1. Sumber hukum internasional merupakan berbagai materi, kebiasaan, atau asas yang
mengandung atau menjelaskan aturan-aturan hukum internasional. Dalam hukum
internasional, tidak terdapat badan legislatif yang dapat mengeluarkan undang-undang
yang mengikat semua negara, sehingga hukum internasional dibuat berdasarkan
tindakan dan kebiasaan negara-negara sebagai pemegang kedaulatan.
2. Lima sumber hukum internasional menurut pasal 38 ayat 1 statuta Mahkamah
Internasional :
I. Perjanjian Internasional
II. Kebiasaaan Internasional
III. Asas hukum yang “diakui oleh negara-negara beradab”
IV. Putusan-putusan pengadilan
V. Ajaran-ajaran para ahli sebagai sumber tambahan untuk menentukan aturan hukum
3. Sumber hukum Internasional menurut pendapat pakar hukum Internasional
Starke
Menurut Strake, pengertian sumber hukum internasional dapat dilihat dari 2 makna yang
berbeda :
Sumber hukum (dalam arti materiil) diartikan sebagai isi/materi berupa bahan-bahan
penting yang digunakan para ahli hukum internasional untuk memutuskan hukum
yang berlaku dalam suatu situasi atau peristiwa tertentu.
Sumber hukum (dalam arti formal) berarti hukum yang ditetapkan berperan sebagai
kaidah. Dalam pemahaman ini sumber hukum lebih berfokus pada bentuk/wadah
aturan hukumnya.
Grotius
Menurut Grotius sumber hukum internasional ialah dasar kekuatan yang mengikat hukum
internasional berdasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan.
Dominikus
Brierly
Menurut Brierly, sumber hukum internasional merupakan sumber hukum paling utama dan
mempunyai otoritas tinggi yang berperan dalam memutuskan suatu persoalan internasional
oleh Mahkamah Internasional
Mochtar Kusumaatmadja
Perjanjian-perjanjian Internasional
Kebiasaan-kebiasaan Internasional
Prinsip-prinsip Hukum Umum
Keputusan-keputusan pengadilan
Menurut UU Pasal 38 ayat 1
Dalam UU Pasal 38 ayat 1 sumber hukum internasional dapat dikelompokkan atas dua
golongan sebagai berikut:
sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang
berupa negara atau organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh
beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian
bilateral dibuat antara dua negara. Sedangkan, perjanjian multilateral adalah perjanjian
yang dibuat oleh lebih dari dua negara.
prinsip-prinsip hukum yang mendasari sistem hukum modern. Prinsip hukum umum
juga menjadi salah satu sumber hukum utama/ primer yang berlaku dalam hukum
internasional.
d. Keputusan-keputusan peradilan
Treaty persetujuan dari dua negara atau lebih untuk mencapai hubungan
hukum mengenai objek hukum (kepentingan) yang sama.
Mou sebuah dokumen legal yang menjelaskan persetujuan antara dua belah
pihak. MoU tidak seformal sebuah perjanjian.
Agreed minute yaitu catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh
pihak-pihak dalam perjanjian. Catatn ini selanjutnya akan digunakan
sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya.
Protocol persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh
kepala negara, mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran
klausal-klausal tertentu.
Exchange of note metode yang tidak resmi, tetapi akhir-akhir ini banyak digunakan.
Biasanya, pertukaran nota dilakukan oleh wakil-wakil militer dan
negara serta dapat bersifat multirateral. Akibat pertukaran nota ini
timbul kewajiban yang menyangkut mereka.
Final Act ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama
utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konferensi
dan tidak memerlukan ratifikasi.
LOTUS CASE
I. FAKTA HUKUM
(1) Pada tanggal 2 Agustus 1926 terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis
dengan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Delapan warga
Turki atas kapal Boz Kourt tenggelam akibat kecelakaan tersebut.
(2) Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus
dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan
tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian
terhadap kapal tambang Turki.
(3) Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki karena dianggap tindakan
itu tidak sejalan dengan Hukum Internasional dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk
mengadili perkara itu, serta berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi
eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory).
(4) Pada tanggal 7 September 1927, ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus
tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan
bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Prinsip atau pendekatan Lotus biasanya dianggap sebagai dasar hukum internasional,
mengatakan bahwa negara-negara berdaulat dapat bertindak dengan cara apapun yang mereka
inginkan asalkan tidak bertentangan dengan larangan eksplisit. Prinsip ini merupakan hasil dari
kasus Lotus, kemudian ditolak oleh Pasal 11 dari Tinggi Konvensi Laut 1958.
Konvensi, yang diadakan di Jenewa, meletakkan penekanan pada fakta bahwa hanya
negara atau bendera negara yang tersangka pelaku adalah yang memiliki yurisdiksi nasional
atas pelaut tentang insiden yang terjadi di laut lepas. Tampak dari keputusan Permanent Court
of Internasional Justice dalam Lotus case bahwa opinion Juris merupakan suatu hal yang
merupakan kesimpulan dari semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang
merupakan unsur materi dari apa yang dinyatakan kaidah kebiasaan.
Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya:
1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif
dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua
insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-
undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat
disimpulkan dari traktat traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para
sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal
dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasa atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali
jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai
suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis
bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hokum internasional
dan praktek hokum internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang
menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek
jurisdiksi itu dilarang oleh hokum internasional.
3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam
kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut
kecuali di hadapan peradilan atau pejabat pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara
dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.
Terdapat dua teori mengenai kapal-kapal perang dan kapal pemerintah yang
dioperasikan untuk tujuan non-komersial;
è Teori “Pulau Terapung” (the floating island theory)
Menurut teori ini, kapal-kapal perang dan kapal pemerintsh tersebut harus diperlakukan oleh
negara-negara lain sebagai bagian dari wilayah suatu negara dan jurisdiksi pengadilan tidak
berlaku terhadap setiap tindakan yang dilakukan di atas kapal itu atau menahan seseorang yang
melakukan kesalahan di atas kapal itu.
è Teori yang menyatakan bahwa pengadilan negara pantai memberikan kekebalan-kekebalan
tertentu kepada kapal-kapal asing beserta wakilnya. Hal ini didasarkan pada pembebasan yang
diberikan oleh undang-undang negara pantai yang sifatnya bersyarat dan dapat ditarik kembali
oleh negara pantai.
◘ Asas Teritorial Objektif,
Beberapa Negara melaksanakan jurisdiksinya terhadap pelanggar, yang
pelanggarannya dimulai di Negara lain, tetapi diselesaikan di dalam wilayah mereka atau
menimbulkan akibat yang merugikan ketertiban social di dalam wilayah mereka.
◘ Jurisdiksi di Laut Lepas
Setiap negara baik negara pantai (coastal state) maupun negara tidak berpantai (land
locked state) mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah bendera negaranya di laut
lepas (Pasal 90 UNCLOS 1982). Pelaksanaan jurisdiksi suatu negara di laut lepas ini sesuai
dengan prinsip universal, yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak
kejahatan tertentu yang terjadi atau dilakukan di laut lepas seperti pembajakan, perdagangan
gelap obat narkotika atau bahan-bahan psokotropis, dll.
◘ Asas Nasionalitas Pasif
Titik berat asas ini terletak pada usaha negara untuk melindungi kepentingan warga
negaranya sendiri terhadap tindakan-tindakan atau perilaku orang asing yang merugikannya.
Jadi, warga yang bukan warga negaranya ditundukkan di bawah hukum nasionalnya,
disebabkan oleh karena perbuatan atau perilaku orang asing yang merugikan kepentingan
warga negaranya dan orang asing itu dapat dihukum oleh negara yang dirugikan jika pelaku
berada di wilayahnya.
Dalam hal ini PCIJ menemukan bahwa kedua kapal tersebut terlibat dalam satu
kecelakaan yang sama, jadi kedua negara tersebut sama-sama memiliki yurisdiksi atas
kecelakaan tersebut. Namun PCIJ menemukan suatu hukum kebiasaan internasional yang
memberi yurisdiksi pada prancis, namun tidak memberi mereka yurisdiksi eksklusif "di bawah
hukum internasional, semua yang tidak dilarang diperbolehkan". Kasus ini mengarah pada
prinsip lotus (pendekatan lotus), yang berbunyi kekuasaan negara dapat bertindak
bagaimanapun juga sebatas mereka tidak melanggar hukum yang tertulis.
Namun prinsip lotus ini telah disempurnakan oleh 1958 High Seas Convention dalam
pasal 11 Ayat (1).
Dalam sengketa lotus case, permasalahan kedaulatan negara diluar wilayah teritorial
menjadi faktor utama, dimana Turki melakukan tindakan asas perlindungan, guna pembelaan
atas 8 korban awak kapal Turki, dan asas nasionalitas pasif yang berarti bahwa suatu negara
memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga
negaranya di luar negeri.
Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanen, bahwa walaupun negara tidak
dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum
internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan
jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam
putusan Mahkamah Internasional Permanen, hukum internasional tidak mengatur ketentuan
tersebut. Tetapi karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi
kerusakan di wilayah Turki tersebut. Maka hal ini memungkinkan Turki memberlakukan
jurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial objektif, yaitu jurisdiksi dimana tindakan tersebut
diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal Turki, maka sama saja terjadi di wilayah
Turki), dengan jurisdiksi teritorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah
perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas
Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang
melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.