Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tinnitus berasal dari bahasa latin tinnire yang berarti dering atau

membunyikan. Tinnitus adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa

sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal

mekanoakustik maupun listrik. Keluhan ini dapat berupa bunyi mendenging,

menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi lainnya. Bunyi yang terdengar

begitu nyata dan berasal dari dalam telinga atau kepala. Tinitus sendiri dapat

dirasakan terus menerus ataupun hilang timbul (Soepardi, et al., 2012).

Tinnitus adalah persepsi suara tidak adanya pendengaran rangsangan.

Rata-rata presentase 5-15 % dari populasi di bagian Barat mengalami tinnitus.

Banyak orang bisa mengatasi tinnitus kronis, tetapi sekitar 1-2 % dari populasi

mengalami gangguan yang signifikan dalam kualitas hidup mereka karena

tinnitus. Prevalensi tinnitus kronis meningkat seiring dengan meningkatnya usia,

memuncak pada 14,3 % pada usia antara 60 sampai 69 tahun. Peningkatan

prevalensi tinnitus dengan faktor usia sebagian dijelaskan oleh fakta bahwa

gangguan pendengaran merupakan faktor risiko penting untuk tinnitus dan

prevalensi kehilangan pendengaran juga meningkat dengan seiringnya usia

(Schlee et al., 2011)

Sebanyak sepertiga dari populasi seluruh dunia setidaknya

pernah mengalami tinnitus sekali seumur hidup. Berdasarkan data epidemiologi,

1
didapati prevalensi tinnitus pada orang dewasa secara konstan yakni sebesar 10

sampai 15 persen dari populasi dunia (Makar et al., 2012). Ditemukan

peningkatan menjadi 29.6−30.3% pada orang tua dan dapat dialami

baik perempuan maupun laki-laki dan pada semua ras. Prevalensi tinnitus

meningkat mencapai 70%-80% pada orang yang mengalami gangguan

pendengaran. (Zhou, et al., 2011).

Berdasarkan salah satu studi epidemiologi menunjukkan bahwa pajanan

bising merupakan penyebab paling sering kejadian tinnitus dengan angka kejadian

sebesar 37,8% (Gananca et al., 2011). Pekerja yang terpajan dengan bising

biasanya terkena tinnitus (Rubak, et al., 2008). Data lain menyebutkan didapati

sekitar 33% dari 400 pasien tinnitus yang diketahui sebelumnya terpapar bising

akibat pekerjaan (Axelsson & Prasher, 2000).

Tinnitus dapat terjadi setelah paparan bising dan faktor obat, namun

penyebab tinnitus subjektif sering tidak diketahui. Tingkat keparahan tinnitus

seringkali disertai dengan gejala, seperti hyperacusis (menurunkan toleransi untuk

suara) dan distorsi suara. Gangguan afektif, seperti phonophobia (takut suara) dan

depresi, sering terjadi pada individu yang tingkat tinnitusnya sudah parah..

Dengan perbedaan tersebut, tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa

penyebab tunggal dapat bertanggung jawab untuk tingkat keparahan tinnitus,

sehingga banyak faktor yang membuat pengelolaan pasien tinnitus merupakan

tantangan bagi profesional perawatan kesehatan (Møller, Langguth, De Ridder, &

Kleinjung, 2011).

2
Tinnitus dapat dibagi atas tinnitus objektif dan tinnitus subjektif.

Dikatakan tinnitus objektif jika suara juga dapat didengar oleh pemeriksa dan

dikatakan tinnitus subjektif jika tinnitus hanya dapat didengar oleh penderita.

Berat ringannya tinnitus bisa bervariasi dari waktu ke waktu. Variasi intensitas

tinnitus juga dihubungkan dengan ambang stres penderita, aktivitas fisik, atau

keadaan lingkungan eksterna. Penyebab tinnitus sampai saat ini masih belum

diketahui secara pasti, sebagian besar kasus tidak diketahui penyebabnya. Tinnitus

mungkin timbul dari penurunaan fungsi pendengaran yang dikaitkan dengan usia

dan proses degenerasi, trauma telinga ataupun akibat penyakit vaskuler (Soepardi,

et al., 2012).

Tinnitus dapat memengaruhi kualitas hidup penderita dan dikeluhkan

sebagai suatu gejala yang berbahaya (Henry & Wilson, 2001). Pada penelitian di

Blue Mountains Hearing Study (BMHS) di Australia, dilaporkan sebanyak 64%

mengeluhkan mengalami tinnitus yang sering atau setiap waktu dan 4% merasa

sangat terganggu dengan tinnitusnya (Sindhusake et al., 2003). Menurut Hallam et

al. (2004) mengamati bahwa pasien tinnitus melaporkan terdapat peningkatan

kegagalan dalam melakukan tugas sehari-hari dan menjadi melamban dalam

mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan kognisi.

Penatalaksanaan tinnitus cukup banyak, salah satu terapi yang dapat digunakan

sebagai penanganan tinnitus adalah cognitive and behaviour theraphy (CBT).

Cognitive and behavior theraphy bertujuan untuk membantu mengubah pola pikir

penderita terhadap tinnitus dengan cara meminimalisir pikiran negatif penderita

3
terhadap gejala tinnitus. Pendekatan ini terutama dilakukan dengan bantuan

psikolog dan harus rutin dijalankan beberapa waktu (Jun,et al.2013).

Cognitive and behavior theraphy (CBT) untuk tinnitus berfokus pada

mengurangi tekanan dan cacat yang disebabkan oleh tinnitus. Tujuan dari CBT

tidak mengurangi fitur akustik kondisi, seperti kenyaringan atau lapangan, tetapi

untuk membantu pasien yang menghadapi kesulitan tertentu dalam situasi sehari-

hari dengan membangun pikiran yang lebih positif dan realistis tentang situasi

mereka. CBT biasanya terdiri dari kedua terapi kognitif dan perilaku termasuk

restrukturisasi kognitif, latihan relaksasi, teknik pencitraan, dan paparan situasi

(Aaron T. Beck 1964).

Menurut perspektif Islam, indera pendengaran adalah anugerah Allah

SWT agar manusia mengenal dunia luar, melaksanakan ibadah kepada Allah

SWT, dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan kepadanya (Thalbah H

et al, 2009). Oleh karena itu diharuskan menjaga kenikmatan yang Allah berikan,

seperti menjaga kesehatan. Agama Islam sangat mengutamakan kesehatan (lahir

dan batin) dan menempatkannya sebagai kenikmatan kedua setelah Iman (Husfar,

2012). Islam mewajibkan untuk menjaga kesehatan sedini mungkin, karena Allah

telah berfirman dalam ayat QS. Ar Rum (30) : 54, yang menjelaskan bahwa

dengan bertambahnya usia seseorang akan semakin rentan terkena penyakit.

4
Untuk menjaga kemaslahatan pada pasien gangguan pendengaran maka

diperlukan pengobatan yang tepat. Sehingga pasien tinnitus yang diberi terapi

koklea implan ibadahnya tidak terganggu, dapat memanfaatkan kehidupan dengan

baik, dan juga selalu mengasah otak dengan menambahkan informasi. Penyakit

tinnitus jika tidak diobati segera atau tidak diobati dengan tepat maka akan

menurunkan kualitas hidup dan kognitif (Huang Q dan Tang J, 2010).

Allah SWT menimpakan rasa sakit yang berbeda-beda menurut perbedaan

sebab dan kondisinya, dan tidak ada yang dapat menyembuhkannya kecuali Allah

SWT semata. Oleh karena itu, berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama

Islam sebab berobat termasuk upaya memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk

salah satu tujuan syari’at islam ditegakkan (Ali Muhammad, 2012).

Islam menganjurkan berobat dengan mempertimbangkan aspek manfaat

dan mudharat yang diperoleh. Pada kondisi-kondisi tertentu berobat diwajibkan

kepada orang tertentu dalam kondisi tertentu yaitu bagi seorang yang jika

meninggalkan berobat bisa jadi membinasakan diri, anggota badan atau dirinya

jadi lemah, juga bagi orang yang penyakitnya bisa berpindah bahayanya pada

orang lain. Berobat disunahkan bila tidak berobat dapat melemahkan badan

namun tidak membinasakan orang yang sakit dan berobat dapat pula diharamkan

bila dalam pengobatannya terdapat unsur syirik kepada Allah SWT (Al-Ghifari,

2014).

Didalam berobat, Islam menganjurkan untuk berobat dengan yang halal,

baik dalam prosedur dan tujuan pengobatannya, maupun obat yang digunakannya.

5
Salah satu bentuk berobat yang bisa digunakan untuk mengobati gangguan

pendengaran seperti tinnitus adalah dengan cognitive and behaviour theraphy.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut

mengenai “terapi cognitive and behavior” Sebagai Tatalaksana Tinnitus Ditinjau

dari Kedokteran dan Islam”, sebagai bahan penulisan dalam skripsi ini.

1.2 Permasalahan

1. Bagaimana patofisiologi terjadinya tinnitus?

2. Bagaimana mekanisme terapi cognitive and behaviour sebagai

tatalaksana tinnitus?

3. Bagaiamana pandangan Islam terhadap terapi cognitive and behaviour

sebagai tatalaksana tinnitus?

1.3 Tujuan

1.1.1. Tujuan Umum

Mampu memahami dan menjelaskan mengenai metode terapi cognitive

and behaviour sebagai tatalaksana tinnitus ditinjau dari kedokteran dan

Islam.

1.1.2. Tujuan Khusus

1. Mampu memahami dan menjelaskan tentang mekanisme terjadinya

tinnitus.

2. Mampu memahami dan menjelaskan prinsip terapi cognitive and

6
behaviour sebagai tatalaksana tinnitus.

3. Mampu memahami dan menjelaskan pandangan Islam terhadap terapi

cognitive and behaviour sebagai tatalaksana tinnitus.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi penulis

Skripsi ini dapat menambah pengetahuan mengenai terapi cognitive and

behaviour sebagai tatalaksana tinnitus ditinjau dari aspek kedokteran dan

Islam, serta menambah pengetahuan dan pengalaman mengenai

penyusunan skripsi yang baik dan benar.

1.4.2 Bagi Universitas YARSI

Skripsi ini dapat bermanfaat untuk memperkaya referensi dan sumber

informasi bagi civitas akademika Universitas YARSI, mengenai terapi

cognitive and behaviour sebagai tatalaksana tinnitus ditinjau dari aspek

kedokteran dan Islam.

1.4.3 Bagi masyarakat

Skripsi ini dapat menambah informasi dan pengetahuan masyarakat

mengenai terapi cognitive and behaviour sebagai tatalaksana tinnitus

ditinjau dari aspek kedokteran dan Islam.

7
8

Anda mungkin juga menyukai