Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pemeriksaan radiologik toraks merupakan pemeriksaan yang sangat
penting. Kemajuan yang sangat pesat selama dasawarsa terakhir dalam
teknik pemeriksaan radiologik toraks dan pengetahuan untuk menilai suatu
roentgenogram toraks menyebabkan pemeriksaan toraks dengan sinar
roentgen ini suatu keharusan rutin.1,2
Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan roentgen saat ini dapat
dianggap tidak lengkap. Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan
dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan radiologik. Selain itu,
berbagai kelainan dini dalam paru juga sudah dapat dilihat dengan jelas
pada foto roentgen sebelum timbul gejala-gejala klinis. Foto roentgen yang
dibuat pada suatu saat tertentu dapat merupakan dokumen yang abadi dari
penyakit seorang penderita, dan setiap waktu dapat dipergunakan dan
diperbandingkan dengan foto yang dibuat pada saat- saat lain.1,2
Berbagai penyakit paru saat ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Penyakit infeksi, tuberkulosis maupun non tuberkulosis, asma
dan penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru dan juga penyakit paru
akibat kerja merupakan contoh penyakit-penyakit yang punya dampak luas
di masyarakat. Khusus Indonesia, penyakit-penyakit infeksi paru masih
menyebabkan morbiditas, demikian pula dengan silikosis, asma bronkial
dan penyakit paru obstruktif.1
Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada
kondisi yang tidak aman dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Menurut International Labor Organization (ILO), setiap hari terjadi 1,1 juta
kematian yang disebabkan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat
hubungan pekerjaan. Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam
maupun di luar lingkungan kerja sehingga mempengaruhi sistem respirasi.
Beberapa jenis industri mengkhawatirkan, karena mengancam kesehatan

1
diantaranya pencemaran udara ataupun proses pengolahan bahan baku
tertentu yang berpotensi bahaya seperti debu batu bara, semen, kapas, asbes,
zat-zat kimia, gas-gas beracun, dan lainnya.2
Sebagai tenaga kesehatan, harus melakukan pengkajian terhadap
pasien dan penegakan diagnosis yang tepat. Penegakan diagnosis dapat
dibantu dengan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen. Sehingga dapat
ditentukan perencanaan serta intervensi yang tepat untuk pasien agar hasil
yang diperoleh dapat maksimal dan benar-benar bermanfaat untuk pasien.1,2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumokoniosis


Penyakit paru yang disebabkan oleh debu- debu berbahaya disebut
Pneumokoniosis. Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu
“pneumo” yang berarti paru dan “konis” yang berarti debu. Terminologi
pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk menggambarkan penyakit
paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral. International Labour
Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan
yang terjadi akibat penumpukan debu di dalam paru yang menyebabkan
reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Pneumokoniosis digunakan untuk
menyatakan berbagai keadaan berikut: 3,4
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika
(silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis) Putri Rinawati.
2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoconiosis batubara.
3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis).
Penyakit paru yang dapat timbul karena debu selain tergantung dari
sifat-sifat debu, juga jenis debu, lama paparan dan kepekaan individu.
Pneumokoniosis biasanya timbul setelah paparan bertahun-tahun. Apabila
kadar debu tinggi / kadar silika bebas tinggi dapat terjadi silikosis akut yang
menimbulkan manifestasi setelah terpapar 6 bulan. Dalam masa paparan
yang sama, kelainan yang timbul pada pekerja yang berbeda, dampaknya
bisa berbeda pula. Hal ini karena perbedaan kepekaan tubuh antar para
pekerja. Beberapa penyakit akibat debu antara lain adalah asma kerja,
bronkitis industri, pneumokoniosis batubara, silikosis, dan kanker paru.3,4

2.2. Etiologi Dan Klasifikasi Pneumokoniosis


Nama dari setiap pneumokoniosis tergantung dari debu yang
memapar pekerja. Berikut tabel yang menjelaskannya : 3,4

3
Tabel 1. Etiologi dan Klasifikasi Pneumonikosis.3

2.3. Patogenesis
Saluran pernapasan pada manusia berhubungan dengan udara yang
dihirup. Udara yang dihirup tentu berasal dari lingkungan sekitar manusia
berada. Udara juga membawa partikel-partikel kecil (debu) yang mungkin
memiliki potensi berbahaya. Dalam hal ini pekerja dengan lingkungan

4
pekerjaan yang berdebu, baik debu yang berbahaya dan tidak berbahaya,
berikut ini akan dikaji karakteristik debu. Debu Industri yang terdapat di
udara dibagi 2, yaitu partikel debu yang hanya sementara berada di udara
(deposit particulate matter) dan debu yang tetap berterbangan bersama udara
dan tidak mudah mengendap (Suspended particulate matter). Sedang
partikel yang dapat dihirup manusia berukuran atara 0,1 hingga 10 mikron.
Debu dengan ukuran 5-10 mikron bila terhirup akan tertahan dalam saluran
napas bagian atas. Untuk debu ukuran 3-5 mikron akan tertimbun dalam
saluran napas bagian tengah.3,5
Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron (debu respirable) adalah
yang paling berbahaya karena dapat tertahan dan tertimbun mulai dari
bronkiolus terminalis sampai alveoli. Debu < 1 mikron tidak mudah
mengendap di alveoli, debu dengan ukuran 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan
gerak Brown keluar masuk alveoli, bila membentur alveoli dapat tertimbun
juga. Meskipun batas debu respirable adalah 5 mikron, namun debu ukuran
5-10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk dalam alveoli. Debu
berukuran > 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang
dari 10 partikel/mmᶟ udara. Bila jumlahnya 1.000 partikel/mmᶟ udara, maka
10%-nya akan tertimbun dalam paru.3
Debu yang non-fibrogenik (tidak menimbulkan reaksi jaringan
paru) contohnya debu besi, kapur, timah. Debu –debu ini dulunya dianggap
tidak merusak paru, di sebut juga debu inert. Namun akhir-akhir ini
diketahui bahwa tidak ada debu yang benar-benar inert. Dalam jumlah
banyak semua debu bersifat merangsang dan menimbulkan reaksi walau
ringan. Reaksi itu dapat berupa produksi lendir yang berlebih, bila terus
menerus berlangsung dapat terjadi hiperplasia kelenjar mukus. Jaringan paru
juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan ikat retikulin. Penyakit ini
disebut pneumokoniosis non-kolagen. Sedang debu fibrogenik dapat
menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga terbentuk fibrosis (jaringan
parut). Penyakit ini disebut Pneumokoniosis kolagen. Termasuk debu
fibrogenik adalah debu silika bebasm debu batu bara, dan asbes.3

5
Debu-debu yang masuk ke dalam saluran pernapasan menyebabkan
timbulnya reaksi pertahanan non-spesifik, antara lain batuk, bersin,
gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos
disekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan
bronkus. Keadaan ini terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas.
Sistem mukosilier juga mengalami gangguan dan menyebabkan produksi
lendir bertambah. Bila lendir makin banyak & mekanisme pengeluaran tidak
sempurna, dapat menyebabkan obstruksi saluran napas, sehingga resistensi
jalan napas meningkat. Sedangkan apabila partikel debu masuk ke dalam
alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul, lalu dengan sistem limfatika
terjadi proses fagositosis debu oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik
terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis.
Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya
makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas lagi terjadi
autolisis lagi, keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan
destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan
jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut.
Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan
jaringan interstisial. Akibat fibrosis, paru menjadi kaku sehingga dapat
menyebabkan gangguan pengembangan paru, kelaianan fungsi paru yang
restriktif.3,4
Adapun mekanisme terjadinya pneumokoniosis dibagi menjadi tiga
tahap yakni tahap impaksi, sedimentasi dan difusi.3
1. Impaksi
Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak dapat
berubah arah pada percabangan saluran napas. Akibat hal tersebut
banyak partikel tertahan di mukosa hidung, faring ataupun percabangan
saluran napas besar. Sebagian besar partikel berukuran lebih besar dari 5
mm tertahan di nasofaring. Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel
tertahan di percabangan bronkus karena tidak bisa berubah arah.3

6
2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai dengan
berat partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang (1-5
mm). Umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti
bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius. Debu ukuran 3-5
mikron akan menempel pada mukosa bronkioli sedangkan ukuran 1-3
mikron (debu respirabel) akan langsung ke permukaan alveoli paru.
Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada
saluran napas tengah. Sekitar 90% dari konsentrasi 1000 partikel per cc
akan dikeluarkan dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara lambat
dapat menyebabkan pneumoconiosis.3
3. Difus
Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara.
Terjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu membentur
alveoli sehingga akan tertimbun di dinding alveoli (gerak Brown).3

2.4. Manifestasi Klinis


2.4.1. Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP)
Penyakit terjadi akibat penumpukan debu batubara di paru dan
menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Penyakit ini
terjadi bila paparan cukup lama, biasanya setelah pekerja terpapar >
10 tahun. Berdasarkan gambaran foto Thorax dibedakan atas bentuk
simple dan complicated.3,4
Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP) terjadi
karena inhalasi debu batubara saja. Gejalanya hampir tidak ada, dan
bila paparan tidak berlanjut maka penyakit ini tidak akan memburuk.
Penyakit ini dapat berkembang menjadi bentuk complicated.
Kelainan foto thorax pada simple CWP berupa perselubungan halus
bentuk lingkar, perselubungan dapat terjadi di bagian mana saja pada
lapangan paru, yang paling sering di lobus atas. Sering ditemukan
perselubungan bentuk p dan q. Pemeriksaan Faal Paru biasanya tidak

7
menunjukkan kelainan. Nilai VEP₁ dapat sedikit menurun sedangkan
kapasitas difusi biasanya normal.3,4
Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis
Masif Progresif (PMF) ditandai adanya daerah fibrosis yang luas
hampir selalu terdapat di lobus atas. Fibrosis biasanya terjadi karena
satu atau lebih faktor berikut : 3,4
1. Terdapat silika bebas dalam debu batubara.
2. Konsentrasi debu yang sangat tinggi.
3. Infeksi Mycobacterium tuberculosis atau atipik
4. Imunologi penderita buruk.
Gejala awal biasanya tidak khas. Batuk dan sputum menjadi
lebih sering, dahak berwarna hitam (melanoptisis). Kerusakan yang
luas menimbulkan sesak napas yang makin bertambah, pada stadium
lanjut terjadi kor hipertensi pulmonal, gagal ventrikel kanan dan
gagal napas.3,4

2.4.2. Silikosis
Penyakit ini terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang
mengandung kristalin silikon dioksida atau silika bebas. Pada
berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan silika, penyakit
silikosis ini dapat terjadi, seperti pada pekerja : 3,4,5
1. Pekerja tambang logam dan batubara.
2. Penggali terowongan untuk membuat jalan.
3. Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan.
4. Pembuat keramik dan batubara.
5. Penuangan besi dan baja.
6. Industri yang memakai silika sebagai bahan, misalnya pabrik
amplas & gelas.
7. Pembuat gigi enamel.
8. Pabrik semen.

8
Usaha untuk menegakkan diagnosis silikosis secara dini
sangat penting, oleh karena penyakit dapat terus berlanjut meskipun
paparan telah dihindari. Pada penderita silikosis, insidensi
tuberkulosis lebih tinggi dari populasi umum.3,4,5
Secara klinis terdapat 3 bentuk silikosis, yakni silikosis
akut, silikosis kronik, silikosis terakselerasi.3,4,5
A. Silikosis Akut
Penyakit dapat timbul dalam beberapa minggu, bila
pekerja terpapar dengan konsentrasi sangat tinggi. Perjalanan
penyakit sangat khas, yaitu gejala sesak napas yang progresif,
demam, batuk dan penurunan berat badan setelah paparan silika
konsentrasi tinggi dalam waktu relatif singkat. Lama paparan
silika berkisar antara beberapa minggu hingga 4 atau 5 tahun.
Kelainan Faal paru yang timbul adalah restriksi berat dan
hipoksemia disertai penurunan kapasitas difusi.3,4,5
B. Silikosis Kronik
Kelainan pada penyakit ini mirip dengan pneumokoniosis
pekerja tambang batubara, yakni terdapat nodul yang biasanya
dominan di lobus atas. Bentuk silikosis kronik paling sering
ditemukan, terjadi setelah paparan 20 hingga 45 tahun oleh
kadar debu yang relatif rendah. Pada stadium simple, nodul di
paru biasanya kecil dan tanpa gejala/ minimal. Walaupun
paparan tidak ada lagi, namun kelainan paru dapat menjadi
progresif sehingga terjadi fibrosis yang masif.3,4,5
Pada silikosis kronik yang sederhana, faal paru
menunjukkan gangguan restriksi, obstruksi atau campuran.
Kapasitas difusi dan komplian menurun. Timbulnya gejala sesak
napas, biasanya disertai batuk dan produksi sputum. Sesak pada
awalnya terjadi saat aktivitas, kemudian pada waktu istirahat
dan akhirnya timbul gagal kardiorespirasi.3,4,5

9
Di pabrik semen daerah cibinong (1987) dari 176 pekerja
yang diteliti ditemukan silikosis sebanyak 1,13% dan diduga
silikosis 1,7%. Pada tahun 1991 penelitian pada 200 pekerja
pabrik semen ditemukan dugaan silikosis sebanyak 7%.
Perbedaan angka yang didapat, diduga karena perbedaan
kualitas foto thorax, dan kadar silika bebas dalam debu yang
memapari pekerja.3,4,5
C. Silikosis Terakselerasi
Bentuk kelainan ini serupa dengan silikosis kronik, hanya
saja perjalanan penyakit lebih cepat dari biasanya, menjadi
fibrosis masif, sering terjadi infeksi mikobakterium tipikal /
atipik. Setelah paparan 10 tahun sering terjadi hipoksemia yang
berakhir dengan gagal napas.3,4,5
2.4.3. Asbestosis
Penyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbulkan
pneumokoniosis yang ditandai dengan fibrosis paru. Paparan dapat
terjadi di daerah industri dan tambang, atau daerah yang udaranya
terpolusi debu asbes. Pekerja yang dapat terkena asbestosis adalah
pekerja tambang, penggilingan, trransportasi, pedagang, pekerja
kapal dan pekerja penghancur asbes.3,4
Gejala utama adalah sesak napas yang pada awalnya terjadi
pada waktu aktivitas. Pada stadium akhir gejala yang umum adalah
sesak napas pada saat istirahat, batuk, dan penurunan berat badan.
Sesak napas terus memburuk meskipun penderita dijauhkan dari
paparan asbes, 15 tahun sesudah awal penyakit biasanya terjadi kor
pulmonal dan kematian. Penderita sering mengalami infeksi saluran
napas, keganasan pada bronkus, gastrointestinal dan pleura sering
menjadi penyebab kematian.3,4
Pada stadium awal, pemeriksaan fisik tidak banyak
menunjukkan kelainan, akibat fibrosis difus dapat terdengar ronki
basah di lobus bawah bagian posterior. Bunyi ini makin jelas bila

10
terjadi bronkiektasis (penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik) akibat
distorsi paru yang luas karena fibrosis. Jari tabuh (Clubbing finger)
sering ditemukan pada penderita asbestosis.3,4
Pemeriksaan faal paru menunjukkan kelainan restriksi
meskipun tidak ada gejala, pada sebagian penderita terdapat kelainan
obstruksi. Kapasitas difusi dan komplians paru menurun, pada tahap
lanjut terjadi hipoksemia.3,4
Biopsi paru mungkin perlu pada kasus tertentu untuk
menegakkan diagnosis. Biopsi paru transbronkial hendaknya
dilakukan untuk mendapatkan jaringan paru. Pemeriksaan
bronkoskopi juga berguna menyingkirkan atau mengkonfirmasi
adanya karsinoma bronkus yang dapat terjadi bersamaan dengan
kejadian asbestosis.3,4

2.5. Gambaran Foto Thorax Pneumokoniosis


Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis
dan menilai kerusakan paru akibat debu adalah Pemeriksaan Radiologis dan
Pemeriksaan Faal Paru dengan Spirometri. Pemeriksaan foto thorax sangat
berguna untuk melihat kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada
Pneumokoniosis. Klasifikasi Standar menurut ILO dipakai untuk menilai
kelainan yang timbul.2,3
Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi dua golongan, yaitu
perselubungan halus dan kasar : 2,3
1. Perselubungan halus (small opacities)
Perlu diketahui empat sifat perselubungan untuk mengetahui
penggolongan ini, yaitu bentuk, ukuran, banyak dan luasnya
perselubungan. Menurut bentuknya dikenal perselubungan halus bentuk
lingkar dan bentuk irregular. Ukuran perselubungan dibagi dalam 3
kategori untuk masing- masing bentuk.2,3

11
Bentuk perselubungan lingkar dibagi berdasarkan diameternya, yaitu : 2,3
 p = bentuk lingkar dengan diameter sampai 1,5 mm.
 q = bentuk lingkar dengan diameter antara 1,5 – 3 mm.
 r = bentuk lingkar dengan diameter 3 – 10 mm.

Bentuk iregular dibagi berdasarkan lebarnya, yaitu : 2,3


 s = perselubungan halus sampai lebar 1,5 mm.
 t = perselubungan sedang dengan lebar antara 1,5 – 3 mm.
 u = perselubungan kasar dengan lebar antara 3 – 10 mm.
Untuk menuliskan ukuran dan bentuk harus digunakan 2 huruf.
Huruf pertama menunjukkan kelainan yang lebih dominan. Misalnya q/t
= perselubungan dengan bentuk q yang dominan, tetapi ada bentuk
perselubungan iregular berbentuk t tapi kurang banyak dibandingkan
dengan bentuk q.2,3
Kerapatan (profusion) didasarkan pada konsentrasi atau jumlah
perselubungan lingkar per satuan area. Dibagi atas kategori 0 sampai 3,
dengan rincian sebagai berikut : 2,3
 Kategori 0 = tidak ada perselubungan atau kerapatan kurang dari 1.
 Kategori 1 = ada peselubungan tetapi tidak banyak jumlahnya.
 Kategori 2 = perselubungan banyak, tetapi corakan paru masih
kelihatan.
 Kategori 3 = perselubungan sangat banyak sehingga corakan paru
sebagian atau seluruhnya menjadi kabur.
Pada pembacaan foto toraks pneumokoniosis ada 12 kategori, yaitu : 2,3
0/-, 0/0, 0/1, 1/0, 1/1, 1/2, 2/1, 2/2, 2/3, 3/2, 3/3, 3/+
Angka pertama menunjukkan kerapatan yang lebih dominan
daripada angka di belakangnya. Pada penentuan klasifikasi
pneumokoniosis menurut gambaran foto toraks diperlukan perbandingan
dengan film standar. Menurut distribusi perselubungan, lapangan paru
dibagi atas 6 area. Tiap lobus mempunyai 3 area yaitu lobus atas, lobus

12
tengah dan lobus bawah. Kerapatan merupakan petunjuk penting
menentukan derajat beratnya penyakit.2,3

2. Perselubungan kasar (large opacities).


Perselubungan ini dibagi atas 3 kategori, yaitu A, B dan C.
 Kategori A: Satu perselubungan dengan diameter antara 1-5 cm atau
beberapa perselubungan dengan diameter masing-masing lebih dari 1
cm, tetapi bila diameter tiap perselubungan dijumlahkan maka tidak
melebihi 5 cm.2,3
 Kategori B: Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau
lebih banyak dibandingkan kategori A dengan jumlah luas
perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan atas.2,3
 Kategori C: Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya
melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan paru
kanan.2,3
Pembacaan foto Thorax pneumokoniosis perlu dibandingkan
dengan foto standar untuk menentukan klasifikasi kelainan. Kualitas foto
harus baik atau dapat diterima untuk dapat menginterpretasikan kelainan
paru lewat foto Rontgen.2,3

2.5.1. Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP)


Pada simple CWP dan kelainan radiologis berupa perselubungan
halus bentuk lingkar, perselubungan tersebut dapat ditemukan di mana saja
pada lapangan paru, tetapi yang paling sering di lobus atas. Pada daerah
fibrosis dapat timbul kavitas dan ini bisa menyebabkan pneumotoraks; foto
thorax pada CWP sering mirip tuberkulosis, tetapi sering ditemukan
bentuk campuran karena terjadi emfisema. Tidak ada korelasi antara
kelainan faal paru dan luasnya lesi pada foto thorax.2,3,5
Perselubungan halus bentuk p dan q lebih sering ditemukan pada
CWP, sedangkan bentuk nodul atau bentuk r lebih sering pada
silikosis.Tetapi pada kebanyakan kasus, secara radiologis CWP dan

13
silikosis sukar dibedakan, kecuali bila terdapat kalsifikasi parenchymal
opacities atau egg-shell calcification yang khas untuk silikosis.2,3,5

Gambar 1. Foto Thorax Simple Coal Workers Pneumoconiosis.2

Gambar 2. Foto Thorax Simple Coal Workers Pneumoconiosis.2

14
2.5.2. Silikosis
Foto Thorax menunjukkan nodul terutama di lobus atas dan
mungkin disertai kalsifikasi. Pada bentuk lanjut terdapat massa yang besar
yang tampak seperti sayap malaikat (angel’s wing). Sering terjadi reaksi
pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar hilus biasanya membesar dan
membentuk bayangan egg shell calcification. Jika fibrosis masif progresif
terjadi, volume paru berkurang dan bronkus mengalami distorsi.2,3

Gambar 3. Foto Thorax Silikosis 2

15
Gambar 4. Foto Thorax Silikosis 2

Gambar 5. Foto Thorax Silikosis 2

16
2.5.3. Asbestosis
Pada stadium awal mungkin tidak ada gejala meskipun foto Thorax
menunjukka gambaran asbestosis / penebalan pleura. Perubahan pada foto
Thorax lebih jelas pada bagian tengah dan bawah paru, dapat berupa
bercak difus atau bintik-bintik putih, bayangan jantung sering menjadi
kabur. Diafragma dapat meninggi pada stadium lanjut karena paru yang
mengecil. Penebalan pleura biasanya terjadi bilateral, terlihat di daerah
tengah dan bawah terutama bila timbul kalsifikasi. Bila proses lanjut,
terlihat gambaran sarang tawon di lobus bawah. Mungkin ditemukan
keganasan bronkus atau Mesothelioma ( Kanker pleura ). Berbeda dengan
pneumokoniosis batubara dan silikosis yang penderitanya dapat
mempunyai gejala sesak napas tanpa kelainan foto Thorax.2,3

Gambar 5. Foto Thorax Asbestosis. 2

17
Gambar 6. Foto Thorax Asbestosis. 2

18
BAB III
KESIMPULAN

1. Penyakit paru yang disebabkan oleh debu - debu berbahaya disebut


Pneumokoniosis. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan
untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi
debu mineral.
2. Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis dan
menilai kerusakan paru akibat debu adalah Pemeriksaan Radiologis dan
Pemeriksaan Faal Paru dengan Spirometri. Pemeriksaan foto thorax sangat
berguna untuk melihat kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada
Pneumokoniosis. Klasifikasi Standar menurut ILO dipakai untuk menilai
kelainan yang timbul.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. In:Yunus F,


Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B, editor.
Pulmonologi klinik. 1st Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992 : 05-7.
2. Bangun U, Widjaya M. Analisis epidemiologis pneumokoniosis
berdasarkan X ray paru klasifikasi standar international labour
organization (ILO) pada pekerja tambang batu P.T. A di Bandung Jawa
Barat [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1998
3. Ngurah Rai IB. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi. In:
Abdullah A, Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara, et al.
Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia. Makassar: Sub-bagian paru Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003 : 183-8.
4. International Labour Organization. Guidelines for the use of the ILO
International Classification of Radiographs of pneumoconiosis. Revised
edition 2000. Geneva; International Labour Office, 2002.
5. Susanto, Agus Dwi. Pneumokoniosis. Pengembangan Pendidikan
Keprofesian Berkelanjutan- IDI. J Indon Med Assoc; 2011 (61): 12.

20

Anda mungkin juga menyukai