Anda di halaman 1dari 7

Indahnya Persahabatan

Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena
semua tersedia. Seperti Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu
diantar mobil mewah dengan supir pribadi.

Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat
ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas yang
datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak
yang betah kalau main di rumah Tyas.

Tyas sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu
kelurahan dengan rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Dwi tidak
main ke rumah Tyas.

“Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen.
Selalu datang.”

“Mungkin sakit!” jawab Mama.


“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya
bersemangat

Sudah tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka.
Kemudian Tyas menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat keterangan bahwa
Dwi sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Dwi di-PHK
dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya
mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.

“Oh, kasihan Dwi,” ucapnya dalam hati,


Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang
sekolah ia selalu murung.
“Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah
selalu tegar dan ceria!” Papa menegur
“Dwi, Pa.”
“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Tyas menggeleng.
“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.
“Dwi sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke
desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan
Tyas.
“Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Aku harap Papa bisa menolong Dwi!”
“Maksudmu?”
“Saya ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku!” Tyas memohon dengan agak
mendesak.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu!” kata Papa.
Dua hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia
merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga
Dwi. Kemudian Tyas bersama Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi rumahnya masih
masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut
orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi ketika bertemu dengan Tyas.
Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Dwi agak kaget dengan
kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Tyas
ingin berkunjung ke rumah Dwi di desa.

“Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”


“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa
kembali!”

Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada


orang tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan
kepada Dwi sendiri.

“Begini, Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke
Surabaya. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Wi,
apakah kamu mau?” Tanya Papa.

“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan
kamu saya yang akan menanggung.”

“Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya bersedia. Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”
Kemudian Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak mata Tyas
berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata
mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi tinggal di rumah Tyas.
Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat
nenek Dwi yang sudah tua.
Unsur Instrinsik :
• Tema : Persahabatan
• Tokoh : Tyas, Dwi, Papa Tyas, Dan Mama Tyas
• Watak :
 Tyas : Suka Menolong
 Dwi : Tidak Mau Membebani Orang Lain
 Papa Tyas : Baik Hati
 Mama Tyas : Peduli
• Alur : Maju
• Latar :
Tempat
 Rumah Dwi (Lama)
 Rumah Tyas
 Rumah Dwi (Di Desa).
Waktu
 Siang Hari
Suasana : Mengharukan
• Sudut pandang : Orang Pertama
• Amanat : Sebagai makluk tuhan kita harus saling tolong menolong Dan Berbagi kepada
sesama
Kehidupan
Aku memandang pada langit yang sudah kunjung menua. Bintang yang
bercahaya kelap-kelip mulai menghilang diselimuti kesunyian malam. Aku
berjalan langkah demi langka di lorong yang sepi nan gelap di malam hari.
Indahnya cahaya bulan pada malam ini. Hari ini sungguh hari yang sangat
melelahkan.

Konflik yang ku alami dengan orang tua dikarenakan tidak lulus sekolah.
Sekaligus hari ulang tahun yang gagal untuk di rayakan. Hadiah motor yang
ku dambakan, kini harus di kubur dalam-dalam karena aku tak lulus sekolah,
belum lagi adikku sungguh menyebalkan. Semua teman-temanku merayakan
kemenangan, sedangkan diriku?

Hari-hari yang keras mengisahkan cerita cinta yang teramat pedas.


Angin yang berhembus seakan menebarkan senyumku walaupun sakit di
dalam hari ini tetap mengiris. Sesekali aku mengusap air mataku yang jatuh
tanpa permisi. Sangat sakit yang kurasakan saat putus cinta. Rasanya
beberapa saat yang lalu, aku masih dapat mendengar kata-kata terakhirnya
yang telah merobek otakku.

“Sudahlah sana…Kejar saja keinginanmu itu! Kamu kira aku sudah tak
laku lagi, jadi hanya ini saja caramu, oke aku ikuti caramu…. Semoga kamu
tak menyesal telah menghianati cinta suci ini.”

Kata-kata tersebut sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang telah


sengaja ku matikan dikarenakan muak ku kepada dirinya.

Aku pun termenung di pinggir jalan, sembari memegang kepalaku yang


masih sakit.

“Selamat malam..?” Sorry mba sepertinya lagi sedih yah, boleh tidak aku
minta uangnya..”

Seorang pemabuk yang pada saat itu memegang botol bir di tangan kirinya
sembari berjalan yang tak beraturan. Ia pun mengeluarkan sebilah pisau lipat
dan hendak mengancamku. Aku hanya terdiam da tak berkata apa-apa
karena sedikit bingung. Akhirnya aku memberikan tas yang berada
disampingku kepadanya.

“Ini ambil semua…Aku tidak memerlukan ini semua, yang ku butuh hanyalah
kematian…! Aku pun segera melemparkan tas ke hadapannya yang di
sambut dengan senyum picik dan ia pun menghilang dari kegelapan malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan seorang diri menyusuri malam, berdiri
menatap air sungai yang mengalir dengan deras. Di sini di atas jembatan
yang tua. Angin yang sepoi-sepoi menyerang tubuh ini. Aku berdiri menatap
langit yang bertaburan bintang gemerlap.

Saat ini aku beranggapan bahwasanya tidak ada yang penting. Secara
perlahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas. Aku pun menutup
mata dan hanya beberapa senti saja aku akan jatuh. Aku perlahan
mengangkat kaki sebelah kanan dan…?

Tiba-tiba datang sosok pemabuk yang tadi menodongkan pisau kepadaku,


menarik baju ku serta menampar pipiku kuat dengan sangat keras.

“Ini uang serta tasmu….!! Aku tidak butuh…! Aku lebih baik mati kelaparan
dari pada melihat wanita yang lemah seperti dirimu” sosok pemabuk itu
menarik ku turun serta melemparkan tasku ke tanah.

Lalu ia pergi. Aku bangkit dan mengambil tas ku. Kemudian aku turun
menyusuri tangga. Sosok pria mabuk itu terlihat seperti seumuran denganku,
di sekujur tubuhnya penuh dengan tato dan tubuhnya sangat kurus. Ia berdiri
termenung di tangga sembari sesekali menatap langit dan mengusap air
matanya.

“Boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya namun ia hanya


terdiam membisu”. Aku pun berdiri di sampingnya menunggu hingga kapan ia
akan berdiri pergi dari sini.

“Kenapa kamu menamparku…?”

“Kenapa kamu menolongku…?”

Aku sudah tak memiliki arti lagi. Pria yang ku cintai selama bertahun-tahun
telah menuduhku dengan tuduhan yang tidak jelas.” aku memulai
pembicaraan.

Hatiku pun mulai bergejolak sembari sesekali menghapus air mata


seakan mengorek kembali luka yang telah sembuh. “Apa kamu akan terus
berdiam atau aku telah mengusikmu?. Aku memandangnya dan ia pun
kembali memandangku dengan tajam.

Aroma alkohol yang berasal dari mulutnya begitu jelas tercium saat ia bicara.

“Maafkan aku yang telah menamparmu. Sungguh aku meminta maaf karena
menurutku kamu terlalu lemah, masalah apapun yang kamu hadapi jangan
berhenti untuk bangkit, bukankah kita mengalami hal yang sama disetiap
harinya?.”

Pria mabuk itu mengulurkan tangannya, sehingga terlihat jelas ditangannya


tersebut hanya terdapat 2 jari yang utuh saja. Aku mulai merinding karena
sedikit takut kepadanya. Sehingga aku tidak membalas uluran tangannya.

“Kaget yah mba? Jari ku yang lain itu dipotong oleh preman yang lain
dikarenakan persaingan. Hidup di jalan memang seperti ini mba, suasananya
sangat dingin serta penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur pun saja itu
terasa sulut. Harus rela kedinginan dan digigit nyamuk.”

Pria itu pun menceritakan segala kesulitan hidupnya. Aku sadar


bahwasanya masih banyak orang yang lebih sulit dibandingkan dengan
kesulitan yang diriku hadapi. Aku pun mulai bangkit dari keterpurukan ini
untuk menjadikan hidupku lebih baik lagi. Tamat.
Unsur Instrinsik
1. Tema: Kehidupan / jangan mudah putus asa
2. Latar:
– Waktu : di malam hari
– Tempat: di pinggir jalan serta di atas jembatan
– Suasana: Sunyi sepi
3. Alur: Maju
4. Penokohan:
– Aku: Seorang yang selalu mengeluh, kurang bersyukur dan mudah
putus asa
– Pria Pemabuk: Kuat menghadapi segala permasalahan hidup dan
pemabuk
5. Sudut Pandang: Orang pertama sebagai pelaku utama.
6. Nilai:
– Nilai Kepedulian
– Nilai Perjuangan
– Nilai Moral
7. Amanat:
– Permasalahan apapun tidak boleh berhenti untuk bangkit.
– Kegagalan merupakan awal dari keberhasila.
– Hadapi setiap permasalahan, jangan lari dari masalah.
– Roda kehidupan itu berputar, terkadang manusia itu berada diatas
dan terkadang berada dibawah.
– Bersyukurlah atas setiap apa yang sudah dimiliki dan diberikan oleh
Allah SWT.
– Jangan mudah putus asa dalam menghadapi setiap masalah atau
kerasnya hidup.

Anda mungkin juga menyukai