnya terhadap performa kerja dari karyawan
air traffic controller (ATC). Keadaan ini terjadi karena sistem
pemeriksaan kesehatan yang rutin dilaksanakan dan dilakukan
dengan melakukan kontrol kesehatan karyawan oleh perusahaan
minimal 6 bulan sekali. Adanya standar kesehatan yang
diberlakukan oleh perusahaan juga dapat menjadi sebab umur tidak
memiliki pengaruh terhadap performa karyawan.
Hasil ini bertentangan dengan teori Astrand & Rodahl (1997)
Grandjean (1993) Genaidy (1996) dan Konz (1996), yang

65
mengatakan bahwa umur seseorang berbanding langsung dengan
kapasitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya
pada umur 25 tahun. Umur 50-60 tahun kekuatan otot menurun
sebesar 25%, kemampuan sensoris-motoris menurun sebanyak
60%, selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berumur
>60 tahun tinggal mencapai 50% dari yang berumur 25 tahun.
Bertambahnya umur akan diikuti dengan penurunan pada
ketajaman penglihatan, pendengaran, kecepatan membedakan
sesuatu, membuat keputusan dan kemampuan mengingat jangka
pendek. Pengaruh umur harus selalu jadi pertimbangan dalam
memberikan pekerjaan dan tanggung jawab pada seseorang
(Tarwaka, 2004). Hasil ini juga tidak sejalan dengan Suma’mur
(1984) bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari
satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat
keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia,
dan ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan.
Masa kerja juga tidak memiliki pengaruh terhadap performa
kerja (safety performance), baik sebagai karyawan baru atau sudah
bekerja lama tidak ada kaitannya dengan safety performance
karyawan ATC. Hasil ini menggambarkan bahwa perusahaan telah
tepat menerapkan sistem penilaian rating untuk kemampuan
karyawan ATC setiap 6 bulan sekali. Kondisi ini juga disebabkan
karena karyawan ATC yang baru sebelum lulus sudah memenuhi
syarat-syarat minimal untuk melakukan controller, melalui
pendidikan setingkat DII dan DIII yang dibekali dengan job training
sehingga sudah memiliki kemahiran yang baik dan layak untuk
bekerja sebagai ATC.
Penerapan lisensi yang mengharuskan ATC memenuhi
kesehatan minimal untuk mendapatkan lisensi juga berperan
penting sehingga identitas individu tidak memiliki pengaruh
terhadap safety performance. Kesehatan yang diwajibkan seorang
karyawan ATC harus minimal level 3 dengan kondisi kesehatan
yang baik dan tetap sehat.
Kesimpulannya bahwa identitas individu seperti umur dan
masa kerja tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance
karyawan air traffic controller (ATC). Umur tua ataupun muda pada
karyawan ATC tidak akan mempengaruhi safety performance
karyawan dan masa kerja baru ataupun lama tidak akan

66
mempengaruhi penurunan atau peningkatan safety performance
karyawan karena sudah melalui tahapan kontrol kesehatan yang
ketat dan dilakukannya penyegaran kemampuan melalui ujian
rating setiap minimal 6 bulan sekali.

Burnout terhadap Safety Performance ATC


Burnout merupakan keletihan yang sangat, atau kelelahan
mental pada karyawan ATC yang berdampak pada sikap dan
perilaku apatis pada tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Burnout juga dapat dilihat sebagai akhir dari stress di
mana diawali dengan stress dan dapat berlanjut menjadi burnout
tergantung coping stress yang dilakukan oleh setiap individu.
Coping yang tidak baik akan memicu burnout dan kalau tidak
ditangani dengan baik dapat berdampak buruk pada karyawan
ATC.
Pengukuran burnout dalam penelitian ini mengadopsi
instrumen yang sudah ada yaitu Maslach Burnout Inventory (MBI)
yang sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen untuk
karyawan ATC. Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan ada
beberapa item pertanyaan yang tidak valid untuk karyawan ATC
sehingga dilakukan beberapa perubahan sehingga instrumen ini
hanya digunakan untuk ATC.
Performa kerja yang selamat pada seorang karyawan ATC
harus tercipta. Kejadian burnout dapat memicu kualitas kerja pada
karyawan ATC, bisa bersifat negatif tapi juga dapat berdampak
positif. Efek negatif terjadinya pada performa kerja adalah jika
burnout menyebabkan seseorang karyawan menjadi apatis pada
keselamatan seseorang sehingga dapat memberikan informasi
kepada pilot secara sembrono dan tidak tepat tentang kondisi
separasi (jarak antarpesawat) di udara. Informasi yang salah dapat
menyebabkan kecelakaan pesawat yang dapat memakan korban
ratusan jiwa manusia.
Burnout juga dapat memilki efek positif, hal ini dapat tercapai
apabila cara pandang terhadap tekanan yang dihadapi dan
ketangguhan terhadap tekanan. Tekanan yang ada dijadikan
motivasi untuk berbuat yang terbaik dan menunjukkan bahwa
mereka memiliki kualitas kerja yang mesti dihargai atau tekanan
dijadikan alat untuk membuktikan bahwa mereka adalah seorang

67
makhluk yang harus bekerja keras tanpa pamrih. Performa kerja
yang optimal dapat tercapai dari sikap yang optimis tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa burnout
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap safety
performance seorang ATC dengan nilai P=0,341 berarti melebihi
nilai 0,05. Hasil ini menjelaskan bahwa burnout tidak
mempengaruhi safety performance karyawan ATC secara langsung
maupun secara tidak langsung, karena dari hasil analis model yang
dilakukan menunjukkan bahwa burnout hanya dipengaruhi oleh
motivasi secara signifikan akan tapi jalur yang menuju ke safety
performance dari burnout tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Hasil ini berlawanan dengan hasil yang ditemukan oleh Poon
(2013) yang melakukan penelitian pada pekerja konstruksi di
Hongkong dengan melihat pengaruh burnout terhadap safety
performance yang menunjukkan hasil bahwa burnout memiliki
pengaruh langsung terhadap safety performance. Hasil tersebut
juga menemukan bahwa kemampuan individu untuk mencairkan
dan menerima efek kelelahan memainkan peran kunci dalam reaksi
akhir. Kondisi ini menjelaskan ada kemungkinan bahwa jika
seseorang melakukan coping secara baik terhadap tekanan yang
dihadapi akan dapat memunculkan performa yang stabil bukan
sebaliknya menyebabkan performa menjadi menurun.
Hasil ini terjadi karena pekerjaan seorang ATC yang menuntut
dan melelahkan telah melatih mereka untuk tetap dalam
kesiapsiagaan yang tinggi untuk tetap melakukan kerja yang
optimal. Sejak mereka sekolah sudah dilatih dan ditekankan untuk
tetap dalam keadaan siaga apapun yang terjadi bahkan nyawa pun
taruhannya seperti yang diutarakan salah seorang ATC waktu
wawancara bahwa:
“Walaupun ada bencana angin kencang yang menyebabkan
tower ini tergoyang bahkan roboh, selagi kami melakukan kontrol
kami tidak boleh meninggalkan tower ini” (responden 1, laki-laki).
Aspek respek diri terhadap pekerjaan yang tertanam pada diri
seorang ATC memperlihatkan betapa mereka sangat bertanggung
jawab terhadap beban tugas yang diamanahkan pada mereka.
Kondisi ini kemungkinan yang menjadikan hasil burnout tidak
signifikan secara statistik terhadap safety performance. Hasil ini
juga membuktikan bahwa motivasi memiliki pengaruh yang sangat

68
signifikan terhadap burnout yang memiliki arti jika seseorang
memiliki motivasi yang positif terhadap pekerjaannya maka mereka
tidak akan memiliki risiko terjadinya kelelahan mental atau burnout.
Sesungguhnya pekerjaan seorang ATC sangat menuntut dan
melelahkan secara mental, namun kondisi ini tidak menjadi sebab
seorang controller harus stress secara berlebihan, hal ini terjadi
karena adanya rasa tanggung jawab yang besar untuk
menyelamatkan ratusan nyawa bahkan jutaan jiwa terpatri pada
mereka. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa seorang ATC harus
diperhatikan kesehatannya baik fisik maupun mental secara terus-
menerus terutama oleh perusahaan karena adanya tanggung jawab
yang tinggi untuk membantu menyelamatkan jutaan jiwa manusia
yang selalu bepergian menggunakan pesawat setiap hari.
Kecerobohan atau human error dapat terjadi pada saat
seorang ATC bekerja melebihi kapasitas fisik dan mentalnya.
Setiap manusia diciptakan secara sempurna dan memiliki tanggung
jawab yang tinggi tapi kesemuanya itu ada batasnya. Apabila itu
terjadi secara terus-menerus maka ada suatu waktu kecerobohan
terjadi akibat melampui batas kemampuan fisik manusia normal
secara umum.
Menurut Flin et al. (2000) menyatakan bahwa tempat kerja
(work place), kecepatan kerja (work pace), dan beban kerja (work
load) dianggap sebagai tekanan kerja (work pressure). Termasuk di
dalamnya adalah persepsi adanya konflik antara kepentingan
keselamatan dan kesehatan kerja dan produktivitas kerja (Sholihah,
Q., 2013).
Tekanan kerja (work pressure) yang hadapi oleh karyawan
ATC harus senantiasa diatur ritmenya, walaupun hasil penelitian ini
belum menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap safety
performance, namun jika ini terus-menerus terjadi maka akan
menjadi masalah besar pada masa yang akan datang terutama
pada kesehatan seorang ATC. Penelitian yang dilakukan Saleh
(2015) menemukan bahwa 92,7 % karyawan ATC Juanda yang
mengalami perasaan kelelahan mulai dari kadang-kadang lelah
sampai sering mengalami kelelahan. Hasil tersebut membuktikan
bahwa karyawan ATC sesungguhnya mengalami kelelahan saat
bekerja namun tidak sampai mengganggu kualitas kerjanya karena
adanya integritas dan komitmen yang tinggi mengabdikan diri

69
terhadap tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga pesawat
tetap selamat sampai tujuan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
burnout tidak memiliki pengaruh terhadap safety performance,
karena kemampuan yang dimiliki karyawan dalam melakukan
coping terhadap tekanan yang ada sangat baik. Burnout atau
tidaknya seorang karyawan ATC tidak akan berdampak pada
tingkat safety performance mereka. ATC akan tetap bekerja
maksimal dalam melaksanakan tanggung jawabnya karena
semangat kerja dan komitmen serta integritas mereka sangat baik.

Keluhan Muskuloskeletal terhadap Safety Performance ATC


Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian
otot skeletal yang dirasakan seseorang karyawan mulai dari
keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Pemberian beban kerja
secara statis secara berulang-ulang akan dapat menyebabkan
keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon.
Keluhan dan kerusakan inilah yang biasa diistilahkan dengan
keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada
sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993).
Pengukuran keluhan menggunakan Nordic Body Map (NBM)
(Corlett, 1992). Pengukuran di sini dilakukan modifikasi khusus
untuk ATC sehingga dilakukan pengukuran hanya untuk dibagian
leher, upper (tulang belakang bagian atas), low (tulang belakang
bagian bawah) dan foot (bagian kaki) pada karyawan ATC.
Modifikasi dilakukan setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas
instrumen tersebut.
Keluhan muskuloskeletal dapat berdampak pada performa
kerja karena dengan adanya keluhan sakit pada bagian tulang
belakang akan menurunkan konsentrasi pada saat bekerja
sehingga hal ini dapat menurunkan kesiapsiagaan karyawan dalam
bekerja. Kesiapsiagaan yang menurun dapat menurunkan performa
kerja yang selamat pada karyawan karena dapat memicu masalah
miss-komunikasi dengan pilot yang memungkinkan menjadi
penyebab terjadinya kecelakaan pesawat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan yang
memiliki keluhan terbanyak pada bagian leher (neck) yaitu
sebanyak 63 orang (51,2 %) dan terendah terdapat pada bagian

70
kaki yakni sebanyak 19 orang (15,4 %). Bagian upper sebanyak 61
orang (49,6 %) sedangkan bagian low sebanyak 50 orang
responden (40,7 %). Hasil di sini menunjukkan bahwa ATC memiliki
tingkat keluhan yang tinggi pada saat bekerja yang dapat
membahayakan keselamatan penerbangan. Kejadian ini dapat
terjadi apabila tingkat keluhan semakin parah akan dapat
menggangu konsentrasi dalam mengontrol pesawat karena
kesiapsiagaan atau vigilance menjadi menurun yang berdampak
pada performa kerja menurun.
Berdasarkan uji model yang dilakukan antara keluhan
muskuloskeletal dengan safety performance pada penelitian ini
yaitu nilai P=0,450 yang berarti tidak signifikan secara statistik
mempengaruhi kerja seorang ATC. Artinya bahwa keluhan yang
dirasakan karyawan ATC dalam bekerja terutama keluhan terhadap
tulang belakang pada otot skeletal belum berdampak pada
performa kerja mereka. Karyawan ATC akan tetap bekerja
seoptimal mungkin walaupun keluhan pada bagian otot skeletal
terjadi pada mereka.
Kejadian ini terjadi karena karyawan ATC diharuskan untuk
tetap menjaga kebugarannya. Kontrol kesehatan minimal 1 tahun
sekali dan adanya fasilitas untuk olahraga menjadi pendukung
mereka dalam memperbaiki otot-otot yang terganggu. Ruang
istirahat yang disediakan oleh perusahaan juga memungkinkan
keluhan itu dapat berhenti dengan sendirinya. Pernyataan dari
seorang karyawan ATC berikut ini membuktikannya:
“Alhamdulillah sekarang sudah ada fasilitas begini yang enak
untuk istirahat dan duduk-duduk begini, ada juga tempat untuk baring-
baring kalau lelah” (responden 4, laki-laki).
Studi tentang keluhan muskuloskeletal pada berbagai industri
telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian
otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang
meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang
dan otot-otot bagian bawah. Berdasarkan laporan dari The Bureau
of Labor Statistic (LBS) Depertemen Tenaga Kerja Amerika Serikat
yang dipublikasikan pada tahun 1982 menunjukkan bahwa hampir
20% dari semua kasus sakit akibat kerja dan 25% biaya
kompensasi yang dikeluarkan sehubungan dengan adanya keluhan
sakit pinggang.

