Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan pencernaan merupakan masalah kesehatan yang mempengaruhi satu


atau beberapa organ dari sistem pencernaan secara bersamaan. Sistem pencernaan
berfungsi untuk menerima makanan, lalu mencerna atau memecahnya menjadi
nutrisi yang bisa diserap untuk selanjutnya disalurkan ke seluruh tubuh melalui
darah. Selain itu, sistem pencernaan juga bertugas memisahkan dan membuang
bagian dari makanan yang tidak bisa dicerna.
Sistem pencernaan pada dasarnya adalah suatu saluran dengan panjang sekitar
30 kaki (9 m) yang berjalan melalui bagian tengah tubuh dari mulut ke anus. Saluran
pencernaan manusia terbagi menjadi saluran cerna bagian atas dan saluran cerna
bagian bawah yang dipisahkan oleh ligamentum treitz yang merupakan bagian
duodenum pars ascending yang berbatasan dengan jejunum. Saluran cerna bagian
atas terdiri dari rongga mulut, esofagus, gaster, dan duodenum, pada bagian fleksura
duodenojejunal malekat otot yang disebut ligamentum Treitz yang memisahkan
saluran cerna bagian atas dan saluran cerna bagian bawah. Saluran cerna bagian
bawah itu sendiri terdiri dari jejunum, ileum, colon (usus besar), rektum, dan anus.1
Penyakit gangguan saluran pencernaan merupakan penyakit yang sering di
derita oleh orang dewasa. Apabila sistem pencernaan terganggu, tubuh pun akan
mengalami sakit. Bila hal tersebut terjadi, maka proses metabolisme tidak dapat
berjalan dengan baik. Saluran pencernaan pun tak lepas dari serangan berbagai
penyakit diantaranya adalah Gastritis, Gastroesofageal Refluks Disease, Ulkus
Peptikum¸Irritable Bowel Syndrome dan Kolitis.
Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di klinik
penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis adalah proses inflamasi pada
mukosa dan submukosa lambung yang bersifat akut, kronis, difus, dan lokal. Ulkus
peptikum adalah ulkus lambung dan ulkus duodenum juga merupakan penyakit
yang masih banyak ditemui di klinik terutama pada kelompok usia di atas 45 tahun.
Ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang sampai di
bawah epitel. Ulkus peptikum dapat terletak di setiap bagian saluran cerna yang
terkena getah asam lambung seperti esofagus, lambung, duodenum, dan jejunum.2,3
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal reflux disease/GERD)
adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring,
laring dan saluran nafas. Selain GERD, banyak ahli yang menggunakan refluks
esofagitis untuk kasus ini karena keadaan ini yang terbanyak dari penyakit refluks
gastroesofageal.2
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah salah satuh penyakit saluran cerna
fungsional. Pengertian Irritable Bowel Syndrome sendiri adalah adanya nyeri perut,
distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik. Gejala yang muncul
pada pasien dengan IBS cukup bervariasi. Disisi lain pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang spesifik tidak ada, oleh karena itu penegakan diagnosis IBS
sangat sulit.2
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan
penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi kolitis infeksi dan kolitis non-infeksi.
Kolitis infeksi contohnya shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis
pseudomembran, kolitis yang disebabkan oleh karena virus/bakteri/parasit.
Sedangkan kolitis non-infeksi contohnya kolitis ulseratif, penyakit Crohn’s, kolitis
radiasi, kolitis mikroskopik dan kolitis non-spesifik (simple colitis).2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi dan Fisologi Saluran Pencernaan

a. Cavitas oral
Kavitas oral atau mulut merupakan tempat pencernaan mekanikal dan kimiawi.
Lapisan epitel yang melapisinya adalah sel squamous berlapis non keratin yang
melindungi dari aktivitas yang kasar dalam melakukan digesti dimulut. Lapisan ini
dilembapi oleh sekresi saliva.4,5
Kavitas oral pada bagian anterior dibatasi oleh gigi dan bibir dan bagian
posterior dibatasi oleh orofaring. Bagian superior kavitas oral di bentuk oleh
palatum mole dan palatum durum. Pada bagian dasar kavitas oral dibentuk oleh otot
mylohioid yang dilapisi oleh membran mukus.4
b. Faring
Merupakan rongga yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai digestive dan
respirasi, epitel gepeng berlapis tanpa keratin, pada orofaring dan laringofaring
berfungsi untuk melindungi aktivitas pada saat menelan material ingested ke
kerongkongan.2,4,5
Terdapat 3 pasang otot yaitu superior, middle, dan inferior faringeal constrictors,
yang membentuk dinding faring. Ketika konstriktor faringeal konstriksi, menutup
laringeal agar material ingesti tidak masuk ke laring dan trakea. Otot-otot pada
faring dipersarafi oleh nervus vagus. Arteri utama yang mensuplai faring berasal
dari percabangan arteri karotis eksternal. Faring juga di perdarahi oleh vena
jugularis interna.2,5
c. Esofagus
Esofagus merupakan saluran tubular yang berfungsi sebagai jalur material
ingesti dan menghubungkan faring ke gaster. Bagian inferior dari esofagus
berhubungan dengan gaster dan karena bermuara di diafragma disebut hiatus
esofagus.4
Dinding esofagus tebal dan terdiri dari tunika konsentrik yang menghubungkan
bagian superior dari faring dan inferior dari gaster. Pada orang dewasa, panjang
esofagus sekitar 25 cm (sekitar 10 inches). Esofagus yang berlokasi di rongga
abdomen hanya sekitar 1.5 cm, ketika kosong esofagus kolaps, hanya bolus
makanan yang bisa melewati esofagus.2,4
Esofagus dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis non keratin. Pada bagian
superior dari esofagus ada sfingter esofagus superior (sfingter faringoesofageal)
otot cincin sirkuler yang tebal yang berada diantara pertemuan esofagus dan faring.
Sfingter ini tertutup selama proses inhalasi udara, jadi udara tidak bisa masuk
esofagus dan hanya masuk laring dan trakea. Muara antara esofagus dan gaster di
batasi oleh otot polos berbentuk sirkular yang tipis yang disebut sfingter esofageal
inferior (sfingter esofagealgastrik atau sfingter kardiak). Sfingter ini tidak cukup
kuat menahan sendiri untuk terjadinya refluk material di gaster masuk ke esofagus.
Tapi sebenarnya fungsi dari sfingter ini adalah untuk mencegah terjadinya balikan
material dari gaster ke esofagus.2,4,5
d. Gaster
Gaster terbagi menjadi 4 regio:
- Cardia yaitu bagian superior gaster.
- Fundus yaitu bagian lateral yang berbentuk kubah dan superior dari gaster
merupakan sambungan esofageal. Permukaan superior ini berhubungan dengan
diafragma.
- Corpus adalah bagian terbesar dari gaster, merupakan bagian inferior dari
orifisium cardiaca dan fundus.
- Pylorus adalah bagian yang sempit, terletak di regio medial gaster. Pylorus
terbagi menjadi 2 bagian; pylorus antrum (dekat dengan corpus) dan pylorus
canal (dekat dengan duodenum). Bukaan duodenum pada intestinum tenue
adalah orifisium pylori. Yang mengelilingi orifisium pylori ini adalah otot
sirkular yang berbentuk cincin yang disebut sfingter pylori. Sfingter pylori
mengatur masuknya chyme ke dalam intestinum tenue, bila menutup sfingter ini
di atur oleh simpatis, bila membuka diatur oleh parasimpatis.1,2
Gaster dilapisi oleh epitel kolumnar selapis, dan sedikit proses absorbsi terjadi
di gaster. Epitelium ini tidak terdiri dari sel goblet, yang mana sekresi mucin berasal
dari sel permukaan mukus. Pada lapisan muskularis mukosa pada gaster berfungsi
untuk mengeluarkan sekret ketika kontraksi. Terdapat 3 lapisan otot yaitu oblique
pada lapisan dalam, sirkular pada lapisan tengah, dan longitudinal lapisan bagian
luar. Bagian setelah tunika mukosa adalah tunika serosa.2
Gastric juice diproduksi oleh sel glandula gaster, dan sekresinya masuk ke
saluran sekret dan kemudian mengalirkannya ke lumen gaster. Ada lima tipe sel
sekretori pada epitel gaster.
- Surface mukus sel. Sel ini melapisi sepanjang lumen gaster, menghasilkan mucin
untuk mencegah ulserasi pada lapisan atas yang terkena kadar asam yang tinggi
dan melindungi epitel dari enzim gastrik.
- Sel leher mukosa, sel yang terletak pada bagian dasar lubang lambung dan
berada disela sel parietal. Sel ini memproduksi mucin asam yang strukturnya dan
fungsinya berbeda dari mucin yang dihasilkan oleh surface mukus sel. Mucin
asam membantu mempertahankan kondisi dari sekresi HCl oleh sel parietal.
- Sel Parietal, sel yang juga sering disebut sel oxyntic berlokasi terutama dibagian
proksimal dan medial bagian dari glandula gaster. Fitur khasnya adalah saluran
intraseluler kecil yang disebut canaliculi, yang dilapisi oleh mikrovili. Asam
klorida disekresikan melalui sel parietal untuk memecah protein (pencernaan
kimiawi). Sel parietal juga memproduksi faktor intrinsik, yaitu molekul yang
mengikat vitamin B12 di lumen gaster dan membantu penyerapan B12 di ileum
pada Intestinum Tenue.
- Sel Chief, yang sering disebut sel Zymogenic atau sel peptik berada di bagian
distal pada glandula gastrik. Sel ini menyintesis dan menyekresik enzim,
umunya pepsinogen inactive ke dalam lumen gaster. Asam mengisi gaster
kemudian mengubahnya dari pepsinogen inaktif menjadi enzim pepsin yang
aktif.
- Sel Enteroendokrine, merupakan sel endokrin yang tersebar luas di glandula
gastrik di lambung. Sel ini mensekresikan gastrin, yaitu suatu hormon yang
masuk ke aliran darah dan menstimulasi aktivitas sekretori pada sel chief dan sel
parietal serta aktivitas kontraktil pada otot gastrik. Sel Enteroendokrin juga
memproduksi hormon lainnya, seperti somatostatin, yang memodulasi fungsi sel
yang dekat enteroendokrin dan sel eksokrin.2,5
e. Intestinum tenue
Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum,dan ileum. Pada duodenum masih
terjadi proses pencernaan karbohidrat, protein dan lemak yang di bantu oleh sekresi
enzim-enzim dari pancreas dan garam empedu dari vesika felea, yang mana masuk
ke dalam duodenum melalui sfingter oddi, sedangkan pada jejunum dan ileum sudah
tidak terjadi lagi proses pencernaan. Di ileum dan jejunum mulai terjadi absorbs air,
mineral, dan nutrisi.2,4,5
f. Intestinum crasum
Bagian terakhir dari saluran pencernaan dimulai dari apendiks, sekum dan
valvula boumann sampai anus. Pada usus besar terjadi absorbsi air dan elektrolit.
Juga terjadi proses pembusukan dan pemadatan. Di usus besar juga sebagai tempat
reservoir feses yang akan dikeluarkan pada saat yang tepat.5

2.2 Gastritis
2.2.1 Definisi
Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di klinik
penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis adalah proses inflamasi pada
mukosa dan submukosa lambung. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan
adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Gastritis atau lebih dikenal
sebagai magh berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti perut/lambung
dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis adalah suatu keadaan
peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronis, difus, dan lokal.3,7

2.2.2 Etiologi
Infeksi kuman Helicobacter pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat
penting. Di Negara berkembang penyebab prevalensi penyebaran Helicobacter
pylori pada orang dewasa mendekati 90%. Sedangkan pada anak-anak prevalensi
infeksi Helicobacter pylori lebih tinggi lagi. Selain itu, penggunaan antibiotika
akibat infeksi paru dicurigai mempengaruhi penularan kuman dikomunitas karena
antibiotika tersebut mampu mengeradikasi infeksi Helicobacter pylori, walaupun
persentasi penyebarannya rendah. Pada awal infeksi Helicobacter pylori, mukosa
lambung akan menunjukkan respons inflamasi akut. Secara endoskopik sering
tampak erosi dan tukak multiple antrum oleh lesi hemoragik. Gastritis akut akibat
Helicobacter pylori sering diabaikan oleh pasien sehingga dapat menjadi menjadi
kronik.7
Gangguan fungsi imun juga dihubungkan dengan gastritis kronik setelah
ditemukan antibodi terhadap faktor intrinsik dan terhadap secretory canalicular
structure sel parietal terhadap pasien anemia pernisiosa. Antibodi terhadap sel
parietal mempunyai kolerasi yang lebih baik dengan gastritis kronis, korpus dalam
berbagai gradasi dibandingkan dengan antibody terhadap faktor intrinsik. Pasien
kronik yang mengandug antibodi sel parietal dalam serumnya dan mempunyai
anemia pernisiosa mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut : menderita gastritis
kronik yang secara histopatologis menunjukkan gambaran gastritis kronis atropik,
predominasi korpus dan pada pemeriksaan darah menunjukkan hipergastrinemia.
Pasien-pasien tersebut sering juga menderita penyakit lain yang disebabkan oleh
gangguan fungsi sistem imun. Masih harus dibuktikan bahwa kuman Helicobacter
pylori dapat menjadi pemicu reaksi imunologis tersebut. Kecurigaan terhadap peran
infeksi Helicobacter pylori diawali terhadap kenyataan bahwa pasien yang
terinfeksi Helicobacter pylori terhadap secretory canalicullar structure sel parietal
jauh lebih tinggi dari pada pasienn yang tidak terinfeksi.7
Terdapat beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi mukosa lambung
misalnya Enteric rotavirus dan Calicivirus. Kedua jenis virus tersebut dapat
memicu terjadinya gastroenteritis, tetapi secara histopatogis tidak spesifik. Hanya
Cytomegalovirus yang dapat menimbulkan gambaran histopatologi yang khas.
Infeksi Cytomegalovirus pada gaster biasanya merupakan bagian dari infeksi pada
banyak organ lain, terutama pada organ muda dan immunocompromized.7
Jamur Candida spesies, Histoplasma capsulatum dan Mukonaceae dapat
menginfeksi mukosa gaster hanya pada pasien immunocomprimized. Pasien yang
sistem imunnya baik biasanya tidak mudah terinfeksi oleh jamur, mukosa lambung
bukan merupakan tempat yang mudah terkena infeksi parasit.7
Obat anti-inflamasi nonsteroid merupakan penyebab gastropati yang amat
penting. Gastropati akibat OAINS bervariasi sangat luas, dari hanya berupa keluhan
uluhati sampai pada keluhan tukak peptik dengan komplikasi perdarahan saluran
cerna bagian atas, begitu pula dengan alkohol yang dapat mengiritasi dan mengikis
mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan
terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal.7

2.2.3 Klasifikasi
1. Gastritis Akut
Gastritis akut adalah inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar
merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna. Salah satu bentuk
gastritis akut yang manifestasi klinisnya adalah:
a) Gastritis akut erosif, disebut erosif apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih
dalam dari pada mukosa muscolaris (otot-otot pelapis lambung).
b) Gastritis akut hemoragic, disebut hemoragic karena pada penyakit ini akan
dijumpai perdarahan mukosa lambung dalan berbagai derajat dan terjadi erosi
yang berarti hilangnya kontunuitas mukosa lambung pada beberapa tempat,
menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut.3
2. Gastritis Kronis
Gastritis kronis adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang
bersifat menahun. Gastritis kronik diklasifikasikan dengan tiga perbedaan
sebagai berikut :
a) Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan ; edema , serta perdarahan
dan erosi mukosa.
b) Gastritis atrofik, dimana peradangan terjadi di seluruh lapisan mukosa pada
perkembanganya dihubungkan dengan ulkus dan kanker lambung, serta
anemia pernisiosa. Hal ini merupakan karakteristik dari penurunan jumlah sel
parietal dan sel chief.
c) Gastritis hipertrofik, suatu kondisi dengan terbentuknya nodul-nodul pada
mukosa lambung yang bersifat iregular, tipis, dan hemoragik.3

2.2.4 Patofisiologi
Terdapat gangguan keseimbangan faktor agresif dengan faktor defensif yang
berperan dalam menimbulkan lesi pada mukosa. Faktor-faktor tersebut yang
berperan menimbulkan lesi pada mukosa. Dalam keadaan normal, faktor defensif
dapat mengatasi faktor agresif sehingga tidak terjadi kerusakan atau kelainan
patologi.8
Faktor Agresif Faktor Defensif
- Asam lambung - Mukus
- Pepsin - Bikarbonas mukosa
- OAINS - Prostaglandin mikrosirkulasi
- Empedu
- nfeksi virus
- Infeksi bakteri H. pylori
- Bahan korosif : asam dan basa kuat
Patofisiologi dasar dari gastritis adalah gangguan keseimbangan faktor agresif
(asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan
aspirin atau obat anti inflamasi non steroid (AINS) lainnya, obat-obatan
kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa
lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau
ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas.
Gaster memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan terpapar oleh
berbagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi integritas mukosanya, seperti
asam lambung, pepsinogen/pepsin dan garam empedu. Sedangkan faktor
eksogennya adalah obat-obatan, alkohol dan bakteri yang dapat merusak integritas
epitel mukosa lambung, misalnya Helicobacter pylori. Oleh karena itu, gaster
memiliki dua faktor yang sangat melindungi integritas mukosanya,yaitu faktor
defensif dan faktor agresif. Faktor defensif meliputi produksi mukus yang
didalamnya terdapat prostaglandin yang memiliki peran penting baik dalam
mempertahankan maupun menjaga integritas mukosa lambung, kemudian sel-sel
epitel yang bekerja mentransport ion untuk memelihara pH intraseluler dan
produksi asam bikarbonat serta sistem mikrovaskuler yang ada dilapisan
subepitelial sebagai komponen utama yang menyediakan ion HCO3- sebagai
penetral asam lambung dan memberikan suplai mikronutrien dan oksigenasi yang
adekuat saat menghilangkan efek toksik metabolik yang merusak mukosa lambung.
Gastritis terjadi sebagai akibat dari mekanisme pelindung ini hilang atau rusak,
sehingga dinding lambung tidak memiliki pelindung terhadap asam lambung.8
Obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak teratur, stress, dan lain-lain dapat
merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung, dan
memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini
menimbulkan peradangan. Respons mukosa lambung terhadap kebanyakan
penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-
gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang
terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya
zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan peradangan
dan nekrosis pada dinding lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi
dinding lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.8
Gastritis kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung
dan keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau
kehijauan (gastritis atropik). Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan
mengakibatkan berkurangnya sekresi lambung dan timbulnya anemia pernisiosa.
Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk karsinoma lambung.
Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan dengan ulkus peptikum.8

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang sering timbul pada gastritis antara lain perih atau sakit seperti
terbakar pada perut bagian atas yang dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk
ketika makan (abdominal cramping and pain); mual (Nausea); muntah (vomiting);
kehilangan selera (loss of appetite); kembung (Belching or bloating); terasa penuh
pada perut bagian atas setelah makan; dan kehilangan berat badan (weight loss);
sendawa; dan flatus.3
Episode berulang atau kekambuhan berulang gastritis akut dapat menyebabkan
gastritis berkembang menjadi gastritis kronik. Kekambuhan penyakit gastritis dapat
disebabkan karena kontak berulang atau peningkatan faktor ofensif atau faktor yang
menyebabkan kerusakan mukosa lambung yang terdiri dari asam lambung, pepsin,
asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-
negatif, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), alkohol, dan radikal bebas.
Episodik berulang atau kekambuhan berulang gastritis juga dapat disebabkan oleh
stress psikologis.3

2.2.7 Diagnosis
Kebanyakan gastritis tidak memiliki gejala. Keluhan gastritis biasanya tidak
khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri
panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Keluhan-
keluhan ini sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis. Keluhan-keluhan
tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan fisik biasanya juga tidak dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi.
Sebaiknya biopsi dilakukan dengan sistematis sesuai dengan Update Sydney System
yang harus mencantumkan topografi. Gambaran endoskop yang dapat dijumpai
adalah eritema, eksudatif, flat-erosion, raised erosion, perdarahan, edematous
rugae. Perubahan-perubahan histopatologi selain menggambarkan perubahan
morfologi sering juga dapat menggambarkan proses yang mendasari, misalnya
autoimun atau respon adaptif mukosa lambung. Perubahan-perubahan yang terjadi
berupa degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi netrofil, inflamasi sel
mononuklear, folikel limpoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel
endokrin, kerusakan sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga
menyertakan kuman Helicobacter pylori.7
Untuk Gastritis akut, ada 3 cara dalam menegakkan diagnosis, yaitu gambaran
klinis, gambaran lesi mukosa akut di mukosa lambung berupa erosi atau ulkus
dangkal dengan tepi rata pada endoskopi, dan gambaran radiologi (atrofi; mukosa
yg menipis, hipertrofi; mukosa kasar bisa disertai dengan hipersekresi, foto 3 lapis).
Sedangkan untuk diagnosis gastritis kronik ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa
lambung. Perlu pula dilakukan kultur untuk membuktikan adanya infeksi H. pylori
apalagi jika ditemukan ulkus baik pada lambung ataupun pada duodenum
mengingat angka kejadianya cukup tinggi yakni 100 %.

2.2.8 Tatalaksana7
Penatalaksanaan medikal untuk gastritis akut adalah dengan menghilangkan
etiologinya, diet lambung dengan porsi kecil dan sering. Obat-obatan ditujukan
untuk mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis reseptor H2, inhibition
pompa proton, antikolinergik dan antasid juga ditujukan sebagai sitoprotektor
berupa sukralfat dan prostaglandin. Penatalaksanaan sebaiknya meliputi
pencegahan terhadap setiap pasien dengan resiko tinggi, pengobatan terhadap
penyakit yang mendasari dan menghentikan obat yang dapat menjadi penyebab dan
pengobatan suportif. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida dan
antagonis H2 sehingga mencapai pH lambung 4. Meskipun hasilnya masih jadi
perdebatan, tetapi pada umumnya tetap dianjurkan. Pencegahan ini terutama bagi
pasien yang menderita penyakit dengan keadaan klinis yang berat.
Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi nonsteroid pencegahan yang terbaik
adalah dengan Misaprostol, atau Derivat Prostaglandin Mukosa. Pemberian
antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek teraupetiknya
masih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila keadaan pasien
membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada sebagian pasien biasa
mengancam jiwa. Tindakan-tindakan itu misalnya dengan endoskopi skleroterapi,
embolisasi arteri gastrika kiri atau gastrektomi. Gastrektomi sebaiknya dilakukan
hanya atas dasar absolut.
Penatalaksanaan untuk gastritis kronis adalah ditandai oleh progesif epitel
kelenjar disertai sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi tipis dan
mukosa mempunyai permukaan yang rata, Gastritis kronis ini digolongkan menjadi
dua kategori tipe A (altrofik atau fundal) dan tipe B (antral). Pengobatan gastritis
kronis bervariasi, tergantung pada penyakit yang dicurigai. Bila terdapat ulkus
duodenum, dapat diberikan antibiotik untuk membatasi Helicobacter Pylory.
Namun demikian, lesi tidak selalu muncul dengan gastritis kronis alkohol dan obat
yang diketahui mengiritasi lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia defisiensi
besi (yang disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyakit ini harus diobati,
pada anemia pernisiosa harus diberi pengobatan vitamin B12 dan terapi yang
sesuai.
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet dan meningkatkan istirahat,
mengurangi dan memulai farmakoterapi. Helicobacter Pylory dapat diatasi dengan
antibiotik (seperti Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan garam bismut (Pepto bismol).
Pasien dengan gastritis tipe A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12.
Terapi Non-Medikamentosa
Diet, walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet yang
dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada ulkus yang
aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, hal ini lebih
baik daripada makan yang sekaligus kenyang. Mengurangi makanan yang
merangsang pengeluaran asam lambung/pepsin, makanan yang merangsang
timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat mengganggu pertahanan mukosa
gastroduodenal. Beberapa peneliti menganjurkan makanan biasa, lunak, tidak
merangsang dan diet seimbang. Merokok menghalangi penyembuhan ulkus,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni,
menambah refluks dudenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus
meningkatkan kekambuhan ulkus. Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi
sekresi asam lambung tetapi dapat memperlambat pemyembuhan luka serta
meningkatkan angka kematian karena efek peningkatan kekambuhan penyakit
saluran pernafasan dan penyakit jantung koroner. Alkohol belum terbukti
mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak
mempunyai pengaruh ulserogenik tetapi dapat menambah sekresi asam lambung
dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan luka dan sebaiknya jangan
diminum sewaktu perut kosong.
Medikamentosa OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral
(supositorik dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS
diturunkan atau dikombinasikan dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Pada saat ini
sudah tersedia COX 2 inhibitor yang selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang
menimbulkan keluhan perut. Agen inhibitor COX-2 selektif dibedakan menurut
susunan sulfa (rofecoxib, etoricoxib) dan sulfonamida (celecoxib, valdecoxib).
Penggunaan parasetamol atau kodein sebagai analgesik dapat dipertimbangkan
pemakaiannya.
Terapi Medikamontosa
1. Antasida. Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang
mengandung magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena
menimbulkan hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium
menyebabkan konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat
menghilangkan efek samping. Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc. 
2. Kolid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrst/CBS dan Bismuth Subsalisilat/BSS).
Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal bersama
protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap pengaruh asam dan
pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG, bikarbonat,
mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro toksik.
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta
adanya efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan
relaps berkurang. Dosis anjuran 2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa
tinja berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan.
3. Sucralfat syrup. Suatu kompleks garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti
dengan aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan
melalui pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub
positif molekul protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar ulkus,
yang melindungi ulkus dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain
membantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan mukus,
meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal. Dosis anjuran 4x1 gr
sehari.
4. Prostaglandin. Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah
sekresi mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta
pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam lambung
kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai
penangkal terjadinya ulkus lambung pada pasien yang menggunakan OAINS.
Dosis anjuran 4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan malam hari. Efek samping
diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak
dianjuran pada orang hamil dan yang menginginkan kehamilan.
5. Antagoni Reseptor H2/ARH2. (Cimetidin, Ranitidine, Famotidine,
Nizatidine), struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya
memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat
dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel.
Pengurangan sekresi asam post prandial dan nokturnal, yaitu sekresi nokturnal
lebih dominan dalam rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus. Dosis
terapeutik :
Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari
Ranitidin : 300 mg malam hari
Nizatidine : 1x300 mg malam hari
Famotidin : 1x40 mg malam hari
Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari
Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam dalam
potensi yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari
famotidin karena dosis terapeutik lebih besar. 
6. Proton Pump Inhibitor/PPI (Omeprazol, Lanzoprazol, pantoprazol,
Rabeprazol, Esomesoprazol). Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja
enzim K + H+ ATPase yang akan memecah K+ H+ ATP menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke
dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel
kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien ulkus, mengurangi
aktivitas faktor agresif pepsin dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi
oleh triple drugs regimen. Dosis Terapetik :
Rabeprazole 2x 20 mg/ hari
Omeprazole 2x 20 mg/ hari
Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari
Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari
Pantoprazole 2x 40 mg/ hari
7. Regimen terapi untuk H. Pylori yaitu terapi Triple. Secara historis regimen
terapi eradikasi yang pertama digunakan adalah: bismuth, metronidazole,
tetrasiklin. Regimen triple terapi (PPI 2x1, Amoxicillin 2x1000, klaritromisin
2x500, metronidazole 3x500, tetrasiklin 4x500) dan yang banyak digunakan
saat ini:
1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin
2x500
2. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila alergi penisilin)
3. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000 4. PPI 2x1 +
Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap klaritromisin dan
penisilin Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari
rabeprazole. Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk
kesembuhan ulkus, bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi.
Keberhasilan eradikasi sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-
30%. Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya efek
samping dan compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan
pasca eradikasi biasanya suatu rekurensi denfan infeksi kuman lain. Tujuan
eradikasi HP adalah mengurangi keluhan/gejala, penyembuhan ulkus,
mencegah kekambuhan. Eradikasi selain dapat mencegah kekambuhan ulkus,
juga dapat mencegah perdarahan dan keganasan. Terapi Quadripel. Jika gagal
dengan terapi triple, maka dianjurkan memberikan regimen terapi Quadripel
yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ 4x250, Tetrasiklin
4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi. Bila belum
berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.7

2.3 Ulkus Peptikum


2.3.1 Definisi

Ulkus peptikum merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas


sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah
epitel disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap sebagai ”ulkus” (misalnya
ulkus karena stres). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap
bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejenum.3,9
Ulkus peptikum atau tukak peptic adalah ulkus yang terjadi pada mukosa,
submukosa dan kadang-kadang sampai lapisan muskularis dari traktus
gastrointestinalis yang selalu berhubungan dengan asam lambung yang cukup
mengandung HCL. Termasuk ini ialah ulkus (tukak) yang terdapat pada bagian
bawah dari oesofagus, lambung dan duodenum bagian atas (first portion of the
duodeum). Mungkin juga dijumpai tukak di jejenum, yaitu penderita yang
mengalami gastrojejenostomy.3,9,10
Ulkus duodenalis, merupakan jenis ulkus peptikum yang paling banyak
ditemukan, terjadi pada duodenum (usus dua belas jari), yaitu beberapa sentimeter
pertama dari usus halus, tepat dibawah lambung. Ulkus peptikum adalah suatu
penyakit dengan adanya lubang yang terbentuk pada dinding mukosa lambung,
pilorus, duodenum atau esofagus.

2.3.2 Epidemiologi
Ulkus peptikum merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan di
masyarakat. Penyakit ini meningkat insidennya seiring dengan bertambahnya usia.
Sekitar sepertiga penderita ulkus duodenum berusia di atas 60 tahun. Sedangkan
prevalensi infeksi akibat Helicobacter pylori, yang merupakan salah satu penyebab
utama ulkus peptikum, sekitar 40-60% pada orang tua asimptomatik dan lebih dari
70% pada orangtua dengan penyakit gastrointestinal. Perbandingan insiden ulkus
peptikum antara laki-laki dan perempuan yaitu 5-10 : 1. Tingkat komplikasi ulkus
peptikum pada usia lanjut lebih tinggi. Pada saat ini, sekitar 50% perforasi terjadi
pada mereka yang berusia diatas 70 tahun. Ulkus peptikum pada korpus lambung
dapat terjadi tanpa sekresi asam berlebihan.
Pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas teradapat 1615 pasien
dengan dispepsia kronik pada Subbagian Gastroenterologi RS pendidikan di
Makassar ditemukan prevalensi ulkus duodenum sebanyak 14% dan ulkum
lambung sebanyak 15%. umur terbanyak berkisar antara 45-65 tahun dengan
kecenderungan makin tua umur, prevalensi makin meningkat dan perbandingan
antara laki-laki dan perempuan 2:1. Pada pasien dengan dispepsia kronik tersebut,
terdapat 367 pasien menggunakan NSAID ditemukan ulkus peptikum sebesar
48,2% dan 64 pasien diperiksa H. pylori ditemukan 59,4% positif terinfeksi.10
2.3.3 Etiologi
Saat ini, salah satu penyebab utama sekitar 60% dari ulkus gaster dan 90% dari
ulkus duodenum ialah adanya reaksi inflamasi kronik akibat invasi dari
Helicobacter pylori yang mana paling banyak membentuk koloni di sekitar antrum
pylori. Helicobacter pylori adalah kuman patogen gram negatif yang berbentuk
batang/spiral, dan merupakan microaerofilik berflagela yang hidup pada permukaan
epitel dan mengandung urease. H.pylori hidup di antrum, tetapi dapat bermigrasi ke
proksimal lambung dan membentuk koloid, suatu bentuk dorman bakteri. Infeksi
kuman H.pylori dapat menimbulkan pangastritis kronis diikuti atrofi sel mukosa
korpus dan kelenjar, metaplasia intestinal, dan hipoasiditas.9

Gambar Helicobacter pylori

Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya ulkus peptikum ini:3,9,10


1. Diet
Makanan yang memperberat keluhan ulkus peptikum antara lain kopi,rempah-
rempah, makanan yang asam, panas, pedas, dan cokelat.
2. Merokok
Merokok dapat meningkatkan insiden ulserasi dan komplikasi lainnya,
memperlambat penyembuhan, menekan produksi bikarbonat, dan menimbulkan
refluks duodeno-gaster.
3. Obat
Non Steroidal Antiinflamatory Drugs (NSAID) dapat merusak mukosa dan
menekan produksi prostaglandin. NSAID bersifat asam dan lipofilik sehingga
mempermudah trapping ion hidrogen masuk ke dalam mukosa dan menimbulkan
kerusakan pada mukosa.
4. Usia
H.pylori meningkat sesuai dengan usia.

2.3.4 Faktor Pertahanan Mukosa Gastroduodenal


Epitel gaster dapat mengalami iritasi terus menerus oleh 2 faktor perusak, yaitu :
- Faktor endogen (HCl, pepsinogen/pepsin, dan garam empedu)
- Faktor eksogen (obat-obatan, alkohol, dan bakteri)
Untuk itu, terdapat suatu sistem untuk mempertahankan mukosa gastro
duodenal yang terdiri dari lapisan pre epitel, epitel, dan post epitel/sub epitel.
Lapisan pre epitel mengandung mukus-bikarbonat yang bekerja sebagai rintangan
fisikokemikal terhadap molekul seperti ion hidrogen. Sedangkan bikarbonat sendiri
memiliki kemampuan mempertahankan perbedaan pH, yakni pH 1-2 pada lumen
lambung dengan pH 6-7 di dalam sel epitel. Sekresi bikarbonat dirangsang oleh
Ca2+, prostaglandin, kolinergik, dan keasaman lumen.
Lapisan epitel merupakan pertahanan kedua dari gastro duodenal, dengan cara
menghasilkan mukus, transportasi ionik sel epitel serta produksi bikarbonat yang
dapat mempertahankan pH intraseluler (pH 6-7), dan intracellular tight junction.
Sistem mikrovaskular yang rapi dalam lapisan submukosa lambung adalah
komponen kunci dari pertahanan sub epitel. Sirkulasi yang baik dapat menghasilkan
bikarbonat untuk menetralkan HCl, memberikan asupan mikronutrien, dan oksigen,
serta membuang hasil metabolik toksik. Prostaglandin yang banyak ditemukan pada
mukosa lambung, memegang peran sentral dalam mempertahankan dan
memperbaiki sel epitel lambung, menghasilkan mukus-bikarbonat, menghambat
sekresi sel parietal, mempertahankan sirkulasi mukosa dan restitusi sel epitel.

2.3.5 Klasifikasi
ULKUS DUODENUM ULKUS GASTER
Insiden Insiden
Usia 30-60 tahun Biasanya pada usia 50 tahun lebih
Pria : Wanita = 3:1 Pria : Wanita = 2:1
Terjadi lebih sering dibanding ulkus Kejadiannya kurang sering dibanding
Lambung ulkus duodenum
Lokasi Lokasi
Pada Bulbus duodenali Kurvatura minor lambung
Tanda dan Gejala Tanda dan Gejala
- Nyeriterjadi 2-3 jam setelah - Nyeri terjadi ½ sampai 1 jam setelah
makan, sering terbangun dari tidur makan, jarang terbangun pada malam
antara jam 1 dan 2 pagi hari dapat hilang dengan muntah
- Makan menghilangkan nyeri - Makan kadang tidak membantu
- Muntah tidak umum malah meningkatkan nyeri
- Hemoragi jarang terjadi - Muntah umum terjadi
dibandingkan ulkus lambung - Hemoragi lebih umum terjadi
tetapi bila ada melena lebih umum daripada ulkus duodenal
daripada hematemesis - Hematemesis lebih umum terjadi
- Lebih mungkin terjadi perforasi daripada melena
dibanding ulkus lambung - Tidak mungkin atau jarang terjadi
- Dapat mengalami penambahan perforasi
berat badan - Penurunan berat badan dpt terjadi
Rasa sakit Rasa sakit
Rasa sakit sebelum makan atau Rasa sakit setelah makan
berpuasa
Sekresi Asam lambung Sekresi Asam lambung
Hipersekresi atau sekresi berlebihan Normal sampai hiposekresi atau
asam lambung sekresi asam lambung berkurang
Faktor resiko Faktor resiko
Golongan darah O, PPOM, gagal Gastritis, alkohol, merokok, NSAID,
ginjal kronis, alkohol merokok, stress
sirosis, stress
Kemungkinan Malignasi Kemungkinan Malignasi
Jarang Kadang-kadang
2.3.6 Patofisiologi
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak
dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam hidrochlorida dan pepsin).
Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam peptin,
atau berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Adapun
beberapa zat yang menurunkan pertahanan mukosa lambung salisilat, NSAID,
alcohol, dan rokok. Menurut Warren dan Marshall, ulkus peptikum terjadi oleh
karena infeksi dari Helicobacter pylori yang bersifat patogen. Bakteri ini dapat
bertahan dalam suasana asam lambung dan menembus mukosa lambung, lalu
berkolonisasi disana H. pylori menghasilkan berbagai macam sitotoksin yang
secara langsung dapat merusak epitel mukosa, seperti vacuolating cytotoxin (Vac
A gen) yang menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel. Selain itu, bakteri ini juga
menghasilkan bermacam-macam enzim yang dapat merusak epitel, seperti urease,
protease, lipase dan fosfolipase. Urease memecahkan urea dalam lambung menjadi
amonia yang toksik terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase
menekan produksi mukus sehingga menyebabkan daya tahan mukosa menurun,
merusak lapisan yang kaya lipid pada apikal sel epitel, dan melalui kerusakan sel
dapat menyebabkan asam lambung berdifusi balik sehingga menimbulkan nekrosis
yang lebih luas.3,9,10
Obat-obatan golongan NSAID (aspirin), alcohol, garam empedu, dan obat-
obatan lain yang merusak mukosa lambung, mengubah permeabilitas sawar epitel,
memungkinkan difusi balik asam klorida dengan akibat kerusakan jaringan
(mukosa) dan khususnya pembuluh darah. Hai ini mengakibatkan pengeluaran
histamin. Histamine akan merangsang sekresi asam dan meningkatkan pepsin dari
pepsinogen. Histamine ini akan mengakibatkan juga peningkatan vasodilatasi
kapilerm sehingga membrane kapiler menjadi permeable terhadap protein,
akibatnya sejumlah protein hilang dan mukosa menjadi adema.3,9,10
Peningkatan asam akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf simpatik.
Perangsangan terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas
sehingga menimbulkan rasa nyeri (MK I), sedangkan rangsangan terhadap syaraf
simpatik dapat mengakibatkan reflek spasme esophageal sehingga timbul
regurgitasi asam HCl yang menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas
seperti terbakar yang mengandung diagnosa (keperawatan I). Selain itu, rangsangan
terhadap syaraf sympatik juga dapat mengakibatkan terjadinya pilorospasme yang
berlanjut menjadi pilorustenosis yang berakibat lanjut makanan dari lambung tidak
bisa masuk ke saluran berikutnya. Oleh karena itu pada penderita ulkus peptikum
setelah makan mengalami mual, anoreksia, kembung dan kadang vomitus. Resiko
terjadinya kekurangan nutrisi bisa terjadi sebagai manifestasi dari gejala-gejala
tersebut.9
Pada penderita tukak lambung mengalami peningkatan pepsin yang berasal dari
pepsinogen. Pepsin menyebabkan degradasi mucus yang merupakansalah satu
factor lambung. Oleh karena itu terjadilah penurunan fungsi sawar sehingga
mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena kecil. Bila hal ini terus berlanjut
akan dapat memunculkan komplikasi berupa pendarahan.
Perdarahan pada ulkus peptikum bisa terjadi disetiap tempat, namun yang
tersering adalah dinding bulbus duodenum bagian posterior, karena dekat dengan
arterigastroduodenalis atau arteri pankreatikoduodenalis. Kehilangan darah ringan
dan kronik dapat mengakibatkan anemi defisiensi besi. Disamping itu perdarahan
juga dapat memunculkan gejala hemateneses dan melena. Pada pendarahan akut
akibat ulkus peptikum dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan volume cairan
(MK III). Proses ulkus peptikum yang terus berlanjut, selain berakibat pendarahan
dapat pula berakibat terjadinya perforasi. Perforasi yang berlanjut dapat menembus
organ sekitarnya, termasuk peritoneum. Bila ulkus telah sampai diperitonium dapat
terjadi peritonitis akibat infasi kuman. Obstruksi merupakan salah satu komplikasi
dariulkus peptikum. Obstruksi biasanya dijumpai di daerah pylorus, yang
disebabkan oleh peradangan, edema, adanya pilorusplasme dan jaringan parut yang
terjadi pada proses penyembuhan ulkus. Akibat adanya obstruksi bisa timbul gejala
anoreksia, mual, kembung dan vomitus setelah makan.9,10

2.3.7 Diagnosis
Diagnosis ulkus peptikum dapat ditegakkan melalui anamnesis mengenai
gambaran klinis ulkus peptikum, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Secara umum, pasien ulkus peptikum biasanya mengeluh dispepsia. Dispepsia
merupakan sindrom klinis atau kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran cerna,
seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh
ulu hati, dan cepat merasa kenyang. Rasa nyeri pada ulkus duodenum timbul waktu
pasien merasa lapar, dan rasa nyeri tersebut bisa membangunkan pasien tengah
malam (antara tengah malam dan jam 3 dini hari). Nyeri ini spesifik pada ulkus
duodenum (75%). Rasa nyeri hilang setelah makan, dan minum obat antasida.
Sedangkan rasa nyeri pada ulkus gaster timbul setelah makan. Rasa nyeri pada
ulkus gaster dirasakan di sebelah kiri, sedangkan rasa nyeri ulkus duodenum
dirasakan di sebelah kanan dari garis tengah perut. Rasa nyeri bermula dari bermula
pada satu titik (pointing sign) yang akhirnya difus, dan menjalar hingga ke
punggung. Hal ini kemungkinan disebabkan penyakit yang bertambah berat atau
komplikasi berupa penetrasi ke organ pankreas. Rasa nyeri pada ulkus peptikum
bersifat kronik, periodik, ritmik, dan kualitasnya steady and continue.9
b. Pemeriksaan Fisik
Ulkus tanpa komplikasi biasanya jarang menimbulkan kelainan fisik. Rasa nyeri
ulu hati pada daerah kiri atau kanan dari garis tengah perut dan penurunan berat
badan merupakan tanda fisik yang dapat dijumpai. Goncangan perut (succusion
splashing) yang dijumpai 4-5 jam setelah makan disertai muntah-muntah (isinya
biasanya makanan yang dimakan beberapa jam sebelumnya) merupakan tanda
adanya retensi cairan lambung karena komplikasi ulkus (gastric outlet obstruction
atau stenosis pilorus).9
c. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran endoskopi ulkus berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur,
mukosa licin dan normal disertai lipatan yang teratur keluar dari pinggiran ulkus.
Sedangkan gambaran pada proses keganasan adalah Boorman I/polipoid, B-
II/ulseratif, B-III infiltratif, B-IV/linitis plastika (scirrhus). Untuk memastikan
apakah terdapat keganasan, dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan biopsi
melalui endoskopi. Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar ulkus minimal 4 sampel
untuk 2 kuadran. Bila ukuran ulkus besar, sampel diambil dari 3 kuadran yaitu dari
dasar, pinggir, dan sekitar ulkus.9,10
2.3.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan ulkus peptikum terdiri dari terapi medikamentosa dan non-


medikamentosa.
a. Terapi Non Medikamentosa5,6,7
- Istirahat yang cukup dapat mempercepat penyembuhan.
- Diet. Cabai, makanan yang merangsang dan makanan yang mengandung asam
dapat menimbulkan rasa sakit, walaupun belum dapat bukti keterkaitannya.
Pasien mungkin mengalami intoleransi terhadap makanan tersebut, atau
makanan tersebut mempengaruhi motilitas usus. Dalam hal ini dianjurkan
untuk menghindari makanan tersebut. Beberapa peneliti menganjurkan
makanan biasa, lunak, tidak merangsang, dan diet seimbang.
- Merokok sebaiknya dihindari. Merokok dapat menghalangi penyembuhan
ulkus gaster kronik, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah
keasaman bulbus duodenum, menambah refluks duodenogastrik akibat
relaksasi sfingter pilorus, sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus.
- Alkohol sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan risiko perdarahan dan
komplikasi lain. Air jeruk yang asam, coca cola, bir, kopi tidak mempunyai
pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung, tetapi dapat menambah sekresi
asam lambung sehingga sebaiknya jangan dikonsumsi saat perut kosong.
- Obat-obatan. Menghindari penggunaan NSAID karena seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa NSAID dapat menekan produksi prostaglandin yang sangat
berperan dalam proteksi mukosa lambung. Saat ini telah tersedia COX 2
inhibitor yang selektif untuk penyakit osteoartritis/rematoid artritis yang
kurang menimbulkan keluhan pada lambung.5,6,7
b. Terapi Medikamentosa
- Antasida
Antasida bekerja sebagai penetralisir asam. Antasida diberikan dengan dosis 3
x1 tablet atau 4 x 30 cc (3 kali sehari, dan sebelum tidur/ 3 jam setelah makan).
Preparat yang mengandung magnesium dapat menyebabkan BAB tidak
berbentuk, serta tidak dianjurkan pada penderita gagal ginjal karena dapat
menyebabkan hipermagnesemia dan kehilangan fosfat. Preparat yang
mengandung aluminium dapat menyebabkan konstipasi, dan neurotoksik,
tetapi bila dikombinasi kedua komponen saling menghilangkan efek samping,
sehingga tidak terjadi diare ataupun konstipasi. Preparat kalsium dapat
menyebabkan Milk Alkaline Syndrome (MAS) yaitu hiperkalsemia,
hiperfosfatemia, renal calcinosis, dan progresi ke arah gagal ginjal.6
- Koloid Bismuth
Mekanisme kerjanya belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal
bersama protein pada dasar ulkus dan melindunginya dari pengaruh asam dan
pepsin, berikatan dengan pepsin, merangsang sekresi prostaglandin,
bikarbonat, dan mukus. Obat ini memiliki efek bakterisidal terhadap H.pylori
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. Obat ini diberikan
dengan dosis 2 x 2 tablet sehari. Efek sampingnya berupa tinja berwarna
kehitaman sehingga menimbulkan keraguan terhadap perdarahan. Efek
samping jangka panjang berupa neurotoksik.
- Sukralfat
Mekanisme kerjanya melalui pelepasan kutub aluminium hidroksida yang
berikatan dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan
fisikokemikal pada dasar ulkus sehingga dapat melindungi ulkus dari pengaruh
agresif asam dan pepsin. Selain itu, sukralfat dapat membantu sintesis
prostaglandin, bekerja sama dengan EGF, meningkatkan sekresi bikarbonat
dan mukus, serta meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosa.
Dosisnya 4 x 1 gram sehari. Efek samping berupa konstipasi.
- Prostaglandin
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi sekresi asam lambung, menambah
sekresi mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta
meningkatkan pertahanan dan perbaikan mukosa. Biasanya digunakan sebagai
penangkal terhadap ulkus akibat pemakaian NSAID. Contoh prostaglandin
adalah misoprostol dan telah diakui oleh FDA. Dosisnya 4 x 200 mg atau 2
x400 mg pagi dan malam hari. Efek sampingnya berupa diare, mual, muntah,
dan menimbulkan kontraksi otot uterus/perdarahan sehingga tidak dianjurkan
pada ibu hamil.
- Antagonis Reseptor H2
Contoh dari obat ini adalah ranitidin, cimetidin, dll. Obat ini bekerja dengan
cara memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga sel tersebut tidak dapat
dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel.
Dosis terapi untuk ranitidin 300 mg malam hari, dan cimetidin 2 x 400 mg atau
800 mg malam hari. Dosis pemeliharaan untuk ranitidin 150 mg, dan cimetidin
400 mg. Efek sampingnya berupa pansitopenia. neutropenia, anemia,
trombositopenia, ginekomastia, konfusi mental khusus pada usia lanjut, dan
gangguan fungsi ginjal terutama pada pemberian cimetidin.
- Proton Pump Inhibitor/PPI
Contoh obat ini adalah omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, dan lain-lain.
Mekanisme kerjanya adalah memblokir kerja enzim K+H+ ATPase yang akan
memecah K+H+ ATP untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung.
Efek penekanan sekresi asam maksimal 2-6 jam dan lama efek kerjanya 72-96
jam. Dosis yang diberikan untuk omeprazole 2 x 20 mg/ standar dosis atau 1 x
40 mg/ double dosis, dan lanzoprazole/pantoprazole 2 x 40 mg/standar dosis
atau 1 x 60 mg/ double dosis. Efek sampingnya pada jangka panjang akan
menimbulkan kerusakan gastrin darah dan menimbulkan tumor karsinoid.
- Pengobatan Untuk Infeksi Helicobacter Pylori
c. Tindakan Operasi
Indikasi operasi pada ulkus peptikum adalah :
- Elektif, karena gagal terhadap pengobatan
- Darurat, karena terdapat komplikasi berupa perforasi, perdarahan, atau stenosis
pilorik
- Ulkus gaster dengan dugaan keganasan pada korpus dan fundus (70%
keganasan).10

2.3.9 Komplikasi
a. Perdarahan. Insiden perdarahan 15-25%, meningkat pada usia lanjut (>60 tahun)
akibat adanya penyakit degeneratif dan meningkatnya pemakaian NSAID.
Sebagian perdarahan dapat berhenti spontan, sebagian memerlukan tindakan
endoskopi terapi, tetapi bila gagal dilanjutkan dengan tindakan operasi.
Pantozol/PPI 2 ampul/100 cc NaCl 0,9% drip selama 10 jam secara parenteral
dan diteruskan selama beberapa hari dapat menurunkan kejadian ulang
perdarahan. Sedangkan pemberian transfusi dilakukan bila : a) TD sistolik <100
mmHg, b) Hb < 10 gr%, c) Nadi > 100 x/mnt, d) HT < 30/jam, dianjurkan
pemberian transfusi darah segar sampai HT ≥ 30.
b. Perforasi. Rasa sakit tiba-tiba, sakit berat, nyeri perut menyeluruh sebagai tanda
peritonitis. Insidennya 6-7%, dimana insiden perut meningkat pada usia lanjut
karena proses aterosklerosis dan meningkatnya penggunaan NSAID. Perforasi
ulkus gaster biasanya ke lobus hati kiri, dapat menimbulkan fistula gastrokolik.
Penetrasi adalah suatu bentuk perforasi yang tidak terbuka/tanpa pengeluaran isi
lambung karena tertutup omentum/organ perut sekitar. Terapi perforasi adalah
dekompresi, pemasangan nasogastrik tube, aspirasi cairan lambung terus
menerus, pasien dipuasakan dan diberi nutrisi parenteral total, dan pemberian
antibiotika yang diikuti tindakan operasi.3,9
c. Penetrasi tukak yang mengenai pankreas, biasanya nyeri timbul tiba-tiba dan
tembus kebelakang.
d. Obstruksi outlet bila ditemukan gejala mual dan muntah, perut kembung dan
adanya suara deburan (succusion splash) sebagai tanda retensi cairan dan udara,
dan berat badan menurun.
e. Keganasan dalam duodenum (jarang)

2.3.10 Prognosis
Pada sebagian besar kasus ulkus peptikum, bila terapi diberikan dengan tepat
dan teratur maka kesembuhan akan terjadi dalam enam sampai delapan minggu.
Beberapa dapat mengalami kekambuhan sehingga memerlukan terapi jangka
panjang.9

2.4 Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)


2.4.1 Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai
gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran nafas.
GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung
mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan/atau
komplikasi yang mengganggu. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas. Sedangkan menurut
American College of Gastroenterology, GERD adalah suatu keadaan patologis di
mana cairan asam lambung mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus
dan menyebabkan gejala.11
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap
orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak
sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi
peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke
lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak
menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi
berulang-ulang dan dalam waktu yang lama.
2.4.2 Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di laporkan
satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali
dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan.
Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara negara non-western
prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Sementara di
Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun di Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia. Tingginya
gejala refluks pada populasi di negara-negara Barat diduga disebabkan karena
faktor diet dan meningkatnya obesitas.12
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan wanita
untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1(4). GERD pada negara berkembang
sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun merupakan usia yang
seringkali mengalami GERD.12,13

2.4.3 Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi
dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus.
Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal
Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus, resistensi mukosa
yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum, baik asam lambung
maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta
faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor
utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat
mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD :14
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan
penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu
disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan
LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter
relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-
akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter
pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor
hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.14
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme,
yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik
oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid
clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik
esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan
isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit
serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam
yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali
ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada
malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya
gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti
dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses
pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga
menggangu proses pembersihan tersebut.14
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks
mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan
tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien
GERD.14

