Anda di halaman 1dari 23

TIROID

A. Hipotiroid
1. Definisi
Hipotiroid merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya sintesis hormone
yang rendah di dalam tubuh. Berbagai keadaan dapat menimbulkan hipotiroid baik
yang melibatkan kelenjar tiroid secara langsung maupun tidak langsung. Mengingat
bahwa hormon ini sangat berperan pada setiap proses dalam sel termasuk dalam otak,
menurunnya kadar hormon ini dalam tubuh akan menimbulkan akibat yang luas pada
seluruh tubuh.
2. Etiologi
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan menjadi hipotiroidisme primer, sekunder,
tersier, serta resistensi jaringan tubuh terhadap hormon tiroid. Hipotiroidisme
primer terjadi akibat kegagalan tiroid memproduksi hormon tiroid, sedangkan
hipotiroidisme sekunder adalah akibat defisiensi hormon TSH yang dihasilkan
oleh hipofisis. Hipotiroidisme tersier disebabkan oleh defisiensi TRH yang
dihasilkan oleh hipotalamus. Penyebab terbanyak hipotiroidisme adalah akibat
kegagalan produksi hormon tiroid oleh tiroid (hipotiroidisme primer). Penyebab
lebih lengkap hipotiroidisme dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Etiologi Hipotiroidisme

3. Patogenesis
Patogenesis hipotiroid sangat bervariasi, tergantung pada penyebab hipotiroid.
Patogenesis hipotiroid pada beberapa penyakit adalah sebagai berikut :
a. Tiroiditis Autoimun
Pada tiroiditis Hashimoto, terjadi peningkatan inflitrasi limfosit kedalam jaringan
kelejar tiroid yang mengakibatkan terbentuknya inti “germina”, dan metaplasia
oksifil. Folikel koloid tidak terbentuk dan terjadi fibrosis ringan sampai sedang.
Pada tiroiditis atrofik terjadi proses fibrosis yang lebih banyak dengan lebih sedikit
inflitrasi limfosit dan tidak terbentuknya folikel tiroid. Faktor genetik dan
lingkungan berpengaruh terhadap timbulnya tiroiditis otoimun. Tiroiditis otoimun
banyak terjadi pada individu yang memiliki hubungan keluarga. Polimorfisme
HLA-DR diketahui sangat terkait dengan tiroiditis otoimun seperti HLA DR3, DR4
dan DR5 pada kelompok kaukasia. Sedangkan polimorfisme sel regulator gen
CTLA-4 diketahui mempunyai kaitan yang tidak begitu nyata dengan terjadinya
tiroiditis otoimun. Polimorfisme HLA-DR dan CTLA-4 diketahui bertanggung
jawab terhadap sekitar 50 % kasus tiroiditis otoimun . Aktifasi CD-4+, CD-8+ dan
limfosit-B pada tiroiditis otoimum merupakan mediator terjadinya kerusakan sel
kelenjar tiroid. CD-8+ merupakan mediator utama timbulnya proses tersebut yang
menimbulkan nekrosis sel akibat pengaruh perforin dan terjadinya apoptosis sel
oleh granzyme-B. Lebih lanjut berbagai sitokin (TNF- alpha, Il-1, IFN-gama) yang
diproduksi oleh sel-Takan memudahkan terjadinya apoptosis sel iroid melalui
aktifasi death receptor. Berbagai sitokin tersebut juga mengganggu fungsi sel tiroid
secara langsung disamping merangsang sel tiroid menproduksi molekul pro-
inflamasi yang lain. Meskipun antibodi-TPO dan antibodi terhadap tiroglobulin
merupakan petanda adanya proses otoimun pada kelenjar tiroid, ternyata kedua
antibodi tersebut hanya berperan pada penguatan proses otoimun yang sudah
terjadi.
b. Hipotiroid Akibat Defisiensi lodium
lodium merupakan bahan dasar hormon tiroid, kekurangan asupan iodium dalam
jangka panjang akan mengganggu sintesis hormon. Kekurangan iodium yang lama
menimbulkan gondok endemik yang sering diketemukan pada daerah dengan
asupan iodium penduduk yang kurang.
c. Hipotiroid pada Pemberian lodium Dosis Besar
Konsumsi iodium dalam jumlah yang besar akan menghambat proses pengikatan
iodium dengan tiroglobulin (proses binding), serta menghambat pelepasan hormon
tiroid dari dalam folikel. Gambaran histopatologis pada kelainan ini adalah adanya
hiperplasia yang berat, T4 bebas rendah dan TSH meningkat, dan kadar iodium urin
sangat meningkat.
d. Hipotiroid Akibat Tindakan Bedah dan Terapi I131
Hipotiroid yang terjadi sebagai akibat terlalu banyaknya sel kelenjar yang terangkat
akibat proses pembedahan ataupun rusak akibat proses ablasi. Sebagai akibatnya
tidak cukup banyak sel kelenjar tiroid yang tersisa yang mampu memproduksi
cukup hormon tiroid. Nekrosis sel kelenjar tiroid akibat terapi I131 akan terjadi
secara bertahap dan diperlukan waktu sekitar 6 sampai 18 minggu untuk terjadinya
hipotiroid.
e. Hipotiroid Kongenital
Hipotiroid yang terjadi pada bayi baru lahir dapat berlangsung secara permanen
atau sementara hipotiroid kongenital yang permanen, ditandai dengan adanya
perubahan struktur, baik aplasia maupun hypoplasia atau terjadi perubahan lokasi
kelenjar tiroid (ektopik).
Hasil penelitian dengan skaning menunjukkan bahwa dishomogenesis (aninborn
error of metabolism) yang disertai gangguan pada sintesis T4 (tiroksin) didapatkan
pada 10-20% bayi baru lahir dengan hipotiroid kongenital. Sedangkan resistensi
TSH sebagai akibat adanya kelainan pada reseptor tirotropin didapatkan pada
sekitar 10% kasus hipotiroid kongenital.
Berbagai penyebab terjadinya hipotiroid pada bayi baru lahir yang bersifat
sementara antara lain : adanya bloking antibody ibu terhadap tirotropin, adanya
paparan terhadap obat anti tiroid yang dikonsumsi ibu, defisiensi iodium atau akibat
iodium yang berlebihan.
4. Tanda dan Gejala
Perjalanan penyakit biasanya terjadi secara perlahan. Pasien baru sadar mengalami
hipotiroid ketika terjadi perbaikan tanda dan gejala hipotiroid setelah mendapatkan
terapi yang memadai. Manifestasi hipotiroid terlihat pada semua organ tubuh, gejala
yang timbul tergantung pada kelainan yang mendasari serta berat ringannya hipotiroid.
Hormon tiroid sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan otak
dan saraf. Hipotiroid pada janin dalam kandungan atau bayi baru lahir akan
mengganggu pertumbuhan otak dan saraf. Bila tidak segera dikoreksi pada masa awal
kehidupan akan berdampak pada kerusakan jaringan otak dan saraf yang permanen.
Defisiensi hormon yang terjadi pada orang dewasa, tidak terlalu nyata menimbulkan
kelainan otak dan syaraf dan dapat diperbaiki dengan terapi hormon. Gejala yang
terjadi pada orang dewasa berupa penurunan daya intektual, menurunnya nada bicara,
ganguan memori, letargi, rasa ngantuk yang berlebihan dan pada orang tua terjadi
demensia. Pada hipotiroid yang berat dapat menimbulkan koma mixedema yang
disertai kejang (ataksi serebral), penurunan pendengaran, suara yang dan serak dan
gerakan yang yang sangat lambat. Reflek fisiologis menurun dan pada rekam EEG
menunjukkan adanya perlambatan aktifitas dan hilangnya amplitudo gelombang alfa.
Pada kulit, hipotiroid menyebabkan tejadinya akan merubah penumpukan asam-
hialuronik yang akan merubah komposisi jaringan dasar kulit ataupun jaringan lain.
Oleh karena asam-hialuronik merupakan bahan yang higroskopis, penumpukan materi
ini akan menimbulkan peningkatan kandungan cairan sehingga terjadi edema,
penebalan kulit dan sembab pada wajah (myxedema). Pada penyakit tiroiditis
Hashimoto, dapat disertai adanya pigmentasi kulit yang menghilang (vitiligo) dan
merupakan ciri dari kelainan kulit akibat proses otoimun.
Dampak hipotiroid pada jantung akan mengakibatkan penurunan output-kardiak
sebagai akibat penurunan volume curah jantung dan bradikardi. Hal ini mencerminkan
adanya pengaruh inotropik maupun kronotropik dari hormon tiroid pada otot jantung.
Pada hipotiroid yang berat, teriadi pembesaran jantung dan suara jantung melemah
yang mungkin disebabkan adanya penumpukan cairan di dalam perikard yang banyak
mengandung protein dan glikosaminoglikan. Rekam EKG dapat menunjukkan adanya
bradikardi, perpanjangan waktu interval PR, gelombang P dan komplek QRS yang
rendah, kelainan pada segmen ST dan gelombang T yang lebih mendatar. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan kadar homosistein,
kreatin kinase, aspartat-amionotranferase serta dehidrogenase-laktat. Gabungan
kelainan ukuran jantung, perubahan EKG dan kelainan enzim disebut sebagai
mixedema jantung.
Pada sistem pernapasan, hipotiroid dapat menimbulkan penurunan kapasitas
pernapasan maksimal (maximal breathing capacity) dan kapasitas difusi, meskipun
mungkin volume paru tidak mengalami ganguan. Hipotiroid juga dapat menimbulkan
terjadinya efusi pleura. Pada hipotiroid yang berat, kinerja otot pernapasan mengalami
penurunan dan mengakibatkan terjadinya hipoksia. Kelainan yang terjadi pada organ
pernapasan tersebut kut berperan pada timbulnya koma pada mixedema. Pengaruh pada
organ pencernaan antara lain terjadinya gangguan penyerapan. Meskipun diketahui
adanya penurunan penyerapaan berbagai bahan makanan tidak semua bahan makanan
mengalami hal yang sama. Hal ini dimungkinkan oleh adanya penurunan motilitas
usus, sehingga masa penyerapan berlangsung lebih lama untuk bahan-bahan tertentu.
Meskipun terjadi penurunan nafsu makan, sering berat badan justru meningkat, oleh
karena adanya edema yang terjadi sebagai akibat adanya retensi cairan di dalam tubuh.
Hasil pemeriksaan laboratorium fungsi hati pada umumnya normal, hanya mungkin
terjadi penigkatan transaminasi sebagai akibat terjadinya gangguan klirens. Gejala
yang dapat timbul pada otot antara lain timbulnya rasa nyeri dan kekakuan otot yang
semakin mberat bila suhu udara menjadi dingin. Perlambatan kontraksi dan relaksasi
otot berpengaruh pada gera ekstremitas dan refleks tendon. Masa otot mungkin akan
berkurang, namun dapat terjadi pembesaran otot akibat adanya edema jaringan. liran
darah ke ginjal, filtrasi glomerulus, reabsorbsi pada tubulus akan mengalami
penurunan. Pemeriksaan asam urat menunjukkan adanya peningkatan, meskipun urea
nitrogen maupun keratin mungkin masih normal urunan filtrasi cairan akan
menimbulkan penumpukan cairan dalam tubuh, meskipun volume plasma turun
hormon tiroid berpengaruh pada pertumbuhan dan fungsi sistem reproduksi wanita
maupun pria. Hipotiroid yang timbul pada masa anak dan tidak diobati dengan benar
akan menghambat proses pendewasaan sistem reproduksi dan masa pubertas akan
timbul terlambat. Pada wanita dewasa hipotiroid yang berat menimbulkan penurunan
libido menurun sedangkan proliferasi endometrium tetap berlangsung dan sering
menimbulkan menstruasi yang tidak teratur. Sekresi LH terganggu, terjadi atrofi
ovarium dan gangguan menstruasi sampai amenoroe. Kesuburuan menurun, dan bila
terjadi kehamilan sering mengalami abortus spontan atau kelahiran prematur.
Metabolisme androgen dan estrogen terganggu, sekresi androgen mengalami
penurunan dan metabolisme testoteron beralih dari androsteron menjadi etiokolanolon.
Sintesis protein (globulin) pengikat hormon sex mangalami penurunan sehingga
konsentrasi testoteron dan estradiol dalam bentuk terikat diplasma menurun, sedangkan
testoteron dan estradiol bebas meningkat. Terjadi penurunan kecepatan metabolisme
basal (BMR) tubuh dan produksi panas. Nafsu makan menurun suhu badan cenderung
rendah dan tidak tahan terhadap hawa dingin. Sintesis dan pemecahan protein
mengalami penurunan dan hal ini dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan jaringan
otot dan tulang. Degradasi jaringan lemak lebih banyak terjadi dibanding sintesisnya.
Sebagai akibatnya terjadi peningkatan kadar LDL dan trigliserida di dalam darah.
5. Diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan melakukarn beberapa pendekatan, seperti :
a. Melakukan pemeriksaan terhadap tanda dan gejala yang timbul
Gejala hipotiroid timbul secara perlahan dan tidak spesifik. Hal ini menyebabkan
kesulitan deteksi dini keadaan hipotiroid. Beberapa keadaan atau penyakit lain
dapat memberikan gejala yang sama dengan hipotiroid. Hanya pada keadaan
hipotiroid yang berat gejala yang timbul lebih mudah dikenali.
b. Riwayat penyakit dan keluarga
Adanya riwayat pengobatan kelenjar tiroid dengan obat, tindakan bedah, ablasi
I131, radiasi daerah leher ataupun menkonsumsi obat-obat lain seperti amiodaron,
interferon alfa, interleukin serta litium akan sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis hipotiroidisme. Demikian pula bila mempunyai riwayat keluarga dengan
kelainan tiroid.
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sangat membantu penegakan diagnosis hipoiroid. Adanya
pembesaran kelenjar, kulit kering, edema piting, menurunnya reflek tendon,
bradikardi dan gejala-gejala yang lain dapat membantu diagnosis pasien dengan
hipotiroid. Hanya pada keadaan awal hipotiroid dan hipotiroid ringan, sering tanda-
tanda fisik tidak ditemukan.
d. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar hormon merupakan hal yang sangat
pentig guna menegakkan diagnosis. Dua macam test, yakni pengkuran kadar TSH
dan T4 (khususnya T4 bebas) merupakan pemeriksaan yang spesifik dan
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis hipotiroid. Peningkatan kadar TSH dan
menurunnya kadar T4 bebas menunjukkan adanya hipotiroid. Pemeriksaan tunggal
kadar T4 total tidak dapat memberikan kepastian diagnosis hipotiroid. Hal ini
mengingat bahwa T4 setelah dilepaskan dari kelenjar tiroid akan berikatan dengan
protein pengikat (thyroid binding globulin = TBG, thyroid binding pre-albumin =
TBPA, maupun albumin) sehingga tidak aktif. Hanya sekitar 1-2 % T4 yang bebas
dan dapat masuk kedalam sel dan dirubah menjadi T3 bebas melalui proses
deiodinasi yang akan memberikan efek biologis.
6. Penatalaksanaan
Pendekatan penatalaksanaan hipotiroid dapat dilakukan dengan melihat manifestasi
klinis pada penderita. Pada pasien dengan gejala hipotiroid yang nyata dan disertai
dengan penurunan T4 bebas dan kenaikan TSH (hipotiroid klinis) memerlukan terapi
levotiroksin (T4). Pada umumnya dosis yang diperlukan sebesar 1.6 Hg/kbBB/hari
(total: 100-150 ug/hari). Pada pasien dewasa <60 tahun tanpa disertai penyakit jantung
dan pembuluh darah, pemberian levotiroksin dimulai dengan dosis rendah (50 g/hari).
Kadar TSH diukur 2 bulan dihitung dari mulai awal terapi. Peningkatan dosis
levotiroksin dilakukan secara perlahan apabila kadar TSH belum mencapai batas
normal. Penambahan sebesar 12.5-25 ug/hari dilakukan setiap 2 bulan (sesuai dengan
pemeriksaan kadar TSH). Penurunan dosis sebesar 12.5-25 ug/hari juga dilakukan
apabila kadar TSH menurun dibawah normal sebagai akibat adanya penekanan
produksi TSH. Pada pasien dengan penyakit Grave yang mengalami hipotiroid setelah
pengobatan, pada umumnya membutuhkan dosis levotiroksin yang lebih kecil. Hal ini
mengingat ması h ada otonom dan menghasilkan panjang (sampai 7 hari), sehingga
apabila pasien lupa sebagian jaringan tiroid yang hormon.Levotiroksin mempunyai
masa paruh yan inum minum sekali, maka dosis yang seharusn ya dim hari itu
ditambahkan pada dosis hari berikutnya. Adanya kelainan malabsorbsi, pemberian
berbagai macam obat (kalsium oral, estrogen, kolesteramin, golongan statin, antasida,
rifampisin, amiodaron, karbamazepin, sulfas ferosus) dapat menggangu penyerapan
maupun sekresi levotiroksin. Sehingga pada pasien yang mendapat terapi obat tersebut
harus mendapatkan perhatian khusus.
