Anda di halaman 1dari 39

DEC

11

Pendidikan Anak usia dini


Contoh Makalah Pendidikan Anak Usia Dini
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia
yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan
kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan.
Setiap anak dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Tak ada
satu pun yang luput dari Pengawasan dan Kepedulian-Nya. merupakan tugas orang tua dan
guru untuk dapat menemukan potensi tersebut. Syaratnya adalah penerimaan yang utuh
terhadap keadaan anak.
Dalam bidang pendidikan seorang anak dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat
dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai dengan Pemahaman mengenai karakteristik
anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan
proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara
intelektual, emosional dan sosial.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk
memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak
untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap
perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya.
Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan
(stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan
anak.

1.2 Tujuan pembuatan makalah


Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan
2. Melatih mahasiswa untuk dapat mengembangkan keterampilan yang
dimilikinya.
3. Melatih mahasiswa dalam pengalaman langsung atau tidak langsung dalam
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi
pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam
yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama
pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi
anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini mulai
lahir sampai baligh (kalau perempuan ditandai menstruasi sedangkan laki-laki sudah mimpi
sampai mengeluarkan air mani) adalah tanggung jawab sepenuhnya orang tua. Menurut
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 butir
14, pendidikan anak usia dini didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi,
sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
 Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang
tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki
kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi
kehidupan di masa dewasa.
 Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar
(akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-
6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di
beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
 Infant (0-1 tahun)
 Toddler (2-3 tahun)
 Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
 Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)
Hal-hal yang harus dipahami dalam Karakteristik Anak Usia Dini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan
hidupnya.
2. Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada
anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
3. Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan
kebutuhannya.
4. Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
5. Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan
kemampuannya.
fisik dan psikologis ( hall & lindzey, 1993).
Adapun pentingnya pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah sebagai
berikut:
1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat
fundamental.
2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak
selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.
3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar,
etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya.
4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka
tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni
mencapai 80% perkembangan otak.
5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan
layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan
di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang
memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup
selanjutnya.
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan Komitmen Dunia seperti yang tertera dalam
kutipan sebagai berikut:
 Komitmen Jomtien Thailand (1990)
’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’
 Deklarasi Dakkar (2000)
’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara
komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’
 Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)
‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’

2.2 Landasan Yuridis Tentang PAUD


1. Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa.’
1. Amandemen UUD 1945 pasal 28 C
’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’
3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)
’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’
4. UU No 20/2003 pasal 28
1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non
formal, dan/atau informal.
3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak
(TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain
(KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan
yang diselenggarakan oleh lingkungan.

2.3 Perkembangan Anak


Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih berada dalam
rentang usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan dalam keluarga maupun di
lembaga pendidikan formal haruslah kental dengan nuansa pendidikan anak usia dini, yakni
dengan mengutamakan konsep belajar melalui bermain. Perkembangan anak sebagai
perubahan psikologis menurut Kartini Kartono ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses
belajar dalam fase tertentu.
Nana Syaodah Sukmadinata mengemukakan ada tiga pendekatan perkembangan
individu, yaitu Pendekatan Pentahapan, diferensial dan isaptif. Khususnya pada pendekatan
isaptif pada perkembangan anak mencakup perkembangan psikososial, perkembangan
motorik, perkembangan kognitif, perkembangan sosial, perkembangan bahasa, perkembangan
moral dan perkembangan emosional.
tahapan perkembangan psikososial anak menurut Erik Erikson dalam Malcolm
Knowles adalah sebagai berikut:
 Tahap kepercayaan dan ketidak percayaan (trust versus misstrust), yaitu tahap psikososial yang
terjadi selama tahun pertama kehidupan. Pada tahap ini,bayi mengalami konflik anatara
percaya dan tidak percaya. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah
kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan.
 Tahap otonomi dengan rasa malu dan ragu (autonomi versus shame and doubt), yaitu tahap
kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru pandai
berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan
bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri
atau atonomi mereka dan menyadari kemauan mereka. Jika orangtua cenderung menuntut
terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan
mengalami rasa malu dan ragu-ragu.
 Tahap prakarsa dan rasa bersalah (initiatif versus guilt), yaitu tahap perkembangan psikososial
ketiga yang berlangsung selama tahun pra sekolah. Pada tahap ini anak terlihat sangat aktif,
suka berlari, berkelahi, memanjat-manjat, dan suka menantang lingkungannya. Dengan
menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri.
Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak
dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan
inisiatif semakin kuat. Sebaliknya, bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka
memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan yang
dilakukan anak tidak bermanfaat maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk
mengambil inisiatif mendekati apa yang diinginkannya.
 Tahap kerajinan dan rasa rendah diri (industry versus inferiority),yaitu perkembangan yang
berada langsung kira-kira tahun sekolah dasar. Pada tahap ini, anak mulai memasuki dunia
yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi
mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.perasaan anak akan
timbul rendah diri apabila tidak bisa menguasai keterampilan yang diberikan disekolah.
 Tahap identitas dan kekacauan identitas (identity versus identity confusion), yaitu
perkembangan yang berlangsung selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap ini, anak
dihadapkan pada pencarian jati diri. Ia mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya
sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti
ditengah masyarakat baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun memperbaharui.
Apabila anak mengalami krisis dari masa anak kemasa remaja maka akan menimbulkan
kekacauan identitas yang mengakibatkan perasaan anak yang hampa dan bimbang.
 Tahap keintiman dan isolasi (intimacy versus isolation), yaitu perkembangan yang dialami
pada masa dewasa. Pada masa ini adalah membentuk relasi intim dengan oranglain. Menurut
erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada
hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya selama tahap
ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan
oranglain kecuali dalam lingkup yang amat terbatas.
 Tahap generativitas dan stagnasi (generativity versus stagnation), yaitu perkembangan yang
dialami selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian
terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, produk, ide-ide, dan sebagainya) serta pembentukan
dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas tidak
diungkapkan dan lemah maka kepribadian akan mundul mengalami pemiskinan dan stagnasi.
 Tahap integritas dan keputusasaan (integrity versus despair), yaitu perkembangan selama akhir
masa dewasa. Integritas terjadi ketika seorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya
menoleh kebelakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini,
menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya, merasa
aman dan tentram, serta menikmati hidup sebagai yang berharga dan layak. Akan tetapi, bagi
orangtua yang dihantui perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai
makna ataupun memberikan kepuasan pada dirinya maka ia akan merasa putus asa.

Perkembangan Kognitif Anak Menurut PIAGET tahapan perkembangan ini dibagi


dalam 4 tahap yaitu sebagai berikut:
1. Sensori Motor (usia 0-2 tahun)
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh
keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya.
Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah
'menangis'.
Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan
menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak
(panggung boneka akan sangat membantu).

2. Pra-operasional (usia 2-7 tahun)


Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat
dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang
di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi,
namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis - rumit.
Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.

3. Operasional Kongkrit (usia 7-11 tahun)


Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan
aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang
sistematis.
Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa.
Misalnya: Analogi 'hidup kekal' - diangkat menjadi anak-anak Tuhan dengan konsep keluarga
yang mampu mereka pahami.

4. Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas)


Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah
mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu
menggunakan alat peraga.
Namun kesulitan baru yang dihadapi guru adalah harus menyediakan waktu untuk dapat
memahami pergumulan yang sedang mereka hadapi ketika memasuki usia pubertas.

