BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Islam datang kepada manusia dan seluruh alam tiada lain adalah untuk membawa
rahmat1[1]. Rahmat sering diartikan sebagai sesuatu yang membawa kebaikan dan
menciptakan kondisi yang kondusif bagi kehidupan manusia yang dimensinya tidak terbatas
keduniawian tetapi juga keakhiratan2[2]. Sesuai dengan namanya Al-Islam adalah
keselamatan, kedamaian, keselarasan, dan kesejah teraan yang dibangun atas dasar ketaatan..
Perkembangan zaman sekarang ini dengan didukung oleh teknologi yang semakin
canggih memang telah membuat pola fikir dan pola pergaulan manusia semakin maju dan
semakin tidak terbatas. Namun di sisi lain, kita pun juga harus mengerutkan dahi karena
dibalik semua kemajuan itu juga ada unsur-unsur negatif yang mengikutinya. Dimana kita
lihat sekarang ini pergaulan antara muda mudi sudah tidak ada batasnya lagi, bahkan
aktivitas-aktivitas yang semestinya hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri sudah
banyak dilakukan oleh generasi muda kita yang memang belum memiliki ikatan apa-apa
apalagi suami istri, yang mana mereka melakukan berdua-duaan di tempat yang remang
maupun terang atau di tempat yang rame maupun sunyi, pegangan tangan, rangkulan, ciuman
yang semuanya dilakukan atas dasar suka sama suka dengan dalih cinta dalam ritual pacaran.
Sudah sepantasnyalah kita bertanya tentang masa depan Agama dan negeri ini. Dan
juga tentunya ini semua perlu peranan kita para generasi muda muslim untuk memberikan
pencerahan dan tuntunan kepada mereka tentang adanya aturan dan tuntunan yang Islami dan
bermartabat yang sudah ditancapkan oleh Nabi Muhammad saw semenjak 14 abad yang lalu.
Yaitu suatu tuntunan yang mengajarkan kepada kita bagaimana melakukan pergaulan yang
baik, yang beretika dan tidak melanggar kaidah Allah swt.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana khalwat menurut pandangan Agama Islam?
2. Bagaimana sanksi khalwat menurut pandangan agama Islam?
BAB II
Pembahasan
Menurut bahasa, kata Khalwat berasal dari bahasa Arab yaitu khulwah dari akar kata
Khala – yakhulu yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah, Khalwat adalah
keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain.3[3] Dalam istilah
ini khalwat bisa diartikan secara positif, khalwat adalah menarik diri dari keramaian dan
menyepi untuk mendekatkan dari kepada Allah. Sedangkan dalam arti negatif, khalwat
berarti perbuatan berdua-duaan di tempat sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain
antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak diikat dengan hubungan perkawinan,
keduanya bukan pula mahram. Makna khalwat yang dimaksud dalam kajian ini adalah makna
yang kedua.
Dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Nomor 14 Tahun 2003 Bab I
Pasal 1 dijelaskan bahwa, khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang
mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan mahram atau tanpa ikatan perkawinan.
Akan tetapi, khlawat/mesum tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari
penglihatan orang lain, tetapi dapat juga terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di
tempat-tempat umum lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik-asyikan tanpa ikatan
nikah4[4].
Didalam buku Fiqh Islam karangan H. Sulaiman Rasjid diuraikan mengenai mahram
ada 13 macam, tujuh orang dari pihak keturunan, dua orang dari sebab menyusui, dan empat
orang dari sebab pernikahan. Pembagian itu diantaranya sebagai berikut:
1) Ibu dan Ibunya (Nenek), ibu dari bapak dan seterusnya sampai ke atas
2) Anak dan cucu, dan seterusnya kebawah
3) Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja
4) Saudara perempuan dari bapak
5) Saudara perempuan dari ibu
6) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya
7) Anak perempuan dari anak perempuan dan seterusnya
8) Ibu yang menyusuinya
9) Saudara perempuan sepersusuan
10) Mertua
11) Anak tiri, apabila sudah campur dengan ibunya
12) Istri anak (menantu) dan
13) istri bapak (ibu tiri)
Mengenai Khalwat ini para ulama berselisih dalam hal menentukan pembagian
khalwat, diantaranya ada ulama yang membagi khalwat pada dua bagian, yaitu khalwat yang
diperbolehkan dan khalwat yang haram, atau tidak diperbolehkan.
