Anda di halaman 1dari 112

PENERAPAN TEKNIK REGULASI EMOSI UNTUK

MENINGKATKAN COPING STRESS ORANG TUA


YANG MEMILIKI ANAK DENGAN RIWAYAT
GANGGUAN SKIZOFRENIA

Untuk Menyusun Tesis Program S-2


Program Magister Profesi Psikologi

Minat Utama Bidang Psikologi Klinis

Diajukan Oleh :

Jefri Reza Pahlevi

T 100 145 001

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

1
BAB I

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan ketidakmampuan seseorang menghadapi stres


hidup yang dialami sehingga memunculkan perilaku-perilaku kelainan baik secara
kognitif, afektif maupun psikomotorik. Gangguan jiwa yang terberat adalah
skizofrenia (Keliat, 2009).

Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan bahwa skizofrenia adalah


gangguan psikotik menetap yang mencakup gangguan pada perilaku, emosi, dan
persepsi. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan
dengan pandangan tentang gila atau sakit mental sehingga sering sekali
menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya simpati
dan perhatian.

Skizofrenia membawa dampak langsung pada individu yang mengalaminya.


Penderita terganggu secara emosi, perilaku, maupun cara berinteraksi dengan
lingkungan baik keluarga serta masyarakat. Disabilitas emosi yang diderita
menyebabkan penderita skizofrenia kesulitan untuk merespon stimulus emosi di
lingkungan sehingga terkesan kurang peka. Kekurangan dalam hal emosi tersebut
juga berdampak pada perilaku penderita skizofrenia di lingkungan seperti curiga
yang berlebihan, mengurung diri, serta penurunan pada kualitas interpersonal dan
pekerjaan (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003).

Skizofrenia dijumpai rata-rata 1 sampai 2 % dari jumlah seluruh penduduk di


suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul pada usia 15 sampai
dengan 35 tahun (Puspitasari, 2009). Selain itu Arif (2006) mengungkapkan
bahwa skizofrenia dapat muncul pada usia 18 sampai dengan 45 tahun. Prevalensi
penderita skizofrenia di Indonesia mengalami penurunan yaitu pada tahun 2007
sejumlah 1000 orang yang mengalami gangguan skizofrenia, namun pada tahun
2014 jumlah penderita skizofrenia turun menjadi 1/7 dari 1000 penderita seluruh
Indonesia meskipun pemerintah sebagai peneliti kurang percaya dengan jumlah

2
tersebut, karena pemerintah percaya bahwa fenomena gangguan skizofrenia di
Indonesia seperti gunung es (Kompas, 2014). Di wilayah Surakarta terdapat
sejumlah 2.381 pasien skizofrenia yang terdiri dari 33 pasien skizofrenia
hebefrenik, 10 pasien skizofrenia katatonik, 333 pasien skizofrenia tak terinci, 1
pasien depresi pasca skizofrenia, pasien skizofrenia residual 158, pasien
skizofrenia simpleks, dan yang lainya berjumlah 1,047 pasien, serta YTT 29
pasien (Lestari, 2011).

Penderita skizofrenia membutuhkan bantuan khusus caregiver, yaitu individu


yang secara umum merawat dan mendukung individu lain (pasien) dalam
kehidupannya. Dalam hal ini, caregiver penderita skizofrenia adalah keluarga
tempat penderita skizofrenia tersebut tinggal. Secara otomatis perilaku penderita
skizofrenia berdampak pada keluarga baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penanganan dan pemberian perlakuan pada pasien skizofrenia bukanlah
situasi yang mudah, seringkali menimbulkan frustrasi, karena pada saat tertentu
komunikasi dengan penderita tidak dapat berlangsung dengan baik (Duran dan
David, 2007).

Keluarga yang turut serta menangani merasa terbebani sehingga membuat


keluarga mengalami penurunan produktivitas dan gangguan ritme aktivitas.
Keluarga merasakan beban yang berat karena terpaksa mengikuti keinginan
penderita skizofreniadi keluarga tersebut. Waktu luang yang seharusnya bisa
digunakan untuk fokus pada tugas rumah tangga lainnya justru digunakan untuk
merawat penderita skizofrenia yang terkadang sulit untuk dimengerti, bahkan
keperawatan diri penderita skizofrenia yang menurun seperti halnya kebersihan,
juga memaksa keluarga mengerahkan tenaga lebih untuk menjaga supaya
lingkungan keluarga tetap bersih khususnya bagi penderita skizofrenia, hal
tersebut membuat beban fisik keluarga semakin meningkat (Maramis, 2009).

Beban fisik yang dialami oleh keluarga dalam merawat penderita skizofrenia
mengarah pada kondisi psikisnya. Konflik perasaan yang dialami keluarga antara
merawat dan mengutamakan kepentingan lainnya adalah dilema yang tak jarang

3
dimunculkan sehingga hal tersebut semakin lama terasa mengganggu (Adilamarta,
2011). Keluarga kerap kali mengalami berbagai emosi seperti rasa takut, rasa
bersalah, rasa marah, frustrasi, rasa malu, dan perasaan tidak berguna, serta stigma
terhadap penderita juga kerap membuat keluarga mengasingkan penderita
skizofrenia. Stigma dan diskriminasi yang terbentuk menjadikan beban tersendiri
bagi orang-orang yang tinggal di sekitar pasien dan kadangkala menimbulkan
reaksi emosional keluarga yang merawat pasien skizofrenia, karena tidak mampu
mengelola emosi. Hal tersebut dapat memperburuk situasi yang pada keluarga
pasien.

Situasi kompleks yang dihadapi, membuat keluarga mengalami kesulitan


dalam menjalankan perannya. Idealnya keluarga mampu memahami dan
memberikan perawatan pada penderita skizofrenia, namun di sisi lain keluarga
mendapatkan tekanan dari luar dan dari dalam. Keluarga merasa aktivitas utama
yang dilakukannya sehari-hari tidak lain hanyalah mengurus penderita
skizofrenia, keluargapun merasa kesal karena penderita dirasa tidak memahami
bagaimana usaha keluarga untuk mengurusnya. Selain itu, perilaku penderita
skizofrenia yang kurang terkontrol seperti merusak barang di dalam keluarga,
berkata kotor, atau bahkan merusak barang tetangga dan menyakiti fisik orang
lain membuat keluarga merasa cemas ketika penderita beraktifitas.

Keluarga yang kurang menyadari pentingnya kesehatan jiwa cenderung


memberi perlakuan yang kurang sesuai dengan penderita skizofrenia. Salah satu
faktor adalah pendidikan yang rendah mempengaruhi pengetahuan dan sikap
keluarga terhadap penderita skizofrenia. Terdapat keluarga yang memilih untuk
mengasingkan penderita skizofrenia ke rumah sakit jiwa di luar daerah karena
merasa malu dengan lingkungan sekitar, keluargapun tidak menjenguk selama
perawatan, hal tersebut justru menghambat kesembuhan penderita skizofrenia.
Sedangkan keluarga yang memahami pentingnya kesehatan jiwa, mereka
mengusahakan berbagai cara untuk mengobati penderita skizofrenia sendiri,
seperti memeriksakan ke klinik jiwa untuk mendapatkan layanan rawat jalan
ataupun rawat inap. Hal-hal tersebut membawa penderita skizofrenia ke arah yang

4
lebih baik serta keluargapun mendapat bantuan untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi (Lestari dan Kartinah, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara awal dengan orang tua yang memiliki anak
dengan riwayat gangguan skizofrenia di RSJD Surakarta memaparkan bahwa
keluarga khususnya orang tua justru memarahi anaknya yang mulai menunjukkan
gejala gangguan jiwa seperti menyendiri di kamar untuk waktu yang lama. Orang
tua merasa lelah karena anak tidak mengetahui bagaimana usaha orang tua untuk
merawatnya, ditambah dengan kerja keras yang dilakukan orang tua selama ini
semata-mata untuk anaknya saja. Selain itu orang tua juga merasa malu apabila
anak yang mengalami gangguan skizofrenia berperilaku yang kurang wajar di
lingkungan, seperti berbicara sendiri ataupun berjalan mondar-mandir dan
memarahi setiap orang yang bertemu dijalan dengan anak tersebut. Selain itu
empat dari lima penderita skizofrenia di RSJD Klaten, dipasung oleh keluarganya
supaya tidak melakukan tindakan merugikan ketika kambuh. Penderita skizofrenia
yang sudah menunjukkan gejala-gejala segera dipasung oleh keluarga dan
diasingkan dari kegiatan sosial. Keluarga menjelaskan bahwa ketika penderita
kambuh, keluarga menunjukkan sikap yang keras, yaitu dengan marah dan
membentak supaya penderita tidak melakukan tindakan yang merugikan.
Keluarga yang lelah dalam merawat penderita, memilih untuk melakukan pasung
supaya keluarga dapat melakukan aktivitas tanpa mengalami tekanan.

Perilaku-perilaku keluarga tersebut, merupakan tindakan yang kurang tepat


dalam mengatasi stres akibat merawat penderita skizofrenia. Tidak sedikit
keluarga yang mengambil jalan pintas untuk mengatasi tekanan tersebut, yaitu
memasung penderita skizofrenia. Selain itu, selama perawatan keluarga
menghentikan pemberian obat kepada penderita skizofrenia karena dianggap tidak
kunjung sembuh, bahkan beberapa keluarga mencari berbagai alasan untuk
meninggalkan penderita skizofrenia di rumah sakit jiwa.

Usaha yang dilakukan keluarga untuk beradaptasi terhadap stressor adalah


dengan menggerakkan sumber koping. Koping digambarkan sebagai berbagai

5
macam strategi yang digunakan oleh seseorang untuk mengatasi situasi sehari-hari
atau situasi yang luar biasa. Strategi dan proses koping keluarga ini berfungsi
sebagai proses dan mekanisme yang vital, melalui proses dan mekanisme tersebut
fungsi keluarga akan menjadi nyata. Tanpa koping yang efektif, fungsi keluarga
tidak dapat dicapai secara adekuat. Koping yang efektif dapat membantu keluarga
dalam mengatasi stressor, sedangkan koping yang kurang efektif mengakibatkan
stressor tidak berkurang bahkan bertambah setiap harinya. Keluarga yang
memiliki regulasi emosi yang baik berpengaruh pada koping individu terhadap
masalah. Koping positif dipengaruhi oleh emosi-emosi yang positif, sementara
emosi-emosi negatif lahir dari koping yang tidak efektif (Lazaruz, dalam Hidayati,
2008).

Individu yang mampu menilai situasi, mengubah pikiran yang negatif dan
mengontrol emosinya akan memiliki koping yang positif terhadap masalahnya.
Pada proses koping yang berhasil maka akan terjadi proses adaptasi yang
meningkatkan kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi
kemungkinan stres selanjutnya. Sebaliknya bila terjadi kegagalan dalam proses
koping maka individu bersangkutan akan mengalami stres yang berkelanjutan,
yang termanifestasi dalam berbagai gangguan psikis dan fisik, seperti gangguan
kesehatan, dan masalah sosial lainnya (Gross & John, 2000, dalam Wade &
Tavris, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nazlah (2008) pada korban


bencana lumpur lapindo, pelatihan regulasi emosi efektif dalam memberikan
penanganan psikologis pada ibu-bu korban lumpur panas lapindo. Selain itu
penelitian yang dilakukan oleh Barret, Gross, Christensen dan Benvenuto (Manz,
2007) memaparkan bahwa emosi negatif dapat mempengaruhi aktivitas seseorang
dan bahwa kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif
akibat pengalaman-pengalaman emosional serta meningkatkan kemampuan untuk
menghadapi ketidakpastian hidup, memvisualisasikan masa depan yang positif
dan mempercepat pengambilan keputusan.

6
Berdasarkan penjelasan tentang latar belakang masalah, dapat diketahui bahwa
situasi di dalam keluarga dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita
skizofrenia yang juga berpengaruh pada resiko kekambuhan. Dengan kemampuan
orang tua dalam meregulasi emosi akan menumbuhkan koping stres adaptif, yang
pada akhirnya membawa penderita skizofrenia ke arah kualitas hidup yang lebih
baik, karena koping yang adaptif dapat mengontrol perilaku orang tua yang
mengakibatkan kekambuhan pada skizofrenia. Dengan demikian, peneliti memilih
tema penelitian “Penerapan Teknik Regulasi Emosi Terhadap Coping Stress
Orang Tua dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dengan Riwayat
Gangguan Skizofrenia”.

B. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan


pelatihan regulasi emosi untuk meningkatkan coping stress orang tua dalam yang
memiliki anak dengan riwayat gangguan jiwa skizofrenia.

C. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :


1. Secara teori, hasil penelitian mampu menjadi informasi yang dapat
memperkaya hasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan
intervensi psikologi mengenai penanganan pada keluarga dengan anak yang
memiliki riwayat gangguan skizofrenia.
2. Secara operasional, antara lain;
a. Bagi pihak Rumah Sakit Jiwa Daerah diharapkan hasil penelitian ini mampu
memberikan hasil empiris bagaimana pengaruh tehnik regulasi emosi untuk
meningkatkan coping stress orang tua yang memiliki riwayat gangguan
skizofrenia sehingga dapat menjadi salah satu tehnik terapi keluarga yang
utama

7
b. Bagi keluarga bahwa hasil penelitian dapat bermanfaat untuk meningkatkan
coping stress sehingga mengurangi terjadinya kekambuhan pada pasien
gangguandapat meningkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia.
c. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak
yang memerlukan.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan coping stress orang tua yang memiliki anak
dengan riwayat gangguan skizofrenia telah diteliti oleh beberapa peneliti,
diantaranya dapat dipaparkan dalam Tabel 1. seperti berikut :

8
Tabel 1. Keaslian Penelitian

No Judul Penelitian Subjek Hipotesis Alat Ukur Hasil Perbedaan Penelitian Sebelumnya
1 Hubungan antara 20 penderita Terdapat hubungan Skala strategi Semakin tinggi strategi Penelitian ini menggunakan metode
strategi koping skizofrenia antara strategi koping dengan 34 koping adaptif eksperimen untuk mengetahui
dengan kualitas koping dengan aitem dan skala penderita skizofrenia pengaruh pelatihan regulasi emosi
hidup pada penderita kualitas hidup pada kualitas hidup maka semakin inggi untuk meningkatkan koping adaptif
skizofrenia remisi penderita penderita kualitas hidup orang tua yang memiliki anak
simptom skizofrenia remisis skzofrenia dengan penderita, serta dengan gangguan jiwa skizofrenia
simptom 30 aitem. Disusun semakin rendah untuk meningkatkan kualitas hidup
oleh Diane Wild strategi koping adaptif penderita. Alat ukur yang digunakan
(2010) maka semakin rendah adalah SQL (schizoprenia quality of
pula kualitas hidup life) yang diberikan pada penderita
penderita. skizofrenia (anak) dan skala koping
stres yng diberikan pada orang tua
(subjek). Pada penelitian ini
menekankan pada peningkatan
kualitas hidup anak dengan
gangguan jiwa skizofrenia melalui
kemampuan orang tua dalam
meregulasi emosinya sehingga
mampu memilih strategi koping
yang sesuai ketika tertekan pada
waktu merawat anaknya yang
menderita ganggua jiwa skiofrenia.
2 Keefektifan 12 Orang tua Pelatihan Skala stres orang Terdapat penurunan Penelitian ini menggunakan orang
pelatihan siswa dengan ketrampilan tua menggunakan stres yang signifikan tua yang memiliki anak dengan
ketrampilan regulasi gangguan regulasi emosi parenting stress pada orang tua dengan riwayat gangguan skizofrenia
emosi terhadap ADHD. efektif menurunkan index dengan 60 anak ADHD, hipotesis sebagai subjek penelitian.
penurunan tingkat stres ibu yang aitem. diterima. Sedangkan target dari pelatihan

9
stres pada ibu yang memiliki anak ketrampilan regulasi emosi adalah
memiliki anak ADHD. untuk meningkatkan kemampuan
ADHD orang tua dalam koping yang
adaptif, supaya kualitas penderita
skizofrenia dapat meningkat. Skala
yang digunakan adalah skala koping
stres dan SQL (schizoprenia quality
of life)
3 Strategi koping Sampel 96 Keluarga dalam Ways of Coping Keluarga yang Subjek dalam penelitian ini adalah
keluarga dalam subjek merawat anggota The Revised merawat anggotanya orang tua yang memiliki anak
merawat anggota (orang tua di keluarga cenderung Version (Folkman yang menderita skizofrenia. Peneliti berfokus bukan
keluarga penderita dalam menggunakan salah and Lazarus, skizofrenia tidak pada tehnik koping apa yang
skizofrenia di keluarga satu tehnik koping 1984) dengan 13 terlalu signifikan digunakan, namun bertujuan untuk
instalasi rawat jalan dengan item yang antara membentuk koping adaptif melalui
RSJ Provinsi Jawa anggota mengungkap tehnik kecenderungan regulasi emosi orang tua.
Barat keluarga emotion focus penggunaan strategi pengukuran dalam penelitian ini
skizofrenia) coping dan problem koping tertentu menggunakan skala koping stres
focus coping. untuk mengukur kemampuan
koping orang tua dan SQL
(schizoprenia quality of life) untuk
mengukur kualitas hidup penderita
skizofrenia
4 Keefektifan 14 caregiver Ketrampilan Menggunakan skala Terdapat gain score Subjek dalam penelitian ini adalah
pelatihan pasien regulasi emosi FQ (Family yang signifikan antara orang tua yang memiliki anak
ketrampilan regulasi skizofrenia dapat menurunkan questionaire) untuk kelompok kontrol dan dengan gangguan skizofrenia,
emosi terhadap yang dibagi ekspresi emosi mengukur tingkat kelompok eksperimen, namun regulasi emosi digunakan
penurunan tingkat dalam dua caregiver pasien ekspresi emosi dengan kata lain untk membentuk koping adaptif
ekspresi emosi pada kelompok, skizofrenia caregiver perlakuan yang pada orang tua supaya dapat
caregiver pasien yaitu diberikan pada subjek membangun respon yang positif
skizofrenia di kelompok efektif pada anak dengan gangguan
Rumah Sakit Jiwa kontrol dan sizofrenia, sehingga ikut

10
Daerah Surakarta kelompok meningkatkan kualitas hidup
eksperimen penderita itu sendiri. Pengukuran
dalam penelitian ini menggunakan
skala koping stres untuk mengukur
kemampuan koping orang tua dan
SQL (schizoprenia quality of life)
untuk mengukur kualitas hidup
penderita skizofrenia
Efektifitas pelatihan Subjek Pelatihan regulasi - Pelatihan regulasi Karakteristik dalam penelitian
regulasi emosi untuk adalah ibu emosi dapat emosi mempengaruhi tersebut hampir sama dengan
meningkatkan dari anak meningkatkan tingkat penelitian yang akan dilakukan
resiliensi pada ibu autis resiliensi pada ibu resiliensi ibu yang peeliti, namun subjek yang dipilih
yang memiliki anak berjumlah 10 yang memiliki anak memiliki anak autis oleh peneliti adalah orang tua yang
autis dibagi dalam autis memiliki anak dengan gangguan
dua skizofrenia. Pelatihan regulasi emosi
kelompok. digunakan untuk membentuk koping
adaptif pada orang tua.

11
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan pada Tabel 1,
menunjukkan bahwa mekanisme koping stres keluarga khususnya orang tua
berpengaruh pada penurunan kekambuhan penderita skizofrenia yang mana dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia.

Penelitian yang telah disebutka pada tabel 1 memiliki perbedaan tema maupun
judul dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu dengan judul
“Penerapan Teknik Regulasi Emosi Terhadap Coping Stress Orang Tua dalam
Rangka Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dengan Riwayat Gangguan
Skizofrenia” belum pernah diteliti, sehingga judul penelitian tersebut dapat
dikatakan asli.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Coping Stres
1. Pengertian coping stress
Coping stress merupakan usaha perubahan kognitif dan perilaku secara
konstan sebagai respon yang dilalui individu dalam menghadapi situasi yang
mengancam dengan cara mengubah lingkungan atau situasi yang stresful
untuk menyelesaikan masalah (Farida, 1994). Coping stress sebagai proses
dimana individu mencoba mengelola jarak yang ada antara tuntutan-
tuntutan, baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang
berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang digunakan dalam
menghadapi situasi (Cohen, 1994) menjelaskan bahwa.
Lazarus (2005) mendefinisikan coping stress sebagai upaya yang
dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan pada tuntutan-tuntutan internal
maupun eksternal yang ditujukan untuk mengatur suatu keadaan penuh stres
dengan tujuan mengurangi distres. Selain itu Sarason (1999) mengartikan
coping stress sebagai cara untuk menghadapi stres, yang mempengaruhi
bagaimana seseorang mengidentifikasi dan mencoba untuk menyelesaikan
masalah. Lebih lanjut Stone (Putrianti, 2007) mengatakan bahwa coping
merupakan proses dinamik dari suatu pola perilaku atau pikiran-pikiran
seseorang yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan
dalam situasi yang menekan atau menegangkan sedangkan coping stress
merupakan suatu proses yang dinamis pada individu yang mengubah secara
konstan pikiran dan perilaku mereka dalam merespon perubahan-perubahan
dalam penilaian terhadap kondisi stres dan tuntutan-tuntutan dalam situasi
tersebut (Cheng, 2002).
Coping stress bereaksi terhadap tekanan yang berfungsi memecahkan,
mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan. Menurut
Pramadi (2003) coping stress diartikan sebagai respon yang bersifat perilaku
psikologis untuk mengurangi tekanan dan sifatnya dinamis. Coping

10
stressmerupakan upaya individu untuk mengatasi keadaan atau situasi yang
menekan, menantang, atau mengancam, yang berupa pikiran atau tindakan
dengan menggunakan sumber dalam dirinya maupun lingkungannya, yang
dilakukan secara sadar untuk meningkatkan perkembangan individu (Shinta
dalam Effendi, 1999).
Palpilia (2009) menyebutkan bahwa coping stress adalah cara berfikir atau
perilaku adaptif yang memiliki tujuan mengurangi stres dari kondisi
berbahaya, mengancam, dan menantang. Di sisi lain, coping stress adalah
respon perilaku dan fikiran sebagai jalan untuk memecahkan masalah agar
dapat beradaptasi dalam situasi menekan.
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian coping stress, maka dapat
disimpulkan bahwa coping stress adalah upaya yang dilakukan individu
secara dinamis untuk mengatasi tekanan psikofisiologis.
2. Bentuk-bentuk coping stress
Terdapat beberapa bentuk coping stress yang daapat digunakan oleh
individu untuk membantu menyelesaikan masalah, meliputi :
a. Koping berpusat pada masalah (ProblemFocused Coping)
Problem focus coping adalah usaha nyata berupa perilaku individu
untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan mengubah
kesulitan hubungan dengan lingkungan yang memerlukan adaptasi atau
dapat disebut pula perubahan eksternal (Lazarus, 1999). Strategi ini
membawa pengaruh pada individu, yaitu perubahan atau pertambahan
pengetahuan individu tentang masalah yang dihadapinya berikut dampak-
dampak dari masalah tersebut, sehingga individu mengetahui masalah
dan konsekuensi yang dihadapinya.
Problem focus coping merupakan respon yang berusaha
memodifikasi sumber stres dengan menghadapi situasi sebenarnya
(Pramadi, 2003). Problem focus coping merupakan coping stress yang
orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan
dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-kererampilan baru
dalam rangka mengurangi stres or yang dihadapi dan dirasakan. Lebih

11
lanjut menurut Lazarus (dalam Hapsari, 2002) coping stress yang
berpusat pada masalah, individu mengatasi stres dengan mempelajari
cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru. Individu cenderung
menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi.

Bentuk-bentuk problem focus coping menurut Lazarus ( Effendi,


1999) yaitu preparing focus coping, agression or attack , avoidance, dan
apathy or inaction. Lebih lanjut menurut Aldwin dan Revenson (1987)
problem focus coping meliputi tindakan instrumental yaitu tindakan yang
ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun
rencana-rencana yang dilakukan. Sedangkan negosiasi yaitu usaha yang
ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau menjadi penyebab masalah
yang sedang dihadapinya.

b. Koping berfokus pada emosi (Emotion focus coping)


Emotion focus coping adalah upaya untuk mencari dan memperoleh
rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan, yang diarahkan
untuk mengubah faktor dalam diri sendiri dalam cara memandang atau
mengartikan situasi lingkungan, yang memerlukan adaptasi yang disebut
pula perubahan internal. Emotion focus coping berusaha untuk
mengurangi, meniadakan tekanan, untuk mengurangi beban pikiran
individu, tetapi tidak pada kesulitan yang sebenarnya (Lazarus dalam
Effendi, 1999). Emotion focus coping lebih sesuai dilakukan oleh subjek
yang memiliki usia berkisar antara 17 sampai 20 tahun karena mereka
belum mencapai tahap perkembangan yang matang untuk bisa
menggunakan problem focus coping (Tanumidjojo, 2004). Menurut
Pramadi (2003), Emotion focus coping merupakan respon yang
mengendalikan penyebab stres yang berhubungan dengan emosi dan
usaha memelihara keseimbangan yang efektif. Perilaku koping yang
berpusat pada emosi yang digunakan untuk mengatur respon emosional
terhadap stres.

12
Sementara emotion focus coping menurut Hapsari (2002)
merupakan pelarian dari masalah yaitu individu menghindari masalah
dengan cara berkhayal atau membayangkan seandainya dia berada pada
situasi yang menyenangkan. Bentuk-bentuk emotion focus coping oleh
Lazarus (Effendi, 1999) yaitu, identifikasi, represi, denial, proyeksi,
reaksi formasi, displacement, rasionalisasi.

Berdasarkan penjelasan mengenai bentuk-bentuk coping stress, maka


dapat disimpulkan terdapat dua bentuk coping stress yaitu problem focused
coping yang di dalamnya terdapat preparing focus coping, agression or
attack, avoidance, apathy or inaction dan emotion focused coping yang
didalamnya terdapat identifikasi, represi, denial, proyeksi, reaksi formasi,
displacement, rasionalisasi

3. Aspek-Aspek coping stress


Carver (Niam, 2009) membagi aspek-aspek coping stress menjadi
empat, meliputi :
a. Keaktifan diri.
Adalah suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan atau mengelabuhi
penyebab stress atau memperbaiki akibatnya dengan cara bertindak
langsung,
b. Perencanaan
Perencanaan adalah memikirkan cara mengatasi penyebab stres dengan
merancang strategi dan memilih langkah paling tepat untuk menghadapi
masalah.
c. Penerimaan
Kondisi penuh dengan tekanan menyebabkan seseorang merasa tidak
memiliki jalan lain, sehingga mau tidak mau masalah tersebut harus
dihadapi.
d. Religiusitas.
Religiusitas yaitu sikap individu untuk menenangkan dan menyelesaikan
masalah-masalah secara keagamaan.

13
Selain itu, Lazarus (1987) menambahkan bahwa terdapat aspek dalam
dua bentuk strategi coping, diantaranya adalah:

a. Problem focus coping


1) Tindakan secara langsung (Instrumental action)
Individu melakukan usaha dan merencanakan langkah-langkah yang
mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun
rencana untuk bertindak dan melaksanakannya.
2) Kehati-hatian (Cautiousness)
Individu berfikir, meninjau, dan mempertimbangkan beberapa
alternatif pemecahan masalah, berhati-hati dalam merumuskan
masalah, meminta pendapat orang lain dan mengevaluasi strategi yang
pernah diterapkan sebelumnya.
3) Negosiasi (Negotiation)
Individu melakukan beberapa usaha untuk membicarakan serta
mencari cara penyelesaian dengan orang lain yang terlibat di
dalamnya dengan harapan masalah dapat terselesaikan. Usaha yang
dapat dilakukan untuk mengubah pikiran dan pendapat seseorang,
melakukan perundingan atau kompromi untuk mendapatkan sesuatu
yang positif dari situasi.
b. Emotion focused coping
a) Escapism (Pelarian diri dari masalah).
Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan
cara berkhayal atau membayangkan hasil yang akan terjadi atau
mengkhayalkan seandainya ia berada dalam situasi yang lebih baik
dari situasi yang dialaminya sekarang. Cara yang dilakukan untuk
menghindari masalah dengan tidur lebih banyak, minum minuman
keras, penyalahgunaan obat -obatan terlarang, dan menolak kehadiran
orang lain.

14
b) Minimalization (meringankan beban masalah).
Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan
cara menolak memikirkan masalah dan menganggap seakan-akan
masalah tersebut tidak ada dan menekan masalah menjadi seringan
mungkin.
c) Self blame (menyalahkan diri sendiri).
Perasaan menyesal, menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas
tekanan masalah yang terjadi atau strategi lainnya yang bersifat pasif
dan intropunitif yang ditujukan ke dalam diri sendiri.
d) Seeking meaning (mencari arti).
Usaha individu untuk mencari makna atau mencari hikmah dari
kegagalan yang dialami dan melihat hal-hal lain yang penting dalam
kehidupan.

Lebih lanjut Suranto (2011) menjelaskan bahwa aspek-aspek lainnya


dalam menyelesaikan permasalahan yaitu tawakal, ikhtiar, sabar, dan
qana’ah. Jika semua orang melakukan keempat aspek tersebut dalam
menghadapi masalah maka akan timbul rasa tenang di dalam hati.

Berdasarkan paparan mengenai aspek-aspek coping stress maka dapat


disimpulkan bahwa terdapat aspek yang melandasi coping stress, yaitu
tindakan secara langsung, kehati-hatian, negosiasi, escapism,
minimalization, self blame, dan seeking meaning.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi coping stress,
diantaranya yaitu:
a. Usia
Perkembangan usia dapat mempengaruhi kemampuan berpikir dan
beradaptasi yang berbeda-beda. Santrock (2003), menyimpulkan bahwa
individu dengan usia dewasa madya cenderung menggunakan coping
berfokus pada masalah (problem focused coping). Penelitian Santrock

15
menjelaskan bahwa usia dewasa madya lebih aktif dalam mencari
penyelesaian dan menilai stressor sebagai sesuatu yang dapat
dikendalikan.
b. Jenis kelamin
Pramadi dan Laksmono (2003) menyebutkan bahwa secara umum,
perempuan dan laki-laki menggunakan kedua bentuk coping, baik yang
berfokus pada masalah maupun yang berfokus pada emosi. Pada waktu
tertentu, perempuan sedikit lebih banyak yang menggunakan coping
terpusat pada emosi, sementara pria lebih berorientasi pada coping
berfokus masalah.
c. Dukungan sosial
Dukungan sosial berpengaruh dalam kemampuan individu untuk
melakukan coping terhadap stress (Smet, 1994). Pendapat tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Cohen dan McKay (Zimbardo & Gerrig,
1996), bahwa dukungan sosial adalah perantara dalam ketahanan
terhadap stress, yaitu keluarga, teman, teman kerja, dan tetangga dapat
memberikan dukungan. Dampak positif dari dukungan sosial adalah
membantu penyesuaian pada situasi stress, sehingga menjadi salah satu
sumber coping.
d. Tipe kepribadian
Karakteristik kepribadian merupakan suatu ciri atau sifat tertentu yang
menandai suatu tipe kepribadian. Karakteristik inilah yang membedakan
individu satu dengan yang lain dalam menghadapi pemasalahan. Hurlock
(1993)menjelaskan bahwa individu yang memiliki konsep diri yang
matang dan stabil akan mampu menerima dirinya dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
e. Tingkat pendidikan
Billing dan Moss (Sarafino, 1994), menjelaskan bahwa tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi kompleksitas pemikiran seseorang.
Hasil penelitiannya, ditemukan bahwa individu dengan tingkat

16
pendidikan yang tinggi akan lebih realistis dan aktif dalam memecahkan
masalah.
f. Pengalaman
Menurut Sarafino (1994) pengalaman merupakan kejadian yang pernah
dialami individu dan menjadi bahan pertimbangan dalam menghadapi
kejadian yang hampir sama, maka dari itu pengalaman masa lalu dapat
membantu seseorang untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu teori
belajar sosial (social lerning) dari Bandura menjelaskan bahwa dalam
sebuah pengalaman terdapat unsur proses belajar didalamnya, individu
akan mudah dan relatif singkat melakukan penyesuaian terhadap situasi
yang dihadapi apabila memiliki tingkat pengalaman yang tinggi dalam
situasi dan kondisi yang sama, begitu pula sebaliknya (Zimbardo &
Gerig, 1996).
g. Status sosial ekonomi
Pramadi dan Laksmono (Pramadi & Laksmono, 2003). Individu dengan
status sosial ekonomi yang lebih rendah akan menampilkan coping yang
kurang adaptif dibandingkan dengan individu yang status ekonominya
lebih tinggi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah
lebih banyak menggunakan coping yang berfokus pada emosi, sedangkan
individu dengan status ekonomi yang lebih tinggi cenderung
menggunakan coping yang berfokus pada masalah sesuai dengan
tingginya fasilitas yang dimiliki untuk mendukung pemecahan masalah.
h. Budaya
Budaya menurut Santrock (2003) berpengaruh dalam proses coping.
Budaya-budaya tertentu berpengaruh pada kemampuan masyarakatnya
untuk melakukan adaptasi pada situasi yang penuh tekanan, misalnya
kemampuan etnis minoritas di beberapa negara untuk tetap bertahan pada
situasi lingkungan yang penuh tekanan.

17
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi coping stress antara lain
perkembangan kognitif, yaitu bagaimana subjek berpikir dan memahami
kondisinya. Kematangan usia, yaitu bagaimana subjek mengelola emosi,
pikiran, dan perilakunya ketika menghadapi masalah. Faktor yang lain
adalah urutan kelahiran yaitu posisi subjek diantara saudara-saudaranya
berpengaruh terhadap karakteristik subjek dalam menilai dirinya sendiri,
serta moral yaitu bagaimana subjek memandang aturan tentang masalah
yang sedang dihadapi.

B. Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia yaitu gangguan psikotik berat yang ditandai oleh distorsi
berat atas realitas, menarik diri dari interaksi sosial, disorganisasi dan
fragmentasi persepsi, pikiran, dan emosi (Supratiknya, 1995). Bleuler (dalam
Supratiknya, 1995) menyebutnya skizofrenia atau ‘jiwa yang terbelah’, sebab
gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi
antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri ke dalam dan menjauh dari
realitas.
Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan bahwa skizofrenia
adalah gangguan psikotik menetap yang mencakup gangguan pada perilaku,
emosi, dan persepsi. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling
berhubungan dengan pandangan tentang gila atau sakit mental sehingga sering
sekali menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya
simpati dan perhatian. Sedangkan Durand dan David (2007) menguatkan
skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang merusak yang dapat melibatkan
gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi (halusinasi),
pembicaraan, emosi, dan perilaku.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat (Iman, 2006).
Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif dan gejala-gejala negatif.
Gejala-gejala positif yaitu bertambahnya kemunculan suatu tingkah laku dalam
kadar yang berlebihan dan menunjukkan penyimpangan dari fungsi psikologis

18
yang normal seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan
kognitif dan persepsi. Sedangkan gejala-gejala negatif yaitu penurunan
kemunculan suatu tingkah laku yang juga berarti penyimpangan dari fungsi
psikologis yang normal seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan),
berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang
datar, serta terganggunya relasi personal.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia
merupakan kekacauan parah yang melibatkan pemikiran dan perilaku sosial
yang abnormal, tingkat halusinasi yang terlalu tinggi sehingga tercipta
kejadian-kejadian aneh dalam pikiran, waham, bicara yang jelas
terdisorganisasi, menarik diri, serta adanya disfungsi sosial dan akademik.
2. Etiologi Skizofrenia pada Anak

Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan faktor penyebab


skizofrenia yaitu faktor biologis dan faktor psikososial. Kaplan dan Sadock
(2010) menjelaskan skizofrenia mempunyai faktor penyebab diantaranya faktor
biologis, genetika, dan faktor psikososial. Sedangkan menurut Durand dan
David (2007) penyebab skizofrenia adalah pengaruh biologis, sosial, dan
emosional serta kognitif. Adapun faktor-faktor yang dijelaskan di sini yaitu
penggabungan dari ketiganya antara lain faktor biologis, psikososial, dan
sosiokultural :

a. Faktor Biologis
Skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga sebab keluarga
merupakan tingkat pertama dari orang-orang yang mengalami skizofrenia
yang memiliki sekitar sepuluh kali lipat risiko yang lebh besar untuk
mengalami skizofrenia (Erlenmeyer, dkk dalam Jeffrey, Spencer, dan
Beverly, 2003). Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut
menentukan timbulnya skizofrenia. Diperkirakan bahwa yang diturunkan
adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri)
melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah,

19
tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan
terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak (Maramis, 2009).
Sedangkan faktor genetik skizofrenia menurut Durand dan David
(2007) adalah adanya ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan
struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau kecelakaan
dalam proses persalinan, dan stressor psikologis.
b. Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari faktor psikososial sangat dipengaruhi oleh
faktor keluarga dan stressor psikososial. Penderita yang keluarganya
memiliki emosi ekspresi (EE) yang tinggi memiliki angka kekambuhan
lebih tinggi daripada penderita yang berasal dari keluarga berkspresi yang
rendah. EE didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive yaitu terlihat
berlebihan, kejam, kritis dan tidak mendukung pada anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Disamping itu, stress psikologis dan lingkungan
keluarga paling mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih
terkontrol (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003). Ventura, dkk (dalam
Durand dan David, 2007) menguatkan bahwa kejadian hidup yang
menimbulkan stres dapat meningkatkan depresi di kalangan penderita
skizofrenia, yang pada gilirannya mungkin memberikan kontribusi terhadap
terjadinya kekambuhan.
Zubin dan Spring (dalam Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003)
memformulasikan model diatesis-stres yang memandang bahwa gangguan
skizofrenia sebagai interaksi atau kombinasi dari diatesis, dalam bentuk
predisposisi genetis untuk berkembangnya gangguan, dengan stres
lingkungan yang melebihi ambang stres atau sumber-sumber coping
individu. Stresor lingkungan dapat mencakup faktor psikologis, seperti
konflik keluarga, perlakuan yang salah terhadap anak, deprivasi emosi, atau
kehilangan figur yang memberikan dukungan, seperti juga pengaruh
lingkungan fisik, seperti trauma atau luka otak pada masa anak-anak. Di sisi
lain, apabila stres lingkungan berada di bawah ambang stres individu,

20
skizofrenia mungkin tidak akan pernah berkembang, meskipun pada orang
yang memiliki risiko genetis untuk menderita gangguan skizofrenia.
Faktor-faktor Pelindung
Potensial
Gaya Komunikasi yang Sehat
dalam Keluarga, Lingkungan
Keluarga yang Mendukung,
Tingkat Stres yang Rendah dalam
Kehidupan

Diatesis Faktor-faktor Stres Potensial


Kerentangan Genetis Trauma Prenatal,
yang Menyebabkan Komplikasi Saat Lahir,
Abnormalitas Otak dan Lingkungan Keluarga
Terganggunya Fungsi yang Kasar dan Skizofrenia
Neurotransmitter Mengkritik, Situasi
Kehidupan yang Penuh
Stres

Bagan 1. Model Diatesis-Stres dari Skizofrenia

Dalam model diatesis stres, pola-pola interaksi dan komunikasi


emosional yang terganggu dalam keluarga menunjukkan suatu sumber stres
potensial yang mungkin meningkatkan risiko berkembangnya skizofrenia
pada orang-orang yang memiliki predisposisi genetis untuk menderita
gangguan skizofrenia. Mungkin peningkatan risiko ini dapat diminimalkan
atau dihilangkan apabila anggota keluarga diajarkan untuk mengatasi stres
dan mengurangi kritik serta lebih mendukung terhadap anggota-anggota
keluarga yang menderita skizofrenia.
Anggota-anggota keluarga mungkin berespon secara berbeda terhadap
keluarga yang mengalami gangguan skizofrenia apabila keluarga
menganggap asal aspek dari perilaku adalah kondisi yang bersifat sementara
atau dapat disembuhkan, yang diyakini dapat diatasi dengan kemauan yang
keras daripada apabila meyakini bahwa perilaku tersebut disebabkan oleh

21
ketidaknormalan otak. Derajat yaitu keluarga mempersepsikan anggota-
anggota keluarga yang menderita skizofrenia memiliki kendali terhadap
gangguan penderita mungkin merupakan faktor kritis dalam hal berespons
terhadap anggota keluarga tersebut.
Iman (2006) menjelaskan bahwa penyebab anak skizofrenia atau akar
permasalahan munculnya gangguan skizofrenia pada anak adalah di dalam
keluarga. Akar permasalahan pada penderita skizofrenia terletak pada
adanya kekurangan atau gangguan pada holding environment atau potential
space (ruang psikologis) dan centered relating (membina hubungan yang
mendalam) dalam keluarga yang bersangkutan (Iman, 2006). Gangguan
psikologis atau psikopatologi terjadi karena individu berkembang dalam
ruang psikologis yang tidak memadai bagi berkembangnya pribadi yang
sehat. Seharusnya setiap anggota keluarga terhubungkan satu sama lain
dalam suatu matriks relasi yang kompleks. Ada suatu gangguan pada
matriks keluarga yang mengakibatkan para anggota keluarga tidak bisa
saling memberikan holding dan membina centered relating satu sama lain.
Sebabnya bisa bermacam-macam, seperti misalnya bila keluarga sebagai
suatu sistem yang menghadapi suatu stresor yang berat. Stresor yang
mengenai anggota keluarga akan berdampak pada seluruh anggota keluarga,
termasuk pasangan orang tua dan bayinya. Lebih buruk dampaknya bagi
sang anak bila orang tua sendiri yang mengalami stresor yang berat tersebut.
c. Faktor Sosiokultural
Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan bahwa penyebab
sosial dari skizofenia di setiap kultur berbeda tergantung dari bagaimana
penyakit mental diterima di dalam kultur, sifat peranan penderita,
tersedianya sistem pendukung sosial dan keluarga, serta kompleksitas
komunikasi sosial. Iyus (2008) menjelaskan bahwa kebudayaan secara
teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak
terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan
skizofrenia, biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala.
Kebudayaan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian

22
seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam
kebudayaan tersebut (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa selain


faktor genetik sebagai penyebab perkembangan skizofrenia yaitu faktor
keluarga antara lain orang tua sebagai faktor psikososial yang berperan
penting terhadap perkembangan gangguan skizofrenia. Individu
berkembang dalam ruang psikologis yang tidak memadai bagi
berkembangnya pribadi yang sehat yaitu di dalam keluarga. Kemudian,
keluarga terutama orang tua yang mengakibatkan para anggota keluarga
tidak bisa saling memberikan holding dan membina centered relating satu
sama lain. Stresor lingkungan dapat berasal dari lingkungan keluarga.
Stresor lingkungan keluarga mencakup faktor psikologis, seperti konflik
keluarga, perlakuan yang salah terhadap anak, lingkungan keluarga yang
kasar dan mengkritik, situasi kehidupan yang penuh stres, deprivasi emosi,
serta kehilangan figur yang memberikan dukungan. Pola-pola interaksi dan
komunikasi emosional yang terganggu dalam keluarga menunjukkan suatu
sumber stres potensial yang mungkin meningkatkan risiko berkembangnya
skizofrenia pada orang-orang yang memiliki predisposisi genetis untuk
menderita gangguan skizofrenia.

3. Penanganan Skizofrenia
Penanganan biasanya mencakup beberapa segi yaitu menggabungkan
pendekatan farmakologis, psikologis, dan rehabilitatif (Jeffrey, Spencer, dan
Beverly, 2003).
Maramis (2009) menjelaskan bahwa pengobatan pada penderita
skizofrenia harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran
mental. Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa lingkungan pendidikan
yang tepat untuk anak skizofrenia juga penting, karena defisit keterampilan

23
sosial, defisit atensi, dan kesulitan akademik sering menyertai skizofrenia pada
masa anak-anak.
Dari berbagai pendapat di atas maka penanganan pada penderita anak
yang mengalami skizofrenia sebagai berikut :
a. Farmakoterapi
Medikasi antipsikotik efektif untuk pengobatan pada anak-anak dan
remaja dengan skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 1997). Indikasi pemberian
obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama untuk mengendalikan
gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan.
Beberapa bentuk obat antipsikotik, seperti Haloperidol, Olanzapine,
Quetiapine, dan Risperidone dapat mengendalikan pola-pola perilaku yang
lebih ganjil, seperti halusinasi dan waham serta mengurangi risiko kambuh
yang berulang-ulang (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003).
b. Terapi Elektro-Konvulsi (TEK)
Seperti juga terapi konvulsi yang lain, cara kerja elektrokonvulsi belum
diketahui dengan jelas namun terapi komvulsi dapat memperpendek
serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan
tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.
c. Terapi-terapi berdasarkan belajar
Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan bahwa intervensi
berdasarkan pembelajaran telah menunjukkan efektivitas dalam
memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu anak-anak yang
mengalami gangguan ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif
yang dapat membantu menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup
dalam komunitas. Metode terapi meliputi teknik-teknik seperti :
1) Reinforcement selektif terhadap perilaku, seperti memberikan perhatian
terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang aneh
dengan tidak lagi memberi perhatian.
2) Token ekonomi yaitu pada unit-unit perawatan di rumah sakit diberi
hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token, seperti kepingan plastik,
yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barang-barang atau

24
hak-hak istimewa yang diinginkan. Glynn, dkk (dalam Jeffrey, Spencer,
dan Beverly, 2003) menguatkan bahwa token ekonomi telah terbukti
lebih efektif dibandingkan perawatan lingkungan intensif dan perawatan
pengasuhan tradisional dalam meningkatan fungsi sosial dan mengurangi
perilaku psikotik pada penderita skizofrenia.
3) Pelatihan keterampilan sosial, penderita anak diajarkan keterampilan
untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain yang sesuai
melalui coaching (latihan yaitu terapis menggunakan tanda verbal
maupun nonverbal untuk memunculkan perilaku tertentu yang
diharapkan), modeling (mengamati terapis atau anggota kelompok
memperagakan perilaku yang diinginkan), latihan perilaku, dan umpan
balik, serta shaping (imbalan terhadap keberhasilan yang mendekati
perilaku sasaran). Pelatihan keterampilan sosial (social skills training
atau SST) mencakup program yang membantu individu memperoleh
sejumlah keterampilan sosial dan vokasional. Dalam penelitian Hunter,
dkkk (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003) menunjukkan bahwa SST
meningkatkan keterampilan sosial dan fungsi adaptif dari penderita
skizofrenia dalam komunitas. Durand dan David (2007) menambahkan
bahwa keterampilan sosial dapat dilakukan dalam setting rumah sakit
atau masyarakat.
d. Rehabilitasi psikososial
Individu yang mengalami skizofrenia biasanya mengalami kesulitan
untuk berfungsi dalam peran-peran sosial. Sejumlah kelompok self-help
(biasa dikenal sebagai clubhouse) dan pusat rehabilitasi psikososial yang
lebih terstruktur lainnya telah muncul untuk membantu orang yang
mengalami skizofrenia untuk menemukan tempat di masyarakat (Jeffrey,
Spencer, dan Beverly, 2003).
e. Program Intervensi Keluarga
Konflik-konflik keluarga dan interaksi keluarga yang negatif dapat
menumpuk stres pada anggota keluarga yang mengalami skizofrenia,
meningkatkan risiko episode yang berulang. Marsh dan Johnson (dalam

25
Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003) menjelaskan keluarga berperan penting
dalam membantu anggota keluarga yang mengalami skizofrenia untuk
menyesuaikan diri dengan beban untuk merawat dan membantu penderita
dalam mengembangkan cara-cara yang lebih kooperatif dan tidak terlalu
konfrontatif dalam berhubungan dengan orang lain.
f. Terapi Psikodinamika
Terapi individual atau personal therapy (yang berpijak pada model
diatesis-stres) membantu penderita beradaptasi secara lebih efektif terhadap
stres dan membantu untuk membangun keterampilan sosial, seperti
mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Terapi personal
juga terbukti dapat mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi
sosial antara penderita skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo,
dkk dalam Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003)
g. Psikoterapi
Psikoterapi pada anak skizofrenik harus mempertimbangkan tingkat
perkembangan anak, yaitu harus terus menerus mendukung tes realitas anak
yang baik, dan harus termasuk dalam kepekaan pada rasa diri anak (Kaplan
dan Sadock, 1997)
Teknik terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavior Therapy) belakangan
dicoba pada penderita skizofrenia dengan hasil yang sangat baik dan
menjanjikan (Maramis, 2009)..
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul
kembali dengan orang lain, penderita lain, perawat, dan dokter. Terapi ini
bermaksud agar penderita skizofrenia tidak mengasingkan diri lagi, karena
bila penderita menarik diri dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik
sehingga dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama
(Maramis, 2009).
h. Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain yang diberikan secara intensif selama
kira-kira lima tahun tidak berhasil dan bila penderita sangat mengganggu
lingkungannya.

26
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua kebutuhan orang
yang menderita skizofrenia. Skizofrenia merupakan disabilitas sepanjang
hidup yang membutuhkan perawatan intervensi jangka panjang yang
menggabungkan pengobatan antipsikotik atau penanganan-penanganan
secara medis, terapi keluarga, terapi belajar, bentuk-bentuk terapi suportif
atau kognitif-behavioral, psikoterapi, terapi psikodinamika, pelatihan
vokasional, keterampilan sosial, dan pelayanan dukungan sosial. Coursey,
dkk (dalam Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003) menguatkan bahwa
intervensi-intervensi tersebut seharusnya dikoordinasikan dan diintegrasikan
dalam model perawatan yang menyeluruh agar lebih efektif dalam
membantu individu meraih penyesuaian sosial secara maksimal.

4. Kualitas Hidup Skizofrenia


Kualitas hidup merupakan subyektivitas pasien berkaitan dengan
penghargaan diri terhadap capaian atau kepuasan pribadinya (Tempier dan
Pawliuk, 2001). Nilai tersebut digunakan untuk mebedakan harapan individu
tersebut dari pengalaman subyektif, kondisi, dan persepsi pasien (Burckhardt
dan Anderson, 2003).
Kualitas hidup pasien skizofrenia secara umum lebih rendah dari populasi
umum dan pasien dengan penyakit fisik (Bobes, 2007). Karena skizofrenia
merupakan penyakit yang melemahkan, diakibatkan penderitanya mengalami
gangguan dalam psikologis, psoses pikir, persepsi, perilaku, perhatian dan
konsentrasi, sehingga mempengaruhi kemampuan bekerja, perawatan diri,
hubungan interpersonal dan ketrampilan hidup termasuk kemampuan
menjalankan ibadah (Mohr, 2004). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
kualitas hidup penderita skizofrenia cenderung rendah. Dampak yang bisa
ditimbulkan karena rendahnya kualitas hidup pasien skizofrenia antara lain,
pasien merasa malu karena anggapan negatif masyarakat, sehingga pasien
harus cukup berjuang melawan stigma terkait penyakit mental pada umumnya,
terutama yang berkaitan dengan skizofrenia. Status yang kurang beruntung

27
dalam masyarakat juga akan membuat pasien skizofrenia suli melaksanakan
semua kontrol pribadi atas diri mereka sendiri, sehingga menghambat
pembentukan konsep diri, termasuk harga diri, rasa penguasaan dan self
efficacy (Ma et all, 2005; Vauth et all, 2007).
Penilaian kuailitas hidup skizofrenia juga membutuhkan bagian dari
penilaian kesehatan. Pasien dengan penyakit kronis membutuhkan penilaian
kualitas hidup untuk menentukan dampak penyakit tersebut terhadap kesehatan
ketika penyakit tersebut memiliki kemungkinan kecil untuk sembuh. Terdapat
beberapa kuesionair yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup
skizofrenia dengan tujuan yang hampir sama yaitu untuk menilai kualitas hidup
pada umumnya, kualitas hidup pada pasien psikiatri, serta khusus untuk
penderita skizofrenia misalnya SQLS (Schizoprenia Quality of Life Scale).
Aspek yang diungkap dalam skala tersebut meliputi fungsi fisik dan sosial,
hubungan interpersonal, keadaan kehidupan, hubunga dengan keluarga,
kesenangan, pekerjaan, keuangan dan keamanan, kesehatan, kepercayaan,
psikososial, motivasi atau tenaga, gejala atau efek samping, tidur dan istirahat,
makan, pengaturan rumah, ambulasi, mobilitas, dan lain-lain (Gee et all, 2003;
Safitri, 2010).

C. PelatihanRegulasi Emosi
1. Regulasi Emosi
a. Pengertian
Regulasi merupakan proses emosi yang dibangun oleh empat
kompnen lain dalam proses objek, penilaian, fisiologi, dan
kecenderungan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengendalikan
emosi seperti mengatur penilaian, mengatur dan meredam reaksi
fisiologis dan melakukan relaksasi (Hude, 2006). Secara etimologi, emosi
berasal dari bahasa latin E-Movere yang berarti bergerak, menggerakkan.
Awalan huruf e menambahkan arti bergerak menjauh, seperti halnya
emosi negatif merubah suasana hati untuk melakukan tindakan tertentu.

28
Hude (2006) menyebutkan bahwa emosi merupakan antisipasi,
kegembiraan, penerimaan, terkejut, takut, sedih, jijik, dan marah yang
digambarkan dalam sebuah siklus bersama dengan emosi lainnya yang
sangat beragam. Lazarus (Hude, 2006) menyebutkan bahwa emosi yang
terdapat pada individu meliputi anger, anxiety, fright, guilt, shame,
sadness, envy, jealousy, disgust, happiness, pride, relief, hope, love, dan
compasssion.
Setiap individu memiliki emosi yang beragam serta dapat dikendalikan.
Seseorang yang mampu mengendalikannya dapat mendatangkan
ketengangan dan kebahagiaan (Mappiare 2003). Kebahagiaan seseorang
dalam hidup bukan dikarenakan tidak adanya emosi dalam dirinya,
melainkan kebiasaannya memahami dan menguasai emosi tersebut.
Menurut Fridja (1986), pengendalian emosi juga bisa disebut dengan
regulasi emosi yaitu cara yang digunakan oleh seseorang untuk
menentukan emosi apa saja yang dirasakan, kapan emosi tersebut
dirasakan dan bagaimana mengeskpresikan serta mengetahui emosi
tersebut.
Thompson (2007) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses
intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab memonitor,
mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus
untuk mencapai tujuan. Moxon (2009) mendefinisikan regulasi emosi
sebagai suatu proses untuk menilai, mengatasi, mengelola dan
mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan
emosional. Gross dan Thompson (2007), regulasi emosi meliputi semua
kesadaran dan ketidaksadaran strategi yang digunakan untuk menaikkan,
memelihara, dan menurunkan satu atau lebih komponen dari respon
emosi. Komponen, perasaan, perilaku, dan respon-respon fisiologis,
proses regulasi emosi terjadi dua kali, yaitu pada awal tindakan
(antecedent-focused emotion regulation atau reappraisal). Regulasi awal
terdiri dari perubahan berpikir tentang situasi untuk menurunkan dampak

29
emosional, sedangkan regulasi akhir menghambat keluaran tanda-tanda
emosi.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
ketrampilan regulasi emosi merupakan ketrampilan yang dimiliki
seseorang untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi
emosional serta mengekspresikan emosi dan perasaan tersebut untuk
mencapai tujuan individu dalam kehidupan sehari-hari.

b. Aspek-aspek regulasi emosi


Thompson (Gross, 2006) menjelaskan beberapa aspek regulasi emosi,
yaitu:
1) Memonitor emosi (emotions monitoring)
Gross (2006) menjelaskan memonitoring emosi sebagai
kemampuan individu dalam menyadari dan memahami keseluruhan
proses yang terjadi di dalam diri, meliputi perasaan, pikiran, dan
motif dari tindakan. Kesadaran diri akan membantu tercapainya
aspek-aspek yang lain. Memonitor emosi membantu individu
terhubung dengan emosi dan pikiran, serta keterhubungan ini
membuat individu mampu menamakan setiap emosi yang muncul.
2) Mengevaluasi emosi (emotions evaluating)
Mengevaluasi emosi merupakan kemampuan individu dalam
mengelola emosi-emosi yang dialami (Gross, 2006). Kemampuan
mengelola emosi-emosi khususnya emosi negatif seperti kemarahan,
kesedihan, kecewa, dendam, dan benci akan membuat individu tidak
terbawa pengaruh secara mendalam. Apabila terpengaruh emosi
negatif secara mendalam, mengakibatkan individu tidak mampu lagi
berpikir rasional.
3) Modifikasi emosi (emotions modifications)
Modifikasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengubah
emosi tertentu sehingga mampu memotivasi diri, terutama ketika
individu berada dalam keadaan putus asa, cemas, dan marah (Gross,

30
2006). Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam
masalah yang membebani, mampu terus berjuang ketika menghadapi
hambatan yang besar, dan tidak mudah putus asa serta kehilangan
harapan.

Menurut Gross (Strongman, 2003) juga menyebutkan beberapa


aspek regulasi emosi, antara lain:

1) Pemilihan situasi (situation selection). Pemilihan situasi dapat


dilakukan dengan mendekati atau menjauhi orang, tempat, atau
objek-objek tertentu.
2) Modifikasi situasi (situation modification). Modifikasi situasi
berhubungan dengan strategi pemecahan masalah.
3) Penyebaran perhatian (attentional deployment). Penyebaran
perhatian berhubungan dengan kebingungan, konsentrasi, dan atau
perenungan.
4) Perubahan kognitif (cognitive change). Perubahan kognitif
menyangkut evaluasi dari modifikasi yang telah dibuat, termasuk
pertahanan psikologis, dan menurunkan perbandingan sosial
(misalnya dia lebih salah daripada saya). Pada umumnya
perubahan kognitif merupakan transformasi kognisi untuk
mengubah pengaruh emosional yang kuat dari suatu situasi.
5) Modifikasi respon (response modification). Contoh modifikasi
respon adalah konsumsi obat-obatan terlarang, mengkonsumsi
alkohol, latihan latihan, makanan, atau penindasan. Semua itu
merupakan bentuk regulasi emosi yang banyak dipikirkan orang.

Berdasarkan penjelasan dua ahli mengenai aspek regulasi emosi,


maka dapat disimpulkan aspek regulasi emosi terdiri dari pemilihan
situasi (situation selection), modifikasi situasi (situation modification),
penyebaran perhatian (attentional deployment), perubahan kognitif
(cognitive change), dan modifikasi respon (response modification).

31
c. Bentuk-bentuk regulasi emosi
Garnefski, Kraaij, dan Spinhoven (2001) menyebutkan bahwa bentuk
strategi regulasi emosi ada sembilan, yaitu :
1) Self blame, adalah pola pikir menyalahkan diri sendiri atas peristiwa
kurang menyenangkan yang dialami. Contoh: “Saya pikir sayalah
patut untuk disalahkan”.
2) Acceptance, yaitu pola pikir menerima terhadap situasi yang
menimpanya. Contoh : “Saya pikir saya pantas menerimanya”.
3) Ruminationatau focus on thought, adalah pola pikir yang berpusat
pada pemikiran dan perasaan terhadap peristiwa negatif yang dialami.
Contoh : “Saya sering berfikir tentang apa yang saya fikir dan rasakan
tentang kesalahan tersebut”.
4) Positive refocusing, adalah pola pikir yang mana memilih
memikirkan hal yang menyenangkan dibandingkan memikirkan
permasalahan. Contoh : “Saya memikirkan hal-hal yang
menyenangkan di luar masalah yang saya hadapi”.
5) Refocus on planning, adalah pola pikir tentang apa yang akan
dilakukan dan bagaimana mengatasi permasalahan yang menimpa.
Contoh : “Saya memikirkan bagaimana saya harus bertindak untuk
menyelesaikan masalah ini”.
6) Positive reappraisal, adalah pemikiran mengenai manfaat atau hikmah
yang dapat diambil dari permasalahan. Contoh : “ Saya telah
mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari permasalahan ini”.
7) Putting into perspective, adalah pola pikir untuk tidak menganggap
serius permasalahan yang dihadapi. Contoh : “Saya pikir semua orang
pasti memiliki permasalahan”.
8) Catastrophizing, adalah pola pikir yang mana permasalahan
merupakan sesuatu yang sangat buruk. Contoh : “Saya berfikir bahwa
permasalahan yang saya hadapi lebih buruk dibandingkan orang lain”.

32
9) Blaming others, adalah pola pikir menyalahkan orang lain atas
permasalahan yang dialami. Contoh : “Saya pikir masalah ini datang
karena kesalahan mereka”.

Menurut Hude (2006) regulasi emosi dibagi menjadi tiga model,


meliputi:

1) Displacement, merupakan cara mengalihkan ketegangan emosi


kepada obyek lain. Model tersebut meliputi katarsis dan rasionalisasi.
2) Cognitiveadjustment, yaitu penyesuaian pengalaman dan pengetahuan
yang tersimpan dalam ingatan supaya memahami masalah yang
muncul. Model tersebut meliputi atribusi positif, empati dan altruisme.
3) Coping, adalah dengan menerima atau menjalani segala hal yang
terjadi dalam kehidupan, meliputi syukur dan sabar, memafkan dan
adaptasi adjusment.
4) Model tambahan, meliputi regresi, represi, dan relaksasi.

Berdasarkan penjelasan mengenai bentuk strategi regulasi di atas,


maka dapat disimpulkan bahwa strategi regulasi emosi ada sembilan,
yaitu self blame, acceptance, rumination atau focus on thought, positive
refocusing, refocus on plannin, positive reappraisal, putting into
perspective, catastrophizing, blaming others. Kesembilan bentuk strategi
regulasi emosi tersebut dapat digunakan oleh individu dalam membantu
menghadapi permasalahan. Selain itu juga terdapat empat model lainnya,
diantaranya adalah displacement, cognitive adjusment, coping, dan
regresi represi, serta relaksasi.

d. Proses regulasi emosi


Gross & Thompson (1998), regulasi emosi meliputi semua kesadaran
dan ketidaksadaran strategi yang digunakan untuk menaikkan,
memelihara, dan menurunkan satu atau lebih komponen dari respon
emosi. Komponen, perasaan, perilaku, dan respon-respon fisiologis,
proses regulasi emosi terjadi dua kali, yaitu pada awal tindakan

33
(antecedent-focused emotion regulation/reappraisal) dan regulasi yang
terjadi pada akhir tindakan (response-focused emotion
regulation/suppression). Regulasi awal terdiri dari perubahan berpikir
tentang situasi untuk menurunkan dampak emosional, sedangkan regulasi
akhir menghambat keluaran tanda-tanda emosi.
Gross telah menjelaskan model proses regulasi emosi yang
terorganisir sesuai dengan posisi masing-masing dalam proses emosi itu
sendiri, sebagai cara berpikir alternatif dan mengklasifikasikannya ke
dalam strategi regulasi emosi (Kalat & Shiota, 2007). Lazaruz, Frijda,
dan MB. Arnold (Kalat & Shiota, 2007) menjelaskan teori proses model
regulasi emosi, yaitu:
1) Individu memasuki situasi tertentu
2) Individu memberikan perhatian pada aspek-aspek tertentu dari situasi,
daripada orang lain
3) Individu menafsirkan, atau menilai, aspek-aspek situasi dengan cara
yang memudahkan respons emosional
4) Individu mengalami emosi meledak penuh, termasuk perubahan
perubahan fisiologis, perilaku impuls, dan perasaan subjektif.

Selain itu Bonanno & Mayne (2001) mengemukakan tiga dasar


kategori dalam regulasi diri psikologis, meliputi:

1) Kontrol regulasi
Kontrol regulasi merupakan proses pencapaian keseimbangan
emosional (emotional homeostasis). Keseimbangan emosional adalah
konseptualisasi masalah terhadap tujuan yang mencakup frekuensi
ide-ide, intensitas atau durasi pengalaman, ekpresi atau canel
fisiologis dari respon emosional. Apabila kontrol emosi dapat dicapai,
maka orang memasuki regulasi selanjutnya.
2) Regulasi awal
Regulasi awal dutujukan untuk mencapai keseimbangan
emosional. Jika regulasi awal tidak dapat dipelihara, maka terjadi

34
beberapa reaksi, salah satunya mencari atau menghindari, kemudian
memasuki tahap selanjutnya.

3) Eksplorasi regulasi
Eksplorasi regulasi adalah mencoba perilaku baru, melakukan
kegiatan-kegiatan dalam rangka mempelajari emosi-emosi, dan
keseimbangan emosional ini sebenarnya tidak pernah tercapai. Akan
tetapi, orang akan selalu berusaha mencapainya sehingga mereka akan
mencari cara baru untuk dapat terus mencapai keseimbangan
emosional.

Proses regulasi emosi dapat terbentuk dengan adanya proses kognitif


(Holodynski dan Friedlmeier, 2006). Oleh karena itu, untuk dapat
melakukan regulasi emosi dengan baik, perlu juga difahami tentang
perkembangan kognitif anak.

e. Faktor-faktor Regulasi Emosi


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi regulasi emosi menurut
Rice (1999), antara lain adalah :
1) Hubungan Antara Orangtua dan Anak
Menurut Rice, afek yang berhubungan dengan emosi atau
perasaan yang ada di antara anggota keluarga bisa bersifat positif
ataupun negatif. Afek yang positif antara anggota keluarga merujuk
pada hubungan yang melibatkan emosi seperti kehangatan, kasih
sayang, cinta, dan sensitivitas (Rice, 1999). Dalam hal ini anggota
keluarga menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka bersedia
mendengarkan perasaan dan mengerti kebutuhan satu sama lain.
Sedangkan afek yang negatif digolongkan pada emosi yang “dingin”,
penolakan, dan permusuhan. Orangtua yang bersosialisasi dengan
anaknya (terutama anak perempuan) melalui cara yang mereka rasa
sesuai, akan membuat anak-anak memiliki emosi yang lebih
bergejolak (Banerju, 1997). Sedangkan dalam penelitian Salovey dan

35
Sluyter (1997) menunjukkan bahwa orangtua yang menganjurkan
anak-anaknya untuk mengekspresikan emosi dengan cara yang benar,
akan membentuk anak yang bersifat empatik dan lebih emosional
(Salovey & Sluyter, 1997).
2) Umur dan Jenis Kelamin
Selain itu juga ada umur dan jenis kelamin. Seorang gadis yang
berumur 7-17 tahun lebih dapat melupakan tentang emosi yang
menyakitkan daripada anak laki-laki yang juga seumur dengannya
(Salovey & Sluyter, 1997). Salovey dan Sluyter (1997) menyimpulkan
bahwa anak perempuan lebih banyak mencari dukungan dan
perlindungan dari orang lain untuk meregulasi emosi negatif mereka
sedangkan anak laki-laki menggunakan latihan fisik untuk meregulasi
emosi negatif mereka.
3) Hubungan Interpersonal
Salovey dan Sluyter (1997) juga mengemukakan bahwa hubungan
interpersonal dan individual juga mempengaruhi regulasi emosi.
Keduanya berhubungan dan saling mempengaruhi, sehingga emosi
meningkat bila individu yang ingin mencapai suatu tujuan berinteraksi
dengan lingkungan dan individu lainnya. Biasanya emosi positif
meningkat bila individu mencapai tujuannya dan emosi negatif
meningkat bila individu kesulitan dalam mencapai tujuannya. Faktor-
faktor lainnya menurut Salovey dan Sluyter (1997) adalah permainan
yang mereka mainkan, program televisi yang mereka tonton, dan
teman bermain mereka dapat mempengaruhi perkembangan regulasi
mereka.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, Brener dan


Salovey (Salovey dan Skufter 1997) antara lain adalah usia, jenis
kelamin, pola asuh, pengetahuan mengenai emosi, dan perbedaan
individu. Ditinjau dari usia, semakin dewasa seseorang maka regulasi
emosinya semakin baik (Gross, Richards, dan John, 2004). Jenis kelamin

36
menurut Karista (2005) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin
behubungan dengan perbedaan strategi regulasi emosi yang digunakan,
laki-laki desasa lebih banyak menyalahkan diri sendiri, sedangkan
perempuan dewasa lebih sering menyalahkan orang lain.

Pola asuh orang tua dalam berhubungan dengan anak akan


mempengaruhi adaptif atau tidaknya regulasi emosi yang digunakan
(Gross, Richards, dan John, 2004). Menurut Salovey dan Skufter (1997)
pengetahuan mengenai emosi berhubungan dengan bagaimana orang tua
memperkenalkan emosi tertentu pada anaknya, ia memberikan label
terhadap emosi yang dirasakan oleh orang lain supaya dapat membantu
anak untuk melakukan regulasi yang adaptif. Perbedaan individual juga
mempengaruhi regulasi emosi, menurut Gross (Pervin, John, dan
Robbins, 1999) perbedaan individu dipengaruhi oleh tujuan, frekuensi,
dan kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi.

2. Pelatihan Regulasi Emosi


a. Pengertian Pelatihan Regulasi Emosi
Pelatihan adalah suatu bagian pendidikan yang menyangkut proses
belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat dengan metode
praktek Moekijat (1993) dan Moehyi (2005) menambahkan pelatihan
sebagai proses pendidikan jangka pendek dan terorganisasi, sementara
individu mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan
tertentu.
Dalam penelitian ini, pelatihan regulasi emosi adalah proses
pemberian informasi singkat dalam rangka meningkatkan keterampilan
dalam mengendalikan emosi dengan cara memantau, mengevaluasi, dan
memodifikasi emosi ketika menghadapi permasalahan.
Pelatihan ketrampilan regulasi emosi merupakan kegiatan yang
dilakukan dengan memberi pengertian, pengetahuan, dan ketrampilan
untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi mosional

37
serta bagaimana emosi tersebut diekspresikan, sehingga peserta dapat
mengaplikasikannya untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi
yang dimiliki (Setyowati, 2010). Selain itu juga menggunakan konsep
ketrampilan regulasi emosi dari Greenberg berupa kemampuan individu
dalam mengelola emosi-emosi negatif maladaptif menjadi emosi yang
positif dan adaptif (dalam Hidayati, 2008).

b. Pendekatan Pelatihan Regulasi Emosi


Pelatihan ketrampilan regulasi emosi ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran melalui pengalaman (experiential learning )
yang sesuai dengan materi yang akan diberikan, berupa ketrampilan
memonitor, mengevaluasi, mengekspresikan, dan memodifikasi emosi.
Experiential learning dapat didefinisikan sebagai pembangkit teori
tindakan dari suatu pengalaman dan kemudian dimodifikasi secara terus-
menerus untuk meningkatkan efektivitas ketrampilan (Johnson &
Johnson, 1997).
Experiential learning menggunakan cara yang memberikan sebuah
pengalaman langsung kepada para peserta pelatihan dengan simulasi atau
permainan yang secara langsung dirasakan oleh setiap peserta pelatihan.
Tujuan experiential learning adalah untuk mempengaruhi peserta dalam
tiga cara, meliputi struktur kognitif peserta yang diubah, sikap peserta
yang dimodifikasi, pengetahuan peserta tentang keterampilan perilaku
diperluas.
Ketiga unsur tersebut saling berhubungan dan mengubah secara
keseluruhan, bukan sebagai kesatuan yang terpisah. Pelatihan ini
membuat peserta terlibat langsung secara kognitif (pikiran), afektif
(emosi), dan psikomotorik (gerakan fisik motorik). Melalui pendekatan
ini, diharapkan peserta pelatihan dapat secara aktif terlibat langsung
dalam merekam suatu hal yang dipelajari untuk meningkatkan
ketrampilan regulasi yang dimiliki peserta.

38
Proses belajar dalam pelatihan ketrampilan regulasi emosi dilakukan
melalui beberapa tahapan yang telah dikemukakan oleh Boyett dan
Boyett (Ancok, 2003). Hal ini dilakukan agar setiap proses belajar dalam
pelatihan menjadi efektif. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:
1) Pembentukan pengalaman (experience)
Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau
permainan bersam dengan orang lain. Kegiatan atau permainan ini
adalah salah satu bentuk pemberian pengalaman secara langsung pada
peserta pelatihan. Pengalaman langsung tersebut akan dijadikan
wahana untuk menimbulkan pengalaman intelektual, pengalaman
emosional, dan pengalaman yang bersifat fisikal. Dengan adanya
pengalaman tersebut, setiap peserta siap untuk memasuki tahapan
kegiatan berikutnya yang disebut dengan tahapan pencarian makna
(debriefing).
2) Perenungan pengalaman (reflect)
Kegiatan refleksi bertujuan untuk memproses pengalaman yang
diperoleh dari kegiatan yang telah dilakukan. Setiap peserta dalam
tahapan ini melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang
dirasakan, secara intelektual, emosional, dan fisikal. Dalam tahapan
ini fasilitator berusaha untuk merangsang para peserta untuk
menyampaikan pengalaman pribadi masing-masing setelah terlibat di
dalam kegiatan tahapan pertama.
3) Pembentukan konsep (form concept)
Pada tahapan ini para peserta mencari makna dari pengalaman
intelektual, emosional, dan fisikal yang diperoleh dari keterlibatan
dalam kegiatan. Pengalaman apakah yang ditangkap dari suatu
permainan, dan apa arti permainan tersebut dalam bagian kehidupan
pribadi maupun dalam hubungnanya dengan orang lain.

4) Pengujian konsep (test concept)

39
Pada tahapan ini para peserta diajak untuk merenungkan dan
mendiskusikan sejauh mana konsep yang telah terbentuk di dalam tiga
tahapan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fasilitator
membantu para peserta dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan
yang menggiring peserta untuk melihat relevansi dari pengalaman
selama pelatihan dengan kegiatan di kehidupan sehari-hari.

Proses experiential learning tersebut didasarkan pada sejumlah


prinsip yang perlu dipahami dan diikuti yang dikemukakan oleh Kurt
Lewin (Johnson & Johnson, 1997), antara lain:
1) Experiential learning yang efektif akan mempengaruhi struktur
kognitif peserta (teori tindakan), sikap dan nilai-nilai, persepsi, dan
pola perilaku.
2) Orang akan lebih percaya pada pengetahuan mereka telah menemukan
diri mereka sendiri daripada pengetahuan yang disajikan oleh orang
lain.
3) Belajar menjadi lebih efektif jika aktif bukan proses pasif.
4) Penerimaan teori tindakan baru, sikap, dan pola perilaku tidak dapat
dibawa oleh suatu, tetapi sejumlah sistem kognitif, afektif, perilaku
harus berubah.
5) Dibutuhkan lebih dari informasi untuk mengubah teori tindakan,
sikap, dan pola perilaku.
6) Diperlukan lebih dari pengalaman langsung untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid.
7) Perubahan perilaku akan bersifat sementara kecuali teori tindakan dan
sikap dasar peserta berubah.
8) Perubahan dalam persepsi diri sendiri dan lingkungan sosial seseorang
diperlukan sebelum perubahan dalam teori tindakan, sikap, dan
perilaku akan terjadi.

40
9) Lebih mendukung, menerima, dan kepedulian lingkungan sosial
kebebasan seseorang adalah untuk bereksperimen dengan perilaku
sikap, dan teori tindakan yang baru.
10) Untuk perubahan dalam pola perilaku, sikap, dan teori tindakan
bersifat permanen, baik orang dan lingkungan sosial harus berubah.
11) Lebih mudah untuk mengubah tindakan seseorang teori, sikap, dan
pola perilaku dalam konteks kelompok daripada dalam konteks
individu.
12) Seseorang menerima sistem baru teori tindakan, sikap, dan pola
perilaku ketika ia menerima keanggotaan dalam kelompok baru.

b. Metode dalam pelatihan regulasi emosi


Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2010) metode yang
digunakan dalam pelatihan ketrampilan regulasi emosi antara lain :
1) Communication activities, ciri-cirinya adalah adanya kegiatan mendengar
aktif, dimana peserta atau interviewer mengulang-ulang perkataan yang
diucapkan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengklarifikasi apakah
peserta sudah memahami apa yang diberikan, dan meningkatkan
ketrampilan mendengar peserta yang mempraktekkannya. Bentuk
communication activities adalah komunikasi satu arah dan komunikasi
dua arah.
2) Metode konferensi, merupakan suatu pertemuan formal tempat terjadinya
3) diskusi atau konsultasi tentang sesuatu yang penting. Konferensi
menekankan adanya diskusi kelompok kecil, materi pelajaran yang
terorganisasi dan melibatkan peserta aktif.
4) Metode studi kasus, adalah uraian tertulis atau lisan tentang masalah
yang ada atau keadaan selama waktu tertentu yang nyata maupun secara
hipotesis. Pada metode ini, peserta diminta untuk mengidentifikasi
masalah-masalah dan merekomendasi pemecahan masalahnya.
5) Metode roleplay. Peserta diberitahu mengenai suatu kesan atau peran
yang harus mereka mainkan. Selama bermain peran, dua orang atau lebih

41
6) peserta diberikan bagian-bagian untuk bermain. Peranan peserta adalah
menjelaskan situasi dan masing-masing peran mereka yang harus mereka
7) perankan dalam konteks hipotesis tersebut.
8) Simulations and Games. Simulasi dan game dapat membantu peserta
untuk menguji beberapa insting, dan perasaan peserta, untuk mengamati
perbedaan antara bagaimana pikiran peserta dan bagaimana sebenarnya
perilaku peserta pada situasi tersebut.
9) Metode pelatihan lainnya seperti sharing, menggunakan alat bantu video,
dan berlatih relaksasi dan bernafas sehat.

42
D. Pelatihan Regulasi Emosi untuk Meningkatkan Coping Stress
Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Riwayat Gangguan
Jiwa Skizofrenia

Efektivitas merupakan terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki


(Fakhihurrokhim, 2007). Di sisi lain, Bernard mengemukakan bahwa keefektifan
adalah suatu tindakan yang mana akan efektif apabila telah mencapai tujuan.
Menurut Gunawan (2003) pengertian efektivitas mempunyai arti yang berbeda
bagi setiap orang, tergantung kepada kerangka acuan yang dipakai. Dalam
penelitian, efektivitas adalah keberhasilan pelatihan ketrampilan regulasi emosi
untuk meningkatkan coping stress pada keluarga dalam rangka mengurangi
kekambuhan anggotanya yang mengalami skizofrenia. Efektifitas dapat
ditunjukkan dalam bentuk angka perubahan dari pre dan post-test, serta dari
perubahan secara kognitif, afektif, dan konatifnya.

Skizofrenia merupakan suatu gangguan kronis dengan gejala yang heterogen.


Gejala pada skizofrenia sering kali dikenal sebagai gejala positif dan gejala
negatif. Gejala positif meliputi waham, halusinasi, dan gangguan pikiran formal.
Gejala negatif merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada kebanyakan orang
ada. Tampil dalam bentuk miskin pembicaraan, penumpulan dan pendataran afek,
anhedonia, penarikan diri secara sosial, kurangnya inisiatif atau motivasi, serta
berkurangnya atensi (PDSKJI, 2011). Perilaku penderita skizofrenia
menyebabkan anggota keluarga lainnya merasa direpotkan, jengkel, mudah
marah, dan cemas. Bahkan seolah-olah merasa pekerjaan utama yang ditekuni
sekarang ini adalah mengurus anggota keluarga yang mengalami skizofrenia,
membereskan kerusakan yang dilakukan oleh penderita dan mengawasi perilaku
penderita supaya tidak merusak barang lainnya. Selain itu, keluarga juga merasa
apapun yang dilakukan oleh penderita skizofrenia selalu membuat mereka marah,
akibatnya keluarga cemas ketika penderita skizofrenia beraktifitas.

Keluarga juga merasa malu kepada orang lain karena perilaku keluarga yang
menderita skizofrenia kurang dapat dikendalikan serta terkadang berkata kasar

43
atau melakukan pelecehan. Hal tersebut menyebabkan keluarga mengalami
tekanan yang mengarahkan mereka pada keadaan stres. Kondisi yang kurang
menyenangkan tersebut akan mendorong individu mencari cara untuk mengurangi
stres. Apabila keluarga tidak berhasil menghadapi masalah atau stresor,
mengakibatkan gangguan psikofisiologis yaitu perubahan fungsi tubuh,
munculnya reaksi yang maladaptif, menjadi tidak bergairah, tidak bersemangat,
sehingga dapat mempengaruhi kesehatannya (Clercq dan Smet, 2005). Akibatnya
keluarga melakukan pengawasan yang lebih, memberikan kritikan, berlaku kasar,
bersikap keras, mengabaikan, memukul, bahkan memasung penderita skizofrenia
untuk mengatasi stres yang dialami. Perlakuan keluarga tersebut menunjukkan
kemampuan mengelola stres atau coping yang kurang baik (Itsnaini, 2006).

Menurut Sarafino (1994) coping adalah kemampuan individu untuk mengatur


ketidak-sesuaian yang dirasakan antara tuntutan dan sumber biologis, psikologis
serta sosial. Untuk berhasil menghadapi tekanan, seseorang membutuhkan coping
stress yang baik supaya gangguan psikofisiologis tidak terjadi, dengan demikian
tidak akan menganggu proses lainnya. Keberhasilan seseorang dalam melakukan
coping stress dipengaruhi oleh salah satu faktor yaitu pengalaman atau
keterampilan, yang mana keterampilan tersebut akan digunakan ketika
menghadapi situasi atau permasalahan. Secara emosi, seseorang akan lebih
terkendali apabila memiliki keterampilan regulasi emosi dalam menunjang
kemampuannya untuk mengendalikan emosi, namun apabila keterampilan
regulasi emosi yang kurang maka diikuti pula dengan kurangnya kemampuan
mengendalikan emosi.

