Anda di halaman 1dari 6

Turunnya Angka Kelahiran di Negara Maju

Turunnya Angka Kelahiran di Negara Maju

Jumlah penduduk yang besar dapat dilihat sebagai potensi penyedia tenaga kerja dan pangsa pasar
prospektif yang dapat dijadikan penopang pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

Berbagai literatur ekonomi dan teori pertumbuhan menunjukkan, pertumbuhan penduduk merupakan
faktor penting pendorong pertumbuhan ekonomi Negara-negara maju, seperti Jepang, Perancis, Jerman,
dan Inggris berusaha meningkatkan pertumbuhan penduduk agar ekonomi tumbuh berkelanjutan
dengan memberi berbagai insentif agar orang mau menikah dan memproduksi banyak anak.

Kondisi yang berbeda terjadi di negara-negara berkembang di mana pemerintah berusaha keras
menurunkan angka kelahiran. Penduduk besar bukan berkah bagi pembangunan, tetapi beban, karena
pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lain.
Indonesia sebagai negara penyumbang ke-4 populasi dunia berusaha untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB). Upaya itu membuahkan penurunan angka
kelahiran dari 5,6 tahun 1970-an menjadi 2,4 tahun 2000

Strategi Menurunkan Angka Kelahiran

Angka kelahiran 2,4 merupakan angka yang masih terlalu tinggi sehingga perlu ada upaya untuk
menurunkannya. Apakah program KB bisa diharapkan untuk menurunkan angka kelahiran? Jawabannya,
ya. Namun, pendekatan program KB harus diubah mengikuti perkembangan zaman dan perubahan sosial
ekonomi masyarakat.

Kebijakan pengendalian penduduk/Keluarga Berencana harus disesuaikan dengan perkembangan zaman


dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ke depan, kebijakan Keluarga Berencana diarahkan ke bagian
hulu, yaitu menyelesaikan faktor penyebab tingginya angka kelahiran. Jika faktor-faktor tersebut bisa
diselesaikan, diyakini masyarakat akan menurunkan jumlah anak dalam keluarga.
Frank Lorimer dalam buku culture and fertility. Asumsinya terdapat hubungan antara system kekerabatan
dan fertilitas. System kekerabatan lineal memberi dorongan terhadap fertilitas yang tinggi merupakan
kesimpulan dari tulisannya.

Proses perubahan angka kelahiran dan angka kematian di dalam demografi diterangkan dengan teori
transisi demografi. Tiga tahap transisi demografi yaitu pratransisi, transisi dan pasca transisi.

· Pada fase awal, angka kematian menurun tetapi angka kelahiran tetap tinggi dengan perbaikan
kesehatan aaada kemungkinan angka kelahiran mengalami kenaikan

· Pada masa transisi tengah, baik angka kematian maupun angka kelahiran menurun, namunangka
kematian menurun lebih cepat. Dengan demikian penduduk bertambah dengan pesat

· Pada masa transisi akhir, angka kematian rendah atau menurun sedikit sedangkan angka kelahiran
berkisar antara sedang dan rendah. Pada fase ini pengetahuan dan praktek keluarga berencana sudah
meluas.

Di negara barat, proses penurunan angka kelahiran melalui praktek keluarga berencana tidak dikenal
sama sekali sebagaimana di negara berkembang yang dijadikan program pemerintah. Di Barat yang
justru menyuarakan pentingnya penurunan jumlah penduduk untuk meningkatakan kualitas hidup dan
mencegah kemiskinan adalah pejuang keluarga berencana dan bukan pemerintah. Adalah; Francis place
(1771-1854), Edwarf trueiove (1878-79), Dr. Knolton, Robert Dale Owen, William robinson dan Mrgaret
sanger; mereka adalah para pejuang keluarga berencana di barat. Majalah Malthusian memberitakan
bahwa kontrasepsi adalah obat penting untuk mencegah kemiskinan akibat jumlah anak dan penduduk
terlalu banyak.

Penurunan angka kelahiran pada berbagai masyarakat berkaitan dengan peralihan dari masyarakat
agraris ke masyarakat industri. Padahal negara-negara industry pada umumnya tidak mempunyai
program resmi keluarga berencana untuk penurunan angka kelahiran. Penurunan angka kelahiran
dengan alat kontrasepsi dibarengi motivasi mempunyai anak sedikit.

Sementara itu, negara-negara berkembang mempunyai program keluarga berencana. Pelaksanaan


program KB di berbagai negara berkembang didasarkan pada perhitungan ekonomi. Program KB
menggunakan isu /topic tertentu. Lambing-lambang dan kampannye program KB pada umumnya
ditujukan untuk mengembangkan norma-norma keluarga kecil dan memperlemah preferensi terhadap
anak laki-laki. Topic preferensi jenis kelamin anak dibicarakan dalam berbagai studi penelitian ilmuwan
social di berbagai Negara.
Freedman dan Coombs menyimpulkan bahwa dalam hal preferensi terhadap anak laki-laki terdapat
perbedaan antara Negara industry dan Negara berkembang. Sejalan dengan toppik preferensi anak
banyak juga penelitian dilakukan tentang nilai anak dalam keluarga. Ada dua macam beban ekonomi
anak; yakni beban financial dan biaya alternative atau opportunity cost. Beban financial merupakan
biaya pemeliharaan langsung, seperti makan, pakaian, rumah, pendidikan dan perawatan kesehatan.
Biaya alternative merupakan biaya yang dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh
anak.

