Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK STUDI


PENGGUNAAN LAHAN (GEP 643)
“Usulan Penggunaan Lahan Makro di Wilayah
Daerah istimewa Yogyakarta (D.I.Y.)”

Oleh
Maratul Muslimah
16/407386/PGE/01283

Dosen Pengampu
Prof. Dr. Totok Gunawan, M.S.

PROGRAM STUDI PASCASARJANA PENGINDERAAN JAUH


FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK STUDI
PENGGUNAAN LAHAN

Pertambahan penduduk adalah salah stau penyebab utama terjadinya perubahan


pemanfaatan lahan di dunia. Pemanfaatan lahan menjadi pemukiman, penyedia kebutuhan
hidup dan peningkatan taraf ekonomi menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Fenomena
peningkatan jumlah penduduk terus terjadi di sebagian besar negara di dunia. Menurut Enger
dan Badley (2000) dalam Munibah dkk. (2009), pertambahan jumlah penduduk dalam kondisi
normal (tidak terjadi bencana alam) akan mengikuti pola eksponensial (kurva S). Pertumbuhan
penduduk pada tahap awal akan terjadi secara lamban dan pada semakin meningkat cepat
(eksponensial), yang pada akhirnya akan tercapai kondisi stabil. Kondisi stabil yang dimaksud
adalah suatu keadaan yang belum diketahui kapan terjadinya. Indonesia mencatatkan laju
pertambahan penduduknya yaitu untuk kelahiran sebesar 2.27 di tahun 1999-2002 di mana laju
kematian tercatat lebih rendah yaitu 1.3 pada tahun 2000-2005 yang itu berarti bahwa terjadi
pertambahan jumlah penduduk ( BPS, 2006).
Faktor yang mempengaruhi terhadap besar kecilnya laju kelahiran dan kematian
misalnya kebijakan Pemerintah seperti perbaikan lingkungan, peningkatan kualitas hidup, dan
lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, yang implikasinya pada
perpanjangan usia hidup. Sebaliknya, tidak ada satupun negara di dunia yang membuat
kebijakan untuk meningkatkan kematian tentu saja, sehingga wajar jika pertambahan penduduk
terus terjadi. Hal yang dapat dilakukan adalah pengendalian laju pertambahan penduduk yaitu
misalnya di Indonesia dengan diadakannya Program Keluarga Berencana (Munibah dlk., 2009).
Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang telah dilaksanakan
akan berpengaruh cukup besar terhadap perubahan tatanan lingkungan berupa menurunnya
kualitas lingkungan, degradasi lingkungan/kerusakan lingkungan serta berkurangnya
sumberdaya alam maupun perubahan tata guna lahan (Sukojo dan Diah, 2003). Data
penggunaan lahan, dan studi terkait penggunaan lahan lainnya termasuk dampak seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya secara spasial meliputi area yang luas. Pengkajian penggunaan
lahan dengan hanya mengandalkan survey langsung di lapangan akan sangat sulit dan
membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Oleh sebab itu, penggunaan teknologi penginderaan
jauh dan Sistem Informasi Geografi adalah salah satu langkah yang dirasa paling efektif untuk
kajian penggunaan lahan. Pemantauan perkembangan lahan permukiman dengan cara manual akan
memakan banyak waktu, tenaga dan biaya sehingga pemanfaatan data variabel dan pemetaan yang lebih
mudah akan digunakan dalam analisis kali ini. Penerapan SIG (sistem Informasi Geografis) dalam evaluasi
kesesuaian lahan permukiman akan mempermudah dan mempercepat proses analisis data. SIG memiliki
kemampuan dalam input, editing dan analisis data baik data grafis maupun data atribut (tabuer) secara
tepat dan akurat. Selain itu, pemanfaatan SIG sangat penting terutama dalam hal efisiensi tenaga dan
waktu (Satria dan Sri. 2013).
II. EVALUASI KESESUAIAN LAHAN
Degradasi lingkungan adalah salah satu hal yang seringkali terjadi sebagai akibat
penggunaan lahan. Degradasi lingkungan tersebut terkait dengan pola penggunaan lahan di
sekitar yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah penataan ruang, yang secara tidak langsung
akan berpengaruh terhadap tingkat pencemaran di wilayah tersebut. Perubahan penggunaan
lahan mempengaruhi keseimbangan lingkungan yang dapat memberi pengaruh positif maupun
negatif, terutama pengaruh terhadap limpasan permukaan, erosi dan pencemaran (Sukojo dan
Diah, 2003). Perencaan penggunaan lahan seharusnya telah diatur dari awal sebelum aktivitas
pola penggunaan lahan dilakukan akan tetapi pada kenyataanya hal tersebut sulit dilakukan
mengingat pemahaman tentang batasan kemampuan lahan justru disadari setelah kegiatan
pemanfaatan dilakukan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian evaluasi penggunaan lahan untuk
meminimalisir dampak dan memutuskan kebijakan agar kesalahan penggunaan lahan tidak
terus berlajut.
Evaluasi lahan memiliki pengertian yang berbeda dengan kesesuaian lahan meskipun
pada analisis evaluasi lahan penentuan hasil evaluasi berdasarkan sesuai atau tidanya
penggunaan lahan tersebut. Menurut Ritung (2007), evaluasi lahan adalah suatu proses
penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan
atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan
penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan
sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk
kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan
potensial). Pengertian yang berbeda dari Sitorus, 1998 dalam Satria dan Sri (2013), kesesuaian
lahan pada hakekatnya merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian
lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan pada
hakekatnya merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan
tertentu.
Aturan mengenai pengkajian evaluasi penggunaan lahan yaitu mengacu pada aturan
pemerintah dengan mengacu pada peta arahan penggunaan lahan dan pembuatan peta
penggunaan lahan kemudia dilihat sesuai atau tidaknya. Undang-undang tentang pembuatan
peta arahan tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif
terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota. Disebutkan pada Bagian Ketiga UU tersebut tentang Wewenang
Pemerintah Daerah Provinsi Pasal 10 (1) bahwa wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi;
2) arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi;

Arahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagai contoh di Kota Baubau dalam penelitian
Fahril (2010) adalah arahan yang diperuntukan sebagai alat penertiban penataan ruang yang berfungsi
untuk; (1) menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang agar tetap sejalan dengan rencana tata ruang, (2)
menghindari penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, (3) menjaga keseimbangan
dan keserasian peruntukan ruang, (4) mencegah dampak pembangunan yang merugikan, (5) melindungi
kepentingan umum.

III. METODE PENYUSUNAN PETA EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN DI D.I.Y.


Metode pendekatan yang digunakan untuk evaluasi penggunaan lahan yaitu pendekatan
analisis spasial dengan bantuan alat analisis SIG (Sistem Informasi Geografi). Analsis spasial digunakan
untuk mengetahui kondisi eksisting permukiman, analisis skoring digunakan untuk megidentifikasi fungsi
kawasan, kesesuaian permukiman serta evaluasi permukiman. Langkah-langkah penysuunan peta
evaluasi digambarkan pada diagram alir berikut:
Digram Alir Penyusunan Peta Evaluasi Penggunaan Lahan

Berdasarkan diagram alir di atas, Langkah-langkah penyusunan Peta Evaluasi Penggunaan


Lahan dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Menyusun Peta Arahan dengan memasukkan data curha hujan, data spasial yaitu data peta
kemiringan lereng, data peta jenis tanah untuk peta kepekaan tanah terhadap erosi serta
data intensitas curah hujan dari peta curah hujan. Skoring dilakukan sehingga hasil
dikategorikan menjadi empat kategori fungsi pemanfaatan lahan berdasarkan Perda D.I.Y
No. 20 Tahun 2010 di mana untuk peta arahan dibagi menjadi empat kategori yaitu :
Kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman, kawasan budidaya tanaman
tahunan, Kawasan lindung, dan kawasan penyangga.
2. Membuat Peta Penggunaan Lahan D.I.Y. untuk melihat penggunaan lahan exsiting yang
data tersebut bisa diperoleh dari citra penginderaan jauh kemudian berdasarkan skala peta
yang dgunakan, dikategorikan penggunaan lahan menurut tabel Malingerau.
3. Peta Arahan dan peta Penggunaan Lahan ditumpang susun untuk melihat kesesuaian
antara fungsi pemanfaatan yang seharusnya dengan penggunaan lahan yang dilakukan.
4. Hasil Peta Evaluasi Penggunaan Lahan kemudian dilakukan pendekatan lain dari sisi ekologi
yaitu dengan memasukkan unsur land capability untuk pengembangan lNad Site
Improvement.
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh peta arahan sebagai berikut:

Peta Penggunaan Lahan mengikuti aturan Malingerau di mana pada pengklasifikasiannya


terdapat empat jenjang yang disesuaikan dengan skala yang digunakan untuk klasifikasi.
Berdasarkan peta arahan yang dibuta pada skala 1:500.000 maka akan ditumpangsusunkan
pada Peta Penggunaan lahan pada skala yang sama dan dikategorikan pada sistem klasifikasi
malingerau jenjang ke II. Tabel Klasifikasi Malingerau sebagai berikut:
Jenjang I Jenjang II Jenjang III Jenjang IV Simbol

1. Daerah A. Daerah 1. Sawah Irigasi Si


Bervegetasi Pertanian
2. Sawah Tadah Hujan St

3. Sawah Lebak Sl

4. Sawah pasang surut Sp

5. Ladang/Tegal L

6. Perkebunan Cengkeh C

Coklat Co

Karet K

Kelapa Ke

Kelapa Sawit Ks
Kopi Ko

Panili P

Tebu T
Teh Te

Tembakau Tm

7. Perkebunaan Kc
Campuran

8. Tanaman Campuran Te

B. Bukan 1. Hutan lahan kering Hutan bambu Hb


Daerah
Pertanian Hutan Hc
campuran

Hutan jati Hj

Hutan pinus Hp

Hutan lainnya Hl

2. Hutan lahan basah Hutan bakau Hm

Hutan Hc
campuran

Hutan nipah Hn
Hutan sagu Hs

3. Belukar B

4. Semak S

5. Padang Rumput Pr

6. Savana Sa

7. Padang alang- Pa
alang

8. Rumput rawa Rr

II. Daerah tak C. Bukan 1. Lahan terbuka Lb


bervegetasi daerah
pertanian 2. Lahar dan Lava Ll
3. Beting Pantai Bp

4. Gosong sungai Gs

5. Gumuk pasir Gp
III. Permukiman dan D. Daerah 1. Permukiman Kp
lahan bukan tanpa liputan
pertanian vegetasi 2. Industri In

3. Jaringan jalan

4. Jaringan jalan KA

5. Jaringan listrik
tegangan tinggi

6. Pelabuhan udara

7. Pelabuhan laut

IV.Perairan E. Tubuh 1. Danau D


perairan
2. Waduk W
3. Tambak ikan Ti

4. Tambak garam Tg

5. Rawa R
6. Sungai

7. Anjir pelayaran

8. Saluran irigasi

9. Terumbu karang
10. Gosong pantai

Peta Klasifikasi Penggunaan Lahan menurut Klasifikasi Malingerau pada Jenjang 2 diperoleh
peta sebagai berikut:

Dibuat Oleh :
Maratul muslimah
16/407386/PGE/01283

PASCASARJANA PENGINDERAAN JAUH


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017

Peta Penggunaan Lahan yang mengikuti sistem Klasifikasi Malingerau jenjang ke II


tersebut kemudian ditumpang susun dengan Peta Arahan pada skala yang sama yaitu
1:500.000. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan dapat dikategorikan berdasarkan ketentuan
kategori oleh FAO (1976) yang dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo,
Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat
ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan
yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Pada pembuatan peta Evaluasi Penggunaan Lahan di D.I.Y
kali ini tingkat kesesuaian yang dogunakan adalah pada tingkat ordo. Berdasarkan hasil
tumpang susun yang dilakukan, diperoleh Peta Kesesuaian Lahan sebagai berikut:
Dibuat Oleh :
Maratul muslimah
16/407386/PGE/01283

PASCASARJANA PENGINDERAAN JAUH


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017

Penentuan (Sesuai) dan Tidak Sesuai (TS) kemudian dikategorikan sebagai berikut:
K.budidaya tan, semusim dan pemuk – tubuh air = TS
K.budidaya tan, semusim dan pemuk – bukan pertanian bervegetasi = TS
K.budidaya tan, semusim dan pemuk – tanpa liputan vegetasi= S
K.budidaya tan, semusim dan pemuk – pertanian bervegetasi = S
K.budidaya tan, semusim dan pemuk – bukan pertanian tidak bervegetasi = TS

K. budidaya tan, tahunan – tubuh air = TS


K. budidaya tan, tahunan – bukan pertanian bervegetasi = S
K. budidaya tan, tahunan – tanpa liputan vegetasi = TS
K. budidaya tan, tahunan – pertanian bervegetasi = TS
K. budidaya tan, tahunan – bukan pertanian tidak bervegetasi = TS

K. lindung – tubuh air = S


K. lindung – bukan pertanian bervegetasi = S
K. lindung – tanpa liputan vegetasi = TS
K. lindung – pertanian bervegetasi = TS
K. lindung – bukan pertanian tidak bervegetasi = S

K. penyangga – tubuh air = S


K. penyangga – bukan pertanian bervegetasi = S
K. penyangga – tanpa liputan vegetasi = TS
K. penyangga – pertanian bervegetasi = TS
K. penyangga – bukan pertanian tidak bervegetasi = S
Pada Peta Evaluasi Lahan yang ditampilkan di atas, parameter kemampuan fisik lahan
belum dijadikan pertimbangan. Menurut Ritung (2007), berbagai sistem evaluasi lahan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter,
sistem penjumlahan parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan
karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Berdasarkan sistem evaluasi lahan
yang digunakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(dulu bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat), Bogor terdapat
software yang disebut dengan Automated Land Evaluation System atau ALES (Rossiter dan Van
Wambeke, 1997 dalam Ritung, 2007). ALES merupakan suatu perangkat lunak yang dapat diisi
dengan batasan sifat tanah yang dikehendaki tanaman dan dapat dimodifikasi sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan tentang evaluasi lahan. ALES mencocokkan antara kualitas dan
sifat-sifat lahan (Land Qualities/Land Characteristics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan
berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman.
Klasifikasi Land Capability antara lain oleh USDA. Klasifikasi kemampuan lahan yang
telah baku dikembangan oleh USDA menggunakan 8 kelas kemampuan dari kelas I hingga kelas
VIII. Kelas I menunjukkan potensi lahan yang tinggi, sedangkan kelas VIII menunjukkan potensi
lahan terendah.
Tabel 1. Petunjuk klasifikasi kemampuan lahan
Klas Nilai Variabel Penentu
Kemampu Tekstur Tanah PH tanah Kedala- Drainase Lereng Bahan Tingkat Ancaman
an lahan man kasar di- erosi banjir
efektif permukan
tanah
1 Sedang (s) Netral (ne) Dalam Baik (b) Datar Tanpa (-) Tanpa Tanpa (-)
Agak halus (ah) Agak masam (am) (d) (dt) (-)
Agak kasar (ak) Agak alkalis (al)
2 Sedang (s) Netral (ne) Dalam Baik (b) Datar Tanpa (-) ringan Jarang
Agak halus (ah) Agak masam (am) (d) (dt) (ri) (jr)
Agak kasar (ak) Agak alkalis (al)
3 Sedang (s) Agak masam (am) Sedang Sedang Landai Sedikit (kt) Sedang Sering
Agak halus (ah) Agak alkalis (al) (sd) (s) (ld) (sd) (sr)
Agak kasar (ak)
Halus (h)
4 Sedang (s) Agak masam (am) Sedang Jelek (j) Agak Sedang Berat Selalu
Agak halus (ah) Agak alkalis (al) (sd) curam (sd) (br) (sl)
Agak kasar (ak) (ac)
Halus (h)
5 * Masam (ms) * Jelek (j) Datar Banyak ** Selalu
Alkalis (al) (dt) (bn) (sl)
6 Sedang (s) Sangat masam * ** Sangat * Berat **
Agak halus (ah) (sm) curam (br)
Agak kasar (ak) Sangat alkalis (sl) (Sc)
Halus (h)
7 Sedang (s) Sangat masam * ** Sangat * Berat **
Agak halus (ah) (sm) curam (br)
Agak kasar (ak) Sangat alkalis (sl) (Sc)
Halus (h)
8 Kasar (k) Sangat masam * Jelek (j) Sangat Banyak * *
(sm) curam (bn)
Sangat alkalis (sl) (Sc)
Sumber: Arsyad 1989 dalam Panduan Praktikum PJ untuk Pengembangan WIlayah
Keterangan * = tidak laku
** = dapat mempunyai sembarang sifat

Tabel 2. Tabel Kualitas dan Karakteristik Lahan menurut Djaenudin et al (2003) dalam Ritung
(2007)
Pendekatan mengenai karakteristik lahan untuk mengetahui kemampuan lahan yaitu
dari peta bentuk lahan (landform). Masing-masing bentuk lahan memiliki karakteristik tentang
bagaimana ketebalan tanah, tekstur tanah, drainase, kelembaban, tingkat erosi, ancaman
banjir, lereng dan lainnya seperti yang disebutkan pada tabel. Pada masing-masing kriteristik
tersebut kemudian dapat diketahui kelas kemampuan lahan dan fungsi pemanfaatan yang
paling sesuai berdasarkan kemampuan lahan yang ada pada satu lokasi berdasarkan
pendekatan ekologisnya. Sebagai contoh misalnya pada dataran banjir, tidak akan sesuai jika
digunakan untuk area pemukiman, Beting pantai memiliki tanah dengan tekstur kasar yang
tidak cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian karena tidak mampu menyimpan
air atau pada area gunung berapi yang dijadikan sebagai kawasan lindung karena beresiko jika
digunakan untuk membangun permukiman dan fungsi pemanfaatan pada kawasan tinggi
adalah sebagai area tangkapan air. Berikut ini adalah peta bentuk lahan D.I.Y. di mana peta
bentuklahan akan memberikan pemahaman karakteristik geofisik tanah:
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk membuat peta evaluasi penggunaan lahan,
jenis pendekatan yang dilakukan dari dua pendekatan yaitu berdasarkan peraturan pemerintah
yang mengacu pada peta arahan yang pada tingkat provinsi dibagi menjadi empat kategori
yang disusun berdasarkan peta curah hujan, peta lereng, dan jenis tanah. Selanjutnya
pendekatan yang lebih bersifat land site improvement yaitu dengan memperhatikan
kemampuan lahan pada tingkat yang lebih detil sehingga pengklasifikasian sesuai dan tidak
sesuia menjadi lebih spesifik dan berkelanjutan. Seperti yang disampaikan Ritung (2007),
evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda seperti sistem
perkalian parameter, sistem penjumlahan parameter dan sistem pencocokan (matching)
antara kualitas lahan dan karakteristik lahan. Hal itu dikarenakan sifat biofsik tanah yang dapat
menjelaskan tentang land capability memuat persyaratan untuk hidup misalnya tumbuh
tanaman, tempat pemukiman dan pembuatan bangunan, daerah konservasi untuk
penangkapan air, dsb. Selanjutnya sebagai penutup, kesesuaian lahan potensial
menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan
(Land Site Improvement). Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar
atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi
masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman
yang lebih sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Fikril, F. 2015. Evaluasi Penggunaan Lahan dan Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kota
Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Sekolah Pascasarjana.IPB. Bogor.
Munibah, K.S. dkk. 2009. Model Hubungan antara Jumlah Penduduk dengan Luas Lahan
Pertanian dan Permukiman Studi Kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten. Jurnal Tanah
Lingkungan. Vo. 11: 32-40.
Ritung, S. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan
Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre. ICRAF
Southeast Asia.
Satria, M. dan Sri R. 2013. Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di Kota Semarang Bagian Selatan. Jurnal
Teknik PWK. Vol. 2 : 1
Sukojo, B.M., dan Diah S. 2003. Penerapan Metode Penginderaan Jauh dan SIG untuk Analisa
Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Wilayah Kali Surabaya). Jurnal Makara
Teknologi. Vo. 7 :1.

Anda mungkin juga menyukai