2.4.4 Patofisiologi
Penyakit GERD bersifat multifactorial. GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%). Gangguan fungsional lebih pada
disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus.
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup
lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat
dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak
dengan refluksat tidak terlalu lama. Selain itu penurunan tekanan otot sfingter
esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga
ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.12,14
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan
oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau
retrogard (muntah atau sendawa).12
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah. Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus
bawah. Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. Sedangkan pada
orang normal 25-35 mmHg.12,14
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan
intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan
lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi
lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring,
laring, mulut atau nasofaring.
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.12
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
a. Pemisah Antirefluks12
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya
tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi
peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata
memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain:
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-
lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan
tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada
kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh
terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat
spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada
beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan
lambung dan dilatasi lambung.12
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena
banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak
menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus
SEB.12
b. Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu
bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin
besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD
memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks
adalah peristaltik esofagus yang minimal.12
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif.
c. Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus untuk melindungi mukosa esofagus
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster
(menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim
pancreas.12
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya
pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya
rusak tinggi.12
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung.
Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
tidak banyak didukung oleh data yang.12
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD.
Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga
banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster
yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini,
biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah refluks.13
d. Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke
larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi
terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA
menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.15
Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus
Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme
tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal
dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan
spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada
faring dan laring.9
2.4.5 Manifestasi Klinik
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan
oleh penderita Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas
membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum.
Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium,
punggung belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris.
Timbulnya keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar
tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat
kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan
berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi
terutama dengan pemberian antasida.14,16

Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan
yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan
regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah
terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian
atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-
menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni.
Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk,
cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi.12
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa
serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari,
sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering
terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan
sputum.17
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan
yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan
esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan
akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat
obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus, tumor
intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan penyempitan lumen.
Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan motilitas dari esofagus
atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah. Gangguan motorik yang
sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan spasme esofagus
yang difus.14,17
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma. Manifestasi non
esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel
decay). Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh
karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya
theofilin.17

2.4.6 Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD, yaitu :
a. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan endoskopi
dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika
tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas,
keadaan ini disebut non erosive reflux disease (NERD).12
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn
atau regurgutasi memang karena GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat
memastikan adanya Barrett’s esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti
yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.12
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
Klasifikasi Los Angeles12
Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau
mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

Klasifikasi Savary-Miller12
GRADE Deskripsi endoskopi
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium

b. Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan
memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan hiatus
henia.14,18
c. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada
jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.12
d. Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus.12
e. Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.12
f. Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.
g. Tes supresi asam
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari
GERD. Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat
respon yang terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti
endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat
perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah
satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan
kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB turun,
anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan
keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.12
2.4.7 Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini
mulai dipekenalkan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD ini antara
lain, menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.12,14
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun
demikian bukan merupakan pengobatan primer. Usaha ini bertujuan untuk
mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan. Hal yang perlu dilakukan dalam
modifikasi gaya hidup antara lain : 12,14
a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum
tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta
mencegah refluks asam lambung ke esofagus.
b. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus
SEB.
c. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di
makan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
d. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.
e. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman
soda karena dapat merangsang aam lambung.
f. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita
hamil dengan GERD.14
2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal
baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama
yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan
tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat
dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu
antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus
asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan
PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down. 14
3. Antasida
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan
masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain
sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan
diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid
yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk
pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.14
4. Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan
sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya
dengan barrett’s esophagus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan
esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin
4x150 mg.12,14
5. Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini
berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster.12
a. Metoklopramid
Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis
reseptor H2 atau PPI. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh
efek terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
b. Domperidon
Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya
saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih
jarang. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
Dosis 3x10-20 mg sehari.
c. Cisaprid
Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih
bagus dari domperidon. Dosis 3x10 mg.12
6. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan
berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap
HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.12
7. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan
drug of choice. Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir
proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis
erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Gejala khas GERD

Umur <40 tahun


Umur >40 tahun

PPI tes/ terapi empiris

Gejala Respon baik


menetap/berulang

Endoskopi Terapi minimal 4minggu

kekambuhan Terapi on demand

8. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien
GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-
mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus
kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan
adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil
yang tidak memuaskan dengan PPI.12
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi
gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang
dilakukan adalah fundoplikasi,12,14
9. Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil.
Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik
operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah
memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan
cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.12

Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi
medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI,
Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada
pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan
pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi
asam lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang terbukti
secara histologis menderita esofagus barret.
10. Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir
ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu,
penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi
endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian
distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.12
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien
suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi
medic.15

2.4.8 Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura
esofagus dan esofagus Barret.12,13
1. Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esophagus.13
2. Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.
Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal
junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit
menelan atau disfagia pada makanan padat. Seringkali keluhan heartburn
berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur
terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan
dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan operasi.12
3. Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi
epitel kolumnar metaplastik. Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma
esophagus. Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan
adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.13
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.16
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya
segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke
proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali
dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini
dapat ditatalaksana dengan medikamentosa.12

2.4.9 Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan,
walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis
yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit
saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan.
Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu, mortaliti dan
morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah medis yang
kompleks.

2.5 Irritable Bowel Syndrome (IBS)


2.5.1 Definisi
Irritable Bowel Syndrome (IBS) merupakan salah satu penyakit saluran
pencernaan fungsional. Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kelainan kompleks
dari saluran pencernaan bagian bawah, adanya nyeri perut, distensi dan gangguan
pola defekasi tanpa gangguan organik. IBS merupakan gangguan fungsional pada
defekasi. IBS utamanya dikarakteristikkan dengan gejala-gejala yang khas dan
diperburuk dengan stress emosional. Istilah bahasa Indonesia untuk penyakit ini
memang belum ada yang baku.19
Menurut New England Journal of Medicine, irritable bowel syndrome (IBS)
adalah gangguan fungsional sistem pencernaan yang ditandai dengan adanya
perubahan peristalsis usus, nyeri abdomen, dan dengan tidak ditemukannya
penyebab patologis yang spesifik. Sedangkan menurut Mayoclinic, irritable bowel
syndrome (IBS) adalah penyakit yang sering ditemukan dan menyangkut gangguan
pada colon. IBS menyebabkan kram, nyeri abdomen, kembung, diare, dan
konstipasi. Disamping dari simptom yang tidak nyaman ini, IBS tidak
menyebabkan kerusakan permanen pada colon.20
Kebanyakan pasien dengan simptom IBS sudah dapat mengkontrol kondisinya,
hanya sebagian kecil yang mengalami IBS dengan simptom yang parah. IBS tidak
menyebabkan inflamasi pada jaringan usus, ataupun meningkatkan resiko terhadap
kanker usus. Pada banyak kasus, pasien sudah dapat mengatasi IBS dengan
mengubah pola makan, gaya hidup dan mengurangi stress.20

2.5.2 Epidemiologi
Kejadian dari IBS mencapai 15% dari penduduk Amerika, hal ini didasarkan
pada gejala yang sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih banyak pada
perempuan dan mencapai 3 kali lebih besar dari laki-laki. Prevalensi rata-rata secara
keseluruhan di negara maju sebesar 10% atau berkisar antara 9-24%. Belum ada
penelitian statistik jumlah penderita IBS di Indonesia. Di seluruh bagian dunia,
prevalensi penyakit ini diperkirakan sangat bervariasi. Di Eropa bagian barat, survei
penduduk menunjukkan bahwa penderita IBS sebesar 12-22% dari populasi umum
atau satu dari lima orang dewasa memiliki gejala IBS, sehingga menjadikan IBS
sebagai salah satu gangguan yang paling umum didiagnosa oleh dokter. Sementara
prevalensinya di Asia Tenggara lebih jarang yaitu sekitar kurang dari 5%.
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode survey, kriteria yang
digunakan ataupun jumlah populasi yang diteliti.21

2.5.3 Etiopatogenesis
Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan
oleh salah satu faktor saja. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara
lain gangguan motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas
dari interaksi aksis brain-gut, hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus.19
Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi menunjukkan bahwa
pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi
peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus.
Sedangkan IBS tipe konstipasi terjadi penurunan kontraksi usus dann
memanjangnya waktu transit kolon dan usus halus. IBS yang terjadi pasca infeksi
dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS. Keluhan-keluhan IBS muncul setelah 1
bulan infeksi. Penyebab IBS paska infeksi antara lain virus, giardia atau amuba.
Pasien IBS paska infeksi biasanya mempunyai gejala perut kembung, nyeri
abdomen dan diare.19
Patofisiologi IBS belum sepenuhnya dipahami, dapat disebabkan oleh berbagai
faktor meliputi diet, mutasi gen, faktor psikososial (stres kronis), infeksi enterik,
dan sistem kekebalan tubuh. Respons stres akan mengaktivasi aksis hipotalamus
pituitari-adrenal (HPA) dan sistem autonom. Ansietas kronis akan meningkatkan
aktivitas amygdala untuk menstimulasi aksis HPA yang menginduksi hiperalgesia
visceral. Hipersensitivitas viseral merupakan salah satu faktor utama yang
mencetuskan gejala pada IBS dan berperan pada patofisiologi IBS.22
Beberapa penelitian menunjukkan ketidakseimbangan fungsi 5HT (hidroksi-
triptamin) karena gangguan sekresi dan ambilan kembali oleh SERT (serotonin
reuptake transporter) pada gangguan gastrointestinal fungsional, terutama pada
pasien IBS. Serotonin disintesis dan disekresi oleh sel enterokromafin sistem
gastrointestinal dan berperan pada regulasi motilitas, sensasi, dan sekresi
gastrointestinal. Pelepasan serotonin yang berlebihan akan diangkut oleh sistem
SERT. Efek fisiologis serotonin subtipe 5HT3 dan 5HT4 memicu perbaikan pasien
IBS-C, sedangkan 5HT3 sendiri memiliki efek antidiare yang akan berguna pada
IBS-D.22
Pada sekitar 3-35% pasien gejala IBS muncul dalam 6 sampai 12 bulan setelah
infeksi sistem gastrointestinal. Secara khusus ditemukan sel inflamasi mukosa
terutama sel mast di beberapa bagian duodenum dan kolon. Peningkatan pelepasan
mediator seperti nitric oxide, interleukin, histamin, dan protease menstimulasi
sistem saraf enterik; mediator yang dikeluarkan menyebabkan gangguan motilitas,
sekresi serta hiperalgesia sistem gastrointestinal.22
Jumlah flora Lactobacillus dan Enterococci di lambung hingga kolon ascenden
tidak sebanyak di bagian distal kolon yang mencapai 1012 per mL. Beberapa
penelitian menyebutkan adanya hubungan antara flora mikrobial pada sistem
gastrointestinal dan IBS. Perubahan kuantitas dan kualitas bakteri dapat
memberikan efek disfungsi motoriksensorik, perubahan ini dapat dipengaruhi oleh
malabsorbsi asam bilier, iritasi mukosa, infl amasi, peningkatan fermentasi
makanan, dan produksi gas. Peningkatan jumlah Lactobacilli coliform dan Bifi
dobacteria pada feses dilaporkan pada pasien IBS, hal ini dapat menjadi alasan
penggunaan probiotik pada pentalaksanaan IBS.22
Peran faktor genetik pada prevalensi IBS di tunjukkan pada beberapa penelitian.
Anggota keluarga pasien IBS juga mempunyai keluhan gastrointestinal yang mirip.
IBS lebih rentan pada kembar monozigot daripada kembar dizigot. Adanya
gangguan regulasi akibat polimorfisme genetic pada SERT merupakan peran
genetik yang signifi kan dalam IBS. Beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor
genetik dapat mengendalikan produksi faktor imunologi seperti T-Helper, IL-4, IL-
6, dan IL-10 yang meningkatkan kerentanan seseorang terhadap IBS pasca infeksi.
Zuccheli et al mengidentifi kasi hubungan antara gen yang mengkode Tumor
Necrosis Factor (TNF) Super Family member 15 (TNFSF15) dan fenotipe IBS pada
populasi pasien di Swedia dan Amerika Serikat yang menunjukkan ada kaitan kuat
dengan IBS tipe konstipasi. Variasi genetik KLB (klotho-β) berkaitan dengan IBS-
D dan percepatan transit feses di kolon.22

2.5.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung,
dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan
kebiasaan defekasi dapat berupa diare, konstipasi atau diarea yang diikuti dengan
konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang lunak dengan volume yang
bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan diselingi
diare atau defekasi yang normal.
Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan
produksi gas yang berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi
yang tidak bisa ditahan dan perasaan defekasi tidak sempurna. Gejalanya hilang
setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh kembali pada beberapa orang,
sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala.23

2.5.6 Diagnosa
Diagnosis IBS sendiri didasarkan pada konsensus atau kesepakatan yang
tervalidasi dan tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk menentukan
diagnosis dari IBS tersebut. Saat ini kriteria diagnosis yang digunakan adalah
kriteria Rome III yang dipublikasi sejak tahun 2006, kriteria ini didasarkan pada
adanya keluhan berupa rasa tidak nyaman atau nyeri yang telah berlangsung selama
3 hari/bulan selam 3 bulan pertama dan telah berlangsung selama 3 bulan terakhir
dan tidak bisa dijelaskan oleh adanya abnormalitas secara kelainan struktur maupun
biokimiawi. Selain itu terdapat sddikitnya 2 dari 3 hal berikut ini yaitu nyeri hilang
setelah defekasi, perubahan frekuensi dari defekasi (diare atau konstipasi) atau
perubahan bentuk feses.19
Tabel 1. Kriteria Diagnosis IBS berdasarkan Rome III
Nyeri atau tidak nyaman diperut yang berulang sedikitnya 3 hari per bulan selama
3 bulan terakhir disertai gejala berikut:
1. Membaik dengan defekasi
2. Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi dari defekasi
3. Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses
Nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen yang dirasakan oleh pasien dengan
IBS biasanya selalu membawa pasien tersebut untuk mencarikan pertolongan dan
tentunya hal ini akan mengurangi kualitas hidup dari pasien itu sendiri dan
cenderung menjadi tidak produktif. Diare juga gejala utama IBS yang selalu
membawa pasien untuk datang ke dokter, keluhan diare itu tentunya tidak
menyenangkan. Keluhan konstipasi yang juga menjadi keluhan utama pasien IBS
tipe konstipasi biasanya disertai oleh kembung serta rasa nyaman di ulu hati.19
Setelah melakukan anamnesis yang lengkap dan mencocokkan dengan kriteria
yang ada selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium meliputi darah perifer lengkap, biokimia darah serta
pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan hormon tiroid pada pasien dengan gejala
diare kronis. Diagnosis IBS ditegakkan jika keluhan sesuai kriteria Rome III dan
tidak ditemukan kelainan organik lain. Sebagian besar kasus yang telah memenuhi
kriteria Rome III tanpa gejala alarm seperti yang disebutkan diatas biasanya tidak
ditemukan kelainan struktural. Pada pasien IBS dengan dominasi keluhan diare,
pemeriksaan kolonoskopi diikuti biopsi mukosa kolon perlu dilakukan untuk
menyingkirkan adanya kolitis mikroskopik.19
Selain kriteria Rome III, secara praktis sering juga digunakan kriteria Manning
yang lebih sedrehana dan menitik beratkan pada onset nyeri antara lain adanya
buang air besar yang cair dan peningkatan frekuensi buang air besar saat timbulnya
nyeri. Dari masing-masing gejala yang terdapat pada kriteria Manning sebenarnya
mempunyai interpretasi masing-masing. Adanya feses cair disertai frekuensi
defekasi yang meningkat pada saat nyeri menginterpretasikan bahwa terjadi
perubahan fungsi intestinal. Sedangkan adanya nyeri yang berkurang setelah
defekasi menunjukkan bahwa nyeri berasal dari gastrointestinal bagian bawah.
Adanya kembung menunjukkan bahwa kondisi sakit ini sepertinya bukan kelainan
organik. Adanya rasa tidak lampias menginterpretasikan bahwa rektum irritable.
Sedangkan adanya lendir menunjukkan bahwa rektum teriritasi
Tabel 2. Kriteria Manning
Gejala yang sering didapat pada penderita IBS yaitu:
1. Feses cair pada saat nyeri
2. Frekuensi buang air besar bertambah pada saat nyeri
3. Nyeri berkurang setelah buang air besar
4. Tampak abdomen distensi
Dua gejala tambahan yang sering muncul pada IBS:
1. Lendir saar buang air besar
2. Perasaan tidak lampias saat buang air besar
Pada beberapa keadaan IBS dibagi dalam beberapa subgrup sesuai dengan
keluhan dominan yang ada pada seseorang. Subgrup pada IBS tersebut yaitu:
1. IBS predominan nyeri
- Nyeri di fossa iliaka, tidak dapat menujukkan lokasi sakitnya dengan tegas
- Nyeri dirasakan lebih dari 6 bulan
- Nyeri hilang setelah defekasi
- Nyeri dirasakan persisten jika kambuh terasa lebih sakit\
2. IBS predominan diare
- Diare pada pagi hari disertai dengan urgensi
- Biasanya disertai rasa sakit dan hilang setelah defekasi
3. IBS predominan konstipasi
- Terutama wanita
- Defekasi tidak lampias
- Biasanya feses disertai lendir tanpa darah
4. IBS alternating pattern
- Pola defekasi yang berubah-ubah (diare dan konstipasi)
- Sering feses keras dipagi hari diikuti dengan beberapa kali defekasi dan feses
menjadi cair pada sore hari.

2.5.7 Diagnosa Banding


Pada IBS diare sering di diagnosa banding dengan defisiensi laktase. Kelainan
lain yang juga harus dipikirkan adalah kanker kolorektal, divertikulitis,
Inflammatory Bowel Disease (IBD), obstruksi mekanik pada usus halus atau kolon,
infeksi usus, iskemia, meldigesti dan malabsorbsi serta endomeriosis pada pasien
yang nyeri saat menstruasi.19
Ada beberapa tanda alarm yang harus diperhatikan sehingga diagnosis lebih
menjurus ke arah suatu penyakit organik dari IBS yaitu onset umur lebih dari 55
tahun, riwayat keluhan pertam kali kurang dari 6 bulan, perjalanan penyakitnya
progresif atau sengat berat, gejala-gejala yang timbul pada malam hari, perdarahan
pada anus, berat badan menurun, riwayat keluarga menderita kanker, pada
pemeriksaan fisik ditemukan kelainan misalnya distensi abdomen, anemia atau
demam. Apabila tanda-tanda alarm ini ditemukan selain gejala-gejala IBS maka
penyebab organik harus dipikirkan terlebih dahulu sehingga pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain harus segera dilakukan.19

2.5.8 Tatalaksana
Pengobatan biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non farmakologis
dan terapi farmakologis. Penting diperhatikan pada penderita IBS adalah menjaga
hubungan yang baik antara dokter dan pasien, diberi penjelasan tentang
penyakitnya yang jinak dan prognosisnya yang baik. Karena sifat penyakitnya
kronis, diperlukan hubungan baik jangka panjang. Dokter tidak secara langsung
menyatakan bahwa penyebab penyakitnya adalah psikis atau emosi. Jadi sebaiknya
dijelaskan hubungan antara stress psikologis yang dapat memperberat gejala.24
a) Terapi Non-farmakologis
 Diet
Sampai saat ini belum begitu jelas apakah diet mempunyai banyak efek pada
gejala-gejala dari IBS. Meskipun demikian, pasien seringkali menghubungkan
gejala-gejala mereka dengan makanan-makanan tertentu (seperti salad, makanan
berlemak, dll). Meskipun makanan-makanan tertentu mungkin memperburuk
IBS, namun jelas bahwa makanan bukanlah penyebab dari IBS, melainkan hanya
sebagai faktor pencetus dari IBS.24
Pasien IBS tipe konstipasi disarankan modifikasi diet dengan meningkatkan
konsumsi serat, namun hal ini tidak mengurangi nyeri perut. Konsumsi air dan
aktifitas olahraga yang rutin juga disarankan pada pasien IBS tipe konstipasi.
Disisi lain pasien dengan IBS tipe diare disarankan mengurangi konsumsi serat.
Beberapa makanan atau minuman tertentu juga dapat mencetuskan terjadinya
IBS, oleh karena itu harus dihindari oleh pasien. Beberapa makanan atau minuman
tersebut antara lain gandum, susu, kafein, bawang, coklat, dan beberapa sayur-
sayuran, serta makanan yang mengandung lactose.
Biasanya jika keluhan menghilang setelah menghindari makanan dan
minuman yang dicurigai sebagai pencetus dapat dicoba untuk dikonsumsi lagi
setelah 3 bulan dengan jumlah makanan yang diberikan secara bertahap.
 Psikoterapi
Perawatan-perawatan psikologi termasuk cognitive-behavioral therapy
(CBT), hypnosis, psychodynamic atau interpersonal psychotherapy, dan
manajemen relaksasi atau stress disarankan diberikan pada pasien IBS. Penelitian
menunjukan bahwa perawatan psikologis dapat mengurangi kecemasan (anxietas)
dan gejala-gejala IBS lainnya, terutama nyeri dan diare. Penjelasan atas penyakit
IBS dan meyakinkan bahwa IBS adalah penyakit yang dapat diobati serta tidak
membahayakan kehidupan merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan
pasien. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan untuk menyingkirkan penyakit organik harus disampaikan untuk
menambah keyakinan pasien akan kesembuhan penyakitnya.24
b) Terapi Farmakologis
Obat-obatan yang diberikan pada IBS terutama untuk menghilangkan gejala
yang timbul antara lain nyeri abdomen, konstipasi, diare, dan anxietas.
 Konstipasi (sembelit)
Sembelit disebabkan oleh pengangkutan (transit) yang lambat dari isi-isi usus
yang melalui usus, terutama usus besar. Transit yang lambat ini mungkin
disebabkan oleh fungsi abnormal dari otot-otot seluruh usus besar, otot-otot dari
dubur (anus) atau rectum.5
Tegaserod suatu 5-HT4 reseptor agonis, merupakan obat IBS tipe konstipasi
yang relatif baru dan sudah beredar di Indonesia. Mekanisme tegaserod
mengurangi sembelit adalah mengkontrol kontraksi dari otot-otot usus halus.
Kontraksi usus halus yang lebih banyak dapat mempercepat transit makanan di
usus halus, kontraksi yang lebih sedikit memperlambat transit makanan di usus
halus. Pada pasien-pasien dengan sembelit, kontraksi-kontraksi usus halus lebih
sedikit. Pemberian tegaserod dapat meningkatkan kontraksi usus halus, sehingga
mempercepat waktu transit makanan di usus halus dan waktu transit feces di
kolon.24
Satu faktor penting dalam kontrol kontraksi usus adalah serotonin. Serotonin
adalah suatu bahan kimia yang dihasilkan oleh syaraf-syaraf didalam usus.
Serotonin merupakan suatu neurotransmitter yang dapat berikatan dengan
reseptor-reseptor saraf. Ketika serotonin mengikat pada reseptor syaraf yang
mengontrol kontraksi-kontraksi dari otot-otot usus, serotonin dapat meningkatkan
atau mengurangi kontraksi otot usus halus tergantung pada tipe dari reseptor yang
diikat. Pengikatan pada beberapa tipe reseptor menyebabkan kontraksi, dan
pengikatan pada tipe-tipe lain dari reseptor dapat mencegah kontraksi.5
Reseptor 5-HT4 adalah suatu reseptor yang mencegah kontraksi usus halus
ketika serotonin berikatan pada reseptor tersebut. Tegaserod menghalangi reseptor
5-HT4, mencegah serotonin mengikat padanya, sehingga meningkatkan kontraksi
dari otot-otot usus halus. Tegaserod juga mengurangi kepekaan dari syaraf nyeri
di usus halus, sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri. Tegaserod diberikan
dengan dosis 2x6 mg selama 10-12 minggu.24
 Diare
Obat yang paling luas dipelajari untuk perawatan diare pada IBS adalah
loperamide. Loperamide bekerja dengan menghalangi (memperlambat) kontraksi-
kontraksi dari otot-otot usus kecil dan usus besar. Loperamide 30% lebih efektif
daripada suatu placebo dalam memperbaiki gejala pada pasien IBS tipe diare.
Pemberian loperamide harus tepat dosis karena pemberian yang berlebihan dapat
menyebabkan konstipasi (sembelit), sehingga dosis harus diberikan secara hati-
hati. Dosis loperamid adalah 2x 16 mg sehari.25
Aldosetron digunakan untuk merawat diare dan ketidaknyamanan perut yang
terjadi pada wanita-wanita dengan IBS parah yang tidak merespon pada
perawatan-perawatan sederhana lainnya. Alosetron, seperti tegaserod,
mempengaruhi reseptor-reseptor serotonin. Alosetron menghalangi reseptor 5-
HT3, suatu reseptor yang menyebabkan kontraksi usus ketika serotonin mengikat
padanya, sehingga dapat menurunkan kontraksi usus. Penggunaan dari alosetron
hanya diizinkan pada wanita-wanita dengan IBS parah dengan keutamaan diare
yang telah gagal merespon dengan perawatan konvensional untuk IBS. Efek
samping yang paling umum dengan alosetron adalah sembelit.25
 Nyeri Perut
Obat yang sering digunakan untuk menghilangkan nyeri perut pada pasien IBS
adalah suatu kelompok dari obat-obat yang disebut smooth-muscle relaxants. Otot
saluran pencernaan terdiri dari suatu tipe otot yang disebut smooth muscle.
Berlawanan dengannya, otot-otot kerangka, seperti biceps, terdiri dari suatu tipe
otot yang disebut striated muscle. Obat-obat smooth muscle relaxant mengurangi
kekuatan kontraksi dari smooth muscles namun tidak mempengaruhi kontraksi
otot-otot dari tipe lain. Smooth muscle relaxants 20% lebih efektif daripada suatu
placebo dalam mengurangi nyeri perut.24
Smooth muscle relaxants yang umum digunakan dan sudah beredar di
Indonesia antara lain, mebeverine 3 x 135 mg, hiosin N-butilbromida 3 x 10 mg,
alverine 3 x 30 mg, Chlordiazepoksid 5 mg/klidnium 2,5 mg 3x1 tablet.19
 Obat-Obat Psikotropik
Pasien-pasien dengan IBS seringkali ditemukan menderita depresi, namun
tidak jelas apakah depresi adalah penyebab dari IBS, akibat dari IBS, atau tidak
berhubungan dengan IBS. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa anti
depressants cukup efektif pada IBS dalam menghilangkan nyeri perut. Obat-obat
psikotropik yang umum digunakan diantaranya tricyclic antidepressants
seperti amitriptyline atau fluoxetine.25

2.5.9 Prognosis
Penyakit IBS tidak akan menigkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan hanya
kurang dari 5% yang akan memburuk atau dengan gejala menetap.19

2.6 Kolitis
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan
penyebab dapat diklarifikasikan sebagai berikut:
a. Kolitis Infeksi, misalnya: Shigellosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik,
kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.
b. Kolitis Non-Infeksi, misalnya: Kolitis ulseratif, penyakit Crohn's, kolitis
radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple
colitis).
Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang sering ditemukan di
Indonesia sebagai daerah tropik, yaitu kolitis amebik, shigellosis, infeksi E.coli
patogen, kolitis tuberkulosa, serta kolitis pseudomembran. Infeksi E.coli patogen
dilaporkan sebagai penyebab utama diare kronik di Indonesia.

