Etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer. Mycobacterium tuberculosis adalah suatu bakteri berbentuk batang, non-
motil, pleomorfik, dan jika diwarnai dengan pewarnaan Gram akan tampak
gambaran positif lemah berbentuk batang yang biasanya panjang dan agak
melengkung. Tanda khas dari mycobacteria adalah tahan asam, dikarenakan adanya
kemampuan untuk suatu mycolate complex yang stabil dengan pewarnaan
arylmethane (crystal violet, carbolfuchsin, auramine,dan rhodamin) dan dapat
bertahan dari pembilasan dengan etanol dan asam hidroklorik, atau dengan asam
lain.1
Epidemiologi
World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2
miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah
yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju.
Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka
kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 2013, ada 550,000 kasus anak – anak, dan
80,000 kematian yang berhubungan dengan tuberkulosis pada pasien anak non-
HIV.1
Di negara berkembang, TB pada anak < 15 tahun adalah 15 % dari seluruh kasus
TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu 5 % - 7 %. Laporan mengenai
TB anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah
5%-6% dari total kasus TB.2,3
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), berada atau lahir pada daerah
endemis, tunawisma, orang yang menggunakan narkoba suntik, orang yang bekerja
(atau pernah) di tempat penampungan / perawatan, pekerja kesehatan yang merawat
pasien dengan risiko penularan yang tinggi (apabila pengendalian infeksinya tidak
adekuat). Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari
seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB.4
Sedangkan pada TB milier faktor risiko yang paling berperan adalah status gizi,
dimana pasien TB anak dengan status gizi yang buruk, kemungkinan besar akan
berkembang menjadi TB milier.5
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif , infiltrat luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan
kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara
yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau
orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang
ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat
menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak pada umumnya
sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang
sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer
yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga,
tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di
daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.2
Cara Penularan3
1. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun
anak.
2. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya ,
kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type B.
3. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA
negatif.
4. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65 % pasien
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26 % sedangkan pasien TB
dengan hasil kultur negatif dan foto thorax positif adalah 17 %.
Patogenesis1-4
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (< 5 mm), kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan
segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman
TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis), dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu
2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas
seluler.
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler
tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer
di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar
limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflamasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada
penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar
ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh.
Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umunya
tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus
reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-
tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat
mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu dalam mengatasi
infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini
akan mempunyai ukuran yang kurang lebih sama. Istilah milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologik merupakan granuloma.
Diagnosis 2
1. Anamnesis
Manifestasi klinis penyakit TB ada dua yaitu gejala umum dan gejala
spesifik sesuai organ yang terkena. Gejala umum penyakit TB tidak khas ,
dalam arti gejala tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kelainan/penyakit
lain. Gejala yang membuat dokter perlu mempertimbangkan TB sebagai
penyebab adalah masalah makan dan berat badan. Nafsu makan yang kurang,
berat badan yang sulit naik, menetap, atau malah turun merupakan gejala
penyakit TB. Kemungkinan masalah gizi sebagai penyebab harus disingkirkan
dulu dengan tatalaksana yang adekuat selama minimal 1 bulan. Pasien sakit TB
dapat memberi gejala demam subfebris berkepanjangan. Etiologi demam
kronik yang lain perlu disingkirkan dahulu, seperti misalnya infeksi saluran
kemih, tifus atau malaria. Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher,
aksila, inguinal atau tempat lain tidak jarang menjadi keluhan orang tua pasien.
Keluhan respiratorik dapat berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu, atau nyeri
dada. Dapat pula dijumpai gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang
tidak sembuh dengan pengobatan baku, perut membesar karena cairan, atau
teraba massa dalam perut.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
Biasanya sesuai dengan keluhan masalah makan dan berat badan, pada
pemeriksaan antropometri dijumpai gizi kurang dengan grafik berat badan dan
tinggi badan pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5. Suhu subfebris
dapat ditemukan pada sebagian pasien.
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai organ
tertentu. Pada TB vertebra dapat dijumpai gibbus, kifosis, paraparesis, atau
paraplegia. Jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut dapat terjadi pada
TB koksae atau TB genu. Pembesaran kelenjar getah bening dicurigai ke arah
TB jika bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens (saling menyatu).
Jika terjadi Meningitis TB, dapat ditemukan kaku kuduk dan tanda rangsang
meningeal lain.2
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji tuberkulin : dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin
PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan
memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah
penyuntikan. Indurasi tranversal diukur dan dilaporkan dalam mm
berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi
sama sekali. Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 mm
dinyatakan negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu
diulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif
menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)
pada anak. Reaksi uji tuberkulin positif biasanya bertahan lama hingga
bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin
tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB. Pada pasien dengan TB
milier dapat juga menunjukkan hasil negatif sehingga hasil negatif tidak
menyingkirkan diagnosis
b. Foto thoraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan. Gambaran radiologis
yang sugestif TB di antaranya : pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis,
atau kalsifikasi. Pada pasien dengan TB milier foto thoraks dapat
menunjukkan nodul – nodul milier serta adanya efusi pleura, walaupun
nodul milier lebih jelas jika dilihat pada foto thoraks lateral.5
Parameter 0 1 2 3 Skor
Pembesaran ≥ 1 cm
kelenjar limfe Jumlah ≥ 1,tidak
koli, nyeri
aksila,inguinal
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto dada Normal/ Sugestif TB
tidak jelas
JUMLAH SKOR
Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Jika dijumpai skrofuloderma, pasien dapat langsung didiagnosis
tuberkulosis.
c. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
d. Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
e. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak.
f. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
g. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, rujuk ke rumah sakit :
1. Foto rontgen menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura.
2. Gibbus, koksitis.
3. Tanda bahaya :
a. Kejang, kaku kuduk.
b. Penurunan kesadaran.
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas.
Penatalaksanaan2
1. Medikamentosa
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu :
a. Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal
b. Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-12 bulan.
Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif
maupun fase lanjutan
1. TB paru : INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif,
dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-4HR).
2. TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru : 4-5 OAT
selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin
hingga genap 9-12 bulan terapi.
3. TB kelenjar superfisial : terapinya sama dengan TB paru.
4. TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off)
selama 2 minggu, sehingga total waktu pemberian 1 bulan.
Tabel 2 : Obat yang lazim digunakan dalam terapi TB pada bayi, anak,
dan remaja2
Obat Sediaan Dosis Dosis Efek samping
maksimal
mg/kgBB
Keterangan :
R : Rifampisin, H: Isoniasid, Z: Pirazinamid
a. Bayi di bawah 5 kg, pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS tipe C atau lebih tinggi.
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥ 33 kg dosisnya sama dengan dosis dewasa.
d. Tablet obat harus diberikan secara utuh.
e. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah, atau
dimasukkan air dalam sendok.
Kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa profilaksis.
1. Profilaksis primer untuk mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa dengan uji BTA
positif.
2. Profilaksis sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB pada
kelompok yang telah terinfeksi TB tapi belum sakit TB.
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan
dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari. Profilaksis
primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB
dewasa dengan BTA sputum positif, namun pada evaluasi dengan sistem
skoring, didapatkan skor ≤ 5. Profilaksis primer diberikan selama kontak
masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak ada, profilaksis
dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, dievaluasi
apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi profilaksis
primer dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder. Profilaksis sekunder
diberikan selama 6-12 bulan yang merupakan waktu risiko tertinggi
terjadinya sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB.
2. Bedah
a. TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau
pneumektomi.
b. TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB.
c. Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terapi OAT selama minimal
2 bulan, kecuali jika terjadi kompresi medula spinalis atau ada abses
paravertebra tindakan bedah perlu lebih awal.
3. Suportif
Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi TB.
Jika ada penyakit lain juga perlu mendapat tata laksana memadai.
Fisioterapi dilakukan pada kasus pasca bedah.
Pemantauan
Terapi
a. Respon klinis
Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal.
Nafsu makan yang membaik, berat badan yang meningkat dengan cepat,
hilangnya keluhan demam, batuk lama, tidak mudah sakit lagi. Respon
yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase intensif). Setelah itu
perbaikan klinis tidak lagi sedramatis fase intensif.1-4
b. Evaluasi radiologi
Dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada perburukan klinis.
Jika gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan minum
obat, dan kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB dimulai lagi
dari awal dengan paduan 4 OAT.1-4
c. Efek samping OAT
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang kadang muncul adalah
hepatotoksisitas, dengan gejala ikterik yang bisa disertai keluhan
gastrointestinal lainnya. Keluhan ini biasanya muncul dalam fase intensif.
Pada kasus yang dicurigai adanya kelainan fungsi hepar, maka
pemeriksaan transaminase serum dilakukan sebelum pemberian OAT, dan
dipantau minimal tiap 2 minggu dalam fase intensif.1-4
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.4
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10
mg/hari direkomendasikan diberikan pada :4
1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif
2. Pasien gizi buruk
3. Anak dengan HIV positif
d. Jika timbul ikterus OAT dihentikan, dan dilakukan uji fungsi hati (bilirubin
dan transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan kadar transaminase <
3x batas atas normal, paduan OAT dapat dimulai lagi dengan dosis
terendah. Yang perlu diingat, reaksi hepatotoksisitas biasanya muncul
karena kombinasi dengan berbagai obat lain yang bersifat hepatotoksik
seperti parasetamol, fenobarbital, dan asam valproat.
e. Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap bulan.
Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB, profilaksis
diubah menjadi terapi TB.
Keterangan :
a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-
15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan
jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi
TB anak dimulai dari awal.
c. Jika regimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka regimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
d. Bila anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, perlu
diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
Tuberkulosis dan gizi buruk merupakan masalah yang masih cukup besar pada
negara berkembang. Keduanya saling berhubungan satu sama lain. Malnutrisi dapat
berakibat terjadinya imunodefisiensi yang membuat host semakin rentan untuk
terkena infeksi. Sedangkan, pada penderita tuberkulosis akan terjadi penurunan
nafsu makan, malabsorpsi nutrisi, dan “pengalihan” metabolisme hasil
menyebabkan terjadinya kekurangan energi. Tuberkulosis memiliki hubungan yang
lebih erta dengan malnutrisi berat dibanding dengan penyakit kronis lainnya.
Walaupun patofisiologi terjadinya penurunan status gizi dan berat badan pada
penderita tuberkulosis masih belum sepenuhnya dimengerti. Pasien dengan
tuberkulosis memiliki kecenderungan penurunan konsentrasi albumin pada serum.
8-11
Pada suatu penelitian di India, orang dengan tuberkulosis menggunakan kalori yang
didapat dari asupan oral lebih besar dibanding dengan orang sehat untuk oksidasi
dan menghasilkan energi yang lebih kecil. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
suatu “anabolic block” dimana terjadinya kegagalan dalam mengubah asupan
protein menjadi protein endogen. Selain itu, adanya faktor – faktor lain seperti
terjadinya anoreksia, serta peningkatan produksi sitokin yang menyebabkan
lipolitik dan proteolitik dapat menyebabkan penurunan berat badan.10
Tuberkulosis Perinatal
TB Perinatal adalah suatu keadaan khusus dimana bayi tertular tuberkulosis dari
ibunya baik saat kehamilan atau setelah lahir. TB perinatal terbagi menjadi 2
macam yaitu, TB Kongenital dan TB Neonatal. Penularan TB kongenital terjadi
pada saat kehamilan (dalam uterus) melalui penyebaran hematogen lewat vena
umbilikal atau saat persalinan karena aspirasi atau menelan cairan amnion serta
sekresi servikovaginal yang mengantung kuman TB. Gejalanya biasanya muncul
pada minggu pertama kehidupan, bisa berupa berat badan lahir rendah, tanda –
tanda sepsis, hepatosplenomegali dan distres pernapasan.