Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Asma Bronkial

Kata Asma (Asthma) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang

berarti “terengah-engah” atau “sulit bernapas”. Lebih dari 2000 tahun lalu,

Hippocrates menggunakan kata Asma untuk menggambarkan sesak napas yang

episodik/berulang. Penyakit Asma menyebabkan pembengkakan dan penyempitan

saluran pernapasan yang membuat pasien susah bernapas.22

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit Asma, Asma

didefenisikan sebagai suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang

ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa

berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat

reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang

timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat

eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. 4

Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkial yang mempunyai ciri

bronkopasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas) terutama pada

percabangan trakeobronkial yang dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti

faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi. 23 Asma adalah suatu

penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka terhadap

berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. Akibat dari kepekaan yang

Universitas Sumatera Utara


berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran nafas secara menyeluruh. Asma

merupakan penyakit obstruksi kronik saluran napas yang bersifat reversibel baik

secara spontan maupun dengan pengobatan. Berbagai penyebab dapat mengubah

suatu keadaan Asma kronik menjadi akut bahkan memburuk.24

2.2 Anatomi dan Fisiologi Paru

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping

dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot

kuat. Paru-paru memiliki dua bagian yaitu paru-paru kanan (Pulmo dekster) yang

terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (Pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-

paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam

yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (Pleura visceralis) dan

selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk

disebut pleura luar (Pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus,

jaringan elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan,

tetapi ronga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya mempunyai epitelium

berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus terminalis bercabang-cabang lagi menjadi

bronkiolus respirasi, kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding duktus

alveolaris mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus.25

Pada pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen masuk

melalui hidung dan mulut, kemudian disalurkan melalui trakea dan pipa bronkial ke

alveoli. Oksigen yang masuk kemudian terikat dengan hemoglobin sel darah merah

setelah menembus membran alveoli-kapiler. Oksigen tersebut kemudian dibawa ke

jantung dan kemudian dipompa di dalam arteri ke seluruh bagian tubuh. Dalam paru-

Universitas Sumatera Utara


paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan metabolisme, menembus membran

alveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli, dan setelah melalui pipa bronkial dan

trakea, dikeluarkan melalui hidung dan mulut.26

Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner atau

pernapasan eksterna26:

a. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli

dengan darah luar.

b. Arus darah melalui paru-paru.

c. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam jumlah tepat

dapat mencapai semua bagian tubuh.

d. Difusi gas yang menembus membran pemisah alveoli dan kapiler.

2.3 Patofisiologi Asma Bronkial

Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus yang

menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas

bronkioulus terhadap benda-benda asing di udara. Pada Asma, antibody Ig E

umumnya melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru, yang

berhubungan erat dengan brokiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup

alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan

antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan

mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang

bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik, dan

bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema

Universitas Sumatera Utara


lokal pada dinding bronkioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen

bronkioulus dan spasme otot polos bronkiolus sehingga menyebabkan tahanan

saluran napas menjadi sangat meningkat.27

Pada Asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada

selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa

menekan bagian luar bronkiolus. Bronkiolus yang sudah tersumbat sebagian

selanjutnya akan mengalami obstruksi berat akibat dari tekanan eksternal. Penderita

Asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sulit

melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan

volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan Asma akibat

kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Keadaan ini bisa menyebabkan

terjadinya barrel chest.27

Gambar 2.1 Penyempitan Bronkiolus Pada Penderita Asma

Sumber : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Kementrian Kesehatan RI,

2007 6

Universitas Sumatera Utara


Penyempitan saluran napas yang terjadi pada Asma merupakan suatu hal yang

kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak

ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas, dan di bawah membran

basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain

yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel

epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit, dan monosit.6

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,

nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan

refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan

makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen

masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. 6

Ada 2 faktor yang berperan penting untuk terjadinya Asma, yaitu faktor

genetik dan faktor lingkungan. Beberapa proses terjadi Asma6:

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan

dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.

2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi belum tentu menjadi Asma. Apabila

seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer)

maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang

berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan

dengan hiperreaktivitas bronkus.

3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)

maka akan terjadi serangan Asma (mengi).

10

Universitas Sumatera Utara


Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut6:

2.4 Diagnosa Asma Bronkial

Diagnosa penyakit Asma Bronkial perlu dipikirkan bilamana ada gejala batuk

yang disertai dengan wheezing (mengi) yang karakteristik dan timbul secara episodik.

Gejala batuk terutama terjadi pada malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan

aktivitas fisik. Adanya riwayat penyakit atopik pada pasien atau keluarganya

memperkuat dugaan adanya penyakit Asma. Pada anak dan dewasa muda gejala

Asma sering terjadi akibat hiperaktivitas bronkus terhadap alergen, banyak

diantaranya dimulai dengan adanya eksim, rhinitis, konjungtivitis, atau urtikaria.

Penderita Asma yang tidak memberikan reaksi terhadap tes kulit maupun uji

provokasi bronkus, tetapi mendapat serangan Asma sesudah infeksi saluran napas,

disebut Asma Idiosinkrasi.28

Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa

tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis Asma didasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis Asma sering

11

Universitas Sumatera Utara


ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan

reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat

membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi

fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. 14

Berikut adalah beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis

Asma pada pasien7:

 Pemeriksaan Jasmani

Gejala Asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat

normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi

pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun

pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada

keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat

menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume

paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu

meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,

mengi, dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu

ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada

serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,

gelisah, sukar bicara, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu napas.

 Faal Paru

Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:

1. Obstruksi jalan napas

12

Universitas Sumatera Utara


2. Reversibiliti kelainan faal paru

3. Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas.

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah

diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri

dan arus puncak ekspirasi (APE).

2.5 Klasifikasi Asma Bronkial

2.5.1 Klasifikasi Berdasarkan Tipe Asma23

Tipe asma berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi alergi, idiopatik, dan

nonalergik atau campuran (mixed).

1. Asma Alergik/Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti

bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain. Alergen

terbanyak adalah airborne dan musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik

biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat

pengobatan eksim atau rinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan

serangan asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.

2. Idiopatik atau Nonalergik Asma/Intrinsik, tidak berhubungan secara langsung

dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran napas

atas, aktivitas, emosi/stress, dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan.

Beberapa agen farmakologi, seperti antagonis β-adrenergik dan bahan sulfat

(penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor penyebab. Serangan dari Asma

idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya

waktu dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya

dimulai ketika dewasa (>35 tahun).

13

Universitas Sumatera Utara


3. Asma campuran (Mixed Asma), merupakan bentuk Asma yang paling sering.

Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau

nonalergi.

2.5.2 Klasifikasi Berdasarkan Derajat Beratnya Asma

Tabel 1. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Beratnya Asma

Derajat Asma Gejala Gejala Malam


Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
* Gejala < 1x/minggu * VEP1 ≥ 80% nilai
* Tanpa gejala di luar prediksi
≤ 2 kali sebulan
serangan APE ≥ 80% nilai
* Serangan singkat terbaik
* Variabiliti APE <20%
II. Persisten Mingguan APE > 80%
Ringan * Gejala > 1x/minggu, * VEP1 ≥ 80% nilai
tetapi < 1x/ hari prediksi
* Serangan dapat > 2 kali sebulan APE ≥ 80% nilai
mengganggu aktivitas terbaik
dan tidur * Variabiliti APE 20-
30%
III. Persisten Harian APE 60 – 80%
Sedang * Gejala setiap hari * VEP1 60-80% nilai
* Serangan prediksi
mengganggu > 1x / APE 60-80% nilai
aktivitas dan tidur seminggu terbaik
*Membutuhkan * Variabiliti APE >30%
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten Kontinyu APE ≤ 60%
Berat * Gejala terus- * VEP1 ≤ 60% nilai
menerus prediksi
Sering
* Sering kambuh APE ≤ 60% nilai
* Aktivitas fisik terbaik
terbatas * Variabiliti APE >30%
7
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004

Keterangan : APE = Arus Puncak Ekspirasi

VEP = Volume Ekspirasi Paksa

14

Universitas Sumatera Utara


2.6 Epidemiologi Asma Bronkial

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi

Asma merupakan penyakit kronik yang umum di masyarakat dunia,

diperkirakan terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma

dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Prevalensi Asma lebih tinggi

pada kelompok usia anak-anak.9 Di Amerika, Asma menjadi penyebab ke-3 tertinggi

kesakitan pada anak usia dibawah 15 tahun. Terdapat 25,9 juta penduduk Amerika

yang menderita penyakit Asma dengan 7,1 juta diantaranya adalah kasus pada usia

anak-anak.29 Sementara itu, di Australia, 10% penduduk (sekitar 2 juta orang)

menderita Asma, 11% merupakan penduduk berusia di atas 75 tahun. Pada tahun

2007 tercatat 385 kematian akibat Asma di Australia, kemudian meningkat menjadi

449 kematian pada tahun 2008.30 Di New Zealand, dilaporkan 8% remaja mengalami

mengi dan 10% orang dewasa mengalami kesulitan bernapas. Pada tahun 2006,

tercatat 182 kematian akibat Asma di New Zealand.31 Di Inggris tercatat 5,4 juta

orang menjalani terapi Asma, 1,1 juta diantaranya merupakan pasien usia anak-

anak.32 Di Kanada, prevalensi Asma mencapai 8,5% pada tahun 2010. Prevalensi

Asma pada anak-anak di Kanada adalah 13%. Asma menjadi penyakit utama

penyebab kesakitan pada anak-anak di Kanada.33

Pada tahun 2009, tercatat ada 12,5 juta penderita Asma di Indonesia.34

Beberapa penelitian di kota-kota Indonesia menunjukkan prevalensi Asma yang

bervariasi, di Bandung 2,6%; Jakarta 16,4%; Yogyakarta 10,5%. Hasil penelitian

International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada anak

15

Universitas Sumatera Utara


berusia 13-14 tahun melaporkan prevalensi Asma di Indonesia sebesar 2,1% pada

tahun 1995, pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.15

2.6.2 Determinan

A. Host (Pejamu)

Ada beberapa faktor pada host (pejamu) yang merupakan determinan

serangan Asma, diantaranya:

 Genetik

Faktor genetik berperan pada penyakit Asma anak terutama bila ibu juga

menderita Asma.35 Asma dan penyakit alergi sering terjadi bersamaan pada

individu dalam satu keluarga. Prevalensi terjadinya Asma meningkat pada pasien

yang menderita Rinitis Alergi. Beberapa studi longitudinal menunjukkan

manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak usia kanak-kanak misalnya dermatitis

atopi dan alergi makanan yang terjadi saat bayi akan berlanjut dengan Asma

dan/atau Rinitis Alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30% anak-anak dengan

Dermatitis Atopi akan berkembang menjadi Asma di kemudian hari dan hampir

66% akan menjadi Rinitis Alergi.36 Berdasarkan hasil penelitian di Amerika

Serikat, 30-90% kasus Asma Bronkial memiliki gejala Rinitis Alergi

sebelumnya.37

 Jenis Kelamin

Pria merupakan risiko untuk Asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi

Asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi

menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa

menopause perempuan lebih banyak.14 Sibbald (1997) menulis bahwa prevalensi

16

Universitas Sumatera Utara


Asma pada anak atopik lebih banyak terjadi pada anak laki-laki, sementara itu

pada orang dewasa biasanya non-atopik dan rasio antara perempuan dan laki-laki

hampir sama. Von Matius, dkk (1999) dalam teorinya menyebutkan bahwa anak

laki-laki memiliki saluran napas yang lebih kecil dibandingkan ukuran paru. 38

Pada wanita, peningkatan kadar progesteron di masa kehamilan memberikan

pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2 yang

menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang disebut sebagai dispnea

selama kehamilan.39

 Usia

Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur

1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita Asma gejala pertamanya

muncul sebelum umur 4-5 tahun.40 Atopi (penyakit alergi) yang muncul pada usia

dini terutama dalam 3 tahun pertama kehidupan memiliki potensi untuk

berkembang menjadi Asma. Pemberian antibiotik dalam sebelum usia 1 tahun

merupakan risiko untuk terjadinya Asma di masa mendatang.17

 Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko

Asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat memengaruhi fungsi saluran napas

dan meningkatkan kemungkinan terjadinya Asma. Meskipun mekanismenya

belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan Asma, dapat

memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas, dan status kesehatan.14 Obesitas juga

dikaitkan dengan penurunan fungsi paru yang memungkinkan terjadinya Asma.

