c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan)
LO1.4 Klasifikasi
Berdasarkan Berat
a) Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT- scan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner Choi, Barnes, 1999).
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi
neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya
(Smeltzer, 2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15
(sadar penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,
hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah
cedara otak karena tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera
kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya
kesadaran sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat
rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L (Parenrengi, 2004).
b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-
scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi,
2004).
c) Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66%
cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala
berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder
apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan (Parenrengi,
2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental
menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan peningkatan
titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini
mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al., 1986).
Penderita cedera kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat
3,25 mmol/L (Parenrengi, 2004)
Berdasarkan Morfologi
a) Fraktur Kranium
b. Fraktur Diastase
Adalah fraktur yang terjai pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura
kranial. Sering terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.
c. Fraktur communited
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur
d. Fraktur Depressed
Adalah fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur tergeer
dibawah tingkat dari tabula interna tulang tengkorak utuh sekelilingnya. Fraktur
jenis ini terjadi bila energi benturan relatif besar terhadap area benturan yang
relatif kecil, misalnya benturan oleh kayu, batu, pipa besi, martil. Pada gambaran
radiologis akan terlihat suatu area ‘double density’ lebih radio opaq karena ada
bagian tulang yang tumpang tindih.
2) Basilar
Yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posteriornya dibatasi oleh os. Sphenoid, prosessus clinoidalis anterior dan
jugum sphenoidalis
Manifestasi klinisnya :
Ekimosis periorbita bisa bilateral dan disebut brill hematoma atau racoon
eyes,anosmia jika cedera melibatkan N. Olfctorius, Rhinorea.
b. Fraktur basis cranii Foss Media
Bagian anteriornya langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian
posteriornya dibatasi oleh yamida os petrosus, os tempoalis, prosesus clinoidalis
posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinisnya : ecchimosis pada mastoid
(battle’s sign), otorrhea, hemotympanum (bila membran tympaninya robek),
kelumpuhan N.VII dan N. VIII (hal ni terutama terjadijika garis frakturnya
transversal terhadap aksis pyramida petrosus). Carotid-cavernosusfistula (CCF)
yang ditandai dengan chymosis, sakit kepala, adanya bruit, exophtalmus yang
berdenyut.
c. Fraktur Basis Cranii Fossa posterior
Merupakan dasar ari kompartment infratentorial. Sering tidak disertai gejala dan
tanda yang jelas, tetapi dapat segera menyebabkan kematian karena penekanan
terhadap batang otak. Kadang-kadang terdapat
battle’s sign
Lesi Intrakranial
1). Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-
bagian tertentu dari otak, bergantung pada
mekanisme cedera yang terjadi.
a. Epidural Hematom (EDH)
Relatif jarang (± 0,5 %) dari semua cedera otak dan
9 % dari penderita yang mengalami koma. EDH terletak di luar dura tetapi di
dalam rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan
biasanya disebabkan oleh robeknya a. Meningea media akibat fraktur tulang
tengkorak. A. Meningea media ini masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os
temporale. Pada fase awal biasanya penderita tidak menunjukkan gejala dan
tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil anisokor,
bahkan pelebaran pupil unilateral akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
akan menjadi negatif. Pada tahap akhir, kesadaran akan menurun sampai koma
dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua
pupil tidak menunjkkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Ciri
khas hematom epidural murni adalah adanya lucid interval. Tapi jika disertai
cedera pada otak, lucid interval tidak akan terlihat. Lucid interval adalah hilangya
kesadaran pada awal trauma, kemudian pasien sadar lagi (tenang) dan disusul dgn
koma. EDH ini
merupakan
emergensi
bedah saraf.
Terapinya
hanya dengan
operasi.
b. Subdural
Hematom ini disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena
didalam ruang arachnoid (vena-vena kecil di permukaan korteks serebri).
Pembesaran hematom akibat robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Lebih
sering terjadi (30 % cedera kepala berat) akibat robeknya. Biasanya perdarahan
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Hemtom subdural dibagi menjadi
hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai hari ketiga,
subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila
timbul sesudah minggu ketiga. Hematom subdural akut dan kronik memberikan
gambaran klinis suatu proses desak ruang (space occupying lession)
yangprogresif sehingga tidak jarang diangap sebagai neoplasma atau demensia.
Penanggulangannya terdiri atas trepanasi dan evekuasi hematom. Biasanya
kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dari
EDH.
Mengeluarkan Mengeluarkan
2 Mengeluarkan suara
suara lemah suara lemah
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada resp
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran
LO1.8 Tatalaksana
(Skema Triase)
GCS 8
Ya Tidak
P / M unekual
Ya
Kelola Gadar
CT Cito
Tidak
C-Kepala
terbuka
Ya
Tidak
Neurologi
Normal
Tidak
Ya
TS - / 5” /
Risiko
Ya
Pulang + Pesan
Tidak
Kelola Gadar
CT Elektif
a) Primary Survey
(1) Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera
servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma.
(2) Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil
pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor
saturasi O2 (target > 98%).
(3) Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus segera
distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian cairan untuk
mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300 ml RL/100 mL
darah yang hilang).
(4) Disability (Penilaian neurologis cepat)
Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :
A = alert.
V = respon terhadap rangsangan verbal.
P = respon terhadap rangsangan nyeri.
U = tidak ada respon.
Pupil :
1. Ukuran.
2. Reaksi cahaya.
(5) Exposure
Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.
b) Secondary Survey
1. Cedera Kepala Ringan
(1) Riwayat :
Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera,
tingkat kewaspadaan
Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang
atau berat)
(2) Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
(3) Pemeriksaan neurologis
(4) Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi
(5) Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin
(6) CT-Scan
(7) Kriteria Rawat :
Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )
Riwayat kehilangan kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktur tengkorak
Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab
CT-Scan Abnormal atau tidak ada
Semua cedera tembus
(8) Kriteria pemulangan
Tidak memenuhi kriteria rawat
Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan
memburuk dan berikan lembaran observasi
Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)
2. Cedera Kepala Sedang
(1) Pemeriksan Awal :
(2) Sama dengan cedera kepala ringan tapi ditambah pemeriksaan darah
sederhana dan EKG
(3) Pemerksaan CT-Scan untuk semua kasus dirawat untuk observasi
(4) Setelah dirawat :
Pemeriksan neurologis periodik (tiap setengah jam)
CT-Scan ulang pada hari ke-3 atau lebih awal bila ada
perburukan atau akan dipulangkan
Bila kondisi membaik (90%), dipulangkan dan kontrol
dipoliklinik biasanya 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu
1 tahun setelah cedera
Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan
penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat
3. Cedera Kepala Berat
(1) Riwayat :
Usia, jenis, dan saat kecelakaan.
Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
Perjalanan neurologis.
Perjalanan tanda-tanda vital.
Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.
Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan
alergi.
(2) Stabilisasi kardiopulmoner
Jalan napas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau
darah.
Kateter Folley, NGT.
Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan
Ekstremitas.
(3) Pemeriksaan Umum
(4) Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai
Trakeostomi
Tube dada
Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi
Parasentesis abdominal
(5) Pemeriksaan neurologis
Kemampuan membuka mata
Respon motor
Respon verbal
Reflek pupil
Okulosefalik (dolls)
Okulovestibuler (kalorik)
(6) Obat-obat terapeutik
Na Bikarbonat
Manitol
(7) Tes Diagnostik
CT-Scan
Ventrikulogram udara
Angiogram
c) Terapi Medikamentosa Cedera Otak
Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak
yang telah mengalami cedera.
i) Cairan Intravena
Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan adalah larutan garam
fisiologis atau Ringer’s Lactate.
ii) Hiperventilasi
Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya pada waktu
tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih, karena PCO2
< 30 mmHg akan menyebabkan vasokonstriksi serebri berat dan akhirnya iskemia
otak. Hiperventilasi dalam waktu singkat (25-30 mmHg) dapat diterima pada
keadaan deteriorasi neurologis akut.
iii) Manitol
Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan TIK yang
meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis
yang diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan diberikan pada pasien yang
hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadinya
dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien observasi. Pada
keadaan ini, berikan bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan penderita
langsung dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah diketahui
dengan CT-Scan).
iv) Furosemid
Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB
diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien hipovolemik.
v) Steroid
Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak
menunjukkan manfaat.
vi) Barbiturat
Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Tapi
jangan diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemi
vii) Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal yang
terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya
adalah 1 g intravena dengan kecepatan pemberian < 50 mg/menit dan dosis
pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar
terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam
digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.
d) Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)
Dilakukan bila ada :
Interval lucid (bila CT tak tersedia segera)
Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual)
Fraktura depress terbuka
Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm
Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm
Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral
#5 & #6 (<5 mm), tapi mengalami perburukan/sisterna basal
terkompres
Massa lobus temporal 30 ml
1. Lesi Kulit Kepala
Perdarahan dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi, atau ligasi pembuluh
darah. Penjahitan, pemasangan klips atau staples dapat dilakukan kemudian.
Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya fraktur tengkorak
atau benda asing. Adanya LCS menunjukkan robekan Dura.
2. Fraktur Depresi Tengkorak
Fraktur ini mebutuhkan koreksi operatif bila tebal depresi lebih tebal dari
ketebalan tulang di sekitarnya. CT-Scan berguna untuk menentukan dalamnya
depresi tulang, ada-tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusi.
3. Lesi Massa Intrakranial
Lesi harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Tindakan
kraniotomi darurat dilakukan pada keadaan perdarahan intrakranial yang
membesar dengan cepat dan mengancam jiwa.
LO1.9 Komplikasi
A. Komplikasi bedah
1. Hematoma Intrakranial
Dapat terjadi pada keadaan akut setelah cedera kepala atau delayed setelah
beberapa waktu. Keberhasilan pengobatan tergantung pada cepatnya diagnosis
dan operasi evakuasi sesegera mungkin.
2. Hidrosefalus
(1) Komunikan, timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada rongga
subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan timbul akibat
adanya darah dalam rongga subarachnoid yang mengganggu aliran dan
penyerapan CSS.
(2) Nonkomunikan, timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan yang
terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem ventrikel, sehingga aliran CSS
terbendung.
Diagnosisnya mutlak membutuhkan CT-Scan kepala, akan tampak pelebaran
sistem ventrikel, termasuk pelebaran temporal horn, dan adanya periventrikular
edema (terutama pada anterior horn). Jika terdiagnosis, maka harus dirujuk ke
ahli bedah saraf untuk operasi diversi CSS (VP-shunt).
3. Subdural Hematoma Kronis
4. Cedera kepala terbuka
5. Kebocoran CSS
Terutama menyertai fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka, umumnya
kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis
fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan
operatif.
B. Komplikasi non bedah
1. Kejang post traumatika
Merupakan tanda cedera kortikal yang dapat timbul, baik secara dini, maupun
lambat, dan biasanya terjadi karena cedera vertikal atau kerusakan pada lobus
frontal, temporal ataupun parietal.
2. Infeksi
Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal yang
berada di kulit (scalp). Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan dugaan
empiris kuman penyebab.
3. Gangguan Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan aksis hipotalamus-hipofise,
sehingga produksi ADH berkurang, ditandai denganproduksi urin menjadi
berlebihan (dewasa > 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam), osmolaritas urin yang
rendah (50-150 Osm/L), berat jenis urin rendah (1.001-1,005), kadar natrium
serum normal atau meningkat, osmolaritas plasma meningkat, dengan fungsi
adrenal yang normal
4. Gangguan Gastrointestinal
Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang
mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi
erosi. Anisipasinya adalah dengan pemberian obat antagonis H-2 reseptor dan
inhibitor pompa proton, seperti simetidin, ranitidin, dan omeprazole.
5. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat. Mekanismenya :
Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada
hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik
sehingga terjadi aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan
peningkatan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) dan
peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler
(peningkatan permeabiitas alveolar)
LO1.10 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi
yangdirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang
terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat
pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan
masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa
kematian karena masalah airway disebabkan oleh
karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa
adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal
lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.
Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan
dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat.
Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu
dilanjutkan dengan pemberian transfusi
darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.
Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas
dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan kaliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan
atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial
serta seksual yang semuanya
memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan
paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak
ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
LO1.11 Prognosis
Prognosis TK tergantung berat dan letak TK.
Prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan
tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik,
maka prognosisnya dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih
kembali atau traumanya bertambah berat.
Faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan
awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai,
terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang
lain