Anda di halaman 1dari 3

Media Di Bawah Bayang-Bayang Kapitalisme

indoprogress.com/2011/03/media-di-bawah-bayang-bayang-kapitalisme/

Harian IndoPROGRESS March 11, 2011

MENDISKUSIKAN jurnalisme dan media masa memang sangat


menarik. Entah mengenai keberpihakan jurnalis terhadap gerakan
progresif seperti yang disampaikan dalam tulisannya “Jurnalisme Supriadi Al-
Hamdulillah, Penulis
dan Perjuangan menuju Sosialisme,” atau mengenai pencitraan dan
lepas tinggal di
dunia imagologi yang disampaikan Nurani Soyomukti dengan judul Banten
“Pilkada, Televisi, dan Demokrasi.”

Seperti hendak mempertanyakan peranan jurnalis dalam pergerakan sosial, Wirawan


dengan singkat menceritakan seorang tokoh jurnalisme (Charles Anderson Dana) yang
memiliki sikap jelas untuk sebuah; katakanlah perubahan. Sementara itu Soyomukti
memperlihatkan kegelisahannya berkenaan dengan peran media dalam dunia politik (baca:
demokrasi).

Saya sendiri tidak ingin menambah deret panjang diskusi tentang jurnalisme dan media
masa, namun hanya ingin menyampaikan informasi dengan harapan dapat menjadi bahan
renungan dan pelajaran bagi siapa saja yang tertarik untuk masuk ke dalam diskursus
tersebut, yang hingga kini belum atau bahkan mungkin tidak akan pernah selesai.

Antara Idealisme dan Bisnis

Ketika saya ditanya seseorang, “apa itu berita?” pikiran saya langsung tertuju pada sebuah
karya yang ditulis Jurgen Habermas berjudul “The Structural Transformation of Public
Sphere.” Kenapa harus karya itu? Paling tidak karya itu memberikan informasi historis
berkenaan dengan eksistensi jurnalisme saat ini, yang menurut Wirawan, telah berpihak
kepada kelas pemodal.

Ketika perdagangan jarak jauh di Eropa mulai berkembang, para pengusaha (baca:
merchant) mengalami persoalan. Mereka butuh informasi mengenai tempat yang akan
dituju dan komoditas apa yang bakalan laku di tempat jauh tersebut. Untuk itulah para
pengusaha – kebanyakan di antara mereka berbasis gilda – melakukan pengelolaan
informasi dalam bentuk berita. Dari sanalah berita kemudian didefinisikan sebagai
informasi dari tempat jauh.

Lambat laun pengelolaan berita ini menjadi bisnis tersendiri di luar perdagangan yang
mereka lakukan. Dari mulai pengelolaan media informasi (pers) berbasis usaha rumah
tangga, hingga yang dikelola dalam skala dan modal besar.

Di sisi lain, ada pula mereka yang melakukan pengelolaan informasi demi kepentingan
sosial dan pergerakan. Di Inggris, misalnya, sejak abad 17 hingga puncaknya abad 18,
masyarakat sudah terbiasa berdiskusi di café-cafe mengenai berbagai macam persoalan
sosial. Kegiatan ini Habermas sebut sebagai ruang publik kritis. Hasil dari diskusi kritis
tersebut disebarkan secara luas dalam bentuk pamflet.

1/3
Dari sana kita menemukan benang sejarah bahwa kemunculan pers tidak lepas dari
wilayah kapitalis dan juga wilayah kritis. Kedua wilayah itu kemudian membentuk pers yang
sekarang dalam bentuk dua definisi; pers sebagai organisasi bisnis dan pers sebagai
kegiatan jurnalisme kritis. Itu pula yang kemudian banyak dipertanyakan, apakah pers
dapat menjaga idealismenya di tengah persaingan bisnis.

Sebagian di antara mereka yang tidak percaya terhadap kredibilitas dan idelisme pers,
kemudian membentuk pengelolaan informasi mandiri yang dikenal dengan subutan
“jurnalisme publik” atau “media alternatif’.” Menurut Chris Atton, kegiatan ini dikelola tanpa
tujuan keuntungan (non-commercial), editor dan penulis bebas dari partai politik, demi
kepentingan gerakan, dan anti-copyright. Demonstrasi pada pertemuan World Trade
Oorganization (WTO) di Seattle tahun 1999, juga perlawanan terhadap kapitalisme global
yang dilakukan pada May Day di London tahun 2000, tidak lepas dari peranan media-
media alternatif.

Charles Anderson Dana mungkin sebuah pengecualian. Namun secara lebih luas, pers
saat ini tidak lepas dari bayang-bayang kapitalis. Percaya atau tidak, hal itu kemudian
tampil salah satunya dalam bentuk imagologi dan dunia citra sebagaimana yang
digambarkan dalam tulisan Soyomukti.

Problem Epistemologis

Objektivitas dan netralitas menjadi dua kata yang sangat membanggakan bagi para awak
media. Jurnalis merasa terhormati ketika mereka mampu membuat berita yang objektif dan
netral, atau mungkin objektivisme dan netralitas sudah menjadi ideologi bagi mereka.

Persoalannya, apa yang dimaksud objektif oleh seorang jurnalis? Dan netralitas seperti
apa yang dimaksud? Bukankah ketika kita membela seseorang, kelompok, maupun satu
gerakan sosial kita sudah berada dalam poros dan tidak netral lagi? Lalu di mana posisi
pers sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) jika masih netral? Inilah yang kemudian
dikritik keras oleh Jeremy Iggers, “banyak jurnalis yang mempraktekkan ‘prosedur
objektivitas’ tanpa komitmen epistemologi yang jelas.”

Istilah objektivitas atau objektivisme muncul secara kuat dalam bidang keilmuan, terutama
ilmu kealaman. Dalam sejarahnya, kelompok Positivisme Logis kemudian menyebarkan
pengaruh besar tentang faham ini. Subjektivitas manusia yang khas tidak boleh bercampur
dengan fakta yang sedang diteliti, subjek hanya berhadapan dengan objek sebatas
kalkulasi, pengalian, dan penjumlahan (instrument). Dampak dari tuntutan objektivitas ini
tidak lain meletakkan ilmu sebagai sesuatu yang netral. Inilah yang kemudian dikritik oleh
Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas (Frankfurt School).

Mungkinkah istilah objektivitas dan netralitas yang hingga kini masih menggejala di
kalangan pers bermuatan epistemologis yang sama sebagaimana kelompok Positivisme
Logis? Tentu ini mesti dijawab oleh mereka yang masih “ngangung-agungkannya.” Menurut
Iggers, objektivitas pers paling tidak berdiri dalam tiga asumsi; (1) bahwa jurnalis
merupakan komunitas yang merangkul kepentingan dan perspektif bersama; (2) baik
buruknya suatu berita ditentukan atau berdasarkan oleh kepentingan publik; dan (3)
kategori mengenai fakta-fakta tidak perlu dipersoalkan. Tidak ada asumsi dari ketiganya
yang berangkat dari pengamatan/penelitian.
2/3
Pers saya kira mesti berdiri dengan sikap yang jelas dalam membela gerakan sosial,
keadilan, dan emansipasi. Walaupun kedengarannya sangat utopis, namun itu jalan yang
bisa dilakukan untuk meletakkan kembali fungsi pers dalam masyarakat. Singkat kata;
singkirkan netralitas dan berdiri bersama dengan yang tertindas.

Semua Hanya Tontonan

Berita, iklan, atau entertainment adalah tontonan. Semua tidak lepas dari dampak dan
peranan kapitalisme. Guy Debord bahkan menyebut bahwa tontonan itu tidak hanya
berupa gambar, maupun gambar plus suara, tetapi seluruh apa yang telah dihasilkan oleh
model produksi yang dominan adalah tontonan. Ini artinya; industri, persaingan bisnis,
pembangunan, atau kesenjangan sosial, termasuk geliat kampanye politik di televisi adalah
tontonan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme. Keberhasilan kapitalisme kemudian
ditunjukkan dengan semakin berkurangnya kemampuan masyarakat dalam membedakan
mana realitas nyata dan mana realitas tontonan.

“Goals are nothing, development is everything. The spectacle aims at nothing other than
itself,” begitu kata Debord.Inilah salah satu keganjilan yang ada dalam kapitalisme;
pengembangan dan inovasi terus dilakukan, namun tidak ada titik akhir yang akan dituju.
Dampak dari keganjilan ini tidak lepas pula berpengaruh terhadap media massa dalam
bentuk determinisme teknologi. Berita kemudian dikemas dengan berbagai bungkus yang
“menarik” agar tidak ditinggalkan oleh audiens. Sensasionalitas menjadi menu utama; real
news is bad news – bad news about somebody, or bad news for somebody.

Di sisi lain, acara pun diciptakan sedemikian rupa; yang remeh-temeh menjadi terlihat
begitu penting. Stasiun-stasiun radio, televisi, dan penerbitan juga telah mengubah
panggung diskusi panel menjadi sebuah bisnis yang menjanjikan. Hal ini mengusung
bentuk komoditas di mana setiap orang dapat “berbartisipasi.” Alhasil dari persaingan ini,
media terserang wabah mimesis yang entah kemana harus diobatinya.***

Supriadi Al-Hamdulillah

Kepustakaan:

Atton, Chirs, 2002, “Alternative Media,” Sage Publications Ltd, London.

Debord, Guy, 2002, “The Society of the Spectacle,” Treason Press, Canberra.

Habermas, Jurgen, 1989, “The Structural Transformation of the Public Sphere; An Inquiry
into a Category of Bourgeois Society,” (trans.) Thomas Burger, Polity Press, Britain.

Iggers, Jeremy, 1999, “God New Bad News: Journalism Ethics and the Public Interest,”
Westview Press, USA.

McLuhan, Marshall, 1967, “Understanding Media: The Extension of Man,” Sphere Books,
London.

3/3

Anda mungkin juga menyukai