Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Ilmu Tarikh wa Tabaqat Al-Ruwat

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ulumul Hadits II

Dosen Pengampu :Hj. Sri Purwaningsih,M.Ag.

Disusun Oleh :

Ririn Nur Indah Sari (1604026168)

Arizom (1604026173)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2017

1|Page
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam menentukan periwayatan sebuah hadits, apakah hadits itu diriwayatkan dengan sanad
yang shahih atau tidak, tentunya sangat penting bagi kita mengenal latar belakang seorang
perawi hadits. Dalam ilmu hadits untuk mengetahui hal tersebut, maka sepatutnya kita
memahami apa itu ilmu Tarikh dan ilmu Thabaqat. Dalam makalah ini saya akan coba
mengangkat pemahaman tentang apa itu ilmu Tarikh dan ilmu Thabaqat yang masuk dalam
pembahasan ilmu hadits. Sehingga kita dapat mengambil hadits yang benar – benar
sahih.Karena sekarang ini banyak orang yang mengetahui hadits tapi tidak tahu sejarah para
rawi tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pertanyaan tentang Tarikh
a) Jelaskan pengertian Tarikh itu ?
b) Jelaskan faedah-faedah ilmu Tarikh itu ?
c) Sebutkan kitab-kitab Tarikh Rawi yang paling besar ?
2. Pertanyaan tentang Thabaqah
a) Jelaskan pengertian Thabaqah itu ?
b) Sebutkan Thabaqat yang pokok bagi para perawi ?
c) Sebutkan beberapa kitab tentang Thabaqah yang disusun oleh muhadditsin ?

2|Page
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tarikh
a. Pengertian Tarikh
Tarikh adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadist yang berkaitan dengan usaha
periwayatan mereka terhadap hadist.1 Dengan ilmu ini akan di ketahui keadaan dan identitas
para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengarkan
hadist dari gurunya, siapa yang meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat
merekan melakukan lawatan, dan lain-lain. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara
mendalampada sudut kesejarahan dari seseorang yang terlibat dalam periwayatan.
Tema ini merupakan fondasi bagi kajian historis para rawi, karena ia berpijak pada
peristiwa-peristiwa yang di alami para rawi sepanjang hidup mereka. Bagi ahli hadist, sejarah
memiliki kedudukan yang teramat penting untuk mengetahui sejauh mana bersambung dan
terputusnya suatu sanad, untuk mengungkap karakteristik para rawi serta menyingkap tabir
para pendusta.
Sufyan al-Tsaun berkata,”ketika para rawi banyak melakukan dusta, maka kami
mengantisipasinya dengan menggunakan sejarah.” Hafsh Bin Ghiyat berkata, “apabila kamu
menemukan suatu kecurigaan pada seorang rawi , maka perhitungkanlah ia dengan tahun.”
Yakni hitunglah umurnya dan umur orang yang ia riwayatkan.
‘Afir Bin Mi’dan Al Kala’i berkata suatu hari datang kepadaku Umar Bin Musa Himsh,
lalu kami berkumpul di masjid . kemudian ia berkata , ‘telah meriwayatkan hadist kepadaku
gurumu yang shaleh.’ Setelah ia berbicara banyak, maka saya Tanya kepadanya ‘siapa yang
anda maksud sebagi guru kami yang yang shaleh itu? Sebutkanlah namanya agar kami
mrngetahuinya.’ Namanya adalah Khalid Bin Mi’dan,’ jawabnya. Aku bertanya lagi , ‘Tahun
berapa anda bertemu dengannya?’ pada tahun 108 H.’ ‘di mana anda bertemu/’ desakku. ‘di
gunung Armenia’. Kemudian aku berkata , ‘bertaqwalah kepada Allah, ya sam ! dan jangan
berdusta. Khalid Bin Mi’dan itu telah wafat pada tahun 104 H, dan anda mengaku bertemu
dengannya empat tahun setelah ia wafat.2
Al-hakim berkata, “ketika datang kepada kami Muhammad Bin Hatim Al-Kasysyi dan
meriwayatkan kepada ku sebuah hadist dari ‘abd bin humaid, maka kutanyakan kepadanya
tahun kelahiran orang itu. Ia menjawab bahwa Abd lahir pada tahun 260H. kemudian