71
Besarnya biaya kompensasi hasil estimasi NIOSH
menunjukkan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal
sudah mencapai 13 miliar US Dolar setiap tahun. Biaya tersebut
merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya
kompensasi untuk keluhan sakit akibat kerja lainnya (NIOSH,
1996). Sementara itu National Safety Council melaporkan bahwa
sakit akibat kerja yang frekuensi kejadian paling tinggi adalah sakit
punggung, yaitu 22 % dari 1.700.000 kasus (Water, et al., 1996).
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena konstruksi
otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu
berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Kemungkinan
sebaliknya terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar 15-20 %
dari kekuatan otot maksimum. Kontraksi otot yang melebihi 20 %
maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi
yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai
oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat
yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982;
Grandjean, 1993).
Di Indonesia, keluhan muskuloskeletal banyak terjadi karena
adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja
dengan ukuran tubuh pekerja. Indonesia sebagai negara
berkembang masih bergantung pada perkembangan teknologi
negara-negara maju, khususnya dalam pengadaan peralatan.
Mengingat bahwa dimensi peralatan tersebut didesain tidak
berdasarkan ukuran tubuh orang Indonesia, maka pada saat
pekerja Indonesia harus mengoperasikan peralatan tersebut,
terjadilah sikap kerja yang tidak alamiah. Kejadian ini akan
menyebabkan adanya sikap paksa pada waktu pengoperasian
peralatan atau mesin. Apabila hal ini terjadi dalam kurun waktu
yang lama akan berakibat pada terjadinya cedera otot (Tarwaka,
2004).
Kesimpulannya bahwa keluhan muskuloskeletal tidak
berpengaruh terhadap safety performance karyawan air traffic
controller (ATC). Keluhan muskuloskeletal ada atau tidak ada pada
karyawan ATC tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas kerja
mereka, ATC akan tetap bekerja secara optimal dan bertanggung
jawab menjalankan tugas sebagai controller.

72
Job Ability terhadap Burnout ATC
Job ability yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rating
dari seorang ATC (air traffic controller). Rating yang baik adalah
rating yang di dapat setelah melakukan tes teori maupun praktik,
nilai yang didapatkan adalah nilai di atas standar yang ditetapkan
oleh perusahaan Air Nav. Rating akan dapat dipakai apabila
karyawan telah melewati serangkaian tes rating dan telah
melulusinya. Job ability secara teori memiliki pengaruh terhadap
ketahanan mental (burnout) seseorang, apabila job ability baik
maka ketahanan mentalnya akan baik pula, namun sebaliknya
terjadi apabila kemampuan rendah maka kemungkinan ketahanan
mental juga rendah, seperti dengan beban mental berlebih maka
dapat menimbulkan kelelahan, overstress (Tarwaka, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian ini pengaruh antara job ability
dengan burnout tidak signifikan secara statistik di mana nilai
P=0,266 artinya melebihi 0,05 yang berarti tidak ada pengaruh
antara job ability dengan burnout. Hasil ini membuktikan bahwa
seseorang dengan job ability rendah tidak selamanya akan memiliki
burnout yang tinggi.
Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita bahwa burnout
banyak faktor yang mempengaruhinya sehingga itu terjadi. Burnout
dalam penelitian ini tidak terbukti karena kemungkinan adanya nilai
skor rating dari masing-masing responden yang relatif melewati nilai
standar sehingga kemungkinan homogenitas pada data terjadi.
Kesimpulannya bahwa job ability dalam hal ini rating tidak
berpengaruh terhadap kejadian burnout. Rating yang standar
ataupun sangat tinggi sekali tidak akan mempengaruhi terjadinya
burnout. Burnout pada karyawan ATC tidak ada pengaruhnya
dengan besarnya rating yang dimiliki oleh karyawan ATC karena
adanya tes rating yang mengharuskan ATC harus memiliki nilai
standar sesuai dengan standar yang ada.

Motivasi terhadap Burnout ATC


Menurut Rubin dan McNeil (1983) motif adalah jenis penyebab
khusus yang memberi energi, mengarahkan, dan mempertahankan
perilaku seseorang (termasuk lapar, haus, seks, dan rasa ingin
tahu). Miller mengatakan bahwa studi tentang motivasi adalah studi
tentang semua hal yang mendorong dan membangkitkan, biologi,

73
sosial, dan psikologis yang mengalahkan kemalasan, dan
menggerakkan kita, dengan bersemangat atau malas untuk
bertindak (Gross, 2012).
Motivasi adalah dorongan dan dukungan dari dalam diri
seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi ini dapat berasal dari
dalam diri seseorang ataupun dari luar diri seseorang. Motivasi
internal akan lebih besar pengaruhnya terhadap perilaku seorang
individu daripada motivasi yang berasal dari luar diri seseorang.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa motif bervariasi dalam
kaitannya dengan sejumlah fitur atau dimensi, termasuk: internal
atau eksternal, bawaan atau dipelajari, mekanistik atau kognitif,
sadar atau tidak sadar (Gross, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian ini pengaruh motivasi terhadap
burnout signifikan secara statistik dengan nilai P=0,032 yang berarti
di bawah nilai 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa motivasi
seseorang sangat berdampak pada kejadian burnout pada seorang
karyawan ATC. Apabila motivasinya baik dan positif akan
mendorong seseorang untuk tidak akan mengeluh bahkan tidak
akan mengalami burnout. Kondisi ini memperlihatkan seseorang
yang senantiasa bermotivasi positif akan mengalami ketahanan
mental yang jauh lebih baik ketimbang seseorang dengan motivasi
lemah dan cenderung mengeluh akan memiliki tingkat ketahanan
mental yang rendah.
Karyawan ATC yang direkrut oleh perusahaan kecenderungan
adalah karyawan pilihan dengan berbagai seleksi dan potensi
sehingga kemungkinan hal ini menambah catatan baik pada
seorang ATC. Kemungkinan mereka memiliki potensi yang tinggi
pada motivasinya adalah cerminan seorang ATC. ATC bekerja
sangat mengedepankan tugas dan tanggung jawab daripada
keselamatan dirinya.
Kondisi berbeda akan terjadi apabila ATC mengalami masalah
dalam motivasinya maka kemungkinan terjadinya burnout akan
tinggi pada ATC. Motivasi yang cenderung turun dan negatif akan
memperbesar kemungkinan ATC mengalami keletihan secara
mental yang berdampak pada tingginya angka burnout pada ATC.
Langkah-langkah antisipasi harus senantiasa diupayakan agar
burnout pada karyawan tidak memiliki dampak yang lebih besar
pada kesehatan dan pekerjaan karyawan ATC.

74
Kesimpulannya bahwa motivasi kerja karyawan ATC memiliki
pengaruh terhadap kejadian burnout pada karyawan ATC. Motivasi
yang baik akan berdampak positif yang menyebabkan karyawan
tidak mengalami burnout, namun motivasi yang rendah terhadap
pekerjaan akan berdampak buruk pada karyawan ATC dengan
meningkatkan terjadinya burnout pada karyawan ATC. Kejadian
burnout pada karyawan ATC tidak sampai menyebabkan terjadinya
gangguan safety performance karyawan ATC.

Beban Kerja terhadap Burnout ATC


Beban kerja seorang ATC yang dilihat dalam penelitian ini
adalah lama kontrol dan jumlah traffic. Lama kontrol tidak valid dan
reliabel sehingga menyisakan jumlah traffic dalam analisis
modelnya. Permasalahan beban kerja adalah hal yang selalu ada
dalam setiap diri tenaga kerja, beban kerja bisa tinggi namun bisa
juga rendah tergantung pada seseorang mempersepsikannya.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaruh antara beban
kerja dengan burnout tidak terbukti secara statistik di mana nilai
P=0,599 yang berarti melebihi 0,05. Berdasarkan hasil ini
menjelaskan tidak ada pengaruh antara beban kerja dengan
terjadinya burnout. Kemungkinan ini terjadi disebabkan karena
mental seorang karyawan ATC yang sangat baik dalam
mempersepsikan tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan
kepada mereka. Mereka kemungkinan mengalami keletihan secara
fisik maupun mental namun bagaimana mereka menyikapi dan
melakukan coping terhadap beban yang dihadapi sangat positif.
Hasil ini tidak membuktikan hubungan antara beban kerja
dengan burnout, walaupun sebenarnya pernyataan dari beberapa
orang karyawan ATC membuktikan bahwa terjadi kelelahan pada
karyawan ATC yang diakibatkan traffic yang padat seperti
pernyataan karyawan berikut ini:
“Pusing nih, padat sekali trafficnya, soalnya malam-malam
begini lagi padat nih” (responden 2, laki-laki).
Bahkan menurut penuturan karyawan ATC tentang tingkat
kepadatan di Indonesia jika dibandingkan dengan di luar negeri
terjadi perbedaan yang sangat tinggi seperti diutarakan salah
seorang ATC setelah dikomentari oleh ATC Australia berikut ini:

75
“You are crazy, kamu sudah gila menangani traffic sepadat ini”
(responden 2, laki-laki).
Hasil ini sangat bertentangan dengan konsep yang
dikemukakan Manuaba (2000) dalam Tarwaka (2004) yang
menyatakan seseorang akan mengalami kelelahan yang sangat
apabila diberikan beban yang tinggi ataupun akan mengalami
boring apabila tekanan yang dihadapi kecil bila dilihat dari kapasitas
yang dimiliki. Tempat kerja dan sistem kerja menjadi pembeda dan
penentu untuk menjadikan seseorang berlaku positif ataupun
negatif terhadap beban yang diterimanya.
Menurut Rodahl (1989), Adiputra (1998), dan Manuaba (2000)
bahwa secara umum hubungan antara beban kerja dan kapasitas
kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik
faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal di antaranya
faktor somatis dan faktor psikis, sedangkan faktor ekternal yaitu
tuntutan tugas, organisasi kerja, dan lingkungan kerja.
Kesimpulannya bahwa beban kerja seperti jumlah traffic tidak
memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout. Jumlah traffic yang
padat atau tidak, tidak akan mempengaruhi terjadinya burnout pada
karyawan air traffic controller (ATC). Kejadian ini menyimpulkan
bahwa seorang karyawan ATC telah memiliki integritas yang tinggi
sehingga beban kerja yang ada tidak akan berdampak pada
kejadian burnout pada mereka.

Lingkungan Kerja terhadap Burnout ATC


Lingkungan kerja yang dilihat dalam penelitian ini adalah
lingkungan fisik yang terdiri dari suhu, kelembaban, pencahayaan
yang terdapat di ruang kerja karyawan ATC baik itu di tower
ataupun di ruang radar. Kondisi lingkungan fisik yang dilihat
berdasarkan waktu kerja mereka dan lokasi kerja, apakah saat di
tower ataukah di radar, apakah malam hari atau siang hari.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
lingkungan kerja tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
kejadian burnout pada karyawan ATC. Hasil uji model yang
dilakukan menunjukan bahwa nilai P=0,269 yang berarti melebihi
nilai 0,05, sehingga ini menjelaskan tidak ada pengaruh antara
lingkungan kerja dengan kejadian burnout pada ATC.

76
Lingkungan kerja tidak memiliki efek pada karyawan ATC
terhadap gangguan mental secara umum. Karyawan ATC tetap
semangat dan menunjukkan kerja yang optimal walaupun kondisi
lingkungan yang cenderung dingin ataupun gelap. Pekerjaan
mereka tetap dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa mengeluh
kedinginan ataupun terkadang kegelapan.
Hasil ini tidak sejalan dengan pernyatan Subaris (2008) yang
menyatakan bahwa pengaruh pencahayaan yang buruk akan
berdampak pada kelelahan mata dan berkurangnya daya dan
efisien kerja, kelelahan mental atau burnout, keluhan pegal di
sekitar mata, kerusakan pada indera mata, dan meningkatnya
kecelakaan kerja. Gejala-gejala pada kelelahan mental dapat terjadi
seperti sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, penurunan
daya konsentrasi, dan penurunan kecepatan berpikir.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa lingkungan kerja seperti suhu, kelembaban, dan
pencahayaan tidak mempengaruhi terjadinya burnout pada
karyawan ATC. Suhu yang panas atau dingin tidak ada
pengaruhnya terhadap kejadian burnout pada ATC. Kelembaban
yang tinggi atau rendah tidak akan berdampak pada kejadian
burnout pada karyawan ATC. Pencahayaan yang gelap atau terang
tidak akan mempengaruhi terjadinya kejadian burnout pada
karyawan ATC. Lingkungan kerja hanya akan berdampak pada
peningkatan safety performance karyawan ATC, namun tidak
mempengaruhi terjadinya burnout pada karyawan ATC.

Identitias Individu terhadap Burnout ATC


Identitas individu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
umur karyawan ATC dan masa kerja karyawan ATC. Umur adalah
jumlah tahun sejak dilahirkan sampai dilakukan penelitian dan masa
kerja adalah jumlah tahun karyawan bekerja sebagi controller yang
merupakan karakteristik yang melekat pada individu yang sedang
bekerja. Umur karyawan ATC berada sekitar 20-50 tahun,
sedangkan masa kerja di antara masa kerja 1-27 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas
individu tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout pada
karyawan ATC. Hasil uji model memperlihatkan bahwa identitas
dan burnout memiliki nilai P=0,288 lebih besar daripada 0,05. Hasil

77
ini menjelaskan bahwa tidak ada pengaruh yang ditimbulkan
identitas individu terhadap kejadian burnout pada karyawan ATC.
Umur dan masa kerja yang menjadi indikator identitas individu
atau biasa disebut karakteristik individu tidak ada pengaruh
terhadap burnout pada ATC. Hasil ini memperlihatkan bahwa umur
muda atau tua, dan masa kerja lama ataupun baru tidak akan
menjadi sebab terjadinya burnout pada karyawan ATC.
Kesimpulannya bahwa identitas individu seperti umur, dan
masa kerja tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout pada
karyawan air traffic controller (ATC). Umur tua ataupun umur muda
tidak akan berdampak pada kejadian burnout pada ATC, dan masa
kerja baru maupun lama tidak akan menyebabkan terjadinya
burnout pada karyawan ATC.

Job Ability terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC


Pengaruh job ability terhadap kejadian muskuloskeletal tidak
ada. Berdasarkan hasil uji dengan AMOS memperlihatkan bahwa
job ability tidak ada kaitannya dengan keluhan muskuloskeletal.
Rating tidak mempengaruhi terjadi gangguan pada otot-otot skeletal
seorang karyawan. Hasil uji menjelaskan bahwa nilai P antara job
ability dengan keluhan muskuloskeletal adalah 0,666 lebih besar
dari 0,05 yang berarti tidak ada pengaruh antara job ability dengan
kejadian keluhan muskuloskeletal pada ATC.
Kejadian muskuloskeletal pada ATC terjadi bukan karena job
ability tapi kemungkinan karena stasiun kerja yang tidak ergonomis.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang didatangkan dari
luar negeri dan memiliki peruntukan untuk tubuh orang-orang Barat,
bukan orang Indonesia. Kebanyakan peralatan yang ada di
Indonesia adalah peralatan yang diimpor dari luar dan
menyesuaikan dengan tubuh orang barat bukan tubuh orang
Indonesia (Tarwaka, 2004).
Sikap duduk yang keliru akibat kursi yang tidak sesuai dengan
antropometri tubuh dapat menambah tekanan yang terjadi dan
merupakan penyebab utama adanya masalah-masalah punggung
(Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993; Nurmianto, 1996).
Kemampuan secara kognitif tidak memiliki pengaruh terhadap
gangguan keluhan muskuloskeletal tetapi lebih pada antropometri
tubuh atau ukuran tubuh.

78
Kesimpulannya bahwa job ability seperti rating tidak memiliki
pengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal pada karyawan air
traffic controller (ATC). Rating pada karyawan ATC baik itu standar
ataupun sangat tinggi sekali tidak ada pengaruhnya terhadap
keluhan muskuloskeletal yang dirasakan karyawan ATC.

Motivasi terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC


Motivasi kerja tidak ada pengaruh terhadap keluhan
muskuloskeletal. Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian ini
yang menunjukkan bahwa keluhan muskuloskeletal tidak ada
pengaruh dengan motivasi karyawan dengan hasil uji sebesar
P=0,248 yang berada di atas nilai 0,05.
Hasil menjelaskan antara motivasi dengan keluhan
muskuloskeletal tidak memiliki kaitan sama sekali. Motivasi tinggi
maupun rendah tidak akan mempengaruhi timbulnya kejadian
keluhan muskuloskeletal. Keluhan muskuloskeletal tidak terkait
dengan jiwa atau perasaan seorang individu melainkan lebih pada
cara kerja dan sistem kerja yang ada di perusahaan secara teknis.
Faktor psikis tenaga kerja seperti motivasi merupakan faktor
internal yang berkaitan dengan beban kerja sedangkan faktor
penyebab terjadinya keluhan muskuloskeletal menurut Peter Vi
(2000) adalah peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang,
sikap kerja tidak alamiah, dan faktor sekunder seperti tekanan
langsung pada jaringan lunak, getaran, mikroklimat dan penyebab
kombinasi seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan ukuran tubuh/antropometri
(Tarwaka, 2004).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa motivasi kerja tidak memiliki pengaruh terhadap keluhan
muskuloskeletal pada karyawan air traffic controller (ATC). Motivasi
rendah ataupun motivasi sangat tinggi tidak ada pengaruhnya
terhadap gangguan keluhan muskuloskeletal pada karyawan ATC.

Beban Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC


Beban kerja dengan keluhan muskuloskeletal tidak ada
pengaruh. Beban kerja yang tinggi dengan beban kerja yang
rendah tidak akan berdampak pada kejadian muskuloskeletal.
Pernyataan ini didasari oleh hasil penelitian ini yang menunjukkan

79
bahwa hasil uji dengan model menemukan nilai P di atas nilai 0,05
yakni sebesar P=0,288. Artinya beban kerja tidak mempengaruhi
terjadinya keluhan muskuloskeletal.
Kejadian ini memperlihatkan jumlah traffic yang dibebankan
pada seorang ATC tidak akan menimbulkan gangguan pada tulang
belakang mereka, akan tetapi lebih pada gangguan pada tampilan
akhir berupa penurunan kualitas kerja seorang karyawan ATC
dengan menurunkan atau akan menaikkan tingkat kesiapsiagaan
mereka dalam mengontrol pesawat di udara. Kepadatan traffic tidak
akan menjadi sebab munculnya keluhan pada otot-otot skeletal.
Hasil ini juga selaras dengan pernyataan Peter Vi (2000) yang
menyatakan bahwa terjadinya keluhan muskuloskeletal karena
peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, sikap kerja
tidak alamiah, dan faktor sekunder seperti tekanan langsung pada
jaringan lunak, getaran, mikroklimat dan penyebab kombinasi
seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran
jasmani, kekuatan fisik dan ukuran tubuh/antropometri, bukan
karena faktor kepadatan traffic atau beban kerja.
Kesimpulannya bahwa beban kerja tidak ada pengaruhnya
terhadap kejadian keluhan muskuloskeletal pada karyawan air
traffic controller (ATC). Beban kerja dalam hal ini jumlah traffic tidak
ada pengaruhnya terhadap keluhan muskuloskeletal. Jumlah traffic
padat ataupun jumlah traffic rendah tidak akan mempengaruhi
terjadinya keluhan muskuloskeletal pada karyawan ATC.

Lingkungan Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC


Lingkungan kerja dalam hal ini lingkungan fisik seperti suhu,
kelembaban, dan pencahayaan tidak terbukti mempengaruhi
kejadian muskuloskeletal. Pernyataan ini didukung dengan hasil
temuan dari penelitian ini yang menunjukkan nilai P masih di atas
0,05 yaitu 0,660. Keadaan ini menerangkan bahwa lingkungan kerja
fisik tidak akan mempengaruhi timbulnya gangguan pada otot pada
bagian skeletal.
Hasil ini membuktikan bahwa penyebab kombinasi yang
dikemukakan oleh Peter Vi (2000) yang di antaranya adalah
masalah mikroklimat yang merupakan salah satu hal yang
menyebabkan terjadinya masalah pada otot pada tulang bagian
belakang tidak terbukti mempengaruhi terjadinya gangguan pada

80
otot tulang belakang pada karyawan ATC. Kenyataan ini
menjelaskan bahwa tidak semua tempat kerja dan jenis pekerjaan
memiliki pengaruh yang sama terhadap suatu keadaan yang
dihadapi di tempat kerja.
Hasil ini tidak sejalan dengan Astrand dan Rodahl (1977) yang
menyatakan bahwa paparan suhu dingin secara berlebihan dapat
menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga
gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai
dengan menurunnya kekuatan otot (Tarwaka, 2004). Demikian juga
dengan paparan udara yang panas, perbedaan suhu lingkungan
dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian
energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk
beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak
diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai energi ke otot. Akibatnya, peredaran darah
kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang
dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot (Suma’mur, 1982:
Grandjean, 1993).
Kesimpulannya bahwa lingkungan kerja tidak memiliki
pengaruh terhadap kejadian keluhan muskuloskeletal. Lingkungan
kerja dalam hal ini lingkungan kerja fisik seperti suhu, kelembaban,
dan pencahayaan tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian
keluhan muskuloskeletal. Suhu panas atau dingin tidak ada
pengaruhnya terhadap keluhan muskuloskeletal karyawan ATC.
Kelembaban tinggi ataupun rendah tidak ada pengaruhnya
terhadap keluhan muskuloskeletal karyawan ATC. Pencahayaan
yang gelap atau terang tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian
keluhan muskuloskeletal pada karyawan air traffic controller (ATC).

Identitas Individu terhadap Keluhan Muskuloskeletal ATC


Identitas individu memiliki pengaruh terhadap keluhan
muskuloskeletal dengan nilai P=0,02 yang berada di bawah nilai
0,05. Hasil ini membuktikan bahwa umur dan masa kerja memiliki
pengaruh terhadap kejadian muskuloskeletal. Semakin tua dan
lama masa kerja seorang ATC akan dapat memicu timbulnya
gangguan pada otot tulang belakang mereka. Kemungkinan ini

81
terjadi karena semakin tua seseorang dan makin lama bekerja akan
memungkinkan terjadinya gangguan pada otot tulang belakang.
Hasil ini sejalan dengan Choffin (1997) dan Guo et al., (1995)
yang menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal
mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan
pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat
keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
Kejadian ini karena pada umur setengah baya, kekuatan dan
ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan
otot meningkat.
Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang dilakukan
oleh Betti’e, et al., (1989) yang melakukan studi tentang kekuatan
statik otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20-60 tahun.
Penelitian ini difokuskan pada otot lengan, punggung dan kaki.
Hasilnya menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada
saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan
sejalan dengan bertambahnya umur. Umur mencapai 60 tahun,
rerata kekuatan otot menurun sampai 20%, saat kekuatan otot
mulai menurun maka risiko terjadinya keluhan otot akan meningkat.
Riihimaki et al., (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai
hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot, terutama untuk
otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan
bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot
(Tarwaka, 2004).
Hasil ini menyimpulkan bahwa identitas individu dalam hal ini
umur dan masa kerja berpengaruh secara signifikan terhadap
keluhan muskuloskeletal karyawan ATC di Indonesia. Umur dan
masa kerja harus diperhatikan dalam menjaga otot-otot tulang
belakang dengan melakukan penyesuaian tempat kerja, dan
penyediaan peralatan yang ergonomis dalam bekerja bagi
karyawan ATC.

82
BAB 10
MODEL SAFETY PERFORMANCE PADA ATC
DI INDONESIA

Model ini menggambarkan hubungan antarvariabel safety


performance yang dipengaruhi oleh beban kerja dan lingkungan
kerja, sedangkan motivasi, identitas individu, burnout, dan keluhan
muskuloskeletal tidak berpengaruh, seperti terlihat pada gambar
berikut ini yaitu:

Motivasi Burnout
Kerja

Beban
Kerja Safety
Performance
Lingkungan
Kerja

Identitas Keluhan
Individu Muskuloskeletal

Gambar 10.1. Hubungan Antarvariabel

1. Model ini memperlihatkan secara empiris bahwa safety


performance sangat dipengaruhi oleh beban kerja dan
lingkungan kerja terutama di tempat kerja seperti perusahaan
Air Nav. Teori performance pada umumnya masih melihat pada
aspek secara umum pada tenaga kerja seperti ability dan
motivasi namun tidak melihat secara seksama untuk jenis
pekerjaan tertentu terkadang ada hal lain yang lebih spesifik
mempengaruhi performance kerja seorang tenaga kerja.

83
2. Model ini menggambarkan motivasi berpengaruh secara
signifikan terhadap burnout, namun burnout tidak berpengaruh
terhadap safety performance, demikian halnya dengan identitas
individu berpengaruh secara signifikan terhadap keluhan
muskuloskeletal, namun keluhan muskuloskeletal tidak
berpengaruh terhadap safety performance.
3. Model ini menemukan ada empat lintasan jalur, dua lintasan
jalur yang mempengaruhi safety performance, satu jalur yang
mempengaruhi burnout dan satu jalur yang mempengaruhi
keluhan muskuloskeletal yaitu:
a. Jalur 1: beban kerja ke safety performance, yang berarti
bahwa beban kerja berpengaruh terhadap safety
performance. Temuan ini memberikan bukti bahwa beban
kerja sangat penting untuk terjadinya safety performance
yang tinggi, dan merupakan salah satu penentu untuk
tercapainya level of performance yang tinggi.
b. Jalur 2: lingkungan kerja ke safety performance, yang
berarti bahwa lingkungan kerja berpengaruh terhadap
safety performance. Hasil ini membuktikan bahwa
lingkungan kerja terutama lingkungan fisik sangat
menentukan terjadinya safety performance yang tinggi dan
merupakan faktor paling besar pengaruhnya terhadap
tingkat safety performance.
c. Jalur 3: motivasi ke burnout, yang berarti bahwa motivasi
karyawan mempengaruhi terjadinya burnout.
d. Jalur 4: identitas ke keluhan muskuloskeletal, berarti
bahwa umur dan masa kerja mempengaruhi terjadinya
keluhan muskuloskeletal.
4. Indikator prediktif safety performance pada karyawan air traffic
controller (ATC) yang ditemukan adalah beban kerja dan
lingkungan kerja dengan persamaan yang dihasilkan safety
performance = 0,43 beban kerja dan 0,91 lingkungan kerja.
Artinya setiap kenaikan 1 satuan beban kerja akan menaikkan
safety performance sebesar 0,43, semakin padat beban kerja,
semakin baik safety performance. Setiap kenaikan 1 satuan
lingkungan kerja akan menaikkan safety performance sebesar
0,91, semakin baik lingkungan kerja akan menaikkan tingkat
safety performance.

84
GLOSARIUM

ACC : Area Control Unit


ADC : Aerodrome Control Unit
APP : Approach Control Unit
ATC : Air Traffic Controller
CFA : Confirmatory Factors Analysis
ICAO : International Civil Aviation Organization
K3 : Kesehatan dan Keselamatan Kerja
MATSC : Makassar Air Traffic Service Center
MBI : Maslach Burnout Inventory
NBM : Nordic Body Map
PAK : Penyakit Akibat Kerja
SEM : Structural Equation Modeling
SMS : Safety Management System
Burnout : Kelelahan, kepenatan, kepayahan yang
sangat yang menyebabkan ketidakpuasan
terhadap diri sendiri, ketidakpuasan terhadap
pekerjaan dan hidup secara keseluruhan,
serta merasa tidak kompeten atau merasa
rendah diri.
Neck : Keluhan pada tulang punggung bagian leher
Upper : Keluhan pada tulang punggung bagian atas
: Keluhan pada tulang punggung bagian
Low
bawah
Foot : Keluhan pada tulang punggung bagian kaki

85
86
INDEKS

Ergonomi · 16, 17, 89, 90


A
Ability · 12, 13, 21, 37, 46, 47, F
55, 73, 78, 89 Factor · 91
Absenteeism · 34, 35, 36, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 90 G
Air Traffic Controller (ATC) · iv, Gangguan · 50
v, 2, 3, 6, 34, 48, 53, 54,
H
59, 61, 62, 64, 65, 66, 72,
harapan · 14, 15, 57, 89
76, 78, 79, 80, 81, 84
ATC · i, iii, iv, v, 2, 3, 4, 5, 6, 7, I
19, 20, 21, 22, 30, 32, 33, ICAO · 4, 5, 10, 11, 85
34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, Identitas · 20, 65, 77, 81, 84
42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, Interpretasi · 12
49, 50, 51, 53, 54, 55, 56,
57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, K
65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, K3 · i, iii, iv, v, 1, 2, 8, 9, 10, 11,
72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 19, 20, 32, 33, 41, 42, 51,
79, 80, 81, 82, 83, 85 54, 85
Kecerobohan · 69
B
Kemampuan · 13, 14, 17, 22,
Bahaya · 9 37, 78, 90
Burnout · 29, 40, 49, 50, 67, 70,
Kematian · 1
73, 75, 76, 77, 84, 85, 92 Kerja · iv, v, 5, 6, 8, 9, 11, 18,
23, 26, 28, 32, 33, 37, 38,
C
39, 42, 47, 48, 56, 59, 62,
Capacity · 17
63, 75, 76, 79, 80, 84, 85,
Characteristics · 18, 89, 90
89, 90
Control · 5, 6, 50, 85, 91, 92
Kesehatan · iv, v, 8, 9, 11, 32,
Costa · 7, 92
41, 42, 50, 66, 85, 89, 139
D Keselamatan · iv, v, 1, 4, 8, 9,
Darurat · 118 10, 11, 32, 33, 42, 85, 89,
94, 123, 134
E
Effective · 91

87
L S
Lalu Lintas Udara · 3, 4, 5, 6, Social · 89, 91
131, 133 Stress · 40, 92
Suhu · 27, 64, 77, 81
M
Maier · 12, 57, 58 T
Masalah · 10, 53 Tarwaka · 16, 17, 47, 61, 63,
Model · 83, 84 66, 72, 73, 76, 78, 79, 81,
Motivasi · 14, 22, 23, 36, 37, 45, 82, 89
46, 57, 58, 59, 73, 74, 75, Tenaga Kerja · 71
79, 84 Traffic · 3, 4, 5, 43, 45, 46, 54,
65, 73, 85, 89, 91, 92
N
NIOSH · 72 U
Unit kerja · 21
O Unsafe act · 1
Operator · 28, 96
Organisasi · 11, 32, 33, 41, 42, V
51, 89, 144 Vigilance · 43, 44, 45, 46, 47,
48, 49, 50, 51, 92
P Vroom · 14, 15
Pelayanan · 4, 5, 6, 100, 101,
119, 131, 132, 133, 134,
139, 141
Penerbangan · iv, v, 1, 3, 4, 5,
9, 10, 11, 93, 99, 100,
117, 129, 134, 135, 137,
139, 141, 144
Pengaruh · 35, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 44, 45, 46, 47, 48,
49, 50, 51, 56, 63, 65, 66,
78, 90
Performance. · 89
PSM · 23

R
Risiko · 9
Responden · 63, 68, 71, 75, 76

88
DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, R. K. 1989. Motivation and Cognitive Abilities :An


Integrative/Aptitude-Treatment Interaction Approach to Skill
Acquisition. Journal of Applied Psychology Monograph
Vol.74 No.4 , 657-690.
As'ad. 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Ashtari, F. M. 2009. Relationship between job burnout and work
performance in a sample of Iranian mental health staff.
African Journal of Psychiatry, 71-74.
Basuki, H. 2013. Pemodelan. Surabaya.
Bernstein, L. 2008. Mental Fatigue and what you can do about it.
Toronto: University Health Network.
Brian G. Hilburn, M. W. 1997. The Effect of Free Flight on Air Traffic
Controller Mental Workload, Monitoring and System
Performance . Brian G. Hilburn, Marcel W. P. Bakker,
Wouter D. Pekela Raja Parasuraman; The Effect of Free
Amsterdam: National Aerospace Laboratory (NLR).
Bruskiewicz, K. T. 2000. Measuring the performance of Air Traffic
Controllers Using A High-Fidelity Work Sample Approach.
U.S. Department of Transportation Federal Aviation
Administration, 1-13.
Burton, J. P. 2002. The influence of motivation to attend, ability to
attend, and organizational commitment on different types of
absence behaviors. Journal of Managerial Issues Publisher:
Pittsburg State University - Department of Economics.
Clenney, M. A. 1992. A Study of The Relationship Between
Absenteeism and Job Satisfaction, Certain Personal
Characteristics, And Situational Factors For Employees in A
Public Agency. Texas State University: Spring.
Costa, G. 1995. Occupational Stress and Stress Prevention in Air
Traffic Control. Geneva: International Labor Office.
Daulay, R. M. 2012. Ergonomi Teknik Disektor Industri. Jakarta:
Universitas Mercu Buana.
Diah Ayu Kristiani, A. P. 2013. Pengaruh Kemampuan Kerja dan
Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan. Diponegoro
Journal of Social and Politic, 1-7.

89
Dimitri van der Linden, M. F. 2002. Mental fatigue and the control of
cognitive processes: effects on perseveration and planning.
Acta Psychologica 113 (2003) Amsterdam, 45-65.
Geen, R. 1995. Social Motivation dalam Parkinson, B.& Colman,
A.M.(ed.)Emotion and Motivation. London: Longman.
Gregory M. Hurtz, J. J. 2000. Personality and Job Performance:
The Big Five Revisited. Journal of Applied Psychology, Vol
85 No 6, 869-879.
Griffin, M. A. 2000. The Contribution of Task Performance and
Contextual Performance to Effectiveness: Investigating the
Role of Situational Constraints. Applied Psychology 49(3),
517-533.
Gross, R. 2010. Psychology: The Science Of Mind and Behaviour.
United Kingdom: Hodder Education An Hachete UK
Company.
Hilburn, B. G. 1997. Free Flight and Air Traffic Controller Mental
Workload. International Symposium on Aviation Psychology.
Columbus, Ohio, USA: The Ninth International Symposium
on Aviation Psychology.
Hong-Chee, S. 1968. Performance as a Function of Ability,
Motivation and Emotion. Singapore: University of Singapore.
Jackson, R. L. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Edisi Pertama Salemba Empat.
Kahya, E. 2007. The Effects of Job Characteristics and Working
Conditions on Job Performance. International Journal of
Industrial Ergonomics 37, 515-523.
Korkaew Jankingthong, S. R. 2012. Factor Affecting Job
Peformance : A Review of Literature. Silpakorn University
Journal Of Social Sciences, Humanities and Arts Vol.12 (2),
115-127.
Kurniawidjaja, L. M. 2010. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
L.Ackerman, R. K. 1989. Motivation and Cognitive Abilities : An
Integrative/Aptitude-Treatment Interaction Approach to Skill
Acquisition. Journal of Applied Psychology Monograph
Vol.74 No.4, 657-690.

90
Lussier. 2008. Part Three, Leadership Skills: Influencing Others,
Motivating Performance Chapter 9. Mc Graw-Hill
Companies.
Lynn McFarlane Sboel, H. J. 1989. Job Saisfaction and
Organizaional Commitment in Relaion to Work Performance
and Turnover Intentions. Human Relations Vol. 42 Number
7, 625-638.
M Nyathi, K. J. 2008. Working conditions that contribute to
absenteeism among nurses in a provincial hospital in the
Limpopo Province. University of Johannesburg.
Manuaba. 1998. Bunga Rampai Ergonomi. Denpasar: Udayana.
Neill, D. 2011. Nursing Workload And The Changing Health Care
Environment: A Review Of The Literature. Administrative
Issue Journal Vol.1 Issue 2, 132-143.
P.L.T. Hoonakker, D. V. 1998. The Relation between experienced
workload, working condition, health and absenteeism in
construction industry. Human Factors in Organizational
Design and Management-VI, 683.
Pheasant. 1988. Body Space, Anthropometry, Ergonomics and
Design. London: Taylor & Francis.
Rabia Imran, A. F. 2012. How to Boost Employee Performance:
Investigating the Influence of Transformational Leadership
and Work Environment in a Pakistani Perspective. Middle-
East Journal of Scientific Research 11 (10), 1455-1462.
Robert Hubal, D. N. 2009. Individual Difference in Vigilance Tasks.
Washington: Institute for Homeland Security Solution.
Rotundo, M. 2002. Defining and Measuring Individual Level Job
Performance : A Review and Integration. Toronto: University
of Toronto.
S.S. Leone, M. H. 2007. Similarities, Overlap And Differences
Between Burnout and Prolonged Fatigue In The Working
Population. The Netherlands Q J Med : 100, 617-627.
Scott M.Galster, J. A. 2001. Air Traffic Controller Performance and
Workload Under Mature Free Flight : Conflict Detection and
Resolution of Aircraft Self-Separation. The International
Journal of Aviation, 71-93.
Subaris, H. 2008. Hygiene Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Mitra
Cendikia Press.

91
Sulistiowati, Z. D. 2001. Hubungan Motivasi Kerja dengan
Absenteeism pada Tenaga Operator. Semarang: FKM
UNDIP.
Tarwaka, S. H. 2004. Ergonomi, untuk Keselamatan, Kesehatan
Kerja dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press.
Turhan, U. 2009. Performance Perception of Turkish Air Traffic
Controller. International Journal of Civil Aviation ISSN 1943-
3433 2009, Vol.1 No.1: E6, Halaman 74-89.
Ulla Metzger, R. P. 2005. Automation in Future Air Traffic
Management: Effects of Decision Aid Reliability on
Controller Performance and Mental Workload. Spring-
Human Factors Vol.47 No.1, 1-15.
Vichita Vathanophas, J. T.-n. 2007. Competency Requirements for
Effective Job Performance in Thai Public Sector.
Contemporary Management Research Vol.3 No. 1, 45-70.
William S. Pawlak, C. R. 1996. A Framework For The Evaluation Of
Air Traffic Control Complexity. Amerika: American Institute
of Aeronautics and Astronautic.
Yusdi, M. 2011 йил 21-Juli. Pengertian Kemampuan.
Z Ashtari, Y. F. 2009. Relationship between job burnout and work
performance in a sample of Iranian mental health staff.
African Journal of Psychiatry, 71-74.

Website
Roen, F. 2012. Teori dan Perilaku Organisasi: Teori Harapan.
diakses 21 Mei 2014: http;//perilakuorganisasi.com/teori-
harapan.html.
Harnadini, S. 2012. Pengaruh beban kerja, kelelahan kerja, dan
tingkat kewaspadaan terhadap tingkat kesalahan dalam
upaya meminimasi human error. Semarang: Program Studi
Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
(http://www.share-
pdf.com/2013/12/18/12a7bdcc03c44023a318230839bd0999
/TA%20L2H008074.htm .diakses tgl 27 Mei 2014.

92
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2001
TENTANG
KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan, telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai
keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dipandang perlu mengatur ketentuan mengenai
keamanan dan keselamatan penerbangan dengan Peraturan
Pemerintah.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3234);
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEAMANAN DAN
KESELAMATAN PENERBANGAN

93
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Keamanan dan keselamatan penerbangan adalah suatu
kondisi untuk mewujudkan penerbangan dilaksanakan secara
aman dan selamat sesuai dengan rencana penerbangan.
2. Keamanan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari
penyelenggaraan penerbangan yang bebas dari gangguan
dan/atau tindakan yang melawan hukum.
3. Keselamatan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari
penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan
prosedur operasi dan persyaratan kelaikan teknis terhadap
sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya.
4. Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di
atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara.
5. Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara,
dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak dengan
tenaganya sendiri.
6. Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari
udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya
sendiri.
7. Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang
dipergunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Republik Indonesia dan pesawat udara instansi Pemerintah
tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan untuk menegakkan
hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
8. Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat
udara negara.
9. Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan
untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun
penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan
sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi.
10. Kawasan udara terlarang (prohibited area) adalah ruang udara
tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat

94
udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena
pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta
keselamatan penerbangan.
11. Kawasan udara terbatas (restricted area) adalah ruang udara
tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena
pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan
penerbangan atau kepentingan umum, berlaku pembatasan
penerbangan bagi pesawat udara yang terbang melalui ruang
udara tersebut.
12. Kawasan udara berbahaya (danger area) adalah ruang udara
tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu
terjadi aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat
udara.
13. Personil penerbangan adalah personil pesawat udara dan
personil pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan
yang tugasnya secara langsung mempengaruhi keamanan dan
keselamatan pesawat udara.
14. Personil pesawat udara adalah personil penerbangan yang
memiliki sertifikat kecakapan untuk bertugas sebagai personil
operasi pesawat udara dan personil penunjang operasi
pesawat udara.
15. Personil pelayanan keamanan dan keselamatan penerbangan
adalah personil penerbangan yang memiliki sertifikat
kecakapan tertentu yang tugasnya secara langsung
mempengaruhi kegiatan pelayanan keamanan dan
keselamatan penerbangan.
16. Kapten Penerbang adalah awak pesawat udara yang ditunjuk
dan ditugasi untuk memimpin suatu misi penerbangan serta
bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan
penerbangan selama pengoperasian pesawat terbang dan/atau
helikopter yang dari segi teknis berfungsi normal.
17. Pengoperasian pesawat terbang dan helikopter adalah
kegiatan mulai mesin pesawat terbang dan helikopter
dihidupkan untuk suatu misi penerbangan sampai dengan saat
mesin dimatikan.
18. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum
kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya
untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah

95
terjadinya pencemaran lingkungan.
19. Sertifikat kecakapan personil penerbangan adalah tanda bukti
terpenuhinya persyaratan kecakapan personil penerbangan.
20. Sertifikat kesehatan personil penerbangan adalah tanda bukti
terpenuhinya persyaratan kesehatan personil penerbangan.
21. Sertifikat pendaftaran pesawat udara adalah tanda bukti
terpenuhinya persyaratan pendaftaran pesawat udara.
22. Sertifikat tipe adalah tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan
udara dalam rancang bangun/prototipe pesawat udara, mesin
pesawat udara dan/atau baling-baling pesawat terbang.
23. Sertifikat tipe validasi adalah tanda bukti terpenuhinya standar
kelaikan udara Republik Indonesia dalam rancang bangun
pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling
pesawat terbang produk negara lain.
24. Sertifikat tipe tambahan adalah tanda bukti terpenuhinya
standar kelaikan udara dalam modifikasi atau perubahan
rancang bangun terhadap pesawat udara atau mesin pesawat
udara, atau baling- baling pesawat terbang yang telah memiliki
sertifikat tipe.
25. Sertifikat mutu produksi adalah tanda bukti terpenuhinya
persyaratan standar, dan prosedur dalam pembuatan dan/atau
perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling
pesawat terbang dan komponennya.
26. Sertifikat kelaikan udara adalah tanda bukti terpenuhinya
persyaratan kelaikan udara.
27. Sertifikat operator pesawat udara/Air Operator Certificate
(AOC) adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur
dalam pengoperasian pesawat udara oleh perusahaan
angkutan udara niaga.
28. Sertifikat pengoperasian pesawat udara/Operating Certificate
(OC) adalah tanda bukti terpenuhinya standar dan prosedur
dalam pengoperasian pesawat udara untuk kegiatan angkutan
udara bukan niaga.
29. Sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara adalah tanda
bukti terpenuhinya standar dan prosedur dalam perawatan
pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat
terbang serta komponen- komponennya oleh suatu perusahaan
perawatan.

96
30. Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan adalah
sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri yang berisi pengakuan
bahwa institusi pendidikan dan pelatihan atau lembaga
pendidikan dan pelatihan telah memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan dan dinyatakan mampu menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan.
31. Surat persetujuan rancang bangun komponen adalah surat
tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam
rancang bangun komponen pesawat udara, komponen mesin
pesawat udara dan komponen baling-baling pesawat terbang.
32. Surat persetujuan rancang bangun perubahan adalah surat
tanda bukti terpenuhinya standar kelaikan udara dalam
perubahan rancang bangun dari pesawat udara, mesin
pesawat udara, baling- baling pesawat terbang dan
komponennya.
33. Pendaftaran adalah pendaftaran pesawat terbang, helikopter
dan balon berpenumpang untuk memperoleh tanda
pendaftaran dan kebangsaan Indonesia untuk memperoleh hak
beroperasi di Indonesia.
34. Gawat darurat di bandar udara adalah suatu kejadian tidak
terduga berkaitan atau berakibat terganggunya pengoperasian
pesawat udara atau kelangsungan pelayanannya yang perlu
dilakukan tindakan cepat.
35. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
penerbangan.

BAB II
PEMBINAAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN
PENERBANGAN

Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 2
(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap keamanan dan
keselamatan penerbangan.
(2) Pembinaan terhadap keamanan dan keselamatan
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi

97
aspek pengaturan, pengendalian dan pengawasan dalam
kegiatan rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan
perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi penerbangan,
pengoperasian bandar udara serta personil penerbangan.
(3) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
meliputi kegiatan penetapan kebijaksanaan di bidang rancang
bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat
udara, pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian
bandar udara serta personil penerbangan.
(4) Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
meliputi:
a. pemberian arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan
kebijaksanaan di bidang rancang bangun, pembuatan,
pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan
navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta
personil penerbangan;
b. pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat
mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam
pelaksanaan kebijaksanaan di bidang rancang bangun,
pembuatan, pengoperasian dan perawatan pesawat udara,
pelayanan navigasi penerbangan, pengoperasian bandar
udara serta personil penerbangan.
(5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
meliputi:
a. pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan
kebijaksanaan di bidang rancang bangun, pembuatan,
pengoperasian dan perawatan pesawat udara, pelayanan
navigasi penerbangan, pengoperasian bandar udara serta
personil penerbangan;
b. tindakan korektif terhadap pelaksanaan kebijaksanaan di
bidang rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan
perawatan pesawat udara, pelayanan navigasi
penerbangan, pengoperasian bandar udara serta personil
penerbangan.

Bagian Kedua
Program Pengamanan Penerbangan Sipil

98
Pasal 3
(1) Menteri menetapkan program pengamanan penerbangan sipil.
(2) Program pengamanan penerbangan sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. program pengamanan bandar udara; dan
b. program pengamanan perusahaan angkutan udara.
(3) Program pengamanan penerbangan sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), meliputi petunjuk
pelaksanaan dan prosedur dalam rangka keamanan dan
keselamatan penerbangan, keteraturan dan efisiensi
penerbangan sipil dari tindak gangguan melawan hukum.

Bagian Ketiga
Keandalan Operasional Pesawat Udara

Pasal 4
(1) Menteri menetapkan persyaratan keandalan operasional
pesawat udara sebagai pedoman dalam proses kegiatan
rancang bangun, pembuatan, pengoperasian dan perawatan
pesawat udara.
(2) Persyaratan keandalan operasional pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi persyaratan
yang berkaitan dengan:
a. standar kelaikan udara;
b. rancang bangun pesawat udara;
c. pembuatan pesawat udara;
d. perawatan pesawat udara;
e. pengoperasian pesawat udara;
f. standar kebisingan pesawat udara;
g. ambang batas gas buang pesawat udara;
h. personil pesawat udara.
(3) Penetapan persyaratan keandalan operasional pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan
memperhatikan:
a. keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. perkembangan teknologi;
c. sumber daya manusia yang profesional;
d. ketentuan-ketentuan internasional;

99
e. efektivitas dan efisiensi;
f. pencegahan pencemaran lingkungan.

Bagian Keempat
Pelayanan Navigasi Penerbangan dan Pengoperasian Bandar
Udara

Pasal 5
(1) Menteri menetapkan persyaratan teknis dan operasional
pelayanan navigasi penerbangan.
(2) Pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), meliputi kegiatan:
a. pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara
selama dalam pengoperasian;
b. pengendalian ruang udara;
c. membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat
udara dan/atau membantu penelitian penyebab
kecelakaan pesawat udara;
d. penyediaan dan/atau pembinaan personil;
e. penyediaan dan melakukan pemeriksaan sarana dan
prasarana navigasi penerbangan.
(3) Penetapan persyaratan teknis dan operasional pelayanan
navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan dengan memperhatikan:
a. keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. perkembangan teknologi;
c. sumber daya manusia yang profesional;
d. ketentuan-ketentuan internasional;
e. efektivitas dan efisiensi;
f. kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya;
g. keandalan sarana dan prasarana pelayanan navigasi
penerbangan;
h. keteraturan, kesinambungan dan kelancaran arus lalu
lintas udara.

Pasal 6
(1) Menteri menetapkan persyaratan teknis dan operasional
pengoperasian bandar udara.

100
(2) Pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), meliputi kegiatan:
a. pemeriksaan terhadap orang dan/atau barang;
b. pengamanan penerbangan;
c. pelayanan terhadap pesawat udara selama dalam
pengoperasian;
d. pelayanan penunjang pesawat udara di darat;
e. membantu dan/atau melakukan pencarian dan pertolongan
kecelakaan pesawat udara serta pemindahan pesawat
udara yang mengalami kecelakaan di kawasan bandar
udara;
f. membantu penelitian penyebab kecelakaan pesawat
udara;
g. penyediaan dan/atau pembinaan personil pelayanan
pengoperasian bandar udara;
h. penyediaan dan melakukan pemeriksaan sarana dan
prasarana bandar udara.
(3) Penetapan persyaratan teknis dan operasional pengoperasian
bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan dengan memperhatikan :
a. keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. perkembangan teknologi;
c. sumber daya manusia yang profesional;
d. ketentuan-ketentuan internasional;
e. efektivitas dan efisiensi;
f. keandalan sarana dan prasarana pengoperasian bandar
udara;
g. keteraturan, kesinambungan dan kelancaran arus
penumpang barang, kargo dan pos.

Pasal 7
(1) Pelayanan navigasi penerbangan dan pengoperasian bandar
udara diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya
dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang
didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Badan hukum Indonesia dapat diikutsertakan dalam
pengoperasian bandar udara untuk umum atas dasar kerja

101
sama dengan Badan Usaha Milik Negara yang melaksanakan
penyelenggaraan bandar udara untuk umum.

BAB III
KEAMANAN DAN KESELAMATAN PESAWAT UDARA

Bagian Pertama
Standar Kelaikan Udara

Pasal 8
(1) Penetapan standar kelaikan udara untuk pesawat udara,
dan/atau mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat
terbang yang didaftarkan di Indonesia, dilakukan dengan
memperhatikan sekurang-kurangnya:
a. rancang bangun dan konstruksi;
b. komponen utama;
c. instalasi tenaga penggerak;
d. stabilitas dan kemampuan;
e. kelelahan struktur;
f. perlengkapan;
g. batasan pengoperasian;
h. sistem perawatan;
i. pencegahan pencemaran lingkungan.
(2) Standar kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
adalah untuk:
a. pesawat terbang kategori transpor, normal, utility, akrobatik
dan komuter;
b. helikopter kategori normal;
c. helikopter kategori transpor;
d. mesin pesawat udara;
e. baling-baling pesawat terbang;
f. balon berpenumpang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kelaikan udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.
(4) Menteri dapat menetapkan persyaratan-persyaratan di luar
standar kelaikan udara selain yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berkenaan dengan

102
perkembangan teknologi dan ketentuan internasional.

Bagian Kedua
Rancang Bangun Pesawat Udara, Mesin Pesawat Udara,
Baling-baling Pesawat Terbang dan Komponen-komponennya

Pasal 9
(1) Setiap badan hukum Indonesia yang akan membuat pesawat
udara dan/atau mesin pesawat udara dan/atau baling-baling
pesawat terbang yang akan dimintakan sertifikat tipe, wajib
membuat rancang bangun.
(2) Pembuatan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), wajib memenuhi standar kelaikan udara.
(3) Pelaksanaan pembuatan rancang bangun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan tahapan-
tahapan mulai dari rancang bangun sampai menjadi prototipe
serta pengujian dan/atau uji terbang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 10
(1) Dalam hal rancang bangun pesawat udara, dan/atau mesin
pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang
telah dibuat sesuai prosedur dan telah dilaksanakan
pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi standar kelaikan
udara, Menteri dapat memberikan sertifikat tipe.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sertifikat
tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 11
(1) Setiap badan hukum Indonesia yang akan membuat komponen
untuk dipasang pada pesawat udara atau mesin pesawat udara
atau baling-baling pesawat terbang yang akan dimintakan surat
persetujuan rancang bangun komponen, wajib membuat
rancang bangun komponen.
(2) Pembuatan rancang bangun komponen sebagaimana

103
dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi standar kelaikan
udara.
(3) Pelaksanaan pembuatan rancang bangun komponen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai
dengan tahapan-tahapan mulai dari rancang bangun sampai
menjadi prototipe serta pengujian dan/atau uji terbang sesuai
prosedur dan memenuhi spesifikasi komponen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun komponen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 12
(1) Dalam hal rancang bangun komponen pesawat udara,
dan/atau mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat
terbang yang telah dibuat sesuai prosedur dan telah
dilaksanakan pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi
standar kelaikan udara, Menteri dapat memberikan surat
persetujuan rancang bangun komponen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat
persetujuan rancang bangun komponen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 13
(1) Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara
dan/atau rancang bangun mesin pesawat udara dan/atau
rancang bangun baling-baling pesawat terbang yang telah
mendapatkan sertifikat tipe wajib memenuhi standar kelaikan
udara.
(2) Pelaksanaan perubahan rancang bangun sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan tahapan-
tahapan mulai dari rancang bangun perubahan sampai menjadi
prototipe serta pemeriksaan dan pengujian dan/atau uji
terbang.
(3) Apabila rancang bangun perubahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), telah memenuhi standar kelaikan udara,
Menteri dapat memberikan:
a. surat persetujuan rancang bangun perubahan; atau
b. sertifikat tipe tambahan; atau

104
c. revisi sertifikat tipe untuk pemegang sertifikat tipe.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat
persetujuan rancang bangun perubahan atau sertifikat tipe
tambahan dan/atau revisi sertifikat tipe sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 14
(1) Setiap perubahan terhadap rancang bangun komponen yang
akan dipasang pada pesawat udara, dan/atau mesin pesawat
udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang harus melalui
tahap pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi standar
kelaikan udara sebelum mendapatkan surat persetujuan
rancang bangun perubahan komponen dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat
persetujuan rancang bangun perubahan komponen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 15
(1) Setiap pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara dan/atau
baling-baling pesawat terbang yang akan diimpor ke Indonesia,
wajib memenuhi standar kelaikan udara Republik Indonesia.
(2) Untuk menentukan terpenuhinya standar kelaikan udara
Republik Indonesia terhadap pesawat udara, dan/atau mesin
pesawat udara dan/atau baling-baling pesawat terbang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dilaksanakan
validasi terhadap sertifikat tipe.
(3) Dalam hal pesawat udara, dan/atau mesin pesawat udara,
dan/atau baling-baling pesawat terbang yang telah
dilaksanakan validasi dan memenuhi standar kelaikan udara
Republik Indonesia, Menteri memberikan sertifikat tipe validasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sertifikat
tipe validasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Pembuatan Pesawat Udara, Mesin Pesawat Udara, Baling-
baling Pesawat Terbang dan Komponen-komponennya

105
Pasal 16
(1) Pembuatan dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat
udara, baling-baling pesawat terbang dan komponen-
komponennya hanya dapat dilakukan oleh badan hukum
Indonesia yang memiliki sertifikat mutu produksi.
(2) Setiap badan hukum Indonesia yang mengajukan sertifikat
mutu produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhi :
a. rancang bangun/prototipe yang telah memenuhi standar
atau lisensi pembuatan berdasarkan perjanjian dengan
pihak lain;
b. fasilitas dan rencana produksi;
c. personil yang berkualifikasi;
d. sistem kendali mutu;
e. memiliki struktur organisasi perusahaan khususnya bidang
kualitas dan produksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh
sertifikat mutu produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Keempat
Perawatan Pesawat Udara, Mesin Pesawat Udara, Baling-baling
Pesawat Terbang dan Komponen-komponennya

Pasal 17
(1) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan
pesawat udara, wajib merawat pesawat udara, mesin pesawat
udara, baling-baling pesawat terbang dan komponen-
komponennya untuk mempertahankan keadaan laik udara
secara berkesinambungan.
(2) Pelaksanaan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara,
baling-baling pesawat terbang dan komponen-komponennya,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat dilakukan
oleh :
a. perusahaan angkutan udara yang bersangkutan;
b. badan hukum perusahaan perawatan pesawat udara yang
memiliki bidang usaha perawatan;

106
c. perorangan pemegang ijazah ahli perawatan pesawat
udara.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,
untuk melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat
udara, baling-baling pesawat terbang dan komponen-
komponennya, wajib memiliki sertifikat perusahaan perawatan
pesawat udara.
(4) Sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), diberikan oleh Menteri kepada
perusahaan perawatan pesawat udara nasional dan/atau
perusahaan perawatan pesawat udara asing.
(5) Perusahaan angkutan udara yang melaksanakan perawatan
pesawat udara dan badan hukum perusahaan perawatan
pesawat udara harus memenuhi persyaratan minimal:
a. memiliki atau menguasai fasilitas perawatan;
b. memiliki personil yang mempunyai kualifikasi sesuai
dengan bidang pekerjaannya;
c. memiliki buku pedoman sistem prosedur pemeriksaan dan
proses pengendalian mutu;
d. memiliki studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) bagi yang diwajibkan.
(6) Perorangan pemegang ijazah ahli perawatan pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, hanya terbatas
untuk melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat
udara, baling-baling pesawat terbang dan komponen-
komponennya untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan pesawat udara,
mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan
komponen- komponennya, serta sertifikat perusahaan
perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18
(1) Sertifikat perusahaan perawatan pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), dapat diberikan kepada
perusahaan perawatan pesawat udara di luar negeri yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (5) dan memiliki sertifikat perusahaan perawatan

107
pesawat udara dari negara yang bersangkutan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian sertifikat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Sertifikat Kelaikan Udara

Pasal 19
(1) Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib
memiliki sertifikat kelaikan udara.
(2) Sertifikat kelaikan udara dibedakan dalam 2 (dua) jenis:
a. sertifikat kelaikan udara standar;
b. sertifikat kelaikan udara khusus.
(3) Sertifikat kelaikan udara standar meliputi sertifikat kelaikan
udara standar pertama dan sertifikat kelaikan udara standar
lanjutan yang dapat diberikan untuk pesawat terbang kategori
transpor, normal, utility, akrobatik, komuter, helikopter kategori
normal dan transpor serta balon berpenumpang.
(4) Sertifikat kelaikan udara khusus dapat diberikan kepada
pesawat udara untuk penggunaan secara terbatas (restricted),
sementara (provisional), percobaan (experimental) dan untuk
kegiatan penerbangan yang bersifat khusus.
(5) Sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikeluarkan oleh Menteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh
sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 20
(1) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara
standar pertama adalah:
a. telah terdaftar sebagai pesawat udara sipil Indonesia;
b. pesawat diproduksi dan telah dilakukan uji terbang
produksi dan sesuai dengan kategori sertifikat tipe pesawat
udara tersebut;
c. telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertifikat tipe
dan aman untuk dioperasikan;

108
d. memenuhi persyaratan kebisingan dan emisi gas buang
yang berlaku.
(2) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara
standar pertama bagi pesawat udara baru impor harus telah
diperiksa dan sesuai dengan sertifikat tipe validasi Indonesia.
(3) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara
standar pertama bagi pesawat udara bekas impor harus sesuai
dengan sertifikat tipe validasi dan/atau sertifikat tipe tambahan
validasi dan telah dirawat sesuai dengan program perawatan
pabrik pembuat atau dengan program perawatan yang setara.
(4) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara
standar lanjutan adalah:
a. memiliki sertifikat pendaftaran pesawat udara yang masih
berlaku;
b. pesawat udara telah dirawat sesuai dengan sistem
perawatan yang telah disetujui;
c. telah diperiksa dan diuji;
d. telah memenuhi persyaratan kelaikan udara yang berlaku.
(5) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara
standar lanjutan bagi pesawat udara yang telah mengalami
perubahan/ kerusakan yang dapat mempengaruhi performansi,
kekuatan struktur, keandalan dan karakteristik terbang harus
diuji dan dikembalikan ke standar sertifikat tipe pesawat udara
tersebut.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan memperoleh
sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 21
(1) Untuk keperluan ekspor pesawat udara dapat dikeluarkan
sertifikat kelaikan udara untuk ekspor.
(2) Sertifikat kelaikan udara untuk ekspor sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diberikan kepada suatu produk yang akan
diekspor ke negara lain apabila produk yang diekspor telah
memenuhi sertifikat tipe atau desain standar yang ditentukan
oleh negara pengimpor dan telah memenuhi persyaratan
pengoperasian dari negara pengimpor tersebut.

