Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah -

kaidah umum yang berlaku di masyarakat. Korupsi di Indonesia telah

dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Melihat realita tersebut, timbul public

judgement bahwa korupsi adalah manifestasi budaya bangsa. Telah banyak

usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun sampai saat ini

hasilnya masih belum sesuai dengan harapan masyarakat.

Pada dekade awal abad ke-21, Bangsa Indonesia menghadapi

gelombang besar pada masa reformasi berupa meningkatnya tuntutan

demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi. Sekalipun keadaan serupa

pernah terjadi pada beberapa kurun waktu yang Ialu/ namun tuntutan saat ini

mangandung nuansa yang berbeda sesuai dengan kemajuan zaman.

Tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini telah merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat

pertumbuhan juga kelangsungan pembangunan nasional. Ditengah

pembangunan nasional diberbagai bidang,aspirasi masyarakat untuk

membasmi korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat,

karena dalam kenyataannya adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan

kerugian negara yang sangat besar yang nanti pada akhirnya dapat

menimbulkan dampak krisis diberbagai bidang.


2

Untuk itu, upaya dan pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu

semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak

asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Berbagai modus operan di

penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin

canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan mengenai korupsi dirumuskan sedemikian

rupa sehingga meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan

materiil.

Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak

pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang

menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa Pengertian delik?

1.2.2 Bagaimana Sejarah Perundang - undangan Korupsi di Indonesia?

1.2.3 Bagaimana Lahirnya delik korupsi dalam perundang-undangan?

1.2.4 Bagaimana Delik Korupsi Menurut Perundang-undangan?

1.3 Tujuan

1.3.1 Menjelaskan Pengertian Delik.

1.3.2 Menjelaskan Sejarah Perundang - undangan Korupsi di Indonesia.

1.3.3 Menjelaskan Lahirnya Delik Korupsi dalam Perundang – undangan

1.3.4 Menjelaskan Delik Korupsi dalam Perundang - undangan.


3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Delik

Kata delik bersal dari bahasa latin, yaitu dellictum, yang didalam

Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam

bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam

bahasa Belanda disebut delict.

Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah

pelanggaran pidana untuk kata delik. Andi Zainal Farid (1978 : 114)

menggunakan istilah pelanggaran pidana dengan rumusan peristiwa pidana

adalah suatu perbuatan yang di ancam pidana, melawan hukum dilakukan

dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan atas

perbuatan itu.

Dalam kamus bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut

" perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang; tidak pidana."

2.2 Sejarah Perundang-undangan korupsi di Indonesia

2.2.1 Delik korupsi dalam KUHP

Delik korupsi yang ada di dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik yang

ada kaitannya dengan delik jabatan. Sesuai dengan sifat dan kedudukan

KUHP, delik korupsi yang diatur di dalamnya masih merupakan kejahatan

biasa saja.
4

2.2.2 Peraturan pemberatasan korupsi penguasa perang pusat nomor

Prt/Perpu/013/1950

Yang menarik dari ketentuan Peraturan Penguasa Perang Pusat adalah

adanya pembagian korupsi ke dalam 2 perbuatan:

a. Korupsi sebagai perbuatan pidana;

• Perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu

kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau badan yang secara langsung atau tidak langsung

merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau

merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan

negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan

kelonggaran-kelonggaran masyarakat.

• Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu

kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu

badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan

atau kedudukan.

• Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai dengan

Pasal 50 Pepperpu ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan

420 KUHP.

b. Korupsi sebagai perbuatan lainnya;

• Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan

perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
5

merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan

keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan

negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan

modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

• Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan

perbuatan melawan hukum memperkay diri sendiri atau orang

lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan

menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

2.2.3 Undang-undang No. 24 (PRP) tahun 1960 tentang tindak pidana

korupsi

Perubahan utama dari Peraturan Penguasa Perang Pusat ke dalam Undang-

undang ini adalah diubahnya istilah perbuatan menjadi tindak pidana.

2.2.4 Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi

Dalam penyusunannya, Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 ini relatif

lancar tidak mengalami masalah kecuali atas beberapa hal seperti adanya

pemikiran untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik dan keinginan

untuk memasukkan ketentuan berlaku surut.

2.2.5 TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang

bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR, disusunlah TAP No.

XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini di dalamnya memuat banyak

amanat untuk membentuk perundang-undangan yang akan mengawal


6

pembangunan orde reformasi, termasuk amanat untuk menyelesaikan

masalah hukum atas diri mantan Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya.

2.2.6 Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara

yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam undang-undang ini diatur pengertian kolusi sebagai tindak pidana,

yaitu adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar

penyelenggara negara, atau antara penyelenggara negara dan pihak lain, yang

merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Sedangkan tindak pidana

nepotisme didefinisikan sebagai adalah setiap perbuatan penyelenggara

negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan

keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan

Negara.

2.2.7 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi

Lahirnya undang-undang pemberantasan korupsi Nomor 31 tahun 1999

dilatar belakangi oleh 2 alasan, yaitu pertama bahwa sesuai dengan

bergulirnya orde reformasi dianggap perlu meletakkan nilai-nilai baru atas

upaya pemberantasan korupsi, dan kedua undang-undang sebelumnya yaitu

UU No. 3 tahun 1971 dianggap sudah terlalu lama dan tidak efektif lagi.

2.2.8 Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas

undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 merupakan undang-undang yang

lahir semata untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan undang-

undang terdahulu.
7

2.2.9 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberanatasan

tindak pidana korupsi

Lahirnya Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 merupakan amanat dari

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang menghendaki dibentuknya

suatu komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.

2.2.10 Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang pengesahan united

nation convention against corruption (UNCAC) 2003

Merajalelalanya korupsi ternyata tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir

di seluruh belahan dunia. Hal ini terbukti dengan lahirnya United Nation

Convention Against Corruption atau UNCAC sebagai hasil dari Konferensi

Merida di Meksiko tahun 2003. Sebagai wujud keprihatinan dunia atas

wabah korupsi, melalui UNCAC disepakati untuk mengubah tatanan dunia

dan mempererat kerjasama pemberantasan korupsi.

2.2.11 Peraturan pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang peran serta

masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi

Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 merupakan amanat

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang mengatur adanya peran serta

ma-syarakat dalam pemberantasan korupsi.

2.2.12 Instruksi presiden No. 5 tahun 2004 tentang percepatan

pemberantasan korupsi

Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 lahir dilatarbelakangi oleh keinginan

untuk mempercepat pemberantasan korupsi.


8

2.3 Latar belakang lahirnya delik korupsi dalam perundang-

undangan

2.3.1 Delik Korupsi yang dirumuskan oleh pembuat undang - undang

Delik yang memang dibuat dan dirumuskan sebagai delik korupsi oleh

para pembuat undang - undang. Delik korupsi yang dirumuskan oleh

pembuat undang - undang hanya meliputi 4 pasal saja yaitu Pasal 2,

pasal 3, Pasal, 13, dan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU

nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi

2.3.2 Delik Korupsi yang diambil dari KUHP.

Terdiri dari 2 bagian:

a. Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP

Merupakan delik - delik yang diambil dari KUHP yang diadopsi

menjadi delik korupsi sehingga delik tersebut di dalam KUHP

tidak berlaku lagi.

UU No. 31 tahun 1999 DIADOPSI DARI KUHP

Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 209 ayat (1) ke-1


Pasal 5 ayat (1) huruf b Pasal 209 ayat (1) ke-2
Pasal 6 ayat (1) huruf a Pasal 210 ayat (1) ke-1
Pasal 6 ayat (1) huruf b Pasal 210 ayat (2) ke-2
Pasal 7 ayat (1) huruf a Pasal 387 ayat (1)
Pasal 7 ayat (1) huruf b Pasal 387 ayat (2)
Pasal 7 ayat (1) huruf c Pasal 388 ayat (1)
Pasal 7 ayat (1) huruf d Pasal 388 ayat (2)
Pasal 8 Pasal 415
Pasal 9 Pasal 416
Pasal 10 Pasal 417
Pasal 11 Pasal 418
9

Pasal 12 huruf a Pasal 419 ke-1


Pasal 12 huruf b Pasal 419 ke-2
Pasal 12 huruf c Pasal 420 ayat (1) ke-1
Pasal 12 huruf d Pasal 420 ayat (1) ke-2
Pasal 12 huruf e Pasal 423
Pasal 12 huruf f Pasal 425 ke-1
Pasal 12 huruf g Pasal 425 ke-2
Pasal 12 huruf h Pasal 425 ke-3
Pasal 12 huruf i Pasal 435

b. Delik Korupsi yang ditarik tidak secara mutlak dari KUHP

Delik - delik yang diambil dari KUHP yang, dengan syarat

keadaan tertentu yaitu berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana

korupsi diadopsi menjadi delik korupsi namun dalam keadaan lain

tetap menjadi delik sebagaimana diatur di dalam KUHP. Berbeda

dengan penarikan secara mutlak, ketentuan delik ini di dalam

KUHP tetap berlaku dan dapat diancamkan kepada seorang pelaku

yang perbuatannya memenuhi unsur, akan tetapi apabila ada

kaitannyya dengan pemeriksaan delik korupsi maka yang akan

diberlakukan adalah delik sebagaimana diatur dalam undang -

undang pemberantasan korupsi.

Delik korupsi yang ditarik tidak secara mutlak dari KUHP terdapat

di dalam pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, yaitu diambil dari Pasal 220, 231, 421, 442, 429,

dan 430 KUHP


10

2.4 Delik Korupsi Menurut UU No. 31 Tahun 1999 JO. UU No. 20 Tahun

2001

Berdasarkan undang-undang, kita dapat membedakan 30 perbuatan yang

masuk kategori sebagai delik korupsi. 30 perbuatan korupsi itu diatur dalam

13 pasal. Adapun delik-delik korupsi yang diatur dalam undang-undang

adalah:

• Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun

dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 mengatur perbuatan korupsi yang pertama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 perbuatan korupsi yang dilarang adalah

memperkaya diri, memperkaya orang lain, atau memperkaya suatu

korporasi, perbuatan memperkaya mana dilakukan dengan cara melawan

hukum.

Yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah setiap perbuatan yang

bertujuan menambah aset, harta kekayaan dan/atau kepemilikan. Sedangkan


11

yang dimaksud “melawan hukum” meliputi pengertian melawan hukum

dalam arti formil, yaitu perbuatan melawan undang-undang, dan melawan

hukum dalam arti materiil yaitu setiap perbuatan yang bertentangan dengan

kepatutan dan kepantasan dalam masyarakat. Dengan demikian, setiap

orang, yaitu siapa saja, dilarang memperkaya diri, orang lain, atau korporasi,

apabila perbuatan memperkaya itu dilakukan dengan cara-cara yang

bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan dalam masyarakat.

Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan

perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan

pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada

seluruh kehidupan rakyat.”

• Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


12

Apa yang dilarang dalam Pasal 3 undang-undang korupsi pada intinya

adalah melarang perbuatan mengambil/mencari untung, yaitu

mengambil/mencari keuntungan yang dilakukan dengan cara

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana.

• Pasal 15

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantua,n atau permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang

sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai

dengan Pasal 14.

Delik korupsi yang diatur dalam Pasal 15 sebenarnya tidak dapat

dikategorikan sebagai delik yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang

mengingat konsep perumusan delik yang digunakannya mengadopsi konsep

yang ada di dalam KUHP. Untuk menerapkan Pasal 15 kita perlu memahami

terlebih dahulu konsep hukum pidana mengenai percobaan (poging),

perbantuan (medeplichtigheid), dan permufakatan jahat yang diatur dalam

KUHP.133 Bab 07. Tindak Pidana Korupsi Dalam Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia.

• Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
13

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu

dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a

atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

Delik korupsi yang diatur dalam Pasal 5 adalah apa yang kita kenal

sebagai korupsi dalam bentuk suap. Pasal 5 mengatur 2 perbuatan utama

delik korupsi dalam bentuk suap, yaitu delik korupsi memberi

suap/menyuap dan delik korupsi menerima suap, delik mana 134 Bab

07. Tindak Pidana Korupsi Dalam Peraturan Perundang-undangan di

Indonesiamerupakan delik yang masing-masing berdiri sendiri. Delik

menyuap telah terjadi dengan diberikannya sesuatu kepada pegawai

negeri, sehingga meski pegawai negeri yang akan diberikan tidak

menerima pemberian itu, delik menyuap tetap dapat diancamkan kepada

pelakunya. Dengan kata lain, delik menyuap dapat terjadi tanpa harus

ada penerima suap. Namun bila ada penerima suap, dapat dipastikan ada

penyuapnya delik korupsi berupa memberi suap adalah sebagaimana


14

yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) sedangkan delik korupsi menerima

suap adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2). Delik

korupsi berupa memberi suap yang diatur di dalam Pasal 5 ayat (1)

terdiri atas dua bentuk, yaitu sebagaimana diatur di dalam huruf a dan

huruf b. Perbedaan utama keduanya adalah bahwa pada delik memberi

suap yang diatur dalam huruf a pemberian atau janji itu dilakukan

dengan tujuan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat

atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya. Sedangkan delik korupsi berupa memberi suap

sebagaimana diatur dalam huruf b adalah pemberian yang dilakukan

karena pegawai negeri atau penyelenggara negara telah melakukan

sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban yang dilakukan atau tidak

dilakukan dalam jabatannya.

• Pasal 11

Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 11 adalah tindak pidana

yang diambil dari Pasal 418 KUHP. Pasal ini secara terbatas hanya dapat

diterapkan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

subjek hukum tindak pidana korupsi yang dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.

Perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 11 ini adalah menerima

hadiah atau janji, pemberian atau janji mana diberikan karena kekuasaan

atau wewenang yang berhubung dengan jabatan, atau yang menurut pikiran
15

orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan

jabatannya.

Berdasarkan ketentuan ini, pada prinsipnya seorang pegawai negeri atau

penyelenggara negara dilarang menerima hadiah atau janji. Pegawai negeri

atau penyelenggara negara itu cukup mengetahui atau dapat menduga

bahwa pemberian dilakukan karena ia memiliki kekuasaan atau wewenang

yang dimiliki karena jabatannya itu.

• Pasal 12

‘Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, dipidana 135 Bab 07.

• Pasal 6

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 15 (limabelas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

150,000,000,00 (seratus limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

750,000,000,00 (tujuhratus limapuluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud

untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya

untuk diadili; atau

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi

advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk

mempengaruhi nasehat atau pendapat yag akan diberikan


16

berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan

untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima

pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,

dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1). (UU No. 31 Tahun 1999)

Delik korupsi yang diatur di dalam Pasal 6 merupakan pemberatan

(delik berkualifisir) dari apa yang diatur di Pasal 5. Delik korupsi

berupa suap ini juga dibagi dua, yaitu delik memberi suap yang diatur

dalam Pasal 6 ayat (1) dan delik korupsi menerima suap yang diatur

dalam Pasal 6 ayat (2).

Dengan demikian, tindak pidana suap baik berupa memberi suap

maupun menerima suap memiliki 3 (tiga) gradasi yaitu pertama, tindak

pidana suap yang menjadi ranah Undang-undang Nomor 11 tahun 1980

tentang Suap, kedua tindak pidana suap yang dilakukan kepada dan

oleh pegawai negeri, dan ketiga, tindak pidana suap yang dilakukan

kepada dan oleh hakim atau advokat. Berdasarkan gradasi itu, setiap

orang yang menyuap orang lain akan dipidana, menyuap pegawai

negeri atau penyelenggara negara akan dihukum lebih berat, dan

menyuap hakim atau advokat akan dihukum lebih berat lagi. Begitu

pula sebaliknya bagi setiap orang yang menerima suap, pegawai negeri

yang menerima suap, dan hakim atau advokat yang menerima suap.
17

• Pasal 7

“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling

lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus

juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta

rupiah)”. (UU No. 31 Tahun 1999).

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan

paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00

(tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau

penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan

bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan

perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana

dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan

negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas


18

mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia

dan atau Kepolisian Negara

d. Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang

sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang

yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional

Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1). (UU No. 20 Tahun 2001).

Yang dimaksud dengan perbuatan curang disini adalah perbuatan yang

tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan

ketentuan-ketentuan umum dan atau peraturan serta kesepakatan yang

berlaku, seperti mengurangi kualitas dan atau kuantitas bangunan,

mengurangi kualitas dan atau kuantitas barang.

• Pasal 8

“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima

puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima

puluh juta rupiah).” (UU No. 31 Tahun 1999)”. “Dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
19

dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh

juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang

ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau

surat berharga tersebut diambilatau digelapkan oleh orang lain, atau

membantu dalam melakukan perbuatan tersebut”.

Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 8 adalah apa yang kita kenal

sebagai penggelapan dalam jabatan. Perbuatan yang dilarang sebagai

perbuatan korupsi berdasarkan pasal ini adalah:

• Menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena

jabatannya;

• Membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan

oleh orang lain.

• Pasal 9

“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(UU No. 31 Tahun 1999)


20

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau

orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan

umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja

memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan

administrasi”.

Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 9 ditujukan kepada

perbuatan yang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan

sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk

pemeriksaan administrasi seperti pembukuan akuntansi dan keuangan,

buku daftar inventaris, dan lain-lain.

• Pasal 10

“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)

tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)”.

(UU No. 31 Tahun 1999)

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling

lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00

(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima
21

puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang

diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk

meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang

dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,

atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar

tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,

atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar

tersebut.”

Perbuatan korupsi yang diatur di dalam Pasal 10 terdiri atas 3 perbuatan:

1. pegawai negeri yang dengan sengaja menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakainya suatu barang, akta, atau suatu daftar

yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat

yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.

2. Pegawai negeri yang membiarkan orang lain melakukan perbuatan yang

diatur dalam Pasal 10 huruf a.

3. Pegawai negeri yang membantu orang lain melakukan perbuatan

yang dilarang oleh Pasal 10 huruf a.


22

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Delik merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tidak pidana
3.1.2 Latar belakang lahirnya delik korupsi, Delik Korupsi yang
dirumuskan oleh pembuat undang – undang, Delik Korupsi yang
diambil dari KUHP
3.1.3 Delik korupsi menurut undang – undang No. 31 Tahun 1999
• Pasal 2 mengatur perbuatan kotupsi yang pertama, yaitu melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
• Pasal 3, mencari keuntungan dengan menyalahgunakan
kewenangan
• Pasal 15, Membantu melakukan tindakan korupsi
• Pasal 5, memberi suap kepada pegawai negeri
• Pasal 11, pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang
menerima hadiah atau janji.
• Pasal 12, sama seperti pasal 11 ini secara khusus diatur sebagai
perbuatan menerima hadiah atau janji karena bebagai alasan
• Pasal 6, memberi suap dan menerima suap
• Pasal 7, melakukan perbuatan curang
• Pasal 8, menggelapkan uang dan mebiarkan uang digelapkan
• Pasal 9, Pegawai negeri atau penyelenggara negara sengaja
memalsukan data khusus untuk pemeriksaan administrasi
• Pasal 10, Pegawai negeri yang sengaja menghilangkan,
menghancurkan bukti, pegawai negeri yang membiarkan orang lain
melakukan perbuatan tsb, dan pegawai negeri yang membantu
perbuatan yang dilarang
23

Daftar Pustaka

1. Moeljatno (1994), Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), Edisi Baru, Cetakan ke-
18, Jakarta: Bumi Aksara

2. Peraturan perundang-Undangan:
• Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
• Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
• Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
• Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003.

3. Tim Penulis.2011.Buku Pendidikan Budaya Anti Korupsi untuk Perguruan


Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

Anda mungkin juga menyukai