Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 28 TAHUN 2017

Disusun oleh:
Kelompok B6

Anggota:

Dani Gemilang Kusuma 04011181419068


Aprita Nurkarima 04011181419216
Azora Khairani K. 04011281419082
M. Aufar Isytahar 04011281419086
Siti Thania Luthfyah 04011281419088
Syah Fitri 04011281419092
M. Afif Baskara E. 04011281419112
Fitria Masturah 04011281419116
Andini Karlina CH 04011281419120
Archita Wicesa Saraswati 04011281419132

Tutor: dr. Nursanti, Sp. PA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario B Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Nursanti, Sp. PA yang
telah memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan
telah memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah
skenario yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan
kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palembang, September 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 4

B. Maksud dan Tujuan........................................................................................................ 4

C. Data Tutorial .................................................................................................................. 4

BAB II........................................................................................................................................ 5

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 5

I. Klarifikasi Istilah.............................................................................................................. 6

II. Identifikasi Masalah ....................................................................................................... 7

III. Analisis Masalah............................................................................................................ 8

IV. Learning Issue .............................................................................................................. 50

V. Kerangka Konsep .......................................................................................................... 65

VI. Sintesis .......................................................................................................................... 66

BAB III .................................................................................................................................... 69

PENUTUP................................................................................................................................ 69

I. Kesimpulan ..................................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 70

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik adalah blok ke-28 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Kasus yang dipelajari adalah mengenai malaria.

B. Maksud dan Tujuan


1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

C. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Nursanti, Sp. PA
2. Moderator : Syah Fitri
3. Sekretaris : 1. Siti Thania Luthfyah
2. M. Aufar Isytahar
4. Waktu : 1. Senin, 17 September 2017
2. Rabu, 20 September 2017
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
Pukul 13.00 – 15.30 WIB

4
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario B Blok 28 Tahun 2017

Satu jam sebelum masuk RS, Mr. X, 20 tahun dianiaya oleh tetangganya dengan
menggunakan sepotong kayu. Mr. X pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali
dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat.
Polisi mengantar Mr. X ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Mr. X
mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan:


Kesadaran: GCS: (E4 M6 V5), Tekanan darah: 130/90 mmHg, Frekuensi napas: 28 x/menit,
Denyut nadi 50 x/menit, Pupil isokor, refleks cahaya: pupil kanan reaktif dan pupil kiri
reaktif
Regio orbital: dextra et sinistra tampak hematom, subconjungctival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cn, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar
fraktur tulang
Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung

Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.
Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, Nadi 50 x/menit, Tekanan darah 140/90 mmHg,
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam
bentuk kata-kata. Pupil anisokor dextra, refleks cahaya pupil kanan negatif, refleks cahaya
pupil kiri reaktif/normal.
Pada saat itu, Anda merupakan Dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
tersebut.

5
I. Klarifikasi Istilah
ISTILAH DEFINISI
Visum et Keterangan (laporan) tertulis, yang dibuat oleh seorang dokter atas
repertum permintaan penyidik tentang apa yang dilihat dan ditemukan
terhadap manusia baik hidup atau mati ataupun bagian/ diduga
bagian dari tubuh manusia berdasarkan keilmuannya untuk
kepentingan peradilan
Memar Suatu jenis cidera pada jaringan tubuh yang menyebabkan aliran
darah dari sistem kardiovaskular mengendap pada jaringan
sekitarnya. Disebut juga hematom dan tidak disertai dengan
robeknya lapisan kulit
Pupil isokor Kedua pupil ukurannya sama besar
Refleks cahaya fotopupillary refleks, yaitu refleks yang mengatur diameter pupil
sebagai respon dari cahaya yang jatuh pada sel-sel ganglion retina
Subconjungtival pecahnya pembuluh darah konjungtiva
bleeding
Hematom pengumpulan darah setempat, umumnya menggumpal, dalam organ,
rongga, atau jarigan, akibat pecahnya dinding pembuluh darah.
Regio orbita daerah rongga tulang yang berisi bola mata beserta otot, pembuluh
darah dan saraf-sarafnya.
Regio temporal Pelipis
Regio nasal struktur khusus pada wajah yang berperan sebagai organ penghidu
dan sebagai bagian dari alat pernapasan
Ngorok mendengkur atau snoring, merupakan suara gaduh yang
menandakan pernapasan abnormal yang terjadi akibat obstruksi
sebagian aliran udara yang masuk dan menggetarkan palatum mole
dan jaringan lunak disekitarnya
Pupil anisokor Kedua pupil ukurannya tidak sama besar
Epistaksis Perdarahan dari hidung biasanya akibat pecahnya pembuluh darah
kecil yang terletak dibagian anterior septum nasal kartilaginosa

6
II. Identifikasi Masalah
1. Satu jam sebelum masuk RS, Mr. X, 20 tahun pingsan kurang lebih 5 menit setelah
dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu.
2. Polisi mengantar Mr. X ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Mr. X
mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan
muntah.
3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
Kesadaran: GCS: (E4 M6 V5), Tekanan darah: 130/90 mmHg, Frekuensi napas: 28
x/menit, Denyut nadi 50 x/menit, Pupil isokor, refleks cahaya: pupil kanan reaktif dan
pupil kiri reaktif
Regio orbital: dextra et sinistra tampak hematom, subconjungctival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cn, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan
dasar fraktur tulang
Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung
4. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.
Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, Nadi 50 x/menit, Tekanan darah 140/90 mmHg,
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam
bentuk kata-kata. Pupil anisokor dextra, refleks cahaya pupil kanan negatif, refleks
cahaya pupil kiri reaktif/normal.
5. Pada saat itu, Anda merupakan Dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3
orang tersebut.

7
III. Analisis Masalah
1. Satu jam sebelum masuk RS, Mr. X, 20 tahun pingsan kurang lebih 5 menit setelah
dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu.
a. Apa yang dimaksud penganiayaan?
Menurut R. Soesiolo dalam buku kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ( yang
diatur Bab XX pasal 351 sampai dengan Pasal 356) menyatakan bahwa penganiayaan
adalah segala perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderita), rasa
sakit, atau luka yang dilakukan secara sengaja.
1) Penganiayaan Ringan
Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut :
1. Selain dari apa yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau
pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
2. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum berdasarkan Pasal 352
KUHP, maka yang dimaksud dengan penganiayaan ringan adalah penganiayaan
yang tidak mengakibatkan orang menjadi sakit (ziek) dan terhalang untuk
melakukan jabatan atau pekerjaannya. Sebagai contoh yang diberikan R. Soesilo
(1979:146) yaitu : A menempeleng B di kepalanya yang mengakibatkan B sakit
(pijn) akan tetapi tidak jatuh sakit (ziek) dan masih melakukan pekerjaannya
sehari-hari. Prodjodikoro (1980:72) memberikan pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan penganiayaan ringan, yaitu penganiayaan yang tidak termasuk
dalam rumusan Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP dan tidak menjadikan
sakit atau terhalang untuk melakukan pekerjaannya atau jabatannya.
2) Penganiayaan Biasa
Penganiayaan biasa adalah penganiayaan yang termasuk dalam Pasal 351 KUHP
yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, si tersalah dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun
3. Jika perbuatan itu menjadikan matinya orang, dia dihukum penjara selama-
lamanya tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dihukum.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 351 KUHP ini, maka yang dinamakan
penganiayaan biasa adalah penganiayaan yang tidak termasuk penganiayaan berat
dan penganiayaan ringan. Misalnya A memukul B dengan sepotong kayu tiga kali,
8
sehingga menderita luka di kepalanya dan terpaksa B harus dirawat di rumah sakit.
Dari contoh tersebut jelas bukanlah penganiayaan berat dan ringan, karena lukan
yang diderita bukan luka berat seperti yang dimaksud dalam Pasal 90 KUHP juga
tidak termasuk penganiayaan ringan sebab luka tersebut menyebabkan B terhalang
untuk melakukan pekerjaannya sehari-hari.
3) Penganiayaan Biasa yang Direncanakan Lebih Dahulu
Penganiayaan semacam ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 353 KUHP, yaitu:
1. Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun
2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-
lamanya tujuh tahun.
3. Jika perbuatan itu menjadikan kematian terhadap orang lain, ia dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
Jadi penganiayaan ini sama saja dengan penganiayaan biasa, hanya
disyaratkan ada unsur direncanakan terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan
direncanakan terlebih dahulu yaitu antara timbulnya untuk menganiaya dengan
pelaksanaannya ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan
bagaimana penganiayaan itu akan dilakukan. Selanjutnya dikatakan bahwa : Waktu
(tempo) ini tidak boleh terlalu sempit dan juga tidak boleh terlalu lama, yang
penting ialah bahwa dalam tempo itu pembuat masih dapat memikirkan yang
sebenarnya, ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk
melakukan penganiayaan, akan tetapi kesempatan tersebut tidak digunakan.
Sekalipun jangka waktu atau tempo tidak dapat dijadikan kriteria dan alat bukti
terhadap penganiayaan direncanakan terlebih dahulu, namun dalam hal ini dapat
dipergunakan sebagai petunjuk oleh polisi, jaksa dan hakim bahwa ada unsur
direncanakan terlebih dahulu.
4) Penganiayaan Berat
Dasar hukum penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP, yang berbunyi:
1. Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena
penganiayaan berat, dengan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.
2. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana
dengan penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
Melukai berat merupakan tujuan dari pelaku. Pelaku berkehendak agar
perbuatan yang dilakukan menimbulkan luka berta. Sedang matinya orang adalah
suatu hal yang tidak dikehendaki oleh si pelaku seperti dirumuskan dalam ayat (2),
hanya merupakan hal yang memperberat hukuman. Undang-undang mensyaratkan
bahwa pelaku memang telah menghendaki (wiillens) untuk melakukan suatu

9
perbuatan menimbulkan luka berat pada tubuh orang lain, dan ia pun harus
mengetahui (watens) bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut :
 Ia telah bermaksud untuk menimbulkan luka berat pada tubuh orang lain.
 Ia menyadari bahwa orang lain pasti (zeher) akan mendapatkan luka berat pada
tubuhnya.
 Ia menyadari bahwa orang lain mungkin (mogelijk) akan mendapat luka berat
pada tubuhnya.
Jika pelaku sengaja hendak menimbulkan luka berat, maka tidak ada
penganiayaan apabila luka berat itu tidak benar-benar ditimbulkan, yakni apabila
segera sesudah dilukai, meninggal dunia. Dalam hal ini tidak ada penganiayaan
yang menimbulkan kematian. Untuk dapat dikenakan pasal ini, maka niat si
pelaku atau si pembuat harus ditujukan pada melukai berat atau dengan kata lain
agar objeknya luka berat.
5) Penganiayaan Berat yang Direncanakan Lebih Dahulu
Hal ini diatur dalam Pasal 355 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya si tersalah dihukum penjara
selama-lamanya sepuluh tahun.
Jadi penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu, diancam penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun. Apabila perbuatan itu menyebabkan kematian
orangnya, hukumannya dinaikan 15 (lima belas) tahun. Selain dari kelima bentuk
kualifikasi penganiayaan tersebut di atas, dikenal pula bentuk penganiayaan yang
tercantum dalam Pasal 356 KUHP, yang berbunyi :
Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 352, 353, 354 dan 355 dapat
ditambah dengan sepertiga:
1. Jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah,
istrinya (suaminya) atau anaknya.
2. Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri pada waktu atau
sebab ia menjalankan pekerjaan yang sah.
3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusakkan jiwa atau
kesehatan orang.
Penganiayaan semacam ini disebut dengan penganiayaan berkualifikasi,
yakni penganiayaan yang diperberat hukumannya karena dilakukan oleh orang-
orang tertentu dan menggunakan benda-benda yang membahayakan kesehatan
orang. Dari pembagian penganiayaan menurut kualifikasinya sangatlah jelas
perbedaan antara satu dengan yang lain, yaitu :

10
1. Penganiayaan biasa dengan luka berat menurut Pasal 351 ayat (2) dengan luka
berat dalam penganiayaan berat menurut Pasal 354 ayat (1) KUHP.
2. Perbedaan bagi kedua peristiwa ini, ialah dalam penganiayaan biasa luka berat
tidak dikehendaki oleh pembuat (tidak sengaja), akan tetapi hanya merupakan
akibat yang dikehendaki oleh pembuat sedang luka berat pada penganiayaan
berat memang dikehendaki atau memang disengaja.
3. Jika kita bandingkan antara pasal-pasal yang mengatur tentang penganiayaan
yang berakibat matinya orang dengan Pasal 338 KUHP, maka nampak jelas
perbedaannya. Matinya orang pada pasal-pasal yang mengatur tentang
penganiayaan yang tidak dikehendaki atau tidak disengaja oleh pelaku, sedang
niatnya orang pada pembunuhan menurut Pasal 338 KUHP merupakan
kesengajaan yang memang dikehendaki oleh pelaku.

b. Bagaimana karakteristik jenis cidera pada kasus?


Trauma tumpul terkadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan
tubuh tetapi trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu:
1. Contusio (Luka memar)
Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi penggumpalan darah dalam
jaringan yang terjadi sewaktu orang masih hidup, dikarenakan pecahnya
pembuluh darah kapiler dan darah memasuki jaringan ikat sehingga tempat
tersebut menjadi bengkak dan berwarna merah kebiru-biruan.
Tanda luka memar:
Kulit kelihatan berwarna merah kebiru-biruan dan lama-lama kehijauan dan
akhirnya coklat, kuning lalu hilang setelah sembuh. Perubahan warna ini terjadi
karena penguraian haemoglobin.
2. Abrasio (Luka lecet)
Luka lecet terjadi akibat pergeseran kulit dengan benda tumpul yang mempunyai
permukaan kasar dan kerusakan tubuh hanya trbatas pada lapisan kulit yang
terluar / kulit ari.
Tanda luka lecet:
 Kerusakan pada epidermis
 Warna coklat kemerah-merahan
 Perabaan tidak rata
 Sebagian atau seluruh epidermis hilang
3. Vulnus laceratum (Luka robek)
Terjadi bila benda yang mengenai tubuh menyebabkan bagian kulit dan jaringan
dibawah kulit robek dan luka robek ini mudah terjadi pd daerah yang menutupi
tulang.

11
Trauma tumpul

a. Bentuk luka tidak teratur


b. Tepi luka tidak rata
c. Terdapat jembatan jaringan
d. Rambut tidak ikut terpotong
e. Dasar luka tidak teratur
f. Sekitar luka terdapat luka lecet atau memar

Kerusakan otak akibat trauma tumpul dapat berupa :

i. Memar otak (contusio cerebri)


ii. Perdarahan intracranial
iii. Robek otak (laceratio cerebri)

Perdarahan intracranial ini terdiri dari 3 jenis antara lain :

 Perdarahan epidural
 Perdarahan subdural
 Perdarahan subarachnoid

Tipe individu trauma tumpul yang didiskusikan di atas tidak selalu terjadi secara
individual; Mereka sering terjadi dalam kombinasi. Artinya, seseorang mungkin
mengalami kontraksi yang terkelupas, laserasi terkikis, dan kontraksi yang mengacak
(seperti yang digambarkan pada gambar di bawah). Munculnya cedera gaya tumpul
ditentukan oleh beberapa variabel, termasuk senjata atau permukaan yang
berdampak, situs anatomi terkena dampak, dan faktor individual termasuk elastisitas
kulit dan status koagulabilitas.

Salah satu jenis luka tumpul yang umum adalah brush-burn abrasion. Luka bakar
bekas luka abrasi yang luas dan kering yang sering memiliki pewarnaan kuning
oranye atau oranye-merah. Lecet ini disebabkan oleh menyeret atau menggores
permukaan kulit ke permukaan yang kasar; Mereka paling sering ditemui saat sebuah
badan meluncur di trotoar. Lecehan ini kadang-kadang disebut "road rash.”

Dalam beberapa kasus, abrasi atau pelarutan berpola bisa terjadi bila benda
memengaruhi kulit. Sedangkan cedera timah nonspesifik tidak memberikan petunjuk
mengenai apa yang mungkin menyebabkannya, abrasi atau kontroversi yang bermotif
rekapitulasi beberapa ciri objek yang terkena dampak. Pola semacam itu mungkin
penting untuk mengidentifikasi senjata yang digunakan dalam serangan atau dalam
mengidentifikasi ban atau bagian lain dari kendaraan yang menyerang tubuh saat
terjadi benturan tabrak. Dalam skenario seperti itu, disarankan untuk mengambil foto

12
dengan penggaris skala untuk membantu mengidentifikasi objek. Melapisi luka
dengan bungkus plastik dan menelusuri dengan pena juga bisa memberikan
dokumentasi yang berguna.

Celah luka terkadang dianggap sebagai varian trauma tumpul. Cedera ini
diakibatkan oleh dampak kulit oleh benda berat dengan sisi agak tajam, menyebabkan
luka yang memiliki atribut baik gaya tajam maupun trauma tumpul. Bergantung pada
seberapa tajam senjatanya, ini mungkin mirip dengan laserasi menganga atau
potongan besar dengan abrasi marjinal dan sering dikaitkan dengan fraktur yang
mendasarinya. Benda yang umumnya menyebabkan luka luka meliputi sumbu,
baling-baling, dan bilah pemotong rumput.

c. Apa yang menyebabkan Mr. X pingsan setelah dianiaya?


Sepotong kayu yang mengenai kepala Mr.X tepatnya pada os temporal dextra
menyebabkan terjadinya cidera kepala dan diduga mengakibatkan pecahnya pembuluh
darah otak, diduga A.meningea media (arteri yang terdapat diantara os temporal dan
duramater yang masuk melalui foramen spinosum), sehingga terjadi kekurangan
suplai darah di otak yang sifatnya akselerasi dalam jangka waktu yang singkat dan
menyebabkan terjadinya pingsan.

Gambar 1. Circulus Willisi

d. Mengapa Mr.X pingsan hanya selama 5 menit?


Hal tersebut terjadi karena adanya fenomena lucid interval. Fenomena ini terjadi
karena cedera primer yang ringan pada epidural hematom. Kalau pada epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Pingsan selema 5 menit berlangsung melalui beberapa mekanisme: benturan
kepala  proses akselerasi  goncangan pada batang otak  pons turun, a. basilaris
meregang  perfusi ke ascending reticulo activation system (ARAS) terganggu 

13
penurunan kesadaran  pingsan selama 5 menit  stabil (ARAS kembali berfungsi)
 sadar kembali

e. Bagaimana mekanisme pingsan kemudian sadar kembali?

Gambar 2. Struktur otak


Trauma Kapitits yang tampaknya berat atau ringan bisa hanya mengakibatkan pingsan
sejenak belaka, dengan atau tanpa amnesia retrogad. Tanda-tanda kelainan neurologik
apapun tidak terdapat pada penderita yang bersangkutan. Diagnosis yang digunakan
untuk kasus semacam itu ialah komosio serebri.
Apa yang terjadi pada susunan saraf pada komosio sebenarnya belum jelas. Kita tahu
bahwa derajat kesadaran ditentukan oleh integritas “diffuse ascending reticular
system”. Sudah banyak fakta-fakta yang membenarkan anggapan bahwa lintasan
tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang irreversibel.
Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan otak dan pada ujung
kaudalnya bersambung dengan medula spinalis, mudah terbentang dan teregang pada
waktu kepala bergerak secara cepat dan sekaligus secara mendadak yang dinamakan
akselerasi. Peregangan menurut poros batang otak ini bsa menimbulkan blokade
reversible pada lintasan retikularis asendens difus, sehingga selama blokade itu
berlangsung, otak tidak mendapat “input” aferen, yang berarti bahwa kesadaran
menurun sampai derajat yang terendeh (pingsan). Hilangnya blokade terhadap
lintasan asendens itu akan disusul dengan pulihnya kesadaran.

14
Gambar 3. Pembuluh darah otak
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak
hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, otak menerima 20 % dari curah
jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi
oleh substantia grisea.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses
lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan
nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya
oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun,
misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan
nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga
oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akan menyebabkan
edema yang mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum,
atau herniasi dibawah falks serebrum. Jika terjadi herniasi jaringan otak yang
bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau
perdarahan yang menimbulkan kematian.
Pada kasus, gejala tersebut menunjukkan adanya lucid interval yaitu tenggang waktu
antara kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran. Lucid
interval merupakan gejala khas pada epidural hematoma (EDH).
Mekanisme pingsan ± 5 menit lalu sadar :
 Trauma tumpul temporal  fraktur pada os. temporal  ruptur a.meningea media
 hematoma epidural  tekanan intrakranial meningkat mendadak  gangguan

15
aliran darah ke otak Mr.X pingsan beberapa saat (± 5 menit) terjadi
mekanisme kompensasi intrakranial dengan cara membuang CSF dan darah vena
keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama  TIK menurun ke
keadaan normal Mr.X sadar kembali
 Pada saat terjadi pukulan, energi kinetik yang tinggi akan dihantarkan ke kepala.
Getaran hebat dan tiba-tiba akan diteruskan ke otak, yang dapat menyebabkan
gangguan impuls sensori aferen yang menstimulasi ARAS (Ascending Reticular
Activating System) menuju korteks serebri yang dapat menyebabkan penurunan
aktivitas korteks yang menurunkan kesadaran. Penurunan kesadaran dapat juga
disebabkan karena perdarahan yang timbul dapat mengurangi aliran darah ke otak
sehingga suplai oksigen dan glukosa menurun yang menyebabkan aktivitas otak
berkurang yang disertai penurunan kesadaran.

