Anda di halaman 1dari 27

LI.

1 Memahami dan menjelaskan trauma kepala


LO1.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).
LO1.2 Epidemiologi
Distribusi Frekuensi Trauma Kapitis
1) Orang
Menurut Data CDC (1997), di Amerika Serikat penderita trauma kapitis untuk
laki-laki kira-kira dua kali lebih tinggi daripada perempuan dengan IR penderita
laki-laki 91,9 per 100.000 penduduk dan IR perempuan 47,7 per 100.000
penduduk.27 Menurut Miller (2004) anak-anak < 15 tahun berisiko untuk
mengalami trauma kapitis (33%) dan berumur > 65 tahun 70-88%.28 Angka
kematian pada pasien yang berusia 15-24 tahun yaitu 32,8 kasus per 100.000
orang dan tingkat kematian pada pasien yang sudah berusia lanjut (≥ 65 tahun)
adalah sekitar 31,4 orang per 100.000 orang.11 Menurut penelitian Junandar
Siahaan (2000) di RS. Santa Elisabeth Medan, proporsi penderita trauma kapitis
terbanyak pada kelompok umur 17-24 tahun (23,8%).29
2) Tempat
Penelitian Tagliaferri et al di Eropa (2006), rata-rata kematian akibat trauma
kapitis sekitar 15 kasus per 100.000 dan CFR yaitu 11 per 100.30 Penelitian
Kleiven di Swedia (1987-2000) terdapat 22.000 pasien trauma kapitis
menunjukkan IR tahunan sebesar 229 per 100.000 penduduk.31. Di Norwegia IR
trauma kapitis pada tahun 2005-2006 mengalami penurunan menjadi 83,3 per
100.000 penduduk. Penurunan ini dapat dilihat mulai dari tahun 1974 IR trauma
kapitis yaitu 236 per 100.000 penduduk menjadi 200 per 100.000 pada tahun
1979–1980, dan menjadi 169 per 100.000 penduduk pada tahun 1993.32
Di Australia pada tahun 1996-1997 terdapat IR penderita trauma kapitis sebesar
149 per 100.000 penduduk. Kelompok umur yang berisiko tinggi mengalami
trauma kapitis yaitu 15-19 tahun (284 per 100.000) dan anak-anak pada umur 0-
4 tahun (244 per 100.000). Kelompok umur yang berisiko rendah untuk terkena
trauma kapitis yaitu 45-64 tahun (69 per 100.000).
Menurut penelitian Arifin di RS. dr. Hasan Sadikin Bandung (februari-April
2008) terdapat 120 kasus trauma kapitis. Dari seluruh kasus terdapat 95 orang
(79,2%) dengan trauma kapitis sedang dan 25 orang (20,8%) dengan trauma
kapitis berat.
3) Waktu
Di Inggris, menurut Thornhill S dkk (2000) terdapat 71% penderita trauma kapitis
yang berumur > 14 tahun.35 Di Amerika Serikat, menurut Centers for Disease
Control and Prevention (2002-2006) terdapat 1,7 juta orang yang mengalami
trauma kapitis setiap tahunnya dengan CFR 3,1%, dan dirawat dirumah sakit
sebesar 16,2%. Trauma kapitis adalah faktor penyumbang ketiga (30,5%) dari
semua kematian terkait trauma di Amerika Serikat.
Menurut Dawodu (2004), IR trauma kapitis ringan di Amerika Serikat yaitu 131
kasus per 100.000 penduduk, IR trauma kapitis sedang 15 kasus per 100.000
penduduk, dan IR trauma kapitis berat 14 kasus per 100.000 penduduk.11 Di
Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007 cedera menempati urutan ke-7 pada
10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah
sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan
CFR 2,99%.1 Menurut penelitian Lusiyawati di Rumah Sakit Pandan Arang
Boyolali (2009), dari sepuluh kasus penyakit yang terbanyak terdapat 32,28%
trauma kapitis, yang terbagi menjadi 20,05% trauma kapitis ringan, 9,12% trauma
kapitis sedang, 2,11% trauma kapitis berat.37 2.5.2.
Determinan Trauma kapitis
1) Host
1.1. Jenis Kelamin Jenis kelamin laki-laki lebih besar terkena
trauma kapitis dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan
laki-laki lebih banyak berada diluar rumah sehingga tingkat
keterpaparannya lebih besar.38 Penderita trauma kapitis di
Australia hampir 70% adalah laki-laki.33 Menurut penelitian
Arifin (Februari-April 2008) di RS. dr. Hasan Sadikin Bandung
jumlah penderita laki-laki yaitu 77 orang (64,2%) dan penderita
perempuan yaitu 43 orang (35,8%).34 Penelitian Adi
Kurniawan tahun 2007 di RS PKU Muhammadiyah di
Yogyakarta kejadian trauma kapitis terbanyak pada laki-laki
sebesar 57 % dengan tingkat kematian sebesar 61 %. 17
1.2. Umur. Umur yang berisiko tinggi untuk terkena trauma kapitis
yaitu < 5 tahun, 15-24 tahun dan > 65 tahun.40,11 Menurut
penelitian Arifin, jumlah penderita trauma kapitis berdasarkan
kelompok umur <15 tahun ada 23 orang (19,2%), 16-25 tahun
ada 36 orang (30%), 26-35 tahun ada 28 orang (23,3%), 36-45
tahun ada 13 orang (10,8%), 46-55 tahun 12 ada orang (10,0%)
dan > 55 tahun sebanyak 8 orang (6,7%).
1.3. Alkohol
Etanol (ethyl alkohol) memberikan efek pada fungsi neuron
terutama fungsi neurologi dan neuropsikologi. 65% dari
penderita trauma kapitis pada orang dewasa terlibat dengan
alkohol.39 Menurut penelitian Cuningham dkk (2001) di Pusat
Trauma pada the American College of Surgeons, diperoleh
bahwa dari 58 orang pasien yang mengalami kecelakaan lalu
lintas dan menderita trauma kapitis terdapat 41% yang di dalam
darahnya ditemukan alkohol (BOC=Blood Alcohol
Consentration).
2) Agent
Menurut CDC (2002-2006), jatuh merupakan faktor yang mempengaruhi paling
besar untuk terjadinya trauma kapitis dengan proporsi 35,2% kemudian
kecelakaan lalu lintas sebesar 17,3%, dipukul sebesar 16,5%, serangan sebesar
10% dan lain-lain sebesar 21%.36 Menurut penelitian Lee (1998) penyebab
tertinggi terjadinya Trauma kapitis yaitu kecelakaan lalu lintas (62,2%), jatuh
(9%) dan lain-lain (28,8%) .13 Pada anak kurang dari 4 tahun cedera kepala
sering disebabkan oleh jatuh dari meja, kursi, tangga, tempat tidur dan lain-lain.
Sedangkan pada anak yang lebih besar sering disebabkan oleh mengendarai
sepeda atau karena kecelakaan lalu lintas.41
3) Environment
Penyebab terbanyak terjadinya trauma kapitis adalah kecelakaan lalu lintas.
Determinan yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan lalu lintas yaitu :
a. Tidak tersedianya rambu-rambu lalu lintas.
b. Panjang jalan yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya
kendaraan sehingga kemacetan terjadi dimana-mana dan memacu
terjadinya kecelakaan.
c. Pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya kurang memadai
seperti berlobang- lobang dapat memacu terjadi kecelakaan
d. Adanya kabut, hujan, jalan licin juga membawa resiko kejadian
kecelakaan lalu lintas yang lebih besar.
LO1.3 Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%,
karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1
per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007).
Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut
a) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
b) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.

c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan)
LO1.4 Klasifikasi
 Berdasarkan Berat
a) Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT- scan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner Choi, Barnes, 1999).
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi
neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya
(Smeltzer, 2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15
(sadar penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,
hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah
cedara otak karena tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera
kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya
kesadaran sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat
rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L (Parenrengi, 2004).
b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-
scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi,
2004).
c) Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66%
cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala
berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder
apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan (Parenrengi,
2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental
menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan peningkatan
titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini
mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al., 1986).
Penderita cedera kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat
3,25 mmol/L (Parenrengi, 2004)
 Berdasarkan Morfologi
a) Fraktur Kranium

Adanya tanda-tanda, seperti : ekimosis periorbital (raccon eyes sign), ekimosis


retroeurikuler (battle sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrhea), paresis N VII,
dan kehilangan pendengaran yang dapat timbul segera atau beberapa hari
posttrauma.
Klasifikasinya :
1) Kalvaria
a. Fraktur linear (garis)
Merupakan garis fraktur tunggal pada tulang tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Bila fraktur linear melibatkan rongga udara perinasal maka ada
kemungkinan untuk timbulnya rinorea atau otau otorea LCS.

b. Fraktur Diastase
Adalah fraktur yang terjai pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura
kranial. Sering terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.
c. Fraktur communited
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur
d. Fraktur Depressed
Adalah fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur tergeer
dibawah tingkat dari tabula interna tulang tengkorak utuh sekelilingnya. Fraktur
jenis ini terjadi bila energi benturan relatif besar terhadap area benturan yang
relatif kecil, misalnya benturan oleh kayu, batu, pipa besi, martil. Pada gambaran
radiologis akan terlihat suatu area ‘double density’ lebih radio opaq karena ada
bagian tulang yang tumpang tindih.
2) Basilar
Yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posteriornya dibatasi oleh os. Sphenoid, prosessus clinoidalis anterior dan
jugum sphenoidalis
Manifestasi klinisnya :
Ekimosis periorbita bisa bilateral dan disebut brill hematoma atau racoon
eyes,anosmia jika cedera melibatkan N. Olfctorius, Rhinorea.
b. Fraktur basis cranii Foss Media
Bagian anteriornya langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian
posteriornya dibatasi oleh yamida os petrosus, os tempoalis, prosesus clinoidalis
posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinisnya : ecchimosis pada mastoid
(battle’s sign), otorrhea, hemotympanum (bila membran tympaninya robek),
kelumpuhan N.VII dan N. VIII (hal ni terutama terjadijika garis frakturnya
transversal terhadap aksis pyramida petrosus). Carotid-cavernosusfistula (CCF)
yang ditandai dengan chymosis, sakit kepala, adanya bruit, exophtalmus yang
berdenyut.
c. Fraktur Basis Cranii Fossa posterior
Merupakan dasar ari kompartment infratentorial. Sering tidak disertai gejala dan
tanda yang jelas, tetapi dapat segera menyebabkan kematian karena penekanan
terhadap batang otak. Kadang-kadang terdapat
battle’s sign
 Lesi Intrakranial
1). Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-
bagian tertentu dari otak, bergantung pada
mekanisme cedera yang terjadi.
a. Epidural Hematom (EDH)
Relatif jarang (± 0,5 %) dari semua cedera otak dan
9 % dari penderita yang mengalami koma. EDH terletak di luar dura tetapi di
dalam rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan
biasanya disebabkan oleh robeknya a. Meningea media akibat fraktur tulang
tengkorak. A. Meningea media ini masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os
temporale. Pada fase awal biasanya penderita tidak menunjukkan gejala dan
tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil anisokor,
bahkan pelebaran pupil unilateral akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
akan menjadi negatif. Pada tahap akhir, kesadaran akan menurun sampai koma
dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua
pupil tidak menunjkkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Ciri
khas hematom epidural murni adalah adanya lucid interval. Tapi jika disertai
cedera pada otak, lucid interval tidak akan terlihat. Lucid interval adalah hilangya
kesadaran pada awal trauma, kemudian pasien sadar lagi (tenang) dan disusul dgn
koma. EDH ini

merupakan
emergensi
bedah saraf.
Terapinya
hanya dengan
operasi.