109
BAB IV
PENGGUNAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA

Bagian Pertama
Penggunaan Pesawat Udara

Pasal 22
(1) Pesawat udara sipil dapat digunakan untuk kegiatan angkutan
penumpang, barang dan/atau pos, pengangkutan orang sakit,
penyemprotan hama, kebakaran hutan dan hujan buatan,
survey dan/atau pemetaan, penanggulangan pencemaran
lingkungan, peneraan, olah raga dan/atau rekreasi, akrobatik
dan demonstrasi, terjun payung, promosi/publikasi dan menarik
glider, pencarian dan pertolongan, pendidikan, penelitian dan
pengembangan, dan untuk kegiatan lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
penggunaan pesawat udara sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 23
Penggunaan dan pengoperasian pesawat udara negara diatur
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang masing-masing.

Bagian Kedua
Pengoperasian Pesawat Udara

Pasal 24
Pengoperasian pesawat udara untuk angkutan udara niaga
hanya dapat dilakukan oleh operator pesawat udara yang memiliki
sertifikat operator pesawat udara dari Menteri.

Pasal 25
(1) Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin usaha angkutan udara niaga;
b. memiliki dan/atau menguasai pesawat udara sesuai
dengan studi kelayakan atau rencana pengoperasian;

110
c. memiliki dan/atau menguasai fasilitas untuk kepentingan
operasi dan perawatan pesawat udara;
d. memiliki dan/atau menguasai personil pesawat udara yang
memenuhi persyaratan;
e. memiliki organisasi yang mengatur pengoperasian
pesawat udara;
f. memiliki buku petunjuk spesifikasi perawatan dan
pengoperasian pesawat udara;
g. memiliki program pendidikan dan pelatihan personil
pesawat udara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 26
(1) Pemegang sertifikat operator pesawat udara wajib:
a. melaksanakan pengoperasian pesawat udara sesuai
dengan spesifikasi operasi yang telah disetujui;
b. melaksanakan perawatan pesawat udara sesuai dengan
spesifikasi perawatan yang telah disetujui;
c. memiliki fasilitas dan melaksanakan persiapan serta
pemantauan penerbangan;
d. mempertahankan keandalan operasional pesawat udara;
e. melaporkan setiap perubahan atau rencana perubahan
yang berpengaruh terhadap ketentuan dan/atau batasan
yang telah ditetapkan dalam sertifikat operator pesawat
udara;
f. mempertahankan kecakapan dan kemampuan personil
pesawat udara;
g. melaporkan setiap kejadian kerusakan atau tidak
berfungsinya salah satu sistem atau komponen pesawat
udara yang dapat mengganggu keselamatan terbang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
kewajiban pemegang sertifikat operator pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 27

111
(1) Setiap operator pesawat udara untuk tujuan angkutan udara
bukan niaga wajib memiliki sertifikat pengoperasian pesawat
udara.
(2) Persyaratan untuk mendapatkan sertifikat pengoperasian
pesawat udara meliputi:
a. memiliki izin kegiatan angkutan udara bukan niaga;
b. memiliki dan/atau menguasai pesawat udara sesuai
dengan rencana operasi;
c. memiliki dan/atau menguasai personil pesawat udara;
d. memiliki spesifikasi pengoperasian dan perawatan
pesawat udara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
mendapatkan sertifikat pengoperasian pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 28
(1) Pemegang sertifikat pengoperasian pesawat udara wajib:
a. melaksanakan pengoperasian pesawat udara sesuai
dengan spesifikasi operasi yang telah disetujui;
b. melaksanakan perawatan pesawat udara sesuai dengan
program perawatan yang telah disetujui;
c. mempertahankan kelaikan udara dari pesawat udara yang
dioperasikan;
d. mempertahankan kecakapan dan kemampuan personil
pesawat udara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
kewajiban pemegang sertifikat pengoperasian pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan Keandalan Operasional Pesawat Udara

Pasal 29
(1) Menteri melakukan pemeriksaan keandalan operasional
pesawat udara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan

112
terhadap dipenuhinya persyaratan keandalan operasional
pesawat udara.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), meliputi:
a. rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara dan
baling-baling pesawat terbang dan komponennya;
b. pembuatan pesawat udara, mesin pesawat udara dan
baling-baling pesawat terbang dan komponennya;
c. perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara dan
baling-baling pesawat terbang dan komponennya;
d. kelaikan pesawat udara;
e. operator pesawat udara;
f. pencegahan pencemaran lingkungan;
g. personil pesawat udara;
h. personil lain yang diberikan wewenang;
i. fasilitas perawatan pesawat udara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Keempat
Tanda Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara

Pasal 30
(1) Setiap warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
yang memiliki dan/atau menguasai pesawat udara yang akan
dioperasikan di Indonesia wajib mendaftarkan pesawat
udaranya.
(2) Setiap warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
yang menguasai pesawat udara milik warga negara asing atau
badan hukum asing yang akan dioperasikan di Indonesia wajib
mendaftarkan pesawat udaranya berdasarkan suatu perjanjian
sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya
untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara
terus menerus.
(3) Menteri dapat memberikan sertifikat pendaftaran bagi pesawat
udara yang didaftarkan dan memenuhi persyaratan
pendaftaran.
(4) Sertifikat pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud

113
dalam ayat (3), berisi tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran
untuk pesawat terbang, helikopter dan balon berpenumpang.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 31
(1) Tanda kebangsaan pesawat udara Indonesia terdiri dari dua
huruf yang menunjukkan identitas Indonesia.
(2) Tanda pendaftaran pesawat udara Indonesia terdiri dari tiga
huruf atau tiga angka.
(3) Pesawat udara Indonesia yang telah memiliki tanda
kebangsaan wajib dilengkapi dengan bendera negara Republik
Indonesia.
(4) Ukuran, warna, penempatan tanda kebangsaan, tanda
pendaftaran dan bendera sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 32
Pendaftaran dan tanda kebangsaan untuk pesawat udara
negara, diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
masing-masing.

Pasal 33
(1) Penghapusan tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran
pesawat udara dapat dilakukan oleh Menteri:
a. atas permintaan pemilik;
b. apabila pesawat udara sengaja dirusak;
c. apabila pesawat udara rusak total akibat kecelakaan;
d. apabila pesawat udara tidak akan digunakan lagi;
e. apabila masa kontrak sewa menyewa berakhir;
f. pesawat udara tidak sedang dibebani hipotek.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan tanda
kebangsaan dan tanda pendaftaran pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

BAB V

114
KEAMANAN DAN KESELAMATAN BANDAR UDARA

Bagian Pertama
Sertifikasi Operasi Bandar Udara

Pasal 34
(1) Setiap penyelenggara bandar udara wajib memiliki sertifikat
operasi bandar udara yang diberikan oleh Menteri.
(2) Persyaratan untuk memperoleh sertifikat operasi bandar udara,
adalah sekurang-kurangnya:
a. tersedianya fasilitas dan/atau peralatan penunjang
penerbangan yang memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan penerbangan yang disesuaikan dengan
kelasnya;
b. memiliki prosedur pelayanan jasa bandar udara;
c. memiliki buku petunjuk pengoperasian, penanggulangan
keadaan gawat darurat, perawatan, program pengamanan
bandar udara dan higiene dan sanitasi;
d. tersedia personil yang memiliki kualifikasi untuk
pengoperasian, perawatan dan pelayanan jasa bandar
udara;
e. memiliki daerah lingkungan kerja bandar udara, peta
kontur lingkungan bandar udara, peta situasi pembagian
sisi darat dan sisi udara;
f. memiliki kawasan keselamatan operasi penerbangan di
sekitar bandar udara yang meliputi :
1) kawasan pendekatan dan lepas landas;
2) kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
3) kawasan di bawah permukaan horizontal dalam;
4) kawasan di bawah permukaan horizontal luar;
5) kawasan di bawah permukaan kerucut;
6) kawasan di bawah permukaan transisi;
7) kawasan di sekitar penempatan alat bantu navigasi
penerbangan;
g. memiliki peta yang menunjukkan lokasi/ koordinat
penghalang dan ketinggiannya yang dapat membahayakan
keselamatan penerbangan;
h. memiliki fasilitas pertolongan kecelakaan penerbangan dan

115
pemadam kebakaran sesuai dengan kategorinya;
i. memiliki berita acara evaluasi/uji coba yang menyatakan
laik untuk dioperasikan; dan
j. struktur organisasi penyelenggara bandar udara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keamanan dan
keselamatan penerbangan dan sertifikasi operasi bandar udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Sisi Darat dan Sisi Udara dalam Wilayah Bandar Udara

Pasal 35
Untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bandar udara,
penyelenggara bandar udara menetapkan batas sisi darat dan sisi
udara serta mengatur penggunaannya.

Pasal 36
(1) Penetapan serta penggunaan sisi darat dan sisi udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan dengan
memperhatikan:
a. keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. kelancaran operasi penerbangan; dan
c. kelancaran pelayanan jasa kebandarudaraan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan penggunaan
sisi darat dan sisi udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diatur dengan Keputusan Menteri.

116
Bagian Ketiga
Peralatan Penunjang Fasilitas Penerbangan dan Operasi
Bandar Udara

Pasal 37
(1) Peralatan penunjang fasilitas penerbangan yang dipergunakan
dalam pemberian pelayanan keamanan dan keselamatan
penerbangan meliputi:
a. peralatan pendeteksi bahan organik dan non organik;
b. peralatan pemantau lalu lintas orang, barang, kendaraan
dan pesawat udara di bandar udara.
(2) Penyediaan peralatan penunjang fasilitas penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan
memperhatikan:
a. kebutuhan operasional dan keamanan bandar udara;
b. perkembangan teknologi; dan
c. keandalan peralatan penunjang fasilitas penerbangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peralatan penunjang fasilitas
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 38
(1) Untuk menunjang kelancaran operasi bandar udara disediakan
peralatan penunjang operasi bandar udara.
(2) Peralatan penunjang operasi bandar udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan
keandalan.
(3) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap keandalan peralatan
penunjang operasi bandar udara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peralatan penunjang operasi
bandar udara dan persyaratan serta pemeriksaan keandalan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
diatur dengan Keputusan Menteri.

117
Bagian Keempat
Penanggulangan Gawat Darurat

Pasal 39
(1) Penyelenggara bandar udara wajib memiliki kemampuan dalam
melaksanakan penanggulangan gawat darurat di bandar udara.
(2) Penanggulangan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan
instansi terkait di luar dan di dalam bandar udara.
(3) Penyelenggara bandar udara wajib melaksanakan latihan
penanggulangan gawat darurat.
(4) Pelaksanaan penanggulangan gawat darurat dan pelaksanaan
latihan penanggulangan gawat darurat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3), dilaporkan kepada Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gawat
darurat dan latihan penanggulangan gawat darurat serta
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Rambu, Marka dan Isyarat

Pasal 40
(1) Penyelenggara bandar udara wajib memasang rambu dan
marka pada sisi udara dan sisi darat bandar udara.
(2) Rambu dan marka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
berfungsi untuk memberikan larangan, perintah, peringatan dan
petunjuk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rambu dan marka serta
pemasangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 41
(1) Penyelenggara bandar udara wajib memberikan isyarat kepada
pesawat udara sesuai dengan kebutuhan.
(2) Isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa
isyarat lampu, isyarat elektronika, isyarat bendera dan isyarat
fisik.

118
(3) Isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berfungsi untuk
memberikan larangan, perintah, peringatan dan petunjuk.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai isyarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Keenam
Pelayanan Pergerakan Pesawat Udara di Bandar Udara

Pasal 42
(1) Penyelenggara bandar udara wajib memberikan pelayanan
terhadap pesawat udara yang akan melakukan parkir di bandar
udara.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
berupa:
a. pemanduan terhadap pesawat udara yang akan
melakukan pergerakan di pelataran parkir pesawat udara;
b. penyediaan peralatan penunjang parkir pesawat udara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 43
(1) Penyelenggara bandar udara wajib memberitahukan kepada
Menteri apabila terdapat perubahan kondisi bandar udara yang
dapat mengganggu atau membahayakan keamanan dan
keselamatan penerbangan maupun untuk kepentingan khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 44
(1) Menteri menerbitkan buku publikasi informasi aeronautika
Indonesia.
(2) Buku publikasi informasi aeronautika Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat
informasi mengenai:
a. informasi umum penerbangan;
b. pelayanan navigasi penerbangan; dan
c. bandar udara.

119
(3) Buku publikasi informasi aeronautika Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), didistribusikan kepada komunitas
penerbangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan dan
pendistribusian buku publikasi informasi aeronautika Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45
(1) Penyelenggara bandar udara wajib menyediakan informasi
aeronautika dan informasi cuaca bandar udara setempat,
bandar udara tujuan, jalur penerbangan dan bandar udara
alternatif untuk penerbang.
(2) Informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya berupa:
a. buku publikasi informasi aeronautika Indonesia;
b. berita bagi komunitas penerbangan;
c. peta-peta navigasi penerbangan; dan
d. buku informasi aeronautika negara lain yang mempunyai
hubungan penerbangan dengan bandar udara tersebut.
(3) Informasi cuaca sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibuat
atau disiapkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika.

Pasal 46
(1) Untuk keamanan dan keselamatan penerbangan,
penyelenggara bandar udara dalam keadaan tertentu dapat
menutup untuk sementara sebagian atau keseluruhan
landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran
parkir pesawat udara.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat berupa:
a. bencana alam;
b. huru hara;
c. kecelakaan pesawat udara di landasan pacu, penghubung
landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara;
d. pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan perawatan
landasan pacu, jalan penghubung atau pelataran parkir
pesawat udara; dan

120
e. keadaan tertentu lainnya yang dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan.
(3) Penyelenggara bandar udara wajib memberitahukan kepada
Kapten Penerbang, operator dan bandar udara lainnya
mengenai penutupan landasan pacu, penghubung landasan
pacu atau pelataran parkir pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib
dilaporkan kepada Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan landasan pacu,
penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat
udara, serta pemberitahuan dan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 47
(1) Penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau
menunjuk bagian dari wilayah bandar udara sebagai tempat
terisolasi untuk penempatan pesawat udara yang mengalami
gangguan atau ancaman keamanan.
(2) Penyediaan atau penunjukan tempat terisolasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan
memperhatikan:
a. keselamatan penumpang, awak pesawat udara, petugas di
bandar udara, masyarakat pengguna jasa angkutan udara
lainnya dan masyarakat di sekitar bandar udara;
b. keselamatan pesawat udara; dan
c. keselamatan fasilitas penunjang penerbangan dan fasilitas
penunjang bandar udara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan atau
penunjukan tempat terisolasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 48
(1) Jam operasi bandar udara guna pelayanan penerbangan
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan jam operasi bandar udara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

121
a. keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. kemampuan bandar udara melayani pesawat udara;
c. permintaan pasar; dan
d. pertumbuhan ekonomi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jam operasi bandar
udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 49
(1) Dalam keadaan tertentu penyelenggara bandar udara dapat
menambah jam operasi bandar udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan dengan memperhatikan:
a. keamanan dan keselamatan penerbangan;
b. kemampuan bandar udara dalam melayani pesawat udara;
dan
c. kelancaran operasi bandar udara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan jam operasi
bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 50
(1) Penyelenggara bandar udara wajib menjaga lingkungan bandar
udara guna menghindari terjadinya:
a. populasi burung di lingkungan kerja bandar udara;
b. populasi binatang lain yang berkeliaran di sisi udara;
c. gangguan terhadap higiene dan sanitasi;
d. gangguan kebisingan; dan
e. gangguan lainnya yang dapat membahayakan keamanan
dan keselamatan penerbangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menjaga
lingkungan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diatur dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 51
(1) Penyelenggara bandar udara dapat segera melaksanakan

122
pemindahan pesawat udara yang mengalami kecelakaan di
wilayah sisi udara, setelah mendapat persetujuan dari Komite
Nasional Keselamatan Transportasi.
(2) Biaya pelaksanaan pemindahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) menjadi beban perusahaan angkutan udara, badan
hukum atau perorangan yang mengoperasikan pesawat udara
dimaksud.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Pemeriksaan Keamanan di Bandar Udara

Pasal 52
Setiap orang, barang, kendaraan yang memasuki sisi udara,
wajib melalui pemeriksaan keamanan.

Pasal 53
(1) Personil pesawat udara, penumpang, bagasi, kargo dan pos
yang akan diangkut dengan pesawat udara wajib melalui
pemeriksaan keamanan.
(2) Pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat
bantu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan
keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 54
(1) Terhadap penyandang cacat dan orang sakit, penumpang VIP
dan penumpang khusus lainnya, dilakukan pemeriksaan
keamanan secara khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan keamanan
secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 55
Terhadap bagasi dari penumpang yang batal berangkat

123
dan/atau bagasi yang tidak bersama pemiliknya, wajib dilakukan
pemeriksaan keamanan ulang untuk dapat diangkut dengan
pesawat udara.

Pasal 56
(1) Kargo dan pos yang belum dapat diangkut oleh pesawat udara
disimpan di tempat khusus yang disediakan di bandar udara.
(2) Tempat penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus aman dari gangguan yang dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat penyimpanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 57
(1) Kantong diplomatik yang bersegel diplomatik, tidak boleh
dibuka.
(2) Dalam hal terdapat dugaan yang kuat kantong diplomatik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan, perusahaan
angkutan udara dapat menolak untuk mengangkut kantong
diplomatik.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 58
(1) Bahan dan/atau barang berbahaya yang akan diangkut dengan
pesawat udara wajib memenuhi ketentuan pengangkutan
bahan dan/atau barang berbahaya.
(2) Perusahaan angkutan udara wajib memberitahukan kepada
Kapten Penerbang bilamana terdapat bahan dan/atau barang
berbahaya yang diangkut dengan pesawat udara.
(3) Bahan dan/atau barang berbahaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang belum dapat diangkut, disimpan pada
tempat penyimpanan yang disediakan khusus untuk
penyimpanan barang berbahaya.
(4) Apabila pada waktu penempatan di pesawat udara terjadi

124
kerusakan pada kemasan, label atau marka, maka bahan
dan/atau barang berbahaya dimaksud harus diturunkan dari
pesawat udara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan dan
penyimpanan bahan dan/atau barang berbahaya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur
dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59
(1) Agen pengangkut yang menangani bahan dan/atau barang
berbahaya yang akan diangkut dengan pesawat udara harus
mendapatkan pengesahan dari perusahaan angkutan udara.
(2) Agen pengangkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus melakukan pemeriksaan, pengemasan, pelabelan dan
penyimpanan bahan dan/atau barang berbahaya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai agen pengangkut dan
ketentuan tentang penanganan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60
(1) Penumpang pesawat udara yang membawa senjata wajib
melaporkan dan menyerahkannya kepada perusahaan
angkutan udara.
(2) Senjata yang diterima oleh perusahaan angkutan udara untuk
diangkut, disimpan pada tempat tertentu di pesawat udara yang
tidak dapat dijangkau oleh penumpang pesawat udara.
(3) Pemilik senjata diberi tanda terima sebagai tanda bukti
penerimaan senjata oleh perusahaan angkutan udara.
(4) Perusahaan angkutan udara bertanggung jawab atas
keamanan senjata yang diterima sampai dengan diserahkan
kembali kepada pemiliknya di bandar udara tujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan, penyimpanan
dan penyerahan senjata sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri.

125
Pasal 61
(1) Penyelenggara bandar udara atau perusahaan angkutan udara
wajib melaporkan kepada Kepolisian dalam hal mengetahui
adanya barang tidak dikenal yang patut diduga dapat
membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan dan penanganan
terhadap barang yang tidak dikenal yang patut diduga dapat
membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kedelapan
Perawatan, Pemeriksaan dan Pelaporan

Pasal 62
(1) Penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dan
pemeriksaan secara berkala terhadap peralatan penunjang
penerbangan.
(2) Dalam hal terjadi perubahan kemampuan dan/atau dilakukan
pengembangan terhadap peralatan penunjang penerbangan,
penyelenggara bandar udara wajib melaporkan kepada
Menteri.
(3) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap keandalan peralatan
penunjang penerbangan serta pelaksanaan pengoperasian dan
pelayanan jasa bandar udara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan, pemeriksaan dan
pelaporan terhadap peralatan penunjang penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB VI
RUANG UDARA DAN LALU LINTAS UDARA

Bagian Pertama
Tatanan Ruang Udara

Pasal 63
(1) Menteri menetapkan batas-batas penggunaan ruang udara

126
untuk kepentingan pelayanan navigasi penerbangan yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia.
(2) Batas-batas penggunaan ruang udara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), didasarkan pada perjanjian antarnegara dalam
hal:
a. negara lain diberikan tanggung jawab atas pelayanan
navigasi penerbangan di dalam wilayah udara Indonesia;
atau
b. Indonesia memperoleh tanggung jawab atas pelayanan
navigasi penerbangan di luar wilayah udara Indonesia.
(3) Pelaksanaan perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), dilakukan oleh Menteri setelah mendengar
pertimbangan dari instansi terkait.

Pasal 64
(1) Ruang udara dalam wilayah udara Indonesia terdiri dari ruang
udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak
dikendalikan.
(2) Ruang udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak
dikendalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diklasifikasikan dengan mempertimbangkan sekurang-
kurangnya:
a. keselamatan operasional penerbangan;
b. kepadatan lalu lintas udara;
c. kemampuan fasilitas komunikasi penerbangan;
d. kemampuan fasilitas bantu navigasi penerbangan;
e. kemampuan pengamatan lalu lintas udara;
f. kemampuan navigasi pesawat udara; dan
g. efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang udara yang
dikendalikan dan ruang udara yang tidak dikendalikan serta
penetapan kelas ruang udara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 65
Menteri menetapkan jalur lalu lintas udara dalam ruang udara
dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:
a. keselamatan operasi penerbangan;

127
b. kemampuan navigasi pesawat udara;
c. kemampuan fasilitas komunikasi penerbangan;
d. kemampuan fasilitas bantu navigasi penerbangan;
e. kepadatan lalu lintas udara;
f. efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan;
g. bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan; dan
h. daerah latihan militer atau peluncuran roket/satelit.

Pasal 66
(1) Untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan
kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas dan
kawasan udara berbahaya.
(2) Kawasan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
memiliki batas-batas vertikal dan horizontal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri yang
bertanggung jawab di bidang Pertahanan Negara dan/atau
Menteri terkait lainnya.

Pasal 67
(1) Terhadap pelanggaran wilayah udara Republik Indonesia
dan/atau kawasan udara terlarang oleh pesawat udara sipil,
dilaksanakan penegakan hukum yang harus menjamin
keselamatan dan keamanan awak pesawat, penumpang dan
pesawat udara.
(2) Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara
dan/atau kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penegakan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur oleh
menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan setelah
mendengar pendapat Menteri dan menteri terkait lainnya.

128
Bagian Kedua
Fasilitas Penerbangan

Pasal 68
(1) Fasilitas penerbangan yang dipergunakan dalam pemberian
pelayanan lalu lintas udara meliputi:
a. komunikasi penerbangan;
b. navigasi penerbangan;
c. pengamatan penerbangan;
d. peralatan bantu pendaratan.
(2) Penyediaan fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan:
a. kebutuhan operasional lalu lintas udara;
b. perkembangan teknologi; dan
c. keandalan fasilitas penerbangan.
(3) Setiap fasilitas penerbangan yang dioperasikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus dikalibrasi secara berkala.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas penerbangan dan
kalibrasi fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Tata Cara Berlalu Lintas Udara

Pasal 69
(1) Kapten Penerbang dalam pengoperasian pesawat udara wajib
memenuhi ketentuan tata cara berlalu lintas udara yang
sekurang- kurangnya meliputi:
a. pergerakan pesawat udara di udara dan urutan prioritas
pelayanan lalu lintas udara;
b. batas ketinggian;
c. kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya;
d. jarak vertikal dan horizontal;
e. aturan ambang batas kebisingan;
f. penarikan benda di udara termasuk pesawat layang;
g. uji coba penerbangan, akrobatik dan demonstrasi;
h. isyarat darurat apabila mengetahui pesawat udaranya
berada di kawasan udara terlarang, terbatas dan

129
berbahaya;
i. lepas landas, pendaratan dan pergerakan di darat atau air;
j. penggunaan lampu navigasi pesawat udara;
k. isyarat-isyarat untuk penyampaian informasi atau
memberikan perhatian kepada pesawat udara lainnya; dan
l. jam kerja operasi bandar udara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara berlalu lintas udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 70
(1) Kapten Penerbang wajib mematuhi rencana penerbangan yang
telah ditetapkan.
(2) Penyimpangan terhadap rencana penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan untuk alasan
keselamatan penerbangan dengan ketentuan :
a. melaporkan kepada pemandu lalu lintas udara yang
berwenang dalam hal pesawat udara berada di ruang
udara yang dikendalikan; dan
b. menyampaikan informasi penyimpangan rencana
penerbangan kepada pusat informasi penerbangan
terdekat dalam hal pesawat udara berada di ruang udara
yang tidak dikendalikan.
(3) Kapten Penerbang atau awak pesawat lainnya atau operator
pesawat udara wajib melaporkan kepada pejabat yang
berwenang mengenai pendaratan darurat yang dilakukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana penerbangan dan
penyimpangan terhadap rencana penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 71
(1) Setiap orang dilarang membuang benda apapun dari pesawat
udara selama dalam penerbangan.
(2) Pembuangan benda apapun dari pesawat udara hanya dapat
dilakukan dalam keadaan darurat penerbangan oleh dan/atau
atas izin Kapten Penerbang.
(3) Dalam melaksanakan pembuangan sebagaimana dimaksud

130
dalam ayat (2), Kapten Penerbang harus melaporkan daerah
pembuangan kepada pemandu lalu lintas udara.
(4) Pembuangan benda apapun dari pesawat udara dan daerah
pembuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3), dilakukan dengan memperhatikan:
a. keselamatan pesawat udara dan penumpang;
b. keselamatan penduduk dan harta bendanya di wilayah
pembuangan;
c. kelestarian lingkungan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuangan benda dari
pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72
(1) Pesawat udara dalam keadaan darurat penerbangan berhak
mendapatkan prioritas pelayanan lalu lintas udara.
(2) Pemberian prioritas pelayanan lalu lintas udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), didasarkan atas laporan keadaan
darurat penerbangan dari Kapten Penerbang atau personil
pesawat udara lainnya.
(3) Pemandu lalu lintas udara wajib mengambil tindakan dalam
batas wewenangnya yang diperlukan untuk menjamin
keselamatan pesawat udara yang mengalami keadaan darurat
dari pengguna jasa pelayanan lalu lintas udara lainnya.

Bagian Keempat
Pelayanan Lalu Lintas Udara

Pasal 73
(1) Pelayanan lalu lintas udara diselenggarakan oleh Pemerintah
dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan sebagian atau
seluruhnya kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan
untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Setiap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara
Indonesia diberikan pelayanan lalu lintas udara.
(3) Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan:

131
a. status penerbangan;
b. manajemen lalu lintas udara;
c. fasilitas komunikasi penerbangan;
d. fasilitas bantu navigasi penerbangan;
e. fasilitas pengamatan penerbangan;
f. fasilitas bantu pendaratan;
g. fasilitas meteorologi;
h. informasi aeronautika;
i. kemampuan personil; dan
j. hal-hal khusus.
(4) Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi:
a. pelayanan pengendalian ruang udara jelajah;
b. pelayanan pengendalian ruang udara pendekatan;
c. pelayanan pengendalian ruang udara di bandar udara
termasuk pelayanan pendaratan dan lepas landas pesawat
udara;
d. pelayanan pengamatan;
e. pelayanan pengendalian arus penerbangan;
f. pelayanan informasi penerbangan;
g. koordinasi antar pengendali lalu lintas udara atau dengan
instansi terkait lainnya; dan
h. pelayanan berita lalu lintas udara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan lalu lintas udara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 74
(1) Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 dilaksanakan oleh unit pelayanan lalu lintas udara
yang terdiri dari:
a. pusat pengendalian ruang udara jelajah;
b. pusat pengendalian ruang udara pendekatan;
c. pusat pengendalian ruang udara di bandar udara;
d. pusat informasi penerbangan;
e. pusat informasi penerbangan bandar udara; dan
f. unit pelayanan lalu lintas udara lainnya sesuai dengan
kebutuhan.

132
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai unit pelayanan lalu lintas
udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 75
Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang
memberikan pelayanan lalu lintas udara wajib melakukan
peningkatan kualitas sumber daya manusia, fasilitas penerbangan
dan pelayanan lalu lintas udara sesuai dengan kebutuhan dan
dengan memperhatikan perkembangan teknologi penerbangan.

Bagian Kelima
Pelayanan Lalu Lintas Udara di Bandar Udara Khusus

Pasal 76
(1) Pelayanan lalu lintas udara di bandar udara khusus
diselenggarakan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya dapat
dilimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada Badan Usaha
Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut.
(2) Biaya yang timbul sebagai akibat pelayanan lalu lintas udara
yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik
Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan
kepada pengelola bandar udara khusus.
(3) Pengelola bandar udara khusus wajib menyediakan,
memelihara dan merawat fasilitas komunikasi penerbangan,
fasilitas bantu navigasi udara, pengamatan, fasilitas bantu
pendaratan, meteorologi, informasi aeronautika, untuk
pelayanan lalu lintas udara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan lalu lintas udara di
bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.

133
BAB VII
PERSONIL DAN KESEHATAN PENERBANGAN

Bagian Pertama
Personil Penerbangan

Pasal 77
(1) Personil Penerbangan meliputi:
a. Personil Pesawat Udara;
b. Personil Pelayanan Keamanan dan Keselamatan
Penerbangan.
(2) Personil Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a meliputi:
a. Personil Operasi Pesawat Udara;
b. Personil Penunjang Operasi Pesawat Udara.
(3) Personil Operasi Pesawat Udara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a meliputi:
a. Penerbang;
b. Juru Mesin Pesawat Udara;
c. Juru Navigasi Pesawat Udara.
(4) Personil Penunjang Operasi Pesawat Udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b meliputi:
a. Personil Ahli Perawatan Pesawat Udara;
b. Personil Penunjang Operasi Penerbangan;
c. Personil Kabin.
(5) Personil Pelayanan Keamanan dan Keselamatan Penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi:
a. personil pelayanan navigasi penerbangan;
b. personil pelayanan pengoperasian bandar udara; dan
c. personil pelayanan keamanan dan keselamatan
perusahaan angkutan udara.

Pasal 78
(1) Personil Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1), wajib memiliki sertifikat kecakapan yang sah dan
masih berlaku.
(2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan:

134
a. usia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. lulus ujian kecakapan dan keterampilan.
(3) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diperoleh setelah terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan
pelatihan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
memperoleh sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Kewajiban Personil Penerbangan

Pasal 79
(1) Personil penerbangan yang telah memiliki sertifikat kecakapan
diwajibkan:
a. mematuhi ketentuan sesuai dengan sertifikat kecakapan
yang dimiliki;
b. mempertahankan kecakapan dan kemampuan yang
dimiliki;
c. mematuhi ketentuan pemeriksaan kesehatan secara
berkala.
(2) Personil penerbangan yang akan melaksanakan tugas
diwajibkan:
a. memiliki sertifikat sesuai dengan tugas yang akan
dilaksanakan;
b. dalam keadaan kondisi sehat jasmani dan rohani;
c. cakap dan mampu untuk melaksanakan tugas.
(3) Personil penerbangan selama melaksanakan tugas diwajibkan
mematuhi seluruh ketentuan peraturan keamanan dan
keselamatan penerbangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban personil
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Keputusan Menteri.

135
Bagian Ketiga
Wewenang Kapten Penerbang

Pasal 80
(1) Dalam melaksanakan tugas selama terbang, Kapten
Penerbang Pesawat Udara bertanggung jawab atas keamanan
dan keselamatan penerbangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Kapten Penerbang mempunyai wewenang untuk
melakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadinya gangguan
keamanan dan keselamatan penerbangan.
(3) Tindakan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
meliputi:
a. mengambil tindakan pengamanan terhadap penumpang
atau kondisi darurat lainnya yang dapat mengganggu atau
membahayakan keamanan dan keselamatan
penerbangan;
b. menurunkan dan/atau menyerahkan pelaku yang diduga
mengganggu atau membahayakan keamanan dan
keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, kepada pejabat yang berwenang pada bandar
udara terdekat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dalam melaksanakan
tindakan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Keempat
Wewenang Personil Operasi Pesawat Udara dan Personil
Kabin

Pasal 81
(1) Selama melaksanakan tugas, personil operasi pesawat udara
dan/atau personil kabin wajib membantu Kapten Penerbang
atas keamanan dan keselamatan penerbangan.
(2) Dalam keadaan darurat selama penerbangan, personil operasi
pesawat udara dan/atau personil kabin dapat berbuat atau
bertindak di luar peraturan yang berlaku, atas perintah Kapten
Penerbang.

136
Bagian Kelima
Wewenang Personil Penunjang Operasi Pesawat Udara

Pasal 82
(1) Dalam melaksanakan tugas personil penunjang operasi
pesawat udara bertanggung jawab atas kesiapan pesawat
udara untuk melakukan penerbangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas personil penunjang operasi
pesawat udara dapat menunda penerbangan karena alasan
tertentu dengan berkoordinasi dengan Kapten Penerbang.

Bagian Keenam
Pendidikan dan Pelatihan Personil Penerbangan

Pasal 83
(1) Pendidikan dan pelatihan personil penerbangan terdiri dari
jenis dan jenjang.
(2) Pendidikan dan pelatihan personil penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau badan hukum Indonesia.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib
mendapat izin dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendidikan nasional setelah mendengar pertimbangan dari
Menteri.
(4) Untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan personil
penerbangan wajib dipenuhi persyaratan :
a. memiliki izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
dari instansi yang berwenang;
b. memiliki organisasi yang mengatur penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan personil penerbangan;
c. memiliki jumlah tenaga pendidik yang cukup dan
berkualifikasi sesuai jenis dan jenjang pendidikan dan
pelatihan;
d. memiliki buku petunjuk tata cara tentang penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan;
e. memiliki silabus pendidikan dan pelatihan yang sesuai
jenis dan jenjang serta mengacu kepada sistem pendidikan

137
di Indonesia;
f. memiliki fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan sesuai dengan
jenis dan jenjang dari pendidikan dan pelatihan yang
diselenggarakan.
(5) Penyelenggara pendidikan dan pelatihan personil penerbangan
yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), diberikan sertifikat oleh Menteri.
(6) Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), berlaku
sepanjang masih melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan
personil penerbangan serta memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(7) Menteri berkewajiban melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil
penerbangan untuk menjamin pemenuhan terhadap
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan jenjang pendidikan
dan pelatihan serta persyaratan dan tata cara untuk
mendapatkan sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan personil penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 84
(1) Pemegang sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan personil penerbangan berkewajiban untuk:
a. melaksanakan jenis pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan sertifikat yang diberikan;
b. mempertahankan mutu pendidikan dan pelatihan yang
diselenggarakan;
c. membuat perencanaan dan pelaporan untuk setiap
penyelenggaraan paket pendidikan dan pelatihan;
d. melaporkan setiap perubahan yang terjadi dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam sertifikat yang diberikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang sertifikat
penyelenggara pendidikan dan pelatihan personil penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan

138
Keputusan Menteri.

Pasal 85
(1) Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil
penerbangan dapat dibekukan, direvisi atau dicabut.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembekuan, revisi
dan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 86
(1) Sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil
penerbangan dapat diberikan kepada penyelenggara di luar
negeri dengan cara memvalidasi sertifikat yang dikeluarkan
oleh negara setempat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh
sertifikat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan personil
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedelapan
Kesehatan Penerbangan

Pasal 87
(1) Pelayanan kesehatan penerbangan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada
badan hukum Indonesia atau perorangan yang mempunyai
kualifikasi kesehatan penerbangan.
(2) Pelayanan kesehatan penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi kegiatan:
a. pengujian dan/atau pemeliharaan kesehatan terhadap:
1) personil operasi pesawat udara;
2) personil penunjang operasi pesawat udara;
3) personil pelayanan navigasi penerbangan;
4) personil pelayanan pengoperasian bandar udara;
5) personil pelayanan keamanan dan keselamatan
perusahaan angkutan udara.
b. pemeriksaan higiene dan sanitasi bandar udara, fasilitas
penunjang bandar udara, kesehatan dan keselamatan

139
kerja fasilitas penunjang penerbangan;
c. pemeriksaan higiene dan sanitasi pesawat udara.
(3) Terhadap hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b, diberikan
sertifikat kesehatan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB VIII
TARIF JASA PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN

Pasal 88
(1) Pemberian jasa pelayanan navigasi penerbangan dikenakan
biaya berupa tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan.
(2) Tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan struktur dan
golongan.

Pasal 89
(1) Struktur tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan merupakan
kerangka tarif yang dikaitkan dengan faktor jarak terbang dan
faktor berat pesawat udara sesuai pelayanan yang diberikan
oleh penyelenggara jasa pelayanan navigasi penerbangan.
(2) Golongan tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan meliputi:
a. tarif penerbangan domestik; dan
b. tarif penerbangan internasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan golongan tarif
jasa pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90
Tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 tidak dikenakan
terhadap:
a. pesawat udara negara Republik Indonesia;
b. pesawat udara yang dipergunakan untuk keperluan pencarian
dan pertolongan (search and rescue) atau kegiatan

140
kemanusiaan;
c. pesawat udara yang khusus dipergunakan oleh tamu negara,
kepala negara atau kepala pemerintahan beserta rombongan
dalam kunjungan kenegaraan di Indonesia;
d. pesawat udara milik Departemen Perhubungan yang
dipergunakan untuk pendidikan awak kokpit pesawat udara,
kalibrasi alat bantu navigasi udara, atau kegiatan lainnya yang
berkaitan dengan pembinaan keselamatan penerbangan;
e. pesawat udara milik perkumpulan olah raga penerbangan yang
diberikan pembebasan oleh Direktur Jenderal;
f. pesawat udara militer asing yang dapat menunjukkan
rekomendasi pembebasan dari Departemen Pertahanan atau
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.

Pasal 91
(1) Tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan pada bandar udara
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.
(2) Tarif jasa pelayanan navigasi penerbangan yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang didirikan
untuk menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan,
ditetapkan oleh Penyelenggara Pelayanan Navigasi
Penerbangan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.

BAB IX
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN KECELAKAAN PESAWAT
UDARA

Pasal 92
(1) Setiap penerbang yang sedang dalam tugas penerbangan
mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat
udara lain yang dikhawatirkan sedang menghadapi bahaya
dalam penerbangan, wajib segera memberitahukan kepada
petugas lalu lintas udara.
(2) Setiap petugas lalu lintas udara yang sedang bertugas, segera
setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau mengetahui adanya pesawat udara yang
berada dalam keadaan bahaya atau dikhawatirkan mengalami

141
keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan, wajib segera
memberitahukan kepada Badan SAR Nasional.

Pasal 93
(1) Badan SAR Nasional wajib mengerahkan potensi SAR
terhadap kegiatan pencarian dan pemberian pertolongan serta
penyelamatan terhadap setiap kecelakaan pesawat udara atau
pesawat udara dalam keadaan bahaya atau hilang dalam
penerbangan.
(2) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan
pesawat udara wajib membantu usaha pencarian dan
pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara.
(3) Ketentuan mengenai pencarian dan pertolongan terhadap
kecelakaan pesawat udara disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
PENELITIAN PENYEBAB KECELAKAAN PESAWAT UDARA

Pasal 94
(1) Setiap terjadi kecelakaan pesawat udara di wilayah Republik
Indonesia, dilakukan penelitian untuk mengetahui penyebab
terjadinya kecelakaan.
(2) Penelitian terhadap kecelakaan pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh Sub Komite Penelitian
Kecelakaan Transportasi Udara yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Menteri dapat menunjuk seseorang yang memiliki keahlian
tertentu menjadi anggota Sub Komite Penelitian Kecelakaan
Transportasi Udara.
(4) Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara dalam
melaksanakan tugas dapat melibatkan:
a. wakil dari pemerintah tempat pesawat udara didaftarkan;
b. wakil dari pabrik pembuat pesawat udara dan mesin
pesawat udara; dan/atau
c. wakil dari perusahaan angkutan udara.
(5) Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara
berwenang meminta keterangan dan/atau bantuan jasa

142
keahlian dari perusahaan penerbangan, badan hukum
Indonesia atau perorangan, untuk kelancaran penelitian
penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian terhadap
kecelakaan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 95
(1) Perusahaan angkutan udara dan/atau operator yang pesawat
udaranya mengalami kecelakaan wajib segera melaporkan
kepada Menteri dan Sub Komite Penelitian Kecelakaan
Transportasi Udara.
(2) Penyelenggara bandar udara dan/atau penyelenggara
pelayanan navigasi penerbangan yang mengetahui dan/atau
menerima laporan terjadinya kecelakaan pesawat udara wajib
segera melaporkan kepada Menteri dan Sub Komite Penelitian
Kecelakaan Transportasi Udara.
(3) Setelah menerima laporan terjadinya kecelakaan pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Sub
Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara segera
melakukan penelitian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 96
(1) Pejabat yang berwenang pada lokasi kecelakaan pesawat
udara wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap
pesawat udara yang mengalami kecelakaan di luar daerah
lingkungan kerja bandar udara, untuk:
a. melindungi awak pesawat udara dan penumpangnya;
b. mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak
pesawat udara, merusak dan/atau mengambil barang-
barang dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan.
(2) Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat berlangsung sampai dengan berakhirnya pelaksanaan
penelitian di lapangan oleh Sub Komite Penelitian Kecelakaan
Transportasi Udara.

143
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 97
(1) Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara wajib
melaporkan hasil penelitian kepada Menteri.
(2) Menteri menyampaikan hasil penelitian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan dan
penyampaian hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB XI
PENCEMARAN LINGKUNGAN

Pasal 98
(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi
dan/atau mengoperasikan pesawat udara, wajib mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan.
(2) Pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:
a. emisi gas buang;
b. tingkat kebisingan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
berlaku bagi pesawat udara yang akan didaftarkan dan/atau
dioperasikan di wilayah Republik Indonesia.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
hanya berlaku untuk pesawat udara yang digerakkan oleh
mesin penggerak jenis gas turbin.
(5) Pesawat udara yang telah didaftarkan dan/atau dioperasikan di
wilayah Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), selambat-lambatnya 10
(sepuluh) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

144
BAB XII
SANKSI

Pasal 99
(1) Pelanggaran terhadap tidak terpenuhinya persyaratan
keandalan operasional pesawat udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 41, Pasal
42, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 50, Pasal 61, dan
Pasal 62 dikenakan sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak
3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-
masing 1 (satu) bulan.
(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak diindahkan, dilanjutkan dengan pembekuan sertifikat
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(4) Apabila pembekuan sertifikat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) habis jangka waktunya dan tidak ada usaha perbaikan,
maka sertifikat dicabut.

Pasal 100
Pemegang sertifikat keandalan operasional pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dapat langsung dikenai
sanksi pencabutan sertifikat tanpa melalui proses sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 dalam hal pemegang sertifikat terbukti:
a. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara;
b. memperoleh sertifikat dan/atau surat izin dengan cara tidak
sah; atau
c. secara nyata melakukan tindakan yang membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan.

Pasal 101
(1) Sertifikat kecakapan personil penerbangan dapat dicabut,
apabila pemegang sertifikat kecakapan tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70,
Pasal 71 ayat (3), Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82.
(2) Pencabutan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilakukan melalui proses peringatan tertulis.

145
(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
tidak diindahkan dilanjutkan dengan pembekuan sertifikat
kecakapan untuk jangka waktu tertentu.
(4) Apabila selama masa pembekuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), tidak ada upaya perbaikan oleh pemegang
sertifikat, maka sertifikat kecakapan dicabut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pembekuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 102
Sertifikat kecakapan dicabut tanpa melalui proses peringatan
dan/atau pembekuan, dalam hal pemegang sertifikat terbukti:
a. memperoleh sertifikat kecakapan dengan cara tidak sah; atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 103
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah
yang mengatur mengenai keamanan dan keselamatan
penerbangan dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 104
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

146
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 5 Februari 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 5 Februari 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001


NOMOR 9

147
148

Anda mungkin juga menyukai