Menurut Ibn Hajar Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara
yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga
sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang
sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang disekitarnya tidak mendengar
keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan wanita tersebut.
Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak
meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
wanita itu karena ia tidak mendengarnya5[5].
Sedangkan Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki
dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.
Maka timbul pertanyaan jika ada yang mengatakan, Berdasarkan definisi khalwat
yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-
jalan raya atau di kampus, di taman, dan tempat-tempat umum lainnya bukanlah khalwat
yang diharamkan karena semua orang memandang mereka?
Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat di
antara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang
mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal
langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat
yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu
sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul
akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram.
Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang
haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita
mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak
sesuai dengan syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya
dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi
haram. Khlawat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.
Hukum Islam telah mengatur etika dalam pergaulan antara manusia, khususnya
terhadap laki-laki dan perempuan dengan baik. Cinta dan kasih sayang laki-laki dan
perempuan adalah fitrah manusia yang merupakan karunia Allah dan tidak bisa dihilangkan
dari kebutuhan dasar manusia. Maka dari itu islam mengatur dan memberi solusi yang halal
terhadap cinta yang dimiliki dari setiap manusia. Untuk menghalalkan hubungan antara laki-
laki dan perempuan, Islam menyediakan lembaga pernikahan. Tujuan utama agar hubungan
laki-laki dan perempuan di ikat dengan tali perkawinan adalah untuk menjaga dan
memurnikan garis keturunan (nasab) dari anak yang lahir dari hubungan suami istri.
Kejelasan ini penting untuk melindungi masa depan anak yang dilahirkan tersebut.
Larangan khalwat bertujuan untuk mencegah diri bagi perbuatan zina. Larangan ini
berbeda dengan beberapa jarimah lain yang langsung kepada zat perbuatan itu sendiri, seperti
larangan mencuri, minum, khamar, dan maisir. Larangan zina justru dimulai dari tindakan-
tindakan yang mengarah kepada zina. Hal ini mengindikasikan betapa Islam sangat
memperhatikan kemurnian nasab seorang anak manusia dan bertujuan agar tetap terjaganya
kehormatan masing-masing dan terjauh dari kemudharatan.
Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:6[6]
طانا ثاا ِلث ُ ُه اما َّ اَل يا ْخلُ او َّن أ ا احدُ ُك ْم ِبا ِْم ارأاةٍ فاإِ َّن ال
ش ْي ا
Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena
sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.
Di dalam hadits di atas, nabi saw mengatakan bahwa syaitan akan menjadi orang
ketiga diantara mereka berdua. Berkata Al-Munawi mengenai hal ini, menurut beliau
maksudnya adalah syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan
membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua
bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi
kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitan pun
menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan
mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan
dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.
Berkata As-Syaukani, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena
demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena
sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang
kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh
karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang
lainnya maka terjadilah kemaksiatan.
Imam An-Nawawi berkata, “Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita
ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan dua
perkara ini merupakan ijma’ (para ulama)
Akan tetapi, nilai-nilai etika yang ditawarkan Islam tersebut di zaman modern ini
mendapat tantangan yang serius dari budaya sekuler yang serba permisif dan pada umumnya
datang dari Barat. Budaya sekuler adalah budaya yang lahir dari aliran filsafat sekularisme
yang memisahkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai duniawi. Menurut aliran ini, agama
tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan dunia. Manusia bebas sebebas-bebasnya
menentukan urusan dunianya, termasuk dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan.
Dalam budaya masyarakat Barat, hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak
mesti diikat dengan tali perkawinan. Seorang laki-laki dan perempuan dapat hidup bersama
tanpa ikatan perkawinan, bahkan sampai si perempuan melahirkan anak. Akibat dari cara
berpikir seperti ini, maka di Barat berkembang berbagai pemikiran yang mendukung
kebebasan sebagaimana digambarkan di atas. Gerakan emansipasi wanita adalah salah satu
hasil dari cara berpikir ini.
Meski budaya Barat nyata-nyata bertentangan dengan budaya Islam, tetapi dalam
kenyataan, budaya Barat ini berkembang dengan baik di negara-negara Timur yang pada
umumnya religius, tak terkecuali dunia Islam. Perkembangan budaya Barat di dunia Islam
juga dipengaruhi oleh sistem politik dunia Islam yang mengikut sepenuhnya kepada Barat.