2. Polisi mengantar Mr. X ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Mr. X
mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan
muntah.
a. Apa yang dimaksud dengan visum et repertum?
Visum et repertum adalah keterangan (laporan) tertulis, yang dibuat oleh seorang
dokter atas permintaan penyidik tentang apa yang dilihat dan ditemukan terhadap
manusia baik hidup atau mati ataupun bagian/ diduga bagian dari tubuh manusia
berdasarkan keilmuannya untuk kepentingan peradilan.

b. Apa saja persyaratan untuk membuat visum et repertum?


Dalam pembuatan visum et repertum terdapat 2 syarat yaitu:
a. Syarat formil
Syarat yang menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatannya,
yaitu:
i. Permintaan visum et repertum haruslah secara tertulis (sesuai dengan pasal
133 ayat 2 KUHAP)
ii. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara bedah, jika ada keberatan dari
pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau pemeriksa memberikan
penjelasan tentang pentingnya dilakukan bedah mayat.
iii. Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa pidana
yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas peristiwa yang telah
lampau.
iv. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat.
v. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu
pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.

16
b. Syarat Materiil
Syarat materiil dalam pembuatan visum et repertum adalah berkaitan dengan isi
yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa, pada
saat diterimanya surat visum et repertum dari penyidik. Disamping itu, isi visum
et repertum tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji
kebenarannya. Dengan demikian, visum et repertum sah sebagai alat bukti dalam
perkara pidana, apabila pembuatannya memenuhi syarat formil dan materiil.

c. Apa saja jenis visum et repertum?


Ada 3 jenis visum et repertum, yaitu:
1) VeR hidup
VeR hidup dibagi lagi menjadi 3, yaitu:
a) VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak
memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak
menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian
kesimpulan yaitu luka derajat I atau luka golongan C.
b) VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara waktu, karena
korban memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga
menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak
ditulis pada kesimpulan. Ada 5 manfaat dibuatnya VeR sementara, yaitu
- Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak
- Mengarahkan penyelidikan
- Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara
terhadap terdakwa
- Menentukan tuntutan jaksa
- Medical record
c) VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban telah dinyatakan
sembuh atau pindah rumah sakit atau pindah dokter atau pulang paksa. Bila
korban meninggal, maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter menulis
kualifikasi luka pada bagian kesimpulan VeR.
2) VeR jenazah, yaitu VeR yang dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan
pembuatan VeR ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme
kematian.
3) Ekspertise, yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh
korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, tulang, rambut, dan lain-lain.
Ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa ekspertise bukan merupakan VeR.

d. Bagaimana cara membuat visum et repertum?

17
Struktur Visum et Repertum
1. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu
bermeterai.
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul
diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan,
identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat,
pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati,
terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa.
Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada
yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya,
koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat
adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka
atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada
pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan
kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:
a. ‘Pemeriksaan anamnesis atau wawancara’ mengenai apa yang dikeluhkan dan
apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang ‘penyakit’ yang diderita
korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan.
b. ‘Hasil pemeriksaan’ yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan
pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. ‘Tindakan dan perawatan berikut indikasinya’, atau pada keadaan sebaliknya,
‘alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan’. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman
tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang
diambil.
d. ‘Keadaan akhir korban’, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan
dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda
vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan
pengobatan atau perawatan yang diberikan.

18
4. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan
dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus
memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi
luka. Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak
terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut
juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi,
standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat
menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung
penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan,
melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.
5. Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat 7
dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan
pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR.

e. Bagaimana kebijakan yang mengatur tentang visum et repertum?


Dasar hukum dari VeR ialah lembaran negara (LN) Nomor 350 tahun 1937. Pada
pasal 1 disebutkan, Visa reperta seorang dokter yang dibuat baik atas sumpah
jabatannya yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Negeri
Belanda atau Indonesia maupun atas sumpah istimewa seperti tercantum dalam Pasal
2 mempunyai daya bukti sah dalam perkara pidana selama visa reperta tersebut berisi
keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda
yhang diperiksa. Pasal 2 ayat (1): Para dokter yang tidak pernah mengucapkan
sumpah jabatan baik di Negeri Belanda maupun di Indonesai sebagaimana tercantum
dalam pasal (1) di atas dapat mengucapkan sumpah sebagai berikut, “Saya bersumpah
(berjanji) bahwa sebagai seorang dokter akan membuat pernyataan atau keterangan-
keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan peradilan yang sebenar-
benarnya menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya”.

Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada


pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut
sebagai Visum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang dituangkan dalam
sebuah Visum et Repertum sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam membuat
sebuah keputusan dalam sebuah persidangan. Hal ini mengingat, seorang hakim
sebagai pemutus perkara pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan kedokteran forensik ini.Dalam hal ini, hasil pemeriksaan

19
dan laporan tertulis ini akan digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud
pada pasal 184 KUHAP tentang alat bukti. Artinya, hasil Visum et Repertumini
bukan saja sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu perkara pidana namun
juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan.

1. Dasar Hukum
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik
hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan
interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut
Budiyanto dkk (1997) , dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut :
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan kepada
seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk
kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun
seperti VR Psikiatris. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP
yaitu :
Pasal 120 (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.
Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku dapat
dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai
berikut:

1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan


padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

20
3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang
terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait,
yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan
nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan untuk
dapat mengungkapkan keadaan pelaku perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud
di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat
Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk
pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et
Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan
jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et
Repertum , karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-
undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP). Sanksi
hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana :
Pasal 216 KUHP :
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu,
atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk
mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan
ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

f. Bagaimana anatomi dari basis cranii?


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3
fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior.

21
Gambar 4. Anatomi Basis Cranii
Fossa craniii anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior
oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis.
Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina
cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong
bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus
olfaktorius. Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat
cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita
os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital
ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa
anterior.
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os
sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang
menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os
sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica,
sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral
terdapat pars squamous pars os temporal. Fissura orbitalis superior, yang merupakan
celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale,
n.trochlearis, n, occulomotorius dan n. abducens. Fraktur pada basis cranii fossa
media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari

22
basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan
canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang
paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis
acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada
saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat
cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.
Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum,
pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars
petrosa os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os
occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan
squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal. Foramen magnum
menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan
meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua
a.vertebralis. Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di
bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan
muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa
atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai
foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.

23
Gambar 5. Basis Cranii Interna

24
Gambar 6. Basis Cranii Externa

g. Bagaimana mekanisme trauma kepala yang dialami Mr. X?


Dugaan trauma kepala yang dialami oleh Mr X yaitu trauma tumpul dengan
jenis luka memar/Hematom dengan dugaan fraktur basis kranii.
Berdasarkan skenario, trauma yang dialami oleh Mr. X adalah trauma mekanik
tumpul dengan kecepatan rendah yang mengakibatkan cedera kepala tertutup derajat
sedang.

25
Trauma tersebut berdampak langsung pada kepala dan menimbulkan laserasi atau
robeknya jaringan kepala. Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak
terjadi fraktur sehingga menyebabkan luka pada daerah periferi arteri meningia
media, yang menyebabkan ekstravasasi darah. Haematoma dengan cepat membesar
dan gambaran klinik juga cepat progresifitasnya, sehingga tidak kurang dari 1 jam
terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis akan didapati lucidum
intervalum. Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak,
hanya tertekan (depresi).
Mekanisme : kepala mendapat energy kinetik yang cukup besar dari potongan kayu
 energi diteruskan ke kulit kepala  trauma local (luka robek)  energi diteruskan
ke os.temporal  os.temporal tidak bisa menahan besarnya energy  fraktur 
diteruskan ke otak dan fragmen fraktur merusak pembuluh darah robeknya
a.meningea mediana  perdarahan epidural.

h. Apa saja kemungkinan cidera yang dialami Mr. X?


Benturan sepotong kayu pada kepala Mr. X menyebabkan trauma tumpul yang
merupakan cedera percepatan (akselerasi) dengan luka memar dan luka sobek di
kepala. Menurut penelitian cedera kepala di Scottish Hospital, yang digolongkan
kedalam kasus cedera kepala adalah :
a. Adanya riwayat benturan pada kepala
b. Laserasi kulit kepala atau dahi
c. Penurunan kesadaran walaupun singkat
Cedera kepala Mr.X tepatnya mengenai os temporal dan termasuk suatu cedera
kepala sedang (GCS 9-13).
Kemungkinan juga terdapat fraktur linear pada os temporalis yang menyebabkan
rupturnya arteri meningea media. Ruptur arteri ini menimbulkan perdarahan antara
tabula interna dan duramater (epidural hematoma) dan peningkatan tekanan
intracranial yang menimbulkan gejala nyeri. Cidera yang mungkin dialami oleh Mr. X
adalah trauma kepala berupa trauma mekanik tumpul dengan jenis luka memar dan
laserasi. Laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah karena
kulit kepalamemiliki banyak pembuluh darah. Trauma ini juga menimbulkan fraktur
pada basis cranii fossa anterior yang ditandai dengan gejala klinis kepala hebat dan
muntah. Pada awalnya TIK masih terkompesasi dengan cara bergesernya CSF dan
darah vena keluar dari ruang intrakranial, namun selanjutnya TIK tidak dapat
dikompensasi dan menyebabkan TIK meningkat.

26
Gambar 7. Fossa cranii anterior
(sumber gambar: https://galaksimedika.com)

Gambar 8. Os Temporal
(sumber: Teachmeanatomy.com)

i. Bagaimana kompensasi otak saat terjadi cidera kepala?


Terjadinya fraktur linear pada os temporalis menyebabkan robeknya arteri meningea
media yang akan menimbulkan epidural hematoma, yaitu pengumpulan darah diantara
lamina interna kranui dan duramater. Pada awalnya TIK masih terkompensasi dengan
cara bergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang intrakranial, namun
selanjutnya TIK tidak dapat dikompensasi dan menyebabkan TIK meningkat.
Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan
serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya
tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance. Perpindahan cairan
serebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama dan utama,
tapi lengkung kranial dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya
pada satu titik. Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala
klinis, dan usaha kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai.

