Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA PADA Ny.

K DENGAN
HIPERTENSI DI PSTW BUDI MULIA 3
JAKARTA SELATAN

DISUSUN OLEH:

NAMA : I GEDE NGURAH ARTADANA


NIM : 21218006

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
JAKARTA
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
LANSIA

A. Konsep Lanjut Usia


1. Definisi
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas (Efendi, 2009). Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4), UU No. 13 tahun
1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang
yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2011).

Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya mengalami pe-
rubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial (UU No.23 Tahun 1992 ten-
tang kesehatan).Pengertian dan pengelolaan lansia menurut Undang-Un-
dang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun1998 tentang lansia sebagai
berikut :
a. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
b. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
c. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

2. Batasan Lansia
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan
lansia adalah sebagai berikut:
a. Pengelompokkan usia lanjut World Health Organization (WHO)
menurut (Notoadmodjo, 2007):
1) Usia pertengahan (middle age): kelompok usia 45-59 tahun.
2) Usia lanjut (elderly): kelompok usia antara 60-74 tahun.
3) Usia lanjut tua (old): kelompok usia antara 75-90 tahun.
4) Usia sangat tua (very old): kelompok usia diatas 90 tahun.

1
b. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Bab 1 ayat 2 yang ber-
bunyi “Lanjut usia dalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas”.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu:
1) Fase iventus: 25-40 tahun.
2) Fase virilities: 40-55 tahun.
3) Fase presenium: 55-65 tahun.
4) Fase senium: 65 hingga tutup usia.
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric
age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-
80), dan very old (> 80 tahun) (Efendi, 2009).

3. Tipe-tipe Lansia
Menurut Nugroho (2008), beberapa tipe pada lansia bergantung pada karak-
ter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan
ekonominya. Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut.
a. Tipe arif bijaksana
Yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan pe-
rubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, se-
derhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
b. Tipe Mandiri
Yaitu mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan
banyak menuntut.

2
d. Tipe pasrah
Yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama
dan melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, me-
nyesal, pasif, dan acuh tak acuh (Nugroho, 2008).

4. Karakteristik Lansia
Menurut Bustan, M.N. (2007), beberapa karakteristik lansia yang perlu
diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia adalah :
a. Jenis kelamin
Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan kebutuhan dan ma-
salah kesahatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan wanita. Misalnya
lansia laki-laki sibuk dengan hipertropi prostat, maka wanita mungkin
menghadapi osteoporosis.
b. Status perkawinan
Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda/duda akan
mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis.
c. Living arrangement
Misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama istri, anak atau
keluarga lainnya.
1) Tanggungan keluarga; masih menanggung anak atau anggota
keluarga.
2) Tempat tinggal; rumah sendiri, tinggal dengan anak. Dewasa ini ke-
banyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya, baik lansia
sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anaknya. Namun
akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya da-
lam rumah yang berbeda.

3
d. Kondisi kesehatan
1) Kondisi umum; kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada
orang lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air kecil
dan besar.
2) Frekuensi sakit; frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi
tidak produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain.
Bahkan ada yang karena penyakit kroniknya sudah memerlukan
perawatan khusus.
e. Keadaan ekonomi
1) Sumber pendapat resmi; pensiunan ditambah sumber pendapatan lain
kalau masih bisa aktif. Penduduk lansia di daerah pertanian menunjuk-
kan proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah non-per-
tanian. Lapangan kerja sektor pertanian cukup banyak menyerap
tenaga kerja lansia, disamping sektor perdagangan dan sektor jasa.
2) Sumber pendapatan keluarga; ada tidaknya bantuan keuangan dari
anak/keluarga lainnya, atau bahkan masih ada anggota keluarga yang
tergantung padanya.
3) Kemampuan pendapatan; lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi,
sementara pendapatan semakin menurun. Sampai seberapa besar pen-
dapatan lansia dapat memenuhi kebutuhannya.

Menurut Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut:


a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13
tentang kesehatan).
b. Kebutuhan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

5. Proses Menua

4
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya
jumlah sel-sel yang ada didalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan
mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan
proses penuaan (Maryam dkk, 2008).

Aging process atau proses menua merupakan suatu proses biologis yang
tidak dapat dihindarkan, yang akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah
suatu proses menghilangnya sacara perlahan-lahan kemampuan jaringan un-
tuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan struktur dan
fungsi secara normal, kethanan terhadap injury termasuk adanya infeksi.
Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seorang mencapai dewasa
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf,
dan jaringan lain sehingga tubuh 'mati' sedikit demi sedikit (Widuri, 2010).

Sebenarnya tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa kondisi kesehatan
seseorang memulai menurun. Setiap orang memiliki fungsi fisiologis alat
tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak fungsi terse-
but maupun saat menurunnya. Pencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun.
Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap
utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai ber-
tambahnya usia (Widuri, 2010).

6. Teori-teori Proses Menua


Menurut Sunaryo et.al. (2016), ada beberapa teori yang berkaitan dengan
proses penuaan, yaitu: teori biologis, teori psikologi, teori sosial, dan teori
spiritual.

5
a. Teori Biologis
Teori biologis mencakup teori genetic dan mutasi, immunology slow the-
ory, teori stress, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
1) Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetic dan mutasi, semua terprogram secara genetic
untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari peru-
bahan biokimiayang deprogram oleh molekul-molekul DNA dan se-
tiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
2) Immunology slow theory
Menurut Immunology slow theory, system imun menjadi efektif
dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang
dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
3) Teori stress
Teori stes mengungkapkan menua terjadi akibat hilang nya sel-sel
yang bisa igunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat memper-
tahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stes
yang menyebabkan sel-sel tubuh lebih terpakai.
4) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) megakibatkan oksidasi oksigen – bahan-bahan
organic seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-
sel tidak dapat melakukan regenerasi.
5) Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang
tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.
Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan, dan
hilangnya fungsi sel.

6
b. Teori psikologi
Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keaku-
ratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adannya penurunan
dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori,
dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami
dan berinteraksi.

Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan


adanya penurunan fungsi system sensorik, maka akan terjadi pula
penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon stim-
ulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stim-
ulus yang ada.

c. Teori Sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
teori interaksi sosial (social exchange), teori penariakan diri (disengage-
ment theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (con-
tinuity theory), teori perkembangan (development theory), dan teori strat-
ifikasi usia (age stratification theory).
1) Teori interaksi social
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu
situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada
lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan
interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga
diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
2) Teori penarikan diri
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita perlahan-lahan
menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.
3) Teoti aktivitas

7
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan ak-
tivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting di
bandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.
4) Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adannya kesinambungan dalam siklus ke-
hidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupa-
kan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat ter-
lihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak
berubah meskipun ia telah menjadi lansia.
5) Teori perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua
merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap
berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif.
Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaiman cara menjadi tua
yang diinginkan atau yang seharusnya dietrapkan oleh lansia tersebut.
6) Teori stratifikasi usia
Keunggulan stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan
bersifat deterministic dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat
lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat
ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan ke-
lompok usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat di-
pergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa
stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifi-
kasi kelas dan kelompok etnis.

d. Teori Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hub-
ungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan.

8
7. Tugas Perkembangan Lansia
Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring
penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, na-
mun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh
akan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupa-
kan perubahan normal. Adanya penyakit terkadang mengubah waktu tim-
bulnya perubahan atau dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

Adapun tugas perkembangan lansia adalah: beradaptasi terhadap penurunan


kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan
penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima
diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang
memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah de-
wasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry,
2009).
a. Membuat teman baru untuk menggantikan mereka yang sudah meninggal
atau berpisah tempat.
b. Mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi waktu luang.

8. Perubahan yang Terjadi Pada Lansia


Perubahan yang terjadi pada lanjut usia yaitu perubahan pada semua sistem
dan implikasi klinik, perubahan mental, perubahan psikososial, dan peru-
bahan spiritual. Menurut Padila (2013), perubahan pada lanjut usia secara
umum yaitu.
a. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang
menetap
b. Rambut kepala mulai memutih atau berubah
c. Gigi mulai lepas (ompong)
d. Penglihatan, penciuman, dan pendengaran berkurang
e. Mudah lelah

9
f. Gerakan menjadi lamban
g. Nafsu makan menurun
h. Pola tidur berubah

a. Perubahan pada sistem dan implikasi klinik


1) Perubahan pada sistem sensori
Perubahan penglihatan, perubahan ini karena proses penuaan yang
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi,
konstraksi pupil, perubahan warna serta kekeruhan lensa mata yaitu
katarak, dan penurunan produksi air mata. Dengan semakin ber-
tambahnya usia, lemak akan berakumulasi disekitar kornea dan mem-
bentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan diantara iris dan
sklera, kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia
(Sunaryo et.al., 2016).

Perubahan pendengaran, pada telinga dalam terdapat penurunan fungsi


sensorineural karena terjadi perubahan konduksi, pada telingah tengah
terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani, pengapuran dari tu-
lang pendengaran, otot dan ligament menjadi lemah dan kaku, pada tel-
inga luar rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi lebih tipis
dan kering dan peningkatan keratin (Sunaryo et.al., 2016).

Perubahan perabaan, karena lansia telah kehilangan orang yang dicintai,


penampilan lansia tidak lagi menarik sewaktu muda, dan tidak
mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat umum
terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan
lansia (Sunaryo et.al., 2016).

10
Perubahan pengecapan, pada saat seseorang bertambah tua hilangnya
kemampuan menikmati makanan mungkin dirasakan sebagai ke-
hilangan salah satu kenikmatan dalam kehidupan. Perubahan yang ter-
jadi pada pengecapan yaitu akibat penurunan jumlah dan kerusakan pa-
pilla atau kuncup-kuncup perasa lidah, seperti sensitivitas terhadap rasa
manis, asam, asin, dan pahit (Sunaryo et.al., 2016).

Perubahan penciuman, akibat penurunan atau kehilangan sensasi penci-


uman karena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap se-
bagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk
pilek, influenza, merokok, obstruksi hidung, dan faktor lingkungan
(Sunaryo et.al., 2016).

2) Perubahan pada sistem integumen


Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas
tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah, dan permukaan
dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak
lebih menonjol. Poliferasi abnormal, biasanya permukaan dorsal dari
tangan dan lengan bawah. Sedikitnya kolagen yang terbentuk pada
proses penuaan dan adanya penurunan jaringan elastik, mengakibatkan
penampilan yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering karena kelen-
jar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan
kelenjar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, dis-
ertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor ku-
lit. Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan penam-
bahan massa lemak 2% per dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5 %
per dekade (Sunaryo et.al., 2016).

11
3) Perubahan pada sistem musculoskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia,
perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena
penurunan hormone estrogen pada wanita, vitamin D, dan bebarapa hor-
mon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-ar-
sitektur berubah dan sering patah, baik akibat benturan maupun spontan
(Sunaryo et.al., 2016).

4) Perubahan pada sistem neurologi


Berat otak menurun 10-20 %. Berat otak  350 gram pada saat kelahiran
kemudian akan meningkat 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak
mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11 %
dari berat maksimal. Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron/ta-
hun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan ke-
cepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak
menurun 10 %) antara usia 30-70 tahun. Secara berangsur-angsur ton-
jolan dendrite dineuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit
dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel.
Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang
terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mi-
tokondria (Sunaryo et.al., 2016).

5) Perubahan pada sistem kardiovaskuler


Pada perubahan sistem kardiovaskuler, jantung dan pembuluh darah
mengalami perubahan, baik struktural maupun fungsional. Penurunan
yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi ditandai dengan penurunan
tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan darah yang
teroksigenasi. Pada lansia yang sehat, tidak ada perubahan jumlah detak
jantung saat istirahat, namun detak jantung maksimum yang dicapai

12
selama latihan berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung
dibawah tekanan yaitu, 180-200 kali per menit. Kecepatan jantung pada
usia 70-75 tahun menjadi 140-160 kali per menit (Sunaryo et.al., 2016).

Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup yang berpengaruh secara sig-
nifikan terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan berpengaruh
lingkungan merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai
keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan
tanpa penyakit terkait. Secara singkat, beberapa perubahan dapat di-
identifikasi pada otot jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia atau
penyakit seperti penimbunan amiloid, degenerasi basofilik, akumulasi
lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh darah, dan peningkatan
jaringan fibrosis. Pada lanjut usia terjadi perubahan ukuran jantung,
yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun. Perubahan sktruktural
yang terjadi pada sistem kardiovaskuler akibat proses penuaan yaitu.
a) Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kola-
gen dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini
adalah ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunan
kekuatan kontraktil.
b) Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his ke-
hilangan serat konduksi yang membawa impuls ke ventrikel. Im-
plikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia.
c) Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena
peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan
media arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpukan respons bar-
oreseptor dan penumpukan respons terhadap panas dan dingin.
d) Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah
vena menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sem-
purna sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas
bawah dan penumpukan darah (Sunaryo et.al., 2016).

13
6) Perubahan pada sistem pulmonal
Adanya penurunan komplians paru dan dinding dada turut bereperan
dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20 % pada usia 60 tahun.
Penurunan laju ekspirasi paksa satu detik sebesar 0,2 liter dekade. Pe-
rubahan yang terjadi pada sistem pulmonal akibat proses menua yaitu.
a) Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya recoil elastis, dan pembesaran
alveoli. Implikasi dari hal ini adalah penurunan daerah permukaan
untuk difusi gas.
b) Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Implikasi dari hal
ini adalah penurunan saturasi O2 dan peningkatan volume.
c) Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi. Implikasi dari
hal ini adalah dispnea saat aktivitas.
d) Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi
pengembangan. Implikasi dari hal ini adalah emfisema sinilis, perna-
pasan abnormal, hilangnya suara paru pada bagian dasar.
e) Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru. Im-
plikasi dari hal ini adalah atelektasis.
f) Kelenjar mukus kurang produktif. Implikasi dari hal ini adalah
akumulasi cairan, sekresi kental, dan sulit dikeluarkan.
g) Penurunan sensitivitas sfingter esofagus. Implikasi dari hal ini adalah
hilangnya sensasi haus dan silia kurang aktif.
h) Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi dari hal ini adalah
tidak ada perubahan dalam PaCO2 dan kurang aktifnya paru-paru
pada gangguan asam basa (Sunaryo et.al., 2016).

7) Perubahan pada sistem endokrin


Sekitar 50 % lanjut usia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar
gula puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa

14
ini adalah faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. Frek-
uensi hipertiroid pada lanjut usia sebanyak 25 %. Sekitar 75 % dari
jumlah tersebut mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan “apa-
theic thyrotoxicosis”. Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin aki-
bat proses menua yaitu.
a) Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah glukosa
darah puasa 140 mg/dl dianggap normal.
b) Ambang batas ginjal untuk glukoa meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dl dianggap nor-
mal.
c) Residu urin didalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal
ini adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
d) Kelenjar tiroid menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit
menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal
ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil (Sunaryo et.al., 2016).

8) Perubahan pada sistem renal dan urinaria


Pada usia dewasa lanjut jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta
nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi
sebesar 5-7 % setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin
berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring darah,
sehingga perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron
dan akhirnya mempengaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan metabolik
sistem renal (Sunaryo et.al., 2016).

Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua yaitu,
penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 ml), peningkatan vol-
ume residu (N: 50 ml), peningkatan kontraksi kandung kemih yang
tidak disadari, dan atropi otot kandung kemih secara umum. Implikasi

15
dari hal ini adalah peningkatan risiko inkontinensia (Sunaryo et.al.,
2016).

9) Perubahan pada sistem gastrointestinal


Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan
gaya hidup. Terjadi perubahan morfologik degeneratif mulai dari gigi
sampai anus, antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelen-
jar, dan otot-otot pencernaan (Sunaryo et.al., 2016).

10) Perubahan pada sistem reproduksi


Perubahan pada sistem reproduksi pria, testis masih dapat memproduksi
spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur,
atrofi asini prostat otot dengan area fokus hyperplasia. Hiperplasia nod-
uler benigna terdapat pada 75 % pria diatas 90 tahun (Sunaryo et.al.,
2016).

Perubahan pada sistem reproduksi wanita, penurunan estrogen yang


bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi jaringan payudara dan
genital, peningkatan androgen yang bersirkulasi, penurunan massa tu-
lang denga risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan kecepatan
ateroskelerosis (Sunaryo et.al., 2016).

Seksualitas pada lansia sebenarnya tergantung dari caranya, yaitu


dengan cara yang lain dari sebelumnya, membuat pihak lain mengetahui
bahwa ia sangat berarti untuk lansia tersebut. Juga sebagai pihak yang
lebih tua tanpa harus berhubungan badan, masih banyak cara lain untuk
dapat bermesraan dengan pasangan. Pernyataan-pernyataan lain yang
menyatakan rasa tertarik dan cinta lebih banyak mengambil alih fungsi
hubungan seksualitas dalam pengalaman seks (Sunaryo et.al., 2016).

16
b. Perubahan Mental
Pada umumnya lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomo-
tor. Faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi mental adalah peru-
bahan fisik, khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan,
keturunan (hereditas) dan lingkungan. Kemudian terjadi perubahan pada
kenangan/memori, seperti perubahan kenangan jangka panjang yang di-
ingat berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup beberapa peru-
bahan. Kenangan jangka pendek/sekitar 0’-10’, biasanya berupa kenangan
buruk (Sunaryo et.al., 2016).
Perubahan IQ (Intelegensi Quantion), tidak berubah dengan informasi ma-
tematika dan perkataan verbal. Namun terjadi perubahan pada daya mem-
bayangkan oleh karena tekanan-tekanan dari faktor waktu (Sunaryo et.al.,
2016).

c. Perubahan Psikososial
1) Pensiun
Bagi banyak pekerja, pensiun berarti putus dari lingkungan dan teman-
teman yang akrab dan disingkirkan untuk duduk-duduk dirumah/ber-
main domino di klub lansia. Nilai seseorang sering dilihat dari produk-
tivitas dan identitas sesuai peranan pekerjaan. Bila seseorang pensiun,
dia akan mengalami kehilangan-kehilangan misalnya kehilangan finan-
sial (income berkurang), status (dulu punya jabatan/posisi yang cukup
tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya), teman/kenalan/relasi/dan
pekerjaan/kegiatan (Sunaryo et.al., 2016).

17
2) Minat
Perubahan kuantitas dan kualitas minat pada lansia. Lazimnya minat da-
lam aktivitas fisik cenderung menurun karena pengaruh menurunnya
kemampuan fisik juga faktor sosial (Sunaryoet.al., 2016).
3) Isolasi dan kesepian
Banyak faktor bergabung, sehingga membuat lansia terisolasi. Secara
fisik mereka kurang mampu mengikuti aktivitas yang melibatkan usaha.
Kualitas organ indra makin menurun, seperti terjadinya ketulian,
penglihatan kabur, dan sebagainya serta perubahan sosial (Sunaryo
et.al., 2016).
4) Peranan iman
Lansia tidak begitu khawatir dalam memandang akhir kehidupan. Ham-
pir tidak disangkal lagi bahwa iman yang teguh adalah senjata ampuh
untuk melawan rasa takut teradap kematian. Oleh sebab itu, religius lan-
sia perlu dibangkitkan dan diperkuat. Keyakinan iman juga harus diper-
teguh, bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi merupakan permulaan
yang baru dan memungkinkan individu menyongsong akhir kehidupan
dengan tenang dan tentram (Sunaryo et.al., 2016).

d. Perubahan Spiritual
Kehidupan keagamaan lansia makin matang. Hal ini terlihat dalam cara ber-
pikir dan bertindak sehari-hari. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun,
antara lain perkembangan yang dicapai pada tingkat ini sehingga lansia bisa
berpikir dan bertindak dengan memberi contoh cara mencintai dan memberi
keadilan. Padahal lansia terjadi juga perubahan-perubahan yang menuntut
dirinya menyesuaikan diri secara terus-menerus. Apabila proses penyesuaian
diri dengan lingkungan kurang berhasil, timbul berbagai masalah. Diper-

18
lukan penyesuaian dalam menghadapi perubahan. Ciri penyesuaian diri lan-
sia yang baik antara lain minat yang kuat, ketidaktergantungan secara
ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja, serta menik-
mati kegiatan yang dilakukan saat ini dan memiliki kekhawatiran minimal
terhadap diri dan orang lain (Sunaryo et.al., 2016).

e. Perubahan Kognitif
1. Memory (Daya ingat, Ingatan)
2. IQ (Intellegent Quocient)
3. Kemampuan Belajar (Learning)
4. Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5. Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6. Pengambilan Keputusan (Decission Making)
7. Kebijaksanaan (Wisdom)
8. Kinerja (Performance)
9. Motivasi

9. Factor yang mempengaruhi penuaan dan penyakit yang sering dijumpai


Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan dan penyakit yang
sering terjadi pada lansia.
a) Hereditas atau keturunan
b) Nutrisi
c) Status perkawinan
d) Pengalaman hidup
e) Lingkungan
f) Stress

10. Penyakit yang sering dijumpai pada usia lanjut


Menurut the tational old people’s welfare council, penyakit lansia, yaitu:
a) Depresi mental

19
b) Gangguan pendengaran
c) Bronchitis kronis
d) Gangguan pada tungkai atau sikap berjalan
e) Anemia
f) Dimensia

20
LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERTENSI

A. KONSEP HIPERTENSI
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa
oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.
Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena
termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya
lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani, dkk, 2004
dalam Jafar, 2010).

Hipertensi adalah suatu kondisi di mana pembuluh darah terus-menerus men-


galami peningkatan tekanan. Darah dibawa dari jantung ke seluruh bagian
tubuh melalui pembuluh darah. Setiap kali jantung berdetak maka akan
memompa darah ke dalam pembuluh darah. Tekanan darah dibuat oleh
kekuatan darah yang mendorong terhadap dinding pembuluh darah (arteri).
Semakin tinggi tekanan semakin keras jantung harus memompa (WHO,
2013).

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi


batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia.
Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar
(90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi esensial). Penyebab
tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, pen-
ingkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan
volume aliran darah (Pradana, 2012).

21
2. ETIOLOGI
Etiologi terjadinya penyakit hipertensi menurut Gunawan (2006) yaitu:
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer (idiopatik)
b. Hipertensi sekunder
1) Penyakit ginjal, misalnya stenosis arteri renalis, peradangan pada
ginjal, tumor ginjal, trauma pada ginjal, atau terapi radiasi yang
mengenai ginjal.
2) Kelinan horminal, misalnya pada sindroma cushing atau feokromosi-
toma
3) Pemakaian obat atau zat tertentu, misalnya pil kb, kortikosteroid, ko-
kain, penyalah gunaan alkohol, dan kayu manis (dalam jumlah sangat
besar
4) Kegemukan (obesitas)
5) Gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga)
6) Stress

3. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis menurut Brunner & Suddarth (2014) yaitu:
a. Pemeriksaan fisik mungkin menunjukan tidak adanya abnormalitas
selain tingginya tekanan darah
b. Mungkin terjadi perubahan retina dengan hemoragi, eksudat, penyem-
pitan arteriole, dan edema papil
c. Gejala biasanya menunjukn kerusakan vaskuler yang berhubungan
dengan sistem organ yang disebabkan oleh pembuluh yang terserang.
d. Penyakit arteri koroner dengan angina merupakan akibat yang umum
e. Terjadi hipertrofi ventrikel kiri; gagal jantung
f. Perubahan patologis pada ginjal (nokturia dan azotemia)
g. Keterlibatan vaskuler serebral (stroke atau serangan iskemia transien tia
yaitu hipoglikemia temporer, pingsan, perubahan penglihatan)

22
Tanda dan gejala hipertensi menurut Wijayakusuma dan Dalimartha (2005)
yaitu
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh
d. Berdebar atau detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging

4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia
Kategori Tekanan Darah dan/atau Tekanan Darah
Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Tahap 2 ≥160-179 Atau ≥100
Hipertensi Sistol terisolasi ≥140 Dan <90
(Sumber: Sani, 2008 dalam Jafar, 2010)
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi Be-
nigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang
tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek
up. Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya
disertai dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-or-
gan seperti otak, jantung dan ginjal (Mahalul Azam, 2005 dalam Jafar, 2010).
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Lab
1) Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan vis-
kositas dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti hipokoagulabilitas,
anemia.

23
2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/perfusi ginjal
3) Glucose: hiperglikemi adalah pencetus hipertensi
4) Urinalisa: darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal
b. CT scan: mengkaji adanya tumor serebral, encelopati
c. EKG: dapat menunjukan pola regangan, dimana luas peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
d. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada aera katup, pembesaran jan-
tung.
6. PATHWAY
Gaya hidup obesitas
umur Jenis kelamin

Elastisitas , arteriosklerosis

hipertensi Perubahan status Krisis Koping indi-


kesehatan situasional vidu tidak
Kerusakan vaskuler pembuluh efektif
darah Ansietas
Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah Paparan informasi Kurang


kurang ( mis inter- pengetahuan
vasokonstriksi
pretasi)
Gangguan sirkulasi

otak Pembuluh darah Retina


ginjal
sistemik koroner Spasme arteriole
Resistensi Suplai O2 Vasokonstriksi
pembuluh otak pembuluh darah vasokonstriksi Iskemi miocard diplopia
darah otak menurun ginjal
Afterload Nyeri dada
meningkat Resti injuri
Blood flow ali-
sinkop
Nyeri ran darah
Fatique
kepala menurun Risiko tinggi
Gangguan penurunan
Intoleransi ak-
perfusi jarin- Respon RAA curah jan-
tifitas
gan tung
Rangsang al-
dosteron
Dipsnea, Pola nafas
Retensi Na Perubahan tidak efek-
ortopnea, tak-
Kelebihan volume suplai darah ke tif
edema ikardi
cairan paru

24
7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi jika hipertensi tidak segera ditangani yaitu:
a. Jantung
Jantung dapat dirusak oleh tekanan darah tinggi yang lama tidak diobati.
Pada awalnya jantung mengatasi ketegangan karena harus menghadapi
tekanan darah tinggi dengan meningkatnya kerja otot sehingga membesar
agar dapat memompa lebih kuat. Pompa jantung yang mulai macet, tidak
dapat lagi mendorong darah untuk beredar ke seluruh tubuh dan sebagian
darah menumpuk pada jaringan. Zat gizi dan oksigen diangkut oleh darah
melalui pembuluh darah. Persoalan akan timbul bila terdapat halangan atau
kelainan di pembuluh darah, yang berarti kurangnya suplai oksigen dan zat
gizi untuk menggerakan jantung secara normal (Maulana, 2008).
b. Ginjal
Hipertensi yang berkelanjutan menebalkan pembuluh darah pada ginjal
sehingga menganggu mekanisme yang sangat halus yang menghasilkan
urin. Salah satu gejala utama kerusakan ginjal yang disebabkan oleh tekanan
darah tinggi adalah berkurangnya kemampuan untuk menyaring darah
(Maulana, 2008).
c. Stroke
Hipertensi dapat menyebabkan tekanan yang lebih besar pada dinding
pembuluh darah sehingga dinding pembuluh darah menjadi lemah dan
pembuluh darah akan mudah pecah. Pada kasus seperti itu, biasanya
pembuluh darah akan pecah akibat lonjakan tekanan darah yang terjadi
secara tiba-tiba. Pecahnya pembuluh darah di otak dapat menyebabkan sel-
sel otak yang seharusnya mendapatkan asupan oksigen dan zat gizi yang
dibawa melalui pembuluh darah tersebut menjadi kekurangan zat gizi dan
akhirnya mati (Auryn, 2007).

25
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hipertensi menurut Pradana (2012) yaitu:
a. Hipertensi esensial (primer) tidak dapat disembuhkan, tetapi bisa
dikendalikan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Langkah awal yang
perlu dilakukan adalah mengubah pola hidup penderita , yaitu dengan cara:
1) Menurunkan berat badan sampai batas ideal, untuk orang-orang yang
mengalami kegemukan
2) Mengubah pola makan, yaitu dnegan memperbanyak asupan buah dan
sayur dan mengurangi asupan makanan yang berlemak, terutama un-
tuk penderita diabetes, kegemukan, atau kolesterol tinggi.
3) Asupan garam dan alkohol harus dikurangi
4) Olahraga yang tidak terlalu berat. Penderita hipertensi esensial tidak
perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali.
5) Berhenti merokok.

b. Hipertensi sekunder yaitu tergantung penyebabnya. Penanganan sebisa


mungkin dilakukan untuk mengatasi penyebab terjadinya tekanan darah
tinggi, misalnya:
1) Pengobatan untuk ginjal
2) Pembedahan untuk mengangkat tumor yang menyebabkan tekanan
darah tinggi, seperti, feokromositoma.

9. PENCEGAHAN
a. Pencegahan untuk penyakit hipetensi menurut B Pradana (2012) yaitu pe-
rubahan gaya hidup dan atau obat-obatan bisa menurunkan tekanan darah
tinggi sampai pada batas normal yaitu:
1) Olah raga dan mempertahankan berat badan normal
2) Makanan sehat rendah lemak kaya akan sumber vitamin dan mineral
alami
3) Obat-obatan anti-hipertensi: diuretik, beta bloker, penggantian kalium,
penghambat saluran kalsium, ace inhibitor.

26
Pencegahan lain yang bisa dilakukan menurut Wijayakusuma dan Dalimar-
tha (2005) yaitu:

1) Diet rendah lemak. Kurangi atau hindari makanan gorengan, daging


yang banyak lemak, susu full cream, telur, dan sebagainya
2) Diet rendah garam. Batasi pemakaian garam dan makanan yang dia-
sinkan seperti cumi asin, ikan asin, telur asin, kecap asin, dan lain-lain.
3) Hindari memakan daging kambing, buah durian, atau meminum yang
beralkohol
4) Lakukan olah ragasecara teratur dan terkontrol. Olahraga yang cocok
berupa aktivitas aerobik seperti jalan kaki, berlari, naik sepeda, dan ber-
enang
5) Berhenti merokok bagi perokok
6) Berhenti minum kopi
7) Menurunkan berat badan bagi penderita hipertensi yang disertai kege-
mukan
8) Menghindari stres dengan gaya hidup yang lebih santai
9) Mengobati penyakit penyerta seperti kencing manis, hiperthyroid, ko-
lesterol tinggi, dan sebagainya.

Makanan yang dianjurkan untuk penderita hipertensi menurut Kementerian


Kesehatan RI (2011) yaitu:

1) Makanan yang segar: sumber hidrat arang, protein nabati dan hewani,
sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung serat.
2) Makanan yang diolah tanpa atau sedikit menggunakan garam natrium,
vetsin, kaldu bubuk.
3) Sumber protein hewani: penggunaan daging/ ayam/ ikan paling banyak
100 gram/ hari. Telur ayam/ bebek 1 butir/ hari.
4) Susu segar 200 ml/ hari

27
Makanan yang dibatasi antara lain :

1) Pemakaian garam dapur


2) Penggunaan bahan makanan yang mengandung natrium seperti soda
kue.

Makanan yang dihindari antara lain :

1) Otak, ginjal, paru, jantung, daging kambing


2) Makanan yang diolah menggunakan garam natrium
3) Crackers, pastries, dan kue lainlain
4) Krupuk, kripik dan makanan kering yang asin
5) Makanan dan minuman dalam kaleng: sarden, sosis, kornet, sayuran
dan buah-buahan dalam kaleng
6) Makanan yang diawetkan: dendeng,abon, ikan asin, ikan pindang, udang
kering, telur asin, telur pindang, selai kacang, acar, manisan buah
7) Mentega dan keju
8) Bumbu-bumbu: kecap asin, terasi, petis, garam, saus tomat, saus sam-
bel, tauco dan bumbu penyedap lainnya
9) Makanan yang mengandung alcohol misalnya: durian, tape

10. PENGOBATAN TRADISIONAL


a. Definisi Pengobatan Tradisional
Pengobatan herbal adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat
dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun
temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat (WHO, 2011)
Cara Pembuatan Obat herbal

a. Buah Ketimun menurut Lebalado (2014) yaitu:


Cara Membuat obat tradisional dari buah ketimun:
1) ½ kg buah ketimun cuci hingga bersih

2) Kupas kulitnya kemudian diparut (diblender)

28
3) Saring airnya dengan menggunakan kain atau penyaring (tidak di
saring bila di blender)

4) Setelah disaring kemudian diminum

5) Lakukan setiap hari kurang lebih 1 kg untuk 2 kali minum.

b. Daun seledri, wortel dan madu


Cara membuat obat tradisional dari daun seledri, wortel, dan madu
menurut Rita (2012) yaitu:
1) Cuci bersih dengan air mengalir daun seledri dan wortel
2) Daun seledri secukupnya (sesuai selera)
3) 1 buah wortel
4) 150-200cc air matang
5) Campur daun seledri, wortel dan air lalu blender sampai halus
6) Pisahkan jus dari sisa sari dari ampas blender
7) Tambahkan 4-5 sendok makan/ sesuai selera

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, tak-
ipnea
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koro-
ner, penyakit serebrovaskuler.
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan
warna kulit, suhu dingin
c. Integritas Ego
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria,
factor stress multiple

29
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue per-
hatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang, pernapasan menghela,
peningkatan pola bicara
d. Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
e. Makanan / Cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan
tinggi garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema
f. Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit
kepala, berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis
Tanda :, perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman, pe-
rubahan retinal optik
g. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala
oksipital berat, nyeri abdomen
h. Pernapasan
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea,
ortopnea, dispnea nocturnal proksimal, batuk dengan atau tanpa sputum,
riwayat merokok
Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan,
bunyi napas tambahan, sianosis
i. Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesia unilateral transien, hipotensi psotural

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b.d peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular.
b. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan O2.

30
c. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b.d peningkatan tekanan vas-
kuler serebral.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, ginjal, jantung b.d gangguan
sirkulasi.
e. Gangguan pola tidur b.d cemas akibat proses penyakit.
f. Defisit pengetahuan b.d kurang pajanan informasi tentang proses penyakit
dan recana perawatan

3. Perencanaan Keperawatan
a. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b.d peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular.
Tujuan dan Kriteria Hasil : Dalam waktu 3x24 jam perawatan klien menga-
takan tidak pusing ditandai dengan pengisian kapiler < 3 detik, tekanan
darah dalam batas normal (110-130/80-90 mmHg), nadi dalam batas
normal (60-100 x/menit).

Intervensi dan Rasional


1) Observasi TTV.
R/ Mengetahui keadaan umum sehingga dapat menentukan intervensi
selanjutnya.
2) Auskultasi bunyi napas.
R/ S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya
hipertropi atrium (peningkatan volume/tekanan atrium). Perkem-
bangan S3 menunjukkan hipertrofi vertikel dan kerusakan
fungsi.Adanya krakles, dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder
terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik.
3) Observasi warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
R/ Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lam-
bat mungkin berkaitan dengan vasokonstriksi atau mencerminkan
dekompensasi/penurunan curah jantung.
4) Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas/ keributan ling-
kungan. Batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.

31
R/ Membantu untuk menurunkan rangsang simpatis; meningkatkan
relaksasi.
5) Pertahankan pembatasan aktivitas, seperti istirahat ditempat tidur/kursi;
jadwal periode istirahat tanpa gangguan; bantu pasian melakukan ak-
tivitas perawatan diri sesuai kebutuhan.
R/ Menurunkan stress dan ketegangan yang mempengaruhi tekana
darah dan perjalanan penyakit hipertensi.
6) Lakukan tindakan-tindakan yang nyaman seperti pijatan punggung dan
leher, meninggikan kepala tempat tidur.
R/ Mengurangi ketidaknyamanan, dapat menurunkan rangsang simpa-
tis, serta melancarkan peredaran aliran darah.
7) Ajarkan teknik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan.
R/ Dapat menimbulkan rangsangan yang membuat efek tenang, se-
hingga akan menurunkan tekanan darah.

b. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan O2.
Tujuan dan Kriteria Hasil : Dalam waktu 3x24 jam perawatan klien menga-
takan tidak letih dan lemah saat beraktivitas ditandai dengan tekanan darah
normal, jantung tidak berdenyut kencang, mampu beraktivitas sesuai
toleransi, dan tidak terjadi dispnea atau takipnea.
Intervensi dan Rasional
1) Observasi toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunakan pa-
rameter : frekwensi nadi 20 per menit diatas frekwensi istirahat, catat
peningkatan TD, dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelema-
han, berkeringat, pusing atau pingsan.
R/ Parameter menunjukan respon fisiologis pasienterhadap stress, ak-
tivitas dan indicator derajat pengaruh kelebihan kerja/ jantung.
2) Pantau kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan
kelemahan / kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan per-
hatian pada aktivitas dan perawatan diri.

32
R/ Stabilitas fisiologis pada istirahatpenting untuk memajukan tingkat
aktivitas individual.
3) Motivasi pasien untuk memajukan aktivitas / toleransi perawatan diri.
R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat
meningkatkan jumlah oksigen yang ada.Kemajuan aktivitas bertahap
mencegah peningkatantiba-tiba pada kerja jantung.
4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi
mandi, menyikat gigi / rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan se-
hingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5) Motivasi pasien untuk partisifasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas
danmencegah kelemahan.

c. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b.d peningkatan tekanan vas-
kuler serebral.
Tujuan dan Kriteria Hasil : Dalam waktu 3x24 jam perawatan klien menga-
takan tidak sakit pada kepala yang di tandai dengan ekspresi wajah rileks,
dan mengatakan skala nyeri 0-1.
Intervensi dan Rasional
1) Jelaskan dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam.
R/ Meningkatkan suplai O2 sehingga akan menurunkan nyeri
nsekunder dari iskemia jaringan otak.
2) Jelaskan dan ajarkan teknik distraksi saat nyeri.
R/ Distriksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus inter-
nal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin
yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan kereptor
serepbri sehingga menurunkan reseptor nyeri.
3) Observasi dan catat karakteristik nyeri, lokasi, intensits, lama, dan
penyebarannya.
R/ Variasi penampilan dan reaksi perilaku klien karena nyeri terjadi
sebagai temuan penkajian.

33
4) Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera.
R/ Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak
pada kematian mendadak.
5) Pertahankan tirah baring.
R/ Dapat meningkatkan asupan O2 kejaringan yang mengalami iske-
mia dan meningkatkan relaksasi.
6) Istirahatkan klien.
R/ Istirahat akan menurunkan kebutruhan O2 jarinagn perifer se-
hingga kebutuhan miokardium menurun dan akan meningksatkan
suplai darah dan oksigen ke miokardium yang membutuhkan O2 un-
tuk menurunkan iskemia..
7) Berikan tindakan nyaman misalnya : pijtan punggung, perubahan po-
sisi, perbincangan, relaksasi/latihannafas.
R/ Tindakan non analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat
menghilangkan ketidaknyamanan dan memeperbesar efek terapi an-
algetik.

8) Kolaborsi pemberian terapi farmakologi.


R/ Obat-obatan seperti analgesik yang dapat menurunkan nyeri.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, ginjal, jantung b.d gangguan
sirkulasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil : Dalam waktu 3x24 jam perawatan klien menga-
takan tidak pusing yang ditandai dengan TTV dalam batas normal, tidak
pusing, dan tidak gelisah.
Intervensi dan Rasional
1) Ukur tanda-tanda vital setiap 1 sampai 2 jam pada awalnya, kemudian
setiap 4 jam bila pasien sudah stabil.
R/ Untuk mendetejksi secara dini tanda-tanda penurunan tekanan
perfusi serebral atau peningkatan TIK.
2) Pertahankan tirah baring
R/ Tirah baring membantu meningkatkan kebutuhan energi.
3) Pertahankan lingkungan dan pasien tetap tenang.

34
R/ Tindakan tersebut mengurangi peningkatan TIK.
4) Ukur asupan dan haluaran pasien secara seksama.
R/ Untuk mencegah kelebihan atau defisit volume.
5) Kolaborasi pemberian obat anti hipertensi
R/ Untuk menurunkan tekanan darah tinggi

e. Gangguan pola tidur b.d cemas akibat proses penyakit.


Tujuan dan Kriteria Hasil : Dalam waktu 3x24 jam perawatan klien menga-
takan bisa tidur di tandai dengan tidak letih waktu bangun atau sepanjang
hari, tidak mengalami perubahan suasana hari, dan tidak tidur sepanjang
hari.
Intervensi dan rasional:
1) Ajarkan teknik relaksasi pada pasien seperti imajinasi terbimbing,
meditasi, relaksasi otot progresif.
R/ Upaya relaksasi yang bertujuan biasanya dapat membantu mem-
permudah tidur.
2) Tanyakan kepada pasien faktor lingkungan apa saja yang membuat
sulit tidur.
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya.

3) Tanyakan kepada pasien tentang perubahan apa saja yang dapat


memfasilitasi tidur.
R/ Tindakan ini memungkinkan pasien untuk berperan aktif dalam
penanganannya.
4) Segara buat perubahan apapun yang memungkinkan untuk
mengakomodasi pasien; contoh mengurangi kegaduhan, mengubah
pencahayaan, menutup pintu.
R/ Tindakan ini mendorong istirahat dan tidur.
5) Berikan bantuan tidur normal seperti, bantal, mandi, makan atau mi-
num.
R/ Tindakan ini memungkinkan asuhan keperawatan yang konsisten
dan memberikan waktu tidur tanpa gangguan kepada pasien.

35
f. Defisit pengetahuan b.d kurang pajanan informasi tentang proses penyakit
dan perawatan diri
Tujuan dan Kriteria Hasil : Dalam waktu 3x24 jam perawatan klien menga-
takan mengerti tentang penyakit yang dialaminya yang ditandai dengan
tidak tampak bingung, tidak banyak bertanya, dapat menjawab pertanyaan
yang diberikan tentang penyakit yang dialaminya.
Intervensi dan Rasional
1) Berikan pendidikan kesehatan tentang pemeriksaan tekanan darah yang
teratur.
R/ Untuk menguangi rasa kecemasan dan menambah informasi tentang
proses penyakit secara dini.
2) Berikan pendidikan kesehatan tentang makanan yang di anjurkan,
makanan yang di batasi, dan makanan yang di hindarkan serta
pencegahan terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi
R/ Untuk meningkatkan pengetahuan sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup yang lebih sehat.
3) Ajarkan pada pasien aktivitas yang bisa diterapkan ke dalam gaya hidup
sehari-hari. Biarkan pasien mendemonstrasikan kembali.
R/ Untuk meningkatkan pola hidup sehat.
4) Evaluasi pengetahuan pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
R/ Untuk mengetahui apakah informasi yang disampaikan sudah
dimengerti oleh klien.

36
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maqassary, Ardi. (2013). Indikator Konsentrasi Belajar. Dikutip dari


http://psychologymania.com/indikator-konsentrasi-belajar/ . Diakses pada
tanggal 15 Maret 2017.
Auryn, Virzara. 2007. Mengenal dan Memahami Stroke. Jogjakarta: Katahati.
Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Edy. (2012). Pathway Hipertensi. Di kutip dari
https://www.scribd.com/doc/108441265/PATHWAYS-Hipertensi. Di akses
pada tanggal 15 Maret 2017.
Efendy, Ferry dan Makhfudli. (2013). Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori
dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Gunawan, Lanny. (2006). Hipertensi Tekanan Darah Tinggi. Yogyakarta: Kanis-
ius
Jafar, N. (2010). Hipertensi. Di kutip dari http://repository.unhas.ac.id/han-
dle/123456789/6/discover?field=subject&filtertype_0=autho&fil-
ter_0=Dr.+Dra+Nurhae Di akses pada tanggal 15 Maret 2017.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia. Di kutip dari
http://www.depkes.go.id. Di akses pada tanggal 15 Maret 2017.
Lebalado, L.P. (2014). Pengaruh Pemberian Jus Mentimun (Cucumis sativus L)
terhadap Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik pada Penderita Hipertensi.
Universitas Diponegoro: Semarang.
Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.
Maulana, Mirza. (2008). Penyakit Jantung. Jogjakarta: Katahati
Morton, Patricia Gonce, dkk. (2013). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan
Holistik. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Potter & Perry. (2010). Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.
Pradana, Tedjasukmana. (2012). Tatalaksana Hipertensi. CDK-192/ vol. 39 no. 4,
Jakarta.
Rahmawati. Rita. (2012). Pengaruh Jus Seledri Kombinasi Wortel dan Madu Ter-
hadap Penurunan Tingkat Hipertensi pada Pasien Hipertensi. Di kutip dari
http://fmipa.umri.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/jurnal-keperawatan-
sama-kovernya.pdf. Di akses pada tanggal 15 Maret 2017.
Stanley, Mickey dan Patricia Gauntlett Beare. (2006). Buku Ajar Keperawatan
Gerontik, Edisi 2. Jakarta: EGC
Wijayakusuma, H., S. Dalimartha, A.S. Wirian, T. Yaputra, dan B. Wibowo.
(2005). Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid 2. Jakarta: Pustaka Kar-
tini.
WHO. (2013). Q&As on Hypertension. Di kutip dari http://www.who.int. Di akses
pada tanggal 15 Maret 2017.
WHO. (2011). Obat herbal. Di kutip dari https://www.deherba.com/who-dan-obat-
herbal.html. Di akses pada tanggal 15 Maret 2017.
Widuri, H. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Lanjut Usia di Tatanan Klinik.
Yogyakarta: Fitramaya.

37

Anda mungkin juga menyukai