1 Di antaranya al-sakhawi dalam fath al-mughits, hlm. 459.


2 Sanadnya ditulis lengkap dalam Al-Kifaayah, hlm.119. diriwayatkan juga dari Ismail bin ‘ayyasy.

3|Page
kukatakan kepada murid-muridku bahwa syekh ini mendengar hadist dari ‘Abd Bin Hunaid
tiap batas tahun setelah ia meninggal.” Abu Khalid Al-Saqa’ pada tahun 209 H mengaku
mendengar hadist dari anas bin malik dan melihat Abdullah Bin Umar. Abu Nu’aim bertanya
heran, “waktu itu berapa tahun umurnya?” “berumur 125 tahun,” jawabnya. Abu Nu’aim
berkata, “sesuai dengan pengakuannya, ibnu umar telah wafat lima tahun sebelum Abu Khalid
sendiri lahir.3
Oleh karena itu para ulama’ menekankan kepada para penuntul ilmu hadist agar terlebih
dahulu menguasai sejarah dan mengetahui tahun wafatnya para guru hadist, mengingat ia
termasuk cabang ilmu hadist yang paling terpenting. Lebih-lebih yang berkaitan dengan
Rasulullah SAW, Para sahabat senior dan para tokoh agama. Dengan demikian maka tidak
seorang muslim pun layak mengabaikannya, apalagi para penuntut ilmu hadist. Ini karena
orang yang seandainya terpaut dan berminat dengan suatu disiplin ilmu tertentu, maka hatinya
pasti juga berminat dengan segala sesuatu yang mengantarkannya. Dan seorang muslim lebih
layak bersikap demikian.4

b. Faedah Ilmu Tarikh


Ilmu ini berkembang bersama berkembangnya ilmu Riwayah. Perhatian para ulama dalam
membahas ilmu ini didorong oleh suatu maksud untuk mengetahui dengan sebenarnya hal
ihwal para rawi hadits (rijalus sanad). Atas motif tersebut mereka menanyakan kepada para
rawi yang bersangkutan mengenai umur dan tanggal kapan mereka menerima hadits dari guru-
guru mereka, disamping para ulama tersebut meneliti tenteng identitas para rawi itu.
Mengetahui tanggal lahir dan wafatnya para rawi adalah sangat penting untuk menolak
pengakuan seorang rawi yang mengaku pernah bertemu dengan seorang guru yang pernah
memberikan hadits kepadanya, padahal setelah diketahui tanggal lahir dan wafat gurunya,
mungkin sekali mereka tidak saling bertemu, disebabkan kematian gurunya mendahului
daripada kelahirannya.
Jika demikian halnya, maka hadits yang mereka riwayatkan itu sanandnya tidak
bersambung. Dengan kata lain faedah mempelajari ilmu tarikhir ruwh ialah mengetahui
muttasil atau munqathinya sanad hadits dan untuk mengetahui marfu’ atau mursalnya
pemberian hadits.

3 Al-Mughani, nomor 7429.


4 Tarajum a’yan al hufazh pada syarh ‘il al=turmudzi karya ibnu Rajab, hlm.162-233 dan pasal ma’rifat mamtib
a’yanal tsiqat alladzinataduru ‘alarhim chalib al=ahaditsi al-shahgtah dalam, syarh al-tal, hlm. 472-552.

4|Page
Mengetahui kampung halaman rawi pun besar faedahnya. Yaitu untuk membedakan rawi-
rawi yang kebetulan sama namanya akan tetapi berbeda marga dan kampong halamannya.
Sebab sebagaimana diketahui bahwa rawi-rawi itu banyak yang namanya bersamaan, akan
tetapi tempat tinggal mereka berbeda. Tampak faedahnya pula dalam hal ini apabila rawi yang
namanya bersamaan itu sebagiannya ada yang tsiqah, sehingga dapat diterima haditsnya,
sedang sebagian yang lain adalah tidak tsiqah yang menyebabkan harus ditolak haditsnya.

c. kitab tarikh para rawi yang paling besar yaitu sebagai berikut;5
1) Al-Tarikh al –kabir karya Imam Al-Bukhori. Kitab ini membahas identitas dan
karakteristik setiap rawi dengan cukup ringka, meliputi penjelasan tentang nama guru-guru
dan murid-muridnya, jading-kadang mengungkap jarh wa al-ta’dil-nya tetapi banyak sekali
tidak mengungkapkannnya. Kitab ini telah di cetak dalam delapan jilid.6
2) Al-tarikh karya Ibnu Abi Khaitsamah, sebuah kitab yang besar : ibnu al-shalah
berkata,”sungguh berlimpah faidah kitab ini.”
3) Masyahir ‘ulama’ al-amshar karya Abu Hatim Muhammad Bin Hibban Al-Susti. Kitab ini
membahas tarikh setiap rawi dengan sangat ringkas, hanya dengan dua tau tiga baris saja.
Setiap rawi di lengkapi dengan tahu wafatnya. Kitab ini telah di cetak dua jilid.

2. Thabaqat Al-Ruwah
a) Pengertian Thabaqat
Ilmu thabaqah itu termasuk bagian dari ilmu rijalul hadits, karena obyek yang dijadikan
pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Hanya saja masalahnya
berbeda. Kalau di dalam ilmu rijalul hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal
ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan al-hadits dan lain sebagainya, maka
dalam ilmu thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongn,
sesuai dengan alat pengikatnya.
Thabaqat dalam istilah Muhadditsin adalah suatu kaum yang berdekatan dalam umur dan
isnad, atau dalam isnadnya saja, yang mana syuyukh (guru) dari seseorang adalah syuyukh juga
bagi yang lain atau mendekati syuyukhnya yang lain.
Asal mula pembagian perawi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri,
dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain ra., bahwasanya
Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang

5 Tarajum A’yan al Hufazh pada syarh ‘ll al-Turmudzi karya Ibnu Rajab, hlm. 162-233
6 As-Sunah qablat tadwin,Muh. ‘Ajjaj al-Khathib,hlm.266

5|Page
datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran radhiyallohu
anhu, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR.
Bukhari)
Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Ilmu
ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka
terhadap syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka
berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya seperti fadhl (keistimewaan) dan sabiqah
(kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan)
seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada thabaqat fuqaha, thabaqat
ruwaat, thabaqaat mufassirin dan seterusnya.
Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang
hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan
yang lain. Misalnya thabaqaat al qurra, thobaqaat al fuqahaa, thobaqaat ash shufiyah, thobaqaat
asy syu’ara dan sebagainya.
Imam As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari
bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama
namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas
dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan
membedakannya dari yang musnad…”

b) Thabaqat Ruwaat (Rijalul Isnad)


Ada empat thabaqat yang pokok bagi ruwaat/rijaalul (para perawi) hadits, yaitu :
1) Thobaqah Pertama : Sahabat
Ash-Shahabah merupakan jamak dari Shahabi, dan Shahabi secara bahasa diambil dari
kata Ash- Shuhbah, dan ini digunakan atas setiap orang yang bershahabat dengan selainnya
baik sedikit maupun banyak. Dan Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim
yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam meskipun tidak lama
pershahabatannya dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun.
Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya,"Barangsiapa yang pernah menemani Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari
shahabat-shahabat beliau".
Ibnu Ash-Shalah berkata,"Telah sampai kepada kami dari Abul- Mudlaffir As-Sam'ani
Al-Marwazi, bahwasannya dia berkata : Para ulama hadits menyebut istilah shahabat kepada
setiap orang yang telah meriwayatkan hadits atau satu kata dari beliau shallallaahu 'alaihi

6|Page
wasalla, dan mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat beliau meskipun
hanya sekali, maka ia termasuk dari shahabat. Hal ini karena kemuliaan kedudukan Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam, dan diberikanlah julukan shahabat terhadap setiap orang yang
pernah melihatnya".
Dan dinisbatkan kepada Imam para Tabi'in Sa'id bin Al-Musayyib perkataan : "Dapat
dianggap sebagai shahabat bagi orang yang pernah tinggal bersama Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam setahun atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua kali
peperangan". Ini yang dihikayatkan para ulama ushul- fiqh. Akan tetap Al-'Iraqi
membantahnya,"Ini toadk benar dari Ibnul-Musayyib, karena Jarir bin Abdillah Al-Bajali
termasuk dari shahabat, padahal dia masuk Islam pada tahun 10 Hijriyah. Para ulama juga
menggolongkan sebagai shahabat orang yang belum pernah ikut perang bersama beliau,
termasuk ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat sedangkan orang itu masih kecil
dan belum pernah duduk bersamanya".
Ibnu Hajar berkata,"Dan pendapat yang paling benar yang aku pegang, bahwasannya
shahabat adalh seorang mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam dan mati dalam keadaan Islam, termasuk di dalamnya adalah orang yang pernah
duduk bersama beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkannya darinya atau tidak, dan
orangyang pernah melihat beliau shallallaahu 'alaihi wasallam walaupun sekali dan belum
pernah duduk dengannya, dan termasuk juga orang yang tidak melihat beliau shallallaahu
'alaihi wasallam karena ada halangan seperti buta"
(Lihat Shahih Al-Bukhari tentang kutamaan para shahabat, Ulumul-Hadiits oleh Ibnu Shalah
halaman 263 , Al-ba'itsul-Hatsits halaman 179 , Al-Ishabah 1 /4 , Fathul-Mughits 4 /29 . dan
Tadriibur-Rawi halaman 396).
2) Thobaqah Kedua : At Taabi’un
3) Thobaqah Ketiga : Atbaa’ut Taabi’in
4) Thobaqah Keempat : Taba’ul Atbaa’
Tingkatan-tingkatan thobaqot yang ada dalam ilmu-ilmu hadis itu terbagi atas
beberapa bagian diantaranya :
1. Thobaqot yang pertama : para shahabat (‫)الصحابة‬
2. Thobaqot yang kedua : thobaqot kibar tabi’in (‫)كبار التابعين‬, seperti sa’id bin al-musayyib,
dan begitu pula para mukhodhrom. Mukhodhrom (‫ )المخضرم‬: orang yang hidup pada zaman
jahiliyyah dan islam, akan tetapi ia tidak pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam keadaan beriman. Misalnya : seseorang masuk islam pada zaman rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia tidak pernah bertemu rasulullah karena jauhnya jarak atau

7|Page
udzur yang lain. Atau seseorang yang hidup sezaman dengan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akan tetapi ia belum masuk islam melainkan setelah wafatnya rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
3. Thobaqot ketiga : thobaqot pertengahan dari tabi’in (‫)الطبقة الوسطى من التابعين‬, seperti al-
hasan (al-bashri, pent) dan ibnu sirin, dan mereka adalah (berada pada) thobaqot yang
meriwayatkan dari sejumlah shahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Thobaqot keempat : tabi’in kecil (‫)صغار التابعين‬, mereka merupakan thobaqot yang sesudah
thobaqot yang sebelumnya (thobaqot ke-3, pent). Kebanyakan riwayat mereka adalah dari kibar
tabi’in (thobaqot ke-1, pent). Rowi yang dalam thobaqot ini contohnya adalah az-zuhri dan
qotadah.
5. Thobaqot kelima : thobaqot yang paling kecil dari tabi’in (‫)الطبقة الصغرى من التابعين‬, mereka
adalah yang lebih kecil dari yang thobaqot-thobaqot tabi’in yang sebelumnya. Dan mereka
adalah termasuk tabi’in, mereka melihat seorang atau beberapa orang shahabat. Contoh
thobaqot ini adalah musa bin ‘uqbah dan al-a’masy.
6. Thobaqot keenam : thobaqot yang sezaman dengan thobaqot ke-5 (‫)عاصروا الخامسة‬, akan
tetapi tidak tetap khobar bahwa mereka pernah bertemu seorang shahabat seperti ibnu juraij.
7. Thobaqot ketujuh : thobaqot kibar tabi’ut tabi’in (‫)كبار أتباع التابعين‬, seperti malik dan ats-
tsauri.
8. Thobaqot kedelapan : thobaqot tabi’u tabi’in pertengahan (‫)الوسطى من أتباع التابعين‬, seperti
ibnu ‘uyainah dan ibnu ‘ulaiyyah.
9. Thobaqot kesembilan : thobaqot yang paling kecil dari tabi’ut tabi’in ( ‫الصغرى من أتباع‬
‫)التابعين‬, seperti yazid bin harun, asy-syafi’i, abu dawud ath-thoyalisi, dan abdurrozzaq.
10. Thobaqot kesepuluh : thobaqot tertinggi yang mengambil hadits dari tabi’ut taabi’in ( ‫كبار‬
‫ )االخذين عن تبع االتباع‬yang mereka tidak bertemu dengan tabi’in, seperti ahmad bin hanbal.
11. Thobaqot kesebelas : thobaqot pertengahan dari rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut
tabi’in (‫)الوسطى من االخذين عن تبع االتباع‬, seperti adz-dzuhli dan al-bukhori.
12. Thobaqot keduabelas : thobaqot yang rendah dari rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut
tabi’in (‫)صغار االخذين عن تبع االتباع‬, seperti at-tirmidzi dan para imam yang enam lainnya yang
tertinggal sedikit dari wafatnya para tabi’ut tabi’in, seperti sebagian para syaikh-nya an-nasa’i.
7