b. Subdural
Hematom ini disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena
didalam ruang arachnoid (vena-vena kecil di permukaan korteks serebri).
Pembesaran hematom akibat robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Lebih
sering terjadi (30 % cedera kepala berat) akibat robeknya. Biasanya perdarahan
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Hemtom subdural dibagi menjadi
hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai hari ketiga,
subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila
timbul sesudah minggu ketiga. Hematom subdural akut dan kronik memberikan
gambaran klinis suatu proses desak ruang (space occupying lession)
yangprogresif sehingga tidak jarang diangap sebagai neoplasma atau demensia.
Penanggulangannya terdiri atas trepanasi dan evekuasi hematom. Biasanya
kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dari
EDH.

c. Kontusio dan Hematom Intraserebral (ICH)


Hematom Intraserebral Adalah hematom yang terbentk pada jaringan otak
(parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama
melibatkan lobus frotal dan temporal (80-90%) tetapi juga dapat melibatkan
korpus callosum, batang otak, dan ganglia basalis. Gejala dan tanda tergantung
ukuran dan lokasi hematom. Pada CT-Scan terlihat gambaran hiperdens yang
homogen dan berbatas tegas. Disekitar lesi akan disertai edem perifokal. Jika
hematom tersebut berdiameter kurang dari 2/3 diameter lesi,maka keadaan
tersebut kontusio. Kontusio ini terjadi (20-30% dari cedera otak berat) dan
sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal. Kontusio serebri dapat
dalam beberapa jam atau hari berubah menjadi ICH yang membutuhkan tindakan
operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari penderita dan cara mendeteksi
terbaik adalah dengan mengulang CT-Scan dalam 12-24
am setelah CT-Scan pertama. Jika ICH ini disertai
dengan SDH dan kontusio atau laserasi pada daerah yang
sama maka disebut burs lobe.
2) Difusa
Merupakan suatu keadaan patologis penderita koma
(penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan
tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran
SOL (space-occupying lession) pada CT-Scan atau MRI.
Paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi dan deselerasi.
Angulasi, rotsi dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan seraut saraf
pada bebagai tempat yang sifatnya menyeluruh (difus).
a. Konkusi Yaitu Hilangnya kesadaran sementara setelah trauma
kepala dan terjadi tanpa kerusakan struktur otak. Konkusi ini
berlangsung bbrp menit sampai beberapa jam, Setelah sadar pasien
pusing dan bingung. Dapat terjadi hilangnya kesadaran yaitu :
• Hilangnya daya ingat setelah kejadian  Amnesia post traumatic
• Hilangnya daya ingat sebelum kejadian  Amnesia anterograde
b. Cedera Aksonal Difusa atau Diffuse axonal Injury (DAI)
Adanya kerusakan axon yang difus dalam hemisfer serebri, korpus
callosum, batang otak, dan serebelum (pedenkulus).
Awalnya kekuatan renggang pada saat benturan melebihi level
ketahanan akson sehingga terjadi sobekan atau fagmentasi
aksolemma , keteraturan susunan sitoskeleton akson menjadi rusak.
Terjadi pada saat benturan, tetap ada yang memberi batas waktu dala
60 menit sejak kejadian.
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh,
walaupun susunan sistoskeleton terganggu. Penghantaran
aksosplasma akan terbendung pada sistoskeleton yang menjadi
kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson (retraction ball)
yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson.
Gambaran DAI secara klinis ditandai dengan koma sejak kejadian.
Klasifikasi :
 Ringan : koma 6-24 jam. Jarang.
 Sedang : koma > 24 jam. Paling sering. 45%.
Tanpa tanda-tanda batang otak menonjol.
 Berat : koma > 24 jam. Mematikan. 36%.
LO1.5 Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
LO1.6 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke
otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh
kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa 25%
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses
metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada
komosio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu
hal ini akan menyebaban asidosis metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis
tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta
sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan
berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa :
lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang
menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-
lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut
cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai
akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan
ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan
yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme
trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis
penderita koma (penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak
mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL)
pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan
otak, Tekanan Tinggi

LO1.7 Diagnosis dan diagnosis banding


a) Pemeriksaan
1. Neurologis
(1) Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini
harus dilakukan secara periodik untuk menilai perbaikan atau perburukan
keadaan pasien. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya
terbatas pada satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua
hemisfer mulai terlibat, atau jika ada proses patologis akibat penekanan atau
cedera pada batang otak.
Respon Mata ≥1 tahun 0-1 tahun
4 Membuka Mata Spontan
3 Membuka Mata dengan perintah
2 Membuka Mata karena Nyeri
1 Tidak membuka mata

Respon Motorik ≥1 tahun 0-1 tahun

6 Mengikuti Perintah Belum dapat Dinilai


5 Melokalisasi Nyeri
4 Menghindari Nyeri
3 Fleksi Abnormal (Dekortikasi)
2 Ekstensi Abnormal (Deserebrasi)
1 Tidak Ada Respon
Respon Verbal ≥5 tahun 2-5 tahun 0-2 tahun
Orientasi baik dan
Meyebutkan kata-
5 mampu Menangis kuat
kata yang sesuai
berkomunikasi
Disorientasi tapi Menyebutkan kata-
4 mampu kata yang tidak Menangis lema
berkomunikasi sesuai

Menyebutkan kata- Kadang-kadan


Menangis dan
3 kata yang tidak menangis a
menjerit
sesuai (kasar, jorok) menjerit

Mengeluarkan Mengeluarkan
2 Mengeluarkan suara
suara lemah suara lemah
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada resp

(2) Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk Saraf Kranial


Penilaian pupil menunjukkan fungsi mesensefalon dan sangat penting pada
cedera kepala, karena :
 Bagian kepala yang mengendaikan kesadaran seara antomis
terletak berdekatan dengan pusat yang mengatur reaksi pupil.
 Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap
gangguan metabolik, sehingga bisa membedakan koma-
metabolik atau koma struktural.
Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon) dan reaksi terhadap tes kalori
(okulovestibuler) menunjukkan fungsi medla oblongata dan pons. Jangan
melakukan pemeriksaan okulosefalik jika cedera servikal beum dapat
disingkirkan. Reaksi okulovestibuler lebih superior daripada reaksi okulosefalik.
(3) Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar
Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita
(spontan, rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon) berbanding lurus dengan
dalamnya penurunan kesadaran.

(4) Reaksi Motorik Terbaik


Terbagi atas :
 Gerakan bertujuan jelas
Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :
o +5 : kekuatan gerakan normal
o +4 : kekuatan gerakan mendekati normal
o +3 : mampu melawan gravitasi
o +2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan gravitasi
o +1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser
 Gerakan bertujuan tidak adekuat
 Postur fleksor
 Postur ekstensor
 Diffise muscle flacciditty
(5) Pola Pernapasan
Pernapasan merupakan suatu kegiatan sensorimotor terintegrasi dari keterlibatan
berbagai saraf yang terletak pada hampir semua tingkat otak dan bagian atas
spinal cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada SSP akan memberikan
gambaran pola pernapasan yang berbeda.
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia
jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran
LO1.8 Tatalaksana
(Skema Triase)
GCS  8

Ya Tidak

P / M unekual

Ya

Kelola Gadar

CT Cito

Tidak

C-Kepala
terbuka
Ya

Tidak

Neurologi
Normal
Tidak

Ya

TS - /  5” /
Risiko 
Ya

Pulang + Pesan

Tidak

Kelola Gadar

CT Elektif

(Resiko Cedera Kepala)


RENDAH MODERAT TINGGI
Perubahan kesadaran
Kesadaran rendah
Sakit kepala progresif
Asimptomatis Gejala fokal
Intoksikasi alkohol/obat
Dizziness Penurunan
Riwayat tidak sesuai kesadaran
Laserasi skalp
± perforasi tengkorak / fraktur Cedera penetrasi
Abrasi skalp
depress
Fraktura depress
cedera wajah serius

a) Primary Survey
(1) Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera
servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma.
(2) Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil
pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor
saturasi O2 (target > 98%).
(3) Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus segera
distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian cairan untuk
mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300 ml RL/100 mL
darah yang hilang).
(4) Disability (Penilaian neurologis cepat)
 Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :
A = alert.
V = respon terhadap rangsangan verbal.
P = respon terhadap rangsangan nyeri.
U = tidak ada respon.
 Pupil :
1. Ukuran.
2. Reaksi cahaya.
(5) Exposure
Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.
b) Secondary Survey
1. Cedera Kepala Ringan
(1) Riwayat :
 Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
 Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera,
tingkat kewaspadaan
 Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang
atau berat)
(2) Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
(3) Pemeriksaan neurologis
(4) Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi
(5) Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin
(6) CT-Scan
(7) Kriteria Rawat :
 Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )
 Riwayat kehilangan kesadaran
 Penurunan tingkat kesadaran
 Nyeri kepala sedang hingga berat
 Intoksikasi alkohol atau obat
 Fraktur tengkorak
 Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea
 Cedera penyerta yang jelas
 Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab
 CT-Scan Abnormal atau tidak ada
 Semua cedera tembus
(8) Kriteria pemulangan
 Tidak memenuhi kriteria rawat
 Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan
memburuk dan berikan lembaran observasi
 Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)
2. Cedera Kepala Sedang
(1) Pemeriksan Awal :
(2) Sama dengan cedera kepala ringan tapi ditambah pemeriksaan darah
sederhana dan EKG
(3) Pemerksaan CT-Scan untuk semua kasus dirawat untuk observasi
(4) Setelah dirawat :
 Pemeriksan neurologis periodik (tiap setengah jam)
 CT-Scan ulang pada hari ke-3 atau lebih awal bila ada
perburukan atau akan dipulangkan
 Bila kondisi membaik (90%), dipulangkan dan kontrol
dipoliklinik biasanya 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu
1 tahun setelah cedera
 Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan
penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat
3. Cedera Kepala Berat
(1) Riwayat :
 Usia, jenis, dan saat kecelakaan.
 Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
 Perjalanan neurologis.
 Perjalanan tanda-tanda vital.
 Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.
 Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan
alergi.
(2) Stabilisasi kardiopulmoner
 Jalan napas, intubasi dini
 Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau
darah.
 Kateter Folley, NGT.
 Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan
Ekstremitas.
(3) Pemeriksaan Umum
(4) Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai
 Trakeostomi
 Tube dada
 Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi
 Parasentesis abdominal
(5) Pemeriksaan neurologis
 Kemampuan membuka mata
 Respon motor
 Respon verbal
 Reflek pupil
 Okulosefalik (dolls)
 Okulovestibuler (kalorik)
(6) Obat-obat terapeutik
 Na Bikarbonat
 Manitol
(7) Tes Diagnostik
 CT-Scan
 Ventrikulogram udara
 Angiogram
c) Terapi Medikamentosa Cedera Otak
Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak
yang telah mengalami cedera.
i) Cairan Intravena
Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan adalah larutan garam
fisiologis atau Ringer’s Lactate.
ii) Hiperventilasi
Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya pada waktu
tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih, karena PCO2
< 30 mmHg akan menyebabkan vasokonstriksi serebri berat dan akhirnya iskemia
otak. Hiperventilasi dalam waktu singkat (25-30 mmHg) dapat diterima pada
keadaan deteriorasi neurologis akut.

iii) Manitol
Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan TIK yang
meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis
yang diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan diberikan pada pasien yang
hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadinya
dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien observasi. Pada
keadaan ini, berikan bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan penderita
langsung dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah diketahui
dengan CT-Scan).
iv) Furosemid
Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB
diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien hipovolemik.
v) Steroid
Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak
menunjukkan manfaat.
vi) Barbiturat
Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Tapi
jangan diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemi
vii) Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal yang
terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya
adalah 1 g intravena dengan kecepatan pemberian < 50 mg/menit dan dosis
pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar
terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam
digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.
d) Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)
Dilakukan bila ada :
 Interval lucid (bila CT tak tersedia segera)
 Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual)
 Fraktura depress terbuka
 Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm
 Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm
 Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral
 #5 & #6 (<5 mm), tapi mengalami perburukan/sisterna basal
terkompres
 Massa lobus temporal 30 ml
1. Lesi Kulit Kepala
Perdarahan dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi, atau ligasi pembuluh
darah. Penjahitan, pemasangan klips atau staples dapat dilakukan kemudian.
Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya fraktur tengkorak
atau benda asing. Adanya LCS menunjukkan robekan Dura.
2. Fraktur Depresi Tengkorak
Fraktur ini mebutuhkan koreksi operatif bila tebal depresi lebih tebal dari
ketebalan tulang di sekitarnya. CT-Scan berguna untuk menentukan dalamnya
depresi tulang, ada-tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusi.
3. Lesi Massa Intrakranial
Lesi harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Tindakan
kraniotomi darurat dilakukan pada keadaan perdarahan intrakranial yang
membesar dengan cepat dan mengancam jiwa.
LO1.9 Komplikasi
A. Komplikasi bedah
1. Hematoma Intrakranial
Dapat terjadi pada keadaan akut setelah cedera kepala atau delayed setelah
beberapa waktu. Keberhasilan pengobatan tergantung pada cepatnya diagnosis
dan operasi evakuasi sesegera mungkin.
2. Hidrosefalus
(1) Komunikan, timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada rongga
subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan timbul akibat
adanya darah dalam rongga subarachnoid yang mengganggu aliran dan
penyerapan CSS.
(2) Nonkomunikan, timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan yang
terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem ventrikel, sehingga aliran CSS
terbendung.
Diagnosisnya mutlak membutuhkan CT-Scan kepala, akan tampak pelebaran
sistem ventrikel, termasuk pelebaran temporal horn, dan adanya periventrikular
edema (terutama pada anterior horn). Jika terdiagnosis, maka harus dirujuk ke
ahli bedah saraf untuk operasi diversi CSS (VP-shunt).
3. Subdural Hematoma Kronis
4. Cedera kepala terbuka
5. Kebocoran CSS
Terutama menyertai fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka, umumnya
kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis
fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan
operatif.
B. Komplikasi non bedah
1. Kejang post traumatika
Merupakan tanda cedera kortikal yang dapat timbul, baik secara dini, maupun
lambat, dan biasanya terjadi karena cedera vertikal atau kerusakan pada lobus
frontal, temporal ataupun parietal.
2. Infeksi
Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal yang
berada di kulit (scalp). Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan dugaan
empiris kuman penyebab.
3. Gangguan Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan aksis hipotalamus-hipofise,
sehingga produksi ADH berkurang, ditandai denganproduksi urin menjadi
berlebihan (dewasa > 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam), osmolaritas urin yang
rendah (50-150 Osm/L), berat jenis urin rendah (1.001-1,005), kadar natrium
serum normal atau meningkat, osmolaritas plasma meningkat, dengan fungsi
adrenal yang normal
4. Gangguan Gastrointestinal
Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang
mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi
erosi. Anisipasinya adalah dengan pemberian obat antagonis H-2 reseptor dan
inhibitor pompa proton, seperti simetidin, ranitidin, dan omeprazole.
5. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat. Mekanismenya :
 Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada
hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik
sehingga terjadi aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan
peningkatan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) dan
peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
 Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler
(peningkatan permeabiitas alveolar)
LO1.10 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi
yangdirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang
terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat
pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan
masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa
kematian karena masalah airway disebabkan oleh
karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa
adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal
lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.
Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan
dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat.
Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu
dilanjutkan dengan pemberian transfusi
darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.
Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas
dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan kaliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan
atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial
serta seksual yang semuanya
memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan
paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak
ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
LO1.11 Prognosis
 Prognosis TK tergantung berat dan letak TK.
 Prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan
tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik,
maka prognosisnya dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih
kembali atau traumanya bertambah berat.
 Faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan
awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai,
terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang
lain

Anda mungkin juga menyukai