Askep Kusta
Askep Kusta
PENDAHULUAN
1
1.3 TUJUAN UMUM
untuk lebih memahami apa itu Kusta serta bagaimana pengobatannya
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Integumen
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi k ulit dan saraf
perifer,tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
2.2 ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang
ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,
gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk
globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim
retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman
yang tidak ganas serta lambat berkembangnya.
3
Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic
yang bersifat tahan asam.
Sampai saat ini kuman tersebut
belum dapat dibiakkan dalam medium
buatan, dan manusia merupakan satu-
satunya sumber penularan. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk membiakkan
kuman tersebut yaitu melalui: telapak
kaki tikus, tikus yang diradiasi,
armadillo, kultur jaringan syaraf manusia
dan pada media buatan.
Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui
kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering,
dapat bertahan hidup sampai 9 hari di luar tubuh, sedangkan di tanah yang
lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai 46 hari.
4
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau
Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
(anaesthesi).
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
2.4 KLASIFIKASI
A. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Boderline-Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
5
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
Tuberkoloid (TT)
Borderline tuberculoid (BT)
Mid-Borderline (BB)
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
C. Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)
menurut WHO
6
a. Kulit a. Tidak ada a. Ada, kadang-
kadang tidak ada
b. Membrana b. Tidak pernah ada b. Ada, kadang-
mukosa tersumbat kadang tidak ada
perdarahan
dihidung
3. Ciri hidung ”central healing” a. Punched out lessi
penyembuhan ditengah b. Medarosis
c. Ginecomastia
d. Hidung pelana
e. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium lanjut
dini
7. Apusan BTA negatif BTA positif
2.5 PATOFISIOLOGI
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. M.
leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
7
tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
8
2.6 POHON MASALAH
Mycobacterium Leprae
fagositosis
Pembentukan tuberkel
G3 saraf tepi
Resiko penyebaran
infeksi Sekresi mediator
nyeri nyeri
G3 citra tubuh
9
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
10
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
2.8 PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
11
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
1) Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan
RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2) Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum
dirumah
c. DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut
WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan
RFT.
12
sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan
atau kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-
tanda luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih
kurang setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki tiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
Masih basah diolesi minyak
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
13
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga
klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
f. Pola Aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
15
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) System Pengelihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan
pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis
mata akan rontok.
2) System Pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
3) System Persarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
Kerusakan Fungsi Otonom
16
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-
pecah.
4) System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
17
Pasien tampak gelisah
Pasien tidak dapat beraktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
nyeri yang di alami klien berkurang
Kriteria Hasil:
Skala nyeri pasien 1-3
Grimace tidak ada
Pasien dapat tidur atau istirahat dengan tenang
Pasien dapat beraktivitas sesuai toleransi
No Intervensi Rasional
1 Kaji karakteristik nyeri Memberikan informasi untuk
membantu dalam memberikan
intervensi
2 Observasi tanda-tanda vital. Untuk mengetahui perkembangan atau
keadaan pasien.
3 Ajarkan dan anjurkan melakukan Dapat mengurangi rasa nyeri.
tehnik distraksi dan relaksasi
4 Atur posisi senyaman mungkin. Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri.
5 Kolaborasi untuk pemberian Menghilangkan rasa nyeri.
analgesik sesuai indikasi.
18
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam proses
inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria Hasil:
Menunjukkan regenerasi jaringan
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
19
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelemahan
fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria Hasil:
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Kekuatan otot penuh
20
No. Intervensi Rasional
1. Kaji makna perubahan pada Episode traumatik mengakibatkan
pasien. perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam
perbaikan optimal.
2. Terima dan akui ekspresi Penerimaan perasaan sebagai
frustasi, ketergantungan dan respon normal terhadap apa yang
kemarahan. Perhatikan perilaku terjadi membantu perbaikan.
menarik diri.
3. Berikan harapan dalam Meningkatkan perilaku positif
parameter situasi individu, dan memberikan kesempatan
jangan memberikan untuk menyusun tujuan dan
kenyakinan yang salah. rencana untuk masa depan
berdasarkan realitas.
4. Berikan kelompok pendukung Meningkatkan perasaan dan
untuk orang terdekat. memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien.
21
2. Pantau TTV,terutama suhu tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk
mengetahui keadaan umum pasien.
Perubahan suhu menjadi tinggi merupakan
salah satu tanda – tanda infeksi.
3 Ajarkan teknik aseptik pada pasien Meminimalisasi terjadinya infeksi
4 Cuci tangan sebelum memberi asuhan Mencegah terjadinya infeksi nosokomial
keperawatan ke pasien.
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang
saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(anaesthesi).
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
23
pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
24
DAFTAR RUJUKAN
25