Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Muscle Relaxant


Muscle Relaxant atau pelumpuh otot merupakan salah satu obat yang penting
dalam anestesi. Muscle relaxant atau dikenal sebagai neuromuscular blocking agents
ini dikelompokkan menjadi 2 yaitu depolarisasi dan non-depolarisasi. Tempat aksi
utama dari Muscle Relaxant ini adalah pada nicotinic cholinergic reseptor pada
endplate dari otot dan pada presynaptic reseptor dari nervus terminal. Depolarisasi
agent atau succynilcholine menghasilkan depolarisasi pada endplate dan berikatan
dengan extrajunctional reseptor. Non-depolarisasi agent berkompetisi dengan
acetylcholine dalam berikatan dengan reseptor. Penggunaan muscle relaxant ini
menghasilkan paralisis bukan anesthesia. Dalam kata lain, muscle relaxant ini tidak
berfungsi sebagai sedatif, amnesia atau analgesia.2,3

2.2 Fisiologi Transmisi Saraf Otot


Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction.
Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20nm) yang disebut
sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion
kalsium akan masuk melalui voltage-gated calcium channels menuju sitoplasma
saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan
mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah
sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di
membran otot yaitu motor-end plate.2 Motor end plate merupakan daerah khusus
yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat.4
Gambar 1. Neuromuscular Junction
(Source: Brooks/Cole - Thomson Learning)

Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada


neuromuscular junction, reseptor ini terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 subunit α,
dan 1 subunit β, δ, dan ε. Hanya kedua subunit α identik yang mampu untuk mengikat
asetilkolin. Apabila kedua tempat pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka
kanal ion di inti reseptor akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka apabila asetilkolin
hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan
masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki
asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi
membran perijunctional yang kaya akan kanal natrium.
Gambar 2. Struktur Reseptor Asetilkolin
(Source: The MCGraw-Hill Companies, 2016)

Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan
terbuka dan kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium
intraseluler ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang
membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memilikI dua pintu fungsional, yaitu pintu
atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua pintu ini terbuka.
Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung
tegangan.2 Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan
kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.

2.3 Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot


Semua obat pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi
dengan kurang baik di usus dan onset akan melambat bila diadministrasikan
intramuskular. Volume distribusi dan klirens dapat dpengaruhi oleh penyakit hati dan
ginjal dan gangguan kardiovaskular (kira-kira 200 mL/kg). Pada penurunan cardiac
output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan paruh
waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume
distribusi menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih
kuat. Pada pasien dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma
menurun dengan efek klinis yang juga melemah.
Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk
eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak
tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga memengaruhi farmakokinetik obat
pelmpuh otot. neonatus dan infant memiliki plasma klirens yang menurun sehingga
eliminasi dan paralisis akan memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan
tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens.
biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang. Fungsi
ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens yang
menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.4
Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat pelumpuh
otot dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal.
Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena
sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi
plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi.
Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat pada
protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan ikatan protein tidak
akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh otot.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran
darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil
mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh penurunan
konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat
blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil.Bila volume distribusi menurun
akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang
sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi
obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan
durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.

2.4 Farmakodinamik Obat Pelumpuh Otot


Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis
terapeutik menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot
ekstraokular dengan diplopia, relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak
dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan diafragma.
 Respirasi
paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian
tubuh yang kurang sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling
terakhir lumpuh.
 Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan
hipertensi ditemukan pada penggunaan pancuronium, takikardi pada
penggunaan gallamine, rocuronium, dan pancuronium.
 Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin
sedangkan vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya
ditemui pada wanita dengan riwayat atopi.4
Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur
kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum
dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade
saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal yang
ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer. Paling
sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi
m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai 1 Hz) setelah stimulasi
n.ulnaris.
Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan mengonstruksi kurva dosis-
respons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan dosis (Gambar
2). Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi kedutan yang
telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih sering dipakai adalah
ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED95 vecuronium adalah 0,05 mg/kgBB yang
berarti setengah dari pasien akan mencapai minimal 95% blok kedutan tunggal
(dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium) dengan dosis tersebut, dan
setengah dari pasien akan mencapai kurang dari 95% blok. ED95 rocuronium adalah
0,3 mg/KgBB. Oleh karena itu, potensi rocuronium adalah seperenam dari potensi
vecuronium karena dibutuhkan enam kali lipat dosis rocuronium untuk menghasilkan
efek yang sama. Jika tidak disebutkan lain, ED95 dianggap mewakili potensi obat-
obat pelumpuh otot bersamaan dengan pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid.
Bila disertai dengan anestetik volatil, ED95 menurun jauh dibandingkan dengan
keadaan tanpa obat-obat anestetik ini.
Gambar 3. Contoh Hubungan Dosis-Respons.
(Angka yang tercantum adalah nilai perkiraan untuk rocuronium)

Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat
(mata, digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah
pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang
intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor pollicis).
Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring
mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan dalam
penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat, di mana m.adductor
pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi reseptor asetilkolin
lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan jumlah reseptor yang lebih
banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot tipe lambat. Semakin cepat
onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor pollicis semakin cepat pula
ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan napas saat
dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring adalah
cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor pollicis.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma adalah dua kali lipat dosis yang
dibutuhkan untuk menghasilkan blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah
diketahui bahwa monitoring m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring
yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons
m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma. Oleh
karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor pollicis sebagai
indikator blokade otot laring.

2.5 Mekanisme Kerja Muscle Relaxant


Obat-obat Muscle Relaxant memiliki kemiripan dengan Ach.Muscle Relaxant
depolarisasi sangat mirip dengan Ach dan berikatan dengan reseptor Ach.Tidak
seperti Ach, obat ini tidak dimetabolisme oleh acetylcholinesterase dan
konsentrasinya pada celah sinaps tidak cepat menurun sehingga menghasilkan
depolarisasi prolong pada endplate dari otot.Depolarisasi yang terus-menerus
menyebabkan relaksasi dari otot karena pembukaan gerbang bawah pada natrium
channel di perijunctional terbatas waktunya. Setelah inisiasi awal dan pembukaan,
natrium channel tertutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai terjadi repolarisasi.End-
plate tidak berepolarisasi selama muscle relaxant terus mengikat Ach reseptor, ini
disebut dengan fase block I. Setelah itu, depolarisasi yang prolong ini menyebabkan
ionic dan perubahan pada Ach reseptor yang disebut dengan fase block II. Diikuti
dengan relaksasi.2 Non depolarisasi muscle relaxant mengikat Ach reseptor sehingga
Ach tidak berikatan dengan reseptornya dan tidak terjadi potensial aksi pada end-
plate. Ini disebut juga Ach reseptor antagonist atau kompetitif.2

2.6 Klasifikasi Muscle Relaxant


Muscle relaxant dibagi menjadi 2 kelompok yaitu depolarisasi (nonkompetitif,
leptokurare) dan non-depolarisasi (kompetitif, takikurare). Pembagian ini dibagi
berdasarkan aksi atau mekanisme kerja dan stimulasi saraf perifer. Hambatan
depolarisasi terjadi karena serabut saraf otot mendapat rangsangan depolarisasi yang
menetap sehingga akhirnya kehilangan respon berkontraksi yang menyebabkan
kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf
otot bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterase.5
Hambatan non-depolarisasi atau kompetisi terjadi karena reseptor asetilkolin
diduduki oleh molekul-molekul oba pelumpuh otot non depolarisasi sehingga proses
depolarisasi membrane otot tidak terjadi dan otot menjadi lumpuh(lemas). Pemulihan
fungsi saraf otot terjadi kembali jika jumlah obat yang menduduki reseptor asetilkolin
telah berkurang antara lain terjadi karena proses eliminasi dan atau distribusi.
Pemulihan juga dapat dibantu lebih cepat dengan memberi obat antikolinesterase
(neostigmin) yang menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.5
Tabel 1. Klasifikasi Muscle Relaxant
DEPOLARISASI NON DEPOLARISASI
Short Acting Short Acting
Succinylcholine Mivakurium
Intermediate Acting
Atrakurium
Cisatrakurium
Vekuronium
Rocuronium
Long Acting
Doxacurium
Pancuronium
Pipecuronium
2.6.1 Muscle Relaxant Depolarisasi
2.6.1.1 Karakterisasi Obat6
 Menyebabkan fasikulasi otot
 Efek meningkat oleh anticholinesterase agent
 Hipotermia
 Efek menurun dengan obat non depolarizing relaxant, anesthetic inhalation
 Serabut otot yang terdepolarisasi tidak merespon terhadap stimulasi
 Tidak bisa dilawan oleh neostigmin dan obat anticholinesterase yang lain
 Pada keadaan paralisis partial, alat monitoring neuromuskuler
menunjukkan depresi pada gerakan otot, tidak ada fasikulasi post titanic
 Diperkuat oleh isofluran, enfluran, alkalosis dan magnesium
 Dilawan oleh eter, halotan, asidosis ddan obat non depolarisasi
 Diasosiasi cepat yang konstan pada reseptor
 Pemberian berulang atau terus-menerus mengarah kepada blockade fase II

2.6.1.2 Jenis Obat


Succinylcholine merupakan obat muscle relaxant depolarisasi yang digunakan
sekarang. Suksinilkolin memiliki 2 ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan
paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan berkurang sebelum pasien
yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia. Suksinilkolin 0,5–1 mg/kgBB IV,
memiliki onset kerja cepat (30–60 detik) dan durasi kerja singkat (3–5 menit). Ciri
ini membuat suksinilkolin obat yang bermanfaat untuk relaksasi otot untuk
memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki beberapa efek samping yang
dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.2

2.6.1.3 Struktur Fisik


Succinylcholine disebut juga diacetylcholine atau suxamethonium terdiri dari 2
molekul Ach.2
2.6.1.4 Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme succinylcholine dimana onset kerjanya cepat (30-60 detik) dan
durasi pendek <10 menit serta kelarutan dalam lemak rendah. Ketika
succinylcholine masuk ke sirkulasi, sebagian cepat dimetabolisme oleh
pseudocholinesterase menjadi succinylmonocholine. Hanya sebagian kecil yang
diinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Saat kadar dalam serum
menurun, succinylcholine difusi keluar dari neuromuscular junction.2 Durasi
kerjanya bertambah jika dosis tinggi atau metabolism yang abnormal. Bisa
disebabkan hipotermia,kadar pseudocholinesterase yang rendah atau karena
genetik pada enzim. Hipotermia menurunkan hidrolisis.2

2.6.1.5 Dosis
Dosis succinylcholine untuk intubasi trakea adalah 1mg/kgbb IV. Pernafasan
spontan terjadi setelah paralisis akibat pemberian succinylcholine. Durasi rata-rata
sebelum mencapai 90% adalah lebih kurang 10 menit. Dengan demikian, pada
dewasa yang sudah dioksigenasi sebelumnya dapat mengalami apnea sebelum
saturasi oksigen turun ke 90%.3 Dosis dapat bervariasi antara 0,5-0,15mg/kgBB ,
dosis kurang 1mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan
diafragma atau pernapasan spontan. Selain itu pada keadaan dimana blokade saraf
otot penuh diperlukan, diberikan dosis 1,5mg/kgBB.3

2.6.1.6 Efek Samping 2,6


 Cardiovascular
Stimulasi pada reseptor nikotinik pada parasimpatetik dan simpatetik
ganglia dan reseptor muskarinik di nodus SA pada jantung bisa
meningkatkan atau menurunkan tekanan darah atau denyut jantung. Dosis
rendah dapat menyebabkan chronotropik negatif dan efek inotropik, tetapi
dosis tinggi umumnya menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
kontraksi dan peningkatan kadar katekolamin.
 Hiperkalemia
Normalnya otot meelepaskan kalium selama depolarisasi dan menaikkan
kadar kalium serum 0,5meq/L. Peninggian kalium bisa menyebabkan
cardiac arrest dan kondisi lainnya.
 Nyeri Otot
Nyeri otot dapat dikurangi dengan pemberian pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi 90%, selain itu
dapat terjadi mioglobinuria, terutama otot leher, punggung dan abdomen.
 Peningkatan tekanan intragastric
Fasikulasi otot abdomen menyebabkan peningkatan tekanan intragastric
dan juga tonus sfingter bawah esophagus.
 Peningkatan tekanan intraocular
Peningkatan kontraksi pada otot extraocular menyebabkan peninggian TIO.
 Kekakuan otot masseter
Terjadinya kekakuan transier pada otot masseter menyebabkan susah
membuka mulut.
 Hipertermia Maligna
 Kontraksi Generalisasi pada pasien dengan myotonia.
 Prolonged Paralisis
 Peningkatan Tekanan Intrakranial
Succinylcholine pada beberapa pasien meningkatkan aliran darah serta
tekanan intracranial. Ini bisa dikontrol dengan menjaga airway serta
hiperventilasi. Bisa dicegah sebelumnya dengan nondepolarisasi agent dan
lidocain (1,5-2mg/kgBB) 2-3 menit sebelum intubasi.
 Pelepasan Histamin

2.6.2 Muscle Relaxant Nondepolarisasi


2.6.2.1 Karakterisasi umum6
 Tidak menyebabkan fasikulasi otot
 Efek menurun oleh obat anticholinesterase, depolarizing agent, suhu
tubuh yang rendah, epinefrin, acetylcholine
 Efek meningkat oleh non-depolarizing drugs, volatile anestesi.

2.6.2.2 Karakterisasi Farmakologik General2


 Hipotermia, prolong blokade dengan menurunkan metabolisme
(mivakurium, atrakurium dan cisatrakurium) dan memperlambat ekskresi
(pankuronium dan vekuronium)
Dosis Dosis Efek Samping
Durasi
Awal Rumatan
(menit)
(mg/kg) (mg/kg)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin 0.40 – Hipotensi
2. Pankuronium 0.60 Vagolitik,takikardi
3. Metakurin 0.08 – 0.10 Hipotensi
4. Pipekuronium 0.12 0.15 – 0.20 30 – 60 Kardiovaskuler
5. Doksakurium 0.20 - 0.05 30 – 60 stabil
6. Alkurium 0.40 0.01 – 40 – 60 Kardiovaskuler
0.05 – 0.015 40 – 60 stabil
0.12 0.005 – 45 – 60 Vagolitik, takikardi
0.02 – 0.010 40 – 60
0.08 0.05
0.15 –
0.30
Non depol Intermediate
1. Gallamin 4–6 0.5 Hipotensi
30 – 60
2. Atrakurium 0.5 – 0.6 0.1 Aman untuk hepar
20 – 45
3. Vekuronium 0.1 – 0.2 0.015 –
25 – 45
4. Rokuronium 0.6 – 0.1 0.02
30 – 60
5. Cistacuronium 0.15 – 0.10 – 0.15
30 – 45
0.20 0.02
Non Depol Short Acting
1. Mivakurium 0.20 – 0.05 10 – 15
2. Ropacuronium 0.25 0.3 – 0.5 15 – 30
1.5 – 2.0
Depol Short Acting
1 3 – 10
1. Suksinilkolin
 Keseimbangan Asam basa, asidosis respiratori menghambat kepulihan
neuromuscular pada pasien post operasi dengan hipoventilasi.
 Kadar elektrolit abnormal, hipokalemiaa dan hipokalsemia memblock non
depolarisasi.
 Usia. Neonatus memiliki sensitivitas tinggi terhadap muscle relaxant
karena belum maturnya neuromuscular junction.
 Penyakit tertentu. Pada pasien dengan penyakit neuromuscular memiliki
efek yang besar. Pada pasien sirosis dan gagal ginjal kronik terjadi
peningkatan kadar pada plasma dan juga yang dimetabolisme di hati dan
ginjal ekskresinya bisa lama.

2.6.3 Penggolongan Pelumpuh Otot Non-depolarisasi


Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non
depolarisasi digolongkanmenjadi:
 Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,
doksakurium,mivakurium.
 Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
 Eter-fenolik: gallamin.
 Nortoksiferin: alkuronium.

Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi


menjadi kerjapanjang, sedang, dan pendek:

Tabel 2. Pembagian Lama Kerja Obat Pelumpuh Nondepolarisasi


2.6.3.1 Atrakurium
 Metabolisme: tidak tergantung oleh hepar dan ginjal
 Ekskresi: <10% diekskresi ginjal dan system bilier
 Hidrolisis: Dihidolisis atau dikatalisasi oleh nonspesifik esterase, bukan
oleh asetylcholinesterase atau pseudocholinesterase.
 Hoffman eliminasi: Eliminasi spontan non enzimatik pada pH fisiologis.
 Dosis:
-
0,5-0,6mg/kgBB IV pada 30-60 detik intubasi.
-
Relaksasi intraoperatif 0,25mg/kgBB.
-
Infus 5-10 mikrogram/kgBB.
-
Dosis maintenance 0,1-0,2 mg/kgBB
 Efek samping: Hipotensi dan tachycardia, bronkospasme dan reaksi
alergi.
 Reversal: kualitas reversal dengan neostigmine da endrophonium sangat
baik.
 Baik untuk pembedahan SC, cardiopulmonary bypass, keracunan
organofosfat dan pasien dengan miastenia gravis.

2.6.3.2 Cisatrakurium
 4 kali lebih potensial dibanding atrakurium
 Metabolisme: degradasi pada pH fisiologis dan tidak tergantung organ
 Dosis: 0,1-0,15mg/kgBB dalam 2 menit
 Durasi intermediate
 Infus: 1-2mikrogram/kg/menit
 Potensial sama dengan vekuronium
 Efek : Tidak berafek ke peningkatan denyut jantung, tekanan darah atau
pelepasan histamin.
2.6.3.3 Mivakurium
 Merupakan derivat Benzylisoquinoline
 Metabolisme: Oleh pseudocholinesterase.
 Reversal: Edrophonium lebih baik dibandingkan neostigmine
 Dosis: Intubasi 0,15-2mg/kgBB
 Efek samping:
-
Release histamin seperti atrakurium.
-
Penurunan tekanan darah pada dosis >0,15mg/kgBB

2.6.3.4 Doxacurium
 Merupakan derivate Benzylisoquinoline
 Merupakan long acting relaxant
 Hidrolisis rendah oleh plasma cholinesterase
 Ekskresi: Ginjal
 Dosis:
- Intubasi 0,05mg/kgBB durasi 5 menit
- Intraoperatif relaksasi 0,02mg/kgBB inisial
- diikuti dosis 0,005 mg/kgBB
 Efek samping: Tidak berefek sama sekali terhadap cardiovascular
maupun release histamin.

2.6.3.5 Pankuronium
 Aminosteroid bisquaternary.
 Menimbulkan pembebasan noradrenaline dan sebagian 30% dikeluarkan
melalui ginjal, 25% ke system bilier.
 Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
 Tidak menembus sawar darah otak
 Tidak menimbulkan efek penumpukan dalam tubuh dan mudah direverse
dengan neostigmine bersama SA
 Peningkatan 10-15% dari denyut jantung, tekanan arteri rata-rata dan
curah jantungg, efek sirkulasi minimum
 Pada sirosis hepatis perlu dosis yang lebih besar
 Hati-hati pada pasien dengan obstruksi saluran empedu
 Peningkatan denyut jaantung menggambarkan terjadinya blokade selektif
pada reseptor muskarinik jantung terutama pada nodus sinoatrial
 Perubahan pad ajantung menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
miokardial dan terjadinya iskemik miokadrium pada pasien dengan
gangguan arteri koroner.
 Dosis:
- 0,08mg/kgBB/IV
- Rumatan separuh dosis awal
- Pemeliharaan 0,1-0,2mg/kgBB/IV
 Efek Samping : Hipertensi dan tachycardia. Aritmia serta reaksi alergi.

2.6.3.6 Pipecuronium
 Steroid bisquaternary
 Metabolisme rendah, ekskresi 70% ginjal dan bilier 30%.
 Durasi meningkat pada pasien dengan gagal ginjal, tapi tidak dengan
kelainan hepar
 Sedikit lebih potensial dibanding pancuronium
 Dosis intubasi: 0,06-0,1mg/kgBB
 Efek samping: Efek cardiovascular lebih ringan karena sedikit yang
terikat dengan reseptor muskarinik pada jantung.
 Tidak berhubungan dengan pelepasan histamin.
 Onset dan durasi sama dengan pankuronium.
2.6.3.7 Vecuronium
 Monoquaternary relaxant
 Metabolisme oleh hepar, diekskresi primer oleh bilier dan sekunder oleh
ginjal
 Dosis: Intubasi 0,08-0,12 mg/kgBB dengan OOA 3-5 menit durasi 45-60
menit
 Bolus rata-rata 0,1mg/kgBB, infuse 0,2 mikrogram/kg/jam
 Kemasan suntik bubuk, 10mg/ml
 Efek samping: Tidak ada pengaruh terhadap sirkulasi, tidak ada efek
vagolitik
 Tidak ada pelepasan histamin

2.6.3.8 Rocuronium
 Monoquaternary steroid, analog dari vecuronium, rapid onset of action
 Eliminasi primer oleh hati dan sedikit oleh ginjal
 Durasi kerja tidak dipengaruhi ada atau tidaknya penyakit ginjal
 Durasi memanjang pada penyakit hati dan pada kehamilan
 Tidak ada metabolit aktif
 Pada pasien geriatric durasi lebih memanjang
 Potensial lebih sedikit dibanding muscle relaxant steroid lainnya
 Dosis 0,6-1mg/kgBB iv untuk intubasi dan 0,15mg/kgBB untuk
maintenance, OOA 1-menit dan DOA 30-45 menit
 Dosis besar dari rocuronium dibutuhkan untuk menghasilkan onset seperti
succinylcholine dan durasi menyerupai pancuronium (0,9-1,2mg/kgBB)
 Efek sirkulasi tekanan darah meningkat dan denyut jantung meningkat

Anda mungkin juga menyukai