Pada umumnya dalam perkembangan Emosional seorang anak terdapat empat kunci
utama emosi pada anak yaitu :
1. perasaan marah
perasaan ini akan muncul ketika anak terkadang merasa tidak nyaman dengan lingkungannya
atau ada sesuatu yang mengganggunya. Kemarahan pun akan dikeluarkan anak ketika merasa
lelah atau dalam keadaan sakit. Begitu punketika kemauannya tidak diturutioleh orangtuanya,
terkadang timbulrasa marah pada sianak.
2. perasaan takut
rasa takut ini di rasakan anak semenjak bayi. Ketika bayi merekatakut akan suara-suara yang
gaduh atau rebut. Ketika menginjak masa anak-anak, perasaan takut mereka muncul apabila di
sekelilingnya gelap. Mereka pu mulai berfantasi dengan adanya hantu, monster dan mahluk-
mahluk yang menyeramkan lainnya.
3. perasaan gembira
perasaan gembira ini tentu saja muncul ketika anak merasa senang akan sesuatu. Contohnya
ketika anakdiberi hadiaholeh orang tuanya, ketika anak juara dalam mengikuti suatu lomba,
atau ketika anak dapat melakukan apa yang diperintahkan orang tuanya. Banyak hal yang dapat
membuat anak merasa gembira.
4. rasa humor
Tertawa merupakan hal yang sangat universal. Anak lebih banyak tertawa di bandingkan orang
dewasa. Anak akan tertawa ketika melihat sesuatu yang lucu.
Keempat perasaan itu merupakan emosi negative dan positif. Perasaan marah dan
ketakutan merupakan sikap emosi yang negative sedangkan perasaan gembira dan rasa lucu
atau humor merupakan sikap emosi yang positif.
Menurut Kohlberg Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam
interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral).
Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya),
anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah
laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
2.4 peranan keluarga
Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap
anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar-dasar kepribadian anak dibangun. Anak
dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang
Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang
didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia
diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap
saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi
kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya,
potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.
Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa depan
perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan pendidikan sudah dimulai semenjak
masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah bisa menangkap dan
merespons apa-apa yang dikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum ibu.
Tidak heran kemudian apabila anak yang dibesarkan dalam situasi dan kondisi yang
kurang membaik semasa masih dalam kandungan berpengaruh terhadap kecerdasan anak
ketika lahir. Dengan demikian, pihak keluarga sejatinya banyak mengetahui perkembangan-
perkembangan anak. Pada saat anak masih dalam kandungan, pihak orang tua harus lebih
memperbanyak perkataan, perbuatan, dan tindakan-tindakan yang lebih edukatif.
Ketika anak itu sudah lahir, maka tantangan terberat adalah bagaimana orang tua dapat
mengasihi dan menyayangi anak sesuai dengan dunianya. Poin yang kedua ini ketika anak-
anak (usia bayi hingga dua tahun) mempunyai tahap perkembangan yang cukup potensial.
Anak-anak mempunyai imajinasi dengan dunianya yang bisa membuahkan kreativitas
dan produktivitas pada masa depannya. Tapi, pada fase-fase tertentu banyak orang tua tidak
memberikan kebebasan untuk berekspresi, bermain, dan bertingkah laku sesuai dengan
imajinasinya. Banyak orang tua yang terjebak pada pembuatan peraturan yang ketat. Ini
memang tujuannya untuk kebaikan anak.
Pengekangan dan pengarahan menurut orang tua tidak baik untuk
memompa kecerdasan dan kreativitas anak. Bahkan, malah berakibat sebaliknya, yakni anak-
anak akan kehilangan dunianya sehingga daya kreativitas anak dipasung dan dipaksa masuk
dalam dunia orang tua. Paradigma semacam inilah yang sejatinya diubah oleh pihak orang tua
dalam proses pendidikan anak usia dini.
Menarik salah satu pernyataan seorang pujangga Lebanon, Kahlil Gibran (1883). "Anak
kita bukanlah kita, pun bukan orang lain. Ia adalah ia. Dan hidup di zaman yang berbeda dengan
kita. Karena itu, memerlukan sesuatu yang lain dengan yang kita butuhkan. Kita hanya boleh
memberi rambu-rambu penentu jalan dan menemaninya ikut menyeberangi jalan. Kita bisa
memberikan kasih sayang, tapi bukan pendirian. Dan sungguh pun mereka bersamamu, tapi
bukan milikmu.
Pernyataan tersebut cukup tepat untuk mewakili siapa sebenarnya anak-anak kita dan
bagaimana seharusnya kita berbuat yang terbaik untuknya. Untuk itu pernyataan di atas
sejatinya dijadikan referensi dalam memandang anak-anak oleh keluarga, terutama orang tua,
yang ingin menjadikan anaknya berkembang secara kreatif, dinamis, dan produktif.
Keluarga yang selama ini masih cenderung kaku dalam mendidik anaknya pada masa
kecil sejatinya diubah pada pola yang lebih bebas. Anak adalah dunia bermain. Dunia anak
adalah dunia di mana keliaran imajinasi terus mengalir deras.
Anak sudah mempunyai dunianya tersendiri yang beda dengan orang dewasa. Hanya
dengan kebebasan bukan pengerangkengan anak-anak akan bisa memfungsikan keliaran dan
kreativitasnya secara lebih produktif. Hanya dengan dunianya anak-anak akan mampu
mengaktualisasikan segenap potensi yang ada dalam dirinya.
Oleh karena begitu besarnya peranan orang tua dalam perkembangan anak maka orang
tua dituntut untuk dapat memahami pola-pola perkembangan anak sehingga mereka dapat
mengarahkan anak sesuai dengan masa perkembangan anak tersebut. Selanjutnya orangtua
berkewajiban untuk menciptakan situasi dan kondisi yang memadai untuk menunjang
perkembangan anak-anaknya. Dengan tercapainya perkembangan anak kearah yang sempurna
maka akan terciptanya keluarga yang sejahtera. Menurut Siregar dalm makalahnya 2 agustus
1996 pada seminar hari anak Indonesia di Bandung mengemukakan tentang keluarga sejahtera
yaitu bahwa keluarga sejahtera selalu didambakan setiap individu. Tujuan utama dari keluarga
sejahtera adalah keluarga hendaknya merupakan wadah pengembangan anak seoptimal
mungkin, sehingga mereka berkembang menjadi pribadi dewasa yang penuh tanggung jawab
dan matang dikemudian hari.

2.5 Menumbuhkan Kecerdasan Anak Usia Dini


Seorang anak yang baru lahir, ia masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-
fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Namun secara pasti
berangsur-angsur anak akan terus belajar dengan lingkungannya yang baru dan dengan alat
inderanya, baik itu melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan mapun
pengecapan. Anak berkemungkinan besar untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya. Bahkan anak bisa meningkat pada taraf perkembangan tertinggi pada
usia kedewasaannya sehingga ia mampu tampil sebagai pionir dalam mengendalikan alam
sekitar. Hal ini karena anak memiliki potensi yang telah ada dalam dirinya.
Hal yang dibutuhkan anak agar tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-
upaya pendidikan sepertiu terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak
untuk belajar, dan bimbingan serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu
menumbuhkan kecerdasan anak yaitu mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri anak.
Sebab jika potensi kecerdasannya tidak dibimbing dan diarahkan dengan rangsangan-
rangsangan intelektual, maka walaupun dia memiliki bakat jenius aakan tidak ada artinya sama
sekali. Sebaliknya jika seorang anak yang memiliki kecerdasan rata-rata atau normal bila
didukung lingkungan yang kondusif maka ia akan dapat tumbuh menjadi anak yang cerdas
diatas rata-rata atau superior. Hal ini berarti lingkungan memegang peranan penting bagi
pendidikan anak selain bakat yang telah dimiliki oleh anak itu sendiri.

2.6 Karakteristik Belajar Anak


Menurut konsep PAUD yang sebenarnya, anak-anak seharusnya dikondisikan dalam
suasana belajar aktif, kreatif, dan menyenangkan lewat berbagai permainan. Dengan demikian,
kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman tetap terpenuhi. Kalaupun kepada siswa SD kelas
awal ingin diajarkan konsep berhitung, contohnya, pilihlah sarana pembelajaran melalui
nyanyian atau cara lain yang mudah dipahami dan menyenangkan.
Hanya saja, meski sama-sama melalui cara yang menyenangkan, tujuan pendidikan
anak usia prasekolah berbeda dari pendidikan anak usia sekolah dasar awal. Kalau pendidikan
bagi anak usia prasekolah bertujuan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, maka konsep
pendidikan di awal sekolah dasar bertujuan mengarahkan anak agar dapat mengikuti tahapan-
tahapan pendidikan sesuai jenjangnya. Selain tentu saja untuk mengembangkan berbagai
kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan guna mengoptimalkan kecerdasannya.
Proses pembelajaran kepada anak harus sesuai dengan konsep pendidikan anak usia
dini. Mengajarkan konsep membaca dan berhitung, contohnya, haruslah dengan cara yang
menarik dan bisa dinikmati anak. Yang tidak kalah penting, selama proses belajar, jadikan anak
sebagai pusatnya dan bukannya guru yang mendominasi kelas. Dalam pelaksanaannya, inilah
yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Jadi bukannya "CBSA" yang kerap diplesetkan
sebagai "Catat Buku Sampai Abis".
Sementara pendidikan usia dini yang diberikan dalam keluarga juga harus berpijak pada
konsep PAUD. Artinya, pola asuh yang diterapkan orang tua hendaknya cukup memberi
kebebasan kepada anak untuk mengembangkan aneka keterampilan dan kemandiriannya.
Ingat, porsi waktu terbesar yang dimiliki anak adalah bersama keluarganya dan bukan di
sekolah.

2.7 Program Pendidikan Bagi Anak Usia Dini


Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1992 tentang pendidikan pra-sekolah, pasal 4
ayat (1) disebutkan bahwa “bentuk satuan pendidikan pra-sekolah meliputi Taman Kanak-
kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak serta bentuk lain yang diterapkan oleh Menteri.
Kelompok Bermain
Pendidikan dini bagi anak-anak usia pra-sekolah (3-6 tahun) merupakan hal yang penting,
karena pada usia ini merupakan masa membentuk dasar-dasar kepribadian manusia,
kemampuan berfikir, kecerdasan, keterampilan serta kemandirian maupun kemampuan
bersosialisasi. Pada dasarnya dunia anak adalah dunia fundamental dari perkembangan
manusia menuju manusia dewasa yang sempurna. Disadari bahwa generasi merupakan
generasi penerus yang perlu dibina sejak dini, karenanya pembinaan sejak dini merupakan
tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Pembinaan anak usia pra-sekolah terutama peranan
keluarga sangat menentukan.
Menurut Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra-sekolah,
Kelompok Bermain adalah salah satu bentuk usaha kesejahteraan anak dengan mengutamakan
kegiatan bermain, yang juga menyelenggarakan pendidikan pra-sekolah bagi anak usia 3 tahun
sampai memasuki pendidikan dasar.
Selama tahun pra-sekolah, taman kanak-kanak, pusat penitipan anak-anak dan kelompok
bermain semuanya menekankan permainan yang memakai mainan. Akibatnya baik sendiri atau
berkelompok mainan merupakan unsure yang penting dari aktivitas bermain anak. Bermain
dengan teman-teman sebayanya, anak dirangsang dalam kemampuan mental seperti
kecerdasan, kreativitas, kemampuan sosial yang sangat bermanfaat pada masa kini dan masa
yang akan datang. Kegiatan bermain memiliki arti positif terhadap perkembangan sosial anak.
Seperti yang dikemukakan oleh Zulkifli bahwa dengan berman mereka lebih banyak mengenal
benda-benda yang berguna bagi perkembangan sosialnya. Hal ini dapat terlihat dengan
mengenal benda seperti mobil dapat mengembangkan rasa sosial anak dimana benda tersebut
dapat membantu orang lain eprgi kesuatu tempat tertentu. Secara lebih jauh dapat dilihat
dengan adanya perkembangan teknologi menunjukan makin menariknya teknis dan permainan
elektronik bagi anak yang ditunjang oleh situasi dan kondisi dimana anak-anak sulit mendapat
teman sebaya untuk bersosialisasi sehingga anak dapat menonton atau bermain sendiri tanpa
memerlukan oranglain.

BAB III
KESIMPULAN

Seorang anak yang baru lahir, ia masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-
fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Hal yang dibutuhkan anak
agar tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-upaya pendidikan sepertiu
terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak untuk belajar, dan bimbingan
serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu menumbuhkan kecerdasan
anak yaitu mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri anak.
Masa usia dini merupakan Periode emas yang merupakan periode kritis bagi anak,
dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya
datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan
untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan
terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi,
sesuai dengan keu

Diposting 11th December 2012 oleh trisna wati

0
Tambahkan komentar
Bimbingan Dan Konseling

 Klasik

 Kartu Lipat

 Majalah

 Mozaik

 Bilah Sisi

 Cuplikan

 Kronologis
1.
DEC

11

Hakikat Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar


M. Surya (1988:12) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian atau
layanan bantuan yang terus-menerus dan sistematis, dari pembimbing kepada yang
dibimbing, agar tercapai perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan
lingkungan.
Bimbingan ialah penolong individu, agar dapat mengenal dirinya dan dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya (Oemar Hamalik, 2000:193).
Bimbingan adalah suatu proses yang terus-menerus, untuk membantu perkembangan individu
dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara maksimal, untuk memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat (Tim Pengembangan
MKDK IKIP Semarang, 1990:11).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik sebuah intisari bahwa bimbingan merupakan
suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada individu, agar dapat mengembangkan
kemampuannya seoptimal mungkin, dan membantu siswa agar memahami dirinya (self-
understanding), menerima dirinya (self-acceptance), mengarahkan dirinya (self-direction),
dan merealisasikan dirinya (self-realization).
Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh
seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah, yang bermuara pada
teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno, 1997:106).
Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada seseorang, supaya dia
memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri, memanfaatkannya untuk
memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo,
1986:39).
Dari pengertian tersebut, dapat dirangkum ciri-ciri pokok konseling, yaitu:
1. adanya bantuan dari seorang ahli,
2. proses pemberian bantuan dilakukan dengan wawancara konseling, dan
3. bantuan diberikan kepada individu yang mengalami masalah, agar memperoleh konsep diri
dan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah, guna memperbaiki tingkah lakunya pada
masa yang akan datang.
Perlunya Bimbingan dan Konseling di SD
Jika ditinjau secara mendalam, setidaknya ada tiga hal utama yang melatarbelakangi perlunya
bimbingan, yakni tinjauan secara umum, sosiokultural, dan aspek psikologis.
Secara umum, latar belakang perlunya bimbingan berhubungan erat dengan pencapaian
tujuan pendidikan nasional, yaitu: meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa, berbudi pekerti
luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri,
cerdas, dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka perlu mengintegrasikan seluruh komponen yang
ada dalam pendidikan, salah satunya adalah komponen bimbingan. Bila dicermati dari sudut
sosiokultural, yang melatarbelakangi perlunya proses bimbingan adalah adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, sehingga berdampak di setiap
dimensi kehidupan. Hal tersebut semakin diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk
yang tinggi, sementara laju lapangan pekerjaan relatif menetap.
Menurut Tim MKDK IKIP Semarang (1990:5-9), ada lima hal yang melatarbelakangi
perlunya layanan bimbingan di sekolah, yakni:
1. masalah perkembangan individu,
2. masalah perbedaan individual,
3. masalah kebutuhan individu,
4. masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku, dan
5. masalah belajar.
Fungsi Bimbingan dan Konseling di SD
Sugiyo, dkk. (1987:14) menyatakan bahwa ada tiga fungsi bimbingan dan konseling, yaitu:
- Fungsi Penyaluran (distributive)
Fungsi penyaluran ialah fungsi bimbingan dalam membantu menyalurkan siswa-siswa dalam
memilih program-program pendidikan yang ada di sekolah, memilih jurusan sekolah,
memilih jenis sekolah lanjutan/sambungan ataupun lapangan kerja yang sesuai dengan bakat,
minat, cita-cita, dan ciri-ciri kepribadiannya. Di samping itu, fungsi ini juga meliputi bantuan
untuk memiliki kegiatan-kegiatan di sekolah; misalnya membantu menempatkan anak dalam
kelompok belajar.
- Fungsi Penyesuaian (adjustive)
Fungsi penyesuaian ialah fungsi bimbingan dalam membantu siswa untuk memperoleh
penyesuaian pribadi yang sehat. Dalam berbagai teknik bimbingan, khususnya dalam teknik
konseling, siswa dibantu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-
kesulitannya. Fungsi ini juga membantu siswa dalam usaha mengembangkan dirinya secara
optimal.
- Fungsi Adaptasi (adaptive)
Fungsi adaptasi ialah fungsi bimbingan dalam rangka membantu staf sekolah, khususnya
guru, dalam mengadaptasikan program pengajaran dengan ciri khusus dan kebutuhan pribadi
siswa-siswa. Dalam fungsi ini, pembimbing menyampaikan data tentang ciri-ciri, kebutuhan
minat dan kemampuan, serta kesulitan-kesulitan siswa kepada guru. Dengan data ini guru
berusaha untuk merencanakan pengalaman belajar bagi para siswa, sehingga para siswa
memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan bakat, cita-cita, kebutuhan, dan minat
(Sugiyo, 1987:14).
Prinsip-Prinsip Bimbingan Konseling di SD
Prinsip merupakan paduan hasil kegiatan teori dan telaah lapangan, yang digunakan sebagai
pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan (Prayitno,1997:219). Berikut ini prinsip-
prinsip bimbingan konseling yang diramu dari sejumlah sumber.
1. Sikap dan tingkah laku seseorang sebagai pencerminan dari segala kejiwaannya adalah unik
dan khas. Keunikan ini memberikan ciri atau merupakan aspek kepribadian seseorang.
Prinsip bimbingan adalah memerhatikan keunikan, sikap, dan tingkah laku seseorang,
sehingga dalam memberikan layanan perlu menggunakan cara-cara yang sesuai/tepat.
2. Tiap individu memunyai berbagai kebutuhan yang berbeda. Oleh karenanya, dalam
memberikan bimbingan yang efektif, perlu memilih teknik-teknik yang sesuai dengan
perbedaan dan berbagai kebutuhan individu.
3. Bimbingan pada prinsipnya diarahkan pada suatu bantuan, sehingga pada akhirnya orang
yang dibantu mampu menghadapi dan mengatasi kesulitannya sendiri.
4. Dalam suatu proses bimbingan, orang yang dibimbing harus aktif dan banyak berinisiatif,
karena proses bimbingan pada prinsipnya berpusat pada orang yang dibimbing.
5. Prinsip pelimpahan dalam bimbingan perlu dilakukan. Ini terjadi apabila masalah yang timbul
tidak dapat diselesaikan oleh sekolah (guru bimbingan). Untuk menangani masalah tersebut,
perlu diserahkan kepada petugas/lembaga lain yang lebih ahli.
6. Pada tahap awal bimbingan, pada prinsipnya dimulai dengan kegiatan identifikasi kebutuhan
dan kesulitan-kesulitan yang dialami individu yang dibimbing.
7. Proses bimbingan pada prinsipnya dilaksanakan secara fleksibel, sesuai dengan kebutuhan
yang dibimbing dan kondisi lingkungan masyarakatnya.
8. Program bimbingan dan konseling di sekolah harus sejalan dengan program pendidikan pada
sekolah yang bersangkutan. Hal ini merupakan keharusan karena usaha bimbingan memunyai
peran untuk memperlancar jalannya proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan.
9. Pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah hendaklah dipimpin oleh seorang
konselor/guru yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidang bimbingan. Selain itu, ia
memunyai kesanggupan bekerja sama dengan konselor/guru lain yang terlibat.
10. Program bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya senantiasa dievaluasi secara teratur.
Maksud penilaian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan manfaat yang diperoleh dari
pelaksanaan program bimbingan. Sayangnya, tahap evaluasi dalam layanan bimbingan
konseling ini tampaknya masih sering dilupakan. Padahal sebenarnya tahap evaluasi sangat
penting artinya, di samping untuk menilai tingkat keberhasilan juga untuk menyempurnakan
program dan pelaksanaan bimbingan dan konseling (Prayitno, 1997:219).
Kegiatan BK dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
Berdasarkan Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling (2004)
dinyatakan bahwa kerangka kerja layanan BK dikembangkan dalam suatu program BK,
antara lain:
a. Layanan dasar bimbingan -- bimbingan yang bertujuan untuk membantu seluruh siswa
mengembangkan perilaku efektif dan keterampilan-keterampilan hidup yang mengacu pada
tugas-tugas perkembangan siswa SD.
b. Layanan responsif -- layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu memenuhi
kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta didik saat ini. Layanan ini lebih
bersifat preventif atau mungkin kuratif. Strategi yang digunakan adalah konseling individual,
konseling kelompok, dan konsultasi.
Isi layanan responsif adalah bidang pendidikan, belajar, sosial, pribadi, karier, tata tertib SD,
narkotika dan perjudian, perilaku sosial, serta bidang kehidupan lainnya.
c. Layanan perencanaan individual -- layanan bimbingan yang membantu seluruh peserta
didik dan mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan, karier, dan kehidupan sosial
dan pribadinya. Tujuan utama dari layanan ini adalah untuk membantu siswa, memantau
pertumbuhan, dan memahami perkembangan sendiri.
d. Dukungan sistem -- kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan,
memelihara, dan meningkatkan progam bimbingan secara menyeluruh. Hal itu dilaksanakan
melalui pengembangan profesionalitas, hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan
guru, staf ahli/penasihat, masyarakat yang lebih luas, manajemen program, penelitian, dan
pengembangan (Thomas Ellis, 1990).
Kegiatan utama layanan dasar bimbingan yang responsif dan mengandung perencanaan
individual serta memiliki dukungan sistem dalam implementasinya didukung oleh beberapa
jenis layanan BK, yakni: layanan pengumpulan data, layanan informasi, layanan penempatan,
layanan konseling, layanan melimpahkan ke pihak lain, dan layanan penilaian dan tindak
lanjut (Nurihsan, 2005:21).
Peran Guru Kelas dalam Kegiatan BK di SD
Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat
menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, peranan guru kelas dalam
pelaksanaan kegiatan BK sangat penting untuk mengefektifkan pencapaian tujuan
pembelajaran yang dirumuskan.
Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:
1. Informator: Guru berperan sebagai pengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan
sumber informasi kegiatan akademik, maupun umum.
2. Organisator: Guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran, dll..
3. Motivator: Guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan, serta penguatan
untuk mendinamiskan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas), dan daya cipta
(kreativitas), sehingga terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
4. Direktur: Guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai
dengan tujuan yang dicita-citakan.
5. Inisiator: Guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
6. Transmiter: Guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan
pengetahuan.
7. Fasilitator: Guru memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.
8. Mediator: Guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9. Evaluator: Guru memunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang
akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana
keberhasilan anak didiknya.

1. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING:


 Bimbingan dan Konseling merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, maka
orientasi, tujuan dan pelaksanaan BK juga merupakan bagian dari orientasi, tujuan dan
pelaksanaan pendidikan karakter.
 Program Bimbingan dan Konseling di sekolah merupakan bagian inti pendidikan karakter yang
dilaksanakan dengan berbagai strategi pelayanan dalam upaya mengembangkan potensi peserta
didik untuk mencapai kemandirian, dengan memiliki karakter yang dibutuhkan saat ini dan masa
depan.
 Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan berbasis nilai, layanan etis normatif, dan
bukan layanan bebas nilai. Seorang konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan
perkembangannya sebagai makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis.
Seorang konselor harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselor tidak boleh
memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh
meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk menemukan
makna nilai kehidupannya. (Sunaryo, 2006)
2. PERAN KONSELOR DALAM PENDIDIKAN KARAKTER:
 Sebagai pendidik yang berkepentingan dengan pendidikan karakter, konselor seyogyanya
memiliki komitmen dan dapat tampil di garis terdepan dalam mengimplementasikan pendidikan
karakter di sekolah, bekerja sama dengan stake holder pendidikan lainnya
 Professional school counselors need to
take an active role in initiating, facilitating and promoting character education programs in the
school curriculum. The professional school counselor, as a part of the school community and as a
highly resourceful person, takes an active role by working cooperatively with the teachers and
administration in providing character education in the schools as an integral part of the school
curriculum and activities” (ASCA dalam Muhammad Nur Wangid, 2010).
3. MATERI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING:
 Materi Pendidikan Karakter dalam Layanan Bimbingan, antara lain dapat mencakup: (1) Perilaku
seksual; (2) Pengetahuan tentang karakter; (3) Pemahaman tentang moral sosial; (4)
Keterampilan pemecahan masalah; (5) Kompetensi emosional; (6)
Hubungan dengan orang lain; (7) Perasaan keterikatan dengan sekolah; (8) Prestasi
akademis; (9) Kompetensi berkomunikasi; dan (10) Sikap kepada guru (Berkowitz, Battistich,
dan Bier dalam Muhammad Nur Wangid, 2010).
 18 Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa : (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin;
(5) Kerja Keras; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat
Kebangsaan; (11) Cinta Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat/Komuniktif;
(14) Cinta Damai; (15) Gemar Membaca; (16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli Sosial, dan (18)
Tanggung-jawab.
4. STRATEGI PELAYANAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BIMBINGAN DAN
KONSELING:
 Strategi pelayanan pendidikan karakter melalui bimbingan dan konseling dapat dilakukan melalui
: (1) Layanan Dasar; (2) Layanan Responsif; (3) Bimbingan Individual; dan (4) Dukungan Sistem.
Berkaitan dengan upaya penajaman implementasi pendidikan karakter melalui Layanan
Bimbingan dan Konseling di sekolah, saya berharap kepada peserta untuk senantiasa
mengembangkan kompetensinya sehingga dapat memenuhi standar sebagaimana disyaratkan
dalam Permendiknas No. 27 Tahun 2008 dan terus berupaya meningkatkan frekuensi dan
intensitas layanan bimbingan dan konseling kepada para siswa, serta berusaha membangun
kerjasama dengan dengan berbagai stake holder pendidikan.
Diposting 11th December 2012 oleh trisna wati

0
Tambahkan komentar
2.
DEC

11

Pentingnya Bimbingan Konseling di Sekolah


TUJUAN pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi mutu
keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau
persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena
secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah
umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta
didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja. Penyiapan
peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi akan melulu memperhatikan
sisi materi pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya,
proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses
pembentukan pribadi. Betapa pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai-
nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis) terabaikan.
Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap sekolah. Peran konselor dengan
lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan
konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi,
ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa.
Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak
sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau
nakal.
Penulis merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di
sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan
belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti
kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga,
menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk
mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di
sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-
cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di
suatu sekolah.

Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan pemilahan peran yang
saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan para konselornya disandingkan dengan
bagian kesiswaan. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil
peran disipliner dan hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib. Siswa
mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor yang menegur dan memberi
sanksi. Reward dan punishment, pujian dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-
sama. Pemilahan peran demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat
reward atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam tindakan
hukum-menghukum.

Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan orang-orang muda


yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya
dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika
membuat kekeliruan. Namun, jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering
pujian, sanjungan atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang
memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen kependidikan di sekolah
bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka semakin
lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang.

BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga ini
menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan
privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk
diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat
mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat ditolong
untuk lebih mengerti akan anak mereka.
Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru
datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang tahu apa yang
harus mereka perbuat dengan konselor atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor
akan memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar
keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika tidak demikian hitungan
honor atau penggajiannya terus dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun
mengirikannya dengan tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung.
Padahal, betapa pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.

BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang
disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca: mau!)
menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian
dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan
toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba menempatkan
kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK
dalam pendampingan pribadi, sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan
segala orientasinya tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan
semua itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang terlibat
dalam proses kependidikan.

Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara
perorangan maupun kelompok agar mandiri dan bisa berkembang secara optimal, dalam
bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung berdaarkan norma-norma yang berlaku (SK Mendikbud No. 025/D/1995)
Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi
individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif,
pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya.
Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan individu, yakni proses
interaksi antara individu dengan lingkungan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan
dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab yang penting untuk mengembangkan
lingkungan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan, membelajarkan
individu untuk mengembangkan, merubah dan memperbaiki perilaku.
Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan
mengajar yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan layanan
ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (Naskah Akademik ABKIN, Penataan
Pendidikan Profesional Konselor dan Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal, 2007).
Merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru
pembimbing dimantapkan menjadi ’Konselor.” Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan
nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen,
pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6).
Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang
lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki
konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan setting layanan spesifik yang mengandung keunikan dan
perbedaan.
Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di
Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum,
undang-undang atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya
memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-
tugas perkembangannya secara optimal (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan
moral-spiritual).
Dalam konteks tersebut, hasil studi lapangan (2007) menunjukkan bahwa layanan
bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah sangat dibutuhkan, karena banyaknya masalah
peserta didik di Sekolah/Madrasah, besarnya kebutuhan peserta didik akan pengarahan diri dalam
memilih dan mengambil keputusan, perlunya aturan yang memayungi layanan bimbingan dan
konseling di Sekolah/Madrasah, serta perbaikan tata kerja baik dalam aspek ketenagaan maupun
manajemen.
Layanan bimbingan dan konseling diharapkan membantu peserta didik dalam pengenalan
diri, pengenalan lingkungan dan pengambilan keputusan, serta memberikan arahan terhadap
perkembangan peserta didik; tidak hanya untuk peserta didik yang bermasalah tetapi untuk
seluruh peserta didik. Layanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada peserta didik
tertentu atau yang perlu ‘dipanggil’ saja”, melainkan untuk seluruh peserta didik.
ke menu utama
Tujuan layanan bimbingan ialah agar siswa dapat :
1. Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa
yang akan datang.
2. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki peserta didik secara optimal.
3. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan
kerjanya.
4. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan
pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk :
1. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangannya.
2. Mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya,
3. Mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan
tersebut
4. Memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri.
5. Menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja
dan masyarakat.
6. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya.
7. Mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.

Fungsi Bimbingan dan Konseling


1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan yang membantu peserta didik (siswa) agar memiliki
pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma
agama). Berdasarkan pemahaman ini, siswa diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya
secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa
mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya,
supaya tidak dialami oleh peserta didik. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada
siswa tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya.
Adapun teknik yang dapat digunakan adalah layanan orientasi, informasi, dan bimbingan
kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para siswa dalam rangka
mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman
keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi
lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang
memfasilitasi perkembangan siswa. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara
sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan
program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu siswa
mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah
layanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room,
dan karyawisata.
4. Fungsi Perbaikan (Penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif. Fungsi ini
berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah,
baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah
konseling, dan remedial teaching.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa memilih kegiatan
ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan
yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan
fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga
pendidikan.
6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah
dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang
pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa (siswa). Dengan menggunakan informasi
yang memadai mengenai siswa, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam
memperlakukan siswa secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah,
memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan
kemampuan dan kecepatan siswa.
7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa (siswa) agar dapat
menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.

Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan


oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap
data dan keterangan tentang peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau
keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru
pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu
sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan
dan kerelaan peserta didik (konseli) mengikuti/menjalani layanan/kegiatan yang diperlukan
baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan
kesukarelaan tersebut.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar peserta didik
(konseli) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di
dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai
informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru
pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli). Keterbukaan ini
amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri peserta
didik yang menjadi sasaran layanan/kegiatan. Agar peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing
terlebih dahuu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar peserta didik
(konseli) yang menjadi sasaran layanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan
layanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong peserta didik untuk
aktif dalam setiap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum
bimbingan dan konseling, yakni: peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan bimbingan dan
konseling diharapkan menjadi siswa-siswa yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima
diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan
diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan
konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran
layanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan peserta didik (konseli) dalam kondisinya
sekarang. Layanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat
dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi layanan
terhadap sasaran layanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton,
dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap
perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai
layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing
maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru
pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap
layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan
dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat
istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah layanan atau kegiatan
bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya
tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (konseli)
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam
hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang
benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus
terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan dan konseling maupun
dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-
pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan
tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu
kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua,
guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan
kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.

Kegiatan Pokok Bimbingan dan Konseling


Macam-macam layanan bimbingan dan konseling :
1. Layanan Orientasi
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memahami
lingkungan (seperti sekolah) yang baru dimasuki peserta didik, untuk mempermudah dan
memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu.
2. Layanan Informasi
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) menerima dan
memahami berbagai informasi (seperti informasi pendidikan dan jabatan) yang dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan untuk kepentingan peserta didik (klien).
3. Layanan Penempatan dan penyaluran
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh
penempatan dan penyaluran yang tepat (misalnya penempatan dan penyaluran di dalam kelas,
kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ektrakulikuler) sesuai
dengan potensi, bakat, minat erta kondisi pribadinya.
4. Layanan pembelajaran
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien)
mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam menguasai meteri pelajaran yang
cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan
belajar lainnya.
5. Layanan Konseling Individual
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) mendapatkan
layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka
pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi yang dideritanya.
6. Layanan Bimbingan Kelompok
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) secara bersama-
sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu (teruama
dari guru pembimbing) dan/atau membahas secara bersama-ama pokok bahasan (topik) tertentu
yang berguna untuk menunjanguntuk pemahaman dan kehidupannya mereka sehari-hari
dan/atau untuk pengembangan kemampuan sosial, baik sebagai individu maupun sebagai pelajar,
serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan tertentu.
7. Layanan Konseling Kelompok
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh
kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui
dinamika kelompok, masalah yang dibahas itu adalah maalah-masalah pribadi yang dialami oleh
masing-masing anggota kelompok.
Kegiatan Pendukung diantaranya :
1. Aplikasi Instrumentasi
Yaitu kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk mengumpulkan data dan keterangan
tentang diri peserta didik (klien), keterangan tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan
yang lebih luas. Pengumpulan data ini dapat dilakukan denagn berbagai cara melalui instrumen
baik tes maupun nontes.
2. Himpunan Data
Yaitu kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk menghimpun seluruh data dan
keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik (klien). Himpunan data
perlu dielenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu, dan sifatnya
tertutup.
3. Konferensi Kasus
Yaitu kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk membahas permasalahan yang
dialami oleh peserta didik (klien) dalam suatu forum pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak
yang diharapkan dapat memberikan bahan, keterangan, kemudahan dan komitmen bagi
terentaskannya permasalahan tersebut. Pertemuan ini dalam rangka konferensi kasus bersifat
terbatas dan tertutup.
4. Kunjungan Rumah
Yaitu kegiatan pendukudng bimbingan dan konseling untuk memperoleh data, keteranang,
kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik (klien) melalui
kunjungan ke rumahnya. Kegiatan ini memerlukan kerjasama yang penuh dari orang tua dan
anggota keluarga klien yang lainnya.
5. Alih tangan kasus
Yaitu kegiatan pendukudng bimbingan dan konseling untuk mendapatkan penanganan yang
lebih tepat dan tuntas atas masalah yang dialami peserta didik (klien) dengan memindahkan
penanganan kasus dari satu pihak ke pihak lainnya. Kegiatan ini memerlukan kerjasama yang
erat dan amntap antara berbagi pihak yang dapat memberikan bantuan dan atas penanganan
masalah tersebut (terutama kerjasama dari ahli lain tempat kasus itu dialihtangankan).

Kegiatan layanan dan pendukung bimbingan dan konseling ini, kesemuanya saling terkait
dan saling menunjang baik langsung maupun tidak langsung. Saling keterkaitan dan tunjang
menunjang antara layanan dan pendukung itu menyangkut pula fungsi-fungi yang diemban oleh
masing-masing layanan/kegiatan pendukung .
Diposting 11th December 2012 oleh trisna wati

0
Tambahkan komentar
2.
DEC

11

Pendidikan Anak usia dini


Contoh Makalah Pendidikan Anak Usia Dini
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia
yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan
kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan.
Setiap anak dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Tak ada
satu pun yang luput dari Pengawasan dan Kepedulian-Nya. merupakan tugas orang tua dan
guru untuk dapat menemukan potensi tersebut. Syaratnya adalah penerimaan yang utuh
terhadap keadaan anak.
Dalam bidang pendidikan seorang anak dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat
dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai dengan Pemahaman mengenai karakteristik
anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan
proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara
intelektual, emosional dan sosial.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk
memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak
untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap
perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya.
Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan
(stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan
anak.

1.2 Tujuan pembuatan makalah


Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan
2. Melatih mahasiswa untuk dapat mengembangkan keterampilan yang
dimilikinya.
3. Melatih mahasiswa dalam pengalaman langsung atau tidak langsung dalam
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi
pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam
yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama
pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi
anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini mulai
lahir sampai baligh (kalau perempuan ditandai menstruasi sedangkan laki-laki sudah mimpi
sampai mengeluarkan air mani) adalah tanggung jawab sepenuhnya orang tua. Menurut
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 butir
14, pendidikan anak usia dini didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi,
sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
 Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang
tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki
kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi
kehidupan di masa dewasa.
 Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar
(akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-
6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di
beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
 Infant (0-1 tahun)
 Toddler (2-3 tahun)
 Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
 Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)
Hal-hal yang harus dipahami dalam Karakteristik Anak Usia Dini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan
hidupnya.
2. Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada
anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
3. Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan
kebutuhannya.
4. Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
5. Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan
kemampuannya.
fisik dan psikologis ( hall & lindzey, 1993).
Adapun pentingnya pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah sebagai
berikut:
1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat
fundamental.
2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak
selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.
3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar,
etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya.
4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka
tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni
mencapai 80% perkembangan otak.
5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan
layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan
di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang
memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup
selanjutnya.
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan Komitmen Dunia seperti yang tertera dalam
kutipan sebagai berikut:
 Komitmen Jomtien Thailand (1990)
’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’
 Deklarasi Dakkar (2000)
’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara
komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’
 Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)
‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’

2.2 Landasan Yuridis Tentang PAUD


1. Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa.’
1. Amandemen UUD 1945 pasal 28 C
’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’
3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)
’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’
4. UU No 20/2003 pasal 28
1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non
formal, dan/atau informal.
3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak
(TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain
(KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan
yang diselenggarakan oleh lingkungan.

2.3 Perkembangan Anak


Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih berada dalam
rentang usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan dalam keluarga maupun di
lembaga pendidikan formal haruslah kental dengan nuansa pendidikan anak usia dini, yakni
dengan mengutamakan konsep belajar melalui bermain. Perkembangan anak sebagai
perubahan psikologis menurut Kartini Kartono ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses
belajar dalam fase tertentu.
Nana Syaodah Sukmadinata mengemukakan ada tiga pendekatan perkembangan
individu, yaitu Pendekatan Pentahapan, diferensial dan isaptif. Khususnya pada pendekatan
isaptif pada perkembangan anak mencakup perkembangan psikososial, perkembangan
motorik, perkembangan kognitif, perkembangan sosial, perkembangan bahasa, perkembangan
moral dan perkembangan emosional.
tahapan perkembangan psikososial anak menurut Erik Erikson dalam Malcolm
Knowles adalah sebagai berikut:
 Tahap kepercayaan dan ketidak percayaan (trust versus misstrust), yaitu tahap psikososial yang
terjadi selama tahun pertama kehidupan. Pada tahap ini,bayi mengalami konflik anatara
percaya dan tidak percaya. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah
kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan.
 Tahap otonomi dengan rasa malu dan ragu (autonomi versus shame and doubt), yaitu tahap
kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru pandai
berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan
bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri
atau atonomi mereka dan menyadari kemauan mereka. Jika orangtua cenderung menuntut
terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan
mengalami rasa malu dan ragu-ragu.
 Tahap prakarsa dan rasa bersalah (initiatif versus guilt), yaitu tahap perkembangan psikososial
ketiga yang berlangsung selama tahun pra sekolah. Pada tahap ini anak terlihat sangat aktif,
suka berlari, berkelahi, memanjat-manjat, dan suka menantang lingkungannya. Dengan
menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri.
Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak
dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan
inisiatif semakin kuat. Sebaliknya, bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka
memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan yang
dilakukan anak tidak bermanfaat maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk
mengambil inisiatif mendekati apa yang diinginkannya.
 Tahap kerajinan dan rasa rendah diri (industry versus inferiority),yaitu perkembangan yang
berada langsung kira-kira tahun sekolah dasar. Pada tahap ini, anak mulai memasuki dunia
yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi
mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.perasaan anak akan
timbul rendah diri apabila tidak bisa menguasai keterampilan yang diberikan disekolah.
 Tahap identitas dan kekacauan identitas (identity versus identity confusion), yaitu
perkembangan yang berlangsung selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap ini, anak
dihadapkan pada pencarian jati diri. Ia mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya
sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti
ditengah masyarakat baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun memperbaharui.
Apabila anak mengalami krisis dari masa anak kemasa remaja maka akan menimbulkan
kekacauan identitas yang mengakibatkan perasaan anak yang hampa dan bimbang.
 Tahap keintiman dan isolasi (intimacy versus isolation), yaitu perkembangan yang dialami
pada masa dewasa. Pada masa ini adalah membentuk relasi intim dengan oranglain. Menurut
erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada
hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya selama tahap
ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan
oranglain kecuali dalam lingkup yang amat terbatas.
 Tahap generativitas dan stagnasi (generativity versus stagnation), yaitu perkembangan yang
dialami selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian
terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, produk, ide-ide, dan sebagainya) serta pembentukan
dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas tidak
diungkapkan dan lemah maka kepribadian akan mundul mengalami pemiskinan dan stagnasi.
 Tahap integritas dan keputusasaan (integrity versus despair), yaitu perkembangan selama akhir
masa dewasa. Integritas terjadi ketika seorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya
menoleh kebelakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini,
menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya, merasa
aman dan tentram, serta menikmati hidup sebagai yang berharga dan layak. Akan tetapi, bagi
orangtua yang dihantui perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai
makna ataupun memberikan kepuasan pada dirinya maka ia akan merasa putus asa.

Perkembangan Kognitif Anak Menurut PIAGET tahapan perkembangan ini dibagi


dalam 4 tahap yaitu sebagai berikut:
1. Sensori Motor (usia 0-2 tahun)
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh
keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya.
Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah
'menangis'.
Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan
menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak
(panggung boneka akan sangat membantu).

2. Pra-operasional (usia 2-7 tahun)


Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat
dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang
di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi,
namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis - rumit.
Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.

3. Operasional Kongkrit (usia 7-11 tahun)


Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan
aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang
sistematis.
Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa.
Misalnya: Analogi 'hidup kekal' - diangkat menjadi anak-anak Tuhan dengan konsep keluarga
yang mampu mereka pahami.

4. Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas)


Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah
mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu
menggunakan alat peraga.
Namun kesulitan baru yang dihadapi guru adalah harus menyediakan waktu untuk dapat
memahami pergumulan yang sedang mereka hadapi ketika memasuki usia pubertas.

Pada umumnya dalam perkembangan Emosional seorang anak terdapat empat kunci
utama emosi pada anak yaitu :
1. perasaan marah
perasaan ini akan muncul ketika anak terkadang merasa tidak nyaman dengan lingkungannya
atau ada sesuatu yang mengganggunya. Kemarahan pun akan dikeluarkan anak ketika merasa
lelah atau dalam keadaan sakit. Begitu punketika kemauannya tidak diturutioleh orangtuanya,
terkadang timbulrasa marah pada sianak.
2. perasaan takut
rasa takut ini di rasakan anak semenjak bayi. Ketika bayi merekatakut akan suara-suara yang
gaduh atau rebut. Ketika menginjak masa anak-anak, perasaan takut mereka muncul apabila di
sekelilingnya gelap. Mereka pu mulai berfantasi dengan adanya hantu, monster dan mahluk-
mahluk yang menyeramkan lainnya.
3. perasaan gembira
perasaan gembira ini tentu saja muncul ketika anak merasa senang akan sesuatu. Contohnya
ketika anakdiberi hadiaholeh orang tuanya, ketika anak juara dalam mengikuti suatu lomba,
atau ketika anak dapat melakukan apa yang diperintahkan orang tuanya. Banyak hal yang dapat
membuat anak merasa gembira.
4. rasa humor
Tertawa merupakan hal yang sangat universal. Anak lebih banyak tertawa di bandingkan orang
dewasa. Anak akan tertawa ketika melihat sesuatu yang lucu.
Keempat perasaan itu merupakan emosi negative dan positif. Perasaan marah dan
ketakutan merupakan sikap emosi yang negative sedangkan perasaan gembira dan rasa lucu
atau humor merupakan sikap emosi yang positif.
Menurut Kohlberg Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam
interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral).
Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya),
anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah
laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
2.4 peranan keluarga
Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap
anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar-dasar kepribadian anak dibangun. Anak
dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang
Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang
didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia
diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap
saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi
kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya,
potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.
Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa depan
perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan pendidikan sudah dimulai semenjak
masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah bisa menangkap dan
merespons apa-apa yang dikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum ibu.
Tidak heran kemudian apabila anak yang dibesarkan dalam situasi dan kondisi yang
kurang membaik semasa masih dalam kandungan berpengaruh terhadap kecerdasan anak
ketika lahir. Dengan demikian, pihak keluarga sejatinya banyak mengetahui perkembangan-
perkembangan anak. Pada saat anak masih dalam kandungan, pihak orang tua harus lebih
memperbanyak perkataan, perbuatan, dan tindakan-tindakan yang lebih edukatif.
Ketika anak itu sudah lahir, maka tantangan terberat adalah bagaimana orang tua dapat
mengasihi dan menyayangi anak sesuai dengan dunianya. Poin yang kedua ini ketika anak-
anak (usia bayi hingga dua tahun) mempunyai tahap perkembangan yang cukup potensial.
Anak-anak mempunyai imajinasi dengan dunianya yang bisa membuahkan kreativitas
dan produktivitas pada masa depannya. Tapi, pada fase-fase tertentu banyak orang tua tidak
memberikan kebebasan untuk berekspresi, bermain, dan bertingkah laku sesuai dengan
imajinasinya. Banyak orang tua yang terjebak pada pembuatan peraturan yang ketat. Ini
memang tujuannya untuk kebaikan anak.
Pengekangan dan pengarahan menurut orang tua tidak baik untuk
memompa kecerdasan dan kreativitas anak. Bahkan, malah berakibat sebaliknya, yakni anak-
anak akan kehilangan dunianya sehingga daya kreativitas anak dipasung dan dipaksa masuk
dalam dunia orang tua. Paradigma semacam inilah yang sejatinya diubah oleh pihak orang tua
dalam proses pendidikan anak usia dini.
Menarik salah satu pernyataan seorang pujangga Lebanon, Kahlil Gibran (1883). "Anak
kita bukanlah kita, pun bukan orang lain. Ia adalah ia. Dan hidup di zaman yang berbeda dengan
kita. Karena itu, memerlukan sesuatu yang lain dengan yang kita butuhkan. Kita hanya boleh
memberi rambu-rambu penentu jalan dan menemaninya ikut menyeberangi jalan. Kita bisa
memberikan kasih sayang, tapi bukan pendirian. Dan sungguh pun mereka bersamamu, tapi
bukan milikmu.
Pernyataan tersebut cukup tepat untuk mewakili siapa sebenarnya anak-anak kita dan
bagaimana seharusnya kita berbuat yang terbaik untuknya. Untuk itu pernyataan di atas
sejatinya dijadikan referensi dalam memandang anak-anak oleh keluarga, terutama orang tua,
yang ingin menjadikan anaknya berkembang secara kreatif, dinamis, dan produktif.
Keluarga yang selama ini masih cenderung kaku dalam mendidik anaknya pada masa
kecil sejatinya diubah pada pola yang lebih bebas. Anak adalah dunia bermain. Dunia anak
adalah dunia di mana keliaran imajinasi terus mengalir deras.
Anak sudah mempunyai dunianya tersendiri yang beda dengan orang dewasa. Hanya
dengan kebebasan bukan pengerangkengan anak-anak akan bisa memfungsikan keliaran dan
kreativitasnya secara lebih produktif. Hanya dengan dunianya anak-anak akan mampu
mengaktualisasikan segenap potensi yang ada dalam dirinya.
Oleh karena begitu besarnya peranan orang tua dalam perkembangan anak maka orang
tua dituntut untuk dapat memahami pola-pola perkembangan anak sehingga mereka dapat
mengarahkan anak sesuai dengan masa perkembangan anak tersebut. Selanjutnya orangtua
berkewajiban untuk menciptakan situasi dan kondisi yang memadai untuk menunjang
perkembangan anak-anaknya. Dengan tercapainya perkembangan anak kearah yang sempurna
maka akan terciptanya keluarga yang sejahtera. Menurut Siregar dalm makalahnya 2 agustus
1996 pada seminar hari anak Indonesia di Bandung mengemukakan tentang keluarga sejahtera
yaitu bahwa keluarga sejahtera selalu didambakan setiap individu. Tujuan utama dari keluarga
sejahtera adalah keluarga hendaknya merupakan wadah pengembangan anak seoptimal
mungkin, sehingga mereka berkembang menjadi pribadi dewasa yang penuh tanggung jawab
dan matang dikemudian hari.

2.5 Menumbuhkan Kecerdasan Anak Usia Dini


Seorang anak yang baru lahir, ia masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-
fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Namun secara pasti
berangsur-angsur anak akan terus belajar dengan lingkungannya yang baru dan dengan alat
inderanya, baik itu melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan mapun
pengecapan. Anak berkemungkinan besar untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya. Bahkan anak bisa meningkat pada taraf perkembangan tertinggi pada
usia kedewasaannya sehingga ia mampu tampil sebagai pionir dalam mengendalikan alam
sekitar. Hal ini karena anak memiliki potensi yang telah ada dalam dirinya.
Hal yang dibutuhkan anak agar tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-
upaya pendidikan sepertiu terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak
untuk belajar, dan bimbingan serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu
menumbuhkan kecerdasan anak yaitu mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri anak.
Sebab jika potensi kecerdasannya tidak dibimbing dan diarahkan dengan rangsangan-
rangsangan intelektual, maka walaupun dia memiliki bakat jenius aakan tidak ada artinya sama
sekali. Sebaliknya jika seorang anak yang memiliki kecerdasan rata-rata atau normal bila
didukung lingkungan yang kondusif maka ia akan dapat tumbuh menjadi anak yang cerdas
diatas rata-rata atau superior. Hal ini berarti lingkungan memegang peranan penting bagi
pendidikan anak selain bakat yang telah dimiliki oleh anak itu sendiri.

2.6 Karakteristik Belajar Anak


Menurut konsep PAUD yang sebenarnya, anak-anak seharusnya dikondisikan dalam
suasana belajar aktif, kreatif, dan menyenangkan lewat berbagai permainan. Dengan demikian,
kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman tetap terpenuhi. Kalaupun kepada siswa SD kelas
awal ingin diajarkan konsep berhitung, contohnya, pilihlah sarana pembelajaran melalui
nyanyian atau cara lain yang mudah dipahami dan menyenangkan.
Hanya saja, meski sama-sama melalui cara yang menyenangkan, tujuan pendidikan
anak usia prasekolah berbeda dari pendidikan anak usia sekolah dasar awal. Kalau pendidikan
bagi anak usia prasekolah bertujuan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, maka konsep
pendidikan di awal sekolah dasar bertujuan mengarahkan anak agar dapat mengikuti tahapan-
tahapan pendidikan sesuai jenjangnya. Selain tentu saja untuk mengembangkan berbagai
kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan guna mengoptimalkan kecerdasannya.
Proses pembelajaran kepada anak harus sesuai dengan konsep pendidikan anak usia
dini. Mengajarkan konsep membaca dan berhitung, contohnya, haruslah dengan cara yang
menarik dan bisa dinikmati anak. Yang tidak kalah penting, selama proses belajar, jadikan anak
sebagai pusatnya dan bukannya guru yang mendominasi kelas. Dalam pelaksanaannya, inilah
yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Jadi bukannya "CBSA" yang kerap diplesetkan
sebagai "Catat Buku Sampai Abis".
Sementara pendidikan usia dini yang diberikan dalam keluarga juga harus berpijak pada
konsep PAUD. Artinya, pola asuh yang diterapkan orang tua hendaknya cukup memberi
kebebasan kepada anak untuk mengembangkan aneka keterampilan dan kemandiriannya.
Ingat, porsi waktu terbesar yang dimiliki anak adalah bersama keluarganya dan bukan di
sekolah.

2.7 Program Pendidikan Bagi Anak Usia Dini


Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1992 tentang pendidikan pra-sekolah, pasal 4
ayat (1) disebutkan bahwa “bentuk satuan pendidikan pra-sekolah meliputi Taman Kanak-
kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak serta bentuk lain yang diterapkan oleh Menteri.
Kelompok Bermain
Pendidikan dini bagi anak-anak usia pra-sekolah (3-6 tahun) merupakan hal yang penting,
karena pada usia ini merupakan masa membentuk dasar-dasar kepribadian manusia,
kemampuan berfikir, kecerdasan, keterampilan serta kemandirian maupun kemampuan
bersosialisasi. Pada dasarnya dunia anak adalah dunia fundamental dari perkembangan
manusia menuju manusia dewasa yang sempurna. Disadari bahwa generasi merupakan
generasi penerus yang perlu dibina sejak dini, karenanya pembinaan sejak dini merupakan
tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Pembinaan anak usia pra-sekolah terutama peranan
keluarga sangat menentukan.
Menurut Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra-sekolah,
Kelompok Bermain adalah salah satu bentuk usaha kesejahteraan anak dengan mengutamakan
kegiatan bermain, yang juga menyelenggarakan pendidikan pra-sekolah bagi anak usia 3 tahun
sampai memasuki pendidikan dasar.
Selama tahun pra-sekolah, taman kanak-kanak, pusat penitipan anak-anak dan kelompok
bermain semuanya menekankan permainan yang memakai mainan. Akibatnya baik sendiri atau
berkelompok mainan merupakan unsure yang penting dari aktivitas bermain anak. Bermain
dengan teman-teman sebayanya, anak dirangsang dalam kemampuan mental seperti
kecerdasan, kreativitas, kemampuan sosial yang sangat bermanfaat pada masa kini dan masa
yang akan datang. Kegiatan bermain memiliki arti positif terhadap perkembangan sosial anak.
Seperti yang dikemukakan oleh Zulkifli bahwa dengan berman mereka lebih banyak mengenal
benda-benda yang berguna bagi perkembangan sosialnya. Hal ini dapat terlihat dengan
mengenal benda seperti mobil dapat mengembangkan rasa sosial anak dimana benda tersebut
dapat membantu orang lain eprgi kesuatu tempat tertentu. Secara lebih jauh dapat dilihat
dengan adanya perkembangan teknologi menunjukan makin menariknya teknis dan permainan
elektronik bagi anak yang ditunjang oleh situasi dan kondisi dimana anak-anak sulit mendapat
teman sebaya untuk bersosialisasi sehingga anak dapat menonton atau bermain sendiri tanpa
memerlukan oranglain.

BAB III
KESIMPULAN

Seorang anak yang baru lahir, ia masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-
fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Hal yang dibutuhkan anak
agar tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-upaya pendidikan sepertiu
terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak untuk belajar, dan bimbingan
serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu menumbuhkan kecerdasan
anak yaitu mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri anak.
Masa usia dini merupakan Periode emas yang merupakan periode kritis bagi anak,
dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya
datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan
untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan
terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi,
sesuai dengan keu

Diposting 11th December 2012 oleh trisna wati

0
Tambahkan komentar
2.
DEC

11

Kedudukan Bimbingan dan Konseling di


Sekolah
Berbicara tentang pendidikan nasional atau
sekolah di negara ini, yang sering menjadi sorotan adalah masalah nilai atau kemampuan
kognitif siswa, bangunan sekolah, dan kesejahteraan guru. Jarang sekali isu kepribadian siswa
diungkit, apalagi peran guru Bimbingan dan Konseling atau konselor sekolah dalam
pembentukan pribadi siswa.
Bimbingan Konseling seolah menjadi topik yang tidak seksi untuk dibicarakan. Padahal, kalau
merujuk ke negara yang pendidikannya maju, seperti Amerika Serikat, Singapura, bahkan
Malaysia, peran guru BK sangat diperhatikan. Beberapa minggu yang lalu seorang teman di
Malaysia bercerita betapa berkembanganya ilmu BK di negeri itu. Lalu, kenapa di Indonesia
isu tentang BK menjadi isu nomor 2, kalaupun diangkat, bukan menjadi isu nasional tetapi
daerah. Gerakan yang terlihat malah dari daerah, bahkan dari sekolah-sekolah.
Isu BK yang tidak seksi ini mengakibatkan sekolah-sekolah tidak memiliki paradigma yang
tunggal terhadap BK. Di bawah ini saya mencoba membangi sekolah ke dalam 5 kelompok,
berkaitan dengan BK: Pertama, sekolah yang sadar betul pentingnya BK untuk membangun
karakter siswa. Kesadaran ini mendorong sekolah ini menata sistem ke BK-an menjadi salah
satu elemen penting sekolah. Untuk membangun sistim ke BK-an ini mereka melakukan studi
banding, membangun fasilitas BK, memberikan waktu masuk kelas untuk guru BK, melibatkan
tenaga BK dalam seluruh prose perkembangan siswa, menempatkan BK sebagai rekan guru
bukan hanya sebagai pelengkap, mengirim guru-guru BK mengikuti seminar.
Kedua, sekolah yang sadar akan kedudukan BK dalam pembentukan pribadi siswa, tetapi tidak
didukung oleh materi, tenaga dan yayasan (swasta) atau pemerintah (negeri). Keberadaan BK
di sekolah ini antara ada dan tiada, hidup segan mati tak mau. Di sekolah kategori ini semua
konsep ke BK-an hanya tinggal dalam angan-angan. Untuk membangun manajemen BK di
sekolah ini butuh tenaga ekstra. Pendekatan yang dilakukanpun harus bervariasi. Ada
pendekatan pragmatis, ada pendekatan structural.
Ketiga, Sekolah yang masih menerapkan manajemen BK jadul. Guru BK masih dianggap
sebagai polisi sekolah, hanya menangani orang yang bermasalah. Sekolah ini cenderung tidak
terbuka terhadap perkembangan ilmu BK dan tidak melihat fungsi BK dalam pembentukan
pribadi siswa. Guru BK masih ditempatkan sebagai pelengkap dalam proses pendidikan anak,
bukan sebagai rekan tenaga pengajar. Bahkan ironisnya, yang menjadi guru BK bukan lulusan
Bimbingan dan Konseling. Sekolah ini anti perubahan.
Keempat, sekolah yang belum memiliki manajemen BK. Penyembanya, bisa karena belum ada
tenaga, atau tidak ada yang tahu sehingga tidak ada yang memulau, atau bisa juga karena
masalah financial, atau menganggap tidak perlu. Biasanya sekolah kategori ini terdapat di
kecamatan atau sekolah anak tidak mampu.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi Program Studi Bimbingan dan Konseling. Mampukan
Prodi BK melihat ini menjadi peluang, menjadikan sekolah-sekolah in sebagai laboratorium
bagi mahasiswa. Salah satu gagasan yang bias dicoba Prodi BK adalah membentuk satu uni
formal menangani manajemen ke-BK-an di sekolah-sekolah yang belum ada BKnya. Unit
formal ini bias diberi nama Unit Pendampingan Sekolah. Fungsi unit ini adalah melaklukan
monitoring, training, dan pendampingan berkelanjutan sampai BK di sekolah itu terbentuk dan
berfungsi dengan baik. Pembentukan unit ini akan memberi arti ganda kepada Prodi BK. Di
satu sisi menjadi tempat mahasiswa berpraktek, disisi lain mengangkat citra BK. M

Diposting 11th December 2012 oleh trisna wati

0
Tambahkan komentar
3.
DEC

11

pembelajaran kooperatif
Makalah Tentang Model Pembelajaran Kooperatif

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah
dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis
dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa,
apabila guru masih menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam
pembelajaran matematika cenderung berlangsung satu arah umumnya dari guru ke siswa, guru
lebih mendominasi pembelajaran maka pembelajaran cenderung monoton sehingga
mengakibatkan peserta didik (siswa) merasa jenuh dan tersiksa. Oleh karena itu dalam
membelajarkan matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi
pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan pembelajaran yang
direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu pemilihan model
pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi
pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada.

B. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca, khususnya para mahasiswa
jurusan matematika, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan Universitas Lampung agar
nantinya dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dapat menerapkan model
pembelajaran kooperatif yang sesuai
dengan tingkat perkembangan siswa dan materi pembelajaran.

Bab II
Model Pembelajaran Kooperatif
A. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Usaha-usaha guru dalam membelajarkan siswa merupakan bagian yang sangat
penting dalam mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan. Oleh
karena itu pemilihan berbagai metode, strategi, pendekatan serta teknik pembelajaran
merupakan suatu hal yang utama. Menurut Eggen dan Kauchak dalam Wardhani(2005), model
pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang
untuk mencapai suatu pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggung jawab guru dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Salah satu model
pembelajaran yang dapat diterapkan guru adalah model pembelajaran kooperatif.

Apakah model pembelajaran kooperatif itu? Model pembelajaran kooperatif


merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-
kelompok.Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang
berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal
dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Model
pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Nur (2000), semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas,
struktur tujuan dan struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur
penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur
tujuan serta struktur penghargaan model pembelajaran yang lain.

Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan
siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan
sosial.

B. Prinsip Dasar Dan Ciri-Ciri Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Nur (2000), prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
1.Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan
dalam kelompoknya.
2.Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota
3.kelompok mempunyai tujuan yang sama.
4.Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama
diantara anggota kelompoknya.
5.Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.
6.Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan
untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
7.Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Sedangkan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :


1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi
dasar yang akan dicapai.

2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat
kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras,
budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender.
3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu.

Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar
siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat,
saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling
menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain.

C. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif

Terdapat 6(enam) langkah dalam model pembelajaran kooperatif.


1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang
akan dicapai serta memotivasi siswa.

2. Menyajikan informasi.
Guru menyajikan informasi kepada siswa.

3.Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.


Guru menginformasikan pengelompokan siswa.

4.Membimbing kelompok belajar.


Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok kelompok belajar.

5. Evaluasi.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.

6.Memberikan penghargaan.
Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok.

Bab III
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

A. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD


Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) yang
dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin (dalam
Slavin, 1995) merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan
pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai menggunakan
pembelajaran kooperatif.

Student Team Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif
yang paling sederhana. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang
merupakan campuran menurut tingkat kinerjanya, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan
pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim
telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu
dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu. Tipe pembelajaran inilah yang
akan diterapkan dalam pembelajaran matematika.

Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD merupakan pendekatan Cooperative Learning yang
menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Guru
yang menggunakan STAD mengajukan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu
mengunakan presentasi Verbal atau teks.
B. Tahap Pelaksanaan Pembelajaran Model STAD.
1.Persiapan materi dan penerapan siswa dalam kelompok
Sebelum menyajikan guru harus mempersiapkan lembar kegiatan dan lembar jawaban yang
akan dipelajarai siswa dalam kelompok-kelomok kooperatif. Kemudian menetapkan siswa
dalam kelompok heterogen dengan jumlah maksimal 4 - 6 orang, aturan heterogenitas dapat
berdasarkan pada :
a).Kemampuan akademik (pandai, sedang dan rendah)
Yang didapat dari hasil akademik (skor awal) sebelumnya. Perlu diingat pembagian itu harus
diseimbangkan sehingga setiap kelompok terdiri dari siswa dengan siswa dengan tingkat
prestasi seimbang.
b). Jenis kelamin, latar belakang sosial, kesenangan bawaan/sifat (pendiam dan aktif), dll.
2. Penyajian Materi Pelajaran
a. Pendahuluan
Di sini perlu ditekankan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok dan
menginformasikan hal yang penting untuk memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang konsep-
konsep yang akan mereka pelajari. Materi pelajaran dipresentasikan oleh guru dengan
menggunakan metode pembelajaran. Siswa mengikuti presentasi guru dengan seksama sebagai
persiapan untuk mengikuti tes berikutnya
b. Pengembangan
Dilakukan pengembangan materi yang sesuai yang akan dipelajari siswa dalam kelompok. Di
sini siswa belajar untuk memahami makna bukan hafalan. Pertanyaan-peranyaan diberikan
penjelasan tentang benar atau salah. Jika siswa telah memahami konsep maka dapat beralih
kekonsep lain.
c. Praktek terkendali
Praktek terkendali dilakukan dalam menyajikan materi dengan cara menyuruh siswa
mengerjakan soal, memanggil siswa secara acak untuk menjawab atau menyelesaikan masalah
agar siswa selalu siap dan dalam memberikan tugas jangan menyita waktu lama.
3.Kegiatan kelompok
Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok sebagai bahan yang akan dipelajari siswa. Isi
dari LKS selain materi pelajaran juga digunakan untuk melatih kooperatif. Guru memberi
bantuan dengan memperjelas perintah, mengulang konsep dan menjawab pertanyaan. Dalam
kegiatan kelompok ini, para siswa bersama-sama mendiskusikan masalah yang dihadapi,
membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi. Kelompok diharapkan bekerja sama
dengan sebaik-baiknya dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran.
4.Evaluasi
Dilakukan selama 45 - 60 menit secara mandiri untuk menunjukkan apa yang telah siswa
pelajari selama bekerja dalam kelompok. Setelah kegiatan presentasi guru dan kegiatan
kelompok, siswa diberikan tes secara individual. Dalam menjawab tes, siswa tidak
diperkenankan saling membantu. Hasil evaluasi digunakan sebagai nilai perkembangan
individu dan disumbangkan sebagai nilai perkembangan kelompok.
5. Penghargaan kelompok
Setiap anggota kelompok diharapkan mencapai skor tes yang tinggi karena skor ini akan
memberikan kontribusi terhadap peningkatan skor rata-rata kelompok. Dari hasil nilai
perkembangan, maka penghargaan pada prestasi kelompok diberikan dalam tingkatan
penghargaan seperti kelompok baik, hebat dan super.
6.Perhitungan ulang skor awal dan pengubahan kelompok
Satu periode penilaian (3 – 4 minggu) dilakukan perhitungan ulang skor evaluasi sebagai skor
awal siswa yang baru. Kemudian dilakukan perubahan kelompok agar siswa dapat bekerja
dengan teman yang lain.
C. Materi Matematika yang Relevan dengan STAD.
Materi-materi matematika yang relevan dengan pembelajaran kooperatif tipe Student Team
Achievement Divisions (STAD) adalah materi-materi yang hanya untuk memahami fakta-
fakta, konsep-konsep dasar dan tidak memerlukan penalaran yang tinggidan juga hapalan,
misalnya bilangan bulat, himpunan-himpunan, bilangan jam, dll. Dengan penyajian materi
yang tepat dan menarik bagi siswa, seperti halnya pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat
memaksimalkan proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

D. Keunggulan Model Pembelajaran Tipe STAD


Keunggulan dari metode pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah adanya kerja sama dalam
kelompok dan dalam menentukan keberhasilan kelompok ter tergantung keberhasilan individu,
sehingga setiap anggota kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang lain.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa
untuk saling memotivasi saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai
prestasi yang maksimal.

BAB IV
Simpulan dan Saran

A. Simpulan

1. Pembelajaran kooperatif adalah strategi belajar dimana siswa belajar dalam kelompok kecil
yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda
2. Pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses dalam seting pembelajaran kooperatif
tipe STAD dapat mengubah pembelajaran dari teacher center menjadi student centered.
3. Pada intinya konsep dari model pembelajaran tipe STAD adalah Guru menyajikan pelajaran
kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah
menguasai pelajaran tersebut

Saran

1.Diharapkan guru mengenalkan dan melatihkan keterampilan proses dan keterampilam


kooperatif sebelum atau selama pembelajaran agar siswa mampu menemukan dan
mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta dapat menumbuhkan dan mengembangkan
sikap dan nilai yang dituntut.
2.Agar pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses berorientasi pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat berjalan, sebaiknya guru membuat perencanaan mengajar materi
pelajaran, dan menentukan semua konsep-konsep yang akan dikembangkan, dan untuk setiap
konsep ditentukan metode atau pendekatan yang akan digunakan serta keterampilan proses
yang akan dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail. (2003). Media Pembelajaran (Model-model Pembelajaran). Jakarta: Proyek


Peningkatan Mutu SLTP.
Sri Wardhani. (2006). Contoh Silabus dan RPP Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG
Matematika.

Tim PPPG Matematika. (2003). Beberapa Teknik, Model dan Strategi Dalam
Pembelajaran Matematika. Bahan Ajar Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG
Matematika.

Widowati, Budijastuti. 2001 Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Universitas Negeri Suraba

Diposting 11th December 2012 oleh trisna wati

0
Tambahkan komentar

Memuat
Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai