Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Kesenian dongkrek merupakan salah satu jenis kesenian tradisi yang tinggi

nilainya. Sebagai warisan budaya lokal, kesenian dongkrek menjadi bagian tak terpisahkan

dari masyarakat pendukungnya. Kesenian dongkrek sebagai produk budaya merupakan hasil

interaksi antara masyarakat lokal dan lingkungan sekitarnya, yang di dalamnya memuat

ide- ide, gagasan, pemikiran yang menjadi dasar bertindak dalam hidup bersama. Seperti

jenis tarian topeng yang lain, kesenian dongkrek memuat simbo l- simbol yang penuh makna

dan memuat ajaran moral yang dapat dijadikan panduan oleh komunitas pendukungnya.

Beberapa kajian tentang kesenian dongkrek telah dilakukan, baik menyangkut

aspek tontonan maupun tuntunannya. Faradina Dara Astria (2011), misalnya, meneliti

tentang makna simbolik dalam kesenian dongkrek sebagai kesenian ritual. Tulisan ini

menyimpulkan bahwa kesenian dongkrek pada awalnya dipercaya sebagai ritual tolak - bala,

atau menjauhkan dari segala sesuatu yang merugikan. Sementara itu, Apris Triatmiko

(2005), menulis sisi lain dari kesenian dongkrek yaitu tentang topeng pada kesenian

dongkrek. Apris berpendapat bahwa topeng pada kesenian dongkrek memiliki karakteristik

tersendiri jika dibandingkan dengan topeng-topeng yang lain. Karakteristik yang ada pada

topeng dongkrek terletak pada bentuk dan motifnya. Jaecken M P (2011) lebih jauh

mencoba meneliti tentang dinamika kesenian dongkrek dari masa ke masa dari perspektif

sejarah. Namun demikian, beberapa penelitian yang disebutkan tadi belum mengkaji

secara mendalam kesenian dongkrek yang sebenarnya memiliki banya k gaya penampilan.

Lebih jauh lagi, kajian tersebut belum membicarakan strategi revitalisasi kesenian dongkrek

untuk menjaga kelestariannya di masa-masa mendatang. Masalah regenerasi yang menjadi

bagian tak terpisahkan dari usaha revitalisasi dan pengembangan seni pertunjukan

1
dongkrek sama sekali belum dibicarakan. Tanpa memperhatikan aspek regenerasi ini, usaha

pelestarian, revitalisasi, dan pengembangan kesenian dongkrek akan menghadapi kesulitan.

Menurut S iti Munawaroh (2007), pada dasarnya produk seni pertunjukan

tradisional dapat “dijual” baik Kepada para peminat yang terdiri dari atas masyarakakita

sendiri maupun Kepada orang asing sebagai wisatawan. O leh karena, pertunjukan

merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang menyangkut pengembangan

konten, produksi pertunjukan, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik

tradisional, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.

Seni pertunjukan merupakan hasil dari kebudayaan. Agar kebudayaan dapat lestari, yaitu

selalu dapat mempertahankan eksistensinya, maka diperlukan upaya- upaya untuk

menjamin keberlanjutannya antara lain dengan perlindungan, pengembangan, dan

pemanfaatan. Pemanfaatan di sini meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil- hasil

budaya guna berbagai keperluan, seperti untuk menguatkan citra identitas daerah, untuk

pendidikan kesadaran budaya, untuk dijadikan muatan industry budaya, dan untuk

dijadikan sebagai daya tarik wisata. Dengan demikian, pemanfaatan hasil- hasil budaya

melalui pe mbangunan pariwisata merupakan salah satu langkah untuk menjaga agar

kebudayaan dan hasil- hasilnya dapat lestari (Edi Sedyawati,

2004: 76).

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dongkrek

Hasil penelitian selama ini menguatkan bahwa Dongkrek diciptakan oleh

almarhum R. Bei Lo Prawirodipuro yang pada masa itu menjabat Palang di Mejayan

(Caruban). Palang adalah suatu jabatan yang membawahi 4-5 Kepala Desa. Palang

sebagai “Lurah Kepala” (Hoofd Lurah) bertanggung jawab langsung kepada Wedana

sebagai atasannya. Raden Bei Lo Prawirodipuro adalah Palang terakhir dalam sistem

pemerintahan pada waktu itu sampai wafatnya ± tahun 1915/1916. Sebetulnya jabatan

Palang tersebut sudah lama dihapuskan sebelum itu. Tetapi almarhum Raden Bei Lo

Prawirodipuro mendapat prioritas memangku jabatan tersebut. Hal ini diduga karena

atas kepribadian kepemimpinan, kewibawaan dan sebaginya yang dimiliki Raden Bei Lo

Prawirodipuro yang sangat menonjol sehingga pihak yang berwajib mengambil

kebijaksanaan melangsungkan jabatan Palang khusus bagi beliau saja.

Diperkirakan dongkrek lahir sekitar tahun 1910. Beberapa sumber

menjelaskan bahwa sejak timbulnya seni Dongkrek hasil karya almarhum R. Bei Lo

Prawirodipuro tersebut, kesenian lain di daerah Caruban terdesak mundur. Dongkrek

hidup dan berkembang sangat pesat dan subur sehingga menjadi kesenian yang paling

“top” pada masa itu. Tetapi masa kejayaan seni Dongkrek ini tidak berlangsung lama.

Semakin hari makin surut dan mundur. Lama kelamaan kesenian ini makin

tenggelam bahkan namanya saja sudah banyak yang tidak kenal terlebih pula bagi orang

diluar Caruban.

3
Sebab-sebabnya belum jelas. Mungkin karena meninggalnya sang pencipta yang

memang semasa hidupnya terkenal sebagai orang sakti dan mempunyai kewibawaan

yang besar. Jadi surutnya Dongkrek karena ditinggalkan oleh pencipta dan mungkin

sekaligus sebagai satu-satunya pembina yang tangguh, ampuh dan berwibawa. Atau

mungkin juga dari sebab sifat Dongkrek yang statis sehingga menimbulkan jemu yang

berakibat masuknya kesenian lain teutama kesenian dari Jawa Tengah yang sampai saat

ini mendapat tempat yang subur di hati rakyat Caruban khususnya dan rakyat Madiun

umumnya (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun, 2011: 4-6).

Sementara itu, menurut Jaecken (2011), kemunculan kesenian dongkrek

dimulai pada saat daerah Menjayan terkena wabah penyakit. Ketika siang sakit, sore hari

meninggal, atau pagi sakit malam harinya meninggal dunia. Sebagai seorang p emimpin,

Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro merenung untuk mencari metode yang tepat untuk

penyelesaian atas wabah penyakit yang menimpa rakyatnya. Setelah melakukan

renungan, meditasi, dan bertapa di gunung kidul Caruban, dia mendapatkan wangsit

untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut.

Dalam cerita tersebut, wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh

halus atau pasukan gendruwo menyerang penduduk Caruban dapat diusir denga

menggiring mereka keluar dari wilayah Caruban. Maka dibuatlah semacam kesenian

yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus yang membawa pagebluk tersebut.

Kesenian ini mengalami masa kejayaan pada rentang tahun 1867-1902 dan setelah itu,

perkembangannya mengalami pasang surut seiring pergantian kondisi politik di

Indonesia.

4
Pada masa penjajahan Belanda, dongkrek sempat dilarang oleh pemerintahan

Belanda untuk dipertontonkan dan dijadikan pertunjukan rakyat. Hal ini dikarenakan

mereka kawatir apabila dongkrek terus berkembang, bisa digunakan sebagai media

penggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Belanda. Saat masa kejayaan Partai

Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, kesenian ini dikesankan sebagai kesenian “genjer-

genjer” yang dikembangkan PKI untuk memperdaya masyarakat umum. Sehinga

kesenian dongkrek mengalami masa pasang surut akibat imbas politik. Tahun 1973,

dongkrek digali dan kembali dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupeten Madiun bersama P ropinsi Jawa Timur (Jaecken, 2011: 3).

Ceritera munculnya kesenian dongkrek ini dapat dirunut melalui sebuah

tembang Gambuh berikut ini:

Keparengo amatur//Sekar gambuh amurwani atur//Seni dongkrek angirto


dongkrek kang asli//Ngleluri budoyo luhung//Ciptane leluhur kito
Semangke kang cinatur//Riwayat dongkrek engkang asli//Asal saking Dusun
Menjayan kang asli//Palang kalenggahanipun//Priyo luhur kang yoso
Jamane kang kapungkur//Duk semono Menjayan kang dusun//Katrajang eng
pagablug akeh pepati//Tambah-tambah polah ipun//Kawulo ngudi usodo
Berkah kang Moho Agung//Eyang Palang hang sakti k alangkung//Metu broto
angento dongkrek mauwarni//Kinaryo mbrasto pageblug //Serno tapis tanpo siso Suko
sukur yang Agung//Poro kawulo bingah kalangkung//Eyang Palang aparing dawuh
sayekti//Istinen budoyo luhung //Nirkolo suko raharjo (SK Desa No
2/DK/4/414.107.07/0/2003)

Berdasarkan buku yang ditulis oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten

Madiun, asal mula nama dongkrek diambil dari bunyi 2 (dua) buah instrumennya yaitu

bedug dan korek. Bila dibunyikan bunyi bedug terdengar dhung dan bunyi korek

terdengar krek, sehingga kalau dibunyikan bergiliran dan terus- menerus terdengar bunyi

dhung-krek-dhung-krek. Dari sinilah timbul nama dongkrek yang kemudian

menjadnama dari kesenian rakyat ini. Perlu diketahui bahwa susunan (bezetting)

5
instrument Dongkrek terdiri dari beberapa jenis instrument diantaranya ialah bedug dan

korek.

Bedug dan korek rupanya merupakan instrumen yang hakiki dan dominan. Hakiki

berarti mutlak harus ada sedang dominan berarti mempunyai kedudukan yang sangat

penting dan menonjol dalam permainan bersama. Dan kedua macam instrument itulah

yang memberikan corak dan ciri khas serta hakiki seni dongkrek. Terutama adalah

instrument korek yang bersifat unik dan tersendiri yang tidak kita dapati pada instrument

kesenian lain yang manapun.

B. TENTANG KESENIAN DONGKREK

Kesenian Dongkrek menampilkan pertunjukan dengan tiga kelompok tokoh

pemeran yaitu Genderewo pengganggu warga masyarakat yang membawa wabah

penyakit ( pageblug ), warga masyarakat yang diperankan oleh dua orang perempuan (

Roro Ayu dan Roro Perot ), dan peran pemimpin ( palang ) atau tokoh masyarakat yang

diperankan oleh seorang kakek sakti. Ketiga kelompok peran ini memakai topeng.

Kesenian Dongkrek yang bersifat sakral yang digunakan sebagai upacara ritual

tolak bala. Kesenian Dongkrek ini hanya dipentaskan setahun satu kali, dengan acara

arak-arakah yang melibatkan seluruh masyarakat desa Mejayan. Sanggar kesenian

Dongkrek yang masih mempertahankan pakem atau keaslian seni Dongkrek tanpa

adanya perubahan adalah sanggar Dongkrek “Krido Sakti” pimpinan Walgito.

Kesenian Dongkrek yang bersifat kreasi seni ( kreatif ) sebagai kesenian rakyat

yang tidak sakral, tidak ada kemenyan, tidak ada persyaratan dari keturunan palang

Ngabehi Lho Prawirodipoero “ Palang Mejayan ”, dengan iringan musik yang lebih ramai.

Dongkrek ini masih ada arak-arakannya dan melibatkan masyarakat untuk bergabung dan

menari. Namun demikian Dongkrek ini ada unsur bisnisnya karena bisa diundang untuk

6
melakukan pertunjukan kesenian Dongkrek dengan mendapatkan upah. Kesenian

Dongkrek yang bersifat sebagai seni pertunjukan tidak sakral, tidak ada kemenyan, tidak

melibatkan masyarakat untuk menari, tidak ada arak-arakan, tidak keliling kampung, dan

tidak ada persyaratan dari keturunan “Palang Mejayan”, dengan iringan musik yang

lebih banyak dan dipertunjukan di studio atau panggung. Namun demikian Dongkrek ini

masih memiliki folosofi yang sama yaitu “kajahatan akan kalah dengan kebajikan”.

Dongkrek ini dikembangkan di sekolah-sekolah seperti di Sanggar seni “Galih” SMAN

Pilangkenceng

C. MAKNA TOPENG DARI KETIGA KELOMPOK PEMERAN WATAK

Makna Topeng Genderewo Merah, menggambarkan sifat dan


watak jahat. Genderewo merah menunjukkan perangai yang
seram, mudah marah, emosioal,, dan kasar. Topeng Buto Merah,
menggambarkan makhluk halus yang sering mengganggu
manusia dengan merasuk ke dalam aliran darah manusia dan
senang meminum darah.

Makna Topeng Genderewo Hitam, menggambarkan sifat dan


watak yang buruk. Genderewo hitam menunjukkan watak
pemalas, rakus dan pemalas, beringasan angkuh dan sombong,
serakah dan ingin berkuasa serta ingin menang sendiri. Topeng
Buto Ireng, menggambarkan makhluk halus yang senang
mengganggu dengan menyerang tulang belulang manusia.

Makna Topeng Genderewo Putih, menunjukkan gambaran yang


memiliki watak yang baik. Genderewo putih menggambarkan
sikap yang memiliki tatakrama dan manusiawi. Warna putih
diwariskan dari sumber kehidupan yaitu air, yang mengalir
bening, bersih, ternih dan menyucikan. Topeng Buto Ireng,
menggambarkan makhluk halus yang senang mengganggu
dengan menyerang tulang belulang manusia.

7
Makna Topeng Genderewo Kuning, menggambarkan
makhluk halus yang mengganggu dengan menyerang
daging dan kulit manusia. Misalnya daging pada tubuh
manusia (semakin lama tampak kurus), penyakit kulit
(kudis, gatal, dan melepuh).

Makna Topeng Roro Ayu, Topeng Roro Ayu,


menggambarkan seorang wanita yang cantik (putri pejabat)
yang anggun, sopan dalam berbicara, perilaku, dan selalu
berbuat kebaikan.

Makna Topeng Roro Perot, menggambarkan seorang


abdi kinasih yang mendampingi untuk memenuhi
kebutuhan/keperluan sehari-hari roro ayu. Dengan
topeng ini, dapat pula digambarkan bila seseorang
yang selalu membicarakan kejelekan orang lain,
maka bibirnya akan perot.

Makna Topeng Roro Ayu, Topeng Roro Ayu,


menggambarkan seorang wanita yang cantik (putri
pejabat) yang anggun, sopan dalam berbicara, perilaku, dan
selalu berbuat kebaikan

8
D. MAKNA DARI ALAT MUSIK KESENIAN DONGKREK

Alat musik dalam Kesenian Dongkrek digunakan sebagai pengiring irama tarian

yang dibawakan oleh masing- masing pemeran, serta ceritera darama yang sedang

berlangsung. Dalam kesenian Dongkrek dari masa-ke masa telah mengalami

perkembangan sesuai dengan tunttan kebutuhan masyarakat. Namun demikian alat musik

yang paling utama adalah; korek, bedug, beri, gong, kentongan, dan kenong. Dari masing-

masing alat musik tersebut memiliki makna.

Kentongan, disimbolkan sebagai suatu tanda untuk


mengumpulkan atau menggerakkan masyarakat guna
bersatu padu“ Saye sa eko proyo” Alat musik kentongan
pada pementasan kesenian Dongkrek biasanya
menggunakan 3 buah, Dimaksudkan agar masyarakat
berkumpul bila mendengar ”titir”. Titir adalah sebutan dari
kata lain kentongan yang dibunyikan. Adapun karakter
bunyi yang ditimbulkan dari kentongan adalah thok, thok,
thok..

Kenong, disimbolkan sebagai suasana hening, cipta,


karsa, karya kepada Sang Pencipta. Alat musik
kenong dalam pementasan kesenian Dongkrek
biasanya menggunakan satu buah yang
dimaksudkan dapat memberikan ketenangan,
kedamaian apabila mendengarkan alat musik

Bedug, peralatan musik ini disimbolkan untuk


menggambarkan kesaktian Palang Mejayan sebagai
pendekar pilih tanding,“ora tedas tapa paluning
pande” (dug deng). Alat musik bedug dalam
pementasan kesenian Dongkrek biasanya
menggunakan satu buah, dimaksudkan
melambangkan ketegasan dan kesaktian. Adapun
karakter dari bunyi alat musik ini adalah dug, dug,
dug.

9
Beri, peralatan musik ini mengandung arti bahwa beliau
sebagai seorang yang berbudi wibowo laksono, rawe-rawe
rantas malang-malang putung bersama-sama memberantas
penyakit pagebluk. Alat musik beri terbuat dari logam
kuning tipis, bulat sebesar tempayan dan bagian tengahnya
sengaja diretakkan untuk membentuk suasana “jeeer” dan
letak posisinya tergantung dengan tali.

Korek, pada peralatan musik ini disimbolkan sebagai alat


pembersih/penyapu segala macam mara bahaya baik yang
terlihat maupun yang tidak terlihat. Dalam pementasan
kesenian Dongkrek biasanya menggunakan tiga buah yang
dimaksudkan dapat mengusir semua gangguan makhluk
gaib dan kejahatan lainnya. Alat musik ini terbuat dari kayu
dan mempunyai karakter bunyi a adalah krek, krek, krek.

Gong Pamungkas, peralatan musik ini disimbolkan


sebagai final prosesing dari suatu usaha dalam
melaksanakan tugas yang berhasil. Dalam pementasan
kesenian dongkrek biasanya menggunakan satu buah
yang dimaksudkan sebagai akhir usaha yang berhasil.

10
E. NILAI BUDAYA KESENIAN DONGKREK

Nilai Budaya yang terkandung dalam Kesenian Dongkrek adalah Nilai

Kesenian dan Nilai Tradisi. Nilai budaya kesenian adalah karena Dongrek merupakan

kesenian rakyat kabupaten Madiun khususnya di kelurahan Mejayan yang telah

diwariskan secara turun temurun. Nilai budaya tradisi karena Dongkrek merupakan

kegiatan tardisi masyarakat Mejayan yang tidak pernah ditinggalkan setiap tahun pada

tanggal 1 Suro, kesenian dongkrek sebagai ritual tolak bala dilaksanakan oleh

seluruh masyarakat Mejayan dengan arak-arakan keliling kampung/desa.

Nilai Budaya kesenian Dongkrek bila dijabarkan secara rinci adalah:

a. Nilai Budaya, Menurut Koentjaraningrat (1990:90) salah satu bagian adat yang

paling tinggi dan paling abstrak adalah nilai budaya. Sistem nilai budaya

merupakan konsep-konsep mengenai apa yang mereka anggap bernilai,

berharga, dan penting dalam hidupnya, sehingga dapat berfungsi sebagai

suatu pedoman yang dapat memberi arah dan orientasi kepada kehidupan

para warga masyarakat

b. Nilai Pendidikan, Ali dkk menyatakan bahwa konsep pendidikan dapat berarti

proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang

dalam rangka untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran,

pelatihan, proses, dan perbuatan ( Soepratno, 2010:370 )

c. Nilai Moral, Konsep moral menurut Ali dkk. dapat berarti suatu ajaran tentang

baik buruknya yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,

akhlak, budi pekerti atau susila (Supratno, 2010:394).

Seni dongkrek mengandung pendidikan nilai moral yang menggambarkan

tentang suatu kejahatan akan terkalahkan oleh kebenaran.

11
d. Nilai Religius

Kesakralan seni dongkrek dapat dikatakan sebagai suatu kepercayaan,

dan mengandung unsur keagamaan. Soedarsono (2002: 126) berpendapat seni

pertunjukan ritual memiliki ciri-ciri khas, yaitu:

1. diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral;

2. diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga

dianggap sakral;

3. diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci,

atau yang telah membersihkan diri secara spiritual;

4. diperlukan seperangkat sesaji, yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan

macamnya;

5. tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis;

6. dan diperlukan busana yang khas.

Proses ritual untuk pengusiran pagebluk (tolak bala), dilakukan dengan

cara:

1. para parogo pilihan, yang dipandang mampu untuk melakukan upacara

ritual tersebut didatangkan lebih dahulu di pendopo palangan, untuk

mendapatkan petunjuk dari eyang palang;

2. Para parogo mulai lelampah menurut petunjuk yang telah ditentukan;

3. pada malam yang telah ditentukan, yaitu malam jumat legi, semua parogo

berkumpul di pendopo mengadakan selamatan untuk memohon berkah

kepada Tuhan Yang Maha Esa atas telah terjadinya perbuatan gendruwo;

4. dan saat tepat tengah malam dengan iringan mantra dan puji-pujian,

diberangkatkanlah serombongan prosesi ritual pengusiran pagebluk itu di

pendopo dalem palangan, berjalan pelan-pelan menyusuri jalan-jalan di

12
seluruh pelosok desa Mejayan, sampai waktu menjelang pagi. Dalam

prosesi ritual keliling desa ini para parogo Dongkrek khususnya parogo

gendrowon wajib untuk tidak mengenakan busana (semua parogo terdiri dari

kaum laki-laki).

Adapun aturan prosesi ritual ialah:

1. obor terbuat dari bambu;

2. dupa yang selalu mengepulkan asap bau kemenyan yang dibawa oleh

pembaca mantra;

3. pusaka palangan yang dibawa oleh waris terpilih dibawah Payung

Agung (pusaka palangan);

4. beberapa syarat tolak bala yang lain, bermacam-macam tumbal dan takhir

plontang yang berisi bermacam bubur beras dan ditanam di tempat-

tempat yang telah ditentukan, seperti di perempatan jalan, pertigaan dan

di sudut-sudut desa;

5. gendruwon dan peralatan lainnya;

6. para sesepuh yang gamben-gamben (berilmu tinggi).

e. Nilai Kepemimpinan

Konsep kepemimpinan menurut Ali dkk. dapat berarti perihal pemimpin atau

cara memimpin (Supratno 2010:376). Sedangkan yang dimaksud nilai

kepemimpinan dalam seni dongkrek adalah sesuatu yang baik dan benar, yang

dimiliki seorang pemimpin agar dapat memimpin anak buahnya dengan atau

rakyatnya secara baik, jujur, adil, arif, dan bijaksana yang terdapat dalam seni

dongkrek. Nilai kepemimpinan dalam seni dongkrek digambarkan oleh eyang

palang sebagai pemeran R. Tumenggung Prawirodipoero yang memimpin

rakyat Desa Mejayan dengan arif, penuh tanggung jawab, dan bijaksana.

13
F. Nilai Kepahlawanan

Konsep kepahlawanan menurut Ali dkk. dapat berarti orang yang menonjol

karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang

yang gagah berani (Supratno 2010:380). Sedangkan yang dimaksud nilai

kepahlawanan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang baik dan benar yang

dimiliki oleh seseorang tokoh yang menonjol karena keberaniannya dan

pengorbanannya dalam membela kebenaran yang terdapat dalam seni dongkrek

.Nilai kepahlawanan dalam kesenian Dongkrek digambarkan oleh eyang palang

sebagai pemeran tokoh Raden Tumenggung Prawirodipoero yang berani

berjuang melawan buto/gendruwo untuk menyelamatkan rakyatnya dari

pageblug.

G. Nilai Estetika

Konsep estetika dapat diartikan sebagai filsafat tentang keindahanm baik yang

terdapat dialam maupun dalam aneka benda seni buatan manusia. Estetika

muncul dilingkungan kebudayaan Barat, dimulai sejak zaman Yunani kuno,

yakni sejak Plato, Aristoteles, dan Sokrates (Sumardjo, 2000:33). Sedangkan

yang dimaksud nilai estetika dalam penelitian ini adalah sesuatu yang indah,

dapat dinikmati dan dapat menghibur.

Nilai estetika dalam kesenian Dongkrek dapat dilihat dan di dengar lewat suara

alat musiknya, bentuk alat musiknya, tata rias dalam topeng, tariannya dan

unsur drama/cerita yang terkandung dalam kesenian dongkrek.

14
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Topeng dongkrek sebagai kesenian rakyat yang menjadi salah satu ciri khas

dari kesenian dongkrek kecamatan Mejayan kabupaten Madiun memiliki bentuk yang

sederhana dan mencerminkan kehidupan masyarakat mejayan sendiri. Namun

demikian dalam perkembangannya kesenian Dongkrek mengalami penurunan

perhatian dari masyarakat.

Bentuk pertunjukan kesenian Dongkrek adalah penampilan perpaduan antara

musik, tari, dan didalamnya terkandung unsur cerita/ drama.

Adapun struktur dalam pertunjukan ini dapat dilihat dari bentuk alat musiknya.

Bentuk topeng sebagai perwatakan/ karakter tokoh yang diperankan. Bentuk peralatan

musik yang digunakan dalam pertunjukan kesenian Dongkrek terdiri dari: kentongan;

kenong; bedug; beri; korek; dan gong pamungkas. Bentuk topeng terdiri dari empat

topeng: topeng buto/ gendruwo; topeng roro perot; topeng roro ayu, dan topeng

eyang palang.

Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian Dongkrek yaitu

nilai pendidikan, nilai moral, nilai kepemimpinan, nilai kepahlawanan, dan nilai

estetika. Dari kesenian dongkrek dapat dilihat beberapa fungsinya yakni: sebagai cara

untuk pemenuhan kebutuhan psikologis; sebagai cara untuk mengekspresikan diri;

sebagai cara untuk melepas ketegangan; dan sebagai hiburan. Bentuk topeng

yang terkandung dalam kesenia dongkrek mengandung makna dan disimbolkan

dengan topeng gendruwo (buto) sebagai simbol kejahatan, eyang palang sebagai

simbol seorang tokoh dalam kebaikan.

15
B. SARAN-SARAN

Dalam upaya ikut melestarikan kesenian di daerah Madiun dengan

mengangkat tema karakteristik topeng Dongkrek kecamatan Mejayan, penulis

berharap bisa mengajak pembaca mau mengenal, menjaga juga melestarikan

kesenian dari daerah asal masing-masing agar dapat memperkaya pengetahuan dan

wawasan mengenai kebudayaan di seluruh Indonesia.

16
LAMPIRAN FOTO-FOTO KEGIATAN

17
18
19

Anda mungkin juga menyukai