2.6.1 Kolitis Amebik (Amebiasis Kolon)


a. Batasan
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.
b. Epidemiologi
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10%
populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus resevoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja
ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal
atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek,
penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah
penularannya.
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan
kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia.
Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain
kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat
bertahan lama diluar tubuh manusia.
c. Patofisiologi
E. histolytica memiliki bentuk pseudopod, merupakan parasit protozoa tidak
berflagel yang dapat menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan, juga
menginduksi apoptosis sel host-nya. Manusia dan primata non-manusia
merupakan satu-satunya host bagi E. histolytica. Menelan kista E. histolytica
yang berasal dari lingkungan akan diikuti dengan eksistasi pada ileum terminal
atau kolon, dan berubah bentuknya menjadi trofozoit yang sangat motil. Saat
kolonisasi di mukosa kolon, trofozoit dapat menghasilkan kista yang kemudian
dieksresikan melalui feces atau dapat pula menembus barrier mukosa usus
sehingga dapat masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke hati, paru, serta
bagian tubuh lainnya. Kista yang dieksresikan akan mencapai lingkungan dan
melengkapi siklus ini.
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymogene nonpatogenik. Walaupun mekanismenya
belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi
seperti pemakan steroid memudahkan invasi parasit ini. Penglepasan bahan
toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila
proses ini berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undetermined,
kedalaman ulkus mencapai submukosa atau lapisan submuskularis. Tepi ulkus
menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal.
Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon
asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amibisidal berupa makrofag lymphokine-activated setra
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan membentuk massa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari
asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai berupa diare berdarah dan nyeri
abdominal. Hanya 10-30% pasien dengan disentri amuba disertai dengan
demam. Penurunan berat badan dan anoreksia dapat terjadi. Kolitis fulminan
atau nekrosis biasanya bermanifestasi sebagai diare berdarah yang berat, nyeri
abdominal yang luas disertai dengan adanya peritonitis dan demam. Faktor
predisposisi dari kolitis fulminan ini meliputi nutrisi yang kurang, kehamilan,
penggunaan kortikosteroid, dan usia yang sangat muda.
Selain itu, terdapat beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis yaitu:
- Carrier (cyst passer): Ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus,
tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi,
obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh
sendiri dalam waktu 1 tahun, sisanya (10%) berkembang menjadi kolitis
ameba.
- Disentri Ameba Ringan: Kembung, nyeri perut ringan, demam ringan,
diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir,
keadaan umum pasien baik.
- Disentri Ameba Sedang: Kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali
dengan nyeri spontan.
- Disentri Ameba Berat: Diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia.
- Disentri Ameba Kronik: Gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi
dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena
kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.
e. Diagnosis
Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali
diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan.
Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal
3 spesimen tinja yang terpisah untuk mencari adanya bentuk trofozoit. Untuk
identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan pengecatan trichrome, bila
perlu dengan teknik konsentrasi tinja.
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap ameba,
positif pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasif. Pemeriksaan
endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus yang
terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang
melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa
di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan
pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan
mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis.
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambaranya sangat
bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling
defect.
f. Diagnosis Banding
Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dengan kolitis ulserosa atau kolitis
Crohn karena pemberian kortikosteroid pada klitis amebik menyebabkan
penyebaran organism dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien.
Diagnosis banding yang lain adalah kolitis karena infeksi Shigella, Salmonella,
Campylobacter, Yersenia, E. coli patogen, dan kolitis pseudomembran.
g. Komplikasi
Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan
striktur.
h. Penatalaksanaan
- Karier asimtomatik
Diberi obat yang bekerja, di lumen usus (luminal agents) antara lain :
Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg 3 kali sehari selama 20 hari atau
Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari.
- Kolitis ameba akut
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari, ditambah dengan
obat luminal tersebut diatas.
- Amebiasis ekstra-intestinal (misalnya: abses hati ameba)
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat
luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra
intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat.

2.6.2 Disentri Basiler (Shigellosis)


a. Batasan
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus
Shigella.
b. Epidemiologi
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek,
kurang air, dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik,
infeksi Shigella merupakan 10-15% penyebab diare pada anak. Sumber kuman
Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah
dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit
relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah
terjadi penularan secara fekal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat
makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Di daerah tropis termasuk Indonesia, disentri biasanya meningkat pada
musim kemarau di mana S. flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak.
Sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya
meningkat dimusim dingin. Prevalensi infeksi oleh S. flexnerii di negara tersebut
telah menurun sehingga saat ini S. Sonnei adalah yang terbanyak.
c. Mikrobiologi
Shigella termasuk kelompok enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif,
anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan Eschericia coli. Beberapa sifat yang
membedakan kuman ini dengan E. coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif,
tidak memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa
negatif.
Dikenal 4 species Shigella dengan berbagai serotipenya yaitu: S. dysentriae
(12 serotipe), S. flexnerii (14 serotipe), S. boydii (15 serotipe), dan S. sonnei (1
serotipe). Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebgai golongan
A, B, C, dan D.
Penyebaran geografik dan kerentanan terhadap antimikroba bervariasi
tergantung dari speciesnya. S. dysentriae serotype 1 dapat menyebabkan epidemi
yang mematikan, S. boydii terbatas pada daerah India, sedangkan S.flexnerii
serta S. sonnei memiliki prevalensi pada negara berkembang. S. flexnerii
merupakan bakteri gram negatif yang enteroinvasif, yang bertanggung jawab
terhadap endemi disentri basiler di seluruh dunia.
d. Patofisiologi
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair),
disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclear
(PMN) dan darah.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan
kuman dapat ditemukan juga pada lambung serta usus halus.
Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel
mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel
di sekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi
di lapisan epitel, respon inflamasi lokal yang menyertainya cukup berat,
melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema,
mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan, dan ulserasi
mukosa. Bila penyakit berlanjut terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina
propia, dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama.
S. dysentriae, S. flexneri, dan S. sonnei menghasilkan eksotoksin antara lain
ShET1, ShET2, toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan
neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga
kuman lebih mampu menginvasi sel mukosa kolon dan memperberat gejala
klinis.
Kuman Shigella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa
sehingga jarang menyebabkan bakteriemia. Walaupun demikian pada keadaan
malnutrisi dan pasien immuno-compromized dapat terjadi bakteriemia. Selain itu
dapat pula terjadi kolitis hemoragik.
e. Manifestasi Klinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis
Shigellosis bervariasi. Lama gejala rata-rata 7 hari pada orang dewasa, namun
dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan
baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa.
Populasi yang memiliki resiko tinggi terhadap shigellosis meliputi:
- Anak-anak di pusat-pusat penitipan anak (<5 tahun) dan pengasuh mereka
- Pria homoseksual
- Wisatawan internasional
- Orang yang hidup dalam kondisi yang penuh sesak dengan fasilitas sanitasi
yang buruk dan suplai air bersih yang tidak memadai (misalnya, kamp-kamp
pengungsian, tempat penampungan bagi pengungsi)
- Orang dengan infeksi immunodeficiency virus (HIV)
Gejala-gejala shigellosis meliputi:
- Onset yang mendadak dari kram perut, demam tinggi, muntah, anoreksia, dan
diare cairan dalam jumlah banyak. Kejang dapat merupakan manifestasi awal.
- Nyeri abdominal, tenesmus, urgency, inkontinensia fekal, dan diare sedikit
berlendir dengan darah merah terang dapat terjadi.
Tanda-tanda shigellosis meliputi:
- Peningkatan suhu (setinggi 1060 F) dilaporkan terdapat pada sepertiga kasus
dan didapatkan adanya tanda toksik umum.
- Takikardi dan takipneu dapat merupakan sekunder dari demam dan dehidrasi.
Bergantung dari derajat dehidrasinya; membran mukosa yang kering,
hipotensi, capillary refill time yang memanjang, dan penurunan turgor kulit
dapat terjadi.
- Ketegangan perut biasanya terjadi di bagian tengah dan bawah, juga dapat
terjadi pada seluruh bagian perut.
Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa
kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi. Pengidap pasca infeksi
pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang terjadi
telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama
feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan
dapat mengalami gejala shigellosis yang intermiten.
f. Diagnosis
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan
nyeri abdomen bawah, rasa panas rektal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik
tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan
diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rektal.
Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya kolitis, namun pemeriksaan
tersebut umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan pasien merasa sangat
tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera
dilakukan kepastian diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri
atau manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi
harus dikerjakan dalam waktu 4 hari dari saat gejala. Pada fase akut infeksi
Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulseratif.
Demikian pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan histopatologi
juga tidak dapat membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang
positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik
yang adekuat.
g. Diagnosis Banding
Salmonelosis, sindrom diare karena E. coli, kolera, kolitis ulserosa.
h. Penatalaksanaan
- Mengatasi Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada
pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah
berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan
rehidrasi intravena.
- Antibiotik
Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya
penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare
persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut.
Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah:
* Ampisilin 4 x500 mg per hari, atau
* Kontrimoksazol 2 x 2 tablet per hari, atau
* Tetrasiklin 4 x 500 mg per hari selama 5 hari.
Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah
banyak yang resisten dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan
antibiotik lain seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama
pada pasien dengan gejala klinik yang berat.
- Pengobatan simptomatik
Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan
derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi
terjadinya megakolon toksik. Obat simptomatik yang lain di berikan sesuai
dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi.

2.6.3 Infeksi Escherichia Coli (Patogen)


a. Batasan
Infeksi kolon oleh serotipe Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang
menyebabkan diare berdarah atau tidak.
b. Epidemiologi
Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.coli patogen jarang dilakukan,
maka angka kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika
Serikat sekitar 21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika
Serikat , E.coli (O157:H7) lebih sering di isolasi pada pasien diare dibandingkan
dengan Shigella demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta.
E.coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%),
penularan ke manusia sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar
biasa/outbreak) adalah lewat daging yang terkontaminasi pada saat
penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling dan kurang baik dalam
proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum yang
tercemar, tempat berenang yang tercemar dan antar manusia.
Masa inkubasi rata-rata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1-8 hari. E.coli
patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun
tidak pernah ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia).
c. Patofisiologi
Berbeda dengan peran penting dari kebanyakan E. coli pada usus manusia,
E. coli patogen bertanggung jawab terhadap spektrum yang luas dari penyakit
manusia. E. coli muncul sebagai penyebab penting dari diare, dengan fenotip
serta mekanisme patogen yang beragam. Hemolytic-uremic syndrome (HUS)
merupakan komplikasi yang berbahaya pada infeksi enterik strain spesifik E.
coli.
Terdapat 5 fenotip dari E. coli diaregenik yang telah diketahui; setiap fenotip
memiliki patogenesis yang berbeda. Fenotipnya meliputi:
- Enterotoxigenic E coli (ETEC)
- Enterohemorrhagic E coli (EHEC)
- Enteropathogenic E coli (EPEC)
- Enteroinvasive E coli (EIEC)
- Enteroaggregative E coli (EAEC)
ETEC menempel pada mukosa usus halus melalui beberapa fimbrial
colonization factor antigens (CFAs) yang berbeda. Sekali kolonisasi terjadi, satu
atau dua dari enterotoksin tersebut (heat labile toxin [LT] dan heat stable toxin
[ST]) akan dilepaskan. Toksin ini akan membawa cairan serta elektrolit keluar
dari mukosa usus halus. ST dilaporkan sebagai toksin yang lebih virulen. LT
dekat hubungannya dengan struktur dan fungsi enterotoksin yang diekspresikan
oleh Vibrio cholerae.
EHEC, yang juga dikenal sebagai Shiga-toxin producing E. coli (STEC)
mencetuskan lesi attaching and effacing (AE) pada usus besar. Saat berada di
dalam kolon, EHEC melepaskan toksin yang dikenal sebagai Shiga-like toxin
(Stx). Stx berhubungan dengan toksin Shiga dari Shigella dysenteriae dan
bersifat sitotoksik terhadap endotel pembuluh darah. Sirkulasi sistemik dari Stx
dapat berpotensial menyebabkan HUS namun tidak menyebabkan kolitis
hemoragik EHEC. E. coli O157:H7 merupakan EHEC yang paling virulen.
HUS terdiri atas trias anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia,
dan insufisiensi renal. HUS biasanya berkembang pada minggu ke-2 (hari ke-2
sampai 14), seringkali setelah diare teratasi. Pasien terlihat pucat, lemah,
iritabilitas, oliguri, dan anuria.
EPEC juga menghasilkan lesi AE, namun juga dapat dihasilkan tanpa adanya
Stx. Patogenesisnya meliputi kolonisasi pada usus halus, diikuti dengan
pembentukan lesi AE dan sekret.
Patogenesis EIEC serupa dengan species Shigella. EIEC menginvasi sel epitel
usus besar, menghasilkan enterotoksin sekretogenik dan kematian sel epitel
kolon. Enterotoksin ini biasanya tidak memfermentasikan laktosa dan
bertanggung jawab terhadap respon inflamasi lokal di kolon.
EAEC menempel pada usus halus dan besar melalui aggregative adherence
fimbriae (AAFs) diikuti dengan kolonisasi. Kolonisasi ini menghasilkan
enterotoksin dan sitotoksin, yang kemudian merusak mukosa intestinal.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi E.coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa:
infeksi asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis),
SHU, purpura trombositopenik sampai kematian.
Gejala klinisnya berupa nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal
cramp), diare yang kemudian diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien
disertai nausea (mual) dan vomiting (muntah). Pada umumnya suhu tubuh pasien
sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan sebagai kolitis non
infeksi.
Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian
pasien tidak mengandung darah sama sekali.
Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa yang
edematous dan hiperemia, kadang-kadang ditemukan ulserasi superficial. Dapat
dijumpai pula pseudomembran sehingga menyerupai infeksi C. difficile.
Pemeriksaan patologi menunjukkan gambaran infeksi atau iskemik dengan
pola patchy kadang-kadang dijumpai mikrotrombi fibrin.
Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU
(sekitar 6% dari pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan
anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal, dan gejala
saraf sentral. Komplikasi neurologik berupa kejang, koma, hemiparesis, terjadi
pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Sedangkan hemodialisis diperlukan
oleh sekitar setengah dari pasien. Faktor resiko terjadinya SHU antara lain:
balita/manula, diare berdarah, febris, leukosit yang meningkat, pengobatan
dengan obat anti motilitas. Prediktor keparahan SHU antara lain meningkatnya
jumlah leukosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbul anuria, usia
dibawah 2 tahun, mortalitas antara 3-5%.
Purpura trombositopenik mempunyai gejala yang mirip dengan SHU namun
dengan gejala gagal ginjal dan kelainan neurologik yang lebih ringan. Biasanya
ditemukan pada dewasa.
e. Diagnosis
Setiap pasien dengan diare berdarah seyogyanya dicurigai sebagai infeksi E.
coli patogen. Demikian pula pada pasien dengan kemungkinan tertular E. coli
patogen walupun mengalami diare tanpa darah juga patut dicurigai. Kultur
dengan agar sorbitol-MacConkey dan aglutinasi dengan O157 anti serum
merupakan sarana yang murah untuk memastikan diagnose infeksi E. coli
patogen.
f. Diagnosis Banding
Kolitis pseudomembranosa dan kolitis infeksi yang lain.
g. Penatalaksanaan
Pengobatan infeksi E.coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan
suportif dan simptomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada
pasien yang mendapat antibiotik dan obat yang menghambat motilitas.
Di samping itu pemberian kontrimoksazol di laporkan tidak mempunyai efek
yang signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme
dan komplikasi SHU.

2.6.4 Kolitis Tuberkulosa


a. Batasan
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.
b. Epidemiologi
Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberkulosis
yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
c. Patofisiologi
Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberculosae, biasanya lewat
tertelannya sputum yang mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum
susu yang tercemar Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya
frekuensi tuberkulosis saluran cerna dengan beratnya tuberkulosis paru.
Secara patologis, TB gastrointestinal ditandai oleh peradangan dan fibrosis
dari dinding usus dan kelenjar getah bening regional. Ulserasi mukosa
merupakan hasil dari nekrosis patch Peyer, folikel getah bening, dan trombosis
pembuluh darah. Pada tahap ini, masih dimungkinkan terjadi perubahan
reversibel dan penyembuhan tanpa jaringan parut. Saat penyakit ini berkembang,
ulserasi berkonfluen, dan fibrosis yang luas menyebabkan penebalan dinding
usus, fibrosis, dan lesi massa pseudotumor. Pembentukan striktur dan fistul
dapat terjadi.
Permukaan serosa mungkin menunjukkan adanya massa nodular dari
tuberkel. Mukosa meradang dengan hiperemi dan edema yang serupa pada
penyakit Crohn. Dalam beberapa kasus, aphthous ulcer dapat dilihat dalam usus
besar. Kaseasi mungkin tidak selalu terlihat sebagai granuloma, terutama di
mukosa, tapi hampir selalu terlihat pada kelenjar getah bening regional.
Timbul 3 bentuk kelainan pada kolitis tuberkulosa, yaitu:
1. Ulseratif pada 60% kasus, lesi aktif berupa tukak superfisial.
2. Hipertrofik pada 10% kasus, bentuk lesinya parut fibrosis, dan massa yang
menonjol menyerupai karsinoma.
3. Ulserohipertrofik pada 30% kasus, terdapat ulserasi dengan fibrosis yang
merupakan bentuk penyembuhan.
Semua bagian saluran cerna dapat terinfeksi, namun lokasi yang tersering
(85–90% kasus) adalah di daerah ileosekal.
d. Manifestasi Klinis
Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang
tidak khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang
konstipasi, anoreksi, demam ringan, penurunan berat badan atau teraba masa
abdomen kanan bawah.
Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan
tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya berasal dari
kuman yang tertelan bersama sputum.
e. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis di
jaringan, baik dengan pemeriksaan mikroskopik langsung atau atas hasil kultur
biopsi jaringan. Sedangkan diagnosis dugaan adanya kolitis tuberkulosa adalah
bila didapatkan tuberkulosis paru aktif dengan penyakit ileosekal.
Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi
lekuk mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau masa mirip keganasan di
sekum. Mungkin pula terbentuk fistula di usus halus.
Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang paling penting untuk membantu
menegakkan diagnosis kolitis tuberkulosa. Dengan kolonoskopi didapatkan
visualisasi lesi secara langsung, sekaligus ditemukan penyempitan lumen,
dinding kolon yang kaku, ulserasi dengan tepi iregular dan edematous.
Tes tuberkulin untuk menunjang diagnosis tuberkulosis paru di daerah
endemik kurang bernilai.
f. Diagnosis Banding
Penyakit Crohn, amebiasis, diverticulitis, dan karsinoma kolon.
g. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi berupa perdarahan, perforasi, obstruksi
intestinal, terbentuknya fistula, dan sindrom malabsorpsi. Komplikasi yang
sering terjadi adalah obstruksi parsial yang kemudian berkembang menjadi
obstruksi total.
h. Penatalaksanaan
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberkulosis seperti pada
pengobatan tuberkulosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis
obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi.
Beberapa obat anti tuberkulosis yang sering dipakai adalah:
- INH 5-10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari.
- Etambutol 15-25 mg/kgBB atau 900-1200 mg sekali sehari.
- Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400-600 mg sekali sehari.
- Pirazinaimid 25-3 mg/kgBB atau 1,5-2 g sekali sehari.

2.6.5 Kolitis Pseudomembran


a. Batasan
Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai
dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di
permukaan mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab
umumnya timbul setelah menggunakan antibiotik.
b. Etiologi
Walaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakainan antibiotik,
namun kolitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotik. Yang
dianggap sebagai kuman penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang
dikeluarkan mengakibatkan kolitis. Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus
lebih rentan terhadap C. difficile belum jelas. Penjelasan yang paling mungkin
adalah penekanan flora usus normal oleh antibiotik memberikan kesempatan
tumbuh dan terbentuknya koloninsasi C. difficile disertai pengeluaran toksin.
c. Epidemiologi
C. difficile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun
di kolonnya. Kolitis pseudomembran bisa mengenai semua tingkat umur.
Kemungkinan tidak dilaporkannya kolitis pseudomembran karena untuk
menegakkan diagnosis perlu kolonoskopi dan pemeriksaan toksin kuman di
tinja. Penularan bisa secara kontak langsung lewat tangan atau perantaraan
makanan minuman yang tercemar. Semua jenis antibiotik kecuali
aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis pseudomembran,
namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin.
d. Patofisiologis
C. difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman
mengeluarkan dua toksin utama, yaitu toksin A dan toksin B. Toksin A
merupakan enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang
terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa
yang masih utuh. Sebanyak 75% isolat C. difficile menghasilkan kedua toksin
tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis
maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dan sediaan tinja,
dengan metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98.6% dan 100%.
e. Manifestasi Klinis
Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik digunakan, tetapi
mungkin pula baru muncul setelah antibiotik dihentikan. Gejala yang paling
sering dikeluhkan ialah diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat
ringan, tetapi biasanya banyak, sampai 10-20 kali sehari. Mual dan muntah
jarang ditemukan. Sebagian pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi
hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui 380C. Terdapat leukositosis,
sering sampai 50.000/mm. Pada beberapa pasien mungkin hanya diawali demam
dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul stelah beberapa hari kemudian.
Temuan lain meliputi nyeri tekan abdomen bawah, edema, dan
hipoalbuminemia. Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada kasus
yang berat dapat terjadi komplikasi berupa dehidrasi, edema anasarka, gangguan
elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau
antiperistaltik dapat meningkatkan resiko megakolon.
f. Diagnosis
Jika perlu ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan
antibiotik perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Diagnosis kolitis
pseudomembran dapat cepat dibuat dan akurat dengan melakukan pemeriksaan
kolonoskopi. Sensitivitasnya tinggi dan merupakan alat diagnosis definitif. Jika
ditemukan lesi khas kolitis pseudomembran, seyogyanya dilakukan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi. Secara tipikal, diawali dengan lesi kecil (2-5 mm)
putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa di antaranya sering terlihat
normal atau mungkin menunjukkan berbagai derajat eritema, granularitas, dan
kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna
kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di
bawahnya mengalami ulserasi.
C. difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang
terdiagnosis secara kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostik, karena
pasien yang berada di rumah sakit tanpa kolitis ditemukan biakan C. difficile
positif sebesar 10-25%. Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B di
tinja, sehubungan dengan efek sitopatik pada kultur jaringan. Karena
pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal, biasanya cukup memeriksa
terdapatnya toksin A dengan metode ELISA.
Gambaran histopatologi kolitis pseudomembran bervariasi tergantung
beratnya penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price dan Dvies membagi
lesi menjadi 3 tipe yaitu:
- Tipe I, lesi vulkano, dengan gambaran nekrosis epithelial fokal disertai PMN
dan fibrin tersebar di dalam lumen.
- Tipe II, lesi glandular, dengan pelebaran kelenjar disertai PMN dan musin,
dilapisi pseudomembran, mukosa sekitarnya tidak terkena.
- Tipe III, lesi nekrosis, dengan nekrosis mukosa total disertai mukosa yang
dilapisi pseudomembran yang tebal.
g. Diagnosis Banding
Kolitis pseudomembranosa perlu dibedakan dengan kasus diare akibat kuman
patogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotik, kolitis non-
infeksi, dan sepsis intra abdominal.
h. Penatalaksanaan
Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga
menjadi penyebab, juga obat yang menggangu peristaltik, dan mencegah
penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi
dengan penghentian antibiotik disertai pemberian cairan dan elektrolit. Pada
kasus dengan gejala-gejala yang lebih berat seyogyanya dilakukan pemeriksaan
deteksi toksin C. difficile dan terapi spesifik per oral menggunakan metronidazol
atau vankomisin.
Kolitis ringan sampai sedang: metronidazol dengan dosis per oral 250-500 mg
4x sehari selama 7-10 hari.
Kolitis berat: vankomisin dengan dosis per oral 125-500 mg 4x sehari selama 7-
14 hari.
Alternatif pengobatan: kolestiramin dengan dosis per oral 4 gram 3x sehari
selama 5-10 hari. Kolestiramin digunakan untuk mengikat toksin yang
dihasilkan C. difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin.
Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu atau
bulan kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah pengobatan
spesifik diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman
laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu.
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit saluran pencernaan adalah semua penyakit yang terjadi pada saluran
pencernaan. Penyakit ini merupakan golongan besar dari penyakit pada organ
esofagus, lambung, duodenum, jejunum, ileum, kolon dan rektum. Penyakit saluran
pencernaan sangatlah bervariasi dari penyakit ringan hingga berat yang dapat
menyebabkan kematian. Namun, walaupun terkadang terasa ringan penyakit pada
sistem pencernaan ini dapat mengakibatkan dampak yang berat bahkan fatal apabila
dibiarkan tanpa penanganan yang dapat dan intensif.
1. Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
Infeksi kuman Helicobacter pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat
penting. Selain itu gangguan fungsi imun, infeksi akibat virus dan jamur serta
pemakaian obat NSAID dalam jangka waktu lama juga menjadi penyebab
terjadinya gastritis.
2. Ulkus peptikum adalah ulkus yang terjadi pada mukosa, submukosa dan
kadang-kadang sampai lapisan muskularis dari traktus gastrointestinalis yang
selalu berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCL.
Termasuk ini ialah ulkus (tukak) yang terdapat pada bagian bawah dari
oesofagus, lambung dan duodenum juga dapat dijumpai pada jejunum. Salah
satu penyebab utama ulkus gaster dan ulkus duodenum ialah adanya reaksi
inflamasi kronik akibat invasi dari Helicobacter pylori. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh diet, rokok, obat-obat NSAID.
3. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan esofagus, faring,
laring dan saluran napas. Asam lambung merupakan salah satu faktor utama
etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat
mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien
GERD.
4. IBS adalah kelainan kompleks dari saluran pencernaan bagian bawah, adanya
nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan
motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas dari
interaksi aksis brain-gut, hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus.
5. Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Kolitis dibagi
menjadi dua kolitis infeksi dan kolitis non-infeksi. Kolitis Infeksi terdiri atas
Shigellosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, kolitis
karena virus/bakteri/parasit.

Anda mungkin juga menyukai