LP Sle
LP Sle
2. Penyebab
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus
menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi.
Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik
melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri.
Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum
sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan.
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: infeksi, antibiotik
(terutama golongan sulfa dan penisilin), sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-
obatan tertentu, dan hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya
tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1.
Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara
kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa
hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus
seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-
15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa
menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala
penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung
keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya
penyakit ini.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai
(2010):
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari
struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari
penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA,
tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang
diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah
molekul tertentu yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem
imun, yaitu:
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibodi Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks
imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
4) Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. (Musai, 2010)
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+
bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolic (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolic (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
titer yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1. kadar serum antibodiantikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM,
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metoda standard, atau
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di-
konfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuclear Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif (ANA test) pemeriksaan imuno- fluoresensi atau pemeriksaan
setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif
dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
4. Patofisiologi
PREDISPOSISI GENETIK Tenaga Pendorong Abnormal Terhadap Sel T
Sel T mengalami Sel T autoreaktif
perubahan struktur
dan fungsi Induksi dan ekspansi sel B
Pengalihan informasi tak terkendali Induksi dan ekspansi sel B
fiksasi komplemen pada organ aktivasi komplemen substansi penyebab timbulnya reaksi radang
Plak eritematosa Risiko
Timbul berbagai Hipertermi Infeksi
Kerusakan Integritas Kulit
manisfestasi klinis
Keletihan Produkdi ATP Kekacauan sel
menurun
Nyeri sendi berkepanjangan Nyeri Akut
Penurunan berat
badan Ketidakseimbangn
Nutrisi: Kurang dari
Adanya satu atauKebutuhan
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
Tubuh
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnyamuncullah sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah
hormon seks, sinar ultraviolet danberbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan
terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan
non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein danatau
kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khasautoantigen ini ialah bahwa
mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integralsemua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-
sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Denganantigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks
imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupagangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imundalam
hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan inimemungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai
maca organ dengan akibat terjadinyafiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yangmenghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan sepertiginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya..
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit
Dalam Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan
SLE menurut ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan
diagnosis SLE, diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita
SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai SLE misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis
autoimun), keganasan atau pada orang normal.
6. Penatalaksanaan Medis
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer
sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
a. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan
pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur.
Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada
pasien SLE adalah sebagai berikut:
TINJAUAN ASKEP
SLE (LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK)
A. Pengkajian :
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di fokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah di alami. Seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam / panas, anoreksia efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri
pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematouspada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura, lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di
ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan.
d. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri tas ruam yang berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung dan pipi.
f. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusipleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritomatous dan
parpura di ujuna jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosit.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem syaraf : Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
atau manifestasi SPP lainnya.
1. Nursing Care Plan
Berdasarkan NANDA (2015-2017), NOC (2016), NIC (2016), NCP yang dapat disusun sebagai kemungkinan pada pasien
dengan SLE, adalah sebagi berikut:
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore :
Elsevier Global Rights.
Herdman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017. Jakarta :
EGC
Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th edition. London: Academic Press; 2004.
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier
Global Rights.
Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia: Jakarta
Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI