Anda di halaman 1dari 38

Makalah Surveilans

DEMAM TIFOID

Oleh:
Kelompok 5

Bagus Nur Eko Prasetio 17360090


Dhony Widiyantoro 17360098
Dwinka Agita Putri 17360099
Evina Nurulita 17360101
Febi Fahri 17360103

Pembimbing:
dr. Sri Maria Puji Lestari, M.Pd.Ked

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN


MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Makalah Surveilans : Demam Tifoid

Disusun oleh :
Bagus Nur Eko Prasetio 17360090
Dhony Widiyantoro 17360098
Dwinka Agita Putri 17360099
Evina Nurulita 17360101
Febi Fahri 17360103

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Malahayati Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.

Bandar Lampung, Mei 2018


Pembimbing

dr. Sri Maria Puji Lestari, M.Pd.Ked

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas hidayah dan rahmat ilmu serta kekuatan dari Ilahi Rabbi

yang telah dicurahkan kepada penyusun makalah ini sehingga makalah ini dapat

diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam juga tetap tercurahkan kepada

Rasulullah beserta junjungannya karena keindahan budi pekerti yang menjadi suri

tauladan kita.

Penulis sangat berterima kasih kepada Kepala RS PERTAMINA

BINTANG AMIN telah memperkenankan kami melakukan penelitian mengenai

data kunjungan pasien tahun 2017 sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Terima kasih juga kami tujukan kepada rekan-rekan kami di RSPBA yang

membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, semoga menjadi pahala yang

baik bagi rekan-rekan sekalian. Mudah-mudahan dengan terbuatnya makalah ini

dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kami dan para pembaca.

Bandar Lampung, Mei 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................3
1.3 Tujuan Praktik...............................................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum.......................................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................................4
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tinjauan Umum Surveilans Epidemiologi dan Survailans Penyakit Demam
Tifoid............................................................................................................................6
2.1.1 Tinjauan Umum Survailans Epidemiologi...........................................................6
2.1.2 Tinjauan Umum Surveilans Penyakit Demam Tifoid..........................................8
2.2 Epidemiologi Demam Tifoid.......................................................................................8
2.2.1 Definisi.................................................................................................................9
2.2.2 Etiologi Demam Tifoid......................................................................................10
2.2.3 Epidemiologi Demam Tifoid.............................................................................12
2.2.4 Patogenitas demam tifoid...................................................................................13
2.2.5 Gambaran Klinis Demam tifoid.........................................................................15
2.2.6 Diagnosa Laboratorium Demam Tifoid.............................................................16
2.2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid.........................................................................20
2.2.8 Komplikasi Demam Tifoid................................................................................23
2.2.9 Pencegahan Demam Tifoid................................................................................24

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil ..........................................................................................................................26
3.1.1 Kegiatan Pokok Surveilans...............................................................................26
3.2 Pembahasan................................................................................................................27

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan................................................................................................................31
4.2 Saran...........................................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................33

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 ................................................................................................................26

Tabel 3.2 ................................................................................................................26

Tabel 3.3.................................................................................................................27

Tabel 3.4.................................................................................................................27

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram

negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut

bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan

dilepaskan ke aliran darah. (Darmowandowo, 2006). Penyakit ini dapat

ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman

yang telah tercemar oleh virus tersebut. Manifestasi klinis dan tingkat

morbiditas demam typhoid bervariasi pada beberapa populasi yang diteliti.

Sekitar 60 hingga 90 % pasien dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan

perhatian medis yang cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan.

(husada, 2009).

Demam tifoid pada beberapa dekade terakhir sudah jarang terjadi di

negara-negara industri, namun tetap menjadi masalah kesehatan yang serius di

sebagian wilayah dunia, seperti bekas negara Uni Soviet, anak benua India,

Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan

terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan

kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita

demam tifoid di Asia. Di negara berkembang, diperkirakan sekitar 150 kasus/

juta populasi/ tahun di Amerika Latin. Hingga 1.000 kasus/ juta populasi/

tahun di beberapa negara Asia.(healthy caus, 2009)

1
Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan

higiene buruk. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella enterika

subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika

subspesies enterika serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A). CDC Indonesia

melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358-810/100.000 populasi

pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan

angka mortalitas bervariasiantara 3,1 – 10,4 % pada pasien rawat inap.

Sedangkan Hasil Riset Dasar Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa

prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1,6% . Provinsi NAD

merupakan prevalensi demam tifoid tertinggi yaitu sebesar 2,96%. Profil

kesehatan Indonesia 2008 menunjukkan prevalensi tifoid di Indonesia masih

cukup tinggi, yaitu 1,6 persen, atau sekitar 600.000-1.500.000 kasus setiap

tahun dan peringkat 15 dari penyakit yang menyebabkan kematian di

Indonesia. Tahun 2009 demam tifoid dan paratifoid terdapat 80.850 kasus,

kematian 1013 dan CFR 1,25%. (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007,

2008, 2009).

Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI

tahun 2010 melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola

penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081

kasus). Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar di Indonesia , kasus

demam tifoid menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke

tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian

antara 0,6%–5,0% . (Widodo , 2014; Rampengan, 2013)

2
Menurut Badan Statistik Provinsi Lampung tahun 2014 menyebutkan

angka kejadian demam tifoid pada pasien rawat jalan di RS sebanyak 210 dan

96 untuk kasus rawat inap . Menurut laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

2007 di provinsi Lampung menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid

dengan gejala tertinggi terdapat di Way Kanan (2,5%) dan terendah di Tulang

Bawang (0,3%) . Bandar Lampung merupakan salah satu daerah endemis

demam tifoid walaupun dalam Riskesdas bukan termasuk kota dengan

prevalensi demam tifoid tertinggi (1%) . (Riskesdas, 2007).

Data-data tersebut diatas telah menjadi bukti bahwa penyebaran penyakit

typhus (demam tifoid) ini sudah menjadi masalah yang sering ditemukan

dimasyarakat maka diperlukan langkah-langkah surveilans utuk mengetahui

seberapa besar penyebaran penyakit ini untuk nantinya di lakukan langkah-

langkah pencegahan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka diangkatlah rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana distribusi penyakit demam tifoid di wilayah kerja RS

Pertamina Bintang Amin tahun 2017 ?

2. Bagaimana pelaksanaan Surveilans penyakit demam tifoid di wilayah

kerja RS Pertamina Bintang Amin tahun 2017 ?

3
1.3 Tujuan Praktik

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pelaksanaan survailens dan epidemiologi demam

tifoid di RS Pertamina Bintang Amin tahun 2017

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui bagaimana pengumpulan data Demam Tifoid di RS

Pertamina Bintang Amin


2. Mengetahui analisis data dari surveilans penyakit Demam Tifoid di RS

Pertamina Bintang Amin


3. Untuk mengetahui bagaimana interpretasi/hasil olahan data penyakit

demam tipoid di RS Pertamina Bintang Amin


4. Mengetahui bagaimana upaya penyebarluasan informasi mengenai data

penyakit demam tipoid di RS Pertamina Bintang Amin


5. Untuk mengetahui frekuensi dan distribusi penyakit demam tifoid

menurut jenis kelamin dan umur di wilayah kerja RS Pertamina Bintang

Amin.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Manfaat Ilmiah

Hasil penulisan ini diharapkan memperkaya khasanah Ilmu Pengetahuan dan

merupakan bahan acuan dan pembanding bagi praktek surveilans berikut.

2. Manfaat Praktis

4
a. Hasil penulisan ini sebagai masukan bagi instansi terkait sehingga dapat

dijadikan sebagai dasar untuk program penanggulangan penyakit demam

tifoid.

b. Dapat dijadikan informasi bagi instansi dinas kesehatan kota Bandar

Lampung dan Rumah Sakit untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan

dalam penentuan kebijakan pada pengembangan program pencegahan

penyakit demam tifoid.

3. Manfaat bagi Penulis

Bagi penulis penelitian ini akan menjadi pengalaman berharga dalam

memperluas wawasan mengenai kejadian penyakit demam tifoid dan program

survailans penyakit demam tifoid.

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Surveilans Epidemiologi dan Survailans Penyakit


Demam Tifoid
2.1.1 Tinjauan Umum Survailans Epidemiologi

a. Pengertian Surveilans Epidemiologi

Survailens epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan

yang dilakukan secara sistematik dan berkesinambungan, analisis, dan

interpretasi data kesehatan dalam proses untuk menjelaskan dan

memantau (memonitor) peristiwa kesehatan. (Noor, 2004).

b. Tujuan Surveilans Epidemiologi

1. Mengetahui distribusi geografis penyakit.

2. Mengetahui periodesitas atau waktu terjadinya suatu penyakit yang

diambil minimal 3 tahun sehingga dapat terlihat trend penyakit.

3. Mengetahui situasi suatu masalah kesehatan, misalnya prevalensi,

insidens, angka serangan (attack rate), dan lain-lain.

c. Komponen Surveilans Epidemiologi

1. Pengumpulan dan pencatatan kejadian atau data yang dapat

dipercaya

2. Pengolahan data untuk memperoleh keterangan yang berarti

3. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan

4. Diseminasi data dan keterangan, termasuk umpan balik

5. Hasil evaluasi terhadap sistem surveilans

d. Jenis Surveilans Epidemiologi

6
1. Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari

laporan bulanan sarana pelayanan kesehatan yang ada di daerah.

2. Surveilans aktif, yaitu pengumpulan data yang dilakukan secara

langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu relatif

singkat dan dilakukan oleh petugas kesehatan secara teratur untuk

mencatat ada tidaknya kasus baru penyakit tertentu.

3. Surveilans menyeluruh, yaitu pengumpulan data yang dilakukan

dalam batas waktu tertentu di berbagai bidang agar dapat

mewakili populasi yang diteliti dalam suatu negara.

4. Surveilans sentinel, yaitu pengumpulan data yang dlakukan

terbatas pada bidang-bidang tertentu.

5. Surveilans berdasarkan kondisi masyarakat, sarana dan prasarana

serta laboratorium kesehatan.

e. Sasaran Surveilans Epidemiologi

1. Individu, pengamatannya dilakukan pada individu yang terinfeksi

dan mempunyai potensi untuk menularkan penyakit.

2. Populasi lokal, yaitu kelompok penduduk yang terbatas pada

orang-orang dengan risiko terkena penyakit (population at risk).

3. Populasi nasional, pengamatanya dilakukan terhadap semua

penduduk secara nasional.

4. Populasi internasional, merupakan pengamatan yang dilakukan

oleh berbagai negara secara bersama-sama, yang ditujukan untuk

7
penyakit-penyakit yang mudah menimbulkan epidemi atau

pendemi.

f. Kegiatan Surveilans Epidemiologi

1. Kegiatan Rutin mencakup:

a. Laporan rutin penyakit tertentu, baik menular maupun

tidak menular

b. Pencatatan dan pelaporan penyakit tertentu dalam masyarakat

yang biasanya terbatas pada berbagai kejadian yang mungkin

mempunyai dampak yang berat atau memiliki potensi

mewabah.

c. Pencatatan jenis penyakit wajib lapor, termasuk penyakit wjib

lapor, termasuk penyakit menular tertentu / penyakit karantina

serta berbagai penyakit yang memiliki potensi mewabah.

d. Surveilans ekologi dan lingkungan

e. Pengawasan dan pengmatan pemakaian zat tertentu, seperti

insektisida, vaksin dan lain-lain.

f. Pencatatan dan pelaporan peristiwa vital, meliputi kelahiran,

perkawinan, perceraian dan kematian.

2. Kegiatan khusus mencakup:

1) Pelaksanaan survei berkala

2) Pengamatan khusus KLB

3) Pengamatan khusus oleh dokter swasta dan klinik swasta

8
2.1.2 Tinjauan Umum Surveilans Penyakit Demam Tifoid

a. Pengertian survailans penyakit demam tifoid

Surveilans demam tifoid adalah proses pengumpulan, pengolahan,

analisis, dan interprestasi data, serta penyebarluasan informasi ke

penyelenggara program dan pihak/instansi terkait secara sistematis

dan terus menerus tentang situasi demam tifoid dan kondisi yang

mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit

tersebut agar dapat dilakuakan tindakan penanggulangan secara

efektif dan efisien.

b. Kasus demam tifoid adalah penderita demam tifoid

c. Penderita demam tifoid alah penderita penyakit yang didiagnosis

sebagai demam tifoid

d. Penegakkan diagnosis DD, demam tifoid dan sesuai kriteria

e. Kasus suspek (tersangka) yaitu penderita demam tifoid mengalami

panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan demam yang makin

hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus

menerus terutama pada malam hari.

2.2 Epidemiologi Demam Tifoid

2.2.1 Definisi

Demam Tifoid atau demam enterik adalah penyakit demam akut yang

disebabkan oleh kuman Salmonella typhi . Infeksi tersebut disertai dengan

bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi

9
bakteri sekaligus multipikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati,

limpa, kelenjar limfe usus, dan payer’s patch . (Sumarmo et al , 2012 )

2.2.2 Etiologi Demam Tifoid


Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi . Penyakit ini dapat

pula disebabkan oleh Salmonella enteritidis bioserotip parathypi A dan

Salmonella enteritidis bioserotip parathypi B yang disebut dengan

paratifoid . Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen

penyebab bermacam-macam infeksi , termasuk demam tifoid . Reservoir

satu-satunya adalah manusia yang sedang sakit atau karier. (Kemenkes,

2006 )
a. Morfologi
Salmonella memiliki bentuk seperti batang, pada pewarnaan

bersifat gram negatif, motil, tidak berspora, ukuran 1-3,5 um x 0,5-0,8

um, besar koloni rata-rata 2-4 mm dan mempunyai flagel peritrikh

(flagel tersebar merata di sekeliling badan bakteri) .

Gambar 2.1. Kuman Salmonella typhi

b. Fisiologi

10
Salmonella tumbuh pada suasana aerob dan anaerob fakultatif,

pada suhu 15-41°C (suhu pertumbuhan optimum 37,5°C) dan pH

pertumbuhan 6-8 . Sebagian besar isolat Salmonella menghasilkan H2S

yang bervariasi , dengan Salmonella thypi hanya membentuk sedikit

H2S dan tidak membentuk gas pada fermentasi glukosa . Dapat

memfermentasi glukosa, tetapi tidak memfermentasi laktose atau

sukrose . Pada agar SS, Endo, EMB, dan MacConkey koloni

berbentuk bulat, kecil dan tidak berwarna, pada agar Wilson-Blair

koloni berwarna hitam . Bakteri ini mati pada suhu 56°C juga pada

keadaan kering. Dalam air bisa bertahan selama 4 minggu, hidup subur

pada media yang mengandung garam empedu. (Karsinah et al , 1994)


c. Struktur Antigen
Salmonella typhi dan paratyphi mempunyai struktur yang dapat

diketahui secara serologis : (Kemenkes, 2006)


a. Antigen somatik (O)
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan

terhadap pendidihan, alkohol dan asam. Aglutinasi O berlangsung

lebih lambat dan bersifat kurang imunogenik, namun mempunyai

nilai diagnosis yang tinggi . Titer antibodi yang timbul oleh antigen

O ini selalu lebih rendah dari titer antibodi H .

b. Antigen flagel (H)


Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik .

Antigen ini rusak dengan pendidihan dan alkohol, tetapi tidak rusak

oleh formaldehid .
c. Antigen Vi

11
Merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antibodi

yang terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi

petunjuk bahwa individu tersebut sebagai pembawa kuman (karier).

2.2.3 Epidemiologi Demam Tifoid


Tifoid merupakan salah satu penyakit endemis yang ada di

Indonesia, mayoritas mengenai anak usia sekolah dan kelompok usia

produktif, penyakit ini menyebabkan angka absensi yang tinggi, rata – rata

perlu waktu 7 – 14 hari untuk perawatan apabila seseorang terkena tifoid.

Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan mekanisme

transmisi kuman Salmonella , termasuk S.typhi . Khususnya S.typhi ,

carrier manusia adalah sumber infeksi . S.typhi bisa berada didalam air, es,

debu, sampah kering, yang bila organisme ini masuk ke vehicle yang

cocok (daging, kerang, dan sebagainya) akan berkembang biak mencapai

dosis infektif . Dampak penyakit ini adalah tingginya angka absensi,

penurunan produktifitas, timbulnya komplikasi baik di saluran pencernaan

maupun diluar saluran pencernaan, kerugian ekonomi untuk biaya

pengobatan dan perawatan, kematian. (Rencana Aksi PP dan PL , 2015)


Di Indonesia , tifoid jarang dijumpai secara epidemi tetapi bersifat

endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar . Tidak ada perbedaan

yang nyata insidens tifoid pada pria dan wanita . Insiden tifoid di

Indonesia masih sangat tinggi demikian pula dari telaah kasus di beberapa

rumah sakit besar di Indonesia , kasus demam tifoid menunjukkan

kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata

kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6%–5,0%

12
sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya

biaya pengobatan. (Kemenkes , 2006)


Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada

individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat

pengobatan yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4%

dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%)

dibandingkan anak usia ≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak

mendapatkan pengobatan, CFR dapat meningkat hingga 20%. (Purba et al

2016)

2.2.4 Patogenitas demam tifoid


Port d’entre S. Typhi adalah usus. Seseorang bisa menjadi sakit bila

menelan organisme ini . Sebanyak 50% orang dewasa menjadi sakit bila

menelan sebanyak kuman . Dosis dibawah tidak menimbulkan

penyakit . (Karsinah , 1994)


Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella

paratyphi (S.paratyphi) kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan

dan minuman yang terkontaminasi . Sebagian kuman dimusnahkan oleh

lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang

biak . Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka

kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke

lamina propria . Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit

oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan

berkembang biak didalam makrofag selanjutnya dibawa ke plak peyeri

ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika .

13
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam

makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia

pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini

kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di

luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah

lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-

tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik . (Widodo , 2014)


Kuman dapat masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak

dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten kedalam lumen

usus . Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi

kedalam sirkulasi setelah menembus usus . Proses yang sama terulang

kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat

fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator

inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi

sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,

gangguan vaskular, mental dan koagulasi . (Widodo , 2014)


Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar

plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat

akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses patologis jaringan

14
limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi . (widodo, 2014)

2.2.5 Gambaran Klinis Demam tifoid


Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa

diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi . Masa inkubasi

demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari , dapat lebih singkat 3 hari

atau lebih panjang selama 2 bulan . Gejala yang timbul sangat bervariasi

dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang

khas . (Widodo , 2014)


Gejala klasik penyakit ini adalah demam tinggi pada minggu ke-2

dan ke-3 sakit, biasanya dalam 4 minggu gejala telah hilang atau lebih

lama. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan

dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri

kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,

perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis . Pada pemeriksaan fisik

hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat

perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu

kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif

(bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan

denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi

dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,

gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis.

Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Widodo , 2014)

2.2.6 Diagnosa Laboratorium Demam Tifoid

15
a. Kultur
Seperti yang disinggung sebelumnya bahwa diagnosis definitif

demam tifoid adalah ditemukannya Salmonella typhi pada darah . Pada 2

minggu pertama sakit kemungkinan mendapat hasil positif lebih besar

dibandingkan dengan minggu berikutnya yaitu sekitar 85-90% . Biakan

dari spesimen yang berasal dari urin dan feses memiliki keberhasilan

yang rendah , sedangkan biakan dari aspirasi sumsum tulang memiliki

sensitivitas paling tinggi dengan hasil sensitivitas mencapai 90% kasus .

Metode kultur dari sum-sum tulang ini jarang dipakai saat praktik karena

merupakan prosedur yang sangat invasif . Pada keadaan tertentu

spesimen untuk kultur diambil dari empedu yang diambil melalui

duodenum dan hasil kultur dari spesimen empedu ini cukup baik .

(Sumarmo et al , 2012)

b. Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan

leukositosis, anemia ringan, trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung

leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. LED darah dapat

meningkat, SGOT dan SGPT sering meningkat tetapi akan kembali

normal setelah sembuh . (Widodo , 2014)


c. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman

S.typhi . Pada uji widal terdapat suatu reaksi aglutinasi antara antigen

kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang di

gunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium . Tujuan uji widal adalah untuk

16
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam

tifoid yaitu : a). aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagel

kuman), c). Aglutinin Vi (simpai kuman) . Dari ketiga aglutinin tersebut

hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.

Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman.

(Widodo, 2014) Hal-hal yang diperhatikan dalam uji widal :


a) Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
b) Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada

kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).


c) Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan

(+) pada pasien dengan gejala klinis khas. (Rachman , 2011)


d) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
e) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi

atau pernah menderita infeksi


f) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama

demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada

minggu ke-4 dan tetap tinggi selama beberapa minggu . Pada fase akut,

mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti aglutinin H . Pada

orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6

bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.

Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan

penyakit.

d. Uji Thypidot
Uji ini dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada

protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot

17
didapatkan setelah 2-3 hari setelah infeksi . Didapatkan sensitivitas uji

ini sebesar 98% .


Pada kasus reinfeksi, respon imun IgG terhadap infeksi terativasi

secara berlebih sehinggan IgM sulit ditentukan. Untuk mengatasi

masalah tersebut uji ini kemudian dimodifikasi dengan

menginaktivasikan IgG pada sampel serum . dikenal dengan uji

Typidot-M yang hanya spesifik mendeteksi IgM . uji ini lebih sensitif

(sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dibandingkan

dengan kultur . (Widodo, 2014)

e. IDL Tubex Test


Uji tubex sering dijadikan pilihan untuk menegakkan diagnosis

demam tifoid karena mudah dilakukan serta hasilnya bisa langsung

dilihat hanya dalam waktu 2 menit. Tes tubex menunjukkan hasil yang

lebih spesifik karena tes ini mendeteksi antibodi terhadap antigen

tunggal yang terdapat di Salmonella typhi yaitu antigen O yang

merupakan antigen yang sangat spesifik yang tidak ditemukan

dimikroorganisme lain. Hasil tubex yang positif dapat dijadikan

penujang ditegakkannya diagnosis demam tifoid . (WHO , 2003)


f. Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap

Salmonella typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini

menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.

Typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung

antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna . Pemeriksaan ini

18
mudah dan efisien sehingga sering digunakan untuk diagnosis demam

tifoid ketika kultur darah tidak tersedia . (Widodo , 2014)

19
2.2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid
Sampai saat ini terdapat trilogi untuk penatalaksanaan demam tifoid :
a. Istirahat dan perawatan
Untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan , dapat

dilakukan tirah baring dan perawatan profesional . Dalam perawatan

perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan

yang dipakai . Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus

dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu

diperhatikan dan dijaga .


b. Diet dan terapi penunjang
Diet hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit

demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan

keadaan umum dan gizi penderita juga akan menurun sehingga

memperlama proses penyembuhan. Beberapa peneliti terbaru

menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan

lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran berserat)

dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid .


c. Pemberian Antimikroba
Tujuan pemberian obat antimikroba adalah untuk menghentikan dan

mencegah penyebaran kuman . Obat-obat yang sering digunakan

adalah :

20
1. Kloramfenikol

Di Indonesia , kloramfenikol masih merupakan obat pilihan

untuk mengobati demam tifoid . Dosis yang diberikan adalah 4 x

500 mg perhari diberikan per oral atau intravena .Diberikan sampai

dengan 7 hari bebas panas .

2. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas hampir sama dengan kloramfenikol

tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya

anemia aplastik lebih rendah . Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg ,

demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6

3. Kotrimoksazol

Efektivitas obat dilaporkan hampir sama dengan

kloramfenikol . Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1

tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg

trimetoprim) diberikan selama 2 minggu .

4. Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih

rendah dibandingkan dengan kloramfenikol , dosis yang di

anjurkan adalah 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu

5. Sefalosporin generasi 3
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi 3 yang

terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang

dianjurkan adalah 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan

21
selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5

hari .
6. Fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis sediaan dan aturan pemberiannya :
a. Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
b. Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
c. Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
d. Pefloksasin dan Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
e. Levofloksasin dosis 1x500 mg/hari selama 5 hari

7. Azitromisin
Azitromisin 2x500 mg menunjukkan bahwa penggunaan

obat ini jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromicin

secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat

inap. Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan

azitromicin dapat mengurangi angka relaps. Obat ini mampu

menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun

konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotik akan

terkonsentrasi didalam sel , sehingga antibiotik ini menjadi ideal

untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S.typhi yang

merupakan kuman intraseluler . Keuntungan lain adalah

azitromicin tersedia dalam bentuk oral maupun suntikan intravena .

(Widodo , 2014)

2.2.8 Komplikasi Demam Tifoid


Komplikasi demam tifoid dibagi menjadi : (Widodo , 2014)
A. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan intestinal

Pada plak peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk

tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu

22
usus . Bila luka menembus lumen usus dan pembuluh darah

maka akan terjadi perdarahan.

b. Perforasi usus

Terjadi apabila tukak menembus dinding usus .

Gejalayang timbul biasanya adalah nyeri perut yang hebat

terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian

menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda

ileus . bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati

terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas . Terjadi

pada sekitar 3% pasien yang dirawat .

B. Komplikasi Ekstra-Intestinal
a. Komplikasi kardiovaskular

Gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis .

b. Komplikasi darah

Anemia hemolitik, trombositopenia, KID (Koagulasi

Intravaskular Diseminata), trombosis.

c. Komplikasi paru

Pneumonia, empiema, pleuritis

d. Komplikasi lain-lain

Hepatitis, kolesistitis, glomerulonefritis, pielonefritis,

perinefritis, osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis dan

komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksis .

23
2.2.9 Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat

diperlukan karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan

kesakitan dan kematian akibat demam tifoid .


1. Preventif dan kontrol penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan dan peledakan

kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek , mulai

dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor

penjamu (host) serta faktor lingkungan . Secara garis besar, ada 3

strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu :


a. Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien demam tifoid

asimtomatik , karier , dan akut


b. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi

akut maupun karier


c. Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi

tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik . (Widodo , 2014)

2. Vaksinasi
Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah

tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan dengan

keberhasilan proteksi sebesar 51-88% . Vaksinasi tifoid belum di

anjurkan secara rutin di USA, demikian juga didaerah lain .

Indikasi vaksinasi adalah bila :


1. Hendak mengunjungi daerah endemik , resiko terserang demam

tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang


2. Orang yang terpapar dengan penderita demam tifoid karier
3. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan

24
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
3.1.1 Kegiatan Pokok Surveilans

a. Pengumpulan data

b. Tabulasi dan analisis data

c. Penyebarluasan hasil dan informasi

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Angka 11 12 10 20 13 10 8 17 15 19 9 6
Kejadian
Demam
Tifoid
Total 150 Kasus

Selama periode Januari - Desember tahun 2017, kasus demam tifoid

terbanyak pada bulan April yaitu 20 kasus dan diikuti bulan Oktober yaitu

19 kasus, dengan insiden terendah adalah bulan Desember dengan 6 kasus.

No Jenis Kelamin Frekuensi %


1. Perempuan 88 58,7
2. Laki-Laki 62 41,3
Total 150 100

Berdasarkan tabel 3.2 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi

pasien demam tifoid jenis kelamin perempuan lebih banyak (58,7%)

dibandingkan dengan laki-laki (41,3%) .

25
No Umur (Tahun) Frekuensi %
1. ≤ 5 tahun 21 14
2. 6-10 tahun 34 22,7
3. 11-15 tahun 9 6
4. 16-20 tahun 11 7,3
5. 21-25 tahun 11 7,3
6. ≥ 26 tahun 64 42,6
Total 150 100

Berdasarkan tabel 3.3 distribusi frekuensi berdasarkan umur yaitu

tertinggi pada usia ≥ 26 tahun (42,6%) dimana mayoritas mengenai

kelompok usia produktif dan tertinggi kedua pada usia 6-10 tahun (22,7%)

yang merupakan anak usia sekolah .

No Lama Rawat Inap (Hari) Frekuensi %


1. ≤ 2-4 hari 70 46,7
2. 5-7 hari 80 53,3
3. 8-10 hari 0 0
4. 11-13 hari 0 0
5. ≥ 14 hari 0 0
Total 150 100

Berdasarkan tabel 3.4 distribusi frekuensi berdasarkan lama rawat

inap dikelompokkan menjadi 5 kategori . Sebanyak 80 pasien (53,3%) yang

merupakan jumlah terbanyak dirawat dengan rentang 5-7 hari , 70 pasien

(46,7%) dirawat dengan rentang ≤ 2-4 hari

3.2 Pembahasan
Selama periode Januari - Desember tahun 2017, kasus demam

tifoid terbanyak pada bulan April yaitu 20 kasus (13,3%) dan diikuti bulan

Oktober yaitu 19 kasus, dengan insiden terendah adalah bulan Desember

dengan 6 kasus. Pada bulan tersebut memasuki musim penghujan dimana

26
saat hujan rawan daerah atau tempat makanan atau jajanan terpapar bakteri

penyebab demam tifoid .


Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi

pasien demam tifoid di RS Pertamina Bintang Amin , Bandar Lampung

berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan lebih banyak 88 pasien (58,7%)

dibandingkan dengan laki-laki 62 (41,3%) . Pada penelitian kali ini bertolak

belakang dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa

jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid dibandingkan

perempuan.
Penyakit demam tifoid dapat mengenai siapa saja karena penyakit

ini juga bergantung pada kebiasan hidup, jenis pekerjaan maupun kondisi

fisiologinya dari masing-masing individu sehingga tidak ada perbedaan

yang nyata insidens tifoid pada laki-laki dan perempuan. (Rampengan ,

2007)
Hasil penelitian yang dilakukan di RS Mayo Lahore Pakistan

menunjukkan bahwa probabilitas jenis kelamin laki-laki untuk terjangkit

demam tifoid adalah lebih dari 5 sedangkan untuk perempuan dibawah 5 .

Penelitian yang dilakukan di RC Chennai India Selatan menunjukkan

perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang terjangkit demam tifoid

adalah 1,2 : 1 . Penelitian lain memperlihatkan insidens demam tifoid yang

hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Rampengan , 2013)


Berdasarkan tabel 4.3 distribusi frekuensi berdasarkan umur yaitu

tertinggi pada usia ≥ 26 tahun sebanyak 64 pasien (42,6%) dimana

mayoritas mengenai kelompok usia produktif terkait dengan banyaknya

aktifitas dan pekerjaan yang berhubungan dengan faktor predisposisi untuk

27
kejadian demam tifoid.Umur tertinggi kedua pada usia 6-10 tahun (22,7%)

yang merupakan anak usia sekolah , dikarenakan biasanya anak usia sekolah

masih menyukai membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah dan

di pinggir jalan yang higiennya tidak dapat dijamin. Lingkungan tersebut

berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typhi . (Castillo , 2002)


Penelitian yang dilakukan oleh Lili Musnelina dkk di RS

Fatmawati Jakarta tahun 2001 menyebutkan bahwa usia yang paling rentan

untuk demam tifoid adalah 7-9 tahun sebanyak 51 pasien (28%) dari 182 .

Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan pada penelitian di Mesir yang

menyebutkan bahwa demam tifoid paling banyak terjangkit di usia sekolah

5-9 tahun yaitu 143 dari 100.000 kasus pertahun . (Musnelina et al , 2004 ;

Padmini , 2006)
Berdasarkan tabel 4.4 distribusi frekuensi lama rawat inap

dikelompokkan menjadi 5 kategori . Sebanyak 80 pasien (53,3%) yang

merupakan jumlah terbanyak dirawat dengan rentang 5-7 hari lama rawat

inap , sedangkan 70 pasien (46,7%) dirawat dengan rentang ≤ 2-4 hari. . Hal

ini dikarenakan setelah terapi antibiotik , demam rata-rata akan turun pada

hari ke-4 sehingga setelah itu pasien dapat dipulangkan dan oleh karena

anjuran dokter agar pasien terbebas dari demam sehingga terjadinya relaps

yang tidak diinginkan dapat dihindari. Lama tidaknya pasien dirawat inap

kemungkinkan bergantung pada faktor berat derajat penyakit yang berbeda-

beda pada pasien dan ada atau tidaknya penyakit penyerta selain demam

tifoid . (Satari , 2010)


Perbaikan gambaran demam dapat dilihat dari lama hari demam

turun dengan pemberian terapi antibiotik demam tifoid. Pengobatan

28
antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah

pemberian. Antibiotik yang menurunkan demam paling cepat menunjukkan

bahwa antibiotik tersebut efektif sebagai terapi demam tifoid. Saat redanya

demam ( time of fever defervescence ) merupakan salah satu parameter

keberhasilan terapi. Bila suhu turun berarti membaik sedangkan bila

menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi atau kuman penyebab adalah

multi drug resistant Salmonella typhi (MDRST) . (Satari , 2010)

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Penyakit demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan mauun
di pedesaaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas hygiene pribadi
dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia bersifat endemik
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat.
2. Surveilans epidemiologi sangat penting untuk mengetahui besar masalah
kesehatan/ penyakit (frekuensi atau insidensi) di masyarakat, sehingga bisa
dibuat perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun
pemberantasannya. Dalam kasus ini adalah kasus demam tifoid yang
ditangani di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin

29
3. Selama periode Januari - Desember tahun 2017, kasus demam tifoid
terbanyak pada bulan April yaitu 20 kasus dan diikuti bulan Oktober yaitu
19 kasus, dengan insiden terendah adalah bulan Desember dengan 6 kasus
dan total jumlah kasus sepanjang tahun 2017 adalah 150 kasus.
Berdasarkan jenis kelamin perempuan lebih banyak (58,7%) dibandingkan
dengan laki-laki (41,3%). Berdasarkan umur yaitu tertinggi pada usia ≥ 26
tahun (42,6%) dimana mayoritas mengenai kelompok usia produktif dan
tertinggi kedua pada usia 6-10 tahun (22,7%) yang merupakan anak usia
sekolah.

4.2 Saran
1. Perlunya pemahaman setiap petugas terdepan di unit pelayanan kesehatan
masyarakat dalam hal ini adalah petugas puskesmas akan surveilans
epidemiologi guna pencatatan dan pelaporan yang lebih akurat.
2. Koordinasi dan kerjasama lintas sektoral terkait untuk melakukan
kebersihan lingkungan yang masih kotor agar masyarakat tidak terjangkit
demam tifoid, adalah penting dalam rangka upaya jangka panjang didalam
pencegahan dan penanggulangan kasus demam tifoid.
3. Menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar untuk membuat desain
kegiatan pencegahan dan penanggulangan demam tifoid. Melakukan
penyuluhan secara berkala untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan
sehat bagi masyarakat, memperbaiki sanitasi lingkungan, menghindari
jajan di tempat yang kurang terjamin kebersihannya, membiasakan
mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, minimal selama 15 detik,
serta menambah pengetahuan masyarakat tentang demam tipoid dan
penanganannya.

30
31
DAFTAR PUSTAKA
.

Bhutta , AZ 2006 , ‘Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid


fever’ , BMJ , 333:78-82
Birkett, D.J., 2002, The Future of ATC/DDD and Drug Utilization Research,
WHO Drug Information, (16) 3 : 238-239.
Hadisaputro S. Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh Terhadap Kejadian
Perdarahan dan atau Perforasi Usus Pada Demam Tifoid. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Penelitian pada Masyarakat, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1990
Hyde , B 2014 , ‘Typhoid Fever Surveillance and Vaccine Use — South-East Asia
and Western Pacific Regions, 2009–2013’ , Centers for Disease Control
and Prevention Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR), vol. 63,
no. 39, dilihat 20 Januari 2017,<https://www.cdc.gov/mmwr/
preview/mmwrhtml/mm6339a2.htm?s_cid=mm6339a2_w>
Innesa , Carolina 2013 , ‘Perbaikan Gambaran Klinis Demam Terhadap Terapi
Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid’ , Jurnal Media Medika
Muda , hh 60-64
Karsinah, M.H, Lucky , Suharto , H.W , Mardiastuti 1994 , Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran , Binarupa Aksara , Jakarta Barat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 365/ MENKES /SK/V/2006, tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, 19 mei 2006. Menteri Kesehatan
RI, Jakarta.
Mandal,B.,K., Wilins,E.,G.,L., Dunbar,E.,M., Mayon-White, R.,T 2008, Lecture
Notes Penyakit Infeksi Edisi 6,Penerbit Erlangga,Jakarta
Mirza, S,H 1995 , ‘The Prevalence and Clinical Features of Multi-Drug Resistant
Salmonella typhi Infections in Baluchistan, Pakistan’, Ann Trop Med and
Parasitol. vol 1 (89), hh 513-519.
Musnelina, Lili , Afdhal, A , Gani, Ascobat , Andayani, Pratiwi 2004 , ‘Pola
Pemberian Antibiotik Pengobatan Demam Tifoid Anak di RS Fatmawati
Jakarta’ , Makara Kesehatan , vol. 8, hh 27-31
Noer, S 2004 , Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Balai Penerbit FKUI , Jakarta
Notoatmodjo , Soekidjo 2012 , Metodologi Penelitian Kesehatan , Rineka Cipta ,
Jakarta

32
Padmini, Srikantiah , Fourad, Girgis , Stephen, Luby 2006 , ‘Population based
surveillance of typhoid fever in Egypt , American Journal of Tropic
Medicine , hh. 114-119
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2406/
MENKES/PER/XII/2011, 2011 , tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik, 01 Desember 2011.Menteri Kesehatan RI, Jakarta
Purba, I, E , Wandra, T , Nugrahini, N , Nawawi, S , Kandun , N 2016 , ‘Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia : tantangan dan peluang’, Jurnal
Media Litbangkes ,vol.26,no.2, hh 99–108, dilihat 16 Januari 2017,
<http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/5447>
Rampengan , T, H 2007, Penyakit infeksi tropik pada anak edisi ke-2 , EGC ,
Jakarta , hh 46-64
Rampengan,N, H 2013 , ‘Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada
Anak’, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5, hh 271-272
Rencana Aksi PP dan PL 2015-2019 , 2015 , Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan , Jakarta
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) , 2013 , Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI , Jakarta
Satari , Sidabutar 2010 , ‘Pilihan Terapi Empiris Pada Anak’, Sari Pediatri , vol
11
Siswanto , Susila , Suyanto 2013 , Metodologi Penelitian Kesehatan dan
Kedokteran , Bursa Ilmu , Yogyakarta
Sumarmo, Soedarmo , Herry, Gama , Sri, Rezki , HS, Irawan , 2012 , Demam
Tifoid dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi ke-2 , Ikatan
Dokter Indonesia , Jakarta .
WHO 2013 , Guidelines for ATC classification and DDD assignment 2013 ,
December 2012 , WHO Collaborating Centre for Drug Statistics
Methodology Norwegian Institute of Public Health , Oslo , Norway .
Widodo, Djoko 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I, Interna Publishing ,
Jakarta Pusat
World Health Organization (WHO) 2003 , Background document:The
diagnosis,Treatment and Prevention of Typhoid Fever , mei 2003 , WHO ,
Switzerland

33

Anda mungkin juga menyukai