Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,
maupun susunan saraf pusat.. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak
bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua
umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian,
pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang
terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 %
penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Belum diketahui angka
kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini termasuk jarang kira-kira 1
orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun
pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat.
Frekuensi puncak pada usia dewasa muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab
kelumpuhan yang utama di negara maju atau berkembang seperti Indonesia.
Melihat fatalitas kejadian SGB dan pentingnya pengenalan tanda gejala serta
tatalaksana terhadap SGB maka dalam referat ini akan dikaji mengenai topik tersebut.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindrom Guillain-Barré adalah gangguan di mana sistem kekebalan tubuh
menyerang sistem saraf perifer. Gejala pertama dari gangguan ini meliputi
berbagai tingkat kelemahan atau kesemutan di kaki. Dalam banyak kasus,
kelemahan dan sensasi yang abnormal menyebar ke lengan dan tubuh bagian atas.
Gejala-gejala ini intensitasnya dapat meningkatkan hingga otot-otot tidak dapat
digunakan sama sekali dan penderita hampir sepenuhnya lumpuh (NINDS, 2016).
Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik
akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai
dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan
cepat menjalar ke otot-otot proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel
inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini
dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus
(sitomegalovirus,Virus Epstein Barr) atau campylobacter jejuni. (Robbin &
Cotran, 2010).

B. Klasifikasi
GBS diklasifikasikan menurut gejala dan dibagi menjadi bentuk aksonal dan
demielinasi.

2
Gambar 1. Subtipe Mayor Sindrom Guillain Barre

1. Sensorik dan motorik : acute inflammatory demyelinating polyneuropathy/


AIDP (paling umum) atau acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN).
2. Motorik : acute motor demyelinating neuropathy (AMDN) atau acute motor
axonal neuropathy (AMAN)
Sindrom Miller-Fisher : oftalmoplegia, ataksia, and arefleksia (disebut juga
dengan Fisher's syndrome).
3. Bickerstaff's brainstem encephalitis (BBE): Mirip dengan sindrom Miller-
Fisher namun terdapat perubahan kesadaran (ensefalopati) atau tanda
hiperefleksia, atau keduanya.
4. Faring-serviks-brachial: kelemahan lengan akut, disfungsi menelan, dan
kelemahan wajah.
5. Pandysautonomia akut: diare, muntah, pusing, sakit perut, ileus, hipotensi
Ortostatik dan retensi urin, pupil tonik bilateral, denyut jantung fluktuatif,
penurunan keringat, air liur, dan lakrimasi.

3
6. Sensorik murni: gangguan sensorik akut, ataksia sensorik, dan arefleksia
namun tidak ada keterlibatan motorik.

C. Epidemiologi
GBS telah dilaporkan kejadiannya di seluruh dunia. Kebanyakan penelitian
menunjukkan angka kejadian tahunan mirip dengan yang di Amerika Serikat,
tanpa pengelompokan geografis. AMAN dan AMSAN terjadi terutama di China
utara, Jepang, dan Meksiko, mencapai angka hanya 5-10% persen dari kasus SGB
di Amerika Serikat. AIDP menyumbang hingga 90% dari kasus di Eropa,
Amerika Utara, dan negara maju (Prevots & Sutter, 1997; Kushnir, 2008;
Landaverde, 2010).
Studi epidemiologi dari Jepang menunjukkan bahwa di wilayah ini,
dibandingkan dengan Amerika Utara dan Eropa, persentase yang lebih besar dari
kasus SGB berhubungan dengan infeksi Campylobacter jejuni dan sejumlah kecil
terkait dengan infeksi CMV. Demikian pula, telah dilaporkan bahwa 69% dari
kasus SGB di Dhaka, Bangladesh, memiliki bukti klinis infeksi Campylobacter
jejuni (Islam et al, 2010).
Sindrom Guillain Barre telah dilaporkan pada semua kelompok umur,
dengan sindrom terjadi setiap saat antara bayi dan usia tua. Di Amerika Serikat,
distribusi usia sindrom ini tampaknya bimodal, dengan puncak pertama pada usia
dewasa muda (usia 15-35 y) dan yang kedua, lebih tinggi pada orang paruh baya
dan lanjut usia (usia 50-75 y). Bayi tampaknya memiliki risiko terendah terkena
SGB (Jiang et al, 1996).
Sindrom Guillain Barre memiliki rasio laki-laki-perempuan 1,5: 1; dominan
laki-laki ini terutama terlihat pada pasien yang lebih tua. Sindrom Guillain Barre
telah dilaporkan di seluruh masyarakat internasional; tidak ada dominan ras ada.
Di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia, kebanyakan pasien dengan SGB
memenuhi kriteria elektrofisiologi untuk demielinasi polineuropati. Di China
utara, hingga 65% dari pasien dengan GBS memiliki patologi aksonal (Ho et al,
1995).

4
D. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara
lain infeksi, vaksinasi, pembedahan, penyakit sistematik seperti keganasan;
systemic lupus erythematosus; tiroiditis; penyakit Addison, serta kehamilan atau
dalam masa nifas. Sindrom Guillain Barre sering sekali berhubungan dengan
infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% sampai dengan
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal (Yuki & Hartung, 2012;
Pritchard, 2010).

Tabel 1. Infeksi Akut yang berhubungan dengan GBS (Japardi, 2002 )


Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza, Measles,
EBV Varisella zoster Mumps, Rubela,
Small pox Hepatitis,
Coxsackie
Bakteri Campylobacter Typhoid Paratyphoid,
jejuni Brucellosis,
Mycoplasma Chlamydia,
pneumonia Legionella, Listeria

E. Tanda dan gejala


1. Kriteria diagnosis menurut Asbury & Cornblath tahun 1990 :
a. Kriteria yang harus ada
1) Kelemahan progresif lebih dari 1 anggota gerak
2) arefleksia

5
b. Kriteria yang menunjang diagnosis
1) Progresivitas gejala dalam beberapa hari sampai 4 minggu
2) Gejala relatif simetris
3) Gangguan sensoris ringan
4) Katerlibatan saraf kranial (paling sering N VII), kelemahan bilateral
otot wajah
5) Perbaikan dimulai dalam 2-4 minggu setelah progresi kasus
6) Disfungsi autonom ringan
7) Tanpa demam
8) Protein cairan serebro spinal meningkat setelah 1 minggu, jumlah
kurang dari 10x10/L
9) Leukosit cairan serebro spinal <10/mm3
10) Fitur elektrodiagnostik yang khas : pelambatan hantar saraf.
c. Meragukan diagnosis
1) Kelemahan asimetris
2) Disfungsi persisten buang air kecil dan buang air besar
3) Disfungsi buang air kecil atau buang air besar saat onset penyakit
4) Leukosit mononuclear >50/mm3 atau adanya leukosit
polimorfonuklear di CSS
5) Level sensoris jelas
d. Mengeksklusikan diagnosa.
1) Terdiagnosa sebagai polineuropati lain (botulisme, miastenia,
poliomyelitis, paralisis histerikal, neuropati toksik)
2) Penyalahgunaan heksakarbon
3) Metabolism porfirin abnormal
4) Belum lama mengalami infeksi difteria
5) Intoksikasi timbal
6) Gangguan sensoris saja tanpa kelemahan

6
2. Tanda dan gejala Klinis (BMJ, 2016)
a. Adanya faktor risiko : infeksi virus, infeksi bakteri, imunisasi, kanker
dan limfoma, usia tua (40 tahun), inveksi HIV, jenis kelamin laki-laki
b. Kelemahan otot
c. Distress respirasi
d. Gangguan bicara
e. Parestesia
f. Nyeri pungung dan kaki
g. Arefleksia dan hiporefleksia
h. Kelamahan otot wajah
i. Kelemahan orofaringeal
j. Kelemahan otot ekstra okuli
k. Diplopia
l. Disartria
m. Disfagia
n. Disautonomia
o. Ptosis
p. Perubahan tingkat kesadaran
q. ataksia

3. Pemeriksaan Penunjang (BMJ, 2016)


a. Pemeriksaan konduksi saraf : menunjukkan perlambatan kecepatan
konduksi saraf
b. Pungsi lumbal : peningkatan protein cairan serebro spinal, limfosit
normal atau sedikit mengalami peningkatan (<50 sel/mm3)
c. Fungsi hepar : peningkatan AST dan ALT sebanyak 500 U/L, bilirubin
dapat meningkat perlahan namun jarang cukup tinggi untuk
menyebabkan jaundice
d. Spirometri : menunjukkan penurunan kapasitas vital, tekanan inspirasi
maksimal, aatau tekanan ekspirasi maksimal

7
e. Antibody antigangliosid : Acute motor-sensory axonal neuropathy
(AMSAN): GM1, GM1b, GD1a; acute motor axonal neuropathy
(AMAN): GM1, GM1a, GD1a, GalNac-GD1a; Miller-Fisher
syndrome: GQ1b, GT1a GQ1b; Sindrom Miller-Fisher/GBS overlap
syndrome: GQ1b, GM1, GM1a, GD1a, GalNac-GD1a; acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP):
antibody tidak diketahui; Miller-Fisher syndrome/GBS overlap
syndrome: GQ1*, GM1, GM1a, GD1a, GalNac-GD1a

8
F. Diagnosis Banding (BMJ, 2016)

Tabel 2. Diagnosis Banding Sindrom Guillain Barre


No Diagnosis Tanda dan Gejala Pemeriksaan Penunjang
1 Myelitis 1. Kehilangan fungsi sensorik dan 1. Analisis CSS :
transverse motorik asimetris pada pleositosis dengan
ekstermitas bawah, disfungsi peningkatan limfosit
buang air kecil atau buang air yang tidak terlalu
besar dengan inkontinensia yang menonjol dan
persisten, nyeri radukuler peningkatan total
segmental protein
2. Terdapat tanda upper motor 2. MRI menunjukkan
neuron (hiperrefleksia, babinski demyelinasi fokal
positif), level sensoris
2 Miastenia 1. Keterlibatan awal dari kelompok 1. Studi elektrofisiologi
gravis otot ekstra ocular, levator, rahang, menunjukkan
leher, dan otot respirasi. Kadang konduksi saraf yang
muncul tanpa kelemahan anggota normal dan ada
gerak. respons dekremental
2. Kelelahan berlebihan dan variasi terhadap stimulasi
tanda dan gejala dalam satu hari saraf yang repetitive
3. Terdapat refleks, tidak terdapat 2. EMG menunjukkan
fitur sensoris, disautonomia, dan jitter dan bloking
disfungsi buang air kecil abnormal
3. Edrofonium tes
biasanya positif
3 Sindrom Dapat sulit dibedakan karena klinis yang 1. Aplitudo yang rendah
miasteik mirip. Sindrom ini perkembangan gejala dari compound muscle
Lambert- klinis lebih lambat, mulut kering, jarang action potential
Eaton melibatkan otot pernafasan, potensiasi (CMAP), setelah
refleks setelah latihan atau kontraksi. stimulus saraf tunggal,
peningkatan amplitude
CMAP setelah
kontraksi volunter,
atau stimulasi
repetitive dengan
frekuensi tinggi.
4 Botulisme 1. Riwayat memakan makanan 1. studi elektrofisiologis :
mengandung toksin botulinum amplitudo bangkitan
2. Paralisis desending, dimulai dari potensial otot
otot bulbar kemudian ekstremitas, berkurang,
wajah, leher, dan otot respiraso peningkatan amplitudo
3. Otot pernafasan terlibat dengan dengan stimulasi saraf

9
kelemahan ekstremitas yang berulang, dan
ringan, refleks baik peningkatan jumlah
4. Terdapat ptosis, pupil dilatasi unit miopati, yang
non reaktif. Pupil dilatasi non atipikal untuk GBS.
reaktif sering ada pada botulisme
5. Konstipasi
5 Polimiositis 1. terdapat nyeri otot di bahu dan 1. Peningkatan laju
lengan atas, keterlibatan otot sedimentasi eritrosit,
fleksor leher tidak sebanding konduksi saraf normal,
dengan kelemahan anggota gerak, perubahan miopatik
tidak ada gejala sensori, terdapat dengan fibrilasi pada
refleks, tidak ada disautnomia, EMG.
terdapat lesi kulit, yang 2. Biopsy otot
klinisnnya berbeda dengan SGB. menunjukkan
destruksi serat otot
dan regenerasi, dan
infiltrat limfosit.
6 Neuropati 1. Nyeri dan kelemahan otot 1. Dapat mengalami
vaskulitik asimetris, jarang ada keterlibatan peningkatan laju
saraf cranial, paralisis repratori sedimentasi eritrosit
dan disfungsi sphincter. 2. Cairan serebrospinal
2. Pasien biasanya mengeluhkan tidak menunjukkan
demam, kelelahan, kelemahan, disosiasi
atralgia. albuminositologi
3. Studi elektrofisiologi
menunjukkan
denervation
4. Biopsy saraf
menunjukkan tanda
inflamasi dan
perlukaan

10
G. Patomekanisme

Gambar 2. Kronologi Sindrom Guillain Barre

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang


mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah: Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler
(cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi; adanya auto
antibodi terhadap sistem saraf tepi: dan didapatkannya penimbunan kompleks antigen
antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demyelinisasi saraf tepi (Japardi, 2002).

11
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus.
1. Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini
terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui
makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh
virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar
darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag .
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
2. Antibodi anti gangliosid
Pada seetengah pasien dengan SGB, serum antibody terhadap bermacam
gangliosid ditemukan di sistem saraf tepi manusia. Diantaranya : LM 1, GM 1,
GM1b, GM2, GD1a, Ga1NAc-GD1a, GD1b, GD2, GD3, GT1a dan GQ1b.
Gangliosid memiliki distribusi jaringan spesifik di sistem saraf tepi dan memiliki
peran dalam menyusun struktur membrane sel. Hal yang menarik antibody
tersebut spesifik mengarah ke subgroup SGB tertentu. Antibody terhadap GM1,
GM1b, GD1a, dan Ga1NAc-GD1a berhubungan dengan varian motorik atau
aksonal dari SGB. Antibody terhadap GD 3, GT1a, dan GQ1b berhubungan
dengan oftalmoplegi dan Sindrom Miller Fisher.

12
3. Mimikri molekuler dan kros reaktivitas
Campylobacter jejuni yang diisolasi dari pasien mengekspresikan lipo-
oligosakarida (LOS) yang meniru (mimik) karbohidrat pada gangliosid. Tipe
mimikri gangliosid pada C jejuni menentukan spesifisits antibody antigangliosid
dan varian dari SGB. Campylobacter jejuni yang diisolasi dari oasien dengan
motor atau aksonal SGB sering menunjukkan GM1-like dan GD1a-like LOS,
sementara yang diisolasi dari pasien dengan ftalmoplegi atau Sindrom Miller
Fisher biasanya menunjukkan GD3-like, GT1a-like, atau GD1c-like LOS.
Antibodi pada pasien tersebut biasanya kros reaktif dan mengenali LOS,
gangliosid, dan kompleks gangliosid.
4. Aktivasi komplemen
Studi menunjukkan bahwa aktivasi komplemen local terjadi pada tempat
dimana kerusakan sarah terjadi, seperti di aksolemma pada pasien dengan AMAN
dan membrane sel Schwann pada pasien dengan AIDP.
5. Faktor inang
Faktor inang mungkin dapat mempengaruhi kerentanan terkena SGB,
ekstensifitas kerusakan saraf, fan outcome.
6. Prubahan struktur saraf
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan
bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang
ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini
segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan
berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan

13
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin
dari sel schwan dan akson (Japardi, 2002).

14
Gambar 3. Imunobiologi Sindrom Guillain Barre (Van Doorn et al, 2008)

15
Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental
saraf perifer. Keadaan ini menghalangi transmisi impuls elektris yang normal
disepanjang radiks saraf sensoris. Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi
dan perubahan degeneratif pada radiks saraf posterior (sensoris) maupun anterior
(motorik), maka tanda-tanda gangguan sensoris dan motorik akan terjadi
secara bersamaan. (Jennifer PK et al, 2011)

Gambar 4. Kerusakan Saraf pada Sindrom Guillain Barre (Ben-Joseph, 2013)

16
H. Tatalaksana

Gambar 5. Alur Pendekatan Terapi untuk Sindrom Guillain Sindrom (Willison et al,
2016)

17
Skala Disabilitas Sindrom Guillain Barre menurut Hughes, 1978

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal
onset gejala (minggu pertama).
2. Pengobatan imunosupresan:
Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

18
3. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a. 6 merkaptopurin (6-MP)
b. Azathioprine
c. Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.

I. Prognosis
Sindrom Guillain-Barré dapat menjadi gangguan yang serius karena
onsetnya yang mendadak dan tak terduga. Kebanyakan orang mencapai tahap
kelemahan terberat dalam 2 minggu pertama setelah gejala muncul, dan pada
minggu ketiga penyakit 90 persen dari semua pasien berada pada keadaan
terlemah mereka. Periode pemulihan mungkin selama beberapa minggu atau
beberapa tahun. Sekitar 30 persen pasien Guillain-Barré masih memiliki
kelemahan sisa setelah 3 tahun. Sekitar 3 persen mungkin menderita kelemahan
otot kembali dan kesemutan bertahun-tahun setelah serangan awal (NINDS,
2016).

19
III. KESIMPULAN

A. Sindrom Guillain-Barré adalah gangguan di mana sistem kekebalan tubuh


menyerang sistem saraf perifer. Gejala pertama dari gangguan ini meliputi
berbagai tingkat kelemahan atau kesemutan di kaki. Dalam banyak kasus,
kelemahan dan sensasi yang abnormal menyebar ke lengan dan tubuh bagian
atas. Gejala-gejala ini intensitasnya dapat meningkatkan hingga otot-otot tidak
dapat digunakan sama sekali dan penderita hampir sepenuhnya lumpuh
(NINDS, 2016).
B. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya GBS, antara lain infeksi, vaksinasi, pembedahan, penyakit
sistematik seperti keganasan; systemic lupus erythematosus; tiroiditis;
penyakit Addison, serta kehamilan atau dalam masa nifas. Sindrom Guillain
Barre sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
C. Tujuan terapi khusus SGB adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

20
DAFTAR PUSTAKA

Asbury A.K., Cornblath D.R. Assessment of current diagnostic criteria for


Guillain-Barré syndrome Ann Neurol 1990 ; 27 (Suppl.) : S21-S24.

Ben-Joseph EP. 2013. “Guillain Barre Syndrome”. Tersedia di :


https://www.akronchildrens.org/cms/kidshealth/cf0d777a82ee460b/ (diakses pada 12
Januari 2017).

BMJ. 2016.”Guillain-Barre Syndrome”. Tersedia di :


http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/176/diagnosis/history-and-
examination.html (diakses pada 12 Januari 2017).

Ho TW, Mishu B, Li CY, Gao CY, Cornblath DR, Griffin JW, et al. Guillain-
Barré syndrome in northern China. Relationship to Campylobacter jejuni infection
and anti-glycolipid antibodies. Brain. 1995 Jun. 118 ( Pt 3):597-605. [Medline].

Hughes RA, Newsom-Davis JM, Perkin GD, Pierce JM. Controlled trial
prednisolone in acute polyneuropathy. Lancet 1978; 2: 750–3.

Islam Z, Jacobs BC, van Belkum A, Mohammad QD, Islam MB, Herbrink P, et
al. Axonal variant of Guillain-Barre syndrome associated with Campylobacter
infection in Bangladesh.Neurology. 2010 Feb 16. 74(7):581-7. [Medline].

Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Tersedia di :


http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf. Diakses pada
12 Januari 2017.

Jennifer PK, Wels W, dkk. 2011. Guillan-Barre Sindrome dalam Professional


Guide To Pathophysiology. Penerbit EGC, Jakarta.

Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigård K, Olsson T, Link H. Pregnancy and


Guillain-Barré syndrome: a nationwide register cohort study. Neuroepidemiology.
1996. 15(4):192-200. [Medline].

Kushnir M, Klein C, Pollak L, Rabey JM. Evolving pattern of Guillain-Barre


syndrome in a community hospital in Israel. Acta Neurol Scand. 2008 May.
117(5):347-50. [Medline].

Landaverde JM, Danovaro-Holliday MC, Trumbo SP, Pacis-Tirso CL, Ruiz-


Matus C. Guillain-Barré syndrome in children aged J Infect Dis</i>. 2010 Mar.
201(5):746-50. [Medline].

21
NINDS. 2016. “Guillain Barre Syndrome Information Page”. Tersedia di :
https://www.ninds.nih.gov/Disorders/All-Disorders/Guillain-Barr%C3%A9-
Syndrome-Information-Page#disorders-r3 (diakses pada 12 Januari 2017)

Prevots DR, Sutter RW. Assessment of Guillain-Barré syndrome mortality and


morbidity in the United States: implications for acute flaccid paralysis surveillance. J
Infect Dis. 1997 Feb. 175 Suppl 1:S151-5. [Medline].

Pritchard J. Guillain – Barré Syndrome. Clinical Medicine 2010, Vol 10, No 4:


399 – 401

Robbins, Cotran. Penyakit saraf perifer dalam Dasar Patologis


Penyakit.Penerbit EGC, Jakarta, 2010)

Van Doorn PA, Ruts L, Jacobs DC. Clinical features, pathogenesis, and
treatment of Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50.

Willison HJ, Jacobs BC, van Doorn PA. Guillain-Barré syndrome. Lancet 2016;
388: 717–27.

Yuki N, Hartung HP. Guillain – Barré Syndrome. N Engl J Med


2012;366:2294-304.4.

22

Anda mungkin juga menyukai