Menurut Kalat dan Shiota Kalat dan Shiota (2007), strategi regulasi emosi
dapat juga dianggap sebagai proses koping terhadap tekanan, selain itu juga dapat
digunakan sebagai coping ketika menghadapi permasalahan. Ketika seseorang
mengalami tekanan, ia akan mencari sumber permasalahan kemudian mencoba
menelaahnya untuk menemukan inti permasalahan. Selanjutnya memberikan
penilaian atau kajian ulang terhadap permasalahan yang dihadapi untuk
menentukan strategi emosional yang lebih sesuai. Berdasarkan penelitian Pratisti

44
(2012), regulasi emosi merupakan akhir dari proses coping. Ketika seseorang
menyelesaikan permasalahan, ia mencoba untuk menghadapi permasalahan
tersebut (problem focused coping), kemudian melakukan evaluasi masalah untuk
mebentuk strategi yang tepat (appraisal-focused coping), setelah itu diakhiri
dengan pasrah menerima keadaan (emotion focused coping).

Strongman (2003) menyebutkan bahwa kurangnya regulasi emosi


berhubungan dengan perilaku tidak terkontrol (uncontrolled), perilaku sosial yang
kurang konstruktif, perilaku agresi yang tinggi, perilaku prososial yang rendah,
dan rentan terhadap pengaruh emosi negatif serta penolakan sosial. Sebaliknya
dengan regulasi emosi yang tinggi berhubungan dengan perilaku terkontrol,
perilaku sosial yang konstruktif, dan perilaku prososial tinggi. Manz (2007)
menjelaskan bahwa keterampilan regulasi emosi yang efektif dapat meningkatkan
pembelajaran mengelola emosi secara signifikan. Penelitian mengenai regulasi
emosi yang dilakukan oleh Barret, Gross, Christensen dan Benvenuto (Manz,
2007) menunjukkan hasil bahwa emosi negatif dapat mempengaruhi aktivitas
seseorang dan kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi
negatif akibat pengalaman-pengalaman emosional serta meningkatkan
kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian hidup, memvisualisasikan masa
depan secara positif dan mempercepat pengambilan keputusan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Isen, Daubman, dan Nowicki (Manz,
2007), menyebutkan bahwa emosi-emosi positif bisa memberikan pengaruh
positif pada pemecahan masalah, sementara emosi-emosi negatif malah
menghambatnya. Emosi positif melibatkan atau memfungsikan mekanisme otak
yang lebih tinggi dan meningkatkan pemrosesan informasi dan memori, sementara
emosi negatif mengahalangi fungsi kognitif yang lebih tinggi tersebut. Individu
yang mempunyai regulasi emosi tinggi dapat mengetahui apa yang dirasakan,
dipikirkan dan apa yang menjadi latar belakang dalam melakukan suatu tindakan,
mampu untuk mengevaluasi emosi-emosi yang dialami sehingga bertindak secara
rasional bukan secara emosional, serta mampu untuk memodifikasi emosi yang

45
dialami sehingga dimungkinkan keluarga terhindar dari stres yang berkepanjangan
(Putnam, 2005).

Sebelumnya pelatihan regulasi emosi pernah digunakan untuk menangangi


stres pada orang tua korban Lapindo (Hidayati, 2008), namun belum pernah
diterapkan dan dikembangkan pada keluarga degan penderita skiofrenia.
Ketrampilan regulasi emosi diperlukan oleh keluarga dengan penderita skizofrenia
supaya dapat mengelola emosi dalam menghadapi situasi yang menekan akibat
dari perilaku penderita skizofrenia di dalam keluarga. Coping yang kurang adaptif
dapat diubah menjadi lebih adaptif apabila anggota keluarga memiliki
kemampuan regulasi emosi yang baik. Kemampuan regulasi emosi yang baik
dapat membantu keluarga mengatasi ketegangan, reaksi emosional dan
mengurangi emosi-emosi negatif akibat pengalaman-pengalaman emosional.

46
Input (perilaku orang Proses ingtervensi regulasi Output (perubahan
tua sebelum intervensi) emosi setelah intervensi) Oucome

1. Marah karena perilaku anak 1. Memonitor emosi


dengan skizofrenia yang agresif 1. Mampu mengelola
dan kurang kooperatif 2. Mengevaluasi emosi amarah ketika merawat
anak dengan gangguan
2. Menanggung malu dengan 3. Memodifikasi emosi skizofrenia
lingkungan sekitar karena
memiliki anak dengan 4. Mengekspresikan emosi 2. Merawat anak dengan
gangguan jiwa
gangguan skizofrenia
3. Kurangnya pemahaman bagaimanapun situasinya
tentang skizofrenia MENINGKATKAN
3. Memiliki tindakan poisitif KUALITAS HIDUP
4. Mekanisme koping yang ketika merawat anak ANAL DENGAN
kurang tepat dengan gangguan GANGGUAN
5.Menelantarkan anak skizofrenia SKIZOFRENIA

6. Malu kepada lingkungan 4. Menerima anak dengan


gangguan skizofrenia
bagaimanapun kondisinya

5. Tetap percaya diri dan


mengikuti aktivitas sosial
dengan baik.

Bagan 2. Dinamika Psikologis

47
E. Hipotesis

Hipotesis yang diambil dalam penelitian ini adalah terdapat peningkatan


kemampuan coping stres orang tua yang mendapatkan pelatihan ketrampilan
regulasi emosi dibandingkan dengan kemampuan coping stres orang tua yang
tidak mendapatkan pelatihan regulasi emosi.

48
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan
terikat, meliputi :

1. Variabel bebas : pelatihan regulasi emosi


2. Variabel terikat : coping stress

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi setiap variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Pelatihan regulasi emosi adalah kegiatan yang terdiri dari delapan sesi
terapidengan target memberikan pengertian dan pengetahuan serta
keterampilan meliputi tiga hal yang disusun dalam modul pelatihan
regulasi emosi berdasarkan aspek-aspek regulasi emosi menurut Gross
(2009) dan Greenberg (2006), yaitu :
a. Keterampilan monitoring
b. Keterampilan evaluasi emosi
c. Keterampilan memodifikasi emosi
d. Mengekspresikan emosi

Metode dalam kegiatan tersebut menggunakan tehnik eksperiential


learning, role play, ceramah, studi kasus, kuis dan permainan. Kefektifan
pelatihan regulasi emosi tersebut diukur dengan evaluasi pada akhir sesi
dengan indikator-indikator yang telah ditentukan. Peneliti mengadaptasi
modul yang digunakan oleh Setyowati (2014) yang dilaksanakan selama

49
tiga kali pertemuan, yang mana setiap pertemuan dilakukan minimal tiga
sesi pelatihan.

2. Coping strees (mekanisme koping stres) merupakan proses mengatasi


tekanan psikis secara dinamis yang dilakukan orang tua yang memiliki
anak dengan riwayat gangguan jiwa skizofrenia.
Pengukuran coping stress mengadaptasi skala perilaku koping yang
digunakan oleh Sisca (2012) berdasarkan aspek-aspek perilaku coping
stress yang diuangkapkan oleh Carver (Niam, 2009) yang di dalamnya
terdapat delapan aspek mekanisme koping meliputi keaktifan diri,
perencanaan, penerimaan, kontrol diri, mencari dukungan sosial,
mengingkari, dan religiusitas. Skala stres tersebut menggunakan tipe skala
likert dengan skor 1-4, yang mana untuk item favorable skor 1
menunjukkan sangat tidak sesuai, 2 menunjukkan tidak sesuai, 3
menunjukkan sesuai, dan 4 menunjukkan sangat sesuai. Sedangkan untuk
item unfavorable skor 4 menunjukkan sangat tidak sesuai, 3 menunjukkan
tidak sesuai, 2 menunjukkan sesuai, dan1 menunjukkan sangat sesuai.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah kelompok orang tua berjumlah kurang
lebih 20 orang (10 kelompok kontrol dan 10 kelompok eksperimen), yang
memiliki anak gangguan skizofrenia yang menjalani perawatan di RSJD Surakarta
dengan kriteria sebagai berikut :

1. Orang tua yang memiliki anak sebagai pasien dengan kriteria sebagai berikut :
a. Anak didiagnosa mengalami gangguan skizofrenia 7-18 tahun sesuai
penjelasan tentang usia anak dalam perspektif hukum (≤18 tahun)
b. Anak memiliki riwayat gangguan skizofrenia
c. Anak memiliki gangguan skizofrenia yang pernah dirawat inap lebih dari
satu kali di RSJ atau sedang melakukan rawat jalan.

50
2. Orang tua adalah keluarga dari pasien, sebagai orang tua yaitu ayah maupun
ibusehingga mengetahui bagaimana perilaku pasien sejak kecil dan dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Orang tua berusia antara 45-50 tahun.
4. Pendidikan minimal SMP.

Teknik sampling untuk menentukan sampel dalam penelitian ini adalah teknik
Nonprobability sampling (Hadi, 2002). Individu tidak semuanya mendapat
peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel, dikarenakan
peneliti menentukan kriteria dalam pemilihan subjek penelitian.Anggota sampel
yang digunakan mengacu pada teknik purposive sampling yaitu menentukan
sampel dengan pertimbangan atau kriteria tertentu.

D. Rancangan Eksperimen

Rancangan eksperimen dalam penelitian ini adalah quasi experimental


research (quasi eksperimen) dengan metode nonequivalent control group
designdengan pretest-post test control group design. Azwar (2006) memaparkan
bahwa quasi-experimental research merupakan desain eksperimen dengan metode
mengontrol situasi penelitian menggunakan rancangan tertentu atau pemilihan
subjek penelitian tidak secara acak untuk mendapatkan salah satu dari berbagai
faktor penelitian. Karakteristik quasi-experimental research yaitu :

a. Non-randomised, yaitu pemilihan subjek penelitian tidak secara acak untuk


mendapatkan salah satu dari beberapa faktor penelitian. Hal ini disebabkan
oleh pengalokasian faktor penelitian kurang memungkinkan dan kurang praktis
untuk menggunakan randomisasi.
b. Menggunakan sebagian variabel terkontrol, hal tersebut dikarenakan
pengalokasian faktor penelitian kepada subjek kurang sesuai, kurang etis dan
kurang praktis menggunakan randomisasi sehingga kesulitan untuk mengontrol
variabel secara ketat.

51
Subjek penelitian dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Kelompok kontrol maupun eksperimen memiliki ciri yang sama, kedua kelompok
tersebut mendapatkan pretest dan posttest, kemudian kelompok eksperimen
mendapatkan perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan
perlakuan.

Penelitian ini menggunakan model eksperimen nonequivalent control group


design yang mana kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak dilakukan
randomisasi. Simbol ilustratif desain eksperimen dalam penelitian ini adalah
seperti yang tertera pada tabel 2 :

Tabel 2. Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design

Pretest Perlakuan Posttest Follow


up
KE Y1 X Y2 Y3
KK Y1 -X Y2 Y3
Pasien Z1 Z2 Z3

Keterangan :

KE : Kelompok Eksperimen (mendapatkan perlakuan)


KK : Kelompok Kontrol (tidak mendapatkan perlakuan)
Y1 : Pemberian Skalacopoing stres (pretest)
Y2 : Pemberian Skala coping stres (posttest)
Y3 : Follow up
X : Perlakuan
-X : Tanpa Perlakuan (Waiting list)
Z1 : Pemberian pretestSQLS (Schizophrenia Quality Of Life Scale)
Z2 : Pemberian posttest SQLS
Z3 : Pemberian follow up SQLS sebagai

Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mendapatkan pre-test.


Kemudian kelompok eksperimen akan diberikan pelatihan regulasi emosi
sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan. Pemberian
pelatihan regulasi emosi pada orang tua (perlakuan) dilakukan selama kurang
lebih satu kali pertemuan setiap minggunya yang mana total pertemuan adalah
tiga kali, setiap pertemuan dilaksanakan satu sampai lima sesi pelatihan.
Setelah itu kelompok eksperimen yang mendapatkan perlakuan serta kelompok

52
kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan diberikan post-test untuk mengukur
ketrampilan regulasi emosi orang tua. kemudian langkah selanjutnya adalah
melakukan follow-up pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen untuk
mengetahui efektifitas perlakuan yang dilaksanakan minimal 2 minggu setelah
pemberian pelatihan regulasi emosi pada orang tua (perlakuan). Pada akhirnya
anak dengan gangguan skizofrenia diberikan SQLS untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pelatihan regulasi emosi pada orang tua.

E. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan

a. Penentuan Partisipan

Penentuan partisipan dalam penelitian ini diawali dengan mengajukan

surat ijin penelitian kepada pihak RSJD Surakarta untuk melakukan

penelitian berkaitan dengan pemberian terapi regulasi emosi untuk

meningkatkan coping stress pada orang tua yang memiliki anak dengan

riwayat gangguan jiwa skizofrenia. Setelah mendapatkan ijin kemudian

praktikan melakukan pendekatan kepada keluarga yang mengunjungi

pasien rawat inap, mengantar pasien rawat jalan, ataupun yang sedang

mengikuti kegiatan family gathering di RSJD Surakarta. Selanjutnya

peneliti melakukan wawancara dan observasi kepada partisipan, yaitu

orang tua pasien (ayah atau ibu) berusia kurang lebih 35-50 tahun dan

berpendidikan minimal SMP, yang ditujukan untuk mengetahui perilaku

pasien sehari-hari serta memahami item-item dalam alat ukur. Selain orang

tua peneliti juga melakukan wawancara dan observasi kepada anggota

53
keluarga lainnya sebagai data sekunder untuk memperkuat data berkaitan

dengan pasien penderita skizofrenia, serta kepada pasien skizofrenia

sendiri.

b. Alat Ukur

1) Adaptasi skala coping stress

Skala perilaku koping yang digunakan mengadaptasi skala yang

digunakan oleh Natilawati (2012) berdasarkan aspek-aspek perilaku

coping stress yang diuangkapkan oleh Carver (Niam, 2009) yang di

dalamnya terdapat delapan aspek mekanisme koping meliputi keaktifan

diri, perencanaan, penerimaan, kontrol diri, mencari dukungan sosial,

mengingkari, dan religiusitas. Skala tersebut terdiri atas 48 item di

dalamnya terdapat 26 item favorable dan 22 item unfavorable yang

dikembangkan dalam bentuk skala likert skala 4. Jumlah skor

menunjukkan kualitas coping stress yang dilakukan oleh subyek.

Semakin tinggi skor, semakin tinggi pula dukungan sosial yang

diterima subjek dan begitu pula sebaliknya. Berikut blue print skala

perilaku koping:

Tabel 3. Blueprint Skala Perilaku Koping (Natilawati, 2012)

Nomor Aitem
Aspek Jumlah
No Favorable Unfavorable
Keaktifan Diri 1, 14, 26, 38 2, 15, 27, 39 8
1
Perencanaan 3, 16, 28, 40 4, 17, 29, 41 8
2
Kontrol Diri 5, 18, 30, 42 6, 31, 43 7
3

54
Mencari
Dukungan 7, 19, 32 8, 20, 33 6
4
Sosial
10, 21, 35,
Mengingkari 9, 34, 44 7
5 45
11, 22, 36,
Penerimaan 23, 47 6
6 46
12, 24, 37,
Religiusitas 13, 25 6
7 48

Penentuan skor skala perilaku koping di atas berpedoman pada skala

likert yang bergerak dari skor satu sampai dengan empat dengan sistem

penskoran aitem favorable dan unsfavorable sebagai berikut :

Tabel 4. Skoring Skala Perilaku Koping

Skoring
No. Pilihan Jawaban
Favorable Unfavorable
Sangat Tidak Sesuai
1 1 4
(STS)
2 Tidak Sesuai (TS) 2 3
3 Sesuai (S) 3 2
4 Sangat Sesuai (SS) 4 1

2) Uji Coba Skala (Try Out)

Skala perilaku koping akan diujicobakan kepada maksimal sepuluh

subjek penelitian dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti.

Setelah melakukan uji coba skala, peneliti melanjutkan dengan uji

reliabilitas dan validitas skala perilaku koping untuk mengetahui tingkat

kekonsitenan dan kesesuaian isi (reliabilitas dan validitas konstrak).

a) Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui seberapa konsisten alat

pengukuran yang digunakan untuk mengukur suatu variabel,

dengan kata lain alat ukur tersebut dapat dipercaya (Azwar, 2011).

55
Pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal

maupun internal. Dalam pendekatan konsistensi internal

memerlukan satu kali tes kepada subjek, selanjutnya menganalisis

konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik

tertentu, yaitu internal consistency(Azwar, 2011).

Uji reliabilitas skala menggunakan koefesien cronbach alpha,

dengan cara melakukan pembelahan item menjadi bagian-bagian

sebanyak jumlah itemnya sehingga setiap bagian hanya berisi satu

item saja (Azwar, 2011).

Skor reliabilitas yang dimiliki oleh skala perilaku koping yang

digunakan oleh Natilawati (2012) adalah 0,965 dengan koefisien

cronbach alpha >0,7. Maka dapat diartikan bahwa skala perilaku

koping tersebut dapat dipercaya.

b) Validitas

Validitas merupakan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu

instrumen pengukuran (tes) dalam melakukan fungsi ukuranya.

Suatu tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila

tes tersebut menjalankan fungsi ukuranya, atau memberikan hasil

ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud dikenakannya tes

tersebut. Sisi lain yang penting dalam konsep validitas adalah

kecermatan pengukuran, suatu tes yang validitasnya tinggi tidak

saja akan menjalankan fungsi ukurnya dengan tepat akan tetapi

juga dengan kecermatan tinggi, yaitu kecermatan dalam mendeteksi

56
perbedaan – perbedaan kecil yang ada pada atribut yang diukurnya

(Azwar, 2011).

Selain menggunakan teknik statistik, peneliti juga

menggunakan judgement expertuntuk validitas isi. Judgement

expert merupakan cara untuk meminta saran mengenai keputusan

terhadap suatu kondisi kepada seseorang yang ahli dalam bidang

tersebut. Bila baik kondisinya maka penilaiannya semakin tinggi

(valid), dan berlaku kebalikannya. Dalam proses judgement

tersebut peneliti mendapatkan perbaikan seperti posisi aitem dalam

aspek, posisi aitem dalam indikator, komposisi aitem, dan kalimat

isi aitem. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik koefisien

korelasi, yang digunakan adalah teknik korelasi product moment

dari pearson dengan menggunakan program SPSS 20 for windows.

c. Modul

1) Modifikasi Modul

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan modul intervensi

pelatihan regulasi emosi yang telah disusun oleh Setyowati (2014)

dengan berdasarkan pada aspek regulasi emosi menurut Gross dan

Greenberg (2006). Peneliti melakukan proses adaptasi meliputi

pengajuan ijin langsung kepada penyusun modul melalui email untuk

mengadaptasi modul pelatihan keterampilan regulasi emosi (Setyowati,

2014). Kemudian peneliti memodifikasi modul tersebut supaya sesuai

dengan latar belakang dan kondisi partisipan. Berikut blueprint modul

57
pelatihan keterampilan regulasi emosi yang akan digunakan oleh

peneliti terdapat pada tabel 5.

Tabel 5. Blueprint Modul Pelatihan Keterampilan Regulasi Emosi

Aspek Sesi Target Perilaku Prosedur Metode


Regulasi Pelaksanaan
Emosi
I Kemampuan untuk 1. Diskusi : peserta 1. Diskusi
Memonitor mengenali emosi dibagi 2 2. Role play
emosi kelompok, 3. Ceramah
masing-masing 4. Game
diberi tugas untuk
mendiskusikan
jenis-jenis emosi
dan
mengelompokkan
nya
2. Diskusi : ketua
kelompok diberi
tugas untuk
memaparkan hasil
diskusi di depan
forum
3. Role play : setiap
kelompok diberi
tugas menunjuk
wakil kelompok
untuk
mengekspresikan
emosi dan
kelompok yang
lain diberi tugas
untuk melabelisasi
ekspresi emosi
tersebut
4. Ceramah : trainer
memaparkan
jenis-jenis emosi
melalui slide
5. Game : seluruh
peserta diminta
untuk
mengidentifikasi
dan menuliskan
peristiwa yang
tidak diinginkan
dan membuatnya
mengalami emosi

58
negatif dan
mencari solusi.
6. Trainer
merefleksikan
hasil diskusi dari
masing-masing
kelompok
II Kemampuan 1. Diskusi : setiap 1. Diskusi
Mengevaluasi memilah emosi kelompok diberi 2. Game
emosi negatif dan positif tugas untuk 3. Tes
mendiskusikan
jenis-jenis emosi
dan
mengklasifikasika
n positif dan
negatif
2. Role play : wakil
kelompok diberi
tugas untuk
mengekspresikan
emosi dan peserta
dari kelompok
lain diminta untuk
menyebutkan
jenis emosi dan
mengklasifikasika
n-nya
3. Trainer
merefleksikan
hasil diskusi
masing-masing
kelompok
4. Tes : Trainer
memberikan tes
selama 3 menit
1. Analisa kasus : 1. Analisa kasus
Memodifikasi III 1. Kemampuan setiap peserta 2. Game
emosi mengendalikan diberi tugas
emosi menuliskan
2. Kemampuan pengalaman
meningkatkan emosi yang
kepuasan hidup pernah dialami
sebanyak-
banyaknya di
papan tulis
2. Analisa kasus :
peserta yang lain
diberi tugas untuk
membantu
memberikan

59
solusi dari
permasalahan
peserta
3. Trainer
merefleksikan
permasalahan
yang dialami
peserta
4. Game :
5. Trainer
merefleksikan
hasil
6. Trainer
memberikan
evaluasi

2) Uji Coba Modul (Try Out)

Uji coba modul intervensi pelatihan keterampilan regulasi

emosidengan metodeprofessional judgment yang terdiri dari psikolog

sekaligus dosen UMS dan psikolog yang memiliki keahlian khusus

mengenai regulasi emosi. Pelaksanaan uji coba modul dilakukan pada

keluarga dengan karakteristiksubjek yang sama dengan subjek

penelitian dengan jumlah minimal 3 orang.

Penilaian modul meliputi evaluasi secara umum tentang manfaat,

kejelasan tujuan, sistematika dan alur, alokasi penggunaan waktu, serta

kualifikasi fasilitator. Tujuan pelaksanaan uji coba modul adalah

sebagai berikut :

1. Mengetahui kesesuaian waktu pelaksanaan per sesi

2. Mengetahui kesesuaian pertanyaan yang digunakan untuk

mendapatkan jawaban sesuai dengan tujuan dari teknik yang

digunakan

60
3. Mengetahui kesesuaian urutan prosedur pelaksanaan dari setiap

sesi

4. Mengetahuikesesuaian media yang digunakan.

a. Pemilihan Pelaksana Penelitian


Kriteria pelaksana penelitian adalah sebagai berikut :
1) Fasilitator
Fasilitator merupakan profesional psikolog di bidang klinis, memiliki
pemahaman mengenai regulasi emosi, dan berpengalaman di bidang
terapi kelompok. Fasilitator dalam penelitian ini drencanakan berjumlah
2 orang.
2) Observer
Mahasiswa magister psikologi profesi yang telah melakukan praktik
kerja psikologi profesi, dan berpengalaman di bidang terapi kelompok.
Mahasiswa yang melakukan observasi berjumlah dua orang, hal tersebut
ditujukan supaya tidak terjadi bias ataupun subjektivitas. Sebelum
melakukan tugasnya, peneliti melakukan briefing berkaitan dengan hal-
hal yang harus masuk dalam pengamatan. Tugas observer di lapangan
adalah untuk membantu peneliti dalam mengamati perilaku subjek guna
memperkuat data penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Intervensi


a. Asesmen
Asesmen dilaksanakan 1 minggu sebelum melakukan intervensi
selanjutnya peneliti memberikan skala yang bertujuan untuk mengetahui
kebutuhan partisipan berkaitan dengan intervensi.
b. Pelaksanaan intervensi
Waktu pelaksanaan intervensi disusun berdasarkan waktu yang telah
disepakati dari RSJD Surakarta, peserta, dan disesuaikan dengan jadwal
fasilitator. Intervensi dilaksanakan kurang lebih tiga sampai empat minggu

61
dengan waktu kurang lebih 60-90 menit setiap pertemuannya. Pelaksanan
intervensi dapat dijelaskan dalam tabel 6.

Tabel 6. Tahapan Intervensi Pada Kelompok Eksperimen dan


Kelompok Kontrol
Tahapan KE KK
Intervensi
Opening Memberikan pengenalan kepada subjek penelitian
tentang rangkaian intervensi, mengenalkan fasilitator,
dan kontrak pelatihan.
Session Pelaksanaan: Tidak diberikan perlakuan
Edukasi
Memonitor emosi
Evaluasi emosi
Relaksasi
Mengekspresikan emosi
Memodifikasi emosi
Penutupan
Return Session PR Tidak diberikan perlakuan
Role play
Follow-up Mengetahui efektifitas Menjelaskan intervensi
intervensi dan solusi yang efektif
berdasarkan hasil follow-
up KE, serta
melaksanakan sebagian
sesi

c. Pre-test dan Post-test dan follow-up intervensi


Sebelum intervensi peneliti melakukan pretest pada kelompok
eksperimen menggunakan skala perilaku koping dan setelah mendapatan
intervensi diberikan pengukuran yang posttest dengan skala yang sama.
Sedangkan kelompok kontrol mendapatkan pengukuran yang sama yaitu
pretest dan posttestnamun tanpa diberikan intervensi. Selain itu pengukuran
pretest dan posttest juga dilakukan pada pasien skizofrenia (anak atau
anggota keluarga partisipan) dengan observasi dan wawancara pasien

62
menggunakan SQLS (Schizophrenia Quality of Life Scale) untuk melihat
perilaku pasien sebelum keluarga mendapat intervensi dan perubahan
perilaku pasien ke arah yang positif.
Penelitimelakukan follow-upkurang lebih 2-3 minggu setelah pemberian
intervensi. Penelitimemberikan skala perilaku koping dan wawancara untuk
mengetahui efektivitas pelatihan keterampilan regulasi emosi. Selain itu
peneliti juga melakukan follow upkepada pasien skizofrenia dengan
observasi dan wawancara menggunakan SQLS (Schizophrenia Quality of
Life Scale) untuk melihat perubahan perilaku pasien ke arah yang positif.
Berikut pelaksanaan follow-up yang akan dilaksanakan oleh peneliti
dipaparkan pada tabel 7.
Tabel 7. Pelaksanaan follow-up
Pretest Perlakuan Posttest Follow-up
Sebelum Selama 3 Setelah 2-3 minggu setelah
intervensi minggu intervensi intervensi

F. Rancangan Intervensi Pelatihan Regulasi Emosi


1. Persiapan Intervensi
Sebelum melaukan intervensi, peneliti mempersiapkan berbagai hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan intervensi. Peneliti mengawali persiapan dengan
mencari evidance based yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan coping
stres melalui pelatihan regulasi emosi. Kemudian peneliti menyiapkan alat ukur
untuk mengetahi peningkatan kemampuan coping istres orang tua yaitu dengan
skala coping stres mengacu pada aspek coping stres menurut Carver.
Peneliti kemudian menentukan kriteria fasilitator dan observer guna
membantu jalannya intervensi.
2. Pelaksanaan Intervensi
Dalam intervensi yang akan dilakukan, peneliti berpedoman pada modul
regulasi emosi yang disusun oleh Setyowati (2014) dan sudah dimodifikasi oleh
peneliti. Dalam modul tersebut terdapat beberapa prosedur dalam pelaksanaannya,
yaitu intervensi dilaksanakan selama kurang tiga sesi, di mana setiap sesinya

63
dilaksanakan satu kali setiap minggunya dan terdapat empat sampai dengan lima
langkah intervensi disetiap sesinya. Prosedur intervensi pelatihan regulasi emosi
sebagai berikut :

Tabel 8. Rancangan Intervensi


JADWAL TAHAPAN METODE DURASI ALAT
NO PERTEM SESI YANG
UAN INTERVENSI DIGUNAKAN

1 Pertemuan Sesi I TAHAP 1 Perkenalan 30 menit flipchart


1 Pembukaan berupa permainan (total)
(Ice Breaking) Spidol

TAHAP 2 Memaparkan 20 menit Laptop &


biodata fasilitator LCD

TAHAP 3 Kontrak pelatihan 10 menit


regulasi emosi

Sesi II TAHAP 1 Penayangan video 15 menit


“Kondisi
Difabel” TAHAP 2 Sharing 45 menit
pengalaman
merawat
penderita
skizofrenia

Sesi III TAHAP 1 Mengisi 30 menit


“Memonitor worksheet ”situasi
Emosi” yg dihadapi ketika
merawat
penderita
skizofrenia”

TAHAP 2 Simulasi dan 30 menit


permainan
“emotions”

Penutupan TAHAP 1 Kesan, pesan. 30 menit

4 Pertemuan Pembukaan TAHAP 1 Permainan Ice -Laptop &


2 Breaking LCD

-Naskah
materi
“Menerima

64
Perasaan”

-Alat tulis

5 TAHAP 2 Membahas Tugas


Rumah atau
Pertemuan
sebelumnya

6 Sesi IV TAHAP 1 Communication 20 menit


“Mengevalua activities
si Emosi”

7 TAHAP 2 Studi kasus dari 20 menit


worksheet ”situasi
yg dihadapi” &
Konferensi

8 Sesi V TAHAP 1 Berlatih relaksasi 20 menit


“Berlatih
Relaksasi”

9 Sesi VI TAHAP 1 Communication 20 menit


“Mengekspre activities
sikan Emosi”

10 TAHAP 2 Role Play 40 menit

11 Penutupan TAHAP 1 Kesan & pesan. 30 menit

12 Pertemuan Pembukaan TAHAP 1 Permainan Ice -Alat tulis


3 Breaking
-lembar
evaluasi
proses

13 TAHAP 2 Membahas Tugas


Rumah/Pertemua
n sebelumnya

14 Sesi VII TAHAP 1 Penayangan 20 menit


“Memodifika Video &
si Emosi” konferensi

15 TAHAP 2 Role Play 40 menit

16 Sesi VIII TAHAP 1 Relaksasi & 30 menit


Penutupan Kristalisasi

17 TAHAP 2 Kesan & Pesan 30 menit

65
3. Evaluasi dan Follow-up.
Setelah melakukan intervensi, peneliti melakukan evaluasi yaitu dengan
melihat perubahan pada nilai total skala coping stres secara kuantitatif. Secara
kualitatif dapat diketahui melalui observasi dan wawancara yangdilakukan
kepada subjek penelitian.
Peneliti juga melakukan follow-up kepada subjek penelitian kurang lebih
dua ataupun tiga minggu setelah perlakuan diberikan, yaitu dengan
memberikan skala coping stres dan wawancara kepada orang tua anak dengan
gagguan skizofrenia, serta memberikan SQLS kepada anak dengan riwayat
gangguan skizofrenia untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan kualitas
hidup.
4. Kriteria Keberhasilan Intervensi
Keberhasilan intervensi yang dilakukan harus memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Terdapat peningkatan total skor skala coping stres nilai pretest dan nilai
postest.
b. Terdapat peningkatan total skor SQLS baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
c. Adanya perubahan perilaku orang tua dalam mengatasi tekanan psikis
yang diterima akibat kondisi anaknya yang mengalami gangguan
skizofrenia, hal tersebut dapat diketahui melalui observasi dan
wawancara. Selain itu, data pendukung kualitatif perubahan perilaku
strategi koping orang tua dapat diketahui berdasarkan indikator koping
stres adaptif.

G. Metode Pengumpulan Data dan Alat Penelitian


1. Metode Pengumpulan Data
Selain menggunakan alat ukur yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti
juga menggunakan metode pengumpulan data yang lain yaitu wawancara dan
observasi.

66
a. Wawancara
Wawancara dilaksanakan sebagai data tambahan dalam melakukan
evaluasi dan dinamika yang terjadi sebelum, sesudah, dan selama pelatihan
serta sebagai alat ukur untuk mengungkap data kualitatif. Wawancara
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam
mengenai kondisi coping stress keluarga dan anggota keluarga lainnya
sesuai dengan aspek coping stress menurut Carver (Niam, 2009) meliputi
keaktifan diri, perencanaan, penerimaan, kontrol diri, mencari dukungan
sosial, mengingkari, dan religiusitas.
b. Observasi
Observasi dilakukan pada waktu pelatihan, selama, dan setelah
pelatihan. Hal tersebur dilakukan utuk mengetahui perilaku yang muncul
pada waktu pelatihan berlangsung maupun setelah pelatihan.
Penggunaan metode observasi bertujuan untuk mendeskripsikan
setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang
yang terlibat dalam aktivitas tersebut, dan makna kejadian dari perspektif
mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Observasi dalam
penelitian ini dengan menggunakan metode checklist. Proses observasi
dilakukan pada waktupelaksanaan intervensi dengan tujuan observasi agar
dapat mengetahui faktor penghambat dan pendukung keberhasilan terapi.
Selain ituperilaku koping sebelum intervensi dilaksanakan dengan tujuan
untuk melihat efektifitaskoping stres yang dilakukan anggota keluarga
berdasarkan aspek coping stress menurut carver (Niam, 2009).

2. Alat Penelitian
Dalam penelitian ini alat yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Informed Consent
Informed consentadalah lembar kesepakatan hak yang diterima dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh partisipan yang terlibat dalam
penelitian. Informed contsent diberikan sebelum pelaksanaan intervensi,
selanjutnya diisi oleh partisipan.

67
b. Lembar Evaluasi
Angket evaluasi pelatihan diberikan kepada subjek setelah pelatihan
keterampilan regulasi emosi dilakukan. Angket evauasi pelatihan tersebut
bersifat tertutup dengan tujuan mengetahui kelebihan dan kekurangan
pelatihan yang berlangsung secara objektif. Berikut blueprint angket
evaluasi pelatihan keterampilan regulasi emosi dapat dilihat dalam tabel :
Tabel 9. Rancangan Blueprint Angket Evaluasi Pelatihan Keterampilan

No. Aspek Indikator


1. Materi Kesesuaian materi dengan tujuan penelitian
2. Fasilitator a. Penguasaan materi
b. Penggunaan bahasa
c. Sistematika penyajian
d. Kemampuan menciptakan suasana
e. Kemampuan menjawab pertanyaan
f. efektifitas penggunaan media pelatihan
3. Penggunaan metode a. Ceramah
b. Diskusi kelompok
c. Tes
d. Analisa kasus
e. Games
4. Penggunaan alat Efektifitas penggunaan alat bantu
bantu
5. Durasi pelaksanaan a. Pembagian waktu
pelatihan b. Penggunaan waktu

H. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Mann-
Whitney UTest dan Wilcoxcon T Test yang merupakan pengukuran non-
parametrik. Mann-Whitney Utest digunakan untuk melihat apakah peningkatan
pada kelompok eksperimen signifikan, sedangkan Wilcoxcon T Test digunakan
untuk melihat pengaruh pelatihan keterampilan regulasi emosi terhadap
peningkatan coping stress orang tua yang memiliki anak dengan riwayat
gangguan jiwa skizofrenia. Analisis dari variabel-variabel tersebut dilakukan
dengan bantuan program komputer SPSS versi 19.0 for windows. Selain itu
peneliti juga menggunakan analisis kualitatif untuk mengetahui dinamika

68
psikologis koping stres keluarga yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam
dan jurnal harian sebelum dan sesudah dilakukan terapi.

69
DAFTAR PUSTAKA

70
71
72
LAMPIRAN

73
Modul

Pelatihan Ketrampilan Regulasi Emosi

Pertemuan I

Tujuan Instruksional Umum (TIU):

Peserta mampu memahami dan mengenali emosi yang dimilikinya dalam


menghadapi stres yang dialami oleh orang tua akibat merawat penderita skizofrenia.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK):

Setelah adanya pelatihan regulasi emosi pada pertemuan 1, diharapkan :

1. Peserta memahami rangkaian pelatihan dan menyepakati tentang hal-hal yang


ingin dicapai dalam pelatihan.
2. Peserta memperoleh informasi tambahan tentang kondisi penderita skizofrenia
dan bentuk stres yang dialami akibat merawat penderita skizofrenia.
3. Peserta menyadari secara menyeluruh mengenai proses regulasi dalam diri.

Metode Pelatihan :

Metode yang digunakan untuk setiap tujuan instruksional khusus adalah sebagai
berikut:

TAHAPAN
NO SESI METODE YANG DIGUNAKAN
INTERVENSI

1 Sesi I TAHAP 1 Perkenalan berupa permainan (Ice


Pembukaan Breaking)

TAHAP 2 Memaparkan biodata fasilitator

TAHAP 3 Kontrak pelatihan regulasi emosi

2 Sesi II “Kondisi TAHAP 1 Penayangan video


Difabel”
TAHAP 2 Sharing pengalaman merawat penderita

74
skizofrenia

3 Sesi III TAHAP 1 Mengisi worksheet ”situasi yg dihadapi


“Memonitor ketika merawat penderita skizofrenia”
Emosi”
TAHAP 2 Simulasi dan permainan “emotions”

3 Penutupan TAHAP 1 Kesan, pesan.

Tabel Deskripsi Rancangan Pelatihan (Modul Pelatihan)

SESI I OPENING
TIK Peserta memahami rangkaian pelatihan yang akan dilakukan.
Metode 1. Permainan perkenalan (Ice Breaking)
2. Menampilkan biodata fasilitator
3. Kontrak pelatihan regulasi emosi
Waktu 30 menit

ICE BREAKING
Tujuan 1. Membangun rapport
kegiatan 2. Mencairkan suasana untuk mengurangi rintangan psikologis dan sosial,
agar peserta dapat mengikuti proses pembelajaran dengan perasaan
nyaman, tanpa adanya beban psikologis dan sosial diantara sesama
peserta dan fasilitator.
3. Peserta dan fasilitator saling mengenal identitas masing-masing.
Prosedur 1. Seluruh peserta membuat lingkaran mengelilingi fasilitator
2. Masing-masing peserta dipersilahkan untuk memperkenalkan
dirinya serta tokoh wayang kesukaannya.
3. Fasilitator menunjuk salah seorang dengan cara dilempari bola
untuk menyebutkan nama tokoh wayang idola diri sendiri dan
teman di sebelah kanan serta kirinya.
4. Permainan ini dilakukan secara bergiliran.
5. Peserta yang tidak dapat menyebutkan nama dan tokoh wayang
kesukaan dari temannya dengan benar, peserta tersebut harus
memberikan hiburan kepada peserta yang laindi awal dan di
akhir permainan. (Boleh bernyanyi, menari atau melakukan teka-
teki).
Material 1. Membangun rapport
2. Mencairkan suasana untuk mengurangi rintangan psikologis dan sosial,
agar peserta dapat mengikuti proses pembelajaran dengan perasaan
nyaman, tanpa adanya beban psikologis dan sosial diantara sesama
peserta dan fasilitator.

75
3. Peserta dan fasilitator saling mengenal identitas masing-masing.
Diskusi 1. Seluruh peserta membuat lingkaran mengelilingi fasilitator
2. Masing-masing peserta dipersilahkan untuk memperkenalkan
dirinya serta tokoh wayang kesukaannya.
3. Fasilitator menunjuk salah seorang dengan cara dilempari bola
untuk menyebutkan nama tokoh wayang idola diri sendiri dan
teman di sebelah kanan serta kirinya.
4. Permainan ini dilakukan secara bergiliran.
5. Peserta yang tidak dapat menyebutkan nama dan tokoh wayang
kesukaan dari temannya dengan benar, peserta tersebut harus
memberikan hiburan kepada peserta yang laindi awal dan di
akhir permainan. (Boleh bernyanyi, menari atau melakukan teka-
teki).
Waktu 20 menit
Sumber Jefri Reza P
KONTRAK BELAJAR
Tujuan 1. Menampilkan biodata fasilitator
kegiatan 2. Membuat kesepakatan/kontrak tentang hal-hal yang ingin dicapai
dalam pelatihan
3. Membuat kesepakatan mengenai hal-hal yang tidak
diperkenankan dalam pelaksanaan pelatihan
Prosedur 1. Fasilitator menampilkan biodata fasilitator
2. Fasilitator menyampaikan informasi mengenai tujuan pelatihan.
3. Peserta diminta menuliskan lima permasalahan pribadi yang berkaitan
dengan kondisi perawat penderita skizofrenia yang dialamia saat ini.
4. Merumuskan permasalahan pribadi dalam kelompok menjadi masalah
bersama.
5. Menyampaikan hal-hal yang tidak diperkenankan selama pelaksanaan
pelatihan agar pelaksanaan pelatihan berjalan dengan maksimal. Hal-
hal tersebut antara lain :
a. Baik peserta maupun fasilitator ikut berpartisipasi penuh
b. Baik peserta maupun fasilitator saling “berbagi pengalaman”
c. Alat komunikasi (Handphone) harap disilent.
d. Tidak diperkenankan merokok
e. Tidak diperkenankan tidur
Material 1. Flipchart
2. Spidol
3. Laptop & LCD
Diskusi -
Waktu 10 menit

76
SESI II “KONDISI MERAWAT PENDERITA SKIZOFRENIA”
TIK 1. Peserta memperoleh informasi tambahan tentang kondisi stres
akibat merawat penderita skizofrenia.
Metode 1. Penayangan video (option: mendatangkan orang tua skizofrenia
dan menceritakan pengalamannya)
2. Sharing pengalaman sebagai perawat penderita skizofrenia di
keluarga antar peserta
Waktu 60 menit

PENAYANGAN VIDEO
Tujuan Peserta lebih mengetahui dan memahami kondisi stres akibat merawat
kegiatan penderita skizofrenia di dalam keluarga
Prosedur 1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan menayangkan sebuah video dan
peserta diminta untuk menyimak serta mendiskusikan video tersebut
2. Fasilitator menayangkan video
Diskusi 1. Fasilitator menanyakan apa yang dapat dilihat dan pendapat peserta
mengenai video yang ditayangkan
2. Fasilitator memfasilitasi peserta untuk berdiskusi mengenai kondisi
stres ketika merawat pasien skizofrenia dalam video tersebut
Material Video
Waktu 15 menit

SHARING PENGALAMAN SEBAGAI PERAWAT PENDERITA SKIZOFRENIA


Tujuan Peserta dapat saling bertukar pengalaman mengenai kondisi stres yang
kegiatan dialami saat ini.
Prosedur 1. Fasilitator mengemukakan dan memberikan pengertian bahwa apa yang
disampaikan dalam proses sharing dijaga kerahasiaannya.
2. Fasilitator juga meminta pengertian dari masing-masing peserta untuk
saling berbagi pengalaman kepada fasilitator dan peserta.
3. Fasilitator menanyakan kepada masing-masing peserta mengenai
pengalaman merawat penderita skizofrenia di keluarga, hambatan dan
perasaan yang dialami oleh peserta.
4. Fasilitator memfasilitasi pelaksanaan sharing yang dilaksanakan.
Material -
Diskusi Sesuai dengan sharing yang dikemukakan oleh peserta
Waktu 45 menit
Referensi -

77
SESI III MEMONITOR EMOSI
TIK Peserta menyadari keseluruhan proses yang terjadi dalam diri.
Metode 1. Mengisi Worksheet “ Situasi Merawat Penderita Skizofrenia”
dan Konferensi
2. Simulasi dan permainan “Emotions”
Waktu 60 menit

MENGISI WORKSHEET “SITUASI YG DIHADAPI KETIKA MERAWAT


PENDERITA SKIZOFRENIA” & KONFERENSI
Tujuan 1. Peserta menyadari dan memahami emosi yang dimiliki.
kegiatan 2. Peserta memperoleh informasi mengenai hubungan antara pikiran
dan emosi serta kaitannya dengan kondisi stres ketika merawat
penderita skizofrenia.
Prosedur 1. Fasilitator memberikan worksheet mengenai “Situasi Yang Dihadapi”
2. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai cara mengisi worksheet
yang disertai contoh
3. Peserta mengisi worksheet
4. Fasilitator memberi kesempatan pada beberapa peserta untuk
mengemukakan worksheet yang telah diisi oleh peserta
Material 1. Worksheet “Situasi Yang Dihadapi”
2. Alat tulis
Diskusi Fasilitator memfasilitasi peserta untuk menyimpulkan bahwa :
1. Ada emosi negatif dan positif yang dimiliki oleh orang tua yang
merawat penderita skizofrenia
2. Situasi atau hal yang sama dapat memunculkan persepsi dan
emosi yang berbeda pada masing-masing orang
3. Emosi menimbulkan pikiran tertentu yang menyebabkan
seseorang berperilaku tertentu dalam menghadapi suatu situasi
Waktu 30 menit
Referensi Rini Setyowati inspirated by Setia Asyanti, S.Psi, M.Si, Psi.

SIMULASI DAN PERMAINAN “EMOTIONS”


Tujuan Peserta mampu mengenali emosi positif dan negatif yang dimilikinya.
kegiatan
Prosedur 1. Peserta dibagi menjadi dua kelompok
2. Fasilitator menjelaskan bahwa permainan ini akan dinilai dan panitia
memberi hadiah pada kelompok yang memiliki nilai tertinggi sehingga
peserta diminta untuk berpartisipasi aktif dalam permainan ini
3. Fasilitator memberikan kartu-kartu gambar ekspresi emosi negatif dan
positif kepada masing-masing kelompok
4. Tiap-tiap kelompok diminta untuk mendiskusikan kartu ekspresi emosi
termasuk dalam emosi positif atau emosi negatif

78
5. Tiap-tiap kelompok diminta untuk menempelkan kartu-kartu ekspresi
emosi yang sesuai pada lembar klasifikasi emosi negatif dan positif
yang disediakan
6. Perwakilan peserta mempresentasikan hasil diskusi kelompok
7. Fasilitator memberi nilai berdasarkan banyaknya kartu ekspresi emosi
yang diklasifikasi dengan tepat
8. Panitia memberikan hadiah kepada kelompok yang memiliki nilai
tertinggi
Material 1. Kartu-kartu ekspresi emosi
2. Kertas karton untuk klasifikasi emosi positif dan negatif
3. Double tip
4. Hadiah
Diskusi Melalui hasil klasifikasi emosi positif dan negatif, fasilitator mengarahkan
diskusi pada emosi-emosi yang biasa dialami oleh peserta termasuk emosi
yang positif dan negatif
Waktu 30 menit
Sumber Jefri Reza P

PEMBERIAN TUGAS PELATIHAN PERTEMUAN I


Tujuan 1. Peserta mendapatkan pengalaman dalam mengelola emosi dari
kegiatan perawat penderita skizofrenia di keluarga yang diwawancarai
sebagai pembelajaran.
Prosedur 1. Fasilitator memberikan lembar tugas rumah kepada peserta
2. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai tugas untuk
mewawancarai orang tua yang merawat anak dengan riwayat
skizofrenia di RSJD Surakarta ataupun di lingkungannya sendiri bila
ada.
3. Fasilitator menekankan bahwa hasil dari wawancara akan bermanfaat
sebagai pembelajaran bagi peserta dalam mengelola emosi.
4. Fasilitator memberikan penjelasan bahwa peserta diminta untuk
menuliskan identitas orang tua yang merawat anak dengan skizofrenia
yang diwawancarai pada lembar panduan wawancara.
5. Fasilitator memberikan penjelasan bahwa pertanyaan wawancara yang
dilakukan sesuai dengan panduan wawancara yang diberikan. Peserta
juga boleh mengembangkan pertanyaan apabila diperlukan.
6. Peserta diminta menuliskan hasil wawancara pada panduan wawancara
tersebut.
Material 1. Lembar tugas rumah pelatihan pertemuan I
2. Alat tulis
Diskusi 1. Pada awal pelatihan pertemuan ke II, beberapa peserta diminta untuk
menceritakan hasil wawancara yang telah dilakukannya.
2. Fasilitator memfasilitasi diskusi mengenai tugas rumah tersebut
Waktu

79
Referensi Rini Setyowati inspirated by Setia Asyanti, S.Psi, M.Si, Psi.

KESAN & PESAN


Tujuan Fasilitator mengetahui masukan dari peserta mengenai evaluasi mengenai
kegiatan proses pelatihan pertemuan pertama
Prosedur 1. Fasilitator membagikan lembar evaluasi proses kepada peserta
2. Peserta mengisi lembar evaluasi proses
3. Fasilitator menjelaskan bahwa setelah diadakan pelatihan ini akan
diberikan skala yang akan diisi oleh peserta pelatihan
Diskusi Perwakilan peserta mengemukakan evaluasi proses yang ditulis
Material Lembar evaluasi proses
Waktu 30 menit

80
Modul

Pelatihan Ketrampilan Regulasi Emosi

Pertemuan II

Tujuan Instruksional Umum (TIU):

Peserta mampu mengelola emosi dalam menghadapi stres yang dialami oleh
orang tua akibat merawat anak dengan riwayat gangguan skizofrenia.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK):

Setelah adanya pelatihan regulasi emosi pada pertemuan 2, diharapkan :

4. Peserta mampu mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami.


5. Peserta mampu mengungkapkan perasaan maupun emosinya, baik positif
ataupun negatif kepada orang lain.

Metode Pelatihan :

Metode yang digunakan untuk masing-masing tujuan instruksional khusus adalah


sebagai berikut:

TAHAPAN
NO SESI METODE YANG DIGUNAKAN
INTERVENSI

1 Pembukaan TAHAP 1 Permainan Ice Breaking

TAHAP 2 Membahas Tugas Rumah atau


Pertemuan sebelumnya

2. Sesi IV TAHAP 1 Communication activities


“Mengevaluasi
Emosi” TAHAP 2 Studi kasus dari worksheet ”situasi yg
dihadapi” & Konferensi

3. Sesi V “Berlatih TAHAP 1 Berlatih relaksasi


Relaksasi”

81
4. Sesi VI TAHAP 1 Communication activities
“Mengekspresikan
Emosi” TAHAP 2 Role Play

5. Penutupan TAHAP 1 Kesan & pesan.

Tabel Deskripsi Rancangan Pelatihan (Modul Pelatihan)

SESI IV MENGEVALUASI EMOSI


TIK Peserta mampu mengelola dan menyeimbangkan emosi-
emosi yang dialami.
Metode 1. Communication activities
2. Studi kasus
Waktu 60 menit

COMMUNICATION ACTIVITIES
Tujuan kegiatan Peserta mendapatkan informasi mengenai bagaimana cara
menerima perasaan
Prosedur 1. Fasilitator memberikan presentasi materi “Menerima
Perasaan”
2. Fasilitator memberikan kesempatan bertanya kepada
peserta berkaitan materi yang telah disampaikan.
Material 1. Laptop & LCD
2. Naskah materi “Menerima Perasaan”
3. Alat tulis
Diskusi Sesuai pertanyaan peserta yang muncul
Waktu 20 menit
Referensi Segal (2001) dan Manz (2007)

STUDI KASUS & KONFERENSI

Tujuan Peserta mampu mengelola emosi negatif yang dimilikinya


Kegiatan

Prosedur 1. Fasilitator meminta peserta untuk memilih salah satu situasi pada
worksheet “situasi yang dihadapi ketika merawat penderita
skizofrenia” pada sesi emotions monitoring
2. Fasilitator memberikan selembar kertas, dan peserta diminta untuk
menuliskan mengenai apa yang sebaiknya peserta lakukan untuk

82
mengalihkan perhatian pada situasi yang dipilih tersebut agar tidak
terjadi perilaku tersebut
3. Fasilitator memfasilitasi peserta dalam mengerjakan tugas
Diskusi 1. Beberapa peserta mempresentasikan hasil studi kasus yang
dikerjakannya
2. Fasilitator meminta peserta yang lain memberikan pendapat terhadap
hasil studi kasus yang dipresentasikan
3. Fasilitator mengarahkan diskusi pada pengalihan perhatian yang tepat
terhadap situasi yang dihadapi oleh orang tua yang merawat anak
dengan riwayat gangguan skizofrenia
Material Alat tulis

Waktu 20 menit

Sumber Rini Setyowati

SESI V BERLATIH RELAKSASI


Tujuan Peserta merasa lebih rileks dan merasakan keseimbangan sistem-
kegiatan sistem di mind-body-emotion.
Prosedur 1. Menayangkan pengenalan mengenai bernafas sehat kepada peserta
2. Peserta diminta mengikuti instruksi dalam berlatih bernafas sehat
Diskusi Peserta diminta menceritakan pengalaman berlatih relaksasi
Material 1. Laptop & LCD
2. Instruksi berlatih relaksasi diafragma
Waktu 20 menit
Referensi Instruksi Relaksasi Diagfragma dari Wahyono (2013)

TIK Peserta mampu mengungkapkan perasaan maupun emosinya, baik


positif ataupun negatif kepada orang lain.
Metode 3. Communication activities
4. Role Play
Waktu 60 menit

COMMUNICATION ACTIVITIES
Tujuan Peserta memperoleh informasi bagaimana mengekspresikan emosi
kegiatan dengan tepat
Prosedur 1. Fasilitator memberikan presentasi materi “Mengekspresikan
Emosi”
2. Fasilitator memberikan kesempatan bertanya kepada peserta

83
berkaitan materi yang telah disampaikan.
Material 1. Laptop & LCD
3. Naskah materi “Mengekspresikan Emosi”
2. Alat tulis
Diskusi Sesuai pertanyaan peserta yang muncul
Waktu 20 menit
Referensi Rini Setyowati

ROLE PLAY
Tujuan Peserta dapat berlatih mengekspresikan emosi baik negatif maupun
kegiatan positif
Prosedur 5. Fasilitator membagikan selembar kertas dan amplop kepada masing-
masing peserta
6. Fasilitator menekankan bahwa role play ini harus dilakukan dengan
sesungguhnya dan sepenuh hati
7. Peserta diminta untuk membuat surat tertulis mengenai ucapan
terima kasih, permintaan maaf ataupun ungkapan perasaan lainnya
kepada seseorang
8. Fasilitator memfasilitasi peserta dalam menulis surat sesuai dengan
materi “Mengekspresikan Emosi
9. Peserta diminta untuk memasukkan surat tersebut dalam amplop
yang disediakan
10. Peserta juga diminta untuk menuliskan alamat
lengkap pada amplop tersebut
Material 1. Kertas untuk menulis surat
2. Amplop
3. Alat tulis
Diskusi 1. Fasilitator memfasilitasi mengenai kesulitan dalam menulis surat
2. Fasilitator menyerahkan hak sepenuhnya kepada peserta untuk
menyerahkan surat tersebut kepada seseorang yang bersangkutan
Waktu 40 menit
Referensi Rini Setyowati inspirated by Setia Asyanti, S.Psi, M.Si, Psi.

PEMBERIAN TUGAS PELATIHAN PERTEMUAN II


Tujuan 3. Fasilitator dapat memantau sejauhmana peserta
kegiatan mengaplikasikan ketrampilan yang dipelajari dari pelatihan
pertemuan kedua
Prosedur 5. Fasilitator memberikan lembar tugas rumah kepada peserta
6. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai cara mengisi tugas
rumah kepada peserta

84
7. Peserta diminta menuliskan pengalaman-pengalaman emosi yang
dialami peserta setelah menjalani hari-hari seusai pelatihan
pertemuan II
Material 3. Lembar tugas rumah pelatihan pertemuan II
4. Alat tulis
Diskusi 1. Pada awal pelatihan pertemuan ke III, beberapa peserta diminta
untuk menceritakan pengalaman emosi yang dialaminya
2. Fasilitator memfasilitasi diskusi mengenai tugas rumah tersebut
Waktu
Referensi Rini Setyowati

KESAN & PESAN


Tujuan Fasilitator mengetahui masukan dari peserta mengenai evaluasi
kegiatan mengenai proses pelatihan pertemuan kedua
Prosedur 4. Fasilitator membagikan lembar evaluasi proses kepada peserta
5. Peserta mengisi lembar evaluasi proses
6. Fasilitator menjelaskan bahwa setelah diadakan pelatihan ini akan
diberikan skala yang akan diisi oleh peserta pelatihan
Diskusi Perwakilan peserta mengemukakan evaluasi proses yang ditulis
Material Lembar evaluasi proses
Waktu 30 menit

85
Modul

Pelatihan Ketrampilan Regulasi Emosi

Pertemuan III

Tujuan Instruksional Umum (TIU):

Peserta mampu mengungkapkan emosi dengan tepat dalam menghadapi depresi


yang dialami oleh orang tua yang merawat anak dengan riwayat gangguan skizofrenia

Tujuan Instruksional Khusus (TIK):

Setelah adanya pelatihan regulasi emosi pada pertemuan 3, diharapkan :

6. Peserta mampu mengubah emosi sedemikian rupa sehingga dapat memotivasi


diri.
7. Peserta dapat mengontrol emosi dan memahami makna dari keseluruhan
proses pelatihan.

Metode Pelatihan :

Metode yang digunakan untuk masing-masing tujuan instruksional khusus adalah


sebagai berikut:

TAHAPAN
NO SESI METODE YANG DIGUNAKAN
INTERVENSI

1. Pembukaan TAHAP 1 PermainanIce Breaking

TAHAP 2 Membahas Tugas Rumah/Pertemuan


sebelumnya

2. Sesi VII TAHAP 1 Penayangan Video & konferensi


“Memodifikasi
Emosi” TAHAP 2 Role Play

3. Sesi VIII TAHAP 1 Relaksasi & Kristalisasi

86
Penutupan TAHAP 2 Kesan & Pesan

Tabel Deskripsi Rancangan Pelatihan (Modul Pelatihan)

SESI VII MEMODIFIKASI EMOSI


TIK Peserta mampu mengubah emosi sedemikian rupa sehingga dapat
memotivasi diri.
Metode 3. Penayangan Video & konferensi
4. Role Play
Waktu 60 menit

PENAYANGAN VIDEO & KONFERENSI


Tujuan Peserta mampu mengarahkan kekuatan emosi untuk mencapai hasil yang
kegiatan diharapkan
Prosedur 3. Fasilitator menyampaikan bahwa akan menayangkan sebuah video
dan peserta diminta untuk menyimak dan mendiskusikan video
tersebut
4. Fasilitator menayangkan video emotional perawat penderita
skizofrenia
Diskusi 3. Fasilitator menanyakan apa yang dapat dilihat dan pendapat peserta
mengenai video tersebut kepada peserta
4. Fasilitator memfasilitasi peserta untuk berdiskusi mengenai makna
dari video tersebut
Material Video perawat skizofrenia
Waktu 20 menit
Referensi Jefri Reza P

LATIHAN DAN ROLE PLAY


Tujuan Peserta mampu memotivasi diri dan menumbuhkan optimisme
Kegiatan
Prosedur LATIHAN
4. Peserta diminta menuliskan perasaan dan emosi yang dimiliki setelah
merawat anak yang menderita skizofrenia
5. Peserta diminta untuk menuliskan sesuatu atau seseorang yang bisa
menjadi semangat bagi dirinya untuk bangkit dari masalahnya
6. Peserta diminta membuat skenario bagaimana cara peserta
mengubah pikiran dan perasaan sebaiknya dalam menghadapi stress
ketika merawat anak dengan skizofrenia di keluarga
ROLE PLAY

87
1. Peserta diminta berpasangan untuk mempraktekkan skenario yang
dibuat tersebut
2. Seorang peserta berperan sebagai orang tua yang merawat anak
dengan skizofrenia dan pasangannya berperan sebagai orang
terdekatnya.
3. Menggunakan skenario yang telah dirancang, seluruh peserta
melakukan role play berpasangan secara bergiliran dihadapan seluruh
peserta yang lain
Diskusi LATIHAN
4. Peserta diminta menceritakan pengalamannya.
5. Masing-masing peserta diminta menceritakan rancangannya
6. Hal yang dapat dipelajari dari pengalaman tersebut
ROLE PLAY
1. Peserta diminta menceritakan pengalamannya.
2. Hal yang dapat dipelajari dari pengalaman tersebut
Material Alat tulis
Waktu 40 menit
Sumber Rini Setyowati

RELAKSASI & KRISTALISASI


Tujuan 1. Peserta dapat mengontrol emosi
kegiatan 2. Setelah mengikuti serangkaian pelatihan dengan bermacam
kesadaran baru, diharapkan peserta dapat mengendapkan
pengalamannya dangan kegiatan ini.
Prosedur 1. Peserta diminta untuk duduk santai di kursi masing-masing.
2. Dimulai dengan latihan pernapasan. Peserta diminta menutup mata,
untuk beberapa waktu, peserta diminta mengatur napas.
3. Peserta diperintahkan untuk hanya mendengarkan suara fasilitator.
4. Peserta diminta untuk menghilangkan semua pikiran dan suara-suara
kecuali suara fasilitator dan santai.
5. Fasilitator membacakan kata mutiara mengenai kasih sayang orang
tua/keluarga
6. Peserta diminta untuk merenungkan apa yang sudah dilakukan untuk
diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Diskusi Peserta diminta menceritakan pengalaman relaksasi
Material 1. Kata mutiara mengenai kasih sayang orang tua
2. Relaxing music
Waktu 30 menit
Referensi

88
KESAN & PESAN
Tujuan Fasilitator mengetahui masukan dari peserta mengenai evaluasi
kegiatan mengenai proses pelatihan pertemuan ketiga
Prosedur 7. Fasilitator membagikan lembar evaluasi proses kepada peserta
8. Peserta mengisi lembar evaluasi proses
9. Fasilitator menjelaskan bahwa setelah diadakan pelatihan ini akan
diberikan skala yang akan diisi oleh peserta pelatihan
Diskusi Perwakilan peserta mengemukakan evaluasi proses yang ditulis
Material 1. Lembar evaluasi proses
2. Alat tulis
Waktu 30 menit

89
MATERI PRESENTASI & KONFERENSI
SESI MENGEVALUASI EMOSI

MENERIMA PERASAAN

 Pada sesi sebelumnya, telah diketahui emosi-emosi yang biasa dialami


termasuk emosi negatif dan positif.
 Setiap orang boleh mangalami emosi maupun perasaan tersebut karena
perasaan tersebut merupakan reaksi alamiah yang timbul di situasi yang sulit.
 Menerima perasaan penting untuk kesehatan fisik dan emosional.
 Orang yang tidak dapat menerima emosi biasanya sering menyalahkan orang
lain atas kemarahan yang dirasakannya & menyakinkan diri bahwa kesedihan
dan kecemasannya itu memalukan.
 Akibat tidak menerima emosi :
– membuang waktu dan tenaga
– menumpulkan indra yang kita butuhkan untuk tetap waspada secara
emosional di dunia nyata yang penuh gangguan
– kehilangan kebijaksanaan untuk membuat keputusan tepat.
 Menurut Segal (2001), penerimaan tidak berarti kepasrahan yang pasif.
 Penerimaaan tidak berarti hidup kesakitan, membiarkan diri diombang-ambing
perasaan orang lain, atau menerima apa saja yang dilakukan orang lain.
 Penerimaan berarti :
– senang hati merangkul setiap perasaan (termasuk perasaan takut, cemas,
marah dan sebagainya) sebagai informasi saat perasaan itu muncul dan
sebagai bagian penting bagi setiap orang.
– mampu menanggung emosi, betapapun buruk dan kuatnya.
– mulai memahami bahwa jika Anda dapat mencintai diri sendiri seperti ini,
dan juga dapat mencintai orang lain.
 Berikut adalah beberapa langkah untuk menerima perasaan Anda menurut
Manz (2007) :
1. Kenali perasaan-perasaan Anda, hindari untuk mengabaikan perasaan.
Mengenali perasaan dapat dimulai dengan menyadari perasaan kita. Kemudian

90
menghadapi perasaan dengan melihat pada situasi Anda secara realistis. Hal ini
akan membantu Anda lebih kuat dalam menghadapi perasaan meskipun
perasaan itu negatif atau menyakitkan.
2. Bicara dengan keluarga Anda. Dengan berbicara tentang perasaan Anda, Anda
bisa saling membantu mengungkapkan dan menerima perasaan-perasaan
dengan cara yang konstruktif. Berbicara dengan keluarga juga dapat saling
memberikan dukungan dan motivasi yang dapat membangun harga diri yang
positif.
3. Bicara dengan orang lain. Memendam perasaan Anda sendiri merupakan hal
yang kurang tepat. Berbicara dengan orang lain yang pernah berada dalam
situasi yang sama dengan Anda saat ini dapat memberikan motivasi dan Anda
tidak akan merasa sendirian.
4. Ambil istirahat. Pikirkan cara-cara untuk mengurangi tekanan emosional dan
stres yang Anda alami. Lakukan hal-hal yang menjadi hobi Anda.
5. Manfaatkan waktu Anda. Hindari membiasakan diri untuk tidur terlambat atau
menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Lakukan hal-hal yang positif,
seperti belajar, bekerja, melakukan hobi, melakukan kegiatan sosial dan
sebagainya. Hal ini akan membuat Anda merasa lebih produktif.
6. Evaluasi situasi Anda. Mengevaluasi situasi dapat dilakukan dengan menyadari
seperti apa situasi yang dihadapi, menganalisis sebab dan akibat situasi, dan
menentukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi situasi yang
Anda hadapi.
7. Mengenali kebutuhan untuk bantuan profesional. Berbicara atau berkonsultasi
dengan seorang psikolog profesional dapat membantu Anda melalui perasaan-
perasaan dan menemukan solusi atas permasalahan Anda.

“Semakin Anda mencoba menghindari penderitaan, semakin menderitalah Anda karena


hal-hal yang lebih kecil dan lebih tidak berarti mulai menyiksa Anda sama besarnya
dengan rasa takut Anda untuk terluka.”
``Thomas Merton
Sumber :

Segal, Jeanne. (2001). Melejitkan Kepekaan Emosional. Bandung : Penerbit


Kaifa.

91
Manz, Charles C. (2007). Manajemen Emosi. Yogyakarta: Think.

92
MATERI PRESENTASI & CUMMUNICATION ACTIVITIES
SESI MENGEKSPRESIKAN EMOSI
KEMAMPUAN MENGEKSPRESIKAN EMOSI

• Kemampuan mengekspresikan emosi adalah kemampuan individu dalam


mengungkapkan perasaan atau emosinya, baik positif ataupun negatif kepada
orang lain (Greenberg, dalam Hidayati, 2008).
• Manfaat mengekspresikan emosi:
– membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan psikologis dan fungsi
fisik pada seseorang saat menghadapi peristiwa traumatik dalam hidupnya
– meningkatkan proses penyembuhan dan kesehatan mental
– membantu mengatasi tekanan psikologis
– mengurangi emosi-emosi negatif
– menurunkan simptom-simptom depresi
• Ada dua cara dalam mengungkapkan emosi, yaitu:
1. Secara verbal dapat berupa lisan maupun tulisan, seperti mengungkapkan
perasaan secara langsung dan mengungkapkan perasaan melalui surat.
2. Secara nonverbal, seperti ekspresi wajah.
• Dalam mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif diperlukan sikap
asertivitas.
• Asertivitas adalah kemampuan mengekspresikan perasaan, pemikiran,
pendapat, dan pilihan secara langsung kepada orang lain dengan cara yang
sesuai dan jujur dengan tetap menghormati diri sendiri dan orang lain sehingga
dapat tercipta hubungan interpersonal yang harmonis dan efektif.
• Pengungkapan perasaan secara asertif dilakukan dengan sopan, dan :
– Tidak agresif atau menyerang dan menghakimi orang lain
– Tidak defensif atau terlalu menahan diri
• Dalam mengekspresikan emosi baik lisan maupun tulisan, perhatikanperilaku
berbahasa yang terkait dengan:
– Intonasi

93
– Kesantunan, seperti mengucapkan dengan lembut kata ”maaf” terlebih
dahulu
– Cara mengungkapkan, seperti menyatakan alasan yang sebenarnya
berdasarkan fakta bukan berdasar sifat-sifat pribadi dan memberikan
masukan.
– Pemilihan kalimat

“Dengan emosi yang sangat dingin,kita menjadi tak punya rasa humor, kaku, strereotip;
dengan menekan emosi kita menjadi tidak imajinatif, terpenjara; dan merasa lebih baik
daripada orang lain, dengan menyalurkannya hidup menjadi indah, tidak menyalurkannya
hidup kita teracuni.”
``Joseph Collins

Sumber :

Hidayati, Nazlah. (2008). Penanganan Stres Ibu-Ibu Korban Lumpur Panas


Lapindo dengan Pelatihan Regulasi Emosi. Thesis. Tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Makalah: LATIHAN ASERTIF, Sunardi, PLB FIP UPI, 2010

94
PEMBERIAN TUGAS PELATIHAN PERTEMUAN II
Tujuan 4. Fasilitator dapat memantau sejauhmana peserta
kegiatan mengaplikasikan ketrampilan yang dipelajari dari pelatihan
pertemuan kedua
Prosedur 8. Fasilitator memberikan lembar tugas rumah kepada peserta
9. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai cara mengisi
tugas rumah kepada peserta
10. Peserta diminta menuliskan pengalaman-
pengalaman emosi yang dialami peserta setelah menjalani
hari-hari seusai pelatihan pertemuan II
Material 5. Lembar tugas rumah pelatihan pertemuan II
6. Alat tulis
Diskusi 3. Pada awal pelatihan pertemuan ke III, beberapa peserta
diminta untuk menceritakan pengalaman emosi yang
dialaminya
4. Fasilitator memfasilitasi diskusi mengenai tugas rumah
tersebut
Waktu
Referensi Rini Setyowati

95
CATATAN HARIANKU

Nama :
Hari, tanggal :

1. Yang membuat saya senang hari ini adalah.......................


...............................................................................................................
...............................................................................................................
...............................................................................................................
Emosi yang saya keluarkan adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Pikiran positif (+) saya terhadap hal tersebut adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Yang saya lakukan adalah :

1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................

2. Yang membuat saya kesal hari ini adalah


...............................................................................................................
...............................................................................................................
...........................................................................................................
Emosi yang saya keluarkan adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Pikiran positif (+) saya terhadap hal tersebut adalah :
1. ..........................................................................................................

96
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Yang saya lakukan adalah :

1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................

3. Yang membuat saya sedih hari ini adalah


...............................................................................................................
...............................................................................................................
........................................................................................................
Emosi yang saya keluarkan adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Pikiran positif (+) saya terhadap hal tersebut adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Yang saya lakukan adalah :

1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................

4. Yang membuat saya semangat hari ini adalah


...............................................................................................................
...............................................................................................................
........................................................................................................
Emosi yang saya keluarkan adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Pikiran positif (+) saya terhadap hal tersebut adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................

97
Yang saya lakukan adalah :

1. .........................................................................................................
2. ..................................................................................................

5. Yang membuat saya kecewa hari ini adalah


...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
Emosi yang saya keluarkan adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Pikiran positif (+) saya terhadap hal tersebut adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Yang saya lakukan adalah :

1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................

98
PEMBERIAN TUGAS PELATIHAN PERTEMUAN I
Tujuan 2. Fasilitator dapat memantau sejauhmana peserta
kegiatan mengaplikasikan ketrampilan yang dipelajari dari pelatihan
pertemuan pertama
Prosedur 7. Fasilitator memberikan lembar tugas rumah kepada peserta
8. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai tugas untuk
mewawancarai orang tua yang memiliki anak dengan gangguan
jiwa skizofrenia di lingkungan RSJD Surakarta
9. Fasilitator menekankan bahwa hasil dari wawancara akan
bermanfaat sebagai pembelajaran bagi peserta dalam
mengelola emosi.
10. Fasilitator memberikan penjelasan bahwa
peserta diminta untuk menuliskan identitas orang tua yang
memiliki anak dengan gangguan jiwa skizofrenia yang
diwawancarai pada lembar panduan wawancara.
11. Fasilitator memberikan penjelasan bahwa
pertanyaan wawancara yang dilakukan sesuai dengan panduan
wawancara yang diberikan. Peserta juga boleh mengembangkan
pertanyaan apabila diperlukan.
12. Peserta diminta menuliskan hasil
wawancara pada panduan wawancara tersebut.
Material 3. Lembar tugas rumah pelatihan pertemuan I
4. Alat tulis
Diskusi 3. Pada awal pelatihan pertemuan ke II, beberapa peserta diminta
untuk menceritakan hasil wawancara yang telah dilakukannya.
4. Fasilitator memfasilitasi diskusi mengenai tugas rumah tersebut
Waktu
Referensi Rini Setyowati inspirated by Setia Asyanti, S.Psi, M.Si, Psi.

99
Nama peserta :
Nama difabel yang diwawancarai :

Panduan Wawancara (Proses modifikasi)

1. Perkenalkan diri :
a. Selamat Pagi/Siang/Sore Pak/Bu/Mas/Mbak
b. Perkenalkan Pak/Bu/Mas/Mbak, nama saya ...... Saya adalah siswa
kelas A/B .......
c. Berkaitan dengan tugas yang saya peroleh, bolehkah saya
mewawancarai Pak/Bu/Mas/Mbak mengenai pengalaman
Pak/Bu/Mas/Mbak sebagai difabel?
d. Saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang Pak/Bu/Mas/Mbak
berikan kepada saya.
e. Baik, mari kita mulai untuk wawancaranya.
2. Sebelumnya maaf, sejak kapan Pak/Bu/Mas/Mbak menjadi difabel?
...............................................................................................................
......................................................................................................
3. Saat ini Pak/Bu/Mas/Mbak di BBRSBD sejak kapan? Sebagai apa?
...............................................................................................................
........................................................................................................
4. Emosi apa saja yang pernah Pak/Bu/Mas/Mbak alami selama menjadi
difabel? Boleh tolong diceritakan penyebabnya?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................

5. Lalu apa yang Pak/Bu/Mas/Mbak lakukan terhadap keadaan atau situasi


tersebut?

100
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
6. Apa yang membuat Pak/Bu/Mas/Mbak menjadi bangkit dari
keterpurukan dan menjadi bersemangat kembali?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
........................................................................................................
7. Prestasi apa saja yang pernah Pak/Bu/Mas/Mbak raih selama menjadi
difabel?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
8. Untuk yang terakhir, pesan apa yang dapat Pak/Bu/Mas/Mbak berikan
untuk difabel yang lain, termasuk saya ini?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
9. Penutupan :
a. Baik, informasi dan pengalaman Pak/Bu/Mas/Mbak sangat bermanfaat
bagi saya yang saat ini masih belajar.
b. Saya ucapkan terimakasih atas waktu yang diberikan.
c. Selamat Pagi/Siang/Sore Pak/Bu/Mas/Mbak

101
WORKSHEET “SITUASI YANG DIHADAPI”
NO SITUASI PERASAAN SAYA PIKIRAN SAY
1. Contoh : 1. Sedih 1. Orang yang berada
Saat itu, anak saya yang menderita 2. Malu sekitar lingkungan t
skizofrenia sedang melakukan aktivitas 3. Benci kepada diri takut kepada anak s
sendiri 2. Orang yang berada
yang kurang wajar di lingkungan, seperti
4. Marah sekitar lingkungan t
berbicara sendiri, berteriak-teriak, marah- mengira bahwa say
marah, bahkan berjalan-jalan kesana memiliki anak yang
kemari tanpa tujuan. Orang-orang di 3. Ingin segera menga
sekitar anakku pun semua melihat ke saya ke dalam
arahnya. rumah/pulang
2. Saya menghadiri acara di lingkungan
rumah, saya duduk di salah satu meja dua
warga lainnya. Tiba-tiba salah seorang
warga tersebut mengajak temannya untuk
berpindah tempat duduk ke meja lain. Saya
sedikit mendengar bahwa orang tersebut
merasa terganggu dengan kedatangan
seseorang yang memiliki anggota keluarga
gangguan jiwa.
3. Pada waktu itu saya sangat sibuk bekerja.
Saya selalu merasa cemas ketika bekerja
karena mengingat kondisi anak saya yang
berada di rumah. Sepulang bekerja saya
merasa sangat lelah, namun saya
menyempatkan menyediakan air hangat
untuk anak saya agar segera digunakan
untuk mandi, namun justru anak saya
membuang air tersebut.
4.

102
5.

6.

103
STUDI KASUS DARI WORKSHEET SITUASI YANG DIHADAPI

Petunjuk mengerjakan :
1. Pilihlah salah satu situasi pada worksheet “situasi yang dihadapi ketika
merawat anak dengan gangguan skizofrenia” pada sesi emostions
monitoring
2. Fasilitator memberikan selembar kertas, dan peserta diminta untuk
menuliskan mengenai apa yang sebaiknya peserta lakukan untuk
mengalihkan perhatian pada situasi yang dipilih tersebut agar tidak terjadi
perilaku tersebut

NO SITUASI YANG SEBAI


1. Contoh :
Saat itu, anak saya yang menderita skizofrenia sedang 1.
melakukan aktivitas yang kurang wajar di lingkungan, seperti 2.
3.
berbicara sendiri, berteriak-teriak, marah-marah, bahkan
4.
berjalan-jalan kesana kemari tanpa tujuan. Orang-orang di
sekitar anakku pun semua melihat ke arahnya.
2.

104
4

105
NASKAH RELAKSASI
CLOSING SESION

Mengetahui kekurangan diri adalah tangga untuk mencapai cita-cita, dan


berusaha mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian yang luar biasa
-Hamka-

Satu-satunya cacat dalam hidup adalah SIKAP BURUK


"The only disability in life is a bad attitude"
–Scott Hamilton–

Gagal dalam kemuliaan adalah lebih baik dari pada menang dalam
kehinaan. Orang yang sekali-sekali gagal tidak rugi selagi ia belum
berputus asa . Kalau sekali maksud belum tercapai janganlah patah
harapan.
-Lord Efebry-

"Kita adalah hambanya yang terlahir sederajat,


meski.. takdir yang berbeda seolah menjadi sekat

apapun keadaan kita bukanlah sesuatu yang harus ditutupi


bukan pula yang harus diratapi,

marii tumbuhkan semangat kita!


tunjukan bahwa kita bisa!

Melawan Keterbatasan Tanpa Batas Membela Mimpi!"


-Joko Partono / Kochie Frog-

106
ROLE PLAY SESI MEMODIFIKASI EMOSI

Perasaan dan emosi setelah merawat


anak dengan gangguan skizofrenia:

Sesuatu atau seseorang yang bisa


menjadi semangat bagi saya adalah :

Setelah memiliki seseorang/sesuatu yang


menjadi semangat, perubahan apa yang
terjadi ?

107
INSTRUKSI RELAKSASI DIAFRAGMA
SESI BERLATIH RELAKSASI

“...... nafas selalu di sini, tepat di bawah hidung kita. Anda berpendapat hanya merupakan
kebetulan bahwa kita menemukan kegunaannyadalam satu atau lain hal.”
``Jon Kabat-Zinn

Relaksasi yang akan diberikan dalam sesi ini merupakan relaksasi diafragma.
Diafragma adalah cekungan kuat, yang dibentuk otot-otot antara perut dan
dada.Pada saat mengambil napas ke dalam diafragma, kemudian keluarkan ke
arah bawah, ke luar dari dada, hal ini mengakibatkan otot-otot di perut terasa
rileks dan naik. Paru-paru melebar, dan hal ini membuat udara banyak yang
masuk.

Relaksasi melalui diafragma ini akan menstimulasi sistem syaraf parasimpatik,


yang selanjutnya akan menormalkan (lebih lambat) sistem cardiovascular dan
membuat rileks otot-otot tubuh kita.

Dengan latihan kira-kira 20 menit, akan berdampak pada perasaan dan energi
dalam tubuh kita.Dampak selanjutnya adalah: kita merasakan keseimbangan
sistem-sistem di mind-body-emotion.

Petunjuk relaksasi pernafasan :

1. Temukan tempat yang tenang/nyaman.


2. Cari posisi yang paling tubuh yang paling nyaman.
3. Mulai tutup mata (bisa juga dengan membayangkan tempat kedamaian,
misal: pantai/pegunungan).
4. Ambil napas secara pelan dan dalam melalui hidung (napas perut).
(Bayangkan balon mengembang di perut)
5. Jangan tahan napas, biarkan udara ke luar saat “balon” sudah penuh.
6. Ke luarkan napas perlahan lewat mulut dengan suara seperti ada kelegaan,
imajinasikan semua masalah kita ke luar melalui “gelembung” udara yang
melewati mulut kita
7. Ambil napas lagi, katakan dalam hati sesuatu kata, dan kemudian ke luarkan
lagi, dan katakan suatu kata dalam hati (kata-kata yang dipilih adalah yang
membuat tenang dan rileks misal “tenang”).
8. Saat kita sudah mulai tenang, kita tinggal meneruskan dengan bernapas
biasa lewat hidung (jangan lupa untuk tersenyum).

108
9. Konsentrasikan penuh pada napas dan kata-kata magic” yang kita ciptakan.
10. Saat pikiran kita terasa “terbang/melayang”, silakan fokus kembali kepada
napas dan “kata-kata magic” kita.

Sumber :

Wahyono, T. (2013). Relaxation Techniques (Bahan Kuliah). Surakarta :


Universitas Muhammadiyah Surakarta.

109

Anda mungkin juga menyukai