6 Morfologi Lesi 1
6 Morfologi Lesi 1
DEMAM TIFOID
Oleh:
Kelompok 5
Pembimbing:
dr. Sri Maria Puji Lestari, M.Pd.Ked
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Bagus Nur Eko Prasetio 17360090
Dhony Widiyantoro 17360098
Dwinka Agita Putri 17360099
Evina Nurulita 17360101
Febi Fahri 17360103
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Malahayati Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas hidayah dan rahmat ilmu serta kekuatan dari Ilahi Rabbi
yang telah dicurahkan kepada penyusun makalah ini sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam juga tetap tercurahkan kepada
Rasulullah beserta junjungannya karena keindahan budi pekerti yang menjadi suri
tauladan kita.
data kunjungan pasien tahun 2017 sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Terima kasih juga kami tujukan kepada rekan-rekan kami di RSPBA yang
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, semoga menjadi pahala yang
dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kami dan para pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................3
1.3 Tujuan Praktik...............................................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum.......................................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................................4
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................................................4
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan................................................................................................................31
4.2 Saran...........................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................33
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.3.................................................................................................................27
Tabel 3.4.................................................................................................................27
v
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
yang telah tercemar oleh virus tersebut. Manifestasi klinis dan tingkat
perhatian medis yang cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan.
(husada, 2009).
sebagian wilayah dunia, seperti bekas negara Uni Soviet, anak benua India,
terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan
juta populasi/ tahun di Amerika Latin. Hingga 1.000 kasus/ juta populasi/
1
Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan
pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan
cukup tinggi, yaitu 1,6 persen, atau sekitar 600.000-1.500.000 kasus setiap
Indonesia. Tahun 2009 demam tifoid dan paratifoid terdapat 80.850 kasus,
kematian 1013 dan CFR 1,25%. (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007,
2008, 2009).
tahun 2010 melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081
kasus). Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar di Indonesia , kasus
2
Menurut Badan Statistik Provinsi Lampung tahun 2014 menyebutkan
angka kejadian demam tifoid pada pasien rawat jalan di RS sebanyak 210 dan
96 untuk kasus rawat inap . Menurut laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
dengan gejala tertinggi terdapat di Way Kanan (2,5%) dan terendah di Tulang
typhus (demam tifoid) ini sudah menjadi masalah yang sering ditemukan
langkah pencegahan.
berikut:
3
1.3 Tujuan Praktik
Amin.
1. Manfaat Ilmiah
2. Manfaat Praktis
4
a. Hasil penulisan ini sebagai masukan bagi instansi terkait sehingga dapat
tifoid.
BAB II
5
TINJAUAN PUSTAKA
dipercaya
6
1. Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari
7
penyakit-penyakit yang mudah menimbulkan epidemi atau
pendemi.
tidak menular
mewabah.
8
2.1.2 Tinjauan Umum Surveilans Penyakit Demam Tifoid
dan terus menerus tentang situasi demam tifoid dan kondisi yang
panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan demam yang makin
2.2.1 Definisi
Demam Tifoid atau demam enterik adalah penyakit demam akut yang
9
bakteri sekaligus multipikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati,
2006 )
a. Morfologi
Salmonella memiliki bentuk seperti batang, pada pewarnaan
b. Fisiologi
10
Salmonella tumbuh pada suasana aerob dan anaerob fakultatif,
koloni berwarna hitam . Bakteri ini mati pada suhu 56°C juga pada
keadaan kering. Dalam air bisa bertahan selama 4 minggu, hidup subur
nilai diagnosis yang tinggi . Titer antibodi yang timbul oleh antigen
Antigen ini rusak dengan pendidihan dan alkohol, tetapi tidak rusak
oleh formaldehid .
c. Antigen Vi
11
Merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antibodi
produktif, penyakit ini menyebabkan angka absensi yang tinggi, rata – rata
carrier manusia adalah sumber infeksi . S.typhi bisa berada didalam air, es,
debu, sampah kering, yang bila organisme ini masuk ke vehicle yang
yang nyata insidens tifoid pada pria dan wanita . Insiden tifoid di
Indonesia masih sangat tinggi demikian pula dari telaah kasus di beberapa
12
sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya
individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat
dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%)
2016)
menelan organisme ini . Sebanyak 50% orang dewasa menjadi sakit bila
biak . Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
13
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah
usus . Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
14
limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus, dan dapat
demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari , dapat lebih singkat 3 hari
atau lebih panjang selama 2 bulan . Gejala yang timbul sangat bervariasi
dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang
dan ke-3 sakit, biasanya dalam 4 minggu gejala telah hilang atau lebih
lama. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis . Pada pemeriksaan fisik
denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi
15
a. Kultur
Seperti yang disinggung sebelumnya bahwa diagnosis definitif
dari spesimen yang berasal dari urin dan feses memiliki keberhasilan
Metode kultur dari sum-sum tulang ini jarang dipakai saat praktik karena
duodenum dan hasil kultur dari spesimen empedu ini cukup baik .
(Sumarmo et al , 2012)
b. Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan
S.typhi . Pada uji widal terdapat suatu reaksi aglutinasi antara antigen
16
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu : a). aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagel
minggu ke-4 dan tetap tinggi selama beberapa minggu . Pada fase akut,
orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
penyakit.
d. Uji Thypidot
Uji ini dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
17
didapatkan setelah 2-3 hari setelah infeksi . Didapatkan sensitivitas uji
Typidot-M yang hanya spesifik mendeteksi IgM . uji ini lebih sensitif
dilihat hanya dalam waktu 2 menit. Tes tubex menunjukkan hasil yang
Salmonella typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini
Typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung
antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna . Pemeriksaan ini
18
mudah dan efisien sehingga sering digunakan untuk diagnosis demam
19
2.2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid
Sampai saat ini terdapat trilogi untuk penatalaksanaan demam tifoid :
a. Istirahat dan perawatan
Untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan , dapat
adalah :
20
1. Kloramfenikol
2. Tiamfenikol
3. Kotrimoksazol
5. Sefalosporin generasi 3
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi 3 yang
21
selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5
hari .
6. Fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis sediaan dan aturan pemberiannya :
a. Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
b. Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
c. Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
d. Pefloksasin dan Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
e. Levofloksasin dosis 1x500 mg/hari selama 5 hari
7. Azitromisin
Azitromisin 2x500 mg menunjukkan bahwa penggunaan
(Widodo , 2014)
22
usus . Bila luka menembus lumen usus dan pembuluh darah
b. Perforasi usus
ileus . bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati
B. Komplikasi Ekstra-Intestinal
a. Komplikasi kardiovaskular
b. Komplikasi darah
c. Komplikasi paru
d. Komplikasi lain-lain
23
2.2.9 Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek , mulai
dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor
2. Vaksinasi
Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah
24
BAB III
3.1 Hasil
3.1.1 Kegiatan Pokok Surveilans
a. Pengumpulan data
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Angka 11 12 10 20 13 10 8 17 15 19 9 6
Kejadian
Demam
Tifoid
Total 150 Kasus
terbanyak pada bulan April yaitu 20 kasus dan diikuti bulan Oktober yaitu
25
No Umur (Tahun) Frekuensi %
1. ≤ 5 tahun 21 14
2. 6-10 tahun 34 22,7
3. 11-15 tahun 9 6
4. 16-20 tahun 11 7,3
5. 21-25 tahun 11 7,3
6. ≥ 26 tahun 64 42,6
Total 150 100
kelompok usia produktif dan tertinggi kedua pada usia 6-10 tahun (22,7%)
3.2 Pembahasan
Selama periode Januari - Desember tahun 2017, kasus demam
tifoid terbanyak pada bulan April yaitu 20 kasus (13,3%) dan diikuti bulan
26
saat hujan rawan daerah atau tempat makanan atau jajanan terpapar bakteri
perempuan.
Penyakit demam tifoid dapat mengenai siapa saja karena penyakit
ini juga bergantung pada kebiasan hidup, jenis pekerjaan maupun kondisi
2007)
Hasil penelitian yang dilakukan di RS Mayo Lahore Pakistan
27
kejadian demam tifoid.Umur tertinggi kedua pada usia 6-10 tahun (22,7%)
yang merupakan anak usia sekolah , dikarenakan biasanya anak usia sekolah
Fatmawati Jakarta tahun 2001 menyebutkan bahwa usia yang paling rentan
untuk demam tifoid adalah 7-9 tahun sebanyak 51 pasien (28%) dari 182 .
Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan pada penelitian di Mesir yang
5-9 tahun yaitu 143 dari 100.000 kasus pertahun . (Musnelina et al , 2004 ;
Padmini , 2006)
Berdasarkan tabel 4.4 distribusi frekuensi lama rawat inap
merupakan jumlah terbanyak dirawat dengan rentang 5-7 hari lama rawat
inap , sedangkan 70 pasien (46,7%) dirawat dengan rentang ≤ 2-4 hari. . Hal
ini dikarenakan setelah terapi antibiotik , demam rata-rata akan turun pada
hari ke-4 sehingga setelah itu pasien dapat dipulangkan dan oleh karena
anjuran dokter agar pasien terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps
yang tidak diinginkan dapat dihindari. Lama tidaknya pasien dirawat inap
beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain demam
28
antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah
bahwa antibiotik tersebut efektif sebagai terapi demam tifoid. Saat redanya
menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi atau kuman penyebab adalah
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Penyakit demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan mauun
di pedesaaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas hygiene pribadi
dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia bersifat endemik
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat.
2. Surveilans epidemiologi sangat penting untuk mengetahui besar masalah
kesehatan/ penyakit (frekuensi atau insidensi) di masyarakat, sehingga bisa
dibuat perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun
pemberantasannya. Dalam kasus ini adalah kasus demam tifoid yang
ditangani di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin
29
3. Selama periode Januari - Desember tahun 2017, kasus demam tifoid
terbanyak pada bulan April yaitu 20 kasus dan diikuti bulan Oktober yaitu
19 kasus, dengan insiden terendah adalah bulan Desember dengan 6 kasus
dan total jumlah kasus sepanjang tahun 2017 adalah 150 kasus.
Berdasarkan jenis kelamin perempuan lebih banyak (58,7%) dibandingkan
dengan laki-laki (41,3%). Berdasarkan umur yaitu tertinggi pada usia ≥ 26
tahun (42,6%) dimana mayoritas mengenai kelompok usia produktif dan
tertinggi kedua pada usia 6-10 tahun (22,7%) yang merupakan anak usia
sekolah.
4.2 Saran
1. Perlunya pemahaman setiap petugas terdepan di unit pelayanan kesehatan
masyarakat dalam hal ini adalah petugas puskesmas akan surveilans
epidemiologi guna pencatatan dan pelaporan yang lebih akurat.
2. Koordinasi dan kerjasama lintas sektoral terkait untuk melakukan
kebersihan lingkungan yang masih kotor agar masyarakat tidak terjangkit
demam tifoid, adalah penting dalam rangka upaya jangka panjang didalam
pencegahan dan penanggulangan kasus demam tifoid.
3. Menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar untuk membuat desain
kegiatan pencegahan dan penanggulangan demam tifoid. Melakukan
penyuluhan secara berkala untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan
sehat bagi masyarakat, memperbaiki sanitasi lingkungan, menghindari
jajan di tempat yang kurang terjamin kebersihannya, membiasakan
mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, minimal selama 15 detik,
serta menambah pengetahuan masyarakat tentang demam tipoid dan
penanganannya.
30
31
DAFTAR PUSTAKA
.
32
Padmini, Srikantiah , Fourad, Girgis , Stephen, Luby 2006 , ‘Population based
surveillance of typhoid fever in Egypt , American Journal of Tropic
Medicine , hh. 114-119
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2406/
MENKES/PER/XII/2011, 2011 , tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik, 01 Desember 2011.Menteri Kesehatan RI, Jakarta
Purba, I, E , Wandra, T , Nugrahini, N , Nawawi, S , Kandun , N 2016 , ‘Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia : tantangan dan peluang’, Jurnal
Media Litbangkes ,vol.26,no.2, hh 99–108, dilihat 16 Januari 2017,
<http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/5447>
Rampengan , T, H 2007, Penyakit infeksi tropik pada anak edisi ke-2 , EGC ,
Jakarta , hh 46-64
Rampengan,N, H 2013 , ‘Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Anak’, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5, hh 271-272
Rencana Aksi PP dan PL 2015-2019 , 2015 , Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan , Jakarta
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) , 2013 , Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI , Jakarta
Satari , Sidabutar 2010 , ‘Pilihan Terapi Empiris Pada Anak’, Sari Pediatri , vol
11
Siswanto , Susila , Suyanto 2013 , Metodologi Penelitian Kesehatan dan
Kedokteran , Bursa Ilmu , Yogyakarta
Sumarmo, Soedarmo , Herry, Gama , Sri, Rezki , HS, Irawan , 2012 , Demam
Tifoid dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi ke-2 , Ikatan
Dokter Indonesia , Jakarta .
WHO 2013 , Guidelines for ATC classification and DDD assignment 2013 ,
December 2012 , WHO Collaborating Centre for Drug Statistics
Methodology Norwegian Institute of Public Health , Oslo , Norway .
Widodo, Djoko 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I, Interna Publishing ,
Jakarta Pusat
World Health Organization (WHO) 2003 , Background document:The
diagnosis,Treatment and Prevention of Typhoid Fever , mei 2003 , WHO ,
Switzerland
33