Obesitas menyebabkan penurunan sistem komplians paru, volume paru, dan

17

Universitas Sumatera Utara


diameter saluran napas perifer. Akibatnya, terjadi peningkatan hiperreaktivitas

saluran napas, perubahan volume darah pulmoner, dan gangguan fungsi ventilasi

perfusi. Penurunan sistem komplians paru pada obesitas disebabkan oleh

penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta peningkatan

volume darah paru.41

 Kebiasaan Merokok

Asap tembakau telah terbukti memicu timbulnya gejala Asma, terutama pada

anak. Individu lain yang menghirup asap rokok (perokok pasif) mendapatkan

racun yang lebih banyak dibandingkan dengan dengan pengguna rokok (perokok

aktif) dan mengalami iritasi pada mukosa sistem pernafasan.40 Ibu yang merokok

saat hamil akan melahirkan bayi prematur yang akan mempunyai ukuran paru

lebih kecil dan akan mempunyai faktor risiko mengi pada usia neonatus, di

samping itu asap rokok akan mengurangi fungsi paru bayi. Penelitian

membuktikan bahwa bayi prematur dari ibu perokok waktu hamil akan rentan

terhadap infeksi saluran napas disebabkan oleh virus, dan karena IgE tali pusat

bayi ini tinggi.35

 Infeksi Saluran Napas

Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus sudah lama diketahui

sebagai pencetus Asma yang paling sering ditemukan. Banyak kejadian Asma

muncul saat musim hujan dimana influenza banyak terjadi sehingga menyebar

dari satu anggota ke anggota keluarga lainnya, dimulai dengan batuk-batuk yang

kemudian diikuti dengan munculnya sesak napas sebagai bentuk gejala Asma. 14

Infeksi respiratory syncytial virus (RSV) sering menyebabkan bronkiolitis pada

18

Universitas Sumatera Utara


bayi usia 3-6 bulan. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan

berkembang menjadi Asma bila ditemukan antibodi RSV IgE spesifik dalam

sekret hidung.35

 Stres/Gangguan Emosi

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain itu juga

dapat memperberat serangan Asma yang sudah ada. Saat seseorang emosi dan

panik seringkali keluhan Asma muncul. Ekspresi yang ekstrim seperti tertawa,

menangis, marah, dan ketakutan dapat menyebabkan hiperventilasi dan

hipokapnia yang membuat saluran pernafasan menyempit sehingga penderita

terserang Asma kembali. Di samping gejala asma yang timbul harus segera

diobati, penderita Asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi

nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena apabila stresnya masih

belum teratasi, maka gejala Asmanya lebih sulit diobati. Suatu studi menyatakan

bahwa ibu hamil yang stres dapat menyebabkan risiko Asma pada anak.42

B. Lingkungan (Environment)

Faktor lingkungan memengaruhi individu dengan kencederungan Asma untuk

berkembang menjadi Asma, menyebabkan kekambuhan, dan atau menimbulkan

gejala Asma menetap.43 Beberapa faktor lingkungan yang dapat memengaruhi

kejadian Asma, diantaranya:

 Alergen

Terdiri atas:

1. Alergen dalam rumah/indoor, seperti tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,

serpihan kulit binatang, dan lain-lain.14

19

Universitas Sumatera Utara


2. Alergen luar rumah/outdoor, seperti serbuk sari dan spora jamur. 14

3. Alergen dalam bahan makanan, seperti susu, telur, udang, kepiting, ikan laut,

kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna

makanan. Terjadinya Asma bronkial akibat makanan tersebut dapat menyebabkan

bronkokonstriksi yang mengancam jiwa 3% - 8% penderita Asma. Selain

bronkokonstriksi penderita tersebut juga mengalami reaksi gastrointestinal, naso-

okuler, dermal, dan peningkatan ekskresi cysteinil leukotriene melalui urin.44

Alergi makanan kebanyakan dihubungkan dengan IgE spesifik yang dapat

diperiksa secara invitro (RAST) atau dengan uji kulit. Uji kulit negatif

mempunyai nilai prediktif yang tinggi dengan gejala klinik, sebaliknya uji kulit

mempunyai nilai prediksi positip sebesar 50%.35

4. Alergi terhadap obat, jenis obat-obatan tertentu dapat mencetuskan Asma.

Terdapat dua grup obat yang sangat penting untuk dihindari oleh penderita Asma,

yaitu grup obat beta blockers seperti propanolol, nadolol, bahkan obat beta

blockers yang bekerja lokal sekalipun seperti timolol ophtalmic solution. Grup

obat kedua adalah aspirin dan non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDS)

seperti ibuprofen, naproxen.14

 Polusi Udara

Polusi udara merupakan salah satu faktor pencetus yang harus diperhatikan oleh

penderita Asma. Polusi ini bisa berada outdoor seperti di sekitar tempat kerja dan

sekolah, maupun indoor. Polusi udara outdoor dapat berasal dari asap pabrik,

bengkel, pembakaran sisa atau sampah industry, serta gas buang yang berasal dari

knalpot mobil maupun motor. Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi

20

Universitas Sumatera Utara


bahan pencemar biologis (virus, bakteri, dan jamur), formaldehid, Volatile

Organic Compounds (VOC), dan Combustion Products (CO, NO2, SO2). Sumber

polutan VOC berasal dari penyemprotan serangga, cat, pembersih, komestik,

semprotan rambut (hairspray), deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang

disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan, dan pengencer (solvent) seperti

thinner. Sumber polutan formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan,

insulasi, furniture, dan karpet. Sedangkan sumber polutan Combustion Products

biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. 44

 Lingkungan Kerja

Asma merupakan salah satu penyakit akibat kerja yang paling sering pada saluran

pernapasan disamping rinitis. Di Indonesia belum ada data pasti tentang penyakit

Asma akibat kerja namun diperkirakan 2% dari seluruh penderita Asma di

Indonesia adalah Asma akibat kerja.45 Ada dua jenis Asma akibat kerja46:

1. Irritant-induced Occupational Asthma (sebelumnya dikenal sebagai Reactive

Airway Dysfunction Syndrome atau RADS)

2. Allergic Occupational Asthma. Ini adalah jenis Asma akibat kerja yang paling

sering terjadi.

 Exercise-induced Asthma

Latihan fisik atau exercise yang berlebihan seringkali menimbulkan Asma.

Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas

jasmani atau olahraga yang berat.14 Kegiatan olahraga menimbulkan peningkatan

kebutuhan oksigen. Hal ini menyebabkan meningkatnya tingkat frekuensi

pernafasaan yang pada gilirannya memicu terjadinya serangan Asma. Lari cepat

21

Universitas Sumatera Utara


paling sering menimbulkan serangan Asma. Serangan Asma karena aktivitas

biasanya terjadi segera setelah aktivitas tersebut selesai.44 Meskipun olahraga

merupakan salah satu pencetus yang efisien untuk menimbulkan serangan asma,

dalam batas-batas tertentu penderita asma dapat melakukan olahraga tanpa

menimbulkan bronkokonstriksi yang membahayakan sewaktu dan sesudah

olahraga. Pada penderita Asma, gerakan olahraga yang dapat meningkatkan

kekuatan otot pernafasan sangat penting sebab penderita asma kronis umumnya

mengalami penurunan kekuatan otot pernafasan.47

 Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering memengaruhi Asma.

Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan

Asma.44 Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim

hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).14

2.7 Pencegahan Asma Bronkial

Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah penderita

tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan Asma, pencegahan sekunder adalah

mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi Asma, dan

pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan/bermanifestasi klinis

Asma pada penderita yang sudah menderita Asma.7

2.7.1 Pencegahan Primer

Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan

perinatal merupakan periode dilakukannya pencegahan primer penyakit Asma.7

22

Universitas Sumatera Utara


 Periode prenatal

Kehamilan trimester kedua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen

(antigen presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi

alergen dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus. Konsentrasi alergen

yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi.

Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan sangat mungkin berhubungan dengan

terjadinya sensitisasi atau toleransi imunologis.7

Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu

hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan

makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu dan

fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk

dilakukan pada periode ini.7

 Periode postnatal

Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama

difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur, ikan,

kacang-kacangan. Sebagian besar studi mengenai hal tersebut menunjukkan hasil

yang inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut

yang paling lama menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi

alergen dengan dermatitis atopik. Tindak lanjut menunjukkan berkurangnya bahkan

hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan

bahwa upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung

oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko

menimbulkan gangguan tumbuh kembang.7

23

Universitas Sumatera Utara


Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko

dermatitis atopik pada anak, tetapi masih dibutuhkan studi lanjutan. Beberapa studi

terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin,

tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan

anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang

tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan

dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di kemudian hari.

Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi pencegahan primer

sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-

protein yang berfusi dengan alergen.7

Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada

kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun. Studi

lainnya menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi

perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok 4 kali lebih sering mendapatkan

gangguan mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Hanya sedikit bukti yang

mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi

alergen sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada

perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi,

tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya Asma alergi di kemudian hari. Pajanan

asap rokok lingkungan baik pada periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif)

memengaruhi timbulnya gangguan/penyakit dengan mengi.7

24

Universitas Sumatera Utara


2.7.2 Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah penderita yang sudah

tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi Asma. Mengurangi pajanan penderita

yang telah tersensitasi dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok,

menghindari asap rokok, lingkungan kerja yang berisiko, makanan, zat aditif, dan

obat-obatan dapat mencegah terjadinya Asma.14 Pengamatan pada Asma kerja

menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada penderita

yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah memiliki gejala Asma, menghasilkan

pengurangan/resolusi yang lebih menyeluruh dari gejala daripada jika pajanan

dibiarkan terus berlangsung.7 Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak

faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal

lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, obesitas, emosi-

stres dan berbagai faktor lainnya.14

Diagnosis dini Asma tidak selalu mudah untuk ditegakkan. Beberapa kriteria

diagnosis untuk Asma selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi umumnya

disepakati bahwa hiperreaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif yang

diperlukan untuk diagnosis Asma, termasuk untuk asma pada anak. Gejala klinis

utama Asma anak pada umumnya adalah mengi berulang dan sesak napas, tetapi pada

anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan satu-satunya gejala klinis yang

ditemukan. Biasanya batuk kronik itu berhubungan dengan infeksi saluran napas atas.

Selain itu harus dipikirkan pula kemungkinan Asma pada anak bila terdapat

penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik atau gejala batuk malam hari. 48

25

Universitas Sumatera Utara


Beta antagonis (β-adregenic agents) merupakan pengobatan awal yang

digunakan dalam penatalaksanaan penyakit Asma, dikarenakan obat ini bekerja

dengan cara mendilatasikan otot polos (vasodilator). Adregenic agent juga

meningkatkan pergerakan siliari, menurunkan mediator kimia anafilaksis, dan dapat

meningkatkan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid. Adregenik yang sering

digunakan antara lain epinefrin, albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetarin,

dan terbutalin. Biasanya obat ini diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan

inhalasi merupakan salah satu pilihan dikarenakan dapat memengaruhi secara

langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.23

2.7.3 Pencegahan Tersier

Pada tingkat ini yang dilakukan adalah mencegah terjadinya serangan Asma

yang dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Menghindari pajanan pencetus

akan memperbaiki kondisi Asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/obat. 7

Pemberian anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol

penyakit serta mencegah serangan, dikenal sebagai pengontrol. Bronkodilator

merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal

sebagai pelega. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan Asmanya

adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah

sebelum ke dokter.14 Pengobatan dini dengan kortikosteroid inhalasi (KI)

memungkinkan terjadi remisi, atau paling tidak memberikan perbaikan fungsi paru

yang lebih baik.49

26

Universitas Sumatera Utara


2.8 Penatalaksanaan Asma Bronkial

Penatalaksanaan Asma Bertujuan14:

a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala Asma, agar kualitas hidup meningkat,

b. Mencegah eksaserbasi akut,

c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin,

d. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya,

e. Menghindari efek samping obat,

f. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel, dan

g. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat.

Pada prinsipnya penatalaksanaan Asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan

yaitu14:

1. Penatalaksanaan Asma Akut

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera,

Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat.

Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting,

agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke

dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,

pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat

diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan

pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan

dalam pengobatan/tindakan.

27

Universitas Sumatera Utara


2. Penatalaksanaan Asma Kronik

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma

secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan

asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan

mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol,

Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi

eksaserbasi/serangan, dikenal sebagai pelega.

Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi, dan

perilaku yang memberi peluang sangat besar untuk dilakukannya upaya pencegahan,

kontrol, self-management, dan pengobatan Asma. Penatalaksanaan Asma yang baik

harus disokong oleh pengertian tentang peran genetik, alergen, polutan, infeksi virus,

dan psikologis pasien beserta keluarga. Pendidikan dan penjelasan tentang Asma pada

pasien dan keluarga merupakan unsur penting penatalaksanaan Asma. Perlu

penjelasan sederhana tentang proses penyakit, faktor risiko, penghindaran pencetus,

manfaat dan cara kontrol lingkungan, cara mengatasi serangan akut, pemakaian obat

dengan benar, serta hal lain yang semuanya bertujuan untuk meminimalkan

morbiditas fisis dan psikis serta mencegah disabilitas. Bila ditangani dengan baik

maka pasien Asma dapat memperoleh kualitas hidup yang sangat mendekati orang

sehat normal, dengan fungsi paru normal walaupun tetap menunjukkan saluran napas

yang hiperresponsif.48

28

Universitas Sumatera Utara


2.9 Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita Asma Bronkial


1. Sosiodemografi
 Umur
 Jenis Kelamin
 Agama
 Pekerjaan
 Pendidikan
 Status Perkawinan
 Daerah Asal
2. Faktor Pencetus
3. Riwayat Keluarga
4. Lama rawatan
5. Sumber biaya
6. Keadaan sewaktu pulang

29

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai