Sejarah Moneter Islam 34
Sejarah Moneter Islam 34
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kita sering mendengar tentang moneter Islam, yang tidak lain
merupakan satu bidang yang dibahas dalam ekonomi Islam. Moneter islam adalah
bagian dari ekonomi yang mempelajari tentang sifat serta pengaruh uang terhadap
kegiatan ekonomi islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan moneter Islam pada masa Rasulullah?
2. Bagaimana moneter Islam pada masa Khulafaur Rasyidin?
3. Bagaimana moneter Islam pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan moneter Islam pada masa Rasulullah.
2. Untuk mengetahui moneter Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
3. Untuk mengetahui moneter Islam pada masa dinasti Umayyah dan
Abbasiyah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 23.
2
Fadllan, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 2.
3
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,hlm. 23.
2
Rasulullah sendiri sebagai kepala negara yang juga merangkap sebagai Ketua
Mahkamah Agung, Mufti Besar, Panglima Perang Tertinggi , serta penanggung
jawab seluruh administrasi negara. Ia tidak memperoleh gaji dari negara atau
masyarakat melainkan hadiah-hadiah kecil yang pada umumnya berupa bahan
makanan. Pada masa ini pula, belum terdapat tentara dalam bentuk formal dan tetap.
Setiap Muslim yang kuat dan mampu berperang bisa menjadi tentara. Mereka tidak
memperoleh gaji tetap, tetapi diperbolehkan mendapatkan bagian dari rampasan
perang seperti senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya.
Pada tahun kedua hijriyah, situasi di atas berubah, setelah turunnya surat
Al-Anfal (rampasan perang).4 Dalam ayat tersebut terdapat penentuan pembagian
harta, yakni seperlima bagian untuk Allah SWT dan Rasul-Nya (seperti untuk
negara yang dialokasikan untuk kesejahteraan umum), dan untuk para kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir. Bagian seperlima ini
dikenal dengan istilah khums. Pada umumnya Rasulullah membagi khums menjadi
tiga bagian: bagian pertama untuk dirinya dan keluarganya, bagian kedua untuk
kerabatnya, bagian ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin serta
musafir. Penerimaan khums dihitung secara proporsional, yaitu dengan prosentase
dan bukan dihitung nilai nominalnya. Hal inilah yang akan menstabilkan harga dan
akan menekan inflasi. Dan empat perlima bagian lainnya dibagikan kepada para
anggota pasukan (tentara laki-laki) yang terlibat dalam peperangan, dan
penunggang kuda mendapat dua bagian. Pembagian harta rampasan tersebut
menjadi sumber pendapatan negara. Pada tahun kedua hijriyah ini pula, Rasulullah
mewajibkan kaum muslimin untuk membayar zakat fitrah pada setiap bulan
Ramadhan. Setelah kondisi perekonomian kaum muslimin stabil, Rasulullah
mewajibkan zakat mal pada tahun ke sembilan Hijriyah.5 Zakat ini menjadi sumber
pendapatan negara.
4
Fadllan, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 4.
5
Ibid., hlm. 5.
6
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 37.
3
umumnya tamu-tamu yang ingin bertemu dengan Rasulullah adalah orang-orang
miskin. Mereka tidak hanya diberikan makanan tetapi juga pakaian. Ketika tidak
mempunyai uang, biasanya Bilal meminjam uang dari orang Yahudi yang
kemudian dibayarkan oleh Rasulullah Saw. 7
7
Ibid., hlm. 38.
8
Ismail Nawawi Uha, Isu-Isu Ekonomi Islam, (Jakata: VIV Press, 2013), hlm. 16.
9
Fadllan, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 5.
4
kepentingan umat Islam. Dalam hal pendistribusian harta Baitul Mal, Abu Bakar
menerapkan prinsip kesamarataan. Adapun harta Baitul Mal tidak pernah
menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada
seluruh kaum muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Al-Shiddiq wafat, hanya
ditemukan satu dirham dalam pembendahaan negara.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, mata uang yang beredar di Masyarakat
berupa mata uang dinar hirakly dan dirham kisra yang dijadikan sebagai alat tukar,
pembayaran dan tansaksi.
10
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 160.
5
Selain menggunakan dinar dan dirham, alat pembayaran lain berupa
diterbitkan surat pembayaran cek yang penggunaannya diterima oleh masyarakat.
11
Nurul Huda, Ekonomi Pembangunan Islam, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm.58.
12
Fadllan, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 11.
6
pemerintahan Ali ibn Abi Thalib sistem administrasi Baitul Mal baik ditingkat pusat
dan daerah berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduanya berjalan dengan
lancar sehingga pendapatan Baitul Mal mengalami surplus. 13
Selain itu, langkah penting yang dilakukan khalifah Ali ibn Abi Thalib pada
masa pemerintahannya adalah pencetakan mata uang koin atas nama negara Islam.
14
Namun uang yang dicetak peredarannya sangat terbatas, karena kondisi politik
pada waktu itu tidak stabil. Khalifah kala itu lebih terfokus pada persoalan politik
yang kacau.15
Pada masa pemeintahan khulafaur rasyidin, nilai kurs antara dinar dan
dirham stabil yaitu dengan rasio 1: 10.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ismail Nawawi Uha, Isu-Isu Ekonomi Islam, (Jakata: VIV Press, 2013), hlm. 16.
16
Nurul Huda, Ekonomi Pembangunan Islam, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 61.
7
dan dirham merupakan dasar bagi sistem moneter resmi umat Islam. Ketika kedua
logam itu dihadapkan pada kondisi supply dan demand yang berbeda, akihrnya
menyebakan ketidakstabilan harga dan nilainya hal ini terjadi pada pertengahan
periode kedua pemerintahan Daulah Umayyah, di mana rasio yang berlaku untuk
dinar dan dirham berkisar sekitar 12.17 Dapat dikatakan bahwa stabilitas nilai kurs
pada kala itu mengalami gangguan karena adanya disequilebrium antara supply dan
demand dengan rasio kurs antara dinar-dirham 1:12.18
17
Fadllan, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 5.
18
A. Karim, Adiwarman, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.
177.
19
Nurul Huda, Ekonomi Pembangunan Islam, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 62.
20
Ibid., hlm. 63.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
9
DAFTAR PUSTAKA
10