27
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume
darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak
hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak,
sering mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia.
Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak
melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam
kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari
kompresi batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial.
Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke
bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri.
Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium
serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang meningkat
pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih
rendah.

j. Apa yang menyebabkan dan bagaimana mekanisme luka dan memar di kepala sebelah
kanan?
Memar merupakan salah satu bentuk luka ditandai oleh kerusakan jaringan tanpa
disertai diskontinuitas pembuluh darah dan jaringan di bawah kulit tanpa rusaknya
jaringan kulit. Kerusakan diakibatkan pecahnya kapiler sehingga darah keluar dan
meresap ke jaringan sekitarnya.
Meskipun sering bersamaan dengan abrasi dan laserasi, memar murni terjadi karena
kebocoran pada pembuluh darah dengan epidermis utk oleh karena proses mekanis.
Ekstravasasi darah dengan diameter lebih dari beberapa milimeter disebut memar atau
kontusio, ukuran yang lebih kecil disebut ekimosis dan yang terkecil seukuran ujung
peniti disebut petekie. Baik ekimosis dan petekie biasanya terjadi bukan karena sebab
trauma mekanis.
Trauma benda tumpul pecahnya pembuluh darah kapiler di lokasi trauma 
terkumpulnya komponen darah lengkap (leukosit eritrosit trombosit dan plasma) di
interstitial  Proses Inflamasi pada daerah memar  pergerakan makrofag untuk
memfagosit komponen darah hasil metabolisme hemoglobin menghasilkan
hemosiderin, biliverdin & hematoidin  perubahan warna kulit menjadi biru
kehitaman.

k. Apa yang menyebabkan dan bagaimana mekanisme nyeri kepala hebat?


Fraktur di os temporal dextra  ruptur a. meningea media  hematomepidural 
darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar 
setelah hematom bertambah besar  terlihat tanda pendesakan dan peningkatan TIK

28
 terjadi kompresi pada bagian otak dan ujung-ujung saraf  penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran.

Gambar 9. Tekanan Intra Kranial

l. Apa yang menyebabkan dan bagaimana mekanisme muntah?


Pada saat terjadi trauma tumpul pada bagian temporal kanan, hal ini mengakibatkan
fraktur tulang temporal sehingga arteri meningea media yang melintasi di antara
duramater dan kranium mengalami ruptur. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi
dari perdarahan pada rongga epidural sehingga terbentuk hematoma epidural.
Perdarahan ini dapat menyebabkan mekanisme kompensasi seperti vasodilatasi
pembuluh darah otak untuk meningkatkan cerebral blood flow, serta hematom yang
terbentuk dapat semakin meluas yang menyebabkan penekanan terhadap duramater.
Duramater sendiri diinervasi oleh saraf sensorik pada bagian supratentorial berupa
nervus trigeminal (nervus kranialis yang berperan membawa impuls sensorik berupa
nyeri) sehingga penekanan dapat mengakibatkan terjadinya rasa nyeri yang hebat.
Selain itu, hematom epidural yang terbentuk dapat semakin membesar dan meluas
sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

29
Gambar 10.
Apabila tekanan tersebut mengenai pusat vagal motor (area postrema) pada dasar
ventrikel keempat di medula bagian infra tentorial, dapat mengakibatkan refleks
muntah  perangsangan pusat muntah menyebabkan kontraksi duodenum dan
antrum lambung sehingga tekanan intraabdomen meningkat  peristaltik retrograd 
lambung terisi penuh dan diafragma naik ke kavitas thoraks melalui kontraksi kuat
otot abdominal  peningkatan intrathoraks  esofagus membuka  muntah tanpa
disertai mual terlebih dahulu.

30
Tekanan Intrakranial ↑

Merangsang reseptor tekanan


intrakranial

Merangsang pusat muntah di


dorsolateral formatio reticularis

Kontraksi duodenum dan antrum lambung

Tekanan Intraabdomen ↑

Peristaltik retrograde

Lambung penuh, diafragma naik

Tekanan Intratoraks ↑

Sphincter esophagus
membuka

Skema 1. Mekanisme Muntah

3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:


Kesadaran: GCS: (E4 M6 V5), Tekanan darah: 130/90 mmHg, Frekuensi napas: 28
x/menit, Denyut nadi 50 x/menit, Pupil isokor, refleks cahaya: pupil kanan reaktif dan
pupil kiri reaktif
Regio orbital: dextra et sinistra tampak hematom, subconjungctival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cn, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan
dasar fraktur tulang
Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan umum?
Tabel 1. Interpretasi pemeriksaan fisik umum

No Hasil Pemeriksaan Interpretasi


1 GCS (E4 M6 V5) Pasien sadar

31
2 TD130/90mmHg Hipertensi (normal : 120/80 mmHg) sebagai
kompensasi dari iskemik otak akibat cedera kepala
yang dialami Mr. X
Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan
peningkatan MAP (Mean Arterial Pressure)
sebagai kompensasi agar perfusi otak tetap adekuat,
peningkatan MAP inilah yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah
3 RR 28x/ menit Takipnea ( normal 12-20x/ menit) akibat cedera
pada otak menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan terjadilah perfusi pada jaringan
otak yang tidak adekuat sehingga kompensasinya
berupa peningkatan frekuensi pernafasan
4 Nadi 50 x/mnt Bradikardi (normal 60-100x/menit)
Peningkatan tekanan intrakranian menyebabkan
terjadinya herniasi uncus yang menekan batang otak
dan merangsang pusat inhibisi jantung sehingga
nadi berkurang
5 Pupil isokor Normal
6 Refleks cahaya: pupil Normal
kanan reaktif dan pupil

32
kiri reaktif

b. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan regio orbital?
Tabel 2. Interpretasi pemeriksaan regio orbita

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Mekanisme


Abnormal
Reflex cahaya Pupil kanan reaktif Normal -
Pupil kiri reaktif
Inspeksi Regio Dextra et sinistra Abnormal Mr. X terkena trauma
Orbita tampak hematom benda tumpul di kepala
fraktur pada
tengkorak melibatkan
fraktur basis cranii
posterior darahdari
epidural hematom
menuju rongga orbita
hematom orbita
bilateral
Sub- (-) Normal
conjungtival Hal ini menandakan
bleeding bahwa trauma yang
dialami Mr.X tidak
mengenai mata secara
langsung karena pada
perdarahan
subkonjungtiva terjadi
pecahnya pembuluh
darah secara spontan,
akibat trauma, ataupun
infeksi. Perdarahan dapat
berasal dari pembuluh
darah konjungtiva atau
episclera yang bermuara
ke ruang
subkonjungtiva

33
Hematom pada orbita dektra dan sinistra (raccoon eye) merupakan salah satu
tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior. Fossa crania anterior menampung
lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas
superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis
ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial.
Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang
halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius. Pada fraktur fossa cranii
anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan
robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami
epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung.
Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan
subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis).

c. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan regio


temporal?
• Luka dextra ukuran 6x1 : lecet akibat luka trauma tumpul dipukul dengan kayu
• Tepi tidak rata : merupakan akibat trauma tumpul, bukan merupakan trauma tajam
seperti pisau, karena bila trauma tajam tepi luka rata
• Sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang : tulang fraktur kearah dalam sehingga
membentuk sudut tumpul akibat pukulan kayu
Pada regio temporal terdapat luka dan fraktur tulang. Menurut penyebabnya luka pada
kasus ini termasuk Vulnus laceratum (Laserasi). Jenis luka ini disebabkan oleh karena
benturan dengan benda tumpul, dengan ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan
sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi.
Mekanisme:
Trauma tumpul  Hantaran energi kinetik ke SCALP  Kulit robek  Luka 
Energi diteruskan ke temporal  Fraktur temporal

d. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan regio nasal?
Tabel 3. Interpretasi pemeriksaan regio nasal

Trauma kepala dengan


fraktur pada tengkorak
melibatkan fraktur
Inspeksi Tampak darah segar
basis cranii posterior
Regio mengalir dari kedua Abnormal
dan mengenai bagian
Nasal lubang hidung
bawah (fossa cranii
anterior)  pecahnya
plexus kiesselbach
34
sehingga menyebabkan
pendarahan dari
hidung.

Epistaksis pada kasus dapat terjadi akibat frakturnya os nasal, sehingga dapat
mengakibatkan perdarahan pada pembuluh darah di hidung. Pada epistaksis anterior,
trauma berasal dari bagian depan hidung, di mana asal pendarahannya berasal dari
pleksus kiesselbach atau arteri etmoid anterior. Epistaksis posterior umumnya berasal
dari rongga hidung posterior dari arteri etmoidalis posterior dan arteri splenopalatina.
Namun, foto radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yaitu, proyeksi foto PA
dan lateral.

e. Apa saja klasifikasi cidera kepala?


Klasifikasi cedera kranioserebral berdasarkan patologi yang dibagi dalam komosio
serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak,
mungkin terdapat juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis
kranium, dan ada yang di temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa
linear atau depressed, terbuka atau tertutup. Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal
atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun hematoma. Letak hematoma bisa
ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural (EDH), bisa hematoma
subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan subaraknoid
(SAH).
Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat kesadaran Skala
Koma Glasgow.
Tabel 4. Klasifikasi Cedera Kepala (CK) berdasarkan Skala Koma Glasgow
Kategori SKG Gambaran Klinik Scanning Otak
CK Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, Normal
defisit neurologik
(-)
CK Sedang 9-12 Pingsan >10 menit Abnormal
s/d <6 jam, defisit
neurologik (+)
CK Berat 3-8 Pingsan >6jam, Abnormal
defisit neurologik
(+)
Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <10 menit,
tanpa defisit neurologik, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan,

35
diagnosisnya bukan cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi
cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontusio.
Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacidera (APC) diperkenalkan oleh
Russel dalam Jennett & Teasdale. Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifi
kasi berdasarkan klinis SKG.
Tabel 5. Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan Lama Amnesia Pascacedera
Lama Amnesia Pascacedera Beratnya Trauma Kranioserebral
Kurang dari 5 menit Sangat ringan
5-60 menit Ringan
1-24 jam Sedang
1-7 hari Berat
1-4 minggu Sangat berat
Lebih dari 4 minggu Ekstrem berat
Dari empat klasifi kasi tersebut, klasifi kasi berdasarkan derajat kesadaran yang
banyak dipakai di klinik karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu 1. Penilaian
SKG (Skala Koma Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan V(erbal)
mempunyai nilai pasti dengan tampakan klinik yang mudah dinilai oleh kalangan
medis maupun paramedis (standar jelas) (Tabel 3), 2. Kategori dan prognosis pasien
cedera kranioserebral dapat diperkirakan dengan melihat nilai SKG yang meskipun
diulang beberapa kali akan menghasilkan nilai yang sama.

f. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan diatas?


Tabel 7. Skor GCS

Gejala Skor
Bukaan mata (E)
Spontan 4
Dengan rangsangan suara 3
Dengan rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
Reaksi bicara (V)
Orientasi baik 5
Percakapan membingungkan 4
Kata-kata tidak sesuai 3
Suara yang tidak komprehensif 2

36
Tidak bersuara 1
Reaksi motorik terbaik (M)
Sesuai perintah 6
Melokalisir rangsangan 5
Menolak rangsangan 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada reaksi 1
- Nilai GCS (15-14) : Composmentis
- Nilai GCS (13-12) : Apatis
- Nilai GCS (11-10) : Delirium
- Nilai GCS (9-7) : Somnolen
- Nilai GCS (6-5) : Sopor
- Nilai GCS (4) : semi-coma
- Nilai GCS (3) : Coma

Tekanan darah  Lengan diposisikan di atas meja, dengan ketinggian selevel dengan
posisi jantung. Gunakan manset dengan ukuran yang sesuai, posisi batas bawah
manset sekitar 2,5 sentimeter diatas siku kemudian dilakukan pengukuran tekanan
darah tiga kali dengan selang waktu satu menit.

Pupil  Periksa kesamaan ukuran, bentuk, reaksi terhadap cahaya, dan akomodasi
pada pupil masing-masing mata. Untuk menguji reaksi pupil terhadap cahaya,
gelapkan ruangan dan dengan klien menatap lurus ke arah titik yang sudah ditentukan,
sorotkan pen light dari samping mata kiri ke tengah pupilnya. Kedua pupil harus
berespons; pupil yang menerima cahaya langsung berkonstriksi secara langsung,
sementara pupil yang lain berkonstriksi secara bersamaan dan secara penuh.

- Sekarang uji pupil mata kanan. Pupil harus bereaksi segera, seimbang, dan cepat
(dalam 1 sampai 2 detik). Jika hasilnya tidak meyakinkan, tunggu 15 sampai 30
detik dan coba lagi. Pupil harus bundar dan sama sebelum dan sesudah kelihatan
cahaya.

Untuk menguji akomodasi, minta klien menatap objek di seberang ruangan.


Normalnya pupil akan dilatasi. Kemudian minta klien untuk menatap jari telunjuk
anda atau pada pensil yang berjarak 60 cm. Pupil harus berkonstriksi dan mengumpul
seimbang pada objek. Ingat bahwa pada klien lansia, akomodasi dapat berkurang.

37
4. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.
Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, Nadi 50 x/menit, Tekanan darah 140/90 mmHg,
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam
bentuk kata-kata. Pupil anisokor dextra, refleks cahaya pupil kanan negatif, refleks
cahaya pupil kiri reaktif/normal.
a. Bagaimana penyebab dan mekanisme abnormal pasien mengorok?
Interpretasi : terjadi obstruksi saluran napas bagian atas.
Mekanisme : pada waktu pasien tidak sadar, kemungkinan lidah jatuh kebelakang
karena tonus otot yang menurun sehingga menyumbat saluran pernafasan dan pasien
mendengkur/ngorok.
Herniasi  penekanan pada medula oblongata  sistem ARAS terganggu 
penurunan kesadaran (GCS 10)  lidah jatuh ke belakang  menyumbat saluran
pernafasan  udara yang masuk melalui mulut mengalami turbulensi  pasien
ngorok

b. Bagaimana penyebab dan mekanisme abnormal pupil anisokor?


trauma tumpul  hematoma epidural dextra  perdarahan berlanjut, terjadi
peningkatan tekanan intrakranial  hematoma meluas  Doktrin 'Monroe-Kelly':
lobus temporalis tertekan ke arah bawah dan ke dalam  bagian medial lobus
mengalami herniasi ke bawah tepi tentorium  uncal herniasi  menekan
mesencephalon  mengenai Edinger–Westphal nucleus (suplai preganglionic
parasympathetic fibers) dari saraf kranial III (occulomotorius) bagian dextra 
gangguan pada parasimpatis yang berfungsi untuk kontriksi pupil  aktivitas simpatis
lebih dominan  pupil kanan midriasis (ipsilateral) Anisokor dextra, refleks pupil
kanan negative

c. Bagaimana penyebab dan mekanisme abnormal refleks cahaya pupil kanan negatif,
refleks cahaya pupil kiri reaktif/normal?
Hilangnya reflex cahaya pupil kanan disebabkan oleh herniasi tentorial lateral (uncal)
dimana uncus lobus temporalis dan hipokamous bergeser ke medial ke arah tepi
tentorial dan batang otak. Hal ini dapat disebabkan adanya hematoma post trauma
yang meluas secara cepat.
Gambaran klinis dari herniasi tentoriallateral ini adalah:
 Dilatasi pupil ipsilateral, refleks negative (tanda paling awal, dan paling
terpercaya), dan kelumpuhan gerak bola mata karena adanya boenekanan pada
N.III
 Penurunan tingkat kesadaran akibat penekanan pada mesencephalon

38
 Hemiplegia kontraletral

Gambar 11. Gambaran CT-scan uncal

d. Bagaimana penyebab dan mekanisme abnormal pasien membuka mata dengan


rangsang nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata?
Penyebab terjadinya abnormalitas pada GCS (membuka mata saat nyeri, melokalisir
nyeri dan mengerang) dikarenakan terdapat gangguan pada bagian otak yang
mengalami trauma benta tumpul.
Tabel 8. Perhitungan nilai GCS

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri: 2 (Eye)


39
Melokalisir nyeri: 5 (Motoric response)
Mengerang dalam bentuk kata-kata: 3 (Verbal response)
GCS = E+V+M = 2+3+5 = 10 (somnolen).
Skor GCS 10 menandakan pasien mengalami cedera kepala sedang.
Cedera kepala  edema serebri  Peningkatan TIK  herniasi unkus  kompresi
pada siklus ateria formatio retikularis di medulla oblongata  iskemia dan edema
Asenden Raticular Activating System (ARAS)  Gangguan kesadaran (pasien tidak
sadar)

e. Mengapa terjadi kenaikan tekanan darah?


Mula-mula, tumbukan atau tekanan tinggi terhadap cranium yang secara mendadak
mengubah posisi atau anatomi otak akan menyebabkan reaksi kehilangan kesadaran
spontan. Darah bertekanan tinggi akan mengisi celah duramater ini dan menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial akibat dorongan dari massa darah atau hematoma.
Otak akan meregulasi tekanan perfusi untuk dirinya dengan menaikkan tekanan darah
arteri dengan vasokonstriksi. Jadi, Kenaikan tekanan darah sebagai kompensasi dari
berkurangan perfusi di otak. Jika tekanan intrakranial meningkat, maka tubuh akan
mengkompensasi dengan meningkatkan MAP dengan cara meningkatkan laju nafas
dan berdampak langsung dengan peningkatan tekanan darah. Tekanan darah akan
terus meningkat untuk mengkompensasi iskemik otak.

f. Perlukah tekanan darah diturunkan? Apa akibatnya jika diturunkan?


Tidak perlu, Kontrol MAP antara 90 dan 100 mmHg, pertahankan tekanan darah
sistol diatas 100 mmHg  mencegah terjadinya iskemia serebri

g. Mengapa terjadi penurunan RR?


Peningkatan tekanan intracranial (TIK) akan menyebabkan herniasi berupa herniasi
unkus. Herniasi unkus merupakan herniasi lobus temporalis bagian mesial terutama
unkus. Herniasi ini disebabkan oleh kompresi rostrokaudal progresif ; secara bertahap
tekanan makin kekaudal dan makin berat, dan dikenal empat tahap dengan sindrom
yang khas, diantaranya :
 Bagian yang tertekan adalah diensefalon dan nukleus hipotalamus
 Penekanan terhadap mesensefalon. Dalam keadaan ini N.III ipsilateral akan terjepit
diantara arteri serebri posterial dan arteri serebri superior sehingga terjadilah
oftalmoplegi ipsilateral.
 Apabila penekanan terus berlangsung maka pons akan tertekan dan akhirnya akan
berlanjut menekan medula oblongata

40
 Merupakan tahap agonia. Faktor penyebab adalah gangguan peredaran darah otak
(GPDO atau stroke), neoplasma, abses dan edema otak.
Penekanan pada organ ini akan menyebabkan gagal pernapasan dan gagal
jantung serta kematian.

h. Bagaimana mekanisme pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri? Disebut fenomena apakah
kejadian tersebut?
Mekanisme pingsan kembali :
 Trauma kepala  frakturpecahnya arteri meningea media di antara duramater
dan tengkorak  pembentukan hematoma di epidural  TIK ↑kompresi lobus
temporalis ke arah bawah dan dalam  herniasi uncus melalui incisura tentorii 
menekan batang otak (ARAS)  penurunan kesadaran (pingsan) kembali
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
epidural hematom. Kalau pada epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak
terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah
mengalami fase sadar.
Interval lucid merupakan gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas
gejala beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai
dengan kelainan neurologis fokal. Kemudian gejala neurologi timbul secara progresif
berupa pupil anisokor, hemiparesis, papil edema, dan gejala herniasi transtentorial.
Interval lucid bukan merupakan tanda patognomonik pada cedera kepala dengan
epidural hematom (EDH). Hal ini dikarenakan hanya 40% pasien dengan EDH yang
mengalami interval lucid. Selain itu, sepertiga dari pasien subdural hematom (SDH)
akut juga menpresentasikan adanya interval lucid (Toyama et al, 2012).
Interval lucid terjadi karena adanya gangguan tekanan darah intra kranial yang
berubah secara mendadak di mana tubuh masih dapat mengkompensasi dengan
peningkatan tekanan darah. Pecahnya pembuluh darah menyebabkan daerah distal
tidak mendapat pasokan nutrisi sehingga mengalami iskemik. Oleh karena itu,
baroreseptor yang berada pada sinus karotikus akan memicu sistem saraf simpatis
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah untuk mengkompensasi iskemik. Sebelum
terjadinya proses kompensasi, akan terjadi vasodepressor sinkop (vasovagal sinkop)
sebagai salah satu mekanisme pertahanan penurunan tekanan intracranial yang
mendadak. Sinkop ini dapat berdurasi menit hingga jam tergantung dari seberapa
cepat tubuh dapat mengkompensasi (Ropper dan Browen, 2013).
Ketika tubuh dapat mengkompensasi dengan suplai nutrisi yang optimal, maka
kesadaran pasien akan dapat segera kembali. Namun, apabila perdarahan masih
berlanjut, akan terjadi desakan pada parenkim otak yang mengakibatkan penurunan
kesadaran progresif, hemiparesis/ plegi sesuai dengan focus desakan, dan herniasi

41
yang mempengaruhi fungsi saraf kranialis Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada epidural hematom. Kalau pada epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar (Ropper dan Browen, 2013).

i. Bagaimana patofisiologi terjadinya penurunan kesadaran?


Otak dilapisi oleh 3 lapisan yaitu Duramater (lapisan terluar yang terdiri dari jaringan
fibrosa, memiliki 2 bagian yaitu pars periosseal yang menempel dengan cranium dan
pars meningeal yang menempel dengan subarachnoid), Arachnoidmater (lapisan yang
tersusun mirip jarring laba-laba yang kaya akan vena-vena dan kapiler), dan Piamater
(lapisan terdalam). Ketiga lapisan ini diperdarahi oleh arteri meningeal media yang
terdapat di celah duramater. Arteri ini sangat rentan pecah akibat trauma dari luar.
Pecahnya arteri ini akibat tumbukan atau tekanan pada cranium akan menjadi kondisi
yang disebut perdarahan epidural. Mula-mula, tumbukan atau tekanan tinggi terhadap
cranium yang secara mendadak mengubah posisi atau anatomi otak akan
menyebabkan reaksi kehilangan kesadaran spontan. Darah bertekanan tinggi akan
mengisi celah duramater ini dan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial akibat
dorongan dari massa darah atau hematoma. Otak akan meregulasi tekanan perfusi
untuk dirinya dengan menaikkan tekanan darah arteri dengan vasokonstriksi. Pada
fase ini, penderita akan merasa sehat, seolah tidak terjadi apa-apa. Lama kelamaan,
kompensasi ini akan menjadi gagal akibat massa darah yang terus menerus
bertambah. Akibatnya CPP atau Cerebral Perfusion Pressure akan menurun drastic
akibat ICP (Intra-cranial Pressure) yang melebihi tekanan arteri rata-rata. Otak
kemudian mengalami penurunan pasokan darah sehingga menurunlah kesadaran otak
(switch off) untuk menkompensasi keadaan hipoperfusi sel-sel otaknya.

42
Gambar 12. Epidural dan Subdural Hematom

Gambar 13. Epidural dan subdural hematom

5. Template
a. Diagnosis Banding
 Subdural hematom
 Perdarahan subarakhnoid
 Perdarahan intrakranial
 Hematoma jaringan lunak
b. Algoritma penegakan diagnosis
Skema 2. Algoritma Penegakan Diagnosis Cidera Kepala

43
c. Diagnosis kerja : Lucid Interval
Mr.X menderita cedera kepala sedang, hematoma epidural disertai lucid interval
karena terjadi herniasi dan fraktur basis cranii anterior disebebakan trauma tumpul
kepala

d. Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
44
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

e. Patofisiologi
Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan
terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid
interval, yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma
kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu
perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan
GCS. Gejala lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan
midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis Babinski
positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala,
didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal
berbentuk cembung.
Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di
anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau
aksial CT scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan
potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran
pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus
frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour
yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma kacamata
(raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu
hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII
dan VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek.

f. Manifestasi klinis
Gejala klasik epidural hematoma meliputi:
 Riwayat kehilangan kesadaran
 Lucid interval terjadi pada 25-50% kasus
 Terjadi penurunan kesadaran pada 22-56% pasien
 Tanda herniasi : dilatasi pupil ipsilateral, hemiparesis kontralateral
45
Jika tidak tertangani gejala dapat berlanjut menyebabkan deserebrasi, distress
pernapasan dan kematian. Perburukan gejala dapat terjadi beberapa jam, atau
beberapa hari. Waktu yang lama berhubungan dengan perdarahan yang bersumber
dari perdarahan vena.
Gejala klinis lain dapat berupa: cefalgia, muntah, kejang, hiperrefleksia, Refleks
babinsky + unilateral.
 Hipertensi dan bradikardia dapat muncul sebagai bentuk dari Cushing respon
Dilatasi pupil terjadi pada 60% pasien , dimana 85% terjadi ipsilateral dengan lesi
EDH. Riwayat kehilangan kesadaran tidak terjadi pada 60%, lucid interval tidak
terjadi pada 20% pasien.

g. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis epidural hematoma didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan penunjang
seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Adanya garis fraktur yang
menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan
pupil yang melebar garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi hematoma

Gambar 14. CT scan epidural hematom


Computed tomografi (CT) scan otak akan memberikan gambaran hiperdens
(perdarahan) di tulang tengkorak dan dura, umumnya di daerah temporal dan tampak
bikonveks.
Fraktur basis cranii juga dapat dilihat dengan CT scan. Gambaran yang
tampak terlihat pada gambar di bawah berikut.

46
Gambar 15. CT scan fraktur basis cranii

h. Tatalaksana cidera sedang


Penatalaksanaan awal
 Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace
 elevasi kepala dari tempat tidur setinggi 30-45°
 pemberian cairan isotonis
 terapi medikamentosa sesuai keluhan yang timbul berupa analgetik, antiemetic,
H2 reseptor antagonis, antibiotik.
 Bila telah stabil pasien dirujuk ke fasilitas rumah sakit yang memiliki sarana
dokter spesialis bedah saraf.
Epidural hematoma dengan gejala minimal, tidak ada defisit neurologis fokal, tidak
ada tanda herniasi dapat, diberikan terapi, dengan medikamentosa, dengan observasi
neurologis ketat.

DI TEMPAT KEJADIAN
- Menjaga stabilitas fungsi kardiovaskuler & pernafasan:
A = Membebaskan jalan nafas
B = Memberi nafas buatan
C = Melakukan pijat jantung
- Menghindari penyulit: atasi perdarahan , Immobilisasi fraktur, Pasang collar cervical
dan lain-lain
SELAMA DI PERJALANAN
- Dijaga gerakan akibat goncangan yang bisa menimbulkan rasa nyeri, gelisah ,
pusing dan muntah
- Pakai mobil ambulan khusus dimana tersedia alat fasilitas minimal dan obat-obatan
DI RUMAH SAKIT
Disini Sarana, Tenaga medis ,Fasilitas peralatan, Obat-obatan sudah tersedia lebih
khusus Prosedur tahapan-tahapan tindakan dapat dilaksanakan dengan baik

Harus mengikuti urutan prioritas yang disesuaikan


47
kepentingannya dalam mengatasi keadaan darurat :
1. Stabilisasi kardiopulmoner (B L S):
- Pembebasan jalan nafas (airway)
- Pernafasan (breathing)
- Sirkulasi darah (circulation)
2. Pemeriksaan klinis
- Pemeriksaan fisik umum
- Pemeriksaan neurologik:
. Kesadaran (GCS)
. Pupil mata
. Reflex batang otak (oculocephalic, oculovestibuler, cornea
reflex)
. Defisit neurologis (tanda fokal serebral/leteralisasi)
3. Pemberian cairan & nutrisi
4. Terapi medikamentosa
5. Tindakan khusus:
- Pemeriksaan radiologik
- LP / EEG / Angiografi
- Transcranial Doppler Ultrasonography
- Jugular Oximetry
6. Perawatan umum

Transfer/Rujukan ke fasilitas Rumah Sakit dengan sarana/spesialis bedah sarah,


dilakukan pada keadaan :
 Pasien tidak sadar atau GCS < 15
 Terdapat gejala defisit neurologis fokal : hemipareses, hipestesi, gangguan
penglihatan, ataksia.
 Suspek fraktur skull atau trauma penetrating (tanda fraktur basis kranii, fraktur
depress terbuka
 Trauma kepala dengan mekanisme trauma akibat benturan high energy :
o Terlempar dari kendaraan bermotor
o Jatuh dari ketinggian lebih dari 1 meter, atau kurang pada bayi
o Tabrakan kendaraan bermotor kecepatan tinggi
 Riwayat kejang
 Suspek trauma servikal
Indikasi pembedahan
 Gejala klinis terdapat penurunan kesadaran, defisit neurologis lokal, tanda
herniasi dan gangguan kardiopulmonal.
48
 Dari CT Scan: epidural hematoma dengan volume >30 cc, tebal > 1 cm dan
pergeseran struktur midline <5mm

i. Komplikasi
Cedera kepala : Luka kepala : Epistaksis :
 Herniasi otak lanjutan  Infeksi  Aspirasi
 Penekanan pusat  Perdarahan  Perdarahan (anemia,
vegetatif syok)
 Edema cerebri
 Koma
 Deficit neurologis
 Kematian
 Kompresi batang otak

j. Prognosis
- Vitam : dubia ad bonam
- Fungsionam : dubia ad malam

k. SKDI
 Epidural Hematom :2
 Cedera kepala sedang : 3B

49
IV. Learning Issue
1. Anatomi Kepala
A. Kulit Kepala (SCALP)
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan bergerak
sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama kelima lapisan kulit kepala
tersebut, gunakan setiap huruf dari SCALP (kulit kepala) untuk menunjukkan lapisan
kulit kepala
 Skin atau kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea
 Connective Tissue atau jaringan penyambung, jaringan ikat di bawah kulit, yang
merupakan jaringan lemak fibrosa. Septa fibrosa menghubungkan kulit dengan
aponeurosis m.occipitofrontalis. Pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh arteri dan
vena. Arteri merupakan cabang-cabang dari a. carotis externa dan interna, dan terdapat
anastomosis yang luas di antara cabang-cabang ini.
 Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat berhubungan langsung dengan
tengkorak, merupakan lembaran tendo yang tipis, yang menghubungkan venter occipitale
dan venter frontale m.occipitofrontalis. Pinggir lateral aponeurosis melekat pada fascia
temporalis. Spatium subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis
epicranial. Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan melah ke
lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, jaringan ikat, yang mengisi
spatium subaponeuroticum dan secara longgar menghubungkan cranium (pericranium).
Jaringan areolar ini mengandung beberapa arteri kecil, dan juga beberapa vv.emissaria
yang penting. Vv.emissaria tidak berkatup dan menghubungkan vena-vena superificial
kulit kepala dengan vv.diploicae tulang tengkorak dan dengan sinus venosus
intracranialis.. Merupakan tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
 Perikranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.
Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan periosteum pada
permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada permukaan dalam tulang-tulang
tengkorak.

50
Gambar 16. Struktur kulit kepala

B. Tulang Tengkorak
Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian saraf otak,
arteri, vena dan sinus venosus.
a. Calvaria
Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis,
lambdoidea. Pada garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk tempat sinus
sagittalis superior. Di kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa lubang kecil, disebut
foveae granulares yang menjadi tempat lacunae laterales dan granulationes
arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal untuk divisi anterior dan poesterior a.
et v.meningea media sewaktu keduanya berjalan di sisi tengkorak menuju calvaria.
b. Basis Cranii
Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii anterior,
media, dan posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii media oleh ala
minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari fossa cranii posterior
oleh pars petrosa ossis temporalis.

51
1) Fossa Cranii Anterior
Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista untuk tempat
melekatnya falx cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor ossis sphenoidalis yang
tajam dan bersendi di lateral dengan os frontale dan bertemu dengan angulus
anteroinferior os parietale atau pterion.Ujung medial ala minor ossis sphenoidalis
membentuk processus clinoideus anterior pada masing-masing sisi, yang menjadi tempat
melekatnya tentorium cerebelli. Bagian tengah fossa cranii media dibatasi di posterior
oleh alur chiasma opticum.
Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina
cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan tajam ke atas dari os
ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat melekatnya falx cerebri. Di antara
crista galli dan crista ossis frontalis terdapat apertura kecil, yaitu foramen cecum, untuk
tempat lewatnya vena kecil dari mucosa hidung menuju ke sinus sagittalis superior.
Sepanjang crista galli terdapat celah sempit pada lamina cribriformis untuk tempat
lewatnya n.ethmoidalis anterior menuju ke cavum nasi. Permukaan atas lamina
cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-lubang halus pada lamina
cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.
2) Fossa Cranii Media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian lateral yang
lebar. Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis, dan
bagian lateral yang luas membentuk cekungan di kanan dan kiri, yang menampung lobus
temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor ossis sphenoidalis dan di posterior
oleh batas atas pars petrosa ossis temporalis. Di lateral terletak pars squamosa ossis
temporalis, ala major ossis sphenoidalis dan os parietale. Dasar dari masing-masing
bagian lateral fossa cranii media dibentuk leh ala major ossis sphenoidalis dan pars
squamosa dan petrosa ossis temporalis.
Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian tengah dan ala
major dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis sphenoidalis berisi sinus
sphenoidalis yang berisi udara, yang dibatasi oleh membrana mucosa dan berhubungan
dengan rongga hidung. Sinus ini berfungsi sebagai resonator suara. Di anterior, canalis
opticus dilalui oleh n.opticus dan a.ophthalmica, sebuah cabang dari a.carotis interna,
menuju orbita. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah di antara ala major dan
minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontalis, n.trochlearis,
n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan n.abducens, bersama dengan v.ophthalmica superior.
Sinus venosus sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir posterior ala minor
ossis sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus cavernosus.

52
Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis superior,
menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris dari ganglion
trigeminus menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale terletak posterolateral terhadap
foramen rotundum dan menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh radix
sensorik besar dan radix motorik kecil dari n.mandibularis menuju ke fossa
infratemporalis n.petrosus minus juga berjalan melalui foramen ini.
Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen ovale dan
juga menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui oleh a.meningea media
dari fossa infratemporalis menuju ke cavum cranii. Kemudian arteri berjalan ke depan
dan lateral di dalam alur pada permukaan atas pars squamosa ossis temporalis dan ala
major ossis sphenoidalis. Pembuluh ini berjalan dalam jarak yang pendek, kemudian
terbagi dalam ramus anterior dan posterior. Ramus anterior berjalan ke depan dan atas,
ke angulus anteroinferior ossis temporalis. Di sini, arteri membuat saluran yang pendek
dan dalam, kemudian berjalan ke belakang dan atas pada os parietale. Pada tempat ini,
arteri paling mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus posterior berjalan ke
belakang dan atas, melintasi pars squamosa ossis temporalis untuk sampai os parietale.
Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa osis
temporalis dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi kartilago dan
jaringan fibrosa, dan hanya sedikit pembuluh darah melalui jaringan tersebut dari rongga
tengkorak ke leher. Canalis caroticus bermuara pada sisi foramen lacerum di atas muara
inferior yang tertutup. A.carotis interna masuk ke foramen dari canalis ini dan segera
melengkung ke atas untuk sampai pada sisi corpus ossis sphenoidalis. Di sini, arteri ini
membelok ke depan dalam sinus cavernosus untuk mencapai daerah processus clinoideus
anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna membelok vertikal ke atas, medial terhadap
processus clinoideus anterior, dan muncul dari sinus cavernosus.
Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars petrosa ossis
temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior os petrosus terdapat dua
alur saraf, alur medial yang lebih besar untuk n.petrosus major, sebuah cabang n.facialis,
dan alur lateral yang lebih kecil untuk n.petrosus minor, sebuah cabang dari plexus
tymphanicus. N. petrosus major ke dalam foramen lacerum dibawah ganglion trigeminus
dan bergabung dengan n.petrosus profundus (serabut symphatis dari sekitar a.carotis
interna), untuk membentuk n.canalis pterygoidei. N. petrosus minor berjalan ke depan ke
foramen ovale.
N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus, medial
terhadap ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa cranii posterior dan
masuk ke dalam sinus cavernosus. Eminentia arcuata adalah penonjolan bulat yang
terdapat pada permukaan anterior os petrosus dan ditimbulkan oleh canalis semicircularis
superior yang terletak di bawahnya. Tegmen tympani adalah lempeng tipis tulang, yang

53
merupakan penonjolan ke depan pars petrosa ossis temporalis dan terletak berdampingan
dengan pars squamosa tulang ini. Dari belakang ke depan, lempeng ini membentuk atap
antrum mastoideum, cavum tympani dan tuba auditiva. Lempeng tipis tulang ini
merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi dari dalam cavum tympani
ke lobus temporalis cerebri.
Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis. Di
depan terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan chiasma opticum dan
berhubungan ke lateral dengan canalis opticus. Posterior terhadap sulcus terdapat
peninggian, disebut tuberculum sellae. Di belakang peninggian ini terdapat cekungan
dalam, yaitu sella turcica, yang merupakan tempat glandula hypophisis. Sella turcica
dibatasi di posterior oleh lempeng tulang bersegi empat yang disebut dorsum sellae.
Angulus superior dorsum sellae mempunyai dua tuberculum disebut processus clinoideus
posterior, yang menjadi tempat perlekatan dari pinggir tetap tentorium cerebelli.
3) Fossa Cranii Posterior
Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang, yaitu
cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir superior
pars petrosa ossis temporalis dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars
squamosa ossis occipitalis. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basillaris,
condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan pars mastoideus ossis temporalis. Atap
fossa dibentuk oleh lipatan dura, tentorium cerebelli, yang terletak di antara cerebellum
di sebelah bawah dan lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh
medulla oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis ascendens
n.accessories, dan kedua a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak di atas pinggir
anterolateral foramen magnum dan dilalui oleh n.hypoglossus. Foramen jugularis terletak
di antara pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis dan pars condylaris ossis
occipitalis. Foramen ini dilalui oleh struktur berikut ini dari depan ke belakang : sinus
petrosus inferior, n.IX, n.X dan n.XI, dan sinus sigmoideus yang besar. Sinus petrosus
inferior berjalan turun di dalam alur pada pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis
untuk mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke bawah melalui foramen dan
berlanjut sebagai v.jugularis interna.
Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars petrosa ossis
temporalis. Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan radix motorik dan senorik
n.facialis. Crista occipitalis interna berjalan ke atas di garis tengah, posterior terhadap
foramen magnum, menuju ke protuberantia occipitalis interna. Pada crista ini melekat
falx cerebelli yang kecil, yang menutupi sinus occipitalis.
Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar untuk
sinus transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan dalam os occipitale,

54
sampai ke angulus inferior atau sudut os parietale. Kemudian alur berlanjut ke pars
mastoideus ossis temporalis, dan di sini sinus transversus berlanjut sebagai sinus
sigmoideus. Sinus petrosus superior berjalan ke belakang sepanjang pinggir atas os
petrosus di dalam sebuah alur sempit dan bermuara ke dalam sinus sigmoideus. Sewaktu
berjalan turun ke foramen jugulare, sinus sigmoideus membuat alur yang dalam pada
bagian belakang os petrosus dan pars mastoideus ossis temporalis. Di sini, sinus
sigmoideus terletak tepat posterior terhadap antrum amstoideum.

C. Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1. Duramater
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara
durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut bridging veins,
dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter
membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu: sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus.
Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior
berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri-arteri meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat
menimbulkan perdarahan epidural.
2. Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen.
Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan
dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut
dengan pia mater. Ruangan di antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang
berisi cairan serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada
beberapa daerah, arachnoid melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan yang
membentuk trabekula di dalam sinus venous dura mater. Bagian ini dikenal dengan vilus
arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke darah sinus venous.
Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti
jaring laba-laba. Antara arachnoid dan piameter terdapat ruangan berisi cairan yang
berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter
kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.
3. Piamater

55
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi
diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini
akibat pecahnya aneurysma intra cranial.

D. Otak
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan durameter
yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior
berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
3. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.
Hemisfer sendiri menurut pembagian fungsinya masih dibagi kedalam lobus-lobus yang
dibatasi oleh gyrus dan sulkus.

E. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar
500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang
terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan
ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada
orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus
koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen
interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV
melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1
foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui
granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke aliran vena.
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi
jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang
berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus.
Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural
absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran
ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris,
keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari
septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah
bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction)

56
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
 Supratentorial : terdiri fosa kranii anterior dan media
 Infratentorial : berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons
dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut insisura
tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh
masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut-serabut parasimpatik untuk
kontraksi pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini
disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut
menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik
herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama
dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.

G. Sistem Sirkulasi Otak


Kebutuhan energy oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu
aliran darah ke otak absolute harus selalu berjalan mulus . suplai darah ke otak seperti
organ lain pada umumnya disusun oleh arteri–arteri dan vena-vena.

Gambar 17. Sistem Sirkulasi Otak

57
2. Klasifikasi Cidera Kepala
Berdasarkan morfologi
1) Fraktura tengkorak
Kalvaria
 Linear atau stelata
 Depressed atau nondepressed
 Terbuka atau tertutup
Dasar tengkorak
 Dengan atau tanpa kebocoran CNS
 Dengan atau tanpa paresis N VII
2) Lesi intrakranial
Fokal
 Epidural (Hematoma Epidural)
Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak di regio temporal atau
temporal parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang hematoma epidural
mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama di regio parietal-oksipital atau
fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome
langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari
hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan,
dan 20% pada pasien koma dalam.

 Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater
dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar
30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya
vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun dapat juga
berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak
mungkin ada atau tidak. Selain itu kerusakan otak yang mendasari hematoma
subdural akut biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.

 Intraserebral

58
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Mayoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan
kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)


otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.
Difusa
 Komosio ringan
 Komosio klasik
 Cedera aksonal difusa
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut Mansjoer (2000)
dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan
sebagai berikut:

a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15

1. Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi


2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5. Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
6. Tidak adanya kriteria cedera kepala sedang-berat

b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13

Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang
sesuai dengan pernyataan yang di berikan.

1) Amnesia pasca trauma


2) Muntah
3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (Battle sign, racoon eyes, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro spinal)

c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
59
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium

3. Fraktur Basis Kranii


DEFINISI
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.
Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio
temporal dan regio occipital condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak
anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa
posterior. Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
1. Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan
umumnya tidak diperlukan intervensi.
2. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa
kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk
mengoreksi deformitas yang terjadi.
3. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan
bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi
melebar.
4. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar
tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid).

Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi
akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan
terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak.
Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan
kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium.
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan
sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak
mungkin terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal, diselubungi
oleh penutup meningeal, dan terlindung di dalam tulang tengkorak. Selain itu, fascia dan
otot-otot tulang tengkorak mEnjadi bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji
coba telah menunjukkan bahwa diperlukan kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk
menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak kadaver dengan kulit kepala utuh dibanding
yang tanpa kulit kepala.

60
Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis,
kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera jaringan
(parenkim) otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari seluruh fraktur
tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari titik
tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi
melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam dan
memerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur
depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis cranii
merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan
banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dan dapat
menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi
indikasi untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf.

PATOFISIOLOGI
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :

a. fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak


b. fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari
tulang tengkorak
c. fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan
luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii
yang biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii.
Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah
tertentu dari basis cranii.

Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga
subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran
(mixed).

a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa
os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur
ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid
secara berurut.
b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.
c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur
transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang
61
sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous;
dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang
mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis.

Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan
kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum
alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang
terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil
misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :

a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan
fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.
b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas
menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil
karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.
c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang
dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang
biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur
mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe
longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem
vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis


periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran cairan
serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung.
Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi)
juga dapat terjadi.

4. Lucid Interval
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah
bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang

62
terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan
durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma
yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak
kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami
herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis
di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei
saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil
dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada
daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif
atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma,
maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan
intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial
antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam ,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma
cedera primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
1. Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
2. Sinus duramatis
3. Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploica

63
Gambar. 18 Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak
antara duramater dan lamina interna tulang pelipis. Os Temporale (1), Hematom Epidural (2),
Duramater (3), Otak terdorong kesisi lain (4)

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf


karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura
sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans
dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh
nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di
rawat dan diperiksa dengan teliti.

64
V. Kerangka Konsep

65
VI. Sintesis
Satu jam yang lalu, Mr. X mengalami trauma tumpul pada kepala akibat
penganiayaan. Trauma kepala ini menyebabkan laserasi dan hematom pada kulit, guncangan
pada batak otak, fraktur pada basis cranii fossa anterior, dan fraktur pada os Temporal.
Guncangan pada batang otak menimbulkan gangguan jalur-jalur sinaps pada RAS sehingga
mengakibatkan hilangnya kesadaran secara global (pingsan) yang pada akhirnya bisa
dikompensasi setelah lima menit. Fraktur pada os Temporal mengakibatkan pecahnya arteri
meningea media yang memasuki cranium melalalui foramen spinosum dan terletak di antara
tulang kranium dan duramater. Pecahnya arteri ini menimbulkan perdarahan epidural
(epidural hematoma).

Fraktur basis cranii fossa anterior

Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa
dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis
di medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung
lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.

Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera.
Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Mr. X
mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam
hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan

66
subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda
klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior.

Epidural Hematoma (EDH)

Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural pada kranium. Dura
melekat pada kranium. EDH mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara dura dengan
kranium dan menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang berlanjut akan memaksa dura
untuk terpisah lebih lanjut, dan menyebabkan hematoma menjadi massa yang mengisi ruang.

Peningkatan Tekanan Intrakranial

Volume total intrakranial adalah 1700ml yang teridiri dari jaringan otak (1400ml),
CSF (150ml), dan darah (150ml). Pada awalnya penambahan volume/ massa berupa
hematom pada ruang intrakranial akan dikompensasi dengan pengurangan jumlah volume
CSF dan vena sesuai dengan hukum Monro-Kellie. Hal inilah yang menyebakan Mr. X tetap
sadar selama puluhan menit (lucid interval). Akan tetapi, lama-kelaman, kompensasi ini tidak
bisa terjadi lagi dan akhirnya tekanan intrakranial meningkat. Tekanan intrakranial normal
adalah 7-15mmHg. Peningkatan tekanan dapat menurunkan tekanan perfusi otak (cerebral
perfusion pressure/ CPP), sesuai dengan rumus CPP=MAP(mean atrial pressure)-
ICP(intracranial pressure). Penurunan CPP akan dikompensasi dengan meningkatkan MAP
(peningkatan tekanan darah) yang pada akhirnya akan meningkatkan ICP lagi dan malah
menurunkan CPP. Peningkatan ICP inilah yang menimbulkan gejala berupa mual dan
muntah pada Mr. X. Selain itu, mass effect yang menjadi penyebab peningkatan ICP ini juga
menimbulkan trias Cushing: peningkatan tekanan sistolik, bradikardi, dan tekanan nadi yang
luas.

Herniasi Otak

Peningkatan tekanan intracranial menyebakan herniasi otak, yaitu terdesaknya otak


melewati struktur-strukur seperti falx cerebri, tentorium cerebri, dan bahkan foramen
magnum. Herniasi ini menyebabkan penekanan suplai darah ke berbagai bagian otak dan
dapat berakibat fatal. Herniasi otak yang terjadi pada Mr. X adalah herniasi supratentorial
pada bagian uncus (bagian terdalam lobus temporal). Uncus ini dapat menekan nervus
occulomotorius (CN III) yang menganggu input parasimpatis ke mata sehingga pupil terus

67
berdilatasi walaupun disinari cahaya seperti pada kasus Mr. X. Uncus ini juga dapat menekan
batang otak yang berakibat pada gangguan pernapasan dan bahkan kematian.

68
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan

Mr. X, 20 tahun mengalami cedera kepala sedang, hematom epidural disertai lucid
interval, fraktur basis cranii fossa anterior dan tanda-tanda herniasi akibat trauma tumpul
kepala.

69
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Dedi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: “Aspek Medikolegal dan Penentuan
Derajat Luka”. Maj Kedokteran Indonesia. 60 (4): hal 188-195.
Aflanie, I., Nila N., Hendy A. 2017. Ilmu Kedokteran Forensi & Medikolegal. Rajawali Pers,
Depok.
Aimaduddin, Azis. 2016. Herniasi Otak. General Surgery Resident RSDM
Aritonang, S. 2007. Cedera Kepala. (http://eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf diakses
pada 19 September 2017).
Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life Support),
Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta.
Batalis, Nicholas I., 2016. Forensic Autopsy of Blunt Force Trauma. Medical University of
South Carolina.
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Burnside, Mc Glynn. 2015. Adams Diagnosis Fisik, Jakarta: EGC.
Corwin, E.J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Daniel D Price, MD. Chief Editor Trevor John Mills, MD, MPH. 2014. Epidural Hematoma.
http://emedicine.medscape.com/article/824029-overview Department of Emergency
Medicine, Alameda County Medical Center, Highland Hospital and Trauma Center,
diakses pada 19 September 2017.
Dewi, N.M.A. 2011. Autoregulasi Serebral pada Cedera Kepala. Bagian Ilmu Kedokteran
Bedah Universitas Udayana. Bali.
Evans RW. 2005. Neurology and Trauma. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Gilroy J. 2000. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill.
Hiariej , Eddy. 2012. Teori Hukum Pembuktian, Jakarta
Hoediyanto. 2007. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian
IKF dan Medikolegal FAkultas Kedokteran Unair.
Idries, A. M. 2012. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik Khusus Pada Korban
Perlukaan. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, Bab 7,
hal. 133-143. Jakarta: Sagung Seto
Japardi, I. 2013. Penatalaksanaan Cedera Kepala Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanudian. (http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/10/Trauma-Bedah-Saraf.pdf , Diakses 19 September 2017).
Khalillulah, Said. 2011. Review Article Basilar Skull Fracture (BSF)/Fraktur Basis Cranii.
L Japardi, Iskandar. 2003. Control of Cerebral Blood Flow (http://library.usu.ac.id, Diakses
19 September 2016).
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Nasution, Anggi. 2011. Tingkat Pengatahuan Masyarakat Kota Medan Tentang Visum Et
Repertum (VER). (http://repository.usu.ac.id, Diakses 19 September 2017

70
Ni Made Ayu Apsari Dewi. Autoregulasi Serebral pada Cedera Kepala. Bagian/SMF Ilmu
Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar.
Nuraga, R. A. 2012. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Dokter Umum Tentang Visum Et
Repertum. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Paulsen, F. dan J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Kepala, Leher, dan
Neuroanatomi, vol. 3, edisi 23. Terjemahan oleh: Pendit, B. U. EGC. Jakarta
Pearce E. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Umum
Price, S.A., dan Lorraine M.W. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
E/6, Vol.1. EGC, Jakarta.
Rab, T. 2012. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) Jilid 3. Alumni, Bandung.
R, Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia
Ropper, AH & Brown, RH. 2013. Adams & Victors Prinsiples of Neurology, Eight Edition.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc., diakses pada 19 September 2017.
Rosjidi. 2007. dalam Jurnal Digital Universitas Muhammadiyah Semarang:
http://digilib.unimus.ac.id/files, diakses pada 19 September 2017.
Saleh, M., & Soegandhi, R. (1974). Peranan Dokter Dalam Penanganan Visum et Repertum
dan Pemeriksaan Bedah Jenasah Medico-Legal. Yogyakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Kehakiman FK UGM
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC, Jakarta.
Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi 6. Terjemahan
oleh: Sugiharto, L. EGC. Jakarta, hal. 719-754.
Toyama, Y, Kobayashi, T, Nishiyama, Y, Satoh, K, Ohkawa, M, & Seki, K. 2012. CT for
Acute Stage of Closed Head Injury. Radiation Medicine, review, Vol. 23 No. 5, pp.
309-316, diakses pada 19 September 2017.
Wahyu, Suci. 2012. Pedoman Tatalaksana Trauma Capitis
(https://www.academia.edu/10156242/TRAUMA_CAPITIS diakses pada 19
September 2017)
Wedro, B. C., & Stoppler, M. C. 2011. Head Injury Overview.
(http://www.emedicinehealth.com, diakses pada tanggal 20 September 2016).

71

Anda mungkin juga menyukai