Dari sistem politik, kepengikutan itu akhirnya merembes kewilayah-wilayah lain, seperti
wilayah sosial, budaya, hukum, dan sebagainya
B. Sanksi Khalwat
Khalwat yang merupakan perbuatan keji dan bisa saja menuju pada jalan yang lebih
keji yaitu perzinahan harus mendapatkan perhatian yang khusus. Terutama dalam islam yang
menjunjung tinggi akhlak mulia harus benar-benar memperhatikan penyebab dan solusi
terjadinya khalwat. Dalam hal ini agama islam meberikan suatu aturan yang termasuk pada
pembahasan fiqh jinayat menurut ulama-ulama fiqh.
Khalwat merupakan suatu jarimah jika dilihat dari kacamata fiqh jinayah, termasuk
jarimah atau tindak pidana sebab yang dinamakan dengan jarimah adalah mengerjakan
sesuatu yang diharamkan oleh syara dan atau meninggalkan sesuatu yang diwajibkan oleh
syara. Dari pembahasan sebelumnya mengenai dasar hukum khalwat sudah jelas di katakana
bahwa khalwat merupakan suatu pekerjaan yang diharamkan oleh syara maka khalwat
termasuk pada jarimah.
Jika dilihat dari besarnya hukuman maka khalwat termasuk pada bagian Ta’jir, yaitu
ta’jir yang ketentuan jarimahnya oleh syara tetapi dalam masalah sanksi diserahkan
sepenuhnya kepada penguasa(hakim) dengan memperhatikan kondisi pelaku dan perbuatan
jarimahnya. Dalam hal ini saya merujuk pada Qonun Nomor 14 tahun 2013 NAD7[7].
Delik pidana adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan/Qanun atau suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena
kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum.
Delik pidana khalwat menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat
(Mesum) adalah: “Perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang
berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”. (Pasal 1 ayat (1) Qanun
Nomor 14 Tahun 2003).
Di sini dapat diketahui bahwa syarat khalwat adalah dilakukan oleh dua orang
mukallaf yang berlainan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), bukan suami istri dan halal
menikah, (maksudnya bukan orang yang mempunyai hubungan muhrim). Dua orang tersebut
dianggap melakukan khalwat kalau mereka berada pada suatu tempat tertentu yang
memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau berpeluang pada
terjadinya zina.
Adapun mengenai ruang lingkup larangan khalwat/mesum sebagaimana yang
dimaksud dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 dijelaskan pada Bab II Pasal 2, yaitu segala
kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina. Di sini dapat
diketahui bahwa Qanun tersebut telah mengantisipasi terjadinya perbuatan zina, dengan cara
melarang segala bentuk jalan ataupun hal-hal yang dapat mengarah kepada perbuatan zina itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an
tentang dilarangnya manusia mendekati perbuatan zina.
Delik-delik tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang dilarang dalam Qanun
Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat, seperti dalam Bab III Pasal 5 disebutkan bahwa
“Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum”. Dalam Pasal 6 juga dijelaskan pula
bahwa “Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha
dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan
khalwat/mesum”.
Begitu juga halnya dalam bentuk pencegahan terhadap terjadinya, perbuatan
khalwat/mesum tersebut dibutuhkan peran serta masyarakat sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 7 “Setiap orang baik sendiri maupun kelompok masyarakat berkewajiban
mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum.
Hukuman dalam hukum pidana Islam disebut al-‘uqubah, yang meliputi baik hal-hal
yang merugikan maupun tidak kriminal. Syari’at menekankan dipenuhinya hak-hak individu
maupun masyarakat secara umum. Hukum yang memberikan kesempatan penyembuhan
kepada masyarakat merupakan perkara pidana, dan kalau ia ditujukan kepada perorangan
adalah hal yang merugikan.
Adapun bentuk ancaman hukuman cambuk bagi si pelaku tindak pidana
khalwat/mesum dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus
menjadi peringatan bagi calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan tindak pidana
khalwat/mesum tersebut. Di samping itu hukuman cambuk akan lebih efektif dengan
memberi rasa malu dan tidak menimbulkan risiko bagi keluarga. Jenis ‘Uqubat cambuk juga
berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan
dengan jenis ‘Uqubat lainnya seperti yang dikenal dalam KHUP sekarang ini.
Mengenai ketentuan ‘Uqubat terhadap pelaku pelanggar terhadap Qanun khalwat
tersebut diatur sebagai berikut Pasal 22 berbunyi :
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4
diancam dengan “Uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (Sembilan) kali, paling
rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dan
paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Dengan demikian terhadap pelaku yang terbukti kembali melakukan hal yang sama
padahal dia sudah pernah dihukum untuk kejahatan serupa maka hukumannya dapat
ditambah 1/3 lagi dari hukuman maksimal menjadi 12 kali cambuk. Begitu pula denda dapat
ditambah 1/3 dari ketentuan maksimal.
Pasal 25 berbunyi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 5 dan 6 :
a. Apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘Uqubatnya jatuh
kepada penanggung jawab.
b. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘Uqubat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘Uqubat
administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang diberikan.
Dari ketentuan hukuman ini, telihat bahwa orang yang melakukan khalwat/mesum
sekitarnya terbukti, dapat dijatuhi hukuman cambuk paling banyak sembilan kali, dan paling
sedikit tiga kali. Hukuman ini ditambah atau ditukar dengan hukuman lain yaitu berupa denda
paling banyak sepuluh juta rupiah, dan paling sedikit dua juta lima ratus ribu rupiah.
Sedangkan orang yang memberikan fasilitas, membantu atau melindungi orang lain yang
melakukan perbuatan mesum apabila terbukti dapat dijatuhkan hukuman paling lama enam
bulan kurungan, paling sedikit dua bulan kurungan. Dikenakan denda paling banyak lima
belas juta rupiah, dan paling sedikit lima juta rupiah.
Jadi berbeda dengan ‘Uqubat dalam Qanun tentang minuman keras (khamar) dan judi
(maisir), ‘Uqubat di sini di samping bersifat alternatif, dapat juga bersifat kumulatif.
Maksudnya di samping dijatuhi hukuman cambuk atau denda, dapat juga dijatuhi kedua-
duanya sekaligus untuk perbuatan khalwat/mesum atau penjara atau denda atau kedua-
duanya sekaligus. Sedangkan orang yang mengulangi kembali perbuatan pidana yang diatur
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dapat dijatuhi hukuman tambahan yaitu sepertiga dari hukuman
maksimal yang ditentukan dalam Pasal 22.
Perlu ditambahkan, sekiranya pelanggaran dilakukan oleh badan usaha, maka
hukuman akan dikenakan kepada penanggung jawabnya, dan apabila ada hubungan dengan
izin usaha yang diperolehnya, maka izin usahanya tersebut dapat dicabut sebagai hukuman
administratif atas badan usaha tersebut. selanjutnya, Qanun menetapkan bahwa perbuatan
pidana khalwat (perbuatan mesum) ini adalah perbuatan yang dihukum dengan jarimah
Ta’zir. Dalam Pasal 23 disebutkan bahwa, denda sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22
ayat (1) dan (2) merupakan penerimaan daerah dan disetor langsung ke kas Baitul Mal.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pelaku pelanggaran terhadap Qanun
khalwat akan dijatuhkan hukuman ta’zir apabila terbukti bersalah. Namun mengenai
ketentuan jenis hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa ditentukan oleh Hakim
Mahkamah Syar’iah. Berdasarkan pertimbangannya dan ketentuan Qanun Nomor 14 Tahun
2003 Tentang khalwat yang sedang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, agar
dapat memberikan rasa keadilan dan terciptanya kehidupan yang aman dan tenteram.
Hal ini sesuai dengan maksud pokok hukuman, yaitu: untuk memelihara dan
menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena
Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
BAB II
Kesimpulan
Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya
berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’
(para ulama).
Delik pidana khalwat menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat
(Mesum) adalah: “Perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang
berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”. (Pasal 1 ayat (1) Qanun
Nomor 14 Tahun 2003).
Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya baik
karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan
kemahraman wanita tersebut.
Khalwat ada dua; khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan.
Khalwat yang dibolehkan adalah yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh
khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Khalwat yang diharamkan adalah
khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan
manusia.
Mengenai ketentuan ‘Uqubat terhadap pelaku pelanggar terhadap Qanun khalwat
tersebut diatur sebagai berikut Pasal 22
Daftar Pustaka