7 Al-Maktabah asy-Syamilah v.2

8|Page
Adapun ulama yang membagi thabaqah shahabah kepada lima thabaqah, tersusun
sebagai berikut:
1. Ahli Badar.
2. Mereka yang masuk Islam lebih dulu, berhijrah ke Habsyi dan menyaksian pertemuan-
pertemuan sesudahnya.
3. Mereka yang ikut perang Khandaq.
4. Wanita-wanita yang masuk Islam, setelah mekah terkalahka dan sesudahnya.
5. Anak-anak. 8

c) Kitab tentang Thabaqat yang disusun oleh Muhadditsin


Mengingat begitu besarnya faedah kajian ini. Banyak Muhadditsin enyusun kitab tentang
Thabaqah. Dan dua kitab dianataranya telah dicetak :
1) Al-Thabaqat al-Kubra karya al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Sa’d. Kitab ini sangat
komplet dan besar faedahnya. Popularitasnya melebihi kitab-kitab lain yang sejenis.
Penyusunnya ialah seorang yang hafizh dan tsiqat. Akan tetapi, banyak isi kitab ini
bersumber dari Rawi yang dhaif, seperti Muhammad bin Umar al-Wadidi, gurunya. Ia
menyebut gurunya ini dengan namanya dan nama ayahnya, yakni Muhammad bin Umar
tanpa dijelaskan julukannya. Juga gurunya yang lain, Hisyam bin Muhammad bin al-Saib
al-Kalbi. Dari kedua orang gurunya inilah ia banyak menggali bahan kitabnya itu.
2) Al-Thabaqat karya al-Iman Khalifah bin Khayyath. Kitab ini sangat berfaedah dalam
bentuk yang sangat ringkas, dan telah dicetak dalam dua jilid di Damaskus.9

8 Manhaj Dzawi’n Nadhar. At-Turmusy. Hlm.221, Ulumul Hadits, Prof.Tm.Hasbi Ash-Shiddieqy.


9 1:5-6

9|Page
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tarikh adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadist yang berkaitan dengan usaha
periwayatan mereka terhadap hadist. Dengan ilmu ini akan di ketahui keadaan dan identitas
para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengarkan
hadist dari gurunya, siapa yang meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat
merekan melakukan lawatan, dan lain-lain. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara
mendalampada sudut kesejarahan dari seseorang yang terlibat dalam periwayatan. Mengetahui
kampung halaman rawi pun besar faedahnya. Yaitu untuk membedakan rawi-rawi yang
kebetulan sama namanya akan tetapi berbeda marga dan kampong halamannya.

Ilmu thabaqah itu termasuk bagian dari ilmu rijalul hadits, karena obyek yang dijadikan
pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Hanya saja masalahnya
berbeda. Kalau di dalam ilmu rijalul hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal
ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan al-hadits dan lain sebagainya, maka
dalam ilmu thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongn,
sesuai dengan alat pengikatnya.Thabaqat dalam istilah Muhadditsin adalah suatu kaum yang
berdekatan dalam umur dan isnad, atau dalam isnadnya saja, yang mana syuyukh (guru) dari
seseorang adalah syuyukh juga bagi yang lain atau mendekati syuyukhnya yang lain.

10 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

As-Shalih, Subhi, “ membahas ilmu” Hadits, Pustaka Firdaus: Jakarta, 2007

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadits, (AWZAH: Jakarta, 2008)

Dr. Nuruddin ‘itr, Ulumul Hadis, (PT REMAJA ROSDAKARYA: Bandung, 2012)

11 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai