PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya orang tua anak-anak dan pendidik din tingkat sekolah dasar
dan tingkat menengah pertama tidak mengetahui adanya suatu gangguan yang
mengakibatkan anak-anak sulit belajar karena keadaan disleksia (dyslexia).
Kesulitan belajar ini meliputi antara lain kesulitan membaca, menulis, mengeja,
bicara, berhitung. Disleksia bersifat terus menerus hingga dewasa dan tua. Karena
ketidaktahuan orang tua dan pendidiknya, dirumah mereka sering diperlakukan
sebagai anak cacat mental sedangkan disekolah diperlakukan sebagai anak bodoh.
Oleh karena itu, perlu adanya penyebaran informasi mengenai disleksia sehingga
orang tua anak dan pendidiknya memperlakukan mereka secara tepat (Powel S,
Komunikasi Pribadi, 2004).
Jaman dahulu, anak tak bisa membaca adalah anak bodoh. Plain stupid.
Jaman dulu anak yang suka berhayal adalah anak ngawur. Hari ini manusia kian
pandai memilah mana yang bodoh karena tak belajar, atau pintar tapi tak bisa
mengungkapkan secara verbal ataupun lisan.
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian disleksia?
2. Apakah gejala dari disleksia?
3. Bagaimana cara menangani disleksia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dan latar belakang terjadinya kesulitan belajar
khususnya disleksia
2. Mengetahui gejala pada disleksia
3. Mengetahui cara penanganan disleksia
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
Disleksia berasal dari kata Yunani yaitu (Greek) “dys” yang berarti kesulitan
dan “leksia” yang berarti kata-kata (Philips, 2006). Disleksia ialah suatu kondisi
kesulitan, perlu kerja keras, bahkan sering mengalami kegagalan dalam kegiatan
membaca. Entah mengalami kegagalan dalam hal fonologi (atau bunyi suatu
susunan huruf), semantik (atau proses pemaknaan kata), maupun dalam hal
mengenali huruf, dan mengeja. Semua kegagalan ini disebabkan oleh adanya
gangguan fungsi minimal syaraf otak secara biologis. Maksudnya, adanya
gangguan fungsi syaraf pada bagian tertentu saja, dan gangguan tersebut difaktori
oleh faktor biologis, seperti faktor genetik, ketidak seimbangan biokimia tubuh,
kelainan nutrisi pada otak, ataupun pengaruh obat-obatan. (Citra, 2013)
Disleksia sebagai kesulitan belajar spesifik dalam masalah belajar tertentu, bukan
belajar umum yang mengalami kesulitan dalam seluruh spektrum belajar. Gejala yang
spesifik berupa kesulitan dalam membaca, mengeja, dan bahasa tulisan. Gejala penyerta
lain dapat berupa kesulitan menghitung (dyscalculia), menulis angka (notational
skills/music), fungsi koordinasi/ keterampilan motorik (dispraksi). (Munawaroh)
3
4
Berkaitan dengan berbagai bentuk kesalahan dan problem yang dimiliki oleh
anak disleksia tersebut, Gearheart (1984) menyatakan disleksia merupakan
kesulitan membaca berat yang disertai oleh gangguan persepsi visual dan
problem-problem dalam menulis misalnya perbalikan dan tulisan cermin (mirror
writing).
Menurut Ekwall & Shanker 1988 (dalam M.Sodia, A, 1996:6) ada beberapa
gejala berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia):
1. Pembalikan huruf dan kata,misalnya membalikan huruf b dengan d; p
dengan a, u dengan n; kata kuda dengan daku palu dengan lupa; tali
dengan ilat; satu dengan utas.
2. Pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak menentu (eratik)
3. Membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul
4. Membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral (secara lisan) yang
pertama
5
D. Klasifikasi Dislaksia
Sidiarto (2007) menjelaskan klasifikasi disleksia sebagai berikut.
1. Disleksia dan Gangguan Visual
Disleksia jenis ini disebut disleksia diseidetis atau disleksia visual (Helmer
Myklebust). Kelainan ini jarang, hanya didapat pada 5% kasus disleksia (Gobin, 1980
yang dikutip Njikoktjien, 1986). Gangguan fungsi otak bagian belakang dapat
menimbulkan gangguan dalam persepsi visual (pengenalan visual tidak optimal,
membuat kesalahan dalam membaca dan mengeja visual), dan defisit dalam memori
visual. Adannya rotasi dalam bentukhuruf-huruf atau angka yang hampir mirip
bentuknya, bayangan cermin (b-d, p-q, 5-2, 3-E,) atau huruf , angka terbalik
(inversion) seperti m-w, n-u, 6-9. Hal ini terlihat nyata pada tulisannya.
2. Disleksia dan Gangguan Bahasa
Disleksia ini disebut disleksia verbal atau linguistik.Beberapa penulis
menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50-80%. Lima puluh persen dari
jenis ini mengalami keterlambatan berbicara (disfasia perkembangan) pada masa
balita atau prasekolah (Njikoktjien, 1986). Legien dan Bouma (1987) menyebutkan
kelainan ini didapatkan pada sekitar 4% dari semua anak laki-laki dan 1% pada anak
perempuan. Gejala berupa kesulitan dalam diskriminasi atau persepsi auditoris
(disleksia disfonemmis) seperti p-t, b-g, t-d, t-k; kesulitan mengeja secara auditoris,
kesulitan menyebut atau menemukan kata atau kalimat, urutan auditoris yang kacau
(sekolah→sekolha). Hal ini berdampak pada imla atau membuat karangan.
Disleksia ini disebut sebagai disleksia auditoris (Myklebust). Ada gangguan pada
kondisi visualauditoris (grafem-fonem), anak membaca lambat. Dalam hal ini bahasa
verbal dan persepsi visualnya baik. Apa yang dilihat tidak dapat dinyatakan dalam
bunyi bahasa. Terdapat gangguan dalam “crossmodal (visual-auditory) memory
retrieval”. Bakker, et al., (1987) membagi disleksia menjadi dua tripologi, yaitu
sebagai berikut :
a. L-Type dyslexia (linguistic)
Anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan seperti
penghilangan (omission), penambahan (addition), atau penggantian huruf
(subtitution), dan kesalahan multi-kata lainnya.
8
F. Penanganan Disleksia
Di Amerika Serikat (AS), telah dikembangkan suatu metode untuk membantu
penyandnag disleksia yang dikembangkan oleh Dore Achivement Centers. Metode ini
didassarkan pada asumsi bahwa anak disleksia memiliki kekurangan aktivitas pada otak
di bagian kanan yang dinamakan cerebelum, yang hanya mengandung 50% saraf otak.
Dengan metode ini, anak di stimuli di bagian otak tersebut, dengan sejumlah
pembelajaran.
Pelatihan dapat diberikan kepada anak disleksia, dengan cara menyisihkan waktu
untuk mengajarinya membaca. Tetapi, pelatihan ini tidak boleh dipaksakan apabila anak
sedang dalam kondisi tidak sehat sehingga rentan terhadap emosi negatif. Pelatihan ini
dilakukan secara bertahap, yakni hendaknya bersikap positif dan memberikan apesiasi
ketika anak bisa membaca dengan benar. Kemudian, diajarkan membaca kepada anak dan
membantunya unuk mengahayati setiap pelafalan kata dari mulutnya. Dalam pelatihan ini
dapat digunakan buku cerita dan mulai dibaca terlebih dahulu dengan suara keras untuk
menarik minat anak.
Anak dengan disleksia membutuhkan pengajaran secara individu dan
pengobatan untuk disleksia sering melibatkan program pendidikan multisensor.
Dukungan moril dari orang tua juga menjadi bagian yang penting.
1. instruksi langsung,
yang menggabungkan pendekatan multisensorik. Jenis pengobatan
ini terdiri dari pengajaran suara dengan berbagai isyarat, biasanya
terpisah dan (jika memungkinkan) merupakan bagian dari program
membaca.
2. Instruksi tidak langsung
Juga bisa diterapkan. Biasanya terdiri dari pelatihan untuk
mengucapkan kata atau pemahaman membaca. Anak diajari bagaimana
caranya untuk mengolah bunyi dengan mencampur bunyi untuk
membentuk kata, dengan memisahkan kata ke dalam huruf dan dengan
mengenali posisi bunyi dalam kata. (misalnya dalam mengenali bagian-
bagian atau pola dan membedakan berbagai jenis suara) atau masalah
dengan ingatan, percakapan, pemikiran serta pendengaran. (Citra, 2013)
10
3. Sensory Integration
Adalah membantu memudahkan tubuh anak untuk merespon dan
otak untuk mengatur jalannya pemrosesan sensori, sehingga anak lebih
mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya dan juga mampu
merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks yang bisa
meningkatkan kapasitas untuk belajar sang anak. Terapi ini untuk
menangani autisme, Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD),
Attention Deficit Disorder (ADD), Learning Disabilities (LD), gangguan
emosi, keseimbangan (gravitational insecurity), gangguan koordinasi
gerakan, gangguan konsentrasi dan gangguan perabaan (tactile
defensiveness).
Dengan metode ini anak akan diajarkan mengeja tidak hanya
berdasarkan apa yang didengarnnya lalu diucapkan kembali, tetapi juga
memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil
(sentuhan). Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi
antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah
otak bekerja menginggat kembali huruf-huruf.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disleksia merupakan kesulitan belajar membaca yang terjadi pada anak.
Disleksia terjadi karena kesulitan yang di alaminya terletak pada fungsi otak
(pusat-pusat susunan saraf) yang bersifat psikologis (kejiwaan) dalam memproses
informasi yang di dapatkan melalui alat-alat indra yang selanjutnya menjadi
pengetahuan. Anak yang mengalami disleksia dapat diidentifikasi dari klasifikasi
disleksia yang ada, yaitu disleksia visual, disleksia linguistic, dandisleksia visual-
auditoris.Ada beberapa factor penyebab disleksia secara umum karena factor lahir
premature, fisik, lingkungan, dan motivasi belajar bahasa. Hal inidapat di
bandingkan dengan anak yang tumbuh kembangnya normal dalam artian tidak
mengalami kesulitan dalam pengenalan bahasa sesuai usianya baik itu dalam hal
membaca, menulis, mengeja, dan angka.
B. Saran
11
12
Daftar Pustaka
Lidwina, soesniwati. 2012. Disleksia Berpengaruh pada Kemampuan Membaca
dan Menulis : Stie Semarang
Munawaroh, madinatul. 2013. Mengenali Tanda-Tanda Disleksia pada Anak Usia
Dini : Universitas Negeri Yogyakarta
Majzub, rohaty. 2005. Simptom Disleksia kanak-kanak Prasekolah :