Dampak global program keluarga berencana pada Negara berkembang adalah penurunan fertilitas. Ada
program KB yang didukung kekuatan politik seperti Indonesia, RRC, Bangladesh, dan Kenya, dan ada yang
sukses tanpa dukungan politis seperti Thailand, korea, Taiwan costa rica dan Colombia.

Selain itu, perlu ada program tambahan sebagai pelengkap program KB.

Strategi untuk menekan laju angka kelahiran :

Menurunkan angka kematian bayi

Kedua kebijakan itu terlihat tidak saling berhubungan, tetapi mari ditelaah secara saksama. Berdasar
riset yang penulis lakukan terkait permintaan anak di Asia Tenggara dan Asia Selatan, tingginya angka
kematian bayi berkorelasi positif dengan tingginya angka kelahiran di mana setiap kenaikan satu
kematian bayi per 1.000 kelahiran akan menaikkan angka kelahiran sebesar 0,0183. Korelasi ini
menunjukkan, orangtua cenderung memproduksi banyak anak sebagai bagian strategi menghindari
risiko (risk averse) kehilangan anak pada waktu kecil. Mereka berharap, dengan memiliki banyak anak,
akan memperbesar probabilitas memiliki anak yang bertahan hidup sampai dewasa

Untuk menekan angka kematian bayi, tak ada cara lain selain meningkatkan program pelayanan
kesehatan ibu dan bayi, meningkatkan asupan gizi ibu dan anak, serta memperluas akses masyarakat
terhadap fasilitas kesehatan. Diyakini, meski secara rata-rata pendidikan ibu-ibu di Indonesia masih
rendah, perilaku mereka rasional seperti layaknya agen ekonomi. Kebijakan menurunkan angka kematian
bayi sama dengan menurunnya risiko investasi anak sehingga ibu-ibu akan secara sadar menurunkan
produksi anak.

Memperluas kesempatan kaum wanita untuk bekerja di sektor formal

Seorang wanita pekerja formal akan kehilangan berbagai kesempatan, seperti promosi, bahkan
penurunan produktivitas, jika mereka harus berkali-kali hamil dan melahirkan. Perluasan kesempatan
kerja di sektor formal akan meningkatkan biaya kesempatan (oppotunity cost) bagi wanita sehingga
mereka secara langsung akan menurunkan produksi anak

Peningkatan dan perluasan kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan.

Meningkatnya pendidikan berarti memperpendek usia produktif wanita untuk memproduksi anak,
meningkatkan rasionalitas kaum perempuan, dan memperluas kesempatan kaum perempuan untuk
bekerja di sektor formal. Peningkatan 1 persen female school enrollement ratio akan menurunkan angka
kelahiran 0,0170

Jaminan sosial hari tua

Salah satu alasan orangtua memiliki anak adalah agar di hari tua ada yang merawat dan membantu
secara finansial. Karena itu, para orangtua akan memproduksi banyak anak dan berharap salah satu
anaknya sukses secara sosial ekonomi sehingga bisa merawat dan membantu di hari tua. Jika fungsi
tersebut bisa diambil alih negara dengan program jaminan sosial hari tua, akan menurunkan
kekhawatiran dan memberi kepastian kepada para orangtua terkait kehidupan pada masa tua. Dengan
demikian, mereka dengan sukarela menurunkan jumlah produksi anak.

Contoh Negara Maju Dengan Tingkat Kelahiran Rendah

JERMAN

Sejak reunifikasi, Jerman merupakan negara yang paling padat penduduknya di Uni Eropa. Sekitar 82 juta
orang tinggal di wilayah Jerman, hampir seperlima di antaranya di bagian timur, di wilayah bekas RDJ.
Ada tiga kecenderungan yang menandai perkembangan demografis di Jerman: angka kelahiran yang
rendah, usia harapan hidup yang terus meningkat, serta penuaan masyarakat.

Sejak tiga dasawarsa jumlah anak yang lahir di Jerman tetap kecil: Sejak tahun 1975 statistik
menunjukkan jumlah kelahiran per perempuan sebesar 1,3 anak, dengan gerakan naik-turun angka itu
yang tidak berarti. Kesimpulannya, sejak 30 tahun besar generasi anak lebih kecil sepertiga dibandingkan
dengan besar generasi orang-tua. Berkat pendatang yang pindah dalam jumlah besar dari negara lain ke
Jerman bagian barat, penurunan jumlah penduduk yang sebanding dengan angka kelahiran dapat
dicegah. Pada waktu yang sama usia harapan hidup meningkat terus. Dewasa ini angkanya 77 tahun
untuk laki-laki dan 82 tahun untuk perempuan.
Meningkatnya usia harapan hidup, lebih-lebih lagi angka kelahiran yang rendah menyebabkan
kecenderungan ketiga: Bagian orang muda dalam jumlah penduduk seluruhnya menurun, sedangkan
bagian orang lanjut usia meningkat. Pada awal tahun 90-an, untuk setiap orang berusia 60 tahun ke atas
terdapat hampir tiga orang dalam usia kerja aktif. Pada awal abad ke-21, rasio itu hanya 1 banding 2,2.
Menurut prakiraan, dalam dasawarsa yang akan datang rasio itu akan turun lagi sampai di bawah 1
banding 2. Penuaan masyarakat termasuk tantangan terbesar di bidang politik sosial dan keluarga. Oleh
sebab itu, asuransi purnakarya pun dirombak: Pola pembiayaan tradisional yang dikenal sebagai
“perjanjian antargenerasi” makin lama makin tidak terjangkau lagi dan dilengkapi dengan dana
persiapan hari tua yang dibiayai secara perorangan. Di samping itu digiatkan pelaksanaan tindakan di
bidang politik keluarga yang dapat memacu kenaikan angka kelahiran.

JEPANG

Singapura dan Jepang dihadapkan pada persoalan kependudukan yang serius. Angka kelahiran pada
kedua negara tersebut tidak tumbuh bahkan terus menurut.

Teo Chee Hean, Deputi Perdana Menteri Singapura, mengakui bahwa penyusutan jumlah warga negara
berarti pula penyusutan tenaga kerja lokal. Saat ini pemerintah Singapura terus mendorong lebih banyak
warganya untuk memiliki keturunan.

Pekerja imigran sangat dibutuhkan untuk mengisi kekurangan tenaga kerja guna menjaga perputaran
ekonomi Singapura. Kedepan, Teo Chee menyebutkan, beban generasi mendatang akan kian besar,
akibat dari menurunnya angka kelahiran. Sekarang yang terjadi, negara ini terus membuka diri untuk
para pendatang dari berbagai negara untuk bekerja dan tinggal.

Banyak pasangan suami istri yang tidak mau mempunyai anak. Hal ini ditunjukkan dengan angka
kelahiran di tahun 2010 yang amat rendah di Singapura. Angka fertilitas total (TFR- total fertility rate/
gambaran mengenai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan dari usia 15 sampai 49
tahun) yang sudah rendah terus menurun, mencapai 1,16 di tahun 2010, dari tahun 2009 sebesar 1,22.

Angka ini jauh di bawah replacement level fertility (tingkat penggantian manusia/ kelahiran), yaitu
dengan TFR sekitar 2,2. Dengan replacement level, bila tidak ada migrasi neto yang positif, jumlah
penduduk Singapura akan berhenti bertumbuh setelah berada di era replacement level sekitar 40-50
tahun. Sedangkan Singapura telah mencapai replacement level pada tahun 1975, setelah 10 tahun
melakukan pengendalian kelahiran yang ketat. Sejak saat itu, angka kelahiran terus menurun, dan selalu
berada di bawah replacement level.

Kondisi yang mendukung penurunan angka kelahiran tersebut, diantaranya, banyak pasangan suami-istri
yang tidak ingin mempunyai anak. Pasalnya, biaya untuk membesarkan anak itu mahal sekali. Biaya saat
hamil dan melahirkan, merawat sampai membesarkan anak. Sampai kapan Singapura akan terus
mengandalkan pada migrasi internasional untuk mengimbangi kekurangan tenaga kerjanya? Entahlah!
Sementara itu di Jepang, menurut US Census Bureau July, 2003, Persentase jumlah penduduk Jepang
jika dikategorikan berdasarkan usia, maka bentuknya adalah piramida terbalik. Artinya, jumlah lansia
berada di tingkatan paling atas, berbanding terbalik dengan jumlah bayi/ kelahiran (sangat kecil). Pada
2011, tingkat kelahiran Jepang hanya 1,39, jauh dari ambang batas aman dari penciutan populasi, yaitu
2,07.

Fonemena rendahnya jumlah bayi/kelahiran di jepang dinamakan Shoshika . Penyebabnya, rendahnya


minat orang Jepang untuk menikah dan memiliki anak. Faktor globalisasi ekonomi juga sangat erat
kaitannya. Hal lainnya, banyak perusahaan menekan jumlah pekerja regular dan menggantinya dengan
pekerja non-reguler yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu, sehingga para pekerja kontrak ini tidak
memiliki pendapatan yang cukup dan terpaksa menunda kesempatan pernikahan karena alasan
finansial.

Di masa mendatang, hal yang dikhawatirkan adalah komposisi penduduk yang tidak seimbang
menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang. Yakni masalah biaya kesehatan dan
dana pensiun yang dapat berimbas bagi perekonomian Jepang. Kabarnya Pemerintah hingga saat ini
sedang kesusahan mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para
pemuda, menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.

Anda mungkin juga menyukai