Anda di halaman 1dari 24

Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.

1 Tahun 2015

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERCAPAINYA TUJUAN


PEMIDANAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI INDONESIA

Oleh
Desy Maryani1

Abstract

Many problems that happen in law institution at the moment prove that how
weak of it running the laws especially of problem in law institution it self. The research
uses normative law method by using comparative and conceptual approaches. The
gathering data is law literature such as primary law matter, secondary and tertier. The
analyze of law matter uses “content analysis”. Based on the result research and its
analyze we come to the conclusion that: Firstly, the effect factors in the law institution
on the treatment doesn’t touch the goal of treatment likely: law factor, the judgement’s
factor, facility, society and culture factors.

Keywords : Cause, Not Proven, Punishment, Prison

                                                            
1
Desy Maryani, Dosen Fakultas Hukum Universitas Dehasen Bengkulu

1
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

A. PENDAHULUAN undangan di bawah UUD 1945, yaitu


1. Latar Belakang diantaranya Undang-undang Nomor 12
Di Indonesia, masalah HAM Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan3.
diimplementasikan dari nilai-nilai Undang-undang tersebut menggantikan
Pancasila sebagai pemikiran filsafat seluruh peraturan perundang-undangan
yang menjadi landasan dasar kehidupan yang berhubungan dengan sistem
berbangsa dan bernegara. Penjabaran kepenjaraan produk hukum pemerintah
HAM harus mencerminkan nilai-nilai kolonial Belanda yang tidak sesuai
luhur bangsa Indonesia yang dengan ide dasar pemasyarakatan dalam
dirumuskan dalam kelima sila Pancasila peraturan internasional maupun hukum
sebagai satu kesatuan yang bulat dan dasar nasional Indonesia.
utuh2. Pancasila merupakan sumber dari Pada dasarnya setiap manusia
segala sumber hukum, hal ini dilahirkan dalam keadaan memiliki
mengandung pengertian bahwa ketergantungan dengan orang lain dan
Pancasila merupakan dasar bagi seluruh lingkungannya. Kemudian secara
peraturan perundang-undangan dan bertahap, melalui proses pembelajaran,
aparat penegak hukum untuk orang berkembang kearah kematangan
menegakkan hukum tanpa pengecualian yang dicirikan dengan adanya sikap
kapan dan dimanapun hukum itu mandiri. Narapidana sebagai anggota
berada. masyarakat yang berada di dalam
Pokok-pokok jaminan, lembaga pemasyarakatan juga tidak
pengakuan, dan perlindungan HAM terlepas dari hakikatnya sebagai
juga tercermin dalam pembukaan UUD manusia yang harus bekerja untuk
1945. Dengan dicantumkannya dasar memenuhi tuntutan hidup, kehidupan
kemanusiaan yang adil dan beradab dan penghidupan4. Sehingga pekerjaan
dalam pembukaan UUD 1945, berarti memiliki nilai yang sangat strategis dan
HAM di Indonesia sudah menjadi asas penting dalam pembinaan narapidana di
negara yang fundamental. Pengakuan lembaga pemasyarakatan.
HAM dalam hukum dasar ini juga Kegiatan kerja di lembaga
diikuti oleh peraturan perundang- pemasyarakatan harus merupakan suatu

                                                                                                                         
2 3
ST.Harun Pudjiarto, HAM di Adi Sujatno, Negara Tanpa Penjara
Indonesia, Universitas Atmajaya: Yogyakarta, (Sebuah Renungan), Cetakan Ketiga, Direktorat
1993, hal. 49-50, Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta, 2003, hal. 30
http://eprints.undip.ac.id/13284/ (Diakses
4
tanggal 16 September 2015, Pukul: 12:16 WIB) Ibid

2
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

kegiatan yang simultan, sehingga di harus bermanfaat baik selama yang


samping bersifat treatment oriented, bersangkutan menjalani pidana maupun
maka kegiatan kerja di lembaga setelah selesai menjalani pidana,
pemasyarakatan juga harus bersifat sehingga mereka memiliki kesempatan
profit oriented sebagai konsekuensi dari yang sama dengan anggota masyarakat
suatu kegiatan produktif5. Dengan pada umumnya untuk dapat
orientasi tersebut, maka kegiatan- memberikan konstribusinya sebagai
kegiatan pembinaan yang dilaksanakan anggota masyarakat yang aktif dan
di lembaga pemasyarakatan sedapat produktif dalam pembangunan bangsa.
mungkin diupayakan agar mendorong Untuk mewujudkan tersebut,
terciptanya iklim yang kondusif serta maka yang harus diberantas adalah
memberikan peluang kepada narapidana faktor-faktor yang dapat menyebabkan
untuk mengembangkan potensi diri narapidana berbuat hal-hal yang
yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan bertentangan dengan hukum,
kerja produktif sesuai dengan bakat, kesusilaan, agama, atau kewajiban-
latar belakang pendidikan, keterampilan kewajiban sosial lainnya yang dapat
atau keahlian yang dimiliki. dikenakan pidana7. Dengan demikian,
Program pembinaan keselarasan dan keseimbangan
kemandirian adalah suatu upaya yang hubungan antara petugas, narapidana
dimanfaatkan dalam UU No.12 Tahun dan masyarakat adalah prasyarat
1995 Tentang Pemasyarakatan, dimana tercapainya tujuan sistem
out put dari program ini adalah setiap pemasyarakatan di Indonesia dalam
warga binaan pemasyarakatan upaya pencegahan dan pemberantasan
mempunyai kemampuan dan tindak kejahatan.
keterampilan yang dapat dijadikan Untuk melakukan suatu upaya
sebagai modal awal bagi yang pencegahan dan pemberantasan tindak
bersangkutan untuk kembali hidup kejahatan maka dibutuhkan suatu
dalam masyarakat bebas secara baik dan proses. Proses “membangun manusia
bertanggung jawab6. Hal ini berarti mandiri” sebagai suatu cerminan atau
pembinaan terhadap narapidana juga tujuan akhir dari pada sistem
                                                            
5
Adi Sujatno, Op.Cit
6
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik                                                             
7
Penjara Dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Sudarto, Suatu Dilema Dalam
Menjadi Manusia Mandiri, Cetakan Pertama, Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Pusat
Teraju (PT.Mizan Publika), Jakarta, 2008, hal. 7 Studi Hukum dan Masyarakat, Semarang, 1974,
hal. 32

3
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

pemasyarakatan di Indonesia8. Sistem Lembaga Pemasyarakatan di


pemasyarakatan bertujuan untuk Indonesia”.
mengembalikan warga binaan
2. Identifikasi Masalah
pemasyarakatan sebagai warga yang
Berdasarkan uraian di atas,
baik, melindungi masyarakat terhadap
dalam tulisan ini mengkaji isu
kemungkinan diulanginya tindak
hukum yaitu: apakah faktor-faktor
pidananya, penerapan nilai-nilai yang
penyebab tidak tercapainya tujuan
terkandung dalam sila-sila Pancasila
pemidanaan lembaga pemasyarakatan di
menjadi bagian yang tidak terpisahkan
Indonesia ?
dalam pembangunan suatu proses
tersebut, agar fungsi suatu sanksi dapat
B. METODE PENELITIAN
mencapai tujuan pemidanaan.
Metode penelitian yang
Pernyataan tersebut ada
digunakan dalam penelitian ini adalah
relevansinya dengan praktek di lembaga
dengan menggunakan metode penelitian
pemasyarakatan saat ini, bahwa apa
hukum normatif. Sebagai penelitian
yang digariskan dalam Undang-Undang
hukum normatif, maka penelitian ini
tentang Pemasyarakatan, hanya sebatas
termasuk kategori tipe penelitian hukum
harapan yang ideal belaka, namun
bersifat deskriptif-preskriptif yang
berbagai fakta menunjukkan gambaran
bertujuan menemukan solusi
sebaliknya. Buruknya manajemen
permasalahan (problem-solution)9.Di
lembaga pemasyarakatan di Indonesia
dalam penelitian hukum terdapat
dapat dilihat dari kompleksitas
beberapa pendekatan. Pendekatan-
permasalahan yang terjadi di lembaga
pendekatan yang digunakan di dalam
pemasyarakatan.
penelitian hukum adalah pendekatan
Berdasarkan uraian-uraian
undang-undang (statute approach),
tersebut di atas maka, penulis tertarik
pendekatan kasus (case approach),
untuk membahas masalah ini dengan
pendekatan historis (historical
judul “Faktor-Faktor Penyebab Tidak
approach), pendekatan komparatif
Tercapainya Tujuan Pemidanaan
(comparative approach) dan
                                                             pendekatan konseptual (conceptual
8
Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan
Indonesia Membangun Manusia Mandiri,                                                             
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
9
Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, Soerjono Soekanto, Pengantar
2004, hal. 26 Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hal.
50-51

4
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

approach)10.Dari berbagai pendekatan mengidentifikasi karakteristik pesan


di atas, maka penelitian ini yang spesifik). Bahan hukum yang
menggunakan pendekatan undang- berhasil dikumpulkan yang terkait
undang (statute approach) dan dengan penyusunan penelitian yang
pendekatan kasus (case approach). dilakukan ini kemudian disusun
Penelitian ini menggunakan secara deskriptif terhadap norma-
bahan hukum primer, bahan hukum norma hukum dalam peraturan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. yang mengatur tentang gratifikasi
Teknik pengumpulan bahan hukum seksual dalam tindak pidana korupsi
yang dipergunakan dalam penelitian di Indonesia. Analisis kemudian
hukum normatif adalah dilakukan dilakukan untuk mencari keterkaitan
dengan melalui kegiatan studi diantara satu rumusan konsep hukum
pusataka, studi dokumen, dan studi atau proposisi hukum terkait
catatan hukum. Dalam penyusunan pengaturan serta kebijakan hukum
penelitian ini pengumpulan pustaka pidana antara peraturan perundang-
yang dimaksud tersebut dilakukan di undangan. Bahan hukum yang telah
perpustakaan, Selain itu pengumpulan dikumpulkan tersebut kemudian
pustaka juga dilakukan melalui media dianalisis melalui legal
cetak dan juga media online (website). reasoning/penalaran yakni secara
Metode yang digunakan untuk argumentative atau logika yang
menganalisis bahan-bahan hukum disusun secara sistematis, selanjutnya
dalam penelitian ini yaitu dengan diuraikan secara deskriptif
menggunakan “Content analysis”. berdasarkan kategori-kategori hukum
Content analysis adalah “....any tertentu. Kemudian dilakukan analisis
technique for making inferences by evaluative yakni mengevaluasi atau
objectively and systematically melakukan penilaian terhadap suatu
identifying specified characteristics of pernyataan maupun pandangan norma
massages11(atau analisis isi merupakan baik dari sumber bahan hukum primer
teknik membuat inferensi secara dan bahan hukum sekunder yang telah
objektif dan sistematis dengan dikumpulkan yang berkaitan dengan
                                                             perumusan norma yang mengatur
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media Group, mengenai pembinaan di lembaga
Jakarta, 2010, hal. 93-95
pemasyarakatan di Indonesia.
11
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 21-
22

5
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

Bahan hukum yang dihimpun Narapidana sebagai anggota


dari studi pustaka dikumpulkan dan masyarakat yang oleh karena tindak
diklasifikasi berdasarkan substansinya, pidana yang dilakukannya berada di
diuraikan dan kemudian dihubungkan dalam lembaga pemasyarakatan yang
dengan teori-teori yang bersumber dari juga tidak terlepas dari hakikatnya
literatur, kemudian diuraikan untuk sebagai manusia yang harus bekerja
menggambarkan secara jelas dan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
sistematis permasalahan yang dibahas. sehingga pekerjaan memiliki nilai yang
Secara argumentatif hasil analisis sangat strategis dan penting dalam
tersebut diharapkan dapat diperoleh pembinaan narapidana. Terkait dengan
simpulan serta memberikan pendapat masalah tersebut, Kiran bedi dalam
hukum terkait dengan permasalahan bukunya “It’s always Possible” yang
yang diangkat dalam penelitian ini dikutip oleh Adi Sujatno,
mengemukakan bahwa :
C. PEMBAHASAN “Manusia-manusia yang terkungkung di
Pemidanaan bertujuan untuk dalam dinding penjara itu sebenarnya
memperbaiki atau merehabilitasi memiliki seluruh waktu, tenaga dan
penjahat menjadi baik sehingga keterampilan yang merupakan dasar
bermanfaat bagi masyarakat serta dari setiap masyarakat yang mempunyai
mengembalikan keseimbangan, motivasi, karena itu yang perlu
keselarasan dan keserasian di dalam dilakukan ialah mengidentifikasi serta
masyarakat. Maka dijatuhkannya mengenal bakat-bakat mereka dengan
hukuman kepada pelaku kejahatan, pengarahan dan bimbingan”13.
tidak hanya dilihat sebagai suatu
Hal ini menunjukkan bahwa
balasan atas perbuatan yang merugikan
pembinaan terhadap narapidana juga
atau penjeraan semata, tetapi ada suatu
harus bermanfaat, baik selama yang
kegunaan tertentu yaitu dalam
bersangkutan menjalani pidana maupun
pelaksanaannya tujuan dijatuhkannya
setelah selesai menjalani pidana,
pidana adalah untuk merehabilitasi
                                                                                 
perilakunya dan mengintegrasikan Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, Loc Cit, hal.
kembali narapidana dengan 28, Lihat juga M. Sholehuddin, Sistem Sanksi
dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
masyarakat12. System dan Implementasinya, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, Loc Cit, hal. 51
13
                                                             Adi Sujatno, Pencerahan
12
Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana Kepemimpinan Di Balik Penjara, Cetakan
dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi, Ketiga,Vetlas 274 Pas, Jakarta, 2009, hal. 9-10

6
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

sehingga mereka memiliki kesempatan 1) Faktor Hukum


yang sama dengan anggota masyarakat Dalam praktek penyelenggaraan
pada umumnya untuk dapat hukum di lapangan ada kalanya terjadi
memberikan kontribusinya sebagai pertentangan antara kepastian hukum
anggota masyarakat yang aktif dan dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
produktif dalam pembangunan bangsa. konsepsi keadilan merupakan suatu
Untuk mencapai tujuan rumusan yang bersifat abstrak,
pembinaan maka harus ditunjang sedangkan kepastian hukum merupakan
dengan pelaksanaan/ penerapan hukum. suatu prosedur yang telah ditentukan
Menurut Soerjono Soekanto, tolak ukur secara normatif. Sehingga
dari pada ketidakefektifan hukum, ada ketidakjelasan aturan hukum atau
baiknya juga memperhatikan faktor- undang-undang menyebabkan belum
faktor yang mempengaruhi efektifitas optimalnya pada tahap implementasi.
suatu penerapan hukum. faktor-faktor Terkait dengan pembinaan
tersebut adalah : narapidana di lembaga pemasyarakatan,
1. Faktor hukum berikut akan diuraikan beberapa
2. Faktor penegak hukum peraturan perundang-undangan
3. Faktor sarana atau fasilitas mengenai pembinaan narapidana di
4. Faktor masyarakat lembaga pemasyarakatan :
5. Faktor kebudayaan14. a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan
Kelima faktor tersebut di atas
Pengaturan tentang tujuan
saling berkaitan dengan eratnya, oleh
sistem pemasyarakatan diatur pada
karena itu berkaitan dengan esensi dari
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
keberhasilan pelaksanaan dalam
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
pembinaan narapidana. Sehingga faktor-
yang berbunyi sebagai berikut15:
faktor di atas merupakan tolak ukur
“Sistem pemasyarakatan
terhadap penyebab pola pembinaan di
diselenggarakan dalam rangka
lembaga pemasyarakatan saat ini belum
membentuk warga binaan
menyentuh tujuan pemidanaan. Secara
pemasyarakatan agar menjadi
rinci, faktor-faktor tersebut dapat dilihat
manusia seutuhnya, menyadari
sebagai berikut :
kesalahan, memperbaiki diri, dan
                                                            
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor
14
                                                            
15
Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 5 Tentang Pemasyarakatan

7
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

tidak mengulangi tindak pidana g. mendapatkan upah atau premi


sehingga dapat diterima kembali oleh atas pekerjaan yang dilakukan;
lingkungan masyarakat, dapat aktif h. menerima kunjungan keluarga,
berperan dalam pembangunan, dan penasihat hukum, atau orang
dapat hidup secara wajar sebagai tertentu lainnya;
warga yang baik dan bertanggung i. mendapatkan pengurangan
jawab.” masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan
Dalam Undang-Undang
berasimilasi termasuk cuti
Nomor 12 Tahun 1995 tentang
mengunjungi keluarga;
Pemasyarakatan, narapidana
k. mendapatkan pembebasan
mempunyai hak-hak yang harus
bersyarat;
diberikan selama proses pembinaan
l. mendapatkan cuti menjelang
di Lembaga Pemasyarakatan. Pada
bebas; dan
Pasal 14 ayat (1) dan (2), dinyatakan
m. mendapatkan hak-hak lain
16
bahwa :
sesuai dengan peraturan
(1)Narapidana berhak :
perundang-undangan yang
a. melakukan ibadah sesuai
berlaku
dengan agama atau
(2)Ketentuan mengenai syarat-syarat
kepercayaannya;
dan tata cara pelaksanaan hak-hak
b. mendapat perawatan, baik
narapidana sebagaimana
perawatan rohani maupun
dimaksud dalam ayat (1) diatur
jasmani;
lebih lanjut dengan Peraturan
c. mendapatkan pendidikan dan
Pemerintah.
pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan Berdasarkan pasal-pasal di
kesehatan dan makanan yang atas, maka dengan diberlakukannya
layak; undang-undang tentang
e. menyampaikan keluhan; pemasyarakatan tersebut pada
f. mendapatkan bahan bacaan dan dasarnya bertujuan agar warga
mengikuti siaran media massa binaan pemasyarakatan menyadari
lainnya yang tidak dilarang; kesalahannya, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana
                                                            
16
Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 12 sehingga dapat diterima kembali oleh
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 

8
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

lingkungan masyarakat, dapat aktif pendukung pembinaan dapat


berperan dalam pembangunan, dan menimbulkan pembinaan yang
dapat hidup secara wajar sebagai kurang efektif, seperti pembinaan
warga yang baik dan bertanggung keterampilan memerlukan peralatan
jawab. Untuk menerapkan undang- yang memadai untuk
undang tersebut maka lembaga mempraktekkan langsung teori
pemasyarakatan bukan hanya dalam suatu pembinaan sehingga
melaksanakan hukuman sehingga pembinaan yang dilakukan dapat
seseorang kehilangan dinilai keberhasilannya.
kemerdekaannya saja, namun
b) Peraturan Pemerintah Nomor 31
mengembalikan orang-orang yang
Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan
dijatuhi pidana itu ke dalam
Pembimbingan Hak Warga Binaan
masyarakat.
Pemasyarakatan
Agar terlaksananya
Pengaturan tentang program
pemberian hak-hak narapidana, maka
pembinaan dan pembimbingan
dalam melaksanakan pembinaan di
Warga Binaan Pemasyarakatan
lingkungan lembaga pemasyarakatan
diatur pada Pasal 2 dalam Peraturan
harus melihat: 17
Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999
1. Pola dan tata letak bangunan.
Tentang Pembinaan dan
2. Kualitas dan kuantitas Petugas.
Pembimbingan Hak Warga Binaan
3. Manajemen Lapas.
Pemasyarakatan, yang berbunyi
4. Kesejahteraan Petugas.
sebagai berikut18:
5. Sarana/Fasilitas Pembinaan.
(1) Program pembinaan dan
6. Anggaran.
pembimbingan meliputi kegiatan
7. Sumber daya alam.
pembinaan dan pembimbingan
8. Kualitas dan Program Pembinaan.
kepribadian dan kemandirian.
Berdasarkan tinjauan di atas
(2) Program pembinaan
hak-hak narapidana harus diberikan
diperuntukkan bagi Narapidana
secara proporsional, namun
dan Anak Didik
kurangnya sarana dan prasarana
                                                             Pemasyarakatan.
17
Kepmenham RI Nomor : M. 02-
PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan Menteri Kehakiman                                                             
18
Republik Indonesia Pasal 2 PP No. 31 Tahun 1999
Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Hak
  Warga Binaan Pemasyarakatan

9
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

Lebih lanjut dalam Pasal 3 keterampilan dan latihan kerja itu


ditentukan bahwa19: diberikan dan pemberian jaminan
Pembinaan dan pembimbingan terhadap pekerjaan napi setelah napi
kepribadian dan kemandirian menjalani masa pidananya. Sehingga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal mempersulit petugas lembaga
2 meliputi hal-hal yang berkaitan pemasyarakatan dalam melakukan
dengan : pembinaan. Maka diperlukan peran
a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang serta pihak ketiga dalam melakukan
Maha Esa; pembinaan terhadap narapidana,
b. Kesadaran berbangsa dan terutama yang menyangkut
bernegara; keterampilan kerja dan latihan kerja.
c. Intelektual;
c) Peraturan Menteri Hukum dan Hak
d. Sikap dan perilaku;
Asasi Manusia (HAM) RI
e. Kesehatan jasmani dan rohani;
Nomor.M.2 PK.4-10 Tahun 2007
f. Kesadaran hukum;
tentang syarat dan tata cara
g. Reintegrasi sehat dengan
pelaksanaan asimilasi, pembebasan
masyarakat;
bersyarat, cuti menjelang bebas dan
h. Keterampilan kerja; dan
cuti bersyarat.
i. Latihan kerja dan produksi.
Pengaturan mengenai kerja
Berdasarkan pasal-pasal di sama antara Lapas dan Pihak Ketiga
atas, dapat dilihat bahwa belum dalam melakukan pembinaan
jelasnya rumusan/aturan pemerintah narapidana, diatur pada Pasal 14
secara jelas mengenai pembinaan dalam Peraturan Menteri Hukum dan
narapidana terutama mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) RI
pembimbingan kemandirian. Akibat Nomor.M.2 PK.4-10 Tahun 2007
belum jelasnya aturan mengenai tentang syarat dan tata cara
keikutsertaan pihak ketiga dalam pelaksanaan asimilasi, pembebasan
melakukan pembinaan narapidana di bersyarat, cuti menjelang bebas dan
lembaga pemasyarakatan mengenai cuti bersyarat, yang berbunyi sebagai
program kemandirian, bagaimana berikut20:

                                                            
19
Pasal 3 PP No. 31 Tahun 1999                                                             
Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Hak 20
Pasal 14 Permen HAM RI No. M.2
Warga Binaan Pemasyarakatan PK. 4-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata
  Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan

10
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

Dalam hal pelaksanaan mengenai pembinaan narapidana


asimilasi memerlukan kerja sama dengan melakukan kerja sama
antara Lapas atau Rutan dan Pihak dengan pihak ketiga karena untuk
Ketiga, maka kerja sama tersebut menerapkan undang-undang tersebut
harus didasarkan pada perjanjian maka lembaga pemasyarakatan
yang dibuat antara Kepala Lapas atau bukan hanya melaksanakan hukuman
Kepala Rutan dan Pihak Ketiga yang sehingga seseorang kehilangan
memberi pekerjaan pada narapidana. kemerdekaannya saja, namun
Berdasarkan rumusan pada mengembalikan orang-orang yang
pasal di atas, maka terlihat belum ada dijatuhi pidana itu ke dalam
ketentuan yang mengatur secara masyarakat. Bagaimanapun juga,
tegas mengenai kerja sama antara narapidana adalah manusia yang
Lapas atau Rutan dan Pihak Ketiga masih memiliki potensi yang dapat
dalam pembinaan narapidana di dikembangkan ke arah
lembaga pemasyarakatan. Dalam hal perkembangan yang positif, yang
ini belum jelasnya kapan dimulainya mampu mengubah untuk menjadi
kerja sama dengan pihak ketiga. lebih produktif dan untuk menjalani
Dalam rumusan tersebut hanya lebih baik dari sebelum menjalani
memuat dalam hal pelaksanaan pidana. Sebenarnya pembinaan tidak
asimilasi memerlukan kerja sama bisa berjalan dengan efektif,
antara Lapas atau Rutan dengan dikarenakan kondisi Lapas yang
Pihak Ketiga, tidak memuat sudah tidak sehat lagi, serta
bagaimana kerja sama antara Lapas outputnya yang tidak sesuai dengan
atau Rutan dengan Pihak Ketiga pada harapan dari pembinaan itu sendiri.
tahap sebelumnya. Maka dalam Beranjak pada rumusan
memuat rumusan kerja sama dalam peraturan perundang-
pemerintah dengan pihak ketiga undangan, peraturan pemerintah, dan
harus jelas kapan dimulainya kerja peraturan menteri tentang
sama dilakukan, aturan siapa yang keikutsertaan pihak ketiga dalam
mempekerjakan, besaran upah bagi melakukan pembinaan narapidana,
napi yang dipekerjakan sehingga sehingga mempersulit petugas
diperlukan pengaturan secara jelas lembaga pemasyarakatan dalam
                                                                                  melakukan pembinaan, terutama
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti
Bersyarat keikutsertaan dalam program

11
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

kemandirian. Program kemandirian hukum adalah mentalitas atau


yang dilaksanakan di lembaga kepribadian penegak hukum
pemasyarakatan saat ini hanya terutama mengenai pelaksanaan
sebagai pengisi waktu luang saja dan sistem pemasyarakatan.
ketidakmampuan petugas lembaga Dalam pelaksanaan sistem
pemasyarakatan dalam melakukan pemasyarakatan adalah prosesnya,
pembinaan kemandirian. Hal ini yaitu proses interaktif antara
disebabkan tidak adanya keahlian narapidana, petugas dan masyarakat,
yang khusus petugas lembaga yang didukung dengan program-
pemasyarakatan untuk melakukan program pembinaan yang sesuai
pembinaan. Sehingga menunjukkan dalam mencapai tujuannya, karena
bahwa di dalam rumusan peraturan hal ini erat kaitannya dengan fungsi
tersebut belum ada ketentuan yang dan tugas yang diemban oleh petugas
mengatur secara tegas atau pemasyarakatan, yakni secara aktif
ketidakjelasan undang-undang seharusnya dapat menggalang,
mengenai pembinaan di lembaga mengkoordinasikan dan
pemasyarakatan sehingga mengarahkan semua unsur sumber
menyebabkan belum optimalnya daya yang ada dalam upaya
tujuan pemidanaan. reintegrasi sosial narapidana, tetapi
justru SDM petugas pemasyarakatan
2) Faktor Penegak Hukum
saat ini belum dapat secara optimal
Kelalaian/ ketidakmampuan
mendukung pelaksanaan sistem
aparat penegak hukum dalam
pemasyarakatan.
melakukan pembinaan narapidana
Dalam Pasal 8 Undang-
menyebabkan tidak efektifnya atau
Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
tidak tercapainya tujuan pemidanaan.
Pemasyarakatan, disebutkan
Dalam hal ini berfungsinya hukum,
bahwa21:
mentalitas atau kepribadian petugas
“Petugas pemasyarakatan
penegak hukum memainkan peranan
merupakan pejabat fungsional
penting, kalau peraturan sudah baik,
penegak hukum yang melaksanakan
tetapi kualitas petugas kurang baik,
tugas di bidang pembinaan,
maka akan menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, salah satu kunci
                                                            
keberhasilan dalam penegakan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 1995
21

Tentang Pemasyarakatan 

12
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

pengamanan, dan pembimbingan a. Pegawai Negeri Sipil yang


warga binaan pemasyarakatan”. berpendidikan paling rendah
Berdasarkan ketentuan di Sekolah Menengah Atas atau
atas, diatur mengenai bidang-bidang yang sederajat
yang menjadi tugas petugas b. Sehat jasmani dan rohani;
pemasyarakatan yaitu di bidang c. Mempunyai pengalaman bekerja
pembinaan, pengamanan dan di lingkungan Pemasyarakatan
pembimbingan warga binaan paling kurang 5 (lima) tahun; dan
kemasyarakatan yang bertujuan agar d. Tidak sedang menjalani hukuman
pelaksanaan pembinaan narapidana disiplin.
berdaya guna dan berhasil guna.
Dalam ketentuan di atas,
Dalam melakukan suatu pembinaan
menunjukkan masih lemahnya
kepada narapidana perlu
kualitas dan kuantitas pegawai
menyertakan Petugas
apabila dilihat dari tugas khusus
Pemasyarakatan sebagai
yang dibebankan kepada Wali
pendamping, yang berperan sebagai
Pemasyarakatan sehingga perlu
fasilitator, komunikator, dan
ditambahkannya suatu aturan bahwa
motivator selama berlangsungnya
syarat untuk menjadi Wali
proses pembinaan narapidana.
Pemasyarakatan harus mempunyai
Ketentuan yang mengatur
sertifikat layak Wali/layak tugas.
mengenai Petugas Pemasyarakatan
Pemberian sertifikat ini mengandung
yang bertugas sebagai Wali
artian bahwa Wali Pemasyarakatan
Narapidana dan Anak Didik
merupakan petugas yang telah di
Pemasyarakatan diatur pada Pasal 4
didik secara khusus untuk
ayat (2) dalam Peraturan Menteri
meningkatkan keterampilan yang
Hukum dan HAM RI No: M. 01 PK.
diberikan kepada narapidana.
04. 10 Tahun 2007 Tentang Wali
Kendala pembinaan di
Pemasyarakatan, yang berbunyi22:
Lembaga Pemasyarakatan
Syarat-syarat untuk dapat diangkat
menunjukkan bahwa kepemimpinan
menjadi Wali Pemasyarakatan
organisasi lembaga pemasyarakatan
adalah:
                                                             mempengaruhi keberhasilan
22
Pasal 4 ayat (2) dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI No: M. 01 PK.
pembinaan narapidana, selain itu
04. 10 Tahun 2007 Tentang Wali narapidana yang terlalu banyak tidak
Pemasyarakatan,

13
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

sesuai dengan daya tampung psikiater, sosiolog dan instruktur-


lembaga pemasyarakatan membuat instruktur di bidang keterampilan
pembinaan menjadi tidak efektif, d. Masih rendahnya tingkat
tidak adanya pengawasan terhadap kesejahteraan petugas
pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
pemasyarakatan membuat
Dengan kondisi SDM petugas
longgarnya pelaksanaan pembinaan
pemasyarakatan sebagaimana
serta kurangnya jumlah dan
tersebut di atas, maka secara tidak
kemampuan sumber daya manusia
langsung akan mempengaruhi atau
petugas pemasyarakatan untuk
menghambat kinerja
membina narapidana menjadi
pemasyarakatan, selain itu
kendala dalam pembinaan
permasalahan overcapacity menjadi
narapidana di lembaga
penyebab kurang optimalnya
pemasyarakatan23.
pengawasan yang dilakukan oleh
Berdasarkan narasi di atas,
petugas lembaga pemasyarakatan
maka dapat disimpulkan bahwa
dan mengakibatkan tidak tercapainya
kondisi SDM petugas
tujuan pemidanaan. Hal ini
pemasyarakatan yang ada saat ini
menyebabkan banyak terjadi
masih terdapat kekurangan/
penyimpangan di dalam lembaga
kelemahan, antara lain:24
pemasyarakatan.
a. Kualitas dan kuantitas pegawai
Berbagai penyimpangan yang
belum memadai apabila dilihat
terjadi di dalam lembaga
dari sifat dan tugas khusus yang
pemasyarakatan yaitu perilaku
dibebankan kepada pegawai
“kapal selam”/diskriminasi,
pemasyarakatan.
penyelundupan barang terlarang,
b. Masih belum meratanya tingkat
pelarian dan pemberontakan25.
kualitas petugas pemasyarakatan
Dalam hubungannya dengan upaya
khususnya yang melaksanakan
pemberdayaan SDM narapidana di
tugas di Lapas
Lapas/Rutan melalui program
c. Masih minimnya tenaga-tenaga
pembinaan keterampilan kerja,
ahli, seperti: dokter, psikolog,
                                                            
25
Adi Sujatno dan Didin Sudirman,
                                                             Pemasyarakatn Menjawab Tantangan Zaman,
23
Herly Oktarina, hal. 42-43 Cetakan Kedua, VETLAS Production, Jakarta,
24
Adi Sujatno, Negara Tanpa Penjara 2008, hal. 48
(Sebuah Renungan),Op.Cit, hal. 34

14
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

kiranya harus perlu ditingkatkan ketidakdisiplinan aparat penegak


dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat hukum/kemampuan aparat penegak
dilihat pada kenyataan yang masih hukum, terutama mengenai pegawai
banyak terdapat disejumlah sipir dalam melakukan pembinaan
Lapas/Rutan, antara lain: dan pengawasan di dalam lembaga
a. Pelaksanaan pembinaan masih pemasyarakatan.
memperlihatkan adanya Berdasarkan aturan mengenai
kecenderungan orientasi pada syarat untuk menjadi Wali
penutupan dengan penerapan Pemasyarakatan, menunjukkan
kebijakan yang menitikberatkan bahwa masih lemahnya kualitas dan
pada pendekatan keamanan. kuantitas pegawai apabila dilihat dari
b. Pekerjaan yang diberikan kepada tugas khusus yang dibebankan
narapidana belum disesuaikan kepada Wali Pemasyarakatan
dengan bakat, latar belakang sehingga perlu ditambahkannya
pendidikan dan keahlian yang suatu aturan bahwa syarat untuk
dimiliki oleh narapidana sehingga menjadi Wali Pemasyarakatan harus
belum ada pola yang jelas dan mempunyai sertifikat layak
terarah berkenaan dengan Wali/layak tugas. Pemberian
pekerjaan narapidana. sertifikat ini mengandung arti bahwa
c. Belum adanya pembagian tentang Wali Pemasyarakatan merupakan
jenis-jenis pekerjaan yang jelas, petugas yang telah dididik secara
baik dalam kategori keterampilan khusus untuk meningkatkan
maupun pekerjaan produktif. keterampilan yang diberikan kepada
narapidana.
Faktor penegak hukum sangat
mempengaruhi dalam efektifitas 3) Faktor Sarana Atau Fasilitas
pembinaan narapidana di dalam Pengaturan mengenai standar
lembaga pemasyarakatan. sarana atau fasilitas lembaga
Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi pemasyarakatan, diatur pada Pasal 14
di atas, maka menunjukkan bahwa dalam Keputusan Menteri Kehakiman
selain persoalan over capacity, dan Hak Asasi Manusia Republik
penyebab belum efektifnya Indonesia Nomor: M.01.PL.01.01
pembinaan narapidana juga Tahun 2003 Tentang Pola Bangunan
disebabkan karena timbulnya

15
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, f. Lebar tangga dan selasar pada


bahwa26: masing-masing blok berukuran
(1) Blok Tahanan dibangun dengan minimal 1,5 m
ketentuan sebagai berikut : (2) Ketentuan mengenai Kamar Hunian
a. Tembok bangunan blok pada sisi adalah sebagai berikut:
luar berfungsi sebagai pagar a. Standar luas Kamar Hunian
pengaman. adalah 5,4 m2/orang;
b. Penataan blok memperhatikan b. Langit-langit :
aspek keamanan yang optimal 1) Langit-langit hunian terbuat
dengan pengelompokkan dari bahan beton/cor dengan
bangunan membentuk huruf “U” ketebalan 10 cm dan tinggi
dengan areal terbuka pada langit-langit kamar hunian
bagian tengahnya. 3,8 m;
c. Areal terbuka tersebut dapat 2) Langit-langit teras (Lantai I)
dimanfaatkan sebagai tempat terbuat dari jeruji besi Ø 22
makan bersama ataupun mm yang berjarak As ke As 4
kegiatan-kegiatan lainnya dalam cm, yang sekaligus berfungsi
lingkup satu Blok hunian. sebagai lantai teras (lantai II);
d. Pada lahan yang tidak 3) Langit-langit teras (Lantai II)
memungkinkan untuk terbuat dari jeruji besi Ø 22
pengelompokkan bangunan mm yang berjarak As ke As
membentuk huruf “U” dapat 10 cm.
dilakukan pengelompokan c. Lantai hunian dan lantai teras
bangunan (cluster) tertutup yang (Lantai I) dicor beton dan
dilengkapi dengan pagar dilapisi dengan bahan anti kimia;
pemisah antara blok yang satu d. Dinding :
dengan blok lainnya. 1) Dinding yang merupakan
e. Semua teralis dan pintu pada bagian luar dari bangunan
blok ini menggunakan besi baja blok terbuat dari bahan beton
Ø 22 mm. bertulang K-500 dengan
ketebalan 20 cm dan diberi
                                                            
Pasal 14 dalam Keputusan Menteri
26
tulangan Ø 12 mm berjarak
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: M.01.PL.01.01 Tahun 2003 10 cm;
Tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan 

16
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

2) Dinding lainnya terbuat dari Pengaturan mengenai ruangan


dinding batu bata tebal ½ bata pembinaan diatur pada Pasal 44 dalam
dengan pasangan 1 pc : 2 ps, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak
diplester halus; Asasi Manusia Republik Indonesia
3) Pada dinding yang Nomor: M.01.PL.01.01 Tahun 2003
berhadapan dengan pintu Tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana
diberi ventilasi terbuat dari Teknis Pemasyarakatan, yang
jeruji Ø 22 mm, ukuran berbunyi27:
disesuaikan dengan luas Ruang Rekreasi/Olah Raga (Aula)
kamar. adalah ruang serba guna yang terdiri
e. Dilengkapi dengan penerangan dari tempat pembinaan,
(lampu) yang dipasang tertanam penyuluhan,atau untuk kegiatan-
(inbouw) diatas. kegiatan lainnya.
f. Pada tiap kamar hunian Lebih lanjut dalam Lampiran I,
disediakan WC dan tempat tidur ditentukan bahwa:
permanen, tempat tidur tersebut Ruang Rekreasi/Olah Raga, untuk
terbuat dari plat beton bertulang, Lapas Kelas I 660 M2 dan Lapas Kelas
tebal 10 cm, tinggi 60 cm II 435 M2 dan Ruang Bengkel Kerja
dengan kemiringan 2%. (Workshop), untuk Lapas Kelas I 120
g. Pintu mengikuti standar Pintu M2 dan Lapas Kelas II 72 M2
Kamar Hunian.
Berdasarkan ketentuan di atas,
h. Pada tiap kamar hunian dengan
menunjukkan telah diatur secara tegas
kapasitas 5 orang dan 7 orang
mengenai standar ruangan tahanan dan
perlu dilengkapi jendela ukuran
pembinaan bagi narapidana di lembaga
disesuaikan dengan luas kamar,
pemasyarakatan. Namun, lembaga
dengan spesifikasi :
pemasyarakatan mendapat kritik atas
1) daun pintu terbuat dari jeruji
perlakuan terhadap para narapidana.
besi baja Ø 22 mm dengan
Diantaranya mengenai napi yang
jarak antar jeruji 10 cm;
meninggal dalam Lapas. Sebagian besar
2) kusen terbuat dari besi plat,
napi yang meninggal karena telah
tebal 6 mm tertanam pada
                                                            
beton. 27
Pasal 44 dalam Keputusan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: M.01.PL.01.01 Tahun 2003
Tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan

17
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

menderita sakit sebelum masuk penjara, Seperti yang dikemukakan oleh


dan ketika dalam penjara kondisi Pelaksana Tugas Kepala Lembaga
kesehatan mereka semakin parah karena Pemasyarakatan Klas II B Sorong
kurangnya perawatan, rendahnya gizi bahwa pada Lembaga Pemasyarakatan
makanan, serta buruknya sanitasi dalam Klas II B Kota Sorong, Papua Barat
lingkungan penjara. Hal ini disebabkan mengalami sangat minim fasilitas,
rendahnya sarana atau fasilitas di dalam kekurangan sarana terutama mengenai
Lapas. Terutama mengenai jumlah fasilitas kerja yaitu pada bengkel kerja
tahanan yang menghuni ruangan dan latihan 29. Selain itu hal serupa juga
tahanan yang tidak seimbang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan
(overcapacity). Kelas II A Wanita Tanjung Gusta
Seperti kasus yang terjadi pada Medan, belum memadainya sarana atau
Rabu, 13 Juni 2012 di Lembaga fasilitas telah menjadi penghambat
Pemasyarakatan Garut, Jawa Barat, pembinaan bahkan telah menjadi salah
yang tewas di dalam Lapas. Seorang satu penyebab rawannya
narapidana kasus curanmor yang keamanan/ketertiban serta menjadi
divonis 4 tahun penjara ini tewas akibat salah satu faktor penghambat
sakit pernapasan yang dideritanya28. kelancaran proses pelaksanaan
Berdasarkan kasus tersebut, pembinaan terhadap narapidana karena
menunjukkan bahwa lembaga dari semuanya hal tersebut menjadi
pemasyarakatan dibangun tidak penyebab tidak aman dan tidak
representatif sehingga menyebabkan tertibnya keadaan di dalam Lapas30.
banyak napi yang sakit. Hal ini terjadi Kurangnya sarana atau fasilitas
dikarenakan bahwa pemerintah tidak pendukung pembinaan dapat
mampu sendiri untuk mewujudkan ide menimbulkan pembinaan yang kurang
pemasyarakatan karena keterbatasan
                                                            
sarana/prasarana sehingga 29
Jevius J. Siathen, LP Klas II B
Sorong Kurang Fasilitas,http://www.aldp-
mengakibatkan kurang optimalnya papua.com/?p=6411, (Diakses tanggal 28
Desember 2012, Pukul 0:15 WIB) 
pembinaan narapidana di dalam 30
Rita Pristiwati, Pola Pembinaan
Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan
lembaga pemasyarakatan. Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan, Tesis,
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hal.
98,
                                                             https://docs.google.com/pdf+Rita+Pristiwati,+P
28
www.tvonenews.tv/arsip/view/5770 ola+Pembinaan+Narapidana+Di+Lembaga+Pe
8/2012/06/13/terindikasi_sakit_narapidana_te masyarakatan+Kelas+II+A+Wanita+Tanjung+
was_di_lapas.tvOne,  (Diakses  tanggal  21  Gusta+Medan, (Diakses Tanggal 16 September
Nopember 2012, Pukul 15:00 WIB).  2012, Pukul. 16.00 WIB).

18
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

efektif, karena pembinaan seperti


Berdasarkan ketentuan di atas,
pembinaan keterampilan memerlukan
maka pembinaan warga binaan
peralatan yang memadai untuk
berdasarkan sistem pemasyarakatan
mempraktekkan langsung teori dalam
merupakan kegiatan interaktif antara
pembinaan sehingga dapat dinilai
komponen narapidana, petugas dan
pembinaan yang dilakukan berhasil atau
masyarakat, maka peran serta
tidak
masyarakat merupakan salah satu hal
4) Faktor Masyarakat yang mutlak diperlukan. Bentuk-bentuk
Di dalam sistem pemasyarakatan kemitraan yang dilakukan sebagai
bahwa tugas untuk membina narapidana sarana kegiatan pembinaan, antara lain
bukan hanya lembaga pemasyarakatan peran serta masyarakat harus dipandang
tetapi termasuk di dalamnya masyarakat sebagai aspek integral dari upaya
sebagai pembina narapidana. Hal ini pembinaan, sehingga dukungan
terdapat di dalam Undang-Undang No masyarakat sangat diperlukan dalam
12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, mencapai tujuan yang diinginkan dalam
pada Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi31: pembinaan warga binaan.
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu Namun, realitanya kurangnya
tatanan mengenai arah dan batas serta peran serta masyarakat dalam rangka
cara pembinaan Warga Binaan ikut serta melibatkan dalam pembinaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila narapidana. Hal ini disebabkan
yang dilaksanakan secara terpadu antara kurangnya kepedulian masyarakat
pembina, yang dibina, dan masyarakat terhadap napi karena sebagian anggota
untuk meningkatkan kualitas Warga masyarakat masih enggan menerima
Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kembali bekas napi. Sehingga hal
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak tersebut menyebabkan belum
mengulangi tindak pidana sehingga tercapainya tujuan pemidanaan, yaitu
dapat diterima kembali oleh lingkungan untuk memasyarakatkan kembali
masyarakat, dapat aktif berperan dalam narapidana ke dalam masyarakat32.
pembangunan, dan dapat hidup secara Maka tanpa peran serta masyarakat
wajar sebagai warga yang baik dan dalam pembinaan, tujuan sistem
                                                            
bertanggung jawab. Herly Oktarina, Reformulasi Pola
32

Pembinaan Residivis Tindak Pidana Pencurian


                                                             di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota
31
Pasal 1 ayat (2) UU No. 12 Tahun Bengkulu, Thesis, Universitas Bengkulu,
1995 Tentang Pemasyarakatan  Bengkulu, 2012, hal. 41

19
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

pemasyarakatan melalui upaya yang bertujuan agar warga binaan


reintegrasi warga binaan tidak akan pemasyarakatan menyadari
tercapai bagaimanapun baiknya kualitas kesalahannya, memperbaiki diri, dan
program-program pembinaan yang tidak mengulangi tindak pidana
diterapkan. sehingga dapat diterima kembali oleh
Faktor kurangnya kepedulian lingkungan masyarakat, dapat aktif
dan peran serta masyarakat sangat berperan dalam pembangunan, dan
mempengaruhi pencapaian tujuan dapat hidup secara wajar sebagai warga
pemidanaan untuk mengintegrasikan yang baik dan bertanggung jawab.
kembali narapidana dengan masyarakat. Berdasarkan ketentuan di atas,
Kondisi tersebut seperti yang terjadi menunjukkan bahwa masyarakat harus
pada Lembaga Pemasyarakatan dapat menerima mantan narapidana
Magelang bahwa kurangnya partisipasi kembali ke masyarakat dengan tidak
masyarakat Magelang dalam membantu mengucilkan mantan narapidana
pembinaan narapidana, hal ini tersebut, melainkan menerima dan
disebabkan kurangnya kepedulian serta membimbing agar menyatu dengan
korelasi dari lembaga pemasyarakatan masyarakat, sehingga dapat berinteraksi
dengan masyarakat33. Sehingga kembali sebagai warga yang baik dan
diperlukan suatu kerja sama yang baik bertanggung jawab. hal tersebut
antara lembaga pemasyarakatan dan diperlukan, supaya menghilangkan
masyarakat untuk melakukan stigma negatif yang menempel pada
pembinaan narapidana. mantan narapidana. Stigma negatif
terhadap mantan narapidana telah
5) Faktor Kebudayaan
menjadi budaya yang melekat di dalam
Dalam Konsideran UU No. 12
masyarakat.
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,
Keengganan masyarakat untuk
khususnya bagian menimbang poin c,
berinteraksi dengan mantan narapidana
yang berbunyi34:
merupakan suatu kendala pembinaan
Bahwa sistem pemasyarakatan
narapidana berbagai Lapas, diantaranya
merupakan rangkaian penegakan hukum
yang terjadi di Lembaga
                                                             Pemasyarakatan Kelas II A Lubuk
33
Lihat Budi Ermidi dan Sularto,
Loc.Cit, Abstrak Linggau, bahwa hampir semua
http://eprints.undip.ac.id/20513/, (Diakses
Tanggal 16 September 2012, Pukul. 15.30 WIB) masyarakat belum bisa menerima
34
Konsideran UU No. 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan kembali mantan narapidana, hal ini

20
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

disebabkan kekhawatiran masyarakat dapat dilihat dari berbagai faktor, yaitu


terhadap mantan narapidana akan faktor hukum, penegak hukum, sarana
mengulangi kembali kesalahan yang atau fasilitas, masyarakat dan
telah dilakukan. Sehingga mengenai kebudayaan. Untuk mengatasinya
pemahaman negatif terhadap mantan diperlukan suatu solusi dalam upaya
narapidana oleh masyarakat merupakan optimalisasi pembinaan narapidana,
kendala dalam pembinaan akibatnya sehingga apa yang digariskan dalam
mantan narapidana akan terasingkan Undang-Undang tentang
dan akhirnya kembali melakukan tindak Pemasyarakatan tercapai
pidana35. Anggapan negatif terhadap
mantan narapidana oleh masyarakat D. PENUTUP
menyebabkan masyarakat akan lebih 1. Kesimpulan
berhati-hati terhadap mantan Berdasarkan latar belakang
narapidana, karena timbulnya permasalahan dan pembahasan seperti
kekhawatiran mantan narapidana akan yang telah diuraikan, maka dapat
mengulangi kembali kesalahannya diambil kesimpulan, faktor-faktor
berupa pelanggaran terhadap ketertiban penyebab pola pembinaan di lembaga
dan keamanan di dalam masyarakat. pemasyarakatan belum menyentuh
Dari uraian di atas, tujuan pemidanaan, sebagai berikut:
menunjukkan bahwa kelima faktor di 1. Faktor hukum yaitu belum jelasnya
atas sangat mempengaruhi dalam aturan mengenai keikutsertaan pihak
pencapaian pembinaan di lembaga ketiga dalam melakukan pembinaan
pemasyarakatan untuk mencapai tujuan narapidana di lembaga
pemidanaan sehingga mengakibatkan pemasyarakatan, terutama ikut serta
berbagai kompleksitas permasalahan dalam progran kemandirian,
yang terjadi di lembaga sehingga mempersulit petugas
pemasyarakatan. lembaga pemasyarakatan dalam
Berkaitan dengan hal tersebut, melakukan pembinaan.
maka dapat dikatakan bahwa belum 2. Faktor penegak hukum yaitu petugas
tercapainya tujuan pemidanaan karena lembaga pemasyarakatan tidak didik
                                                             secara khusus untuk meningkatkan
35
Lihat hasil penelitian Purnomo Tri
((Pembinaan terhadap Narapidana Residivis keterampilan yang diberikan kepada
Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Lubuk Linggau, Pasca Sarjana Ilmu Hukum, napi. Selama ini yang terjadi, petugas
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 2009) dalam
Herly Oktarina, Op.Cit, hal. 43 lembaga pemasyarakatan hanya

21
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

menjaga keamanan dan ketertiban di keterampilan bagi narapidana, diatur


dalam lembaga pemasyarakatan. dalam Pasal 44 dalam Keputusan
3. Faktor sarana atau fasilitas yaitu Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
masih kurangnya sarana atau fasilitas Manusia Republik Indonesia Nomor:
yang layak di dalam lembaga M.01.PL.01.01 Tahun 2003 Tentang
pemasyarakatan. Hal ini disebabkan Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis
lembaga pemasyarakatan di bangun Pemasyarakatan, yang berbunyi:
tidak representatif serta keterbatasan “Ruang Rekreasi/Olah Raga (Aula)
sarana/prasarana sehingga adalah ruang serba guna yang terdiri
mengakibatkan kurang optimalnya dari tempat pembinaan, penyuluhan,
pembinaan narapidana di dalam atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya”.
lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan ketentuan di atas,
4. Faktor masyarakat yaitu masih
menunjukkan masih kurangnya fasilitas
kurangnya peranan masyarakat
yang ada di dalam lembaga
dalam rangka ikut serta melakukan
pemasyarakatan, hal ini dapat dilihat
pembinaan narapidana. Hal ini
dari belum ada pemisahan antara
disebabkan kurangnya kepedulian
ruangan pembinaan, penyuluhan dan
masyarakat terhadap narapidana.
kegiatan-kegiatan lain. Terutama
5. Faktor kebudayaan yaitu persoalan
ruangan tempat keterampilan kerja bagi
stigma negatif yang menempel pada
narapidana. Sehingga diperlukan suatu
“label” mantan narapidana
ruangan tersendiri untuk keterampilan
menyebabkan kebanyakan mantan
kerja narapidana di dalam Lapas. Maka
narapidana menemui kesulitan untuk
diperlukan suatu penambahan pasal
berintegrasi kembali ke dalam
dalam Keputusan Menteri Kehakiman
masyarakat
dan Hak Asasi Manusia Republik
2. Saran Indonesia Nomor: M.01.PL.01.01
Berdasarkan pada kesimpulan Tahun 2003 Tentang Pola Bangunan
sebagaimana diuraikan di atas, maka Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan.
penulis merekomendasikan: melakukan Formulasi yang tambah menjadi “
formulasi mengenai penyediaan fasilitas Untuk meningkatkan keterampilan kerja
pembinaan narapidana. Pengaturan narapidana, lembaga pemasyarakatan
mengenai standar fasilitas lembaga menyediakan ruangan bengkel
pemasyarakatan mengenai tempat khusus/bengkel kerja bagi narapidana”.

22
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian


Hukum, Kencana Prenada
E. DAFTAR PUSTAKA
Media Group, Jakarta, 2010
Buku: Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan
---------------, Sistem Pemasyarakatan
Hukum, Raja Grafindo Persada,
Indonesia Membangun
Jakarta, 2007
Manusia Mandiri, Direktorat
Sudarto, Suatu Dilema Dalam
Jenderal Pemasyarakatan
Pembaharuan Sistem Pidana
Departemen Hukum dan HAM
Indonesia, Pusat Studi Hukum
RI, Jakarta, 2004
dan Masyarakat, Semarang,
---------------, Pencerahan di Balik
1974
Penjara Dari Sangkar Menuju
Sanggar Untuk Menjadi
Peraturan Perundang-undangan:
Manusia Mandiri, Cetakan
Pertama, Teraju (PT.Mizan Kepmenham RI Nomor : M. 02-
Publika), Jakarta, 2008 PK.04.10 Tahun 1990 tentang
--------------- dan Didin Sudirman, Pola Pembinaan
Pemasyarakatn Menjawab Narapidana/Tahanan Menteri
Tantangan Zaman, Cetakan Kehakiman Republik Indonesia
Kedua, VETLAS Production, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak
Jakarta, 2008 Asasi Manusia Republik
--------------,Pencerahan Kepemimpinan Indonesia Nomor:
Di Balik Penjara, Cetakan M.01.PL.01.01 Tahun 2003
Ketiga,Vetlas 274 Pas, Jakarta, Tentang Pola Bangunan Unit
2009 Pelaksana Teknis
------------------, Pengantar Penelitian Pemasyarakatan
Hukum, UI Press, Jakarta, 2008 PP No. 31 Tahun 1999 Tentang
Adi Sujatno, Negara Tanpa Penjara Pembinaan dan Pembimbingan
(Sebuah Renungan), Cetakan Hak Warga Binaan
Ketiga, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Pemasyarakatan, Jakarta, 2003 Permen HAM RI No. M.2 PK. 4-10 Tahun
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan 2007 tentang Syarat dan Tata
Pemidanaan dari Retribusi ke Cara Pelaksanaan Asimilasi,
Reformasi, Pradnya Paramita, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas dan Cuti
Jakarta, 1986
Bersyarat
Herly Oktarina, Reformulasi Pola
UU No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pembinaan Residivis Tindak
Pemasyarakatan
Pidana Pencurian di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A
Home Page/Website:
Kota Bengkulu, Thesis,
Universitas Bengkulu, Budi Ermidi dan Sularto, Loc.Cit,
Bengkulu, 2012 Abstrak
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam http://eprints.undip.ac.id/20513
Hukum Pidana, Ide Dasar /, (Diakses Tanggal 16
Double Track System dan September 2012, Pukul. 15.30
Implementasinya, Raja WIB)
Grafindo Persada, Jakarta, Rita Pristiwati, Pola Pembinaan
2007 Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A
Wanita Tanjung Gusta Medan,

23
 
Desy Maryani Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1 Tahun 2015

Tesis, Universitas Sumatera


Utara, Medan, 2009, hal. 98,
https://docs.google.com/pdf+Ri
ta+Pristiwati,+Pola+Pembinaa
n+Narapidana+Di+Lembaga+P
emasyarakatan+Kelas+II+A+
Wanita+Tanjung+Gusta+Meda
n, (Diakses Tanggal 16
September 2015, Pukul. 16.00
WIB)
ST.Harun Pudjiarto, HAM di Indonesia,
Jevius J. Siathen, LP Klas II B
Sorong Kurang
Fasilitas,http://www.aldp-
papua.com/?p=6411, (Diakses
tanggal 28 Desember 2015,
Pukul 0:15 WIB)
Universitas Atmajaya: Yogyakarta,
1993, hal. 49-50,
http://eprints.undip.ac.id/13284
/ (Diakses tanggal 16
September 2015, Pukul: 12:16
WIB)
www.tvonenews.tv/arsip/view/57708/20
12/06/13/terindikasi_sakit_nara
pidana_tewas_di_lapas.tvOne,
(Diakses tanggal 21 Nopember
2015, Pukul 15:00 WIB)

24
 

Anda mungkin juga menyukai