Anda di halaman 1dari 15

DETEKSI GEN VIRUS EPSTEIN-BARR

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

Nama : Firli Dwi Aprilia


NIM : B1A015142
Kelompok :5
Rombongan : II
Asisten : Agung Mushoffa Zain

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal dari epitel
atau mukosa dan kripta yang melapisi permukaan nasofaring. Keganasan ini sering
disebut sebagai kanker tenggorok. KNF biasanya berasal dari dinding lateral
nasofaring, termasuk fosa Rosenmuller. Kemudian dapat meluas ke dalam atau ke
luar nasofaring ke dinding lateral lainnya dan atau posterosuperior ke basis kranii
atau palatum, rongga hidung. Umumnya bermetastasis ke limfonodi servikal.
Metastasis jauh dapat ke tulang, paru, mediastinum dan lebih jarang hati.
Limfadenopati servikal adalah gejala awal pada banyak pasien, dan diagnosis KNF
sering didapat dari biopsi limfonodi. Gejala yang berkaitan dengan tumor primer
termasuk trismus, nyeri, otitis media, regurgitasi nasal karena paresis palatum mole,
gangguan pendengaran dan paralisis nervus kranialis. Pertumbuhan yang lebih besar
dapat menyebabkan obstruksi nasal atau perdarahan. Metastasis dapat menimbulkan
nyeri tulang dan disfungsi organ, kemudian osteoartropati sebagai sindrom
paraneoplastik (Brennan, 2006). Penelitian dewasa ini menunjukan bahwa KNF
berhubungan erat dengan Epstein-Barr virus (EBV) salah satu jenis herpes virus
yang menyebabkan infeksi asimptomatis pada > 90% populasi dunia (Servi et al.,
2005).
Epstein-Barr Virus (EBV) adalah spesies Human herpesvirus 4 (HHV4) dari
genus Lymphocryptovirus dan termasuk dalam familia Herpesviridae. Virus Epstein-
Barr (EBV) termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus yang merupakan
salah satu virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena
infeksi EBV, yang sering asymptomatic tetapi biasanya penyakit akibat radang yang
cepat menyebar. EBV dinamai menurut Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang
bersama-sama dengan Bert Achong, memukan virus tahun 1964 (Yenita, 2012).
EBV mempunyai dua tahap dalam daur infeksi yaitu fase litik dan laten.
Selama fase laten hanya sedikit gen laten yang diekspresikan, sedangkan selama fase
litik terjadi sejumlah besar ekspresi gen litik secara berurutan. Fase laten ditandai
dengan dipertahankanya DNA EBV dalam jumlah yang relatif rendah dan tidak
menghasilkan virion atau partikel virus. Fase litik merupakan kebalikan dari fase
laten yaitu reaktivasi virus berupa amplifikasi genom virus dan produksi partikel
bebas virus. Gen-gen laten yang diekspresikan diantaranya adalah EBERs, EBNA1,
LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus
pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dapat menghambat siklus litik virus (Almqvist, 2005).
Fase immediate-early (IE) berlangsung transkripsi gen transaktivator replikasi
virus yang berfungsi mengatur ekspresi baik gen virus. BZLF1 diketahui menjadi
faktor transkripsi pertama yang akan berikatan dan mengaktivasi promotor gen
BRLF1 yang termetilasi. Metilasi ekstensif pada gen transaktivator BRLF1
menyebabkan tidak terekspresinya gen BRLF1 pada infeksi laten. Rta (BRLF1
transcriptional activator) dan Zta (BZLF1 transcriptional activator) merupakan
protein gen litik fase immediate-early dan aktivator transkripsi yang utama dalam
siklus litik EBV. Replikasi EBV bermula, Zta dan Rta melakukan autostimulasi
terhadap ekspresinya, selanjutnya kedua protein tersebut saling mengaktivasi satu
dengan lainnya dan bekerja sama dalam menginduksi gen-gen litik fase late. Rta
dapat bereaksi sendiri atau sinergis dengan Zta untuk menginduksi secara maksimal
aktivasi beberapa promotor gen EBV yang sangat penting untuk replikasi EBV, yaitu
gen BMLF1, BMRF1, BHRF1 dan DNA polimerase EBV. Rta diketahui pula
berkontribusi terhadap onkogenesis KNF, terutama berkaitan dengan regulasi siklus
sel. Rta diduga memfasilitasi pertumbuhan tumor, sehingga gen BRLF1
berkontribusi terhadap perkembangan KNF (Feng et al., 2000).
Fase early mengekspresikan komponen replikasi DNA virus. Ekspresi gen
litik early EBV jarang terjadi pada keganasan yang berasosiasi dengan EBV dan
tidak berkontribusi terhadap proses onkogenesis, kecuali ekspresi gen BHRF1.
Ekspresi gen litik early dapat diinduksi oleh perlakuan kimiawi, iradiasi dan aktivasi
reseptor membran sel yang terinfeksi EBV pada siklus laten yang diperantarai oleh
ekspresi protein transaktivator Zta. Gen BHRF1 diekspresikan dengan melimpah
oleh promoternya sendiri pada daerah BamHI-H (Hp) selama fase early litik virus,
tetapi tidak terdeteksi pada siklus laten virus. BHRF1 juga menyebabkan
penghambatan diferensiasi sel dan menginduksi proliferasi sel epitel. Enzim yang
terkait dengan gen litik early EBV dapat dijadikan target potensial obat antivirus,
sehingga dapat diaplikasikan sebagai terapi tumor di masa depan. Gen-gen yang
berperan penting dalam replikasi DNA EBV pada siklus litik dan replikasi DNA
spesifik ori Lyt adalah BZLF1, BALF5, BMRF1, BALF2, BBLF4, BSLF1 dan
BBLF2/3. Semua protein gen litik early EBV bekerja sinergi pada garpu replikasi
untuk mensintesis untai leading dan lagging genom EBV. Replikasi DNA EBV
tergantung pada ekspresi protein gen BZLF1, BRLF1 dan BSMLF1. Fase litik late
EBV, genom EBV akan berlipat ganda dari 100 kali menjadi 1000 kali (Alto, 2007).
Gen litik late EBV terekspresi ketika terbentuk sebagian besar protein
struktur kapsul virus, tegumentum dan selubung virus. Fase late litik gen herpesvirus
mengekspresikan 5 protein kapsul, 5 protein selubung virus dan 10 protein tegumen.
Gen litik late EBV adalah BCLF1, BDLF1, BFRF3, BORF1 dan BBRF1. Gen-gen
ini mengekspresikan protein kapsul virus (MCP, mCP dan sCP), protein yang
berikatan dengan mCP (mCPBP) dan protein portal. Protein tegumentum EBV
diekspresikan antara lain oleh gen BPLF1, BOLF1, BVRF1, BGLF1, BGLF4,
BGLF2, BBRF2, BSRF1, BGLF3 dan BBLF1. Gen BLLF1 mengekspresikan
glikoprotein selubung virion yang utama, yaitu Gp350/220 yang berlokasi pada
badan golgi dan plasma membran. Peran Gp350/220 adalah memperantarai virion
berikatan dengan CD21 pada sel B inang dan menjadi target utama dalam
menetralkan respons antibodi (Wahyono et al., 2010).
Gen immediate-early (IE), BRLF1 dan BZLF1, memainkan peran penting
dalam peralihan dari fase laten ke fase litik. Peralihan dari infeksi laten ke infeksi
litik dimediasi gen immediate-early (IE), yaitu BZLF1 dan BRLF1. Gen BRLF1
merupakan merupakan faktor transkripsi yang kooperatif mengaktifkan ekspreksi
gen litik virus Esptein Barr. BRLF1 mengaktifkan promotor litik tertentu (misalnya
promotor BRLF1 sendiri) melalui mekanisme tidak langsung. BRLF1 juga langsung
mengikat sebagai homodimer sebuah elemen BRLF1-responsif (RREs) yang
terkandung dalam banyak promotor virus litik awal, dengan urutan konsensus
GNCCN9GGNG. Menariknya, sebelumnya dikonfirmasi RREs mengandung CpG
motif, menunjukkan bahwa metilasi DNA dapat mempengaruhi kemampuan BRLF1
untuk mengikat atau mengaktifkan promotor virus litik (Wille et al., 2013).
Metode yang digunakan berupa Reverse Transcriptase (PCR) karena teknik ini
lebih sensitif untuk mendeteksi mRNA yang mengalami proses pembuangan intron
(spliced mRNA) dalam jumlah kecil dan memerlukan lebih sedikit jumlah sampel
klinis (Wahyono et al., 2010). cDNA template dibuat dengan menggunakan mRNA
yang dikonversi menjadi DNA. Proses ini disebut reverse transcription yang
dilakukan oleh enzim reverse transcriptase. Reverse transcriptase adalah suatu enzim
yang dapat mensintesis molekul DNA secara in vitro menggunakan template RNA.
Saat diberi perlakuan dengan reverse transcriptase, mRNA dikonversi menjadi kopi
DNA utas ganda yang disebut cDNA (complememtary DNA). Selanjutnya, proses
pembentukan library sama dengan pembentukan library pada DNA genomik. cDNA
dan vektor diberi perlakuan dengan enzim restriksi yang sama dan fragmen-fragmen
hasilnya disambungkan ke dalam vektor (Mordechai, 1999).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum Deteksi Gen Virus Epstein-Barr adalah untuk


mengetahui langkah-langkah mendeteksi gen virus Epstein-Barr dari sampel blok
parafin jaringan tumor.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung effendorf, sentrifuge,
vortexer, viral spin column dan collection tube, wash tube, mikropipet, tip, tabung
Erlenmeyer, microwave, alat elektroforesis, gel doc1000, mesin PCR, baki elfor, dan
tangki elfor.
Bahan yang digunakan adalah sampel blok parafin jaringan tumor, darah,
proteinase K, lysis buffer, etanol 96%, wash buffer, RNAse free water, dream tag
PCR master mix, primer forward, primer reverse, ddH2O, agarosa, TBE buffer, EtBr,
DNA marka, dan DNA template.

B. Cara Kerja

Metode yang digunakan dalam praktikum Deteksi Gen Virus Epstein-Barr


yaitu:
1. Amplifikasi ekspresi mRNA BRLF1 dengan teknik RT-PCR
Teknik RT-PCR digunakan untuk mendeteksi ekspresi mRNA BRLF1 pada
sampel penderita KNF WHO-3. Primer yan digunakan pada RT-PCR akan
menghasilkan amplikon fragmen cDNA berukuran 157 bp.
Campuran PCR (PCR mix) dibuat dalam volume 1x reaksi sebanyak 15 µl,
yang komposisnya terdiri dari:
1. ddH2O 4,5 µl
2. DreamTaq PCR Master Mix 7,5 µl
- DNA polymerase
- 2x Dream Taq buffer
- 4 mM MgCl2
- dGTP, dATP, dCTP, dTTP @0,4 mM
3. cDNA Template 1 µl
4. Primer forward 1 µl
Primer reverse 1 µl
Pengaturan program mesin PCR:
1. Predenaturation : 95 ˚C (3 menit)
2. Denaturation : 95 ˚C (30 detik)
3. Annealing : 62,4 ˚C (2 menit, 30 detik) 35x
4. Extention : 72 ˚C (1 menit, 30 detik)
5. Post-Extention : 72 ˚C (5 menit)
6. Stare cut : 8 ˚C (5 menit) 35x
2. Visualisasi hasil ekspresi mRNA menggunakan elektroforesis gel agarose.
1. Gel agarose 1 % dibuat dengan cara mencampurkan 0,5 gram agarose
dengan 50 ml TBE 1x.
2. Larutan dihomogenkan dengan dipanaskan menggunakan microwave.
3. Setelah semua agarose terlarut, larutan ditunggu hingga suhunya turun
mencapai 50-60 ˚C.
4. EtBr ditambahkan sebanyak 2 µl.
5. Suspensi dituang ke dalam baki elektroforesis yang telah diberi sisir untuk
mencetak sumuran. Suspensi ditunggu memadat hingga membentuk gel.
6. Gel yang telah memadat dipindah ke tangki elektroforesis, dan direndam
dengan TBE 1x hingga seluruh bagian gel terendam sempurna.
7. Sebanyak 5 µl DNA ladder 100 bp, dan sampel hasil PCR dimasukkan ke
dalam masing-masing sumuran.
8. Running dilakukan pada tegangan listrik 80 V dengan kuat arus listrik 300
mA selama 50 menit.
9. Hasil elektroforesisi divisualisasi menggunakan UV transiluminator.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Epstein-Barr Virus (EBV) adalah herpesvirus limfotropik yang dapat


menginfeksi dan bereplikasi dalam sel epitel dan limfosit B. Keberadaan virus ini
selalu dikaitkan dengan berbagai penyakit malignan seperti Hodgkin’s disease,
Burkitt’s lymphoma dan karsinoma nasofaring (KNF). EBV virus berpotensi
onkogenik dari familia gamma-virus herpes, ditemukan pada awal 1960 dalam sel
limfoma yang dikultivikasi dari biopsi tumor diperoleh dari Burkitt pada anak-anak
Afrika dengan tumor rahang. Infeksi primer biasanya terjadi melalui kontak dengan
air liur yang terinfeksi dan asimtomatik pada anak-anak, tetapi lebih dari 40% remaja
dan orang dewasa hasil infeksi mononukleosis (IM) (Tugizov, 2003). Struktur
morfologi EBV terdiri dari DNA yang diselubungi protein inti berbentuk toroid,
kapsul nukleus, protein tegumentum dan selubung luar. Pada selubung luar terdapat
tonjolan glikoprotein, yaitu Gp 350/320 (Wahyono et al., 2010).
Gambar 3.1. Hasil Visualisasi Gambar 3.2. Hasil Visualisasi
Elektroforesis Monochrome
Keterangan:
1. Line M : DNA Marka
2. Line 10 : hasil PCR sampel I (kelompok 1)
3. Line 11 : hasil PCR sampel II (kelompok 2)
4. Line 12 : hasil PCR sampel III (kelompok 3)
5. Line 13 : hasil PCR sampel IV (Kelompok 4)
6. Line 14 : hasil PCR sampel V (kelompok 5)
Berdasarkan hasil visualisasi elektroforesis ekspresi mRNA BRLFF1 EBV
dengan PT-PCR diperoleh hasil smear. Hasil praktikum ini menunjukkan bahwa pita
fragmen DNA yang tersinari UV tidak nampak jelas dan tidak menunjukkan adanya
pergerakan atau migrasi sama sekali, yang terlihat jelas hanyalah migrasi dari marker DNA
marker pada sisi tepi gel agarosa. Menurut Bollag (2009), hal yang semacam ini
kemungkinan disebabkan oleh terlalu lamanya penyimpanan untai DNA setelah di isolasi
pada praktikum yang sebelumnya, atau terdapat sedikit kesalahan dalam penyimpanan. Jika
pita fragmen DNA dapat terlihat maka dapat dihitung panjang fragmen dari suatu produk
DNA. Menurut Russell (1994), hal ini juga dapat terjadi karena faktor-faktor yang
mempengaruhi laju pergerakan dari molekul DNA antara lain ukuran molekul DNA,
konsentrasi gel, bentuk molekul, densitas muatan, pori-pori gel, voltase, dan larutan
buffer elektroforesis.
Hasil DNA elektroforesis harus dibandingkan dengan DNA marker. Marker
adalah segmen DNA yang spesifik dan telah diketahui ukurannya. Marker berfungsi
sebagai acuan untuk mengetahui ukuran DNA hasil ampifikasi. DNA Marker yang
terdapat di dalam ruang elektroforesis berfungsi sebagai penanda posisi pasangan
basa dari molekul DNA yang bermigrasi (Thompson & Fritchman, 2012). Faktor-
faktor yang menyebabkan kegagalan elektroforesis gel agarosa antara lain karena sel
belum lisis sempurna, DNA belum keluar dari sel, serta DNA mengalami degradasi
(tekanan mekanik) (Martin, 1996).
Gambar 3.3. Hasil Visualisasi Elektroforesis Ekpresi mRNA BRLF1 EBV
dengan RT-PCR

Prinsip dasar PCR adalah perbanyakan molekul-molekul spesifik DNA dengan


bantuan primer-primer yang berupa oligunukleotid secara in-vitro, untuk pelaksanaan
proses PCR tersebut, hal-hal yang dibutuhkan adalah molekul DNA yang akan
dianalisis. Molekul DNA ini berfungsi sebagai template untuk pembentukan molekul
DNA selanjutnya. Secara umum prinsip proses PCR kali adalah denaturasi pita ganda
DNA reaksi pemanasan suhu 94˚C, kemudian pengukatan primer (anneling) dan
selanjutnya adalah pembentukan molekul DNA sintesis (Extensi) (Jamsari, 2007).
Elektroforesis merupakan metode untuk memindahkan ion-ion yang relatif
kecil karena pengaruh suatu medan listrik. Prinsip dasar elektroforesis hampir sama
dengan sedimentasi. Perbedaannya, pada sedimentasi perpindahan tempat didasarkan
atas molar dan massa padat, sedangkan pada elektroforesis perpindahan tempat
didasarkan pada muatan listrik yang dibawa oleh senyawa (Brook, 2005). Tahapan
visualisasi dengan menggunakan metode elektroforesis gel agarosa pertama adalah
masukan 0,5 gr agarosa ditambah 50 mL TBE buffer ke dalam Erlenmeyer, lalu
panaskan dengan microwave. Setelah itu didinginkan pada temperatur 50-60° C,
kemudian ditambahkan EtBr. Selanjutnya adalah tuangkan larutan ke baki yang
sudah tersedia comb dan selotip. Tunggu hingga memadat. Gel dimasukan ke tangki
elektroforesis, setelah itu masukan DNA marka. Running dengan tegangan 80 V dan
arus 300 mA selama 50 menit, kemudian hasilnya divisualisasikan dengan UV
transiluminator.
Praktikum kali ini menggunakan 35 siklus pada tahapan denaturation,
annealing, dan extention. Semakin banyak siklus maka semakin banyak
amplikonnya. DNA memiliki nilai kemurnian antara 1,8-2,0. Jika nilai kemurnian
DNA kurang dari 1,8 maka hal tersebut menunjukkan adanya kontaminan protein,
sedangkan jika nilai kemurnian DNA diatas 2 maka hal tersebut menunjukkan bahwa
DNA terkontaminasi oleh RNA. Kontaminasi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah kontaminasi dari sampel DNA yang diisolasi (Riley et al.,
2012).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :


1. Langkah-langkah deteksi gen virus Epstein-Barr adalah dengan isolasi RNA EBV
dari sampel blok parafin jaringan tumor, lalu pembuatan cDNA Synthesis Super
Sript III First Strand System, Amplifikasi ekspresi mRNA BRLF1 dan kemudian
visualisasi hasil ekspresi mRNA BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agarosa. Hasil
dari deteksi gen EBV dari sampel blok parafin jaringan tumor rombongan II adalah
negatif karena hasil berupa smear (pita hasil ekspresi mRNA tidak terlihat jelas).

B. Saran

Saran untuk praktikum deteksi virus Epstein-Barr ini yaitu apabila tempat dan
waktu yang memungkinkan, semua praktikan diharapkan agar mempraktekannya
langsung tentang cara kerja dari isolasi virus Epstein-Barr dan pada saat pelaksanaan
pengamatan diharapkan praktikan diberi penjelasan lebih rinci dan jelas aar hasil
praktikum dapat maksimal dan efisien.
DAFTAR REFERENSI

Almqvist, J. 2005. Epstein-Barr virus nuclear antigen 1, Oct and Groucho/TLE in


control of promoter regulation. Karolinska Institute.

Alto, S.M. 2007. Modern Diagnosis of Epstein-Barr Virus Infections and Post- transplant
Lymphoproliferative Disease. Finland: University of Helsink.

Brennan, B. 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet J. Rare Diseases 1:23.

Bollag, W.B, & Bollag, J.M. 2009. Biodegradation Encyclopedia of Microbiology.


Ledergerg, J, Ed. Academic Press Inc. Boston :269-276.

Brook, Geo F 2005. Mikrobiologi Kedokteran jilid 2. Jakarta: Salemba Medika.

Feng, F., Ren, E.C., Liu, D., Chan, S.H., & Hu, H. 2000. Expression of Epstein-Barr
Virus Lytic Gene BRLF1 in Nasopharyngeal Carcinoma: Potensial Use in
Diagnosis. J Gen Virol 2000 81: 2417-23.

Martin, R. 1996. Gel Electrophoresis: Nucleid Acids. Oxford: Bios scientific


Publisher.

Mordechai, E. 1999. Application of PCR The methodologies in Molecular Diagnostic.


USA: Burlington Country.

Russell, R.S & Taylor III, B.W. 1994. Operation Management, Focusing on Quality
and Competitiveness, 2nd edition. Prentice-Hall, Englewood Cliftts, NJ.

Riley, K. J., Rabinowitz, G. S., Yario, T. A., Luna, J. M., Darnell, R. B., & Steitz, J.
A. 2012. EBV and Human microRNAs co-target Oncogenic and Apoptotic
Viral and Human Genes during Latency. EMBO J, 31, pp: 22017-2221.

Servi J. C. Stevens,Sandra A. W. M. Verkuijlen1, Bambang Hariwiyanto, Harijadi,


Jajah Fachiroh, Dewi K. Paramita, I. Bing Tan, Sophia M. Haryana, Jaap M.
Middeldorp. 2005. Diagnostic Value of Measuring Epstein-Barr Virus (EBV)
DNA Load and Carcinoma-Specific Viral mRNA in Relation to Anti-EBV
Immunoglobulin A (IgA) and IgG Antibody Levels in Blood of
Nasopharyngeal Carcinoma Patients from Indonesia. Journal of Clinic
Microbiology. 43(7), pp: 3066–3073.

Thompson, R. & B. Fritchman. Illustrated Guide to Home Biology Experiments: All


Lab, No Lecture. California: O’Reilly Media Inc.

Tugizov, M.S., Berlin, J.W & Palefsky, M. 2003. Epstein-Barr Virus Infection of
Polarized Tongue and Nasopharyngeal Epithel Cell. New York: Mc Hill.

Wahyono, D.J. Bambang, H & Purnomo, S. 2010. Ekspresi Gen Litik Virus Epstein-
Barr: Manfaatnya Untuk Penegakan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. ORLI 40
(2), pp: 143-150.
Wille, C.K. Dhananjay, M.N. Amanda, R.P. Michelle, M.K. Stacy, R.H., & Shannon,
C.K. 2013. Viral Genome Methylation Differentially Affects the Ability of
BZLF1 versus BRLF1 To Activate Epstein-Barr Virus Lytic Gene Expression
and Viral Replication. Journal of Virology, 87 (2), pp: 935–950.

Anda mungkin juga menyukai