Diajukan Oleh :
1
BAB I
A. Latar Belakang
2
tersebut, karena pemerintah percaya bahwa fenomena gangguan skizofrenia di
Indonesia seperti gunung es (Kompas, 2014). Di wilayah Surakarta terdapat
sejumlah 2.381 pasien skizofrenia yang terdiri dari 33 pasien skizofrenia
hebefrenik, 10 pasien skizofrenia katatonik, 333 pasien skizofrenia tak terinci, 1
pasien depresi pasca skizofrenia, pasien skizofrenia residual 158, pasien
skizofrenia simpleks, dan yang lainya berjumlah 1,047 pasien, serta YTT 29
pasien (Lestari, 2011).
Beban fisik yang dialami oleh keluarga dalam merawat penderita skizofrenia
mengarah pada kondisi psikisnya. Konflik perasaan yang dialami keluarga antara
merawat dan mengutamakan kepentingan lainnya adalah dilema yang tak jarang
3
dimunculkan sehingga hal tersebut semakin lama terasa mengganggu (Adilamarta,
2011). Keluarga kerap kali mengalami berbagai emosi seperti rasa takut, rasa
bersalah, rasa marah, frustrasi, rasa malu, dan perasaan tidak berguna, serta stigma
terhadap penderita juga kerap membuat keluarga mengasingkan penderita
skizofrenia. Stigma dan diskriminasi yang terbentuk menjadikan beban tersendiri
bagi orang-orang yang tinggal di sekitar pasien dan kadangkala menimbulkan
reaksi emosional keluarga yang merawat pasien skizofrenia, karena tidak mampu
mengelola emosi. Hal tersebut dapat memperburuk situasi yang pada keluarga
pasien.
4
lebih baik serta keluargapun mendapat bantuan untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi (Lestari dan Kartinah, 2012).
Berdasarkan hasil wawancara awal dengan orang tua yang memiliki anak
dengan riwayat gangguan skizofrenia di RSJD Surakarta memaparkan bahwa
keluarga khususnya orang tua justru memarahi anaknya yang mulai menunjukkan
gejala gangguan jiwa seperti menyendiri di kamar untuk waktu yang lama. Orang
tua merasa lelah karena anak tidak mengetahui bagaimana usaha orang tua untuk
merawatnya, ditambah dengan kerja keras yang dilakukan orang tua selama ini
semata-mata untuk anaknya saja. Selain itu orang tua juga merasa malu apabila
anak yang mengalami gangguan skizofrenia berperilaku yang kurang wajar di
lingkungan, seperti berbicara sendiri ataupun berjalan mondar-mandir dan
memarahi setiap orang yang bertemu dijalan dengan anak tersebut. Selain itu
empat dari lima penderita skizofrenia di RSJD Klaten, dipasung oleh keluarganya
supaya tidak melakukan tindakan merugikan ketika kambuh. Penderita skizofrenia
yang sudah menunjukkan gejala-gejala segera dipasung oleh keluarga dan
diasingkan dari kegiatan sosial. Keluarga menjelaskan bahwa ketika penderita
kambuh, keluarga menunjukkan sikap yang keras, yaitu dengan marah dan
membentak supaya penderita tidak melakukan tindakan yang merugikan.
Keluarga yang lelah dalam merawat penderita, memilih untuk melakukan pasung
supaya keluarga dapat melakukan aktivitas tanpa mengalami tekanan.
5
macam strategi yang digunakan oleh seseorang untuk mengatasi situasi sehari-hari
atau situasi yang luar biasa. Strategi dan proses koping keluarga ini berfungsi
sebagai proses dan mekanisme yang vital, melalui proses dan mekanisme tersebut
fungsi keluarga akan menjadi nyata. Tanpa koping yang efektif, fungsi keluarga
tidak dapat dicapai secara adekuat. Koping yang efektif dapat membantu keluarga
dalam mengatasi stressor, sedangkan koping yang kurang efektif mengakibatkan
stressor tidak berkurang bahkan bertambah setiap harinya. Keluarga yang
memiliki regulasi emosi yang baik berpengaruh pada koping individu terhadap
masalah. Koping positif dipengaruhi oleh emosi-emosi yang positif, sementara
emosi-emosi negatif lahir dari koping yang tidak efektif (Lazaruz, dalam Hidayati,
2008).
Individu yang mampu menilai situasi, mengubah pikiran yang negatif dan
mengontrol emosinya akan memiliki koping yang positif terhadap masalahnya.
Pada proses koping yang berhasil maka akan terjadi proses adaptasi yang
meningkatkan kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi
kemungkinan stres selanjutnya. Sebaliknya bila terjadi kegagalan dalam proses
koping maka individu bersangkutan akan mengalami stres yang berkelanjutan,
yang termanifestasi dalam berbagai gangguan psikis dan fisik, seperti gangguan
kesehatan, dan masalah sosial lainnya (Gross & John, 2000, dalam Wade &
Tavris, 2007).
6
Berdasarkan penjelasan tentang latar belakang masalah, dapat diketahui bahwa
situasi di dalam keluarga dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita
skizofrenia yang juga berpengaruh pada resiko kekambuhan. Dengan kemampuan
orang tua dalam meregulasi emosi akan menumbuhkan koping stres adaptif, yang
pada akhirnya membawa penderita skizofrenia ke arah kualitas hidup yang lebih
baik, karena koping yang adaptif dapat mengontrol perilaku orang tua yang
mengakibatkan kekambuhan pada skizofrenia. Dengan demikian, peneliti memilih
tema penelitian “Penerapan Teknik Regulasi Emosi Terhadap Coping Stress
Orang Tua dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dengan Riwayat
Gangguan Skizofrenia”.
B. Tujuan Penelitian
C. Manfaat Penelitian
7
b. Bagi keluarga bahwa hasil penelitian dapat bermanfaat untuk meningkatkan
coping stress sehingga mengurangi terjadinya kekambuhan pada pasien
gangguandapat meningkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia.
c. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak
yang memerlukan.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan coping stress orang tua yang memiliki anak
dengan riwayat gangguan skizofrenia telah diteliti oleh beberapa peneliti,
diantaranya dapat dipaparkan dalam Tabel 1. seperti berikut :
8
Tabel 1. Keaslian Penelitian
No Judul Penelitian Subjek Hipotesis Alat Ukur Hasil Perbedaan Penelitian Sebelumnya
1 Hubungan antara 20 penderita Terdapat hubungan Skala strategi Semakin tinggi strategi Penelitian ini menggunakan metode
strategi koping skizofrenia antara strategi koping dengan 34 koping adaptif eksperimen untuk mengetahui
dengan kualitas koping dengan aitem dan skala penderita skizofrenia pengaruh pelatihan regulasi emosi
hidup pada penderita kualitas hidup pada kualitas hidup maka semakin inggi untuk meningkatkan koping adaptif
skizofrenia remisi penderita penderita kualitas hidup orang tua yang memiliki anak
simptom skizofrenia remisis skzofrenia dengan penderita, serta dengan gangguan jiwa skizofrenia
simptom 30 aitem. Disusun semakin rendah untuk meningkatkan kualitas hidup
oleh Diane Wild strategi koping adaptif penderita. Alat ukur yang digunakan
(2010) maka semakin rendah adalah SQL (schizoprenia quality of
pula kualitas hidup life) yang diberikan pada penderita
penderita. skizofrenia (anak) dan skala koping
stres yng diberikan pada orang tua
(subjek). Pada penelitian ini
menekankan pada peningkatan
kualitas hidup anak dengan
gangguan jiwa skizofrenia melalui
kemampuan orang tua dalam
meregulasi emosinya sehingga
mampu memilih strategi koping
yang sesuai ketika tertekan pada
waktu merawat anaknya yang
menderita ganggua jiwa skiofrenia.
2 Keefektifan 12 Orang tua Pelatihan Skala stres orang Terdapat penurunan Penelitian ini menggunakan orang
pelatihan siswa dengan ketrampilan tua menggunakan stres yang signifikan tua yang memiliki anak dengan
ketrampilan regulasi gangguan regulasi emosi parenting stress pada orang tua dengan riwayat gangguan skizofrenia
emosi terhadap ADHD. efektif menurunkan index dengan 60 anak ADHD, hipotesis sebagai subjek penelitian.
penurunan tingkat stres ibu yang aitem. diterima. Sedangkan target dari pelatihan
9
stres pada ibu yang memiliki anak ketrampilan regulasi emosi adalah
memiliki anak ADHD. untuk meningkatkan kemampuan
ADHD orang tua dalam koping yang
adaptif, supaya kualitas penderita
skizofrenia dapat meningkat. Skala
yang digunakan adalah skala koping
stres dan SQL (schizoprenia quality
of life)
3 Strategi koping Sampel 96 Keluarga dalam Ways of Coping Keluarga yang Subjek dalam penelitian ini adalah
keluarga dalam subjek merawat anggota The Revised merawat anggotanya orang tua yang memiliki anak
merawat anggota (orang tua di keluarga cenderung Version (Folkman yang menderita skizofrenia. Peneliti berfokus bukan
keluarga penderita dalam menggunakan salah and Lazarus, skizofrenia tidak pada tehnik koping apa yang
skizofrenia di keluarga satu tehnik koping 1984) dengan 13 terlalu signifikan digunakan, namun bertujuan untuk
instalasi rawat jalan dengan item yang antara membentuk koping adaptif melalui
RSJ Provinsi Jawa anggota mengungkap tehnik kecenderungan regulasi emosi orang tua.
Barat keluarga emotion focus penggunaan strategi pengukuran dalam penelitian ini
skizofrenia) coping dan problem koping tertentu menggunakan skala koping stres
focus coping. untuk mengukur kemampuan
koping orang tua dan SQL
(schizoprenia quality of life) untuk
mengukur kualitas hidup penderita
skizofrenia
4 Keefektifan 14 caregiver Ketrampilan Menggunakan skala Terdapat gain score Subjek dalam penelitian ini adalah
pelatihan pasien regulasi emosi FQ (Family yang signifikan antara orang tua yang memiliki anak
ketrampilan regulasi skizofrenia dapat menurunkan questionaire) untuk kelompok kontrol dan dengan gangguan skizofrenia,
emosi terhadap yang dibagi ekspresi emosi mengukur tingkat kelompok eksperimen, namun regulasi emosi digunakan
penurunan tingkat dalam dua caregiver pasien ekspresi emosi dengan kata lain untk membentuk koping adaptif
ekspresi emosi pada kelompok, skizofrenia caregiver perlakuan yang pada orang tua supaya dapat
caregiver pasien yaitu diberikan pada subjek membangun respon yang positif
skizofrenia di kelompok efektif pada anak dengan gangguan
Rumah Sakit Jiwa kontrol dan sizofrenia, sehingga ikut
10
Daerah Surakarta kelompok meningkatkan kualitas hidup
eksperimen penderita itu sendiri. Pengukuran
dalam penelitian ini menggunakan
skala koping stres untuk mengukur
kemampuan koping orang tua dan
SQL (schizoprenia quality of life)
untuk mengukur kualitas hidup
penderita skizofrenia
Efektifitas pelatihan Subjek Pelatihan regulasi - Pelatihan regulasi Karakteristik dalam penelitian
regulasi emosi untuk adalah ibu emosi dapat emosi mempengaruhi tersebut hampir sama dengan
meningkatkan dari anak meningkatkan tingkat penelitian yang akan dilakukan
resiliensi pada ibu autis resiliensi pada ibu resiliensi ibu yang peeliti, namun subjek yang dipilih
yang memiliki anak berjumlah 10 yang memiliki anak memiliki anak autis oleh peneliti adalah orang tua yang
autis dibagi dalam autis memiliki anak dengan gangguan
dua skizofrenia. Pelatihan regulasi emosi
kelompok. digunakan untuk membentuk koping
adaptif pada orang tua.
11
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan pada Tabel 1,
menunjukkan bahwa mekanisme koping stres keluarga khususnya orang tua
berpengaruh pada penurunan kekambuhan penderita skizofrenia yang mana dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia.
Penelitian yang telah disebutka pada tabel 1 memiliki perbedaan tema maupun
judul dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu dengan judul
“Penerapan Teknik Regulasi Emosi Terhadap Coping Stress Orang Tua dalam
Rangka Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dengan Riwayat Gangguan
Skizofrenia” belum pernah diteliti, sehingga judul penelitian tersebut dapat
dikatakan asli.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Coping Stres
1. Pengertian coping stress
Coping stress merupakan usaha perubahan kognitif dan perilaku secara
konstan sebagai respon yang dilalui individu dalam menghadapi situasi yang
mengancam dengan cara mengubah lingkungan atau situasi yang stresful
untuk menyelesaikan masalah (Farida, 1994). Coping stress sebagai proses
dimana individu mencoba mengelola jarak yang ada antara tuntutan-
tuntutan, baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang
berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang digunakan dalam
menghadapi situasi (Cohen, 1994) menjelaskan bahwa.
Lazarus (2005) mendefinisikan coping stress sebagai upaya yang
dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan pada tuntutan-tuntutan internal
maupun eksternal yang ditujukan untuk mengatur suatu keadaan penuh stres
dengan tujuan mengurangi distres. Selain itu Sarason (1999) mengartikan
coping stress sebagai cara untuk menghadapi stres, yang mempengaruhi
bagaimana seseorang mengidentifikasi dan mencoba untuk menyelesaikan
masalah. Lebih lanjut Stone (Putrianti, 2007) mengatakan bahwa coping
merupakan proses dinamik dari suatu pola perilaku atau pikiran-pikiran
seseorang yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan
dalam situasi yang menekan atau menegangkan sedangkan coping stress
merupakan suatu proses yang dinamis pada individu yang mengubah secara
konstan pikiran dan perilaku mereka dalam merespon perubahan-perubahan
dalam penilaian terhadap kondisi stres dan tuntutan-tuntutan dalam situasi
tersebut (Cheng, 2002).
Coping stress bereaksi terhadap tekanan yang berfungsi memecahkan,
mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan. Menurut
Pramadi (2003) coping stress diartikan sebagai respon yang bersifat perilaku
psikologis untuk mengurangi tekanan dan sifatnya dinamis. Coping
10
stressmerupakan upaya individu untuk mengatasi keadaan atau situasi yang
menekan, menantang, atau mengancam, yang berupa pikiran atau tindakan
dengan menggunakan sumber dalam dirinya maupun lingkungannya, yang
dilakukan secara sadar untuk meningkatkan perkembangan individu (Shinta
dalam Effendi, 1999).
Palpilia (2009) menyebutkan bahwa coping stress adalah cara berfikir atau
perilaku adaptif yang memiliki tujuan mengurangi stres dari kondisi
berbahaya, mengancam, dan menantang. Di sisi lain, coping stress adalah
respon perilaku dan fikiran sebagai jalan untuk memecahkan masalah agar
dapat beradaptasi dalam situasi menekan.
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian coping stress, maka dapat
disimpulkan bahwa coping stress adalah upaya yang dilakukan individu
secara dinamis untuk mengatasi tekanan psikofisiologis.
2. Bentuk-bentuk coping stress
Terdapat beberapa bentuk coping stress yang daapat digunakan oleh
individu untuk membantu menyelesaikan masalah, meliputi :
a. Koping berpusat pada masalah (ProblemFocused Coping)
Problem focus coping adalah usaha nyata berupa perilaku individu
untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan mengubah
kesulitan hubungan dengan lingkungan yang memerlukan adaptasi atau
dapat disebut pula perubahan eksternal (Lazarus, 1999). Strategi ini
membawa pengaruh pada individu, yaitu perubahan atau pertambahan
pengetahuan individu tentang masalah yang dihadapinya berikut dampak-
dampak dari masalah tersebut, sehingga individu mengetahui masalah
dan konsekuensi yang dihadapinya.
Problem focus coping merupakan respon yang berusaha
memodifikasi sumber stres dengan menghadapi situasi sebenarnya
(Pramadi, 2003). Problem focus coping merupakan coping stress yang
orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan
dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-kererampilan baru
dalam rangka mengurangi stres or yang dihadapi dan dirasakan. Lebih
11
lanjut menurut Lazarus (dalam Hapsari, 2002) coping stress yang
berpusat pada masalah, individu mengatasi stres dengan mempelajari
cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru. Individu cenderung
menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi.
12
Sementara emotion focus coping menurut Hapsari (2002)
merupakan pelarian dari masalah yaitu individu menghindari masalah
dengan cara berkhayal atau membayangkan seandainya dia berada pada
situasi yang menyenangkan. Bentuk-bentuk emotion focus coping oleh
Lazarus (Effendi, 1999) yaitu, identifikasi, represi, denial, proyeksi,
reaksi formasi, displacement, rasionalisasi.
13
Selain itu, Lazarus (1987) menambahkan bahwa terdapat aspek dalam
dua bentuk strategi coping, diantaranya adalah:
14
b) Minimalization (meringankan beban masalah).
Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan
cara menolak memikirkan masalah dan menganggap seakan-akan
masalah tersebut tidak ada dan menekan masalah menjadi seringan
mungkin.
c) Self blame (menyalahkan diri sendiri).
Perasaan menyesal, menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas
tekanan masalah yang terjadi atau strategi lainnya yang bersifat pasif
dan intropunitif yang ditujukan ke dalam diri sendiri.
d) Seeking meaning (mencari arti).
Usaha individu untuk mencari makna atau mencari hikmah dari
kegagalan yang dialami dan melihat hal-hal lain yang penting dalam
kehidupan.
15
menjelaskan bahwa usia dewasa madya lebih aktif dalam mencari
penyelesaian dan menilai stressor sebagai sesuatu yang dapat
dikendalikan.
b. Jenis kelamin
Pramadi dan Laksmono (2003) menyebutkan bahwa secara umum,
perempuan dan laki-laki menggunakan kedua bentuk coping, baik yang
berfokus pada masalah maupun yang berfokus pada emosi. Pada waktu
tertentu, perempuan sedikit lebih banyak yang menggunakan coping
terpusat pada emosi, sementara pria lebih berorientasi pada coping
berfokus masalah.
c. Dukungan sosial
Dukungan sosial berpengaruh dalam kemampuan individu untuk
melakukan coping terhadap stress (Smet, 1994). Pendapat tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Cohen dan McKay (Zimbardo & Gerrig,
1996), bahwa dukungan sosial adalah perantara dalam ketahanan
terhadap stress, yaitu keluarga, teman, teman kerja, dan tetangga dapat
memberikan dukungan. Dampak positif dari dukungan sosial adalah
membantu penyesuaian pada situasi stress, sehingga menjadi salah satu
sumber coping.
d. Tipe kepribadian
Karakteristik kepribadian merupakan suatu ciri atau sifat tertentu yang
menandai suatu tipe kepribadian. Karakteristik inilah yang membedakan
individu satu dengan yang lain dalam menghadapi pemasalahan. Hurlock
(1993)menjelaskan bahwa individu yang memiliki konsep diri yang
matang dan stabil akan mampu menerima dirinya dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
e. Tingkat pendidikan
Billing dan Moss (Sarafino, 1994), menjelaskan bahwa tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi kompleksitas pemikiran seseorang.
Hasil penelitiannya, ditemukan bahwa individu dengan tingkat
16
pendidikan yang tinggi akan lebih realistis dan aktif dalam memecahkan
masalah.
f. Pengalaman
Menurut Sarafino (1994) pengalaman merupakan kejadian yang pernah
dialami individu dan menjadi bahan pertimbangan dalam menghadapi
kejadian yang hampir sama, maka dari itu pengalaman masa lalu dapat
membantu seseorang untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu teori
belajar sosial (social lerning) dari Bandura menjelaskan bahwa dalam
sebuah pengalaman terdapat unsur proses belajar didalamnya, individu
akan mudah dan relatif singkat melakukan penyesuaian terhadap situasi
yang dihadapi apabila memiliki tingkat pengalaman yang tinggi dalam
situasi dan kondisi yang sama, begitu pula sebaliknya (Zimbardo &
Gerig, 1996).
g. Status sosial ekonomi
Pramadi dan Laksmono (Pramadi & Laksmono, 2003). Individu dengan
status sosial ekonomi yang lebih rendah akan menampilkan coping yang
kurang adaptif dibandingkan dengan individu yang status ekonominya
lebih tinggi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah
lebih banyak menggunakan coping yang berfokus pada emosi, sedangkan
individu dengan status ekonomi yang lebih tinggi cenderung
menggunakan coping yang berfokus pada masalah sesuai dengan
tingginya fasilitas yang dimiliki untuk mendukung pemecahan masalah.
h. Budaya
Budaya menurut Santrock (2003) berpengaruh dalam proses coping.
Budaya-budaya tertentu berpengaruh pada kemampuan masyarakatnya
untuk melakukan adaptasi pada situasi yang penuh tekanan, misalnya
kemampuan etnis minoritas di beberapa negara untuk tetap bertahan pada
situasi lingkungan yang penuh tekanan.
17
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi coping stress antara lain
perkembangan kognitif, yaitu bagaimana subjek berpikir dan memahami
kondisinya. Kematangan usia, yaitu bagaimana subjek mengelola emosi,
pikiran, dan perilakunya ketika menghadapi masalah. Faktor yang lain
adalah urutan kelahiran yaitu posisi subjek diantara saudara-saudaranya
berpengaruh terhadap karakteristik subjek dalam menilai dirinya sendiri,
serta moral yaitu bagaimana subjek memandang aturan tentang masalah
yang sedang dihadapi.
B. Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia yaitu gangguan psikotik berat yang ditandai oleh distorsi
berat atas realitas, menarik diri dari interaksi sosial, disorganisasi dan
fragmentasi persepsi, pikiran, dan emosi (Supratiknya, 1995). Bleuler (dalam
Supratiknya, 1995) menyebutnya skizofrenia atau ‘jiwa yang terbelah’, sebab
gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi
antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri ke dalam dan menjauh dari
realitas.
Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan bahwa skizofrenia
adalah gangguan psikotik menetap yang mencakup gangguan pada perilaku,
emosi, dan persepsi. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling
berhubungan dengan pandangan tentang gila atau sakit mental sehingga sering
sekali menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya
simpati dan perhatian. Sedangkan Durand dan David (2007) menguatkan
skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang merusak yang dapat melibatkan
gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi (halusinasi),
pembicaraan, emosi, dan perilaku.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat (Iman, 2006).
Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif dan gejala-gejala negatif.
Gejala-gejala positif yaitu bertambahnya kemunculan suatu tingkah laku dalam
kadar yang berlebihan dan menunjukkan penyimpangan dari fungsi psikologis
18
yang normal seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan
kognitif dan persepsi. Sedangkan gejala-gejala negatif yaitu penurunan
kemunculan suatu tingkah laku yang juga berarti penyimpangan dari fungsi
psikologis yang normal seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan),
berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang
datar, serta terganggunya relasi personal.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia
merupakan kekacauan parah yang melibatkan pemikiran dan perilaku sosial
yang abnormal, tingkat halusinasi yang terlalu tinggi sehingga tercipta
kejadian-kejadian aneh dalam pikiran, waham, bicara yang jelas
terdisorganisasi, menarik diri, serta adanya disfungsi sosial dan akademik.
2. Etiologi Skizofrenia pada Anak
a. Faktor Biologis
Skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga sebab keluarga
merupakan tingkat pertama dari orang-orang yang mengalami skizofrenia
yang memiliki sekitar sepuluh kali lipat risiko yang lebh besar untuk
mengalami skizofrenia (Erlenmeyer, dkk dalam Jeffrey, Spencer, dan
Beverly, 2003). Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut
menentukan timbulnya skizofrenia. Diperkirakan bahwa yang diturunkan
adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri)
melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah,
19
tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan
terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak (Maramis, 2009).
Sedangkan faktor genetik skizofrenia menurut Durand dan David
(2007) adalah adanya ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan
struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau kecelakaan
dalam proses persalinan, dan stressor psikologis.
b. Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari faktor psikososial sangat dipengaruhi oleh
faktor keluarga dan stressor psikososial. Penderita yang keluarganya
memiliki emosi ekspresi (EE) yang tinggi memiliki angka kekambuhan
lebih tinggi daripada penderita yang berasal dari keluarga berkspresi yang
rendah. EE didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive yaitu terlihat
berlebihan, kejam, kritis dan tidak mendukung pada anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Disamping itu, stress psikologis dan lingkungan
keluarga paling mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih
terkontrol (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003). Ventura, dkk (dalam
Durand dan David, 2007) menguatkan bahwa kejadian hidup yang
menimbulkan stres dapat meningkatkan depresi di kalangan penderita
skizofrenia, yang pada gilirannya mungkin memberikan kontribusi terhadap
terjadinya kekambuhan.
Zubin dan Spring (dalam Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003)
memformulasikan model diatesis-stres yang memandang bahwa gangguan
skizofrenia sebagai interaksi atau kombinasi dari diatesis, dalam bentuk
predisposisi genetis untuk berkembangnya gangguan, dengan stres
lingkungan yang melebihi ambang stres atau sumber-sumber coping
individu. Stresor lingkungan dapat mencakup faktor psikologis, seperti
konflik keluarga, perlakuan yang salah terhadap anak, deprivasi emosi, atau
kehilangan figur yang memberikan dukungan, seperti juga pengaruh
lingkungan fisik, seperti trauma atau luka otak pada masa anak-anak. Di sisi
lain, apabila stres lingkungan berada di bawah ambang stres individu,
20
skizofrenia mungkin tidak akan pernah berkembang, meskipun pada orang
yang memiliki risiko genetis untuk menderita gangguan skizofrenia.
Faktor-faktor Pelindung
Potensial
Gaya Komunikasi yang Sehat
dalam Keluarga, Lingkungan
Keluarga yang Mendukung,
Tingkat Stres yang Rendah dalam
Kehidupan
21
ketidaknormalan otak. Derajat yaitu keluarga mempersepsikan anggota-
anggota keluarga yang menderita skizofrenia memiliki kendali terhadap
gangguan penderita mungkin merupakan faktor kritis dalam hal berespons
terhadap anggota keluarga tersebut.
Iman (2006) menjelaskan bahwa penyebab anak skizofrenia atau akar
permasalahan munculnya gangguan skizofrenia pada anak adalah di dalam
keluarga. Akar permasalahan pada penderita skizofrenia terletak pada
adanya kekurangan atau gangguan pada holding environment atau potential
space (ruang psikologis) dan centered relating (membina hubungan yang
mendalam) dalam keluarga yang bersangkutan (Iman, 2006). Gangguan
psikologis atau psikopatologi terjadi karena individu berkembang dalam
ruang psikologis yang tidak memadai bagi berkembangnya pribadi yang
sehat. Seharusnya setiap anggota keluarga terhubungkan satu sama lain
dalam suatu matriks relasi yang kompleks. Ada suatu gangguan pada
matriks keluarga yang mengakibatkan para anggota keluarga tidak bisa
saling memberikan holding dan membina centered relating satu sama lain.
Sebabnya bisa bermacam-macam, seperti misalnya bila keluarga sebagai
suatu sistem yang menghadapi suatu stresor yang berat. Stresor yang
mengenai anggota keluarga akan berdampak pada seluruh anggota keluarga,
termasuk pasangan orang tua dan bayinya. Lebih buruk dampaknya bagi
sang anak bila orang tua sendiri yang mengalami stresor yang berat tersebut.
c. Faktor Sosiokultural
Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan bahwa penyebab
sosial dari skizofenia di setiap kultur berbeda tergantung dari bagaimana
penyakit mental diterima di dalam kultur, sifat peranan penderita,
tersedianya sistem pendukung sosial dan keluarga, serta kompleksitas
komunikasi sosial. Iyus (2008) menjelaskan bahwa kebudayaan secara
teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak
terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan
skizofrenia, biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala.
Kebudayaan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
22
seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam
kebudayaan tersebut (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003).
3. Penanganan Skizofrenia
Penanganan biasanya mencakup beberapa segi yaitu menggabungkan
pendekatan farmakologis, psikologis, dan rehabilitatif (Jeffrey, Spencer, dan
Beverly, 2003).
Maramis (2009) menjelaskan bahwa pengobatan pada penderita
skizofrenia harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran
mental. Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa lingkungan pendidikan
yang tepat untuk anak skizofrenia juga penting, karena defisit keterampilan
23
sosial, defisit atensi, dan kesulitan akademik sering menyertai skizofrenia pada
masa anak-anak.
Dari berbagai pendapat di atas maka penanganan pada penderita anak
yang mengalami skizofrenia sebagai berikut :
a. Farmakoterapi
Medikasi antipsikotik efektif untuk pengobatan pada anak-anak dan
remaja dengan skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 1997). Indikasi pemberian
obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama untuk mengendalikan
gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan.
Beberapa bentuk obat antipsikotik, seperti Haloperidol, Olanzapine,
Quetiapine, dan Risperidone dapat mengendalikan pola-pola perilaku yang
lebih ganjil, seperti halusinasi dan waham serta mengurangi risiko kambuh
yang berulang-ulang (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003).
b. Terapi Elektro-Konvulsi (TEK)
Seperti juga terapi konvulsi yang lain, cara kerja elektrokonvulsi belum
diketahui dengan jelas namun terapi komvulsi dapat memperpendek
serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan
tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.
c. Terapi-terapi berdasarkan belajar
Jeffrey, Spencer, dan Beverly (2003) menjelaskan bahwa intervensi
berdasarkan pembelajaran telah menunjukkan efektivitas dalam
memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu anak-anak yang
mengalami gangguan ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif
yang dapat membantu menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup
dalam komunitas. Metode terapi meliputi teknik-teknik seperti :
1) Reinforcement selektif terhadap perilaku, seperti memberikan perhatian
terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang aneh
dengan tidak lagi memberi perhatian.
2) Token ekonomi yaitu pada unit-unit perawatan di rumah sakit diberi
hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token, seperti kepingan plastik,
yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barang-barang atau
24
hak-hak istimewa yang diinginkan. Glynn, dkk (dalam Jeffrey, Spencer,
dan Beverly, 2003) menguatkan bahwa token ekonomi telah terbukti
lebih efektif dibandingkan perawatan lingkungan intensif dan perawatan
pengasuhan tradisional dalam meningkatan fungsi sosial dan mengurangi
perilaku psikotik pada penderita skizofrenia.
3) Pelatihan keterampilan sosial, penderita anak diajarkan keterampilan
untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain yang sesuai
melalui coaching (latihan yaitu terapis menggunakan tanda verbal
maupun nonverbal untuk memunculkan perilaku tertentu yang
diharapkan), modeling (mengamati terapis atau anggota kelompok
memperagakan perilaku yang diinginkan), latihan perilaku, dan umpan
balik, serta shaping (imbalan terhadap keberhasilan yang mendekati
perilaku sasaran). Pelatihan keterampilan sosial (social skills training
atau SST) mencakup program yang membantu individu memperoleh
sejumlah keterampilan sosial dan vokasional. Dalam penelitian Hunter,
dkkk (Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003) menunjukkan bahwa SST
meningkatkan keterampilan sosial dan fungsi adaptif dari penderita
skizofrenia dalam komunitas. Durand dan David (2007) menambahkan
bahwa keterampilan sosial dapat dilakukan dalam setting rumah sakit
atau masyarakat.
d. Rehabilitasi psikososial
Individu yang mengalami skizofrenia biasanya mengalami kesulitan
untuk berfungsi dalam peran-peran sosial. Sejumlah kelompok self-help
(biasa dikenal sebagai clubhouse) dan pusat rehabilitasi psikososial yang
lebih terstruktur lainnya telah muncul untuk membantu orang yang
mengalami skizofrenia untuk menemukan tempat di masyarakat (Jeffrey,
Spencer, dan Beverly, 2003).
e. Program Intervensi Keluarga
Konflik-konflik keluarga dan interaksi keluarga yang negatif dapat
menumpuk stres pada anggota keluarga yang mengalami skizofrenia,
meningkatkan risiko episode yang berulang. Marsh dan Johnson (dalam
25
Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003) menjelaskan keluarga berperan penting
dalam membantu anggota keluarga yang mengalami skizofrenia untuk
menyesuaikan diri dengan beban untuk merawat dan membantu penderita
dalam mengembangkan cara-cara yang lebih kooperatif dan tidak terlalu
konfrontatif dalam berhubungan dengan orang lain.
f. Terapi Psikodinamika
Terapi individual atau personal therapy (yang berpijak pada model
diatesis-stres) membantu penderita beradaptasi secara lebih efektif terhadap
stres dan membantu untuk membangun keterampilan sosial, seperti
mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Terapi personal
juga terbukti dapat mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi
sosial antara penderita skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo,
dkk dalam Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003)
g. Psikoterapi
Psikoterapi pada anak skizofrenik harus mempertimbangkan tingkat
perkembangan anak, yaitu harus terus menerus mendukung tes realitas anak
yang baik, dan harus termasuk dalam kepekaan pada rasa diri anak (Kaplan
dan Sadock, 1997)
Teknik terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavior Therapy) belakangan
dicoba pada penderita skizofrenia dengan hasil yang sangat baik dan
menjanjikan (Maramis, 2009)..
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul
kembali dengan orang lain, penderita lain, perawat, dan dokter. Terapi ini
bermaksud agar penderita skizofrenia tidak mengasingkan diri lagi, karena
bila penderita menarik diri dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik
sehingga dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama
(Maramis, 2009).
h. Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain yang diberikan secara intensif selama
kira-kira lima tahun tidak berhasil dan bila penderita sangat mengganggu
lingkungannya.
26
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua kebutuhan orang
yang menderita skizofrenia. Skizofrenia merupakan disabilitas sepanjang
hidup yang membutuhkan perawatan intervensi jangka panjang yang
menggabungkan pengobatan antipsikotik atau penanganan-penanganan
secara medis, terapi keluarga, terapi belajar, bentuk-bentuk terapi suportif
atau kognitif-behavioral, psikoterapi, terapi psikodinamika, pelatihan
vokasional, keterampilan sosial, dan pelayanan dukungan sosial. Coursey,
dkk (dalam Jeffrey, Spencer, dan Beverly, 2003) menguatkan bahwa
intervensi-intervensi tersebut seharusnya dikoordinasikan dan diintegrasikan
dalam model perawatan yang menyeluruh agar lebih efektif dalam
membantu individu meraih penyesuaian sosial secara maksimal.
27
dalam masyarakat juga akan membuat pasien skizofrenia suli melaksanakan
semua kontrol pribadi atas diri mereka sendiri, sehingga menghambat
pembentukan konsep diri, termasuk harga diri, rasa penguasaan dan self
efficacy (Ma et all, 2005; Vauth et all, 2007).
Penilaian kuailitas hidup skizofrenia juga membutuhkan bagian dari
penilaian kesehatan. Pasien dengan penyakit kronis membutuhkan penilaian
kualitas hidup untuk menentukan dampak penyakit tersebut terhadap kesehatan
ketika penyakit tersebut memiliki kemungkinan kecil untuk sembuh. Terdapat
beberapa kuesionair yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup
skizofrenia dengan tujuan yang hampir sama yaitu untuk menilai kualitas hidup
pada umumnya, kualitas hidup pada pasien psikiatri, serta khusus untuk
penderita skizofrenia misalnya SQLS (Schizoprenia Quality of Life Scale).
Aspek yang diungkap dalam skala tersebut meliputi fungsi fisik dan sosial,
hubungan interpersonal, keadaan kehidupan, hubunga dengan keluarga,
kesenangan, pekerjaan, keuangan dan keamanan, kesehatan, kepercayaan,
psikososial, motivasi atau tenaga, gejala atau efek samping, tidur dan istirahat,
makan, pengaturan rumah, ambulasi, mobilitas, dan lain-lain (Gee et all, 2003;
Safitri, 2010).
C. PelatihanRegulasi Emosi
1. Regulasi Emosi
a. Pengertian
Regulasi merupakan proses emosi yang dibangun oleh empat
kompnen lain dalam proses objek, penilaian, fisiologi, dan
kecenderungan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengendalikan
emosi seperti mengatur penilaian, mengatur dan meredam reaksi
fisiologis dan melakukan relaksasi (Hude, 2006). Secara etimologi, emosi
berasal dari bahasa latin E-Movere yang berarti bergerak, menggerakkan.
Awalan huruf e menambahkan arti bergerak menjauh, seperti halnya
emosi negatif merubah suasana hati untuk melakukan tindakan tertentu.
28
Hude (2006) menyebutkan bahwa emosi merupakan antisipasi,
kegembiraan, penerimaan, terkejut, takut, sedih, jijik, dan marah yang
digambarkan dalam sebuah siklus bersama dengan emosi lainnya yang
sangat beragam. Lazarus (Hude, 2006) menyebutkan bahwa emosi yang
terdapat pada individu meliputi anger, anxiety, fright, guilt, shame,
sadness, envy, jealousy, disgust, happiness, pride, relief, hope, love, dan
compasssion.
Setiap individu memiliki emosi yang beragam serta dapat dikendalikan.
Seseorang yang mampu mengendalikannya dapat mendatangkan
ketengangan dan kebahagiaan (Mappiare 2003). Kebahagiaan seseorang
dalam hidup bukan dikarenakan tidak adanya emosi dalam dirinya,
melainkan kebiasaannya memahami dan menguasai emosi tersebut.
Menurut Fridja (1986), pengendalian emosi juga bisa disebut dengan
regulasi emosi yaitu cara yang digunakan oleh seseorang untuk
menentukan emosi apa saja yang dirasakan, kapan emosi tersebut
dirasakan dan bagaimana mengeskpresikan serta mengetahui emosi
tersebut.
Thompson (2007) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses
intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab memonitor,
mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus
untuk mencapai tujuan. Moxon (2009) mendefinisikan regulasi emosi
sebagai suatu proses untuk menilai, mengatasi, mengelola dan
mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan
emosional. Gross dan Thompson (2007), regulasi emosi meliputi semua
kesadaran dan ketidaksadaran strategi yang digunakan untuk menaikkan,
memelihara, dan menurunkan satu atau lebih komponen dari respon
emosi. Komponen, perasaan, perilaku, dan respon-respon fisiologis,
proses regulasi emosi terjadi dua kali, yaitu pada awal tindakan
(antecedent-focused emotion regulation atau reappraisal). Regulasi awal
terdiri dari perubahan berpikir tentang situasi untuk menurunkan dampak
29
emosional, sedangkan regulasi akhir menghambat keluaran tanda-tanda
emosi.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
ketrampilan regulasi emosi merupakan ketrampilan yang dimiliki
seseorang untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi
emosional serta mengekspresikan emosi dan perasaan tersebut untuk
mencapai tujuan individu dalam kehidupan sehari-hari.
30
2006). Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam
masalah yang membebani, mampu terus berjuang ketika menghadapi
hambatan yang besar, dan tidak mudah putus asa serta kehilangan
harapan.
31
c. Bentuk-bentuk regulasi emosi
Garnefski, Kraaij, dan Spinhoven (2001) menyebutkan bahwa bentuk
strategi regulasi emosi ada sembilan, yaitu :
1) Self blame, adalah pola pikir menyalahkan diri sendiri atas peristiwa
kurang menyenangkan yang dialami. Contoh: “Saya pikir sayalah
patut untuk disalahkan”.
2) Acceptance, yaitu pola pikir menerima terhadap situasi yang
menimpanya. Contoh : “Saya pikir saya pantas menerimanya”.
3) Ruminationatau focus on thought, adalah pola pikir yang berpusat
pada pemikiran dan perasaan terhadap peristiwa negatif yang dialami.
Contoh : “Saya sering berfikir tentang apa yang saya fikir dan rasakan
tentang kesalahan tersebut”.
4) Positive refocusing, adalah pola pikir yang mana memilih
memikirkan hal yang menyenangkan dibandingkan memikirkan
permasalahan. Contoh : “Saya memikirkan hal-hal yang
menyenangkan di luar masalah yang saya hadapi”.
5) Refocus on planning, adalah pola pikir tentang apa yang akan
dilakukan dan bagaimana mengatasi permasalahan yang menimpa.
Contoh : “Saya memikirkan bagaimana saya harus bertindak untuk
menyelesaikan masalah ini”.
6) Positive reappraisal, adalah pemikiran mengenai manfaat atau hikmah
yang dapat diambil dari permasalahan. Contoh : “ Saya telah
mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari permasalahan ini”.
7) Putting into perspective, adalah pola pikir untuk tidak menganggap
serius permasalahan yang dihadapi. Contoh : “Saya pikir semua orang
pasti memiliki permasalahan”.
8) Catastrophizing, adalah pola pikir yang mana permasalahan
merupakan sesuatu yang sangat buruk. Contoh : “Saya berfikir bahwa
permasalahan yang saya hadapi lebih buruk dibandingkan orang lain”.
32
9) Blaming others, adalah pola pikir menyalahkan orang lain atas
permasalahan yang dialami. Contoh : “Saya pikir masalah ini datang
karena kesalahan mereka”.
33
(antecedent-focused emotion regulation/reappraisal) dan regulasi yang
terjadi pada akhir tindakan (response-focused emotion
regulation/suppression). Regulasi awal terdiri dari perubahan berpikir
tentang situasi untuk menurunkan dampak emosional, sedangkan regulasi
akhir menghambat keluaran tanda-tanda emosi.
Gross telah menjelaskan model proses regulasi emosi yang
terorganisir sesuai dengan posisi masing-masing dalam proses emosi itu
sendiri, sebagai cara berpikir alternatif dan mengklasifikasikannya ke
dalam strategi regulasi emosi (Kalat & Shiota, 2007). Lazaruz, Frijda,
dan MB. Arnold (Kalat & Shiota, 2007) menjelaskan teori proses model
regulasi emosi, yaitu:
1) Individu memasuki situasi tertentu
2) Individu memberikan perhatian pada aspek-aspek tertentu dari situasi,
daripada orang lain
3) Individu menafsirkan, atau menilai, aspek-aspek situasi dengan cara
yang memudahkan respons emosional
4) Individu mengalami emosi meledak penuh, termasuk perubahan
perubahan fisiologis, perilaku impuls, dan perasaan subjektif.
1) Kontrol regulasi
Kontrol regulasi merupakan proses pencapaian keseimbangan
emosional (emotional homeostasis). Keseimbangan emosional adalah
konseptualisasi masalah terhadap tujuan yang mencakup frekuensi
ide-ide, intensitas atau durasi pengalaman, ekpresi atau canel
fisiologis dari respon emosional. Apabila kontrol emosi dapat dicapai,
maka orang memasuki regulasi selanjutnya.
2) Regulasi awal
Regulasi awal dutujukan untuk mencapai keseimbangan
emosional. Jika regulasi awal tidak dapat dipelihara, maka terjadi
34
beberapa reaksi, salah satunya mencari atau menghindari, kemudian
memasuki tahap selanjutnya.
3) Eksplorasi regulasi
Eksplorasi regulasi adalah mencoba perilaku baru, melakukan
kegiatan-kegiatan dalam rangka mempelajari emosi-emosi, dan
keseimbangan emosional ini sebenarnya tidak pernah tercapai. Akan
tetapi, orang akan selalu berusaha mencapainya sehingga mereka akan
mencari cara baru untuk dapat terus mencapai keseimbangan
emosional.
35
Sluyter (1997) menunjukkan bahwa orangtua yang menganjurkan
anak-anaknya untuk mengekspresikan emosi dengan cara yang benar,
akan membentuk anak yang bersifat empatik dan lebih emosional
(Salovey & Sluyter, 1997).
2) Umur dan Jenis Kelamin
Selain itu juga ada umur dan jenis kelamin. Seorang gadis yang
berumur 7-17 tahun lebih dapat melupakan tentang emosi yang
menyakitkan daripada anak laki-laki yang juga seumur dengannya
(Salovey & Sluyter, 1997). Salovey dan Sluyter (1997) menyimpulkan
bahwa anak perempuan lebih banyak mencari dukungan dan
perlindungan dari orang lain untuk meregulasi emosi negatif mereka
sedangkan anak laki-laki menggunakan latihan fisik untuk meregulasi
emosi negatif mereka.
3) Hubungan Interpersonal
Salovey dan Sluyter (1997) juga mengemukakan bahwa hubungan
interpersonal dan individual juga mempengaruhi regulasi emosi.
Keduanya berhubungan dan saling mempengaruhi, sehingga emosi
meningkat bila individu yang ingin mencapai suatu tujuan berinteraksi
dengan lingkungan dan individu lainnya. Biasanya emosi positif
meningkat bila individu mencapai tujuannya dan emosi negatif
meningkat bila individu kesulitan dalam mencapai tujuannya. Faktor-
faktor lainnya menurut Salovey dan Sluyter (1997) adalah permainan
yang mereka mainkan, program televisi yang mereka tonton, dan
teman bermain mereka dapat mempengaruhi perkembangan regulasi
mereka.
36
menurut Karista (2005) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin
behubungan dengan perbedaan strategi regulasi emosi yang digunakan,
laki-laki desasa lebih banyak menyalahkan diri sendiri, sedangkan
perempuan dewasa lebih sering menyalahkan orang lain.
37
serta bagaimana emosi tersebut diekspresikan, sehingga peserta dapat
mengaplikasikannya untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi
yang dimiliki (Setyowati, 2010). Selain itu juga menggunakan konsep
ketrampilan regulasi emosi dari Greenberg berupa kemampuan individu
dalam mengelola emosi-emosi negatif maladaptif menjadi emosi yang
positif dan adaptif (dalam Hidayati, 2008).
38
Proses belajar dalam pelatihan ketrampilan regulasi emosi dilakukan
melalui beberapa tahapan yang telah dikemukakan oleh Boyett dan
Boyett (Ancok, 2003). Hal ini dilakukan agar setiap proses belajar dalam
pelatihan menjadi efektif. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:
1) Pembentukan pengalaman (experience)
Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau
permainan bersam dengan orang lain. Kegiatan atau permainan ini
adalah salah satu bentuk pemberian pengalaman secara langsung pada
peserta pelatihan. Pengalaman langsung tersebut akan dijadikan
wahana untuk menimbulkan pengalaman intelektual, pengalaman
emosional, dan pengalaman yang bersifat fisikal. Dengan adanya
pengalaman tersebut, setiap peserta siap untuk memasuki tahapan
kegiatan berikutnya yang disebut dengan tahapan pencarian makna
(debriefing).
2) Perenungan pengalaman (reflect)
Kegiatan refleksi bertujuan untuk memproses pengalaman yang
diperoleh dari kegiatan yang telah dilakukan. Setiap peserta dalam
tahapan ini melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang
dirasakan, secara intelektual, emosional, dan fisikal. Dalam tahapan
ini fasilitator berusaha untuk merangsang para peserta untuk
menyampaikan pengalaman pribadi masing-masing setelah terlibat di
dalam kegiatan tahapan pertama.
3) Pembentukan konsep (form concept)
Pada tahapan ini para peserta mencari makna dari pengalaman
intelektual, emosional, dan fisikal yang diperoleh dari keterlibatan
dalam kegiatan. Pengalaman apakah yang ditangkap dari suatu
permainan, dan apa arti permainan tersebut dalam bagian kehidupan
pribadi maupun dalam hubungnanya dengan orang lain.
39
Pada tahapan ini para peserta diajak untuk merenungkan dan
mendiskusikan sejauh mana konsep yang telah terbentuk di dalam tiga
tahapan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fasilitator
membantu para peserta dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan
yang menggiring peserta untuk melihat relevansi dari pengalaman
selama pelatihan dengan kegiatan di kehidupan sehari-hari.
40
9) Lebih mendukung, menerima, dan kepedulian lingkungan sosial
kebebasan seseorang adalah untuk bereksperimen dengan perilaku
sikap, dan teori tindakan yang baru.
10) Untuk perubahan dalam pola perilaku, sikap, dan teori tindakan
bersifat permanen, baik orang dan lingkungan sosial harus berubah.
11) Lebih mudah untuk mengubah tindakan seseorang teori, sikap, dan
pola perilaku dalam konteks kelompok daripada dalam konteks
individu.
12) Seseorang menerima sistem baru teori tindakan, sikap, dan pola
perilaku ketika ia menerima keanggotaan dalam kelompok baru.
41
6) peserta diberikan bagian-bagian untuk bermain. Peranan peserta adalah
menjelaskan situasi dan masing-masing peran mereka yang harus mereka
7) perankan dalam konteks hipotesis tersebut.
8) Simulations and Games. Simulasi dan game dapat membantu peserta
untuk menguji beberapa insting, dan perasaan peserta, untuk mengamati
perbedaan antara bagaimana pikiran peserta dan bagaimana sebenarnya
perilaku peserta pada situasi tersebut.
9) Metode pelatihan lainnya seperti sharing, menggunakan alat bantu video,
dan berlatih relaksasi dan bernafas sehat.
42
D. Pelatihan Regulasi Emosi untuk Meningkatkan Coping Stress
Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Riwayat Gangguan
Jiwa Skizofrenia
Keluarga juga merasa malu kepada orang lain karena perilaku keluarga yang
menderita skizofrenia kurang dapat dikendalikan serta terkadang berkata kasar
43
atau melakukan pelecehan. Hal tersebut menyebabkan keluarga mengalami
tekanan yang mengarahkan mereka pada keadaan stres. Kondisi yang kurang
menyenangkan tersebut akan mendorong individu mencari cara untuk mengurangi
stres. Apabila keluarga tidak berhasil menghadapi masalah atau stresor,
mengakibatkan gangguan psikofisiologis yaitu perubahan fungsi tubuh,
munculnya reaksi yang maladaptif, menjadi tidak bergairah, tidak bersemangat,
sehingga dapat mempengaruhi kesehatannya (Clercq dan Smet, 2005). Akibatnya
keluarga melakukan pengawasan yang lebih, memberikan kritikan, berlaku kasar,
bersikap keras, mengabaikan, memukul, bahkan memasung penderita skizofrenia
untuk mengatasi stres yang dialami. Perlakuan keluarga tersebut menunjukkan
kemampuan mengelola stres atau coping yang kurang baik (Itsnaini, 2006).
Menurut Kalat dan Shiota Kalat dan Shiota (2007), strategi regulasi emosi
dapat juga dianggap sebagai proses koping terhadap tekanan, selain itu juga dapat
digunakan sebagai coping ketika menghadapi permasalahan. Ketika seseorang
mengalami tekanan, ia akan mencari sumber permasalahan kemudian mencoba
menelaahnya untuk menemukan inti permasalahan. Selanjutnya memberikan
penilaian atau kajian ulang terhadap permasalahan yang dihadapi untuk
menentukan strategi emosional yang lebih sesuai. Berdasarkan penelitian Pratisti
44
(2012), regulasi emosi merupakan akhir dari proses coping. Ketika seseorang
menyelesaikan permasalahan, ia mencoba untuk menghadapi permasalahan
tersebut (problem focused coping), kemudian melakukan evaluasi masalah untuk
mebentuk strategi yang tepat (appraisal-focused coping), setelah itu diakhiri
dengan pasrah menerima keadaan (emotion focused coping).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Isen, Daubman, dan Nowicki (Manz,
2007), menyebutkan bahwa emosi-emosi positif bisa memberikan pengaruh
positif pada pemecahan masalah, sementara emosi-emosi negatif malah
menghambatnya. Emosi positif melibatkan atau memfungsikan mekanisme otak
yang lebih tinggi dan meningkatkan pemrosesan informasi dan memori, sementara
emosi negatif mengahalangi fungsi kognitif yang lebih tinggi tersebut. Individu
yang mempunyai regulasi emosi tinggi dapat mengetahui apa yang dirasakan,
dipikirkan dan apa yang menjadi latar belakang dalam melakukan suatu tindakan,
mampu untuk mengevaluasi emosi-emosi yang dialami sehingga bertindak secara
rasional bukan secara emosional, serta mampu untuk memodifikasi emosi yang
45
dialami sehingga dimungkinkan keluarga terhindar dari stres yang berkepanjangan
(Putnam, 2005).
46
Input (perilaku orang Proses ingtervensi regulasi Output (perubahan
tua sebelum intervensi) emosi setelah intervensi) Oucome
47
E. Hipotesis
48
BAB III
METODE PENELITIAN
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan
terikat, meliputi :
1. Pelatihan regulasi emosi adalah kegiatan yang terdiri dari delapan sesi
terapidengan target memberikan pengertian dan pengetahuan serta
keterampilan meliputi tiga hal yang disusun dalam modul pelatihan
regulasi emosi berdasarkan aspek-aspek regulasi emosi menurut Gross
(2009) dan Greenberg (2006), yaitu :
a. Keterampilan monitoring
b. Keterampilan evaluasi emosi
c. Keterampilan memodifikasi emosi
d. Mengekspresikan emosi
49
tiga kali pertemuan, yang mana setiap pertemuan dilakukan minimal tiga
sesi pelatihan.
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah kelompok orang tua berjumlah kurang
lebih 20 orang (10 kelompok kontrol dan 10 kelompok eksperimen), yang
memiliki anak gangguan skizofrenia yang menjalani perawatan di RSJD Surakarta
dengan kriteria sebagai berikut :
1. Orang tua yang memiliki anak sebagai pasien dengan kriteria sebagai berikut :
a. Anak didiagnosa mengalami gangguan skizofrenia 7-18 tahun sesuai
penjelasan tentang usia anak dalam perspektif hukum (≤18 tahun)
b. Anak memiliki riwayat gangguan skizofrenia
c. Anak memiliki gangguan skizofrenia yang pernah dirawat inap lebih dari
satu kali di RSJ atau sedang melakukan rawat jalan.
50
2. Orang tua adalah keluarga dari pasien, sebagai orang tua yaitu ayah maupun
ibusehingga mengetahui bagaimana perilaku pasien sejak kecil dan dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Orang tua berusia antara 45-50 tahun.
4. Pendidikan minimal SMP.
Teknik sampling untuk menentukan sampel dalam penelitian ini adalah teknik
Nonprobability sampling (Hadi, 2002). Individu tidak semuanya mendapat
peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel, dikarenakan
peneliti menentukan kriteria dalam pemilihan subjek penelitian.Anggota sampel
yang digunakan mengacu pada teknik purposive sampling yaitu menentukan
sampel dengan pertimbangan atau kriteria tertentu.
D. Rancangan Eksperimen
51
Subjek penelitian dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Kelompok kontrol maupun eksperimen memiliki ciri yang sama, kedua kelompok
tersebut mendapatkan pretest dan posttest, kemudian kelompok eksperimen
mendapatkan perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan
perlakuan.
Keterangan :
52
kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan diberikan post-test untuk mengukur
ketrampilan regulasi emosi orang tua. kemudian langkah selanjutnya adalah
melakukan follow-up pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen untuk
mengetahui efektifitas perlakuan yang dilaksanakan minimal 2 minggu setelah
pemberian pelatihan regulasi emosi pada orang tua (perlakuan). Pada akhirnya
anak dengan gangguan skizofrenia diberikan SQLS untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pelatihan regulasi emosi pada orang tua.
E. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Penentuan Partisipan
meningkatkan coping stress pada orang tua yang memiliki anak dengan
pasien rawat inap, mengantar pasien rawat jalan, ataupun yang sedang
orang tua pasien (ayah atau ibu) berusia kurang lebih 35-50 tahun dan
pasien sehari-hari serta memahami item-item dalam alat ukur. Selain orang
53
keluarga lainnya sebagai data sekunder untuk memperkuat data berkaitan
sendiri.
b. Alat Ukur
diterima subjek dan begitu pula sebaliknya. Berikut blue print skala
perilaku koping:
Nomor Aitem
Aspek Jumlah
No Favorable Unfavorable
Keaktifan Diri 1, 14, 26, 38 2, 15, 27, 39 8
1
Perencanaan 3, 16, 28, 40 4, 17, 29, 41 8
2
Kontrol Diri 5, 18, 30, 42 6, 31, 43 7
3
54
Mencari
Dukungan 7, 19, 32 8, 20, 33 6
4
Sosial
10, 21, 35,
Mengingkari 9, 34, 44 7
5 45
11, 22, 36,
Penerimaan 23, 47 6
6 46
12, 24, 37,
Religiusitas 13, 25 6
7 48
likert yang bergerak dari skor satu sampai dengan empat dengan sistem
Skoring
No. Pilihan Jawaban
Favorable Unfavorable
Sangat Tidak Sesuai
1 1 4
(STS)
2 Tidak Sesuai (TS) 2 3
3 Sesuai (S) 3 2
4 Sangat Sesuai (SS) 4 1
a) Reliabilitas
dengan kata lain alat ukur tersebut dapat dipercaya (Azwar, 2011).
55
Pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal
b) Validitas
ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud dikenakannya tes
56
perbedaan – perbedaan kecil yang ada pada atribut yang diukurnya
(Azwar, 2011).
c. Modul
1) Modifikasi Modul
57
pelatihan keterampilan regulasi emosi yang akan digunakan oleh
58
negatif dan
mencari solusi.
6. Trainer
merefleksikan
hasil diskusi dari
masing-masing
kelompok
II Kemampuan 1. Diskusi : setiap 1. Diskusi
Mengevaluasi memilah emosi kelompok diberi 2. Game
emosi negatif dan positif tugas untuk 3. Tes
mendiskusikan
jenis-jenis emosi
dan
mengklasifikasika
n positif dan
negatif
2. Role play : wakil
kelompok diberi
tugas untuk
mengekspresikan
emosi dan peserta
dari kelompok
lain diminta untuk
menyebutkan
jenis emosi dan
mengklasifikasika
n-nya
3. Trainer
merefleksikan
hasil diskusi
masing-masing
kelompok
4. Tes : Trainer
memberikan tes
selama 3 menit
1. Analisa kasus : 1. Analisa kasus
Memodifikasi III 1. Kemampuan setiap peserta 2. Game
emosi mengendalikan diberi tugas
emosi menuliskan
2. Kemampuan pengalaman
meningkatkan emosi yang
kepuasan hidup pernah dialami
sebanyak-
banyaknya di
papan tulis
2. Analisa kasus :
peserta yang lain
diberi tugas untuk
membantu
memberikan
59
solusi dari
permasalahan
peserta
3. Trainer
merefleksikan
permasalahan
yang dialami
peserta
4. Game :
5. Trainer
merefleksikan
hasil
6. Trainer
memberikan
evaluasi
sebagai berikut :
digunakan
60
3. Mengetahui kesesuaian urutan prosedur pelaksanaan dari setiap
sesi
61
dengan waktu kurang lebih 60-90 menit setiap pertemuannya. Pelaksanan
intervensi dapat dijelaskan dalam tabel 6.
62
menggunakan SQLS (Schizophrenia Quality of Life Scale) untuk melihat
perilaku pasien sebelum keluarga mendapat intervensi dan perubahan
perilaku pasien ke arah yang positif.
Penelitimelakukan follow-upkurang lebih 2-3 minggu setelah pemberian
intervensi. Penelitimemberikan skala perilaku koping dan wawancara untuk
mengetahui efektivitas pelatihan keterampilan regulasi emosi. Selain itu
peneliti juga melakukan follow upkepada pasien skizofrenia dengan
observasi dan wawancara menggunakan SQLS (Schizophrenia Quality of
Life Scale) untuk melihat perubahan perilaku pasien ke arah yang positif.
Berikut pelaksanaan follow-up yang akan dilaksanakan oleh peneliti
dipaparkan pada tabel 7.
Tabel 7. Pelaksanaan follow-up
Pretest Perlakuan Posttest Follow-up
Sebelum Selama 3 Setelah 2-3 minggu setelah
intervensi minggu intervensi intervensi
63
dilaksanakan satu kali setiap minggunya dan terdapat empat sampai dengan lima
langkah intervensi disetiap sesinya. Prosedur intervensi pelatihan regulasi emosi
sebagai berikut :
-Naskah
materi
“Menerima
64
Perasaan”
-Alat tulis
65
3. Evaluasi dan Follow-up.
Setelah melakukan intervensi, peneliti melakukan evaluasi yaitu dengan
melihat perubahan pada nilai total skala coping stres secara kuantitatif. Secara
kualitatif dapat diketahui melalui observasi dan wawancara yangdilakukan
kepada subjek penelitian.
Peneliti juga melakukan follow-up kepada subjek penelitian kurang lebih
dua ataupun tiga minggu setelah perlakuan diberikan, yaitu dengan
memberikan skala coping stres dan wawancara kepada orang tua anak dengan
gagguan skizofrenia, serta memberikan SQLS kepada anak dengan riwayat
gangguan skizofrenia untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan kualitas
hidup.
4. Kriteria Keberhasilan Intervensi
Keberhasilan intervensi yang dilakukan harus memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Terdapat peningkatan total skor skala coping stres nilai pretest dan nilai
postest.
b. Terdapat peningkatan total skor SQLS baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
c. Adanya perubahan perilaku orang tua dalam mengatasi tekanan psikis
yang diterima akibat kondisi anaknya yang mengalami gangguan
skizofrenia, hal tersebut dapat diketahui melalui observasi dan
wawancara. Selain itu, data pendukung kualitatif perubahan perilaku
strategi koping orang tua dapat diketahui berdasarkan indikator koping
stres adaptif.
66
a. Wawancara
Wawancara dilaksanakan sebagai data tambahan dalam melakukan
evaluasi dan dinamika yang terjadi sebelum, sesudah, dan selama pelatihan
serta sebagai alat ukur untuk mengungkap data kualitatif. Wawancara
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam
mengenai kondisi coping stress keluarga dan anggota keluarga lainnya
sesuai dengan aspek coping stress menurut Carver (Niam, 2009) meliputi
keaktifan diri, perencanaan, penerimaan, kontrol diri, mencari dukungan
sosial, mengingkari, dan religiusitas.
b. Observasi
Observasi dilakukan pada waktu pelatihan, selama, dan setelah
pelatihan. Hal tersebur dilakukan utuk mengetahui perilaku yang muncul
pada waktu pelatihan berlangsung maupun setelah pelatihan.
Penggunaan metode observasi bertujuan untuk mendeskripsikan
setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang
yang terlibat dalam aktivitas tersebut, dan makna kejadian dari perspektif
mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Observasi dalam
penelitian ini dengan menggunakan metode checklist. Proses observasi
dilakukan pada waktupelaksanaan intervensi dengan tujuan observasi agar
dapat mengetahui faktor penghambat dan pendukung keberhasilan terapi.
Selain ituperilaku koping sebelum intervensi dilaksanakan dengan tujuan
untuk melihat efektifitaskoping stres yang dilakukan anggota keluarga
berdasarkan aspek coping stress menurut carver (Niam, 2009).
2. Alat Penelitian
Dalam penelitian ini alat yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Informed Consent
Informed consentadalah lembar kesepakatan hak yang diterima dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh partisipan yang terlibat dalam
penelitian. Informed contsent diberikan sebelum pelaksanaan intervensi,
selanjutnya diisi oleh partisipan.
67
b. Lembar Evaluasi
Angket evaluasi pelatihan diberikan kepada subjek setelah pelatihan
keterampilan regulasi emosi dilakukan. Angket evauasi pelatihan tersebut
bersifat tertutup dengan tujuan mengetahui kelebihan dan kekurangan
pelatihan yang berlangsung secara objektif. Berikut blueprint angket
evaluasi pelatihan keterampilan regulasi emosi dapat dilihat dalam tabel :
Tabel 9. Rancangan Blueprint Angket Evaluasi Pelatihan Keterampilan
68
psikologis koping stres keluarga yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam
dan jurnal harian sebelum dan sesudah dilakukan terapi.
69
DAFTAR PUSTAKA
70
71
72
LAMPIRAN
73
Modul
Pertemuan I
Metode Pelatihan :
Metode yang digunakan untuk setiap tujuan instruksional khusus adalah sebagai
berikut:
TAHAPAN
NO SESI METODE YANG DIGUNAKAN
INTERVENSI
74
skizofrenia
SESI I OPENING
TIK Peserta memahami rangkaian pelatihan yang akan dilakukan.
Metode 1. Permainan perkenalan (Ice Breaking)
2. Menampilkan biodata fasilitator
3. Kontrak pelatihan regulasi emosi
Waktu 30 menit
ICE BREAKING
Tujuan 1. Membangun rapport
kegiatan 2. Mencairkan suasana untuk mengurangi rintangan psikologis dan sosial,
agar peserta dapat mengikuti proses pembelajaran dengan perasaan
nyaman, tanpa adanya beban psikologis dan sosial diantara sesama
peserta dan fasilitator.
3. Peserta dan fasilitator saling mengenal identitas masing-masing.
Prosedur 1. Seluruh peserta membuat lingkaran mengelilingi fasilitator
2. Masing-masing peserta dipersilahkan untuk memperkenalkan
dirinya serta tokoh wayang kesukaannya.
3. Fasilitator menunjuk salah seorang dengan cara dilempari bola
untuk menyebutkan nama tokoh wayang idola diri sendiri dan
teman di sebelah kanan serta kirinya.
4. Permainan ini dilakukan secara bergiliran.
5. Peserta yang tidak dapat menyebutkan nama dan tokoh wayang
kesukaan dari temannya dengan benar, peserta tersebut harus
memberikan hiburan kepada peserta yang laindi awal dan di
akhir permainan. (Boleh bernyanyi, menari atau melakukan teka-
teki).
Material 1. Membangun rapport
2. Mencairkan suasana untuk mengurangi rintangan psikologis dan sosial,
agar peserta dapat mengikuti proses pembelajaran dengan perasaan
nyaman, tanpa adanya beban psikologis dan sosial diantara sesama
peserta dan fasilitator.
75
3. Peserta dan fasilitator saling mengenal identitas masing-masing.
Diskusi 1. Seluruh peserta membuat lingkaran mengelilingi fasilitator
2. Masing-masing peserta dipersilahkan untuk memperkenalkan
dirinya serta tokoh wayang kesukaannya.
3. Fasilitator menunjuk salah seorang dengan cara dilempari bola
untuk menyebutkan nama tokoh wayang idola diri sendiri dan
teman di sebelah kanan serta kirinya.
4. Permainan ini dilakukan secara bergiliran.
5. Peserta yang tidak dapat menyebutkan nama dan tokoh wayang
kesukaan dari temannya dengan benar, peserta tersebut harus
memberikan hiburan kepada peserta yang laindi awal dan di
akhir permainan. (Boleh bernyanyi, menari atau melakukan teka-
teki).
Waktu 20 menit
Sumber Jefri Reza P
KONTRAK BELAJAR
Tujuan 1. Menampilkan biodata fasilitator
kegiatan 2. Membuat kesepakatan/kontrak tentang hal-hal yang ingin dicapai
dalam pelatihan
3. Membuat kesepakatan mengenai hal-hal yang tidak
diperkenankan dalam pelaksanaan pelatihan
Prosedur 1. Fasilitator menampilkan biodata fasilitator
2. Fasilitator menyampaikan informasi mengenai tujuan pelatihan.
3. Peserta diminta menuliskan lima permasalahan pribadi yang berkaitan
dengan kondisi perawat penderita skizofrenia yang dialamia saat ini.
4. Merumuskan permasalahan pribadi dalam kelompok menjadi masalah
bersama.
5. Menyampaikan hal-hal yang tidak diperkenankan selama pelaksanaan
pelatihan agar pelaksanaan pelatihan berjalan dengan maksimal. Hal-
hal tersebut antara lain :
a. Baik peserta maupun fasilitator ikut berpartisipasi penuh
b. Baik peserta maupun fasilitator saling “berbagi pengalaman”
c. Alat komunikasi (Handphone) harap disilent.
d. Tidak diperkenankan merokok
e. Tidak diperkenankan tidur
Material 1. Flipchart
2. Spidol
3. Laptop & LCD
Diskusi -
Waktu 10 menit
76
SESI II “KONDISI MERAWAT PENDERITA SKIZOFRENIA”
TIK 1. Peserta memperoleh informasi tambahan tentang kondisi stres
akibat merawat penderita skizofrenia.
Metode 1. Penayangan video (option: mendatangkan orang tua skizofrenia
dan menceritakan pengalamannya)
2. Sharing pengalaman sebagai perawat penderita skizofrenia di
keluarga antar peserta
Waktu 60 menit
PENAYANGAN VIDEO
Tujuan Peserta lebih mengetahui dan memahami kondisi stres akibat merawat
kegiatan penderita skizofrenia di dalam keluarga
Prosedur 1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan menayangkan sebuah video dan
peserta diminta untuk menyimak serta mendiskusikan video tersebut
2. Fasilitator menayangkan video
Diskusi 1. Fasilitator menanyakan apa yang dapat dilihat dan pendapat peserta
mengenai video yang ditayangkan
2. Fasilitator memfasilitasi peserta untuk berdiskusi mengenai kondisi
stres ketika merawat pasien skizofrenia dalam video tersebut
Material Video
Waktu 15 menit
77
SESI III MEMONITOR EMOSI
TIK Peserta menyadari keseluruhan proses yang terjadi dalam diri.
Metode 1. Mengisi Worksheet “ Situasi Merawat Penderita Skizofrenia”
dan Konferensi
2. Simulasi dan permainan “Emotions”
Waktu 60 menit
78
5. Tiap-tiap kelompok diminta untuk menempelkan kartu-kartu ekspresi
emosi yang sesuai pada lembar klasifikasi emosi negatif dan positif
yang disediakan
6. Perwakilan peserta mempresentasikan hasil diskusi kelompok
7. Fasilitator memberi nilai berdasarkan banyaknya kartu ekspresi emosi
yang diklasifikasi dengan tepat
8. Panitia memberikan hadiah kepada kelompok yang memiliki nilai
tertinggi
Material 1. Kartu-kartu ekspresi emosi
2. Kertas karton untuk klasifikasi emosi positif dan negatif
3. Double tip
4. Hadiah
Diskusi Melalui hasil klasifikasi emosi positif dan negatif, fasilitator mengarahkan
diskusi pada emosi-emosi yang biasa dialami oleh peserta termasuk emosi
yang positif dan negatif
Waktu 30 menit
Sumber Jefri Reza P
79
Referensi Rini Setyowati inspirated by Setia Asyanti, S.Psi, M.Si, Psi.
80
Modul
Pertemuan II
Peserta mampu mengelola emosi dalam menghadapi stres yang dialami oleh
orang tua akibat merawat anak dengan riwayat gangguan skizofrenia.
Metode Pelatihan :
TAHAPAN
NO SESI METODE YANG DIGUNAKAN
INTERVENSI
81
4. Sesi VI TAHAP 1 Communication activities
“Mengekspresikan
Emosi” TAHAP 2 Role Play
COMMUNICATION ACTIVITIES
Tujuan kegiatan Peserta mendapatkan informasi mengenai bagaimana cara
menerima perasaan
Prosedur 1. Fasilitator memberikan presentasi materi “Menerima
Perasaan”
2. Fasilitator memberikan kesempatan bertanya kepada
peserta berkaitan materi yang telah disampaikan.
Material 1. Laptop & LCD
2. Naskah materi “Menerima Perasaan”
3. Alat tulis
Diskusi Sesuai pertanyaan peserta yang muncul
Waktu 20 menit
Referensi Segal (2001) dan Manz (2007)
Prosedur 1. Fasilitator meminta peserta untuk memilih salah satu situasi pada
worksheet “situasi yang dihadapi ketika merawat penderita
skizofrenia” pada sesi emotions monitoring
2. Fasilitator memberikan selembar kertas, dan peserta diminta untuk
menuliskan mengenai apa yang sebaiknya peserta lakukan untuk
82
mengalihkan perhatian pada situasi yang dipilih tersebut agar tidak
terjadi perilaku tersebut
3. Fasilitator memfasilitasi peserta dalam mengerjakan tugas
Diskusi 1. Beberapa peserta mempresentasikan hasil studi kasus yang
dikerjakannya
2. Fasilitator meminta peserta yang lain memberikan pendapat terhadap
hasil studi kasus yang dipresentasikan
3. Fasilitator mengarahkan diskusi pada pengalihan perhatian yang tepat
terhadap situasi yang dihadapi oleh orang tua yang merawat anak
dengan riwayat gangguan skizofrenia
Material Alat tulis
Waktu 20 menit
COMMUNICATION ACTIVITIES
Tujuan Peserta memperoleh informasi bagaimana mengekspresikan emosi
kegiatan dengan tepat
Prosedur 1. Fasilitator memberikan presentasi materi “Mengekspresikan
Emosi”
2. Fasilitator memberikan kesempatan bertanya kepada peserta
83
berkaitan materi yang telah disampaikan.
Material 1. Laptop & LCD
3. Naskah materi “Mengekspresikan Emosi”
2. Alat tulis
Diskusi Sesuai pertanyaan peserta yang muncul
Waktu 20 menit
Referensi Rini Setyowati
ROLE PLAY
Tujuan Peserta dapat berlatih mengekspresikan emosi baik negatif maupun
kegiatan positif
Prosedur 5. Fasilitator membagikan selembar kertas dan amplop kepada masing-
masing peserta
6. Fasilitator menekankan bahwa role play ini harus dilakukan dengan
sesungguhnya dan sepenuh hati
7. Peserta diminta untuk membuat surat tertulis mengenai ucapan
terima kasih, permintaan maaf ataupun ungkapan perasaan lainnya
kepada seseorang
8. Fasilitator memfasilitasi peserta dalam menulis surat sesuai dengan
materi “Mengekspresikan Emosi
9. Peserta diminta untuk memasukkan surat tersebut dalam amplop
yang disediakan
10. Peserta juga diminta untuk menuliskan alamat
lengkap pada amplop tersebut
Material 1. Kertas untuk menulis surat
2. Amplop
3. Alat tulis
Diskusi 1. Fasilitator memfasilitasi mengenai kesulitan dalam menulis surat
2. Fasilitator menyerahkan hak sepenuhnya kepada peserta untuk
menyerahkan surat tersebut kepada seseorang yang bersangkutan
Waktu 40 menit
Referensi Rini Setyowati inspirated by Setia Asyanti, S.Psi, M.Si, Psi.
84
7. Peserta diminta menuliskan pengalaman-pengalaman emosi yang
dialami peserta setelah menjalani hari-hari seusai pelatihan
pertemuan II
Material 3. Lembar tugas rumah pelatihan pertemuan II
4. Alat tulis
Diskusi 1. Pada awal pelatihan pertemuan ke III, beberapa peserta diminta
untuk menceritakan pengalaman emosi yang dialaminya
2. Fasilitator memfasilitasi diskusi mengenai tugas rumah tersebut
Waktu
Referensi Rini Setyowati
85
Modul
Pertemuan III
Metode Pelatihan :
TAHAPAN
NO SESI METODE YANG DIGUNAKAN
INTERVENSI
86
Penutupan TAHAP 2 Kesan & Pesan
87
1. Peserta diminta berpasangan untuk mempraktekkan skenario yang
dibuat tersebut
2. Seorang peserta berperan sebagai orang tua yang merawat anak
dengan skizofrenia dan pasangannya berperan sebagai orang
terdekatnya.
3. Menggunakan skenario yang telah dirancang, seluruh peserta
melakukan role play berpasangan secara bergiliran dihadapan seluruh
peserta yang lain
Diskusi LATIHAN
4. Peserta diminta menceritakan pengalamannya.
5. Masing-masing peserta diminta menceritakan rancangannya
6. Hal yang dapat dipelajari dari pengalaman tersebut
ROLE PLAY
1. Peserta diminta menceritakan pengalamannya.
2. Hal yang dapat dipelajari dari pengalaman tersebut
Material Alat tulis
Waktu 40 menit
Sumber Rini Setyowati
88
KESAN & PESAN
Tujuan Fasilitator mengetahui masukan dari peserta mengenai evaluasi
kegiatan mengenai proses pelatihan pertemuan ketiga
Prosedur 7. Fasilitator membagikan lembar evaluasi proses kepada peserta
8. Peserta mengisi lembar evaluasi proses
9. Fasilitator menjelaskan bahwa setelah diadakan pelatihan ini akan
diberikan skala yang akan diisi oleh peserta pelatihan
Diskusi Perwakilan peserta mengemukakan evaluasi proses yang ditulis
Material 1. Lembar evaluasi proses
2. Alat tulis
Waktu 30 menit
89
MATERI PRESENTASI & KONFERENSI
SESI MENGEVALUASI EMOSI
MENERIMA PERASAAN
90
menghadapi perasaan dengan melihat pada situasi Anda secara realistis. Hal ini
akan membantu Anda lebih kuat dalam menghadapi perasaan meskipun
perasaan itu negatif atau menyakitkan.
2. Bicara dengan keluarga Anda. Dengan berbicara tentang perasaan Anda, Anda
bisa saling membantu mengungkapkan dan menerima perasaan-perasaan
dengan cara yang konstruktif. Berbicara dengan keluarga juga dapat saling
memberikan dukungan dan motivasi yang dapat membangun harga diri yang
positif.
3. Bicara dengan orang lain. Memendam perasaan Anda sendiri merupakan hal
yang kurang tepat. Berbicara dengan orang lain yang pernah berada dalam
situasi yang sama dengan Anda saat ini dapat memberikan motivasi dan Anda
tidak akan merasa sendirian.
4. Ambil istirahat. Pikirkan cara-cara untuk mengurangi tekanan emosional dan
stres yang Anda alami. Lakukan hal-hal yang menjadi hobi Anda.
5. Manfaatkan waktu Anda. Hindari membiasakan diri untuk tidur terlambat atau
menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Lakukan hal-hal yang positif,
seperti belajar, bekerja, melakukan hobi, melakukan kegiatan sosial dan
sebagainya. Hal ini akan membuat Anda merasa lebih produktif.
6. Evaluasi situasi Anda. Mengevaluasi situasi dapat dilakukan dengan menyadari
seperti apa situasi yang dihadapi, menganalisis sebab dan akibat situasi, dan
menentukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi situasi yang
Anda hadapi.
7. Mengenali kebutuhan untuk bantuan profesional. Berbicara atau berkonsultasi
dengan seorang psikolog profesional dapat membantu Anda melalui perasaan-
perasaan dan menemukan solusi atas permasalahan Anda.
91
Manz, Charles C. (2007). Manajemen Emosi. Yogyakarta: Think.
92
MATERI PRESENTASI & CUMMUNICATION ACTIVITIES
SESI MENGEKSPRESIKAN EMOSI
KEMAMPUAN MENGEKSPRESIKAN EMOSI
93
– Kesantunan, seperti mengucapkan dengan lembut kata ”maaf” terlebih
dahulu
– Cara mengungkapkan, seperti menyatakan alasan yang sebenarnya
berdasarkan fakta bukan berdasar sifat-sifat pribadi dan memberikan
masukan.
– Pemilihan kalimat
“Dengan emosi yang sangat dingin,kita menjadi tak punya rasa humor, kaku, strereotip;
dengan menekan emosi kita menjadi tidak imajinatif, terpenjara; dan merasa lebih baik
daripada orang lain, dengan menyalurkannya hidup menjadi indah, tidak menyalurkannya
hidup kita teracuni.”
``Joseph Collins
Sumber :
94
PEMBERIAN TUGAS PELATIHAN PERTEMUAN II
Tujuan 4. Fasilitator dapat memantau sejauhmana peserta
kegiatan mengaplikasikan ketrampilan yang dipelajari dari pelatihan
pertemuan kedua
Prosedur 8. Fasilitator memberikan lembar tugas rumah kepada peserta
9. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai cara mengisi
tugas rumah kepada peserta
10. Peserta diminta menuliskan pengalaman-
pengalaman emosi yang dialami peserta setelah menjalani
hari-hari seusai pelatihan pertemuan II
Material 5. Lembar tugas rumah pelatihan pertemuan II
6. Alat tulis
Diskusi 3. Pada awal pelatihan pertemuan ke III, beberapa peserta
diminta untuk menceritakan pengalaman emosi yang
dialaminya
4. Fasilitator memfasilitasi diskusi mengenai tugas rumah
tersebut
Waktu
Referensi Rini Setyowati
95
CATATAN HARIANKU
Nama :
Hari, tanggal :
1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................
96
2. ..........................................................................................................
3. ..........................................................................................................
Yang saya lakukan adalah :
1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................
1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................
97
Yang saya lakukan adalah :
1. .........................................................................................................
2. ..................................................................................................
1. ..........................................................................................................
2. ..................................................................................................
98
PEMBERIAN TUGAS PELATIHAN PERTEMUAN I
Tujuan 2. Fasilitator dapat memantau sejauhmana peserta
kegiatan mengaplikasikan ketrampilan yang dipelajari dari pelatihan
pertemuan pertama
Prosedur 7. Fasilitator memberikan lembar tugas rumah kepada peserta
8. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai tugas untuk
mewawancarai orang tua yang memiliki anak dengan gangguan
jiwa skizofrenia di lingkungan RSJD Surakarta
9. Fasilitator menekankan bahwa hasil dari wawancara akan
bermanfaat sebagai pembelajaran bagi peserta dalam
mengelola emosi.
10. Fasilitator memberikan penjelasan bahwa
peserta diminta untuk menuliskan identitas orang tua yang
memiliki anak dengan gangguan jiwa skizofrenia yang
diwawancarai pada lembar panduan wawancara.
11. Fasilitator memberikan penjelasan bahwa
pertanyaan wawancara yang dilakukan sesuai dengan panduan
wawancara yang diberikan. Peserta juga boleh mengembangkan
pertanyaan apabila diperlukan.
12. Peserta diminta menuliskan hasil
wawancara pada panduan wawancara tersebut.
Material 3. Lembar tugas rumah pelatihan pertemuan I
4. Alat tulis
Diskusi 3. Pada awal pelatihan pertemuan ke II, beberapa peserta diminta
untuk menceritakan hasil wawancara yang telah dilakukannya.
4. Fasilitator memfasilitasi diskusi mengenai tugas rumah tersebut
Waktu
Referensi Rini Setyowati inspirated by Setia Asyanti, S.Psi, M.Si, Psi.
99
Nama peserta :
Nama difabel yang diwawancarai :
1. Perkenalkan diri :
a. Selamat Pagi/Siang/Sore Pak/Bu/Mas/Mbak
b. Perkenalkan Pak/Bu/Mas/Mbak, nama saya ...... Saya adalah siswa
kelas A/B .......
c. Berkaitan dengan tugas yang saya peroleh, bolehkah saya
mewawancarai Pak/Bu/Mas/Mbak mengenai pengalaman
Pak/Bu/Mas/Mbak sebagai difabel?
d. Saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang Pak/Bu/Mas/Mbak
berikan kepada saya.
e. Baik, mari kita mulai untuk wawancaranya.
2. Sebelumnya maaf, sejak kapan Pak/Bu/Mas/Mbak menjadi difabel?
...............................................................................................................
......................................................................................................
3. Saat ini Pak/Bu/Mas/Mbak di BBRSBD sejak kapan? Sebagai apa?
...............................................................................................................
........................................................................................................
4. Emosi apa saja yang pernah Pak/Bu/Mas/Mbak alami selama menjadi
difabel? Boleh tolong diceritakan penyebabnya?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
100
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
6. Apa yang membuat Pak/Bu/Mas/Mbak menjadi bangkit dari
keterpurukan dan menjadi bersemangat kembali?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
........................................................................................................
7. Prestasi apa saja yang pernah Pak/Bu/Mas/Mbak raih selama menjadi
difabel?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
8. Untuk yang terakhir, pesan apa yang dapat Pak/Bu/Mas/Mbak berikan
untuk difabel yang lain, termasuk saya ini?
...............................................................................................................
...............................................................................................................
.......................................................................................................
9. Penutupan :
a. Baik, informasi dan pengalaman Pak/Bu/Mas/Mbak sangat bermanfaat
bagi saya yang saat ini masih belajar.
b. Saya ucapkan terimakasih atas waktu yang diberikan.
c. Selamat Pagi/Siang/Sore Pak/Bu/Mas/Mbak
101
WORKSHEET “SITUASI YANG DIHADAPI”
NO SITUASI PERASAAN SAYA PIKIRAN SAY
1. Contoh : 1. Sedih 1. Orang yang berada
Saat itu, anak saya yang menderita 2. Malu sekitar lingkungan t
skizofrenia sedang melakukan aktivitas 3. Benci kepada diri takut kepada anak s
sendiri 2. Orang yang berada
yang kurang wajar di lingkungan, seperti
4. Marah sekitar lingkungan t
berbicara sendiri, berteriak-teriak, marah- mengira bahwa say
marah, bahkan berjalan-jalan kesana memiliki anak yang
kemari tanpa tujuan. Orang-orang di 3. Ingin segera menga
sekitar anakku pun semua melihat ke saya ke dalam
arahnya. rumah/pulang
2. Saya menghadiri acara di lingkungan
rumah, saya duduk di salah satu meja dua
warga lainnya. Tiba-tiba salah seorang
warga tersebut mengajak temannya untuk
berpindah tempat duduk ke meja lain. Saya
sedikit mendengar bahwa orang tersebut
merasa terganggu dengan kedatangan
seseorang yang memiliki anggota keluarga
gangguan jiwa.
3. Pada waktu itu saya sangat sibuk bekerja.
Saya selalu merasa cemas ketika bekerja
karena mengingat kondisi anak saya yang
berada di rumah. Sepulang bekerja saya
merasa sangat lelah, namun saya
menyempatkan menyediakan air hangat
untuk anak saya agar segera digunakan
untuk mandi, namun justru anak saya
membuang air tersebut.
4.
102
5.
6.
103
STUDI KASUS DARI WORKSHEET SITUASI YANG DIHADAPI
Petunjuk mengerjakan :
1. Pilihlah salah satu situasi pada worksheet “situasi yang dihadapi ketika
merawat anak dengan gangguan skizofrenia” pada sesi emostions
monitoring
2. Fasilitator memberikan selembar kertas, dan peserta diminta untuk
menuliskan mengenai apa yang sebaiknya peserta lakukan untuk
mengalihkan perhatian pada situasi yang dipilih tersebut agar tidak terjadi
perilaku tersebut
104
4
105
NASKAH RELAKSASI
CLOSING SESION
Gagal dalam kemuliaan adalah lebih baik dari pada menang dalam
kehinaan. Orang yang sekali-sekali gagal tidak rugi selagi ia belum
berputus asa . Kalau sekali maksud belum tercapai janganlah patah
harapan.
-Lord Efebry-
106
ROLE PLAY SESI MEMODIFIKASI EMOSI
107
INSTRUKSI RELAKSASI DIAFRAGMA
SESI BERLATIH RELAKSASI
“...... nafas selalu di sini, tepat di bawah hidung kita. Anda berpendapat hanya merupakan
kebetulan bahwa kita menemukan kegunaannyadalam satu atau lain hal.”
``Jon Kabat-Zinn
Relaksasi yang akan diberikan dalam sesi ini merupakan relaksasi diafragma.
Diafragma adalah cekungan kuat, yang dibentuk otot-otot antara perut dan
dada.Pada saat mengambil napas ke dalam diafragma, kemudian keluarkan ke
arah bawah, ke luar dari dada, hal ini mengakibatkan otot-otot di perut terasa
rileks dan naik. Paru-paru melebar, dan hal ini membuat udara banyak yang
masuk.
Dengan latihan kira-kira 20 menit, akan berdampak pada perasaan dan energi
dalam tubuh kita.Dampak selanjutnya adalah: kita merasakan keseimbangan
sistem-sistem di mind-body-emotion.
108
9. Konsentrasikan penuh pada napas dan kata-kata magic” yang kita ciptakan.
10. Saat pikiran kita terasa “terbang/melayang”, silakan fokus kembali kepada
napas dan “kata-kata magic” kita.
Sumber :
109