Efek klinis terapi levotiroksin tidak segera terlihat. Pasien baru merasakan hilangnya
gejala 3-6 bulan setelah kadar TSH mencapai kadar normal. Hal ini perlu diberitahukan
kepada pasien agar tidak menghentikan program pengobatan yang memang
memerlukan waktu yang panjang. Apabila kadar TSH telah dapat dipertahankan
dengan dosis levotiroksin tertentu, maka pemberian levotiroksin tetap dipertahankan
pada dosis tersebut. Selanjutnya pemeriksaan kadar TSH dapat dilakukan setiap 1- 2
tahun sekali. Pada pasien hipotiroid sub-klinis belum ada kesepakatan rekomendasi
terapi levotiroksin. Hipotiroid sub-kinis merupakan keadaan dimana pada pasien tidak
dapatkan gejala hipotiroid, kadar T4 bebas dalam batas normal namun kadar TSH telah
meningkat.
Pada umumnya terapi levotiroksin belum diberikan apabila TSH masih < 10 mU/L.
Terapi baru diberikan apabila peningkatan TSH berlangsung lebih dari 3 bulan yang
diketahui dari beberapa kali pemeriksaan kadar TSH Kecenderungan menjadi
hipotiroid klinis pada kelompok ini semakin besar pada pasien yang disertai dengan
hasil TPO-Ab yang positif. Pemberian levotiroksin selalu dimulai dengan dosis yang
rendah dan dinaikkan secara bertahap. Pada pasien yang tidak memerlukan terapi
levotiroksin (TSH <10 mU/), pemeriksaan kadar TSH perlu dilakukan setiap tahun.
Berbagai keadan khusus seperti pada orang tua atau pada masa kehamilan, memerlukan
pendekatan yang agak berbeda. Pada orang tua pada umumnya memerlukan dosis
levotiroksin yang lebih rendah. Bila disertai dengan penyakit jantung dan pembuluh
darah pemberian dosis awal juga lebih kecil, yakni 12.5 ug/hari. Pada wanita yang
diketahui memiliki risiko hipotiroid yang tinggi harus ditetapkan status fungsi tiroid
sebelum konsepsi dan dipastikan tidak dalam keadaan hipotiroid. Hipotiroid pada
wanita hamil, terutama pada trimester pertama akan menyebabkan terjadinya gangguan
pertumbuhan otak janin yang dikandungnya. Bahkan adanya TPO-Ab yang positif saja
pada wanita yang eutiroid dapat mengganggu kehamilan yang mendorong terjadinya
abortus ataupun kelahiran prematur.
B. Nodul Tiroid
1. Definisi dan Klasifikasi
Dikepustakaan, selain istilah nodul tiroid sering digunakan pula istilah adenoma tiroid.
Istilah adenoma mempunyai arti yang lebih spesifik yaitu suatu pertumbuhan jinak
jaringan baru dari struktur kelenjar sedangkan istilah nodul tidak spesifik karena dapat
berupa kista, karsinoma, lobul dari jaringan normal, atau lesi fokal lain yang berbeda
dari jaringan normal. Secara klinik, nodul dibagi menjadi nodul tunggal (soliter) atau
multipel, sedangkan berdasarkan fungsinya bisa didapatkan nodul hiperfungsi,
hipofungsi, atau berfungsi normal. Klasifikasi etiologi nodul tiroid dapat dilihat pada
tabel dibawah.

2. Patogenesis
Lingkungan, genetik dan proses autoimun dianggap merupakan faktor-faktor penting
dalam patogenesis nodul tiroid. Namun masih belum dimengerti sepenuhnya proses
perubahan atau pertumbuhan sel-sel folikel tiroid menjadi nodul. Konsep yang selama
ini dianut bahwa (hormon perangsang tiroid) TSH secara sinergistik bekerja dengan
insulin dan/ atau insulin-like growth factor I dan memegang peranan penting dalam
pengaturan pertumbuhan sel-sel tiroid perlu ditinjau kembali. Berbagai temuan akhir-
akhir ini menunjukkan TSH mungkin hanya merupakan salah satu dari mata rantai di
dalam suatu jejaring sinyal-sinyal yang kompleks yang memodulasi dan mengontrol
stimulasi pertumbuhan dan fungsi sel tiroid. Penelitian yang mendalam berikut
implikasi klinik dari jejaring sinyal tersebut sangat diperlukan untuk memahami
patogenesis nodul tiroid Adenoma tiroid merupakan pertumbuhan baru monoklonal
yang terbentuk sebagai respons terhadap suatu rangsangan.
Faktor herediter tampaknya tidak memegang peranan penting. Nodul tiroid ditemukan
4 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria, walaupun tidak ada bukti kuat
keterkaitan antara estrogen dengan pertumbuhan sel. Adenoma tiroid tumbuh perlahan
dan menetap selama bertahun-tahun; hal ini mungkin terkait dengan kenyataan bahwa
sel tiroid dewasa biasanya membelah setiap delapan tahun. Kehamilan cenderung
menyebabkan nodul bertambah besar dan menimbulkan pertumbuhan nodul baru.
Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan ke dalam nodul menyebabkan pembesaran
mendadak serta keluhan nyeri. Pada waktu terjadi perdarahan ke dalam adenoma, bisa
timbul tirotoksikosis selintas dengan peningkatan kadar T4 dan penurunan
penangkapan iodium (radioiodine uptake). Regresi spontan adenoma dapat terjadi.
Apakah suatu adenoma dapat berubah menjadi karsinoma? Adenoma dari awalnya
adalah jinak seperti halnya karsinoma yang dari awalnya juga ganas, walaupun
demikian pada beberapa kasus yang jarang terjadi, adenoma dapat bertransformasi
menjadi ganas.
Bagaimana nasib suatu nodul tiroid jinak? Perjalanan klinik dari suatu nodul belum
dipahami sepenuhnya. Penelitian dari Kuma dkk. (1994) melaporkan dari 134 asien
dengan nodul jinak (dibuktikan secara sitologis) yang diamati secara fisik dan
ultrasonografi selama 9 sampai 11 tahun tanpa diberi pengobatan apapun : 43 % nodul
akan mengalami regresi spontan , 23 % bertambah besar dan 33 % menetap. Yang
menarik sebagian besar nodul jinak tidak bertambah besar, dan kista dapat menghilang
atau mengecil tanpa pengobatan. Bila pasien-pasien tersebut sebelumnya diobati
dengan I-tiroksin, tentu tiroksinlah yang dianggap berperan dalam mengecilkan nodul
tersebut.
3. Karakteristik Nodul dan Penilaian Resiko
Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid jinak dari nodul ganas yang memiliki
karakteristik antara lain sebagai berikut:
a. Konsistensi keras dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami
degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak;
b. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama;
c. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan petands keganasan, walaupun
nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi.
d. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel harangue yang ganas,
tetapi nodul multipel dapat ditemukan pada 40% keganasan tiroid.
e. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu di curigai ganas.
f. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
4. Diagnostik
Dewasa ini tersedia berbagai modalitas diagnostik untuk mengevaluasi nodul tiroid
seperti biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH: Fine Needle Aspiration Biopsy = FNAB
ultrasonografi, sidik tiroid (sintigrafi; thyroid scan), dan CT (Computed Tomography)
scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging), serta penentuan status fungsi melalui
pemeriksaan kadar TSHs dan hormon tiroid. Langkah- langkah diagnostik yang akan
diambil dalam pengelolaan nodul tiroid tergantung pada fasilitas yang tersedia dan
pengalaman klinik (tabel 5).

Modalitas diagnostic nodul tiroid yang dapat digunakan sebagai berikut :


a. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH)
b. Uji diagnostik in vivo : ultrasonografi, sidik tiroid, CT scan/MRI
c. Uji diagnostik in vitro : hormone tiroid dan TSHs, kalsitonin
Gambaran ultrasonogram atau CT scan dari suatu nodul dapat diklasifikasikan menjadi
nodul padat, kistik atau campuran padat-kistik. Sedangkan dari penyidikan isotopik,
berdasarkan kemampuannya menangkap (uptake) radiofarmaka, suatu nodul dapat
berupa nodul hangat (warm nodule), panas (hot nodule), atau dingin (cold nodule)
Walaupun ada upaya untuk mencirikan proses keganasan dari suatu nodul, namun
sampai sekarang beium ada teknik pencitraan yang secara spesifik dan akurat dapat
memastikan adanya proses keganasan tersebut.
Dalam kepustakaan dapat ditemukan berbagai algoritma pengelolaan nodul tiroid, yang
disusun berdasarkan pengalaman serta fasilitas diagnostik yang tersedia. Beberapa
senter menyusun algoritma diagnostik dengan menggunakan BAJAH sebagai alat uji
diagnostik awal, diikuti dengan ultrasonograf dan/atau penyidikan isotopik (kalau
fasilitas kedokteran nuklir tersedia).
5. Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid antara lain sebagai berikut :
a. Terapi supresi dengan hormone levotiroksin
b. Bedah
c. Iodium radioaktif
d. Suntikan ethanol
e. Terapi laser dengan tuntunan ultrasonografi
f. Observasi, bila yakin nodul tidak ganas
Kapan nodul tiroid diamati saja perkembangannya (tanpa pengobatan), atau diberikan
terapi supresi hormonal, sklerosing, laser, iodium radioaktif, serta kapan pula dilakukan
tindakan bedah? Jawabannya tergantungdari hasil uji diagnostik dan kebijakan masing-
masing senter. Bila risiko keganasan rendah atau hasil BAJAH negative, pilihannya
adalah diamati saja perkembangannya, diberikan terapi supresi hormonal, terapi
sklerosing dengan suntikan ethanol, atau terapi laser dengan tuntunan ultrasonografi.
Atas pertimbangan kosmetik tindakan bedah dapat dilakukan pada suatu nodul jinak.
Sebaliknya bila hasil BAJAH positif ganas, maka perlu segera dilakukan tindakan
pembedahan.

C. Gondok Endemik
1. Definisi
Gondok endemik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang diakibatkan oleh berbagai
macam penyebab terjadi di suatu daerah dengan prevalensi tertentu, biasanya dikaikan
dengan lingkungan yang mengalami kekurangan yodum baik air minum atau tanah,
jenis mineral dalam nutrisi, atau zat yang goitrogenik dalam makanan. Sejak tahun
1980 pandangan para ahli terhadap defiensi yodium berubah dari defisiensi yodium
berakibat gondok endemik dan kretin endemik saja ke pandangan defisiensi yodium
merupakan gangguan perkembangan manusia berupa fisk mental dan intelektual.
Karena itu istilah gondok endemit diubah menjadi Gangguan Akibat Kekerangan
lodium (GAKI) yang efeknya sangat luas karena dapat mengena segmen yang luas dari
dalam kandungan ibu hingga orang dewasa. Kepentingan kliniknya tidak saja akibat
dari desakan mekanis akibat pembesaran kelenjar saja, tetapi terletak pada gangguan
fungsi lain yang menyertainya seperti gangguan perkembangan mental , dan rendahnya
lQ, hipotiroidisme dan kretin endemik.
2. Patogenesis
Bahan pokok pembuat hormon tiroid adalah yodium yang terdapat di alam, terutama
dari bahan makanan yang dari laut seperti rumput laut, ganggang laut, ikan laut dan
sebagainya. Yodium sedikit dalam buah-buahan, Mausia memerlukan sedikit sekali
yodium dalam seh tetapi harus dipenuhi secara teratur dan cukup. Hormon tiroid amat
vital bagi perkembangan dan pertumbuhan serta penyelenggaraan faal normal sel dan
jaringan tubuh. Bagi orang yang kelenjar tiroidnya kurang efisien, kebutuhan
yodiumnya agak lebih banyak dari orang normal. Seandainya yodium tidak tersedia
secara cukup. maka produksi hormon tiroid tidak mencukupi kebutuhan tubuh secara
memadai. Sesuai prinsip sistim umpan balik hipofisis-tiroid, maka hipofisis akan
mengetahui kekurangan hormon tiroid sehingga hipofisis terangsang untuk
mengeluarkan TSH kedalam aliran darah. Sebagai akibatnya kelenjar tiroid akan
terpacu mengeluarkan hormon tiroid unyuk memenuhi kekurangan ini. Pacuan yang
lama akan membuat kelenjaar tiroid membesar dan terbentuklah gondok.
3. Etiologi
Secara klasik gondok endemik dianggap disebabkan karena faktor-faktor :
1.Kekurangan yodium; 2. Faktor goitrogen; 3. Faktor kelebihan yodium; 4. Faktor
unsur kelumit, genetik serta faktor lain; 5. Faktor nutrisi pada umumnya.
4. Tanda dan Gejala
Survei epidemiologis untuk gondok endemik biasanya didasarkan atas besarnya
kelenjar tiroid dengan metoda palpasi. Menurut WHO tahun 2001 kriteria palpasi:
a. Grade 0 Tidak terlihat atau teraba gondok
b. Grade 1 Gondok teraba tetapi tidak terlihat apabila leher dalam posisi normal (tiroid
tak terlihat mem besar). Apabila ada nodul tetap masuk dalam grade ini, meskipun
secara keseluruhan tidak membesar
c. Grade 2 Pembengkakan di leher yang jelas terlihat dalam posisi normal. Dalam
palpasi tiroid memang membesar (membesar bila ukurannya lebih dari volume
falangs terminal terahir ibu jari yang diperiksa
Untuk masa depan, besarnya tiroid dianjurkan diperiksa dengan USG (ultrasonografi).
Sebab cara ini mudah, peka, reliabel, obyektif dibandingkan dengan palpasi. Nilai
normatif volume tiroid berbeda dari satu populasi ke populasi lain.
5. Diagnosis dan Klasifikasi
Berat ringannya endemik disamping dengan prevalensi dapat juga dengan memeriksa
ekskresi yodium urin (EYU) atau Urinary Excretion of Yodium (UEI). Dalam keadaan
seimbang yodium yang masuk tubuh dianggap sama dengan yang diekskresikan lewat
urin. Jadi ekskresi yodium urin dianggap sama dengan yodium yang masuk kedalam
tubuh. Jadi pemeriksaan urin dianggap menggambarkan asupan yodium.3 Data yang
dimaksudkan dinyatakan dalam 1). Jumlah mikrogram ekskresi yodium dalam sehari
(ug yodium/24 jam urin) atau 2). Karena sulit mengumpulkan sampel urin 24 jam di
pelaksanaannya maka dinyatakan dalam mikrogram Yodium per gram kreatinin urin
sewaktu (ug yodium/g Kreatinin urin) atau 3). ug yodium/dL urin sewaktu Menurut
Djokomoejanto (2007) gondok endemik terbagi dalam 3 grade:
Endemik Gradel (Ringan) endemik dengan nilai median ekskresi yodium urin > 50 ug
yodium/g kreatinin, - atau median urin antara 5,0-9,9 ug/dl. Dalam keadaan ini
kebutuhan hormon tiroid untuk pertumbuhan fisik maupun mental tepenuhi. Prevalensi
gondok pada anak sekolah 5-20 %.
Endemik Grade Il (Sedang) endemik dimana nilai median ekskresi yodium urin antara
25-50 ug yodium/g kreatinin, atau median antara 2,0-4,9 ug/dL. Hormon tiroid
mungkin tidak mencukupi. Ada risiko hipotiroidisme tetapi tidak terlihat kretin
endemik yang jelas. Prevalensi gondok anak sekolah sampai 30 %.
Endemik Grade II(Berat) Endemik dengan nilai medin ekskresi yodium urin <25 ug
yodium/g kreatinin atau<2 ug/dL Terjadi risiko sangat tinggi untuk lahirnya kretin
endemik dengan segala akibatnya. Prevalensi gondok anak sekolah > 30 % , prevalensi
kretin endemik dapat mencapai 1-10 %.
Status nutrisi yodium (berdasarkan UEl anak usia sekolah) memberikan indikasi untuk
berbagai kelainan dan diharapkan mampu memberi ramalan dan interpretasinya yang
tercantum dalam tabel 1.
6. Penatalaksanaan
Anjuran yang dilakukan adalah pemberian yodium pada individu yang kekurangan
yodium, dengan sangat baik dilakukan untuk pencegahan. Tetapi hanya cukup efektif
pada gondok yang jelas. Menurut pengalaman para ahli,hanya gondok difusa pada usia
muda yang dapat berubah mengecil, dan hanya pada ukuran tertentu. Pada gondok
nodular, pemberian yodium merupakan kontraindikasi sejak diketahui dapat
menyebabkan hipertiroidisme. Pada kasus seperti ini pemberian hormon tiroksin lebih
efektif terutama pada kasus gondok yang difusa. Jika nodul tiroid otonom timbul,
hormone tiroksin eksogen ditambahkan pada hormon yang dikeluarkan nodul dan
hasilnya terjadi kondisi hipertiroidisme.
Terapi pembedahan diperlukan untuk ukuran gondok yang besar dengan timbul gejala
akibat penekanan kelenjar tiroid pada organ dibelakangnya atau/dengan nodul tiroid
otonom. Prosedur ini dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman dan rumah sakit
yang terorganisasi dengan baik karena menyangkut beberapa disiplin ilmu, dan
biasanya jarang terdapat pada negara berkembang yang biasanya terdapat daerah
gondok endemic. Dibandingkan terapi pembedahan, sekarang lebih sering dilakukan
pemberian I131 , tetapi fasilitas yang modern merupakan hal yang utama. Injeksi etanol
pada nodul tiroid cukup mudah dan bisa dikerjakan tanpa peralatan yang rumit.
7. Pencegahan
Terapi untuk gondok endemik tidak ada yang mudah maupun efektif, pencegahan
terjadinya gondok endemik harus dilakukan. Secara teoritis sangat mudah: untuk
kekurangan yodium terapinya diberikan yodium, dan dihindari asupan zat goitrogen.
Tetapi ini mudah dikatakan dibandingkan dikerjakan. Terutama zat goitrogen sangat
sulit untuk dihindari. Zat goitrogen terdapat pada makanan pokok yang dikonsumsi
penduduk setempat karena situasi lingkungan, seperti singkong dan jenis padi tertentu.
Keadaan ini sulit untuk dianjurkan menghindari makanan tersebut bila makanan sehat
alternatif yang lain tidak tersedia, juga sulit untuk memodifikasi sumber air minum
untuk menghindari zat goitrogen dalam air minum tersebut. Bahkan dibeberapa daerah
di India yang kekurangan yodium masih didapatkan beberapa warung atau toko yang
menjual garam beryodium tetapi tidak berisi yodium secara standar.
Semenjak diketahui bahwa kekurangan yodium merupakan penyebab terbanyak dari
gondok endemik, maka ini merupakan dasar dari pencegahan gondok endemik.
Yodium dapat diberikan melalui berbagai cara. Tablet yodium atau dalam bentuk lain
bisa diberikan dalam bentuk lain yang diberikan tiap hari atau tiap minggu merupakan
tindakan yang tidak praktis. Tindakan yang penting dapat dikerjakan untuk populasi
yang kekurangan yodium adalah a. garam beryodium b. larutan minyak beryodium c.
air minum beryodium dan sebagainya.
Garam beryodium adalah hal yang sangat praktis untuk negara berkembang dengan
pabrik garam yang moderrn (bukan tradisional). Injeksi minyak beryodium mencukupi
kebutuhan yodium untuk setahun atau lebih Minyak beryodium juga bisa diberikan
peroral Sumber ar minum beryodium dapat diberikan pada kornunitas yandg
mempunyai sumber air sentral. Penambahan yodiurn pada bahan roti dan makanan
lainnya yang dikonsumi secara meluas akan sangt efektif dalam pencegahan penyakit
gondok endemik. Prosedur sepeti ini sudah banyak dikena dimasyarakat secara luas.
Untuk memudahkan pemberian yodium pada masyarakat yang memerlukan
peningkatan spontan asupan yodium sebaiknya meliputi beberapa faktor. Faktor-faktor
trsebut ekonomi agar masyarakat bisa membeli makanan yang lebih baik tapi juga yang
mengandung kaya yodium b) Komunikasi dan transportasi yang lebih baik sehingga
berupa: a). Pertumbuhan aerah kekurangan yodium yang sebelumnya terisolası bisa
mendapatkan makanan dari daerah yang baharn makanannya mengandung cukup
yodium c). Industrialisasi produksi makanan yang mengandung cukup yodium
Keberhasilan dari profilaksi gondok endemik karena kekurangan yodium harus selalu
dimonitor. Pemeriksaan lilis dari kelenjar tiroid sangatt penting, tetapi bila kelenjar
tiroid sudah terlihat membesar (biasanya tidak bisa mengecil lagi), lebih baik dengan
memonitor IEU (ekskresi yodium pada urin) pada populasi. Dalam pencegahan GAKI
menurut John Dunn sebaiknya perlu diperhatikan seven deadly sins yaitu: 1). Penilaian
status GAKI yang kurang tepat (sebaiknya memakai UEI TSH neonatal, kalau Total
Goiter Rate/TGR menggunakan Ultrasonografi) 2). Suplemen yang kurang pas kadar
yodiumnya atau pendistribusiannya 3).Maksimalkan peran stakeholders bukan hanya
pihak medis, termasuk kelompok sasaran 4). Kurangnya informasi dan edukasi 5).
Monitoring yang teratur diperlukansebab GAKI akan muncul kembali bila kita lengah
6). Memperhitungkan biaya 7). Jaminan keberlangsungan program.
D. Karsinoma Tiroid
1. Prevalensi
Angka kekerapan keganasan pada nodul tiroid berkisar 5-10 % . Prevalensi keganasan
pada multinodular tidak jauh berbeda. Gharib H dalam laporannya mendapatkan angka
4,1 % dan 4,7 % masing - masing prevalensi untuk nodul tunggal dan multipel. Bila
dilihat dari jenis karsinomanya , kurang lebih 90 % jenis karsinoma papilare dan
folikulare , 5-990 jenis karsinoma medulare , 1-2 % jenis karsinoma anaplastik 1-3 %
jenis lainnya . Anak - anak usia di bawah 20h dengan nodul tiroid dingin mempunyai
risiko keganasan 2 kali lebih besar dibanding kelompok dewasa. Kelompok usia di atas
60 th, di samping mempunyai prevalensi keganasan lebih tinggi, juga mempunyai
tingkat agresivitas penyakit yang lebih berat, yang terlihat dari seringnya kejadian jenis
karsinoma tiroid tidak berdiferensiasi.
2. Klasifikasi
Klasifikasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar, 1. asal sel yang berkembang menjadi
sel ganas, dan 2. tingkat keganasannya.
1. Asal Sel
a. Tumor epithelial
- Tumor berasal dari sel folikulare.
> Jinak : Adenoma Folikulare, Konvensional, Varia.
> Ganas:
- Karsinoma Berdiferensiasi baik: karsinoma folikulare,karsinoma papilare
(konvensional, varian)
- Berdiferensiasi buruk (karsinoma insular)
- Tak berdiferensiasi (anaplastik)
b. Tumor berasal dari sel C (berhubungan dengan tumor neuroendokrin)
- Karsinoma Medulare
c. Tumor berasal dari sel folikulare dan sel C
- Sarkoma
- Limfoma Malignum (dan neoplasma hematopoetik yang berhubungan)
- Neoplasma Miselaneus
2. Tingkat keganasan. Untuk kepentingan praktis, karsinoma tiroid dibagi atas 3
kategori, yaitu
- Tingkat keganasan rendah : a). Karsinoma papilare, b). Karsinoma folikular
(dengan invasi minimal)
- Tingkat keganasan menengah : a). Karsinoma folikulare (dengan invasi luas), b).
Karsinoma medulare, c). Limfoma maligna, d). Karsinoma tiroid berdiferensiasi
buruk
- Tingkat keganasan tinggi : a). Karsinoma tidak berdiferensiasi, b).
Haemangioendothelioma maligna (angiosarcoma)
Perangai karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik relatif jinak, perkembangannya
lambat dengan kelangsungan hidup cukup panjang. Dilaporkan angka kelangsungan
hidup 10 tahun berkisar 74-93 % untuk jenis papilare dan 43-94 % untuk jenis
folikulare . Sedang karsinoma tiroid yang tidak berdiferensiasi (anaplastik) hampir
semuanya meninggal dalam 1 tahun. Di klinik Mayo , hanya 3.6 % karsinoma
berdiferensiasi buruk yang mampu bertahan hidup lebih dari 5 tahun, meskipun telah
mendapat terapi operasi, radiasi eksternal dan kemoterapi.
3. Pendekatan Diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pasien dengan karsinoma tiroid biasanya datang dengan nodul soliter. Pengambilan
keterangan riwayat penyakit(anamnesis) merupakan bagian penting dalam rangka
penegakan diagnosis.
Untuk memudahkan pendekatan diagnostik, berikut ini adalah kumpulam riwayat
kesehatan dan pemeriksaan fisik yang mengarah pada nodul tiroid jinak, tanpa
menghilangkan kemungkinan adanya keganasan, yaitu :
- Riwayat keluarga tiroiditis hashimoto atau penyakit tiroid autoimun
- Riwayat keluarga dengan nodul tiroid jinak atau goiter
- Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme
- Nyeri dan kencang pada nodul
- Lunak, rata, dan tidak terfiksir
- Struma multinodular tanpa nodul dominan dan konsistensi sama
Sedangkan dibawah ini adalah kumpulan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik
yang meningkatkan kecurigaan keaarah keganasan tiroid, yaitu : usia <20 th atau >
60 th mempunyai prevalensi tinggi keganasan pada nodul yang teraba. Nodul pada
pria mempunyai kemungkinan 2 kali lebih tinggi menjadi ganas dari wanita
- Keluhan suara serak, susah napas, batuk, disfagia
- Riwayat radiasi pengion pada saat kanak-kanak
- Padat, keras, tidak rata, dan terfiksir
- Limfadenopati servikal
- Riwayat keganasan tiroid sebelumnya
b. Pemeriksaan penunjang
1. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)
Pemeriksaan sitology dari BAJAH nodul tiroid merupakan langkah pertama
yang harus dilakukan dalam proses diagnosis. BAJAH oleh operator yang
trampil, saat ini dianggap sebagai metode yang efektif untuk membedakan jinak
atau ganas pada nodul soliter atau nodul dominan dalam struma multinodular.
Gharib dkk melaporkan bahwa BAJAH mempunyai sensitivitas sebesar 83%
dan spesifisitas 92%. Bila BAJAH dikerjakan dengan baik, akan menghasilkan
angka negatif palsu kurang dari 5%, dan angka positif palsu hampir mendekati
1%. Hasil BAJAH dibagi menjadi 4 kategori, yaitu : jinak, mencurigakan
(termasuk adenoma folukulae), Hurthle dan gambaran yang sugestif tapi tidak
konklusif karsinoma papilare tiroid), ganas dan tidak adekuat.
2. Laboratorium
Keganasan tiroid bisa terjadi pada keadaan fungsi tiroid yang normal, hiper
maupun hipotiroid. Oleh karena itu perlu diingat bahwa abnormalitas fungsi
tiroid tdak dengan sendirinya menghilangkan kemungkinan keganasan. Sering
pada Hashimoto juga timbul nodul baik un/bilateral, sehingga pada tiroiditis
kronik Hashimoto pun masih mungkin terdapat keganasan. Pemeriksaan kadar
tiroglobulin serum untuk keganasan tiroid cukup sensitif tetapi tidak spesifik.
Karena peningkatan kadar tiroglobulin juga ditemukaan pada tiroiditis,
penyakit graves dan adenoma tiroid. Pemeriksaan kadar tiroglobulin sangat
baik untuk monitor kekambuhan karsinoma tiroid pasca terapi, kecuali pada
karsinoma tiroid medulare dan anaplastik, karena sel karsinoma anaplastik tidak
mensekresi tiroglobulin. Pada pasien dengan riwayat keluarga karsinoma tiroid
medulare tes genetik dan pemeriksaan kadar kalsitonin perlu dikerjakan. Bila
tidak ada kecurigaan ke arah karsinoma tiroid medulare atau neoplasia endokrin
multiple 2, pemeriksaan kadar kalsitonin tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan
rutin. Pemeriksaan imunohistokimia biasanya juga tidak dapat membedakan
lesi jinak dari lesi ganas.
3. Pencitraan
Pencitraan pada nodul tiroid tidak dapat menentukan jinak atau ganas, tetapi
dapat membantu mengarahkan dugaan nodul tioid tersebut cenderung jinak atau
ganas. Modalitas pencitraan yang sering digunakan pada nodul tiroid ialah sidik
(sintigrafi) tiroid dan USG.
Sintigrafi tiroid pada keganasan hanya memberikan gambaran hipofungsi atau
nodul dingin, sehingga dikatakan tidak spesifik dan tidak diagnostik. Sintigraf
tiroid dapat dilakukan dengan menggunakan 2 macam isotop, yaitu iodium
radioaktif(123-I) dan technetium pertechnetate (99m Tc). 123-I lebih banyak
digunakan dalam evaluasi fungsi tiroid, sedang 99m-Tc lebih digunakan untuk
evaluasi anatominya. Pada sintigrafi tiroid, kurang lebih 80-85 % nodul tiroid
memberikan hasil dingin (cold ) dan 10-15 % dari kelompok ini mempunyai
kemungkinan ganas . Nodul panas (hot ) ditemukan sekitar 5 % dengan risiko
ganas paling rendah, sedang nodul hangat (warm) terdapat 10-15 % dari seluruh
nodul dengan kemungkinan ganas lebih rendah dari 10 % .
USG pada evaluasi awal nodul tiroid dilakukan untuk menentukan ukuran dan
jumlah nodul, meski sebenarnya USG tidak dapat membedakan nodul jinak dari
yang ganas. USG pada nodul tiroid yang dingin sebagian besar akan
menghasilkan gambaran solid, campuran solid- kistik dan sedikit kista simpel.
Dari suatu seri penelitian USG nodul tiroid , didapatkan 69 % solid , 12 %
campuran dan 19 % kista . Dari seluruh 19 % kista tersebut , hanya 7 % yang
ganas, sedangkan kemungkinan ganas dari nodul solid atau campuran berkisar
20 % . USG juga dikerjakan untuk menentukan multinodularitas yang tidak
teraba dengan palpasi, khususnya pada individu dengan riwayat radiasi pengion
pada daerah kepala dan leher. Nodul soliter atau multipel yang lebih kecil dari
1cm yang hanya terdeteksi dengan USG umumnya jinak dan tidak diperlukan
pemeriksaan lanjutan lain kecuali evaluasi USG ulang secara periodik. Nodul
yang terdeteksi dengan USG pada pasien Graves umumnya jinak. Dari 315
pasien Graves ditemukan 106 nodul ukuran 8mm atau lebih. pada evaluasi
sitologi hanya ditemukan 1 (satu) kasus untuk karsinoma.
4. Terapi supresi siroksin (untuk diagnostik)
Salah satu cara meminimalisasi hasil negatif palsu pada BAJAH ialah dengan
terapi supresi TSH dengan tiroksi.n Yang dimaksud terapi supresi TSH dengan
L-tiroksin ialah menekan sekresi TSH dan hipofis sampai kadar TSH di bawah
batas nilai terendah angka normal. Rasionalitas supresi TSH berdasarkan bukti
bahwa TSH merupakan stimulator kuat unuk fungsi kelenjar tiroid dan
pertumbuhannya. Cara ini diharapkan dapat memisahkan nodul yang
memberikan respons dan tidak, dan kelompok terakhir ini lebih besar
kemungkinan ganasnya. Tetapi dengan adanya reseptor TSH di sel-sel
karsinoma tiroid, maka terapi tersebut juga akan memberikan pengecilan nodul.
Ini terbukti dari 13-15 % pasien karsinoma tiroid mengecil dengan terapi
supresi. Oleh karena itu tidak ada atau adanya respons terhadap supresi TSH
tidak dengan sendirinya secara pasti menyıngkirkan keganasan. Berdasarkan
data-data pada evaluasi klinis dan pemeriksaan penunjang, maka dapat diduga
kecenderungan suatu nodul tiroid jinak atau ganas.

4. Penatalaksanaan
a. Bedah
Perbedaan pendapat terjadi berkaitan dengan perlu tidaknya reseksi luas untuk
kasus kanker tiroid papiler dan folikuler, perlu tidakny diseksi kelenker getah
bening leher, supresi hormone pos reseksi dan penggunaan yang tepat terapi
radioaktif dengan 1311. Sampai saat ini belum ada satu penelitian uji klinik
prospektif yang bisa menjawab perbedaan pendapat ini. Kesuliltan untuk
melakukan penelitian prospektif adalah: (a) Kanker tiroid adalah penyakit yang
berjalan lambat, sehingga akan memerlukan waktu yang lama untuk mencari suatu
hubungan penatalaksanaan dan hasil pengobatan. (b). Jumlah sample yang sedikit.
Dengan alasan ini maka pentalaksanaan karsinoma tiroid yang berdeiferensiasi baik
baru di dasarkan pada data-data retrospektif.
Tujuan penatalaksanaan benjolan tiroid adalah melakukan eksisi pada keganasan
dan mencegah pembedahan yang tidak perlu dilakukan. Beberapa indikasi untuk
melakukan pembedahan pada benjolan tiroid adalah:
- Hasil pemeriksaan sitologi ( BAJAH) ganas, curiga ganas ataupun neoplasma
folikular
- Nodul tiroid dengan tanda invasi lokal seperti serak, terfiksir, pembesaran kgb
servikal
- Nodul tiroid pada pasien usia dibawah 20 tahun atau lebih 60 tahun dengan hasil
BAJAH atipia
- Nodul tiroid dengan pasien riwayat mendapat terapi radiasi pada daerah leher
- Struma Multi Nodular dengan gejala penekanan (disfagia, serak, gangguan
bernafas terutama saat berbaring).
Prinsip terapi pada kanker tiroid adalah operasi (reseksi ). Tindakan reseksi itu
bervariasi mulai dari ismolobektomi sampai total tiroidektomi dan diseksi kelenjer
getah bening leher berdasarkan level yang terkena. Luasnya reseksi tiroid pada jenis
kanker tiroid yang berdifferernsiasi baik masih dipertentangkan oleh para ahli.
Konsensus yang sering dipakai dalam menentukan luasnya reseksi adalah sistim
AMES ( (Age, Metastasis, Extent, Size) yang membagi pasien ke dalam factor
risiko tinggi dan rendah. Sistim lain adalah AGES (Age, Grade, Extent, Size) dan
MACIS (Metastasis, Age, Completeness of Resection, Invasion, Size). Namun
sebagai pegangan pada karsinoma tiroid dengan faktor risiko rendah dapat
dilakukan bedah konservtatif lobektomi atau sthmolobektomi ), sedangkan pada
faktor risiko tinggi dilakukan tiroidektomi total. Untuk karsinoma tiroid meduler
dan anaplastik terapi pilihan adalah tiroidektomi total. Diseksi leher hanya di
indikasikan jika terdapat metastasis pada kgb leher. Lokasi metastasis yang paling
sering adalah pada kgb daerah pre trakhea , terutama pada karsinoma papiler (80 %
kasus). Karena itu diseksi pada daerah ini harus dilakuka pada karsinoma papiler.
Lokasi 1/3 tengah M Sternokleido Mastoideus.
Karena metastasis kgb yang terbatas, maka tindakan diseksi leher paling sering
dilakukan adalah diseksi leher radikal modifikasi Karsinoma tiroid bilateral (kedua
lobus) terjadi sekitar 85 % , dan 5-10 % rekuransi terjadi pada lobus kontra lateral,
adanya jaringan tyroid sisa lebih jarang terjadi pada total tyroidektomi sehingga
mengurangi penggunaan tyroglobulin sebagai marker pada penyakit yang persisten
atau rekuran. Iodium radioaktif biasa di gunakan untuk mendeteksi dan mengobati
adanya jaringan tyroid sisa dan yang rekuran setelah total tiroidektomi. Angka
rekuransi pada tindakan total tiroidektomi lebih rendah dan mengurangi
kemungkinan operasi ulang pos tiroidektomi dengan kemungkinan kompolikasi
operasi yang lebih besar. Tiroidektomi merupakan operasi yang aman jika
dikerjakan oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang ini. Komplikasi yang
dapat terjadi adalah perdarahan, cederan n. laringeus rekuren, terangkatnya kelenjar
paratiroid.
b. Terapi adjuvant
Penggunaan radiasi interna (radioaktif 1311) pada keganasan tiroid masih
kontroversial. Radioablasi dikerjakan pada kasus kanker tiroid dengan faktor risiko
tinggi yang sudah dilakukan tiroidektomi total. Indikasi lainnya adalah untuk
mematikan lesi metastasis karsinoma tiroid. Tujuan dari terapi adalah
memaksimalkan angka bebas penyakit. Suatu penelitian kohort (lebih 10-20 tahun)
menemukan bahwa multi modalitas terapi adjuvan menurunkan kemungkinan
rekurensi dan meningkatkan harapan hidup. Terapi adjuvan utama adalah dan TSH,
tapi kriteria dari penggunaan kedua adjuvant ini berbeda dari satu center ke center
lain.
Penggunan radiasi eksterna / external - beam radiation terapy (EBRT) sebagai
adjuvant karsinoma tiroid hanya diberikan pada karsinoma anaplastik. Namun pada
saat ini fungsinya terbatas sebagai terapi paliatif. EBRT juga lebih sering di
gunakan sebagai terapi paliatif pada karsinoma tiroid yang telah bermetastase jauh
atau stadium lokal advance. Seperti metastase ke tulang atau rekuran pada "bed
tyroid". Pasien kanker tiroid tipe meduler yang termasuk risiko tinggi untuk terjadi
rekuransi loko regional ekstra glandular, dan metastase ke KGB sehingga di
anjurkan nvas1 mendapat EBRT pos operasi. Penggunaan kemoterapi tidak begitu
bermamfaat dalam penatalaksanaan kanker tyroid. Kemoterapi di gunakan terbatas
untuk karsinoma tiroid anapkastik namun hasilnya masih mengecewakan.
Pemakaian levothyroxine dalam dosis subtoksik tetap masih Tujuan terapi ini
adalah untuk menekan TSH yang didiuga merupakan perangsang/faktor
pertumbuhan kanker tiroid.
E. Implikasi Penyakit Tiroid terhadap Gigi dan Mulut
1. Hipotiroidisme
a. Manifestasi
Manifestasi klinis hipotiroidisme dapat juga ditemukan dalam rongga mulut.
Penderita hipotiroidisme mengalami gangguan baik pada jaringan lunak maupun
jaringan keras dalam rongga mulut. Manifestasi dalam mulut penderita
hipotiroidisme ini sebenarnya merupakan bagian dari gangguan sistem ditimbulkan
dari penyakit ini pada tubuh.
1. Jaringan Keras
Manifestasi klinis hipotiroidisme yang terdapat pada jaringan keras dalam
rongga mulut meliputi gigi dan tulang rahang baik maksila maupun mandibula.
Gangguan - gangguan yang dapat terjadi antara lain:
a. Erupsi gigi terlambat
Baik gigi desidui maupun gigi permanen mengalami erupsi yang terlambat.
Bahkan ada sebuah laporan yang menyebutkan bahwa gigi desidui seorang
penderita hipotiroidisme baru erupsi saat ia berusia 3 tahun. Pada penderita
hipotiroidisme juga mengalami gigi desidui yang terlambat untuk tanggal.
b. Mikrognatisme mandibular
Pada penderita hipotiroidisme kretinisme, dasar tulang tengkorak
mengalami pemendekan dan pertumbuhan tulang mandibula menjadi
lambat sedangkan tulang maksila mengalami pertumbuhan yang berlebihan
sehingga wajah terlihat tidak harmonis. Basis mandibula menjadi
berkembang ke arah bawah dan ke belakang. Pertumbuhan condylus yang
terlambat menyebabkan mikrognatia yang ada hubungannya dengan mulut
yang menganga.
c. Maloklusi
Kelainan pada perkembangan tulang rahang dapat dinubungkan dengan
terjadinya maloklusi. Rahang biasanya terlalu kecil sehingga gigi - geligi
tidak dapat tersusun dengan baik. Hal ini terjadi karena gangguan pada
erupsi gigi tidak separah gangguan pada perkembangan tulang. Akibatnya
tulang rahang terlalu kecil untuk memberi tempat pada keseluruhan gigi
geligi.
d. Karies
Insidens karies memang meningkat pada penderita hipotiroidisme. Namun
hal ini lebih banyak dihubungkan dengan kebersihan mulut yang kurang
daripada dengan kondisi defisiensi hormon tiroid Insidens karies yang
meningkat juga dapat dihubungkan dengan pernapasan melalui mulut dan
xerostomia yang terjadi pada penderita hipotiroidisme.
e. Kelainan gigi
Struktur dan pembentukan email, dentin dan sementum umumnya normal,
namun mengalami keterlambatan dalam perkembangannya. Dilaporkan
juga bahwa penderita hipotiroidisme kretinisme ada yang mengalami
hipoplasia email. Gangguan pembentukan email pada gigi permanen dapat
ditemukan pada gigi insisivus, kaninus dan molar satu dan molar dua.
Gangguan dalam pembentukan dentin merupakan indikasi terjadinya
perkembangan akar yang tidak sempurna atau pendek dan saluran pulpa
yang masih terbuka.
2. Jaringan Lunak
Manifestasi klinis hipotiroidisme yang terdapat pada jaringan lunak dalam
rongga mulut meliputi gusi, palatum, lidah, bibir, dan kelenjar ludah serta
mukosa lainnya. Gangguan gangguan yang dapat terjadi antara lain:
a. Makroglossia dan makrocheilia
Makroglossia dan makrocheilia merupakan manifestasi klinis yang sering
terdapat pada penderita hipotiroidisme. Bahkan anak anak kadang kadang
lidah dapat terjulur keluar. Makroglossia juga menyebabkan gangguan
dalam berbicara dan menelan disertai indentasi gigi pada lidah.
b. Edema gusi dan jaringan sekitarnya
Edema merupakan manifestasi klinis yang khas pada penderita
hipotiroidisme. Edema tidak saja terjadi pada wajah, tangan dan kaki,
namun juga dalam rongga mulut penderita. Edema dapat terjadi pada gusi,
palatum, laring, dan uvula yang menyebabkan timbulnya gangguan dalam
berbicara. Edema juga dapat terjadi pada pita suara. Terjadinya edema pita
suara dan makroglossia dapat menyebabkan suara menjadi serak dan berat.
Gusi mengalami edema secara seragam, edema terjadi ke semua arah, baik
fasial maupun lingual dari lengkung gigi. Gusi menjadi berwarna merah
pucat, dan lunak apabila ditekan. Jika ada radang sekunder, maka jaringan
jaringannya menjadi merah, sangat lunak dan cenderung mudah berdarah.
c. Penyakit periodontal
Insidens penyakit periodontal akan meningkat pada penderita
hipotiroidisme. Karena bentuk mulut dan lidah yang besar, biasanya pasien
bernafas melalui mulut. Hal ini menyebabkan tuulut kering dan
memudahkan terjadinya penyakit periodontal
d. Lidah nyeri dan licin
Penderita hipotiroidisme juga menderita anemia. Sehingga pada penderita
tersebut dapat ditemukan juga manifestasi klinis dalam rongga mulut yang
sama dengan penderita anemia yakni lidah yang licin dan terasa nyeri.
e. Xerostomia
Penderita hipotiroidisme dilaporkan mengalami disfungsi kelenjar ludah
karena atropi dari kelenjar ludah, sehingga menyebabkan berkurangnya air
ludah dalam mulut. Berkurangnya air ludah dalam mulut menyebabkan
xerostomia atau mulut yang kering. Pernapasan melalui mulut juga dapat
menyebabkan teradinya xerostomia. Hal ini meningkatkan insidens karies
gigi dan kandidiasis dalam mulut bagi penderita hipotiroidisme.
f. Kandidiasis
Akibat terjadinya penurunan immunitas maka penderita sangat sensitif
terkena infeksi. Hal inilah yang menyebabkan penderita mudah terserang
kandidiasis. Kandidiasis mukokutan kronik sering dijumpai pada penderita
hipotiroidisme. Sering dijumpai pada lidah.
g. Ulser herpes labialis
Seperti dikatakan diatas, bahwa penderita hipotiroidisme mudah terserang
infeksi virus karena immunitas yang lemah. Virus herpes simpleks 1 dapat
menyebabkan terjadinya ulser herpes labialis di dalam mulut. Dengan
demikian, kadang-kadang dapat ditemukan ulser herpes labialis pada
penderita hipotiroidisme. Ulser dapat ditemukan pada bibir, gusi, lidah dan
pipi.
b. Masalah Penderita Hipotiroidisme di Bidang Kedokteran Gigi
Perawatan gigi pada seorang penderita hipotiroidisme yang telah terkontrol secara
adekuat hampir sama seperti melakukan perawatan terhadap orang yang normal.
Namun, perawatan dan penanganan pada penderita hipotiroidisme yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan komplikasi yang serius. Demikian juga pada
penderita hipotiroidisme yang mendapat terapi tiroid yang berlebihan akan
memerlukan perawatan dan penanganan yang berbeda pula.
Pada penderita hipotiroidisme infantil atau kretinisme yang berat biasanya
mengalami gangguan keterbelakangan mental. Hal ini tentu membutuhkan
penanganan seksama selama pengobatan gigi, karena rasa cemas yang berlebihan.
Dukungan dari keluarga dan dokter gigi serta pengendalian dengan obat obatan
sangat dibutuhkan.
Beberapa penderita hipotiroidisme juga mengalami gejala klinis anemia.
Kehilangan darah yang banyak pada penderita ini akan menyebabkan kegagalan
jantung atau infark miokardium. Penderita hipotiroidisme sangat tidak menyukai
suhu yang dingin maka sebaiknya klinik dibuat sehangat mungkin untuk penderita
hipotiroidisme. Perubahan psikologis yang ditunjukkan oleh penderita
hipotiroidisme seperti depresi dan paranoid dapat menyulitkan perawatan gigi yang
sedang dilakukan.
Bila ingin mengatasinya dengan anti depresi atau transquilizer maka harus berhati
hati karena dapat menimbulkan koma terutama pada penderita berusia lanjut. Pada
penderita hipotiroidisme berusia lanjut, kemungkinan bahaya timbul koma
miksedema lebih besar. Diketahui koma miksedema dapat dicetuskan oleh infeksi,
tindakan pembedahan ataupun pemberian obat penenang. Koma miksedema
ditandai dengan denyut nadi yang sangat lambat bahkan tidak teraba, tekanan darah
yang rendah, hipotermia yang mengarah pada stupor, hipoventilasi, wajah yang
membengkak sampai ke tingkat yang ekstrem. Apabila hal ini terjadi di klinik, yang
harus dilakukan adalah dengan memberikan terapi tiroid dan hidrokortison secara
i.v ditambah terapi oksigen untuk mengatasi hipoventilasinya. Penderita perlu
dibawa ke ruangan yang lebih hangat selama menunggu bantuan medis.
Oleh karena kemampuan tubuh terbatas di dalam ekskresi obat dan pusat respirasi
yang hipersensitif maka diperlukan perhatian khusus pada pemberian diazepam,
codein, opioid, transquilizer dan anastesi umum. Dalam penggunaan anastesi lokal,
vasokonstriksi dapat diberikan pada penderita hipotiroidisme. Hal ini berlawanan
dengan penderita hipertiroidisme atau seseorang yang mendapat terapi tiroid secara
berlebihan, dimana penggunaan anastesi lokal dengan vasokonstriksi sedapat
mungkin dihindari.
Pada penderita hipotiroidisme, perawatan yang bertujuan untuk menyembuhkan
inflamasi sekunder pada gingiva dilakukan dengan perawatan secara lokal dan
meningkatkan kebersihan mulut. Pemberian terapi hormon tiroid akan memberikan
hasil yang baik dimana tekstur gingiva akan kembali normal. Makroglossia dan
makrocheilia akan kembali normal apabila dilakukan pemberian terapi hormon
tiroid secara adekuat. Tindakan dan perawatan gigi sebaiknya dilakukan perawatan
sesederhana mungkin apabila pasien adalah seorang penderita hipotiroidisme tidak
terkontrol sampai pasien dapat dikatakan terkontrol secara adekuat oleh dokter
yang merawatnya.
Dengan demikian, apabila dokter gigi menemukan pasien adalah seorang penderita
hipotiroidisme, ada baiknya sebagai dokter gigi yang profesional berkonsultasi
terlebih dahulu kepada dokter yang merawatnya. Apabila penderita belum
mengetahui bahwa ia menderita penyakit hipotiroidisme, maka penderita dapat
dirujuk kepada dokter spesialis penyakit dalam atau sub spesialis endokrin untuk
memastikan dugaan yang telah dilakukan dokter gigi. Hal ini untuk mencegah
masalah - masalah yang tidalk diinginkan.
2. Hipertiroidisme
Pada keadaan hipertiroid, sekresi dari hormone tiroid yang terlalu berlebihan, sehingga
proses metabolism maupun proses pengaturan energy juga tinggi. Pada keadaan
hipertiroid ini pada anak terlihat gambaran obese karna anak yang sering makan akibat
pengaturan nafsu makan yang tidak terkontrol. Pada anak hipertiroid berbeda dengan
hipotiroid dalam pertumbuhan giginya. Menurut Laura dkk, pada anak yang hipertiroid
pertumbuhan serta erupsi gigi terjadi lebih cepat dari biasanya akibat pelepasan
hormone tiroid yang berlebihan di dalam tubuh sehingga merangsang metabolism serta
produksi energy yang berlebih. Pada anak normal erupsi gigi terjadi pada usia 5 sampai
dengan 15 tahun. Pada anak yang mengalami hipertiroid erupsi giginya menjadi lebih
cepat, sehingga terlihat gambaran gigi biasanya anak gingsul (tidak teratur dan
berdempet satu dengan yang lain) akibat pertumbuhan gigi permanen yang lebih dahulu
sebelum gigi decidui lepas atau akarnya mati. Dan pada hipertiroid meningkatkan
terciptanya caries pada gigi, sehingga menyebabkan gigi cepat rusak. Serta efek lain
pada mulut yaitu osteoporosis pada maxilla dan mandibular, sindrom mulut terbakar,
dan meningkatkan penyakit periodontal gigi seperti gingivitis dan periodontitis yang
merusak jaringan pendukung gigi seperti gusi dan penghubung gigi dengan tulang
penyangga gigi yaitu tulang alveolar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Arif Harahap W.2015. Keganasan Pada Kelenjar Tiroid. Majalah Kedokteran Andalas.
Padang : Universitas Andalas.
3. Novita I. Manifestasi Hipotiroidisme Dalam Rongga Mulut dan Penanggulangannya.
Skripsi. FK Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Gigi, Universitas Sumatra Utara
Medan. 2002.

Anda mungkin juga menyukai