Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS KECIL

SEPSIS MODS, INFEKSI SALURAN KEMIH

Pembimbing :
dr. Pugud Samudro, KEMD

Puspita Kurnia Wangi 1710221037


R. Siti Farahnur S 1710221016
Sendy Widyadiandini 1710221011
Amri Muzammil 1710221039

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018

BAB I
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. H
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sokanegara, RT 006/007 Purwokerto
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
No RM : 02068196
Tgl. Masuk RS : 12 Agustus 2018
Tgl Periksa : 16 Agustus 2018
Bangsal : Mawar Pria

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : demam, penurunan kesadaran
2. Keluhan tambahan : mual, pinggang sakit, kateter urin terdapat endapan
darah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam tinggi dan sulit
diajak berkomunikasi. Demam terjadi setelah pasien menjalani operasi
batu ginjal (ureterorenoscopy). Demam diikuti dengan keringat yang terus
menerus keluar dan diare cair berwarna kekuningan. Sejak demam pasien
sulit berkomunikasi dengan keluarga dan sulit makan. Selain itu nafas
pasien juga tidak teratur, dada berdebar, dan pasien mengatakan pusing
serta mual.
Saat pemeriksaan pasien mengeluh sesak napas, mual, demam, dan
pinggang sakit. Demam mereda sesaat diberikan paracetamol namun
demam kembali tinggi. Saat awal masuk rumah sakit, mual sangat terasa
hingga pasien tidak bisa makan, namun saat ini mual sudah membaik.
Pinggang sakit sudah dirasakan sejak operasi, dan saat ini pada kateter urin
terdapat endapan darah berwarna merah.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat stroke : disangkal
c. Riwayat maag : disangkal
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : diakui, nefrolithiasis post
ureterorenoscopy
g. Riwayat alergi ` : disangkal
h. Riwayat sakit kuning : disangkal
i. Riwayat penyakit paru : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi ` : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien merupakan seorang bapak yang tinggal bersama istri
dan anaknya. Rumah pasien berada di tempat cukup padat penduduk
dan sehari-hari pasien sering menghabiskan waktu untuk berjualan di
pasar.
b. Occupational
Pasien adalah seorang pedagang dengan aktifitas yang sangat
tinggi dan banyak menghabiskan aktifitas sehari-hari di luar rumah.

c. Personal Habit
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pedagang dengan aktivitas
yang tinggi, sepulang kerja pasien langsung kembali ke rumah.
Aktivitas sehari-hari berlangsung terus menerus seperti itu. Pasien
memiliki kebiasaan merokok dan meminum kopi.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Gelisah
BB : 66 kg
TB : 167 cm
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : TD : 110/65 mmhg
N : 66 x/menit
RR : 28 x/menit
S : 37.9 OC
Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris
Rambut : Warna hitam, mudah rontok (-), distribusi merata
Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-)
Konjunctiva : Anemis (-/-), SI (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut : Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir
kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-),
sariawan (-)
Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)
JVP : Dalam batas normal, 5+2 cmH2O

Status Lokalis
Paru-Paru
Inspeksi : Gerak hemithorax simetris, tidak terdapat ketinggalan
gerak, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus apex sinistra sama dengan apex dextra
Vocal fremitus basal sinistra sama dengan basal dextra
Perkusi : Sonor pada hemithorax dekstra dan sinistra
Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi basah kasar -/-, Ronkhi basah
halus -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC VI 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari medial LMCS, kuat
angkat (-)
Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah : SIC VI LPSD
Kiri bawah : SIC VIII, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di regio hipogastrik, undulasi (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
Ginjal : nyeri ketok kostovertebrae (+/+), nyeri tekan (+/+)

Extremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Kuku kuning - - - -
(ikterik)
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + +
Patela + +
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Hasil Hasil Nilai Rujukan


Tanggal 12/8/2018 13/8/2018 15/8/2018

Hemoglobin 13.0 10.0 L 11.7-15.5 g/dL


Leukosit 15.790 H 20.130 H 3.600-11.000 U/L
Hematokrit 37 L 29 L 35-47 %
Eritrosit 4.4 3.4 L 3.8-5.2 ^6/uL
Trombosit 269.000 372.000 150.000– 440.000 /uL
MCV 83.7 87.0 80-100 fL
MCH 29.3 29.6 26-34 Pg/cell
MCHC 35.0 34.0 32 – 36 %
RDW 13.2 14.2 11.5 – 14.5 %
MPV 11.0 10.7 9.4-12.3 fL
Basofil 0.5 0.2 0–1%
Eosinofil 0.1 L 0.7 L 2–4%
Batang 2.5 L 2.8 L 3–5%
Segmen 80.8 H 76.1 H 50 – 70 %
Limfosit 11.7 L 13.0 L 25 – 40 %
Monosit 4.4 7.2 2–8%
Anti HIV Non reaktif Non reaktif
HbsAg Non reaktif Non reaktif
Anti HCV Non reaktif Non reaktif
Albumin 1.87 L 2.11 L
Ureum 144.1 H 125.9 H
Kreatinin 5.98 H 4.27 H
GDS 136
Natrium 143 134 – 146 mmol/L
Kalium 4.3 3.4-4.5 mmol/L
Klorida 106 96 – 108 mmol/L

2. Pemeriksaan Urin Lengkap (13/8/2018)


 Kejernihan : keruh
 Eritrosit : 50
 Protein : 30
 Nitrit : (+)
 Leukosit : 500
 Sedimen eritrosit : >100
 Sedimen leukosit : >100
 Sedimen epitel : 1-3
 Bakteri : >30

E. DIAGNOSIS KERJA
1. Sepsis MODS
2. Riwayat ensefalopati
3. Renal failure related sepsis
4. Infeksi saluran kemih
5. Riwayat batu saluran kemih

F. TERAPI
- IVFD NaCl 0.9% 30 tpm
- Inj. Ciprofloxacin 200mg/12 jam
- Inj. Metil prednisolon 3x20 mg
- Inj. Omeprazole 1x1 amp
- Inf Albumin 20% 100 cc
- Sukralfat syr 3Xc1
- Paracetamol 3X500 mg tab
- Inf paracetamol 1 gr extra bila suhu >39
- Nocid 2x1 tab
- Diit lunak, mobilisasi bertahap

G. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Acute Kidney Injury (AKI)


II.1.1 Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) atau Acute Renal Failure (ARF),
didefinisikan sebagai penurunan fungsi filtrasi ginjal yang mendadak
atau cepat. Kondisi ini biasanya ditandai dengan peningkatan
konsentrasi kreatinin serum atau oleh azotemia (peningkatan
konsentrasi nitrogen urea darah [BUN]). Namun, segera setelah cedera
ginjal, kadar BUN atau kreatinin mungkin normal, dan satu-satunya
tanda cedera ginjal adalah penurunan produksi urin (Schrier et al.,
2004).
Kenaikan tingkat kreatinin dapat dihasilkan dari obat-obatan
(misalnya, cimetidine, trimethoprim) yang menghambat sekresi tubular
ginjal, sedangkan peningkatan kadar BUN juga dapat terjadi tanpa
cedera ginjal, yang dihasilkan dari sumber seperti perdarahan
gastrointestinal (GI) atau mukosa, penggunaan steroid, atau pemberian
loading protein. Oleh karena itu, pengamatan yang cermat harus
dilakukan sebelum menyimpulkan bahwa kindey injury ditemukan.
AKI dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori umum, sebagai
berikut:
a. Prerenal - Sebagai respon adaptif terhadap penurunan volume dan
hipotensi yang parah, dengan nefron yang utuh secara struktural
b. Intrinsik atau intra renal – Sebagai respon cytotoxic, iskemik, atau
peradangan pada ginjal, dengan kerusakan struktural dan
fungsional
c. Postrenal - Dari obstruksi sampai jalan pengeluaran urin

II.1.2 Etiologi

a. Pre Renal AKI


Prerenal AKI merupakan bentuk paling umum dari cedera
ginjal dan sering mengarah ke AKI intrinsik jika tidak segera
diperbaiki. Kehilangan volume dapat memicu sindrom ini; sumber
kehilangan bisa berasal dari GI tract, ginjal, atau kulit (misalnya
luka bakar) atau dari perdarahan internal atau eksternal. AKI
Prerenal juga dapat dihasilkan dari penurunan perfusi ginjal pada
pasien dengan gagal jantung atau syok (misalnya sepsis,
anafilaksis). Beberapa golongan obat dapat menginduksi AKI
prerenal, termasuk ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker
(ARB), yang dinyatakan ditoleransi dengan aman dan bermanfaat
pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Aminoglikosida, amfoterisin B, dan agen kontras radiologis juga
dapat menginduksi AKI. Vasokonstriksi arteriolar yang mengarah
ke AKI prerenal dapat terjadi pada keadaan hiperkalsemia, serta
dengan penggunaan agen radiokontras, NSAID, amfoterisin,
penghambat calcineurin, norepinefrin, dan agen pressor lainnya.
Sindrom hepatorenal juga dapat dianggap sebagai bentuk AKI
prerenal, karena gagal ginjal fungsional berkembang dari
vasokonstriksi difus pada pembuluh darah yang memasok ginjal
(Durand et al., 2015).
Secara singkat, penurunan volume dapat disebabkan oleh
hal-hal berikut:
1) Kehilangan dari ginjal - Diuretik, poliuria
2) Kehilangan dari GI tract - Muntah, diare
3) Kerusakan kulit - Luka bakar, sindrom Stevens-Johnson
4) Pendarahan
5) Pankreatitis
Penurunan curah jantung dapat disebabkan oleh hal-hal
berikut:
1) Gagal jantung
2) Embolus pulmonal
3) Infark miokard akut
4) Penyakit katup berat
5) Sindrom kompartemen perut – tense ascites
Vasodilatasi sistemik dapat disebabkan oleh hal-hal berikut:
1) Sepsis
2) Anafilaksis
3) Anestesi
4) Overdosis obat
Vasokonstriksi arteriol aferen dapat disebabkan oleh hal-
hal berikut:
1) Hiperkalsemia
2) Obat-obatan - NSAID, amfoterisin B, penghambat kalsineurin,
norepinefrin, agen radiokontras
3) Sindrom hepatorenal
Penyakit yang menurunkan volume darah arteri yang
efektif termasuk yang berikut:
1) Hipovolemia
2) Gagal jantung
3) Gagal hati
4) Sepsis
b. Intra Renal AKI
Cedera struktural di ginjal adalah ciri khas AKI intrinsik;
bentuk yang paling umum adalah Acute Tubular Necrosis (ATN),
baik iskemik maupun sitotoksik. Glomerulonefritis dapat menjadi
penyebab AKI dan biasanya jatuh ke dalam kelas yang disebut
sebagai glomerulonefritis rapid progress (RP). Glomerular
crescents (cedera glomerular) ditemukan di RP glomerulonefritis
pada biopsi; jika lebih dari 50% glomeruli mengandung crescents,
ini biasanya menghasilkan penurunan fungsi ginjal yang signifikan.
Meskipun relatif jarang, glomerulonephritides akut harus menjadi
bagian dari pertimbangan diagnostik dalam kasus AKI (Ngastiyah,
2011).
Secara singkat, penyebab secara vaskular (besar dan kecil)
dari AKI intrinsik termasuk sebagai berikut:
1) Obstruksi arteri ginjal - Trombosis, emboli, diseksi, vaskulitis
2) Obstruksi vena ginjal – Trombosis
3) Mikroangiopati - TTP, HUS, koagulasi intravaskular diseminata
(DIC), preeklampsia
4) Hipertensi maligna
5) Krisis ginjal skleroderma
6) Penolakan transplantasi
7) Penyakit Atheroembolic
8) Penyebab glomerulus termasuk yang berikut:
9) Anti-glomerular basement membrane (GBM) disease - Sebagai
bagian dari sindrom Goodpasture atau penyakit ginjal yang
terbatas
10) Anti-neutrophil cytoplasmic antibody (ANCA) -
glomerulonefritis terkait - granulomatosis dengan polyangiitis
(Wegener granulomatosis), eosinophilic granulomatosis dengan
polyangiitis (Churg-Strauss syndrome), polyangiitis
mikroskopik
11) Glomerulonefritis akut imun - Lupus, glomerulonefritis
pascainfeksi, cryoglobulinemia, glomerulonefritis
membranoproliferatif primer
Etiologi tubular mungkin termasuk iskemia atau sitotoksisitas.
Etiologi sitotoksik termasuk yang berikut:
1) Heme pigment - Rhabdomyolysis, hemolisis intravaskular
2) Kristal - Tumor lysis syndrome, kejang, keracunan etilen
glikol, megadosis vitamin C, asiklovir, indinavir, methotrexate
3) Obat-obatan - Aminoglikosida, litium, amfoterisin B,
pentamidin, cisplatin, ifosfamide, agen radiokontras
Penyebab interstisial meliputi yang berikut (Rennie et al.,
2018):
1) Obat-obatan - Penicillin, sefalosporin, NSAID, penghambat
pompa proton, allopurinol, rifampisin, indinavir, mesalamine,
sulfonamide
2) Infeksi - Pielonefritis, viral nephritides
3) Penyakit sistemik - sindrom Sjögren, sarkoid, lupus, limfoma,
leukemia, tubulonefritis, uveitis
c. Post Renal AKI
Obstruksi mekanis sistem pengumpulan kemih, termasuk
pelvis ginjal, ureter, kandung kemih, atau uretra, menghasilkan
uropati obstruktif atau AKI postrenal. Penyebab obstruksi termasuk
yang berikut:
1) Penyakit batu
2) Penyempitan
3) Tumor intraluminal, ekstraluminal, atau intramural
4) Thrombosis atau hematoma kompresif
5) Fibros
Jika lokasi obstruksi unilateral, maka peningkatan kadar
kreatinin serum mungkin tidak jelas, karena fungsi ginjal
kontralateral yang diawetkan. Namun demikian, bahkan dengan
obstruksi unilateral terjadi kehilangan GFR yang signifikan, dan
pasien dengan obstruksi parsial dapat mengalami kehilangan GFR
progresif jika obstruksi tidak hilang.
Obstruksi bilateral biasanya merupakan akibat dari
pembesaran prostat atau tumor pada pria dan tumor urologis atau
ginekologi pada wanita. Pasien yang mengalami anuria biasanya
mengalami obstruksi pada tingkat kandung kemih atau di hilir
(Lutfullah et al., 2005).
Penyebab AKI postrenal termasuk sebagai berikut:
1) Obstruksi ureter - Penyakit batu, tumor, fibrosis, ligasi selama
operasi panggul
2) Obstruksi leher kandung kemih - Benign prostatic hypertrophy
(BPH), kanker prostat (CA prostate atau prostatic CA),
kandung kemih neurogenik, antidepresan trisiklik, ganglion
blocker, tumor kandung kemih, penyakit batu, hemoragi /
bekuan
3) Obstruksi uretra - Strictures, tumor, phimosis
4) Hipertensi intra-abdomen - Asites tegang
5) Trombosis vena ginjal
Penyakit yang menyebabkan obstruksi urin dari tingkat
tubulus ginjal ke uretra termasuk yang berikut:
1) Obstruksi tubular dari kristal - Misalnya, asam urat, kalsium
oksalat, asiklovir, sulfonamid, metotreksat, rantai ringan
mieloma
2) Obstruksi ureter - Retroperitoneal tumor, retroperitoneal
fibrosis (methysergide, propranolol, hydralazine), urolithiasis,
atau nekrosis papillary
3) Obstruksi uretra - hipertrofi prostat jinak; kanker prostat, leher
rahim, kandung kemih, atau kolorektal; hematoma kandung
kemih; batu kandung kemih; kateter Foley terhalang; kandung
kemih neurogenik; penyempitan
II.1.3 Patofisiologi
Kekuatan pendorong untuk filtrasi glomerulus adalah gradien
tekanan dari glomerulus ke ruang Bowman. Tekanan glomerulus
terutama tergantung pada aliran darah ginjal (RBF) dan dikendalikan
oleh resistensi gabungan arteri aferen renal dan eferen. Terlepas dari
penyebab AKI, pengurangan RBF merupakan jalur patologis umum
untuk menurunkan laju filtrasi glomerulus (GFR). Etiologi AKI terdiri
dari 3 mekanisme utama: prerenal, intrinsik, dan obstruktif.
Pada gagal prerenal, GFR ditekan oleh perfusi ginjal yang
terganggu. Fungsi tubular dan glomerular tetap normal.
Gagal ginjal intrinsik termasuk penyakit ginjal itu sendiri,
terutama mempengaruhi glomerulus atau tubulus, yang berhubungan
dengan pelepasan vasokonstriktor aferen ginjal. Cedera ginjal iskemik
adalah penyebab paling umum gagal ginjal intrinsik. Pasien dengan
penyakit ginjal kronis juga dapat hadir dengan AKI yang
ditumpangkan dari kegagalan prerenal dan obstruksi, serta penyakit
ginjal intrinsik.
Obstruksi saluran kemih awalnya menyebabkan peningkatan
tekanan tubular, yang menurunkan gaya penggerak filtrasi. Tekanan
gradien ini segera menyetarakan, dan pemeliharaan GFR yang tertekan
kemudian tergantung pada vasokonstriksi eferen ginjal.
a. Penurunan Perfusi Ginjal
Depresi Renal Blood Flow (RBF) akhirnya menyebabkan
iskemia dan kematian sel. Ini mungkin terjadi sebelum hipotensi
sistemik hadir dan disebut sebagai AKI iskemik normotensif.
Ischemic awal memicu produksi radikal bebas oksigen, sitokin dan
enzim; aktivasi endotel dan adhesi leukosit; aktivasi koagulasi; dan
inisiasi apoptosis. Kejadian ini terus menyebabkan cedera sel
bahkan setelah restorasi RBF.
Kerusakan sel tubular menyebabkan gangguan sambungan
yang ketat antar sel, memungkinkan kembali kebocoran filtrat
glomerulus dan lebih menekan GFR efektif. Selain itu, sel-sel
sekarat terbawa ke dalam tubulus, membentuk cast yang
menghalangi, yang selanjutnya menurunkan GFR dan
menyebabkan oliguria.
Selama periode RBF yang mengalami depresi ini, ginjal
sangat rentan terhadap penghinaan lebih lanjut; ini adalah ketika
cedera ginjal iatrogenik paling sering terjadi. Berikut ini adalah
kombinasi umum:
1) Agen radiokontras, aminoglikosida, atau pembedahan
kardiovaskular dengan penyakit ginjal yang sudah ada
sebelumnya (misalnya pasien usia lanjut, diabetes, ikterus)
2) Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan
diuretik, penyakit arteri ginjal kecil atau besar
3) NSAID dengan gagal jantung kronis, hipertensi, atau stenosis
arteri ginjal
b. Acute Tubular Necrosis
Nekrosis Frank tidak menonjol dalam kebanyakan kasus
manusia dengan Acute Tubular Necrosis dan cenderung kurang
lengkap. Cedera yang tidak terlalu jelas termasuk yang berikut
(lihat gambar di bawah):

Gambar 1.1 Acute Tubular Necrosis


1) Hilangnya garis batas
2) Epitel yang mendatar
3) Sel yang lepas
4) Pembentukan cast intratubular
5) Dilatasi lumen

Meskipun perubahan ini diamati terutama di tubulus


proksimal, cedera pada nefron distal juga dapat ditunjukkan. Selain
itu, nefron distal dapat terhambat oleh sel-sel yang mengalami
desquamated dan debris seluler.
c. Apoptosis
Berbeda dengan nekrosis, tempat utama kematian sel
apoptosis adalah nefron distal. Selama fase awal cedera iskemik,
hilangnya integritas dari sitoskeleton aktin menyebabkan perataan
epitel, dengan hilangnya batas kuas, hilangnya kontak sel fokal,
dan pelepasan sel berikutnya dari substratum yang mendasari.
d. Respon Inflamasi
Banyak faktor pertumbuhan endogen yang berpartisipasi
dalam proses regenerasi setelah cedera ginjal iskemik belum
teridentifikasi. Namun, administrasi faktor pertumbuhan secara
eksogen telah terbukti memperbaiki dan mempercepat pemulihan
dari AKI.
Menipisnya neutrofil dan penyumbatan adhesi neutrofil
mengurangi cedera ginjal setelah iskemia, menunjukkan bahwa
respon inflamasi bertanggung jawab, sebagian, untuk beberapa
fitur ATN, terutama pada cedera setelah trauma setelah
transplantasi.
e. Vasokonstriksi
Vasokonstriksi intrarenal adalah mekanisme dominan untuk
mengurangi GFR pada pasien dengan ATN. Mediator vasokonstriksi ini
tidak diketahui, tetapi cedera tubular tampaknya menjadi temuan
bersamaan yang penting. Backflow urin dan obstruksi intratubular (dari
sel-sel yang terkelupas dan puing-puing) adalah penyebab berkurangnya
ultrafiltrasi bersih. Pentingnya mekanisme ini disorot oleh peningkatan
fungsi ginjal yang mengikuti relief obstruksi intratubular tersebut.
Selain itu, ketika obstruksi berkepanjangan, vasokonstriksi
intrarenal menonjol sebagian karena mekanisme umpan balik
tubuloglomerular, yang dianggap dimediasi oleh adenosin dan diaktifkan
ketika ada kerusakan tubulus proksimal dan makula densa disajikan
dengan peningkatan beban klorida.
Terlepas dari peningkatan nada vaskular renal basal,
mikrovaskulatur ginjal yang stres lebih sensitif terhadap obat-obat
vasokonstriksi potensial dan perubahan tekanan darah sistemik yang
ditolerir. Vaskulatur dari ginjal yang terluka memiliki respon vasodilatasi
yang terganggu dan kehilangan perilaku autoregulatorinya.
Fenomena yang terakhir ini memiliki relevansi klinis yang
penting karena pengurangan tekanan sistemik yang sering selama
hemodialisis intermiten dapat menimbulkan kerusakan tambahan yang
dapat menunda pemulihan dari ATN. Seringkali, cedera menghasilkan
glomeruli atubular, di mana fungsi glomerulus dipertahankan, tetapi
kurangnya keluarnya tubular menghalangi fungsinya.
f. Isosthenuria
Tanda-tanda fisiologis ATN adalah kegagalan untuk
mencairkan atau berkonsentrasi urin secara maksimum
(isosthenuria). Cacat ini tidak responsif terhadap dosis
farmakologis vasopresin. Ginjal yang terluka gagal menghasilkan
dan mempertahankan gradien zat terlarut meduler yang tinggi,
karena akumulasi zat terlarut di medula tergantung pada fungsi
nefron distal normal.
Kegagalan untuk mengekskresikan urin terkonsentrasi
bahkan di hadapan oliguria adalah petunjuk diagnostik yang
membantu dalam membedakan prerenal dari penyakit ginjal
intrinsik. Pada azotemia prerenal, osmolalitas urine biasanya lebih
dari 500 mOsm / kg, sedangkan pada penyakit ginjal intrinsik,
osmolalitas urin kurang dari 300 mOsm / kg.
II.1.4 Diagnosis
Kriteria RIFLE
Kriteria bertujuan untuk mengklasifikasikan AKI dengan
menghubungkannya dua sindrom yang sering terjadi di ICU yaitu
sepsis dan acute respiratory distress syndrom (ARDS) (Rahardjo,
2014). Kriteria RIFLE terdiri atas tiga stadium berdasarkan derajat
keparahan yaitu risk, injury dan failure serta dua variabel luaran yaitu
loss dan penyakit stadium akhir (end stage) yang berhubungan dengan
durasi hilangnya fungsi ginjal yaitu empat minggu dan tiga bulan
(Santos, 2009).
a. Risiko (Risk)
Risk didefinsikan sebagai penurunan LFG lebih dari 25%
atau pengeluaran urin kurang dari 0,5 mL/kgbb/jam selama lebih
dari 6 jam, atau peningkatan kreatinin serum lebih dari 0,3 mg/dL
(26,5 μmol/L) (Biesen, 2006). Hoste et al. (2006) mendapatkan
sekitar 28% pasien kritis (critically ill) tergolong pada stadium ini.
Pada pengukuran kreatinin kadang tedapat perbedaan dalam
berbagai metode pengukurannya. Kelemahan stadium ini berupa
kerancuan penilaian klinis pada pasien pengguna diuretik serta
kegagalan mendeteksi AKI pada pasien tanpa oligouria (Srisawat,
2010).
b. Kerusakan (Injury)
Stadium injury didefinisikan sebagai penurunan kadar
kreatinin serum ataupun penurunan diuresis kurang dari 0,5
mL/kgbb/ jam selama lebih dari 12 jam. Sekitar 50% pasien
dengan stadium ini dapat berkembang ke arah stadium gagal ginjal
(Ricci, 2008). Pada stadium ini dapat menentukan etiologi antara
pre-renal dan renal (Srisawat, 2010). Keadaan hipoperfusi yang
lama menyebabkan timbulnya nekrosis tubular, dengan
mengembalikan volume plasma akan mencegah perburukan
kerusakan yang terjadi (Andreoli, 2009).
c. Kegagalan (failure)
Failure didefiniskan sebagai LFG lebih dari 75% atau
diuresis kurang dari 0,3 mL/kgbb/jam selama lebih dari 24 jam
atau keadaan anuria lebih dari 12 jam. AKI dapat juga ditentukan
berdasarkan peningkatan kreatinin serum > 4mg/dL dengan
peningkatan 0,5 mg/dL (42,4 μmol/L) yang terjadi secara akut
(Ricci, 2008). Kebutuhan akan RRT meningkat pada stadium ini
sampai lebih dari 50% dibandingkan dengan stadium I dan R
(Bagshaw, 2008)
d. Loss – Gagal Ginjal Akut persisten, kehilangan fungsi ginjal
lengkap > 4 minggu
e. End Stage Renal Disease – Kehilangan fungsi ginjal > 3 bulan
II.1.5 Manajemen
Pemeliharaan homeostasis volume dan koreksi kelainan
biokimia tetap menjadi tujuan utama pengobatan AKI dan mungkin
termasuk langkah-langkah berikut:
a. Koreksi kelebihan cairan dengan furosemide
b. Koreksi asidosis berat dengan pemberian alkali, yang dapat
penting sebagai jembatan untuk dialisis
c. Koreksi hiperkalemia yang mengancam jiwa
d. Koreksi kelainan hematologi (misalnya, anemia, disfungsi
trombosit uremik) dengan langkah-langkah seperti transfusi sel
darah merah atau trombosit dan pemberian desmopresin atau
estrogen
e. Perubahan pola makan adalah aspek penting dari perawatan AKI.
Pembatasan garam dan cairan menjadi penting dalam
penatalaksanaan gagal ginjal oliguria, di mana ginjal tidak cukup
mengeluarkan racun atau cairan.
f. Pengobatan farmakologis AKI telah dicoba secara empiris,
dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi.

II. 2 Gagal Ginjal Kronik


II. 2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal dan ditandai dengan adanya uremia (Daugridas,
2000).
II. 2.2 Kriteria
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002):
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
II. 2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang


dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai
berikut :

*) pada perempuan dikalikan 0.85


Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
diabetes sistemik, obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

II. 2.4 Etiologi


Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah
diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%).
Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada
organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan
dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol
akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi.
Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara
lain :
- Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat
menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal.
Merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik.
- Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%)
menyebabkan pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar,
dan asidosis tubulus.
- Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam
rahim si ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga
terjadi aliran balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan
kerusakan pada ginjal.
- Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%).
- Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor,
pembesaran glandula prostat pada pria danrefluks ureter.
- Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
- Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal.
- Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis
arteri renalis.
- Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell,
penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan
kanker (Havens, 2005).
II. 2.5 Faktor Resiko
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih
dari 50 tahun, individu dengan riwayat diabetes melitus, hipertensi
dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan populasi yang
memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African
Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan
American Indians (Jonathan, 2005).
II. 2.6 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk
pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di
Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara berkembang
lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta
penduduk pertahun (NKF,2006).
II. 2.7 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal
kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron
yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan
jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami
peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan
hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian
seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang
berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal
Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut.
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan
penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses
pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan
penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan
penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang
sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik
pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah
menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari
dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis
- Sesak nafas
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik
ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang
terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan
retensi NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) 
volume cairan berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa darah ke
perifer  LVH  peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan
tekanan vena pulmonalis  peningkatan tekanan di kapiler paru 
edema paru  sesak nafas
- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai
dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma.
Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi
penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron,
penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui
urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis
metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran
cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala
khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang
timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida
untuk mengurangi keparahan asidosis
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik
ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang
terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki
efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak
bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di
dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan
menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi
akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran
hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi
natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk
disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat.
Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan
menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan
hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat
sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika
kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk
membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang
terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut
menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.
Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar
paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang.
Akibatnya terjadi demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH
mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah
dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi
mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak
berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan
sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya
konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma
tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap
berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini,
kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan
lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia
adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme
sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang,
juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah
dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan
di organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga
berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral.
Biasanya hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus.
Namun karena terjadi penurunan kalsitriol, maka menyebabkan
menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat keadaan
hipokalsemia
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –
sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma.
Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan
peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan
berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari
kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung,
rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan
hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan
kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan
hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit
ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme
menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu
terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran
besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati
membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom
nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari
uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal
sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin
dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang
mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus
ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka
gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala
iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti
amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis
uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum
yang sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum (NKF,2006).
II. 2.8 Diagnosis
a. Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara
perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi
ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan
dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi
peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang
melibatkan kelainan berbagai organ seperti :
- Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan
fetor uremik.
- Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit.
- Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah.
- Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada,
edema.
- Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti,
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan
pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di
bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Sherwood,2001).
b. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG.
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik.
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,
cast, isostenuria (Sudoyo,2009).
c. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak.
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi.
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
d. Biopsi Dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih
mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas (Sudoyo,
2009).
II. 2.9 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik
sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal
kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat
dalam mencegah penyakit ginjal adalah:
- Pengobatan hipertensi, memegang prinsip yaitu
semakin rendah tekanan darah
maka semakin kecil risiko penurunan fungsi ginjal. Idealnya
adalah < 130/80 mmHg.
- Monitor dan pengendalian gula darah, lemak darah, dan
anemia. Guladarah harus rutin diperiksa. Selain itu, menjaga
berat badan agar tetap
ideal, mengatur pola makan yang bergizi serta restriksi kalori
dibutuhkan sebagai langkah awal pencegahan. Konsumsi obat
diabeticoral diperlukan apabila kadar glukosa darah sewaktu
>200. Selain itu,penggunaan obat golongan statin berperan
dalam menurunkan jumlah kolesterol didalam darah.
Pemberian suplemen zat besi dan vitamin juga diperlukan
untuk mencegah terjadinya anemia berat.
- Modifikasi gaya hidup, seperti berhenti merokok, peningkatan
aktivitas fisik, maupun penurunan berat badan apabila
mengalami overweight atau obesitas. Memilih untuk tidak
merokok dapat menurunkan kemungkinan terkena penyakit
gagal ginjal kronik sebesar 30%.
- Mengkonsumsi makanan bergizi dan atur pola makan.
Mengurangi konsumsi garam, mengurangi makanan yang
mempunyai kadar kaloritinggi dan makanan berlemak
disarankan untuk menjaga agar berat badan tetap ideal.
II. 2.10 Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai
komplikasi sebagai berikut :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik (Sudoyo, 2009)
II. 2.11 Penatalaksanaan

Gambar 3. Penatalaksanaan GGK

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :


1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG. Bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan
penurunan LFG untuk mngetahui kondisi komorbid yang
dapat memperburuk keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam
tubuh tetapi di pecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal selain itu
makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lainnya dan mengakibatkan sindrom uremia.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan
pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
- Pasien nondialisis 0,6-0,75 gram/kgBB/hr sesuai CCT dan
toleransi pasien.
- Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari.
- Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari (Jonatahan,
2005)

Tabel. 1. Asupan Protein Pasien GGK


Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat
Pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 – 60 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr nilai biologi
tinggi
5 -25 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr protein nilai
biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam amino
esensial atau asam keton
<60(sind.nefrotik) 0,8/kg/hari (+1 gr protein/ g < 9 g
proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton
o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian
obat antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat
untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan mengurangi hipertensi intraglomerular dan
hipertrofi glomerulus
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi,
pengedalian dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
- Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin
< 10 g% atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap
status besi ( kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat
besi total/ total iron binding capacity, feritin serum),
mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran
hemoglobin adalah 11 – 12 g/dl.
- Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
 Mengatasi hiperfosfatemia
a) Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari.
b) Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium,
alluminium hidroksida, garam magnesium. Diberikan
secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak
dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium
acetate
c) Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat
menghambta reseptor Ca pada kelenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida.
 Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali
normal karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan
kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan
penumpukan garam calcium carbonate di jaringan yang
disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid.
 Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya
edema dan kompikasi kardiovaskular sangat perlu
dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 – 800 ml
ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi
asuapannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat
– obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi
kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar
kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan
edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan
dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang
terjadi.
 Pengaturan asupan kalori : 35 kal/kgBBideal/hari.
 Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas
jenuh dan tak jenuh.
 Pengaturan asupan KH : 50-60% dari total kalori.
 Garam NaCl : 2 -3 gr/hari.
 Kalsium : 1400-1600 mg/hari.
 Besi : 10 -18 mg/hari.
 Magnesium : 200 –300 mg/hari.
 Asam folat pasien HD : 5 mg.
6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG < 15 ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal. Tindakan terapi dialisis tidak
boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi
absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5
dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat.
Indikasi dialisis adalah :
- Uremia > 200 mg%
- Asidosis dengan pH darah < 7,2
- Hiperkalemia > 7 meq/ liter
- Kelebihan / retensi cairan dengan taanda gagal jantung /
edema paru
- Klinis uremia, kesadaran menurun ( koma )
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi (Rahardjo, 2012).
II. 2.12 Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya
untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu,
biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai
tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya
seringkali terlambat ( NYNKF,2002).
II. 3 Infeksi Saluran Kencing (ISK)
II.3.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection
(UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran
kemih (Agus Tessy, 2001). Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu
keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih(Enggram, Barbara,
1998). Infeksi saluran kemih dapat mengenai baik laki-laki maupun
perempuan dari semua umur baik pada anak-anak, remaja, dweasa
maupun umur lanjut. Akan tetapi dari dua jenis kelamin tersebut ternyata
wanita lebih sering terkena dari pada pria dengan angka populasi umur
kurang lebih 5-15%. Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari
saluran perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama scherichia
coli : rtesiko dan beratnya meningkat dengan kondiisi seperti refluks
vesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan,
pemakaian instrumen uretral baru, septikemia. (Susan Martin Tucker,
dkk, 1998). Infeksi traktus urinarius pada pria merupakan akibat dari
menyebarnya infeksi yang berasal dari uretra seperti juga pada wanita.
Namun demikian, panjang uretra dan jauhnya jarak antara uretra dari
rektum pada pria dan adanya bakterisidal dalam cairan prostatik
melindungi pria dari infeksi traktus urinarius. Akibatnya UTI pada pria
jarang terjadi, namun ketika gangguan ini terjadi kali ini menunjukkan
adanya abnormalitas fungsi dan struktur dari traktus urinarius

II. 3.2 Patofisiologi dan etiologi Ifeksi Saluran Kemih


Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya
mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme
ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat,
hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending
dan hematogen. Secara asending yaitu:
• Masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor
anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada
laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine
saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius
(pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang
terinfeksi.

• Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal


Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system
imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara
hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan
fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen,
yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi
kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan
lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena
adanya:

• Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan


kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
• Mobilitas menurun

• Nutrisi yang sering kurang baik

• System imunnitas yng menurun

• Adanya hambatan pada saluran urin

• Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.


Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut
mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan
nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap
invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan
bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi
ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar
ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi
predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih
proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan
dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses.
Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu,
neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-
laki diatas usia 60 tahun.
• Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:

• Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)


• Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
• Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-
lain.
• Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
• Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat
pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
• Mobilitas menurun
• Nutrisi yang sering kurang baik
• Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
• Adanya hambatan pada aliran urin

• Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat (Price, 2010).

II. 3.3 Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih

Gejala – gejala dari infeksi saluran kemihsecara umum sering meliputi:

• Gejala yang terlihat, sering timbulnya dorongan untuk berkemih

• Rasa terbakar dan perih pada saat berkemih

• Seringnya berkemih, namun urinnya dalam jumlah sedikit (oliguria)

• Adanya sel darah merah pada urin (hematuria)

• Urin berwarna gelap dan keruh, serta adanya bau yang menyengat dari
urin

• Ketidaknyamanan pada daerah pelvis renalis

• Rasa sakit pada daerah di atas pubis

• Perasaan tertekan pada perut bagian bawah

• Demam

• Pada wanita yang lebih tua juga menunjukkan gejala yang serupa, yaiu
kelelahan, hilangnya kekuatan, demam

• Sering berkemih pada malam hari

Tidak setiap orang dengan infeksi saluran kemih dapat dilihat tanda –
tanda dan gejalanya, namun umumnya terlihat beberapa gejala,
meliputi:

• Desakan yang kuat untuk berkemih


• Rasa terbakar pada saat berkemih

• Frekuensi berkemih yang sering dengan jumlah urin yang sedikit


(oliguria)

• Adanya darah pada urin (hematuria)

Gejala – gejala dari infeksi saluran kemih secara spesifik sering meliputi :
• Pyelonephritis akut.
Pada tipe ini, infeksi pada ginjal mungkin terjadi setelah meluasnya
infeksi yang terjadi pada kandung kemih. Infeksi pada ginjal dapat
menyebabkan rasa salit pada punggung atas dan panggul, demam
tinggi, gemetar akibat kedinginan, serta mual atau muntah.
• Cystitis.
Inflamasi atau infeksi pada kandung kemih dapat dapat menyebabkan
rasa tertekan pada pelvis, ketidaknyamanan pada perut bagian bawah,
rasa sakit pada saat urinasi, dan bau yang mnyengat dari urin.
• Uretritis.
Inflamasi atau infeksi pada uretra menimbulkan rasa terbakar pada saat
urinasi. Pada pria, uretritis dapat menyebabkan gangguan pada penis
(Tessy Agus, 2001).
• Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisis

• Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya


ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang
pandang besar (LPB) sediment air kemih
• Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment
air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik
berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
Bakteriologis

• Mikroskopis
• Biakan bakteri
Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
• Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari
urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap
sebagai criteria utama adanya infeksi.
Metode tes
• Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes
Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka
psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika
terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
• Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritis akut akibat organisme menular secara seksual
(misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes
simplek).
• Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan
ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan
apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius,
adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau
hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic,
sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten
(Tessy Agus, 2001).
II. 3.4 Penatalaksanaan Medik
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens
antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus
urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan
atas:
• Terapi antibiotika dosis tunggal
• Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
• Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
• Terapi dosis rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko
kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri
persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika
muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan
sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole
(gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim,
septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E.
Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic
urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan
akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina
adanya:
• Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
• Interansi obat
• Efek samping obat
• Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui
ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal
ginjal:
• Efek nefrotosik obat
• Efek toksisitas obat (Tessy Agus, 2001).

Tabel 4. Pilihan Antibiotik untuk Terapi Infeksi Saluran Kemih


dari Panduan Penatalaksanaan Infeksi pada Traktus
Genitalis dan Urinarius

Kelas Antibiotik Dosis Rute


Beta-laktam Amoksisilin 250-500 mg tid oral
Ampisilin 250-500 mg qid oral
Ampisilin 1000 mg qid iv
amoksisilin/clavulanat 500mg tid atau 125 mg oral
bid
ampisilin/sulbactam 3 gram qid iv
sefotaksim 1-2 gram q4-12 h iv
seftriakson 1-2 gram qd iv
Sefepim 1-2 gram q12 h iv
sefadroksil 500 mg bid oral/iv
piperasilin/tazobactam 2,5-4,5 gram q6-8 h iv
piperasilin 2 gram bid iv
Amikasin 15 mg/kg qd iv
Sulfonamida trimethoprim 100 mg bid/200mg qd oral
trimethoprim- 160/800mg bid oral
sulfametoksazol
Quinolon siprofloksasin 500-750mg bid oral
400 mg bid iv
Ofloksasin 200-400 mg bid oral/iv
levofloksasin 250-750mg bid oral/iv
aminoglikosida gentamisin 2 - 7 mg/kg
lain-lain nitrofuration 100 mg qid oral
fosfomisin 300 mg satu dosis
imipenem/cilastatin 500mg q6h iv
ertapenem 1gram qd iv
meropenem 1 gram tid iv
DAFTAR PUSTAKA

Daugridas, JT. Cronic Hemodyalisis Prescription : A Urea Kinetic Approach.


Daugirdas JT, Ing TS (Eds) Handbook of Dialysis 3dh edition by
Lippincott Williams and Willkins Publisers 2000 : 12-47.
Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I
Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.
Guyton, A. C. & Hall, J. E., 1997, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 9. EGC,
Jakarta.
Havens, L. & Terra, R. P, 2005, Hemodialysis. Terdapat pada:
http://www.kidneyatlas.org.
Jonathan Himmelfarb, MD. Hemodialysis Complications. American Journal of
Kidney Disease, vol 45, No.6 (June); 2005: pp 1125-1131.
NKF, 2006, Hemodialysis. Terdapat pada: http://www.kidneyatlas.org.
PERNEFRI, 2003, Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian
Ilmu Penyakit dalam. FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Price, Sylvia Andrson. (2010). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih
Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC
Rahardjo P., Susalit E., Suhardjono, 2012. Hemodialisis. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi IV. Interna Publishing, Jakarta.